Al-Islam E-Magazine Edisi 4

Page 1

my Identity Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

Shalat Jamaah Simbol Kepemimpinan al-islam.my.id


Do’a

Menyambut Bulan Ramadhan

“Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan” [HR. Ahmad dan Thabrani dari sahabat Anas bin Malik r.a.]

Bulan Rajab termasuk dalam empat bulan suci yang dimuliakan, sebagaimana disebutkan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36)


Redaksi

Al-ISLAM my Identity Daftar Isi Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014 5 | Bahasan Utama: Shalat Jamaah dan Simbolisasi Kepemimpinan 12 | Ibadah: Menyempurnakan Shalat, Menguatkan Jiwa 17 | Hadits: Melatih Sabar dan Syukur Melalui Shalat 22 | Tasawuf: Menimbang Hak dan Kewajiban Warga Negeri

24 | Muamalah: Wajah Ukhrawi, Cermin Perbuatan Manusia 28 | Renungan: Taubat, Pemupuk Harapan 30 | Saintek: Bumi, Planet Berkehidupan

Awak Media Penasehat: Johansyah, Nashir Budiman Pemimpin Redaksi : Dijan Soebromo Dewan Redaksi: Tri Boedi Hermawan, Nilna Iqbal, Reno Andryono Kontributor: Heru Prabowo, Fuad Soffa, Suharjono Harjodiwirjo Keuangan: Ahmad Hamdani, Syahrial M. Dukungan Teknis: Fathansyah, Zamakshari Sidiq Alamat Redaksi: Rumah Alumni, Salman ITB, Jalan Ganesha No.7, Bandung Alamat Email: redaksi@al-Islam.my.id

Twitter: @alislammyid | Google+ & YouTube Channel: alislam.my.id@gmail.com Website: www.al-islam.my.id


Pengantar

Assalamu’alaikum wr wb, Pembaca Budiman, semoga Allah senantiasa merahmati kita dan keluarga dalam segenap aktivitas yang kita jalani saat ini. Tak terasa, waktu terus bergerak, dan kini kita memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan jelang kehadiran bulan yang ditunggu semua ummat muslim yaitu Ramadhan Mubarak. Al-Islam, media alternatif yang sedang kita bangun ini kali ini ingin mengajak Anda untuk menelaah sebuah tafsir sosial yang menarik mengenai shalat. Pada edisi pembuka terbitan E-mag Edisi yang ke-4 di bulan Sya’ban ini, kita sajikan rangkaian kajian mengenai shalat, yang semoga menjadi refleksi yang membekali kita dalam berbagai kesempatan penting di hari mendatang. Bahwa dalam shalat ternyata dapat dipetik pengalaman ruhaniah dan sosial sekaligus yang menguatkan pengetahuan kita bahwa Allah Swt. sudah memberikan tata aturan yang demikian rapi yang dapat kita ambil manfaatnya lansgung, baik secara mikro – dalam diri dan keluarga, maupun makro dalam kehidupan kita bermasyarakat. Sajian kita kali ini akan dilengkapi pula dengan tulisan yang bermuatan fikih, tafsir, hadits, muamalah, kajian tasawuf dan tak lupa artikel saintek. Semua sajian di atas semoga dapat menambah khasanah pengetahuan kita mengenai luasnya dimensi al-Islam yang sungguh, baru saja kit coba tulis kembali bagian-bagian kecil dan dasarnya. Ke depan, semoga khasanah pengetahuan ini akan semakin dapat kita lengkapi bersama, dengan saran -kritik, serta dukungan dari Anda semua. Pada kesempatan istimewa ini, Redaksi Al-Islam mengucapkan selamat memasuki bulan Sya’ban dan menyiapkan diri menyongsong datangnya Ramadhan. Semoga kita semua dikarunia kesehatan dan kekuatan agar dijumpakan kembali dengan bulan yang dirindukan, di mana segenap pintu ampunan dibuka, setiap detiknya pahala, serta amalan kita dilipatgandakan ganjarannya. Barakallah. Wassalamu’alaikum wrwb, Redaksi Al-Islam.my.id

4

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Bahasan Utama

Shalat Berjamaah dan Simbolisasi Kepemimpinan

Foto: @Dragono Halim

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. al -Baqarah [2]:43). Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah bersabda: "Shalat berjamaah lebih utama dari shalat munfarid (sendirian) dengan kelebihan dua puluh tujuh derajat." (Muttafaq ‘alaih). Dari Abu Hurairah ra., katanya: "Ada seorang buta berkata: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang tetap ke mesjid. Maka apakah saya memiliki keringanan untuk boleh shalat di rumahku? Maka Nabi saw. berkata kepadanya: Apakah engkau mendengar suara adzan memanggil untuk shalat? Kata orang itu: Ya. Kata Nabi: Maka penuhilah.” (HR. Muslim).

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

5


Ayat Al-Qur’an dan Hadits di atas memberikan penegasan kepada kita bahwa shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki - sangat penting dan merupakan sunnah Rasul. Bahkan, shalat berjamaah harus ditegakkan walaupun kaum muslimin sedang dalam kondisi berperang melawan musuh (lihat QS. an-Nisa [4]:102). Selain fadilah pahala yang berlipat dibandingkan shalat munfarid (sendiri), shalat berjamaah memiliki makna penting dalam aktivitas bermasyarakat. Hal yang paling sering kita dengar adalah pengaruhnya dalam urusan memakmurkan masjid. Namun sejatinya bukan hanya itu, shalat berjamaah juga memiliki fungsi sosial yang luas dan menjadi pelajaran kehidupan bermasyarakat (ukhuwah/persaudaraan) serta kepemimpinan. Shalat berjamaah mengajarkan banyak hal dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Secara sederhana kita bisa belajar dari praktik shalat berjamaah yang di dalamnya terkandung berbagai petunjuk antara lain tentang cara memilih imam (pemimpin), syarat-syarat, kewajiban, interaksi antara imam (pemimpin)-makmum (rakyat) dan kewajiban umum masyarakat. Syarat-syarat Menjadi Imam (Pemimpin) Tidak sembarang orang boleh menjadi pemimpin/imam shalat berjamaah. Kepemimpinan shalat berjamaah makin kentara manakala tiga waktu shalat yakni Subuh, Maghrib dan Isya’ dilaksanakan. Imam di ketiga waktu shalat itu diharuskan membaca surah alFatihah dan surah lain sesudahnya dengan suara keras dan lantang. Para ulama membuat kriteria orang yang paling berhak menjadi imam shalat berjamaah antara lain sebagai berikut: 1. Yang Paling Baik Bacaannya Syarat yang paling utama untuk menjadi imam shalat berjamaah yaitu orang yang paling baik

6

bacaannya atau disebut aqra’uhum. Sebagaimana hadits: “Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil

para ulama itu merupakan wakil kalian kepada Tuhan kalian

kalian kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim). “Jadikanlah orang-orang yang terpilih di antara kamu sebagai imam, karena mereka adalah perantaraa kamu dengan Tuhanmu.” (HR. AdDaruqutni). “Apabila seseorang menjadi imam, padahal di belakangnya ada orang-orang yang lebih utama daripadanya, maka semua mereka dalam kerendahan terus menerus.” (HR. Ahmad). Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan aqra’uhum adalah yang paling fasih membaca Al-Qur’an, dan paling paham dalam masalah agama, terutama dalam masalah shalat. 2. Yang Lebih Tua Usianya

Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. “Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (AlQur’an). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Qur’an, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari). “Jamaah diimami oleh yang lebih pandai membaca Kitab Allah. Jika sama -sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka oleh yang lebih alim tentang sunnah. Jika samasama pula, maka oleh yang lebih tua.” (HR. Muslim dan Abu Dawud). “Hendaklah yang lebih tua di antara kalian berdua yang menjadi

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


imam”. (HR. Imam yang enam). Selain kedua hal utama di atas, ada beberapa hal khusus yang perlu mendapat perhatian kita bersama dalam pelaksanaan shalat berjamaah ini. Antara lain masalah lingkungan yang sangat baik juga telah diatur dalam beberapa hadits. Posisi tuan rumah (yang memiliki tempat), juga perlu menjadi pertimbangan sebagai orang yang paling berhak menjadi imam, sebagaimana hadits ,“Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang diimami itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim). Di samping itu, ada petunjuk lain yang mengingatkan bahwa posisi imam seyogyanya memang orang yang diharapkan atau dicintai makmum (rakyatnya). Ini mengikuti seruan Rasulullah dalam hadits yang kita kenal yakni, “Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu Dawud). Kewajiban Imam Dalam shalat berjamaah, manakala persiapan telah dilakukan sesudah iqamah, Imam memiliki kewajiban penuh kepada makmumnya. Sebelum takbiratul ihram sebagai tanda mulainya shalat bersama itu, Imam memiliki kewajiban: Pertama, memeriksa makmumnya yakni agar shaf-nya rapat dan lurus. Imam tidak melaksanakan takbiratul ihram manakala barisan makmum belum terlihat rapih, lurus dan rapat. Dari Nu`man bin Basyir ra. berkata, ”Adalah Rasulullah saw. meluruskan shaf kami. Seakanakan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata: Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian.” (HR. Muslim). Makmum menempati shaf yang lebih utama (laki-laki yang paling depan disusul di

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

belakangnya, sedangkan perempuan yang paling belakang lalu disusul yang di depannya). Kedua, memilih makmum yang berada tepat di belakangnya adalah orang yang sudah dewasa (baligh) dan siap untuk sewaktu-waktu menggantikan posisi imam. Perhatikan hadits, “Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar” (HR. Muslim). Ketiga, memperhatikan lingkungan (makmum). Pada saat pelaksanaan shalat, Imam sepenuhnya dapat mengendalikan shalat namun tetap memperhatikan kondisi makmum. Hal ini diajarkan Rasul saw. agar dalam pelaksanaan shalat berjamaah terdapat kemungkinan keberadaan makmum yang berkeperluan atau berkebutuhan mendesak. “Jika salah seorang dari kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) men-takhfif (meringkaskan sholatnya), karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya”. (HR. Bukhari) Interaksi Imam dan Makmum Interaksi antara imam dan makmum terbangun dengan baik seperti tuntunan Rasul saw. dalam shalat berjamaah. Imam, adalah manusia biasa, yang sekalipun sudah sangat terpilih – suatu ketika, mungkin saja berbuat kesalahan. Dalam proses shalat berjamaah inilah praktik dialektika

Dalam proses shalat berjamaah inilah praktik dialektika kepemimpinan terjadi

7


kepemimpinan terjadi, antara imam dan makmum. Bila dalam praktik shalat, imam melakukan kesalahan, makmum memiliki hak dan kewajiban sekaligus untuk mengingatkannya. Sebagai contoh dalam gerakan shalat, misalnya terjadi khilaf seorang imam bangkit berdiri saat ia seharusnya duduk tasyahud awal, makmum harus mengingatkannya dengan membaca subhanallah. Ini berlaku bila makmumnya laki-laki.

Bila wanita, cukup ia mengingatkan dengan bertepuk sekali yang memungkinkan didengar imam. Dalam hal terjadinya kesalahan lafadz bacaan yang dikeraskan, maka makmum wajib mengoreksinya dengan membacakan bacaan yang benar pada bacaan yang salah tersebut. Sementara itu, bila imam secara mendadak berhadast, misalnya buang angin, maka dia harus mundur sebagai imam lalu segera berwudlu dan kembali ke barisan jamaah untuk menjadi makmum. Adapun kepemimpinan shalat dilanjutkan oleh makmum yang berdiri tepat di belakang imam. Imam pengganti ini bertugas melanjutkan shalat berjamaah hingga tuntas.

Shalat berjamaah juga menjadi cermin adanya dialektika imam atau pemimpin dan jamaah shalat atau masyarakat, serta aturan-aturan yang harus dipatuhi dalam kehidupan bersama untuk menciptakan harmoni. Ketika kita berada pada situasi sulit untuk menentukan pemimpin, beberapa persyaratan dalam memilih pemimpin shalat bisa kita jadikan acuan untuk mampu secara cermat mengukur kapasitas dan kemampuan figur yang pantas kita jadikan pemimpin kelompok, masyarakat ataupun bangsa.

Kewajiban Makmum Makmum, sebagai peserta shalat berjamaah sepenuhnya tunduk dan patuh pada aba-aba dan gerakan imam dalam shalat. Dalam mengikuti gerakan imam tersebut makmum harus mengikuti gerakan dan mengikuti/menghayati bacaan imam (selama bacaan dan gerakan benar). Makmum, dalam hal ini tidak dibolehkan memulai gerakan, bergerak bersamaan dengan imam, apalagi mendahului gerakan imam. Kesatupaduan antara imam dan makmum ini menjadi penjaga ketertiban keseluruhan shalat berjamaah. Pelajaran bagi Kita

Sungguh indah praktik shalat berjamaah yang telah diajarkan Islam dan telah sampai kepada kita sebagai pelajaran dalam bermasyarakat.

8

Dengan memahami sepenuhnya makna shalat berjamaah sebagai simbolisasi dari kehidupan bermasyarakat yang luas, beberapa hikmah berikut dapat kita petik dari proses dan aturan baku yang sudah dicontohkan Rasul saw. dalam praktik shalat berjamaah.

1. Sebagaimana memilih imam shalat, kita diminta memilih pemimpin yang akan menjadi pengawal kehidupan harmonis

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


masyarakat kelak, yakni pemimpin yang memiliki kapasitas keilmuan paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Jelas sekali bahwa memutuskan memimpin rakyat banyak memerlukan kapasitas personal dan teknis. Sebab itu, secara kalkulatif, pemimpin yang dikehendaki tentunya diminta untuk memiliki keunggulan baik konseptual, administratif hingga implementasinya. Dia memiliki kapasitas intelektual yang cukup, memiliki kecakapan dan kecerdasan untuk mencari jalan keluar dari setiap masalah yang

Foto: @Nuranto

dihadapi masyarakatnya hari ini. 2. Ucapan dan tindakan pemimpin diminta sepenuhnya benar sesuai dengan aturan yang ada. Persis dan konsisten. Sudah selayaknya, ia menjadi teladan kecermatan dan kelurusan dalam segala pola pikir dan tindak bagi rakyatnya. Sehingga, ia dengan mudah bisa menjadi patron, patut dicontoh

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

dan diikuti oleh masyarakat luas yang dipimpinnya. Bagaimana mungkin rakyat mengikuti perintah pemimpin, jika sang pemimpin tak memiliki kapasitas bertindak sesuai aturan yang lurus dan layak menjadi suri teladan? “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. an-Nisa [4]:59) 3. Seperti imam shalat, pemimpin berada di barisan paling depan. Komando ada dalam dirinya. Ini isyarat bahwa pemimpin memiliki kewenangan penuh dan selalu tampil paling depan dalam memimpin masyarakatnya menghadapi tantangan. Berada pada garis depan perjuangan demi kebaikan dan kemajuan masyarakat serta berada di garda depan dalam mengatasi permasalahan yang beraneka dari rakyat dan bangsanya. Kewenangan penuh inilah yang akan menjadi pandu bagi bangsa untuk secara bersama menyambut perubahan bersama pemimpin yang amanah dan dapat diandalkan. “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah”, (QS. al-Anbiya [21]:73). “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar”. (QS. al-Hajj [22]:41). 4. Posisi wakil, ditunjukkan oleh makmum yang berada tepat di belakang imam. Orang yang

9


berada di belakang imam dimaksudkan adalah orang yang kemampuan dan kapasitasnya tidak jauh berbeda dengan sang imam. Ia bisa diandalkan manakala pemimpin utama berhalangan. Dalam praktik bermasyarakat, ‘’ring satu’’ atau orang yang berada di sekeliling imam mustilah mereka yang memiliki kapasitas kepemimpinannya mumpuni untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa saat ini dan ke depan.

5. Seorang imam shalat siap diingatkan makmum. Merupakan simbolisasi bahwa pemimpin yang kita angkat hanyalah manusia biasa yang tidak akan luput dari kesalahan.

pemimpin yang kita angkat hanyalah manusia biasa yang tidak akan luput dari kesalahan Ketika seorang pemimpin berbuat salah baik dalam konseptual atau tindakan ia harus siap dikritik, diingatkan dan juga dikoreksi. Ia tidak boleh marah karena berhadapan dengan kebenaran. Seluruh masyarakat tunduk di depan kebenaran dan keadilan, maka sang pemimpin harus tunduk patuh dan mau diingatkan demi kebaikan bersama. Makmum, atau masyarakat dalam hal ini juga diminta untuk mengingatkan langsung manakala pemimpinnya salah, lupa atau melanggar peraturan/keputusan bersama yang telah diundangkan.

Foto: @Tuan Azizi

10

6. Seorang pemimpin, manakala ia melanggar ketentuan yang ‘’tidak-boleh-tidak’’, maka ia diminta untuk melakukan tindakan terhormat, dia harus mundur dan bersedia menjadi manusia biasa (makmum) dan mempersilakan pemimpin penggantinya untuk melaksanakan tugas menggantikan

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


posisinya. Dengan demikian ia taat azas sesuai aturan, barangsiapa ‘batal’ demi hukum, ia harus bersedia digantikan posisinya oleh pemimpin baru yang telah siap. 7. Kepemimpinan umum yang dikehendaki rakyat banyak, tentunya adalah ia yang memiliki ‘hafalan’ dan ‘bacaan’ yang paling lengkap dan fasih. Ini memberikan dua penguatan syarat kepemimpinan sekaligus. Pertama, diharapkan seorang pemimpin memiliki kapasitas paling besar secara konseptual dan keilmuan, namun kedua, ia diminta diharapkan seorang untuk mampu menjadi komunikator pemimpin memiliki kapasitas terbaik. Persoalan komunikasi menjadi penting dan sentral bagi seorang pemimpin paling besar secara karena ia diberikan hak sepenuhnya untuk konseptual dan keilmuan, menghantarkan serangkaian kebijakan namun kedua, ia diminta yang harus disampaikan kepada khalayak untuk mampu menjadi luas melalui teks, lisan dan gesture-nya sehingga semua maksudnya dapat efektif komunikator terbaik diterima oleh punggawanya, mitra, dan juga rakyatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan umumnya. 8. Kebijakan Imam tampil dalam simbolisasi bahwa ia harus tahu apa yang tengah dirasakan rakyatnya. Kefasihan atau kapasitasnya tidak pernah menggodanya untuk berlama-lama dan bergenit-genit namun ia ternyata akan melukai mereka yang lari paling buncit, si tua renta yang rapuh tulangnya, atau mereka yang tengah berhalangan atau tidak memiliki kemampuan. Kondisi rakyat ini harus dibaca dengan benar agar arah dan praktik kebijakannya pas, tepat dan bermanfaat secara luas tanpa harus mencederai masyarakat yang dipimpinnya. 9. Dengan segala pengetahuan dan kelengkapan informasi yang dimiliki, arah serta praktik kebijakan yang tepat dan berdimensi kemanfaatan luas, maka akan ada sebuah dialektika penting yang tercapai dalam posisi dialog pemimpin-rakyat ini. Suatu kondisi di mana pemimpin mampu bersama rakyatnya membangun iklim saling percaya, menjunjung tinggi harkat dan martabat unggul serta secara bersama membangun kinerja positif yang rancak dan rapih untuk mencapai keberhasilan, kesejahteraan dan kemuliaan bersama. Pada titik inilah, pemimpin tersebut tidak pernah ditolak, ataupun dibenci oleh rakyatnya. Sang Imam akan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat dan dipercaya untuk mengawal hari depan gemilang impian bersama. Semoga kita semua mampu mengambil pelajaran penting dari praktik shalat berjamaah dalam mengambil sikap: memilih pemimpin yang berkualitas yang akan menjadi pengarah, pengayom, mitra, sekaligus guru yang akan menjadi bagian dari solusi permasalahan umat dan bangsa yang sedemikian kompleks di depan mata. Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya pada kita semua akan keutamaan kepemimpinan yang akan mengawal bangsa ini kini dan ke depan nanti. [JS]

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

11


Ibadah

Foto: @Qefy Alghifari

Menyempurnakan Shalat, Menguatkan Jiwa Adakah “oleh-oleh” yang dibawa Rasulullah saw. sepulang Isra’ Mi’raj yang lebih berharga daripada shalat 5 waktu? Sudah kita ketahui bahwa shalat wajib 5 waktu – berbeda dengan ibadah mahdhah (khusus) lainnya – diterima langsung oleh Nabi dari Allah saat Mi’raj di Sidratul Muntaha. Begitu penting dan istimewa kedudukan shalat sehingga shalat disebut sebagai mi’rajnya orang beriman. Ash-shalatul mi’rajul mu’minin, demikian lafal hadits dalam Musnad Ahmad. Dan tentunya kita ingat pesan penting dalam hadits, “Amal pertama yang dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya maka baik pula segala amalan lainnya tetapi jika rusak shalatnya maka rusak pula amalan lainnya.” (HR. Thabrani). Jelaslah, shalat merupakan kewajiban peribadatan formal khusus yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam. Shalat adalah tiang agama Islam. Maka benarlah ungkapan, yang membedakan

12

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Islamnya seseorang dengan yang lain adalah shalatnya. Sesuai dengan hadits: “Pemisah antara seseorang dengan kekufuran serta kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim). Dan, “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barang siapa meninggalkannya, ia telah ingkar.” (HR. Ahmad, Tirmizi, Nasa’i, Baihaqi dan Daruquthni). Shalat, secara bahasa berarti berdo’a, atau mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat menurut syara’ adalah ‘’Ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam’’. Ucapan tersebut adalah bacaan-bacaan, takbir, tasbih, dan do’a. Sedang yang dimaksud dengan perbuatan adalah gerakan dalam shalat misalnya berdiri, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud dan tasyahud, dan gerakan lain yang dilakukan dalam shalat. Dalam pengertian do’a, sesungguhnya shalat merupakan peribadatan yang dikerjakan bukan saja oleh manusia. Makhluk Allah yang lain pun mengerjakannya. Coba tengok ayat Qur’an berikut, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (QS. anNur [24]:41).

mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)”. (QS. al-Ankabut [29]:45). Penting dan utamanya kedudukan shalat bisa dimaknai dari jumlah penyebutannya dalam dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menyebut shalat sebanyak 99 kali, zakat 59 kali, haji 33 kali dan shaum (puasa) 14 kali. Seorang muslim harus atau wajib mengerjakan shalat dalam keadaan apapun, sebelum ia dishalatkan alias mati. Kalau tidak bisa berdiri, ia shalat sambil duduk. Jika tidak bisa duduk, lakukan shalat sambil berbaring. Seandainya sambil berbaring juga tidak bisa (dalam keadaan sakit parah) maka ia shalat dalam bentuk isyarat. Begitu juga bagi orang yang sedang dalam perjalanan (safar), ia harus tetap menegakkan shalat: boleh sambil duduk, bertayamum (sebagai pengganti wudlu), dan dianjurkan jamak (digabung yaitu dzuhur dengan ashar, maghrib dengan isya) – jamak taqdim (dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu dzuhur) atau jamak takhir (dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar); dan qashar (yaitu yang 4 rakaat diringkas menjadi 2 saja). Begitu pentingnya peranan shalat dalam diri seorang yang beriman sehingga para Nabi sebelum Muhammad pun mengerjakan shalat, berdo’a agar diri dan keturunannya tetap mendirikan shalat. Perhatikan beberapa ayat

Sementara itu Al-Qur’an menyebutkan fungsi dan peranan shalat (bagi manusia) antara lain, pertama, sebagai penolong, “Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar pentingnya peranan shalat dalam dan shalat sebagai diri seorang yang beriman sehingga penolongmu” (QS. alBaqarah [2]:153); dan para Nabi sebelum Muhammad pun kedua, dapat mencegah mengerjakan shalat dari perbuatan keji dan munkar, “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

13


berikut: (Ibrahim berdo’a) “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku”. (QS. Ibrahim [14]:40). “Dan dia (Ismail) menyuruh keluarganya untuk (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridhai di sisi Tuhannya” (QS. Maryam [19]:55). “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting”. (QS. Luqman [31]:17). “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”. (QS. Thaha [20]:132). Jika peranan dan fungsi shalat begitu penting bagi seorang mukmin, lalu mengapa ada orang yang shalat tetapi tetap berbuat maksiat? Tetangganya tidak aman oleh sikap dan katakatanya yang menyakitkan, sering berbuat dzalim dan sebagainya? Seandainya di antara kita masih ada yang seperti itu, yaitu STMJ (Shalat Terus Maksiat Jalan) maka kita perlu mewaspadai dan memeriksa shalat yang selama ini kita lakukan. Jangan-jangan ada yang tidak sesuai. Jangan pula sampai kita diingatkan Allah dengan peringatan keras seperti dalam surah alMa’un, “Maka celakalah orang yang shalat”. (QS. al-Ma’un [107]:4). Untuk memeriksa kualitas shalat kita, maka kiranya perlu ditelaah beberapa hal penting dalam rangkaian praktik shalat kita sejak sebelum shalat, pada saat, hingga sesudah shalat kita laksanakan. Sebelum Shalat Beberapa hal yang harus mendapat perhatian sebelum kita shalat, antara lain:

pertanyaan, selama ini untuk apa shalat kita laksanakan. Posisi niat sangat penting. Niat merupakan pangkal perbuatan, dan segala amal perbuatan manusia dinilai dari niatnya: “Innama ‘amalu binniyat”. Seharusnya niat kita hanya untuk dan karena Allah semata: “Sesungguhnya hanya kepada-Mu (Allah) kami menyembah” (QS. al-Fatihah [1]:4), karena kita ini memang diciptakan untuk mengabdi kepada Allah: “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyah [52]:56). “Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama”. (QS. al-Bayyinah [98]:5). “Katakanlah, jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan Allah pasti mengetahuinya. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Maha kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran [3]:29). “Katakanlah: Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-Anam [6]:162). Jadi, luruskanlah niat. 2. Sikap terhadap shalat. Hindarkanlah apa yang dicirikan sebagai ‘sifat orang munafik’ dalam menyikapi shalat. Perhatikan ayat berikut, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. an-Nisa [4]:142). “Dan mereka tidak melaksanakan shalat, kecuali dengan malas”. (QS.

yuk kita periksa diri kita adakah rasa malas ketika azan telah memanggil kita untuk shalat?

1. Niat. Evaluasilah dan luruskan niat kita dalam melaksanakan shalat dengan mengajukan

14

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


at-Taubah [9]:54). Dengan demikian, yuk kita periksa diri kita adakah rasa malas ketika azan telah memanggil kita untuk shalat? Cermati sikap kita dengan sering mengatakan, koq sudah azan dzuhur lagi, ya? Atau wah sudah azan ashar lagi, nih? Juga kebiasaan kita sering menunda-nunda shalat hingga melakukan shalat jelang akhir waktu. Bisa jadi hal di atas merupakan indikasi adanya sifat kemunafikan dalam diri kita, karena ada unsur malas memenuhi panggilan shalat. Naudzubillahi min dzalik. Sebagusnya, bersegeralah mengambil wudlu sebelum azan, lalu – bagi laki-laki – usahakan pergi ke masjid – dengan berbusana terbaik dan memakai wewangian/parfum). Laksanakan shalat tahiyatul masjid dan menunggu azan dikumandangkan serta mengikuti shalat berjamaah. Selesai azan, hendaknya diikuti shalat sunat qabliyah (shalat sunat rawatib sebelum shalat fardlu), yaitu khususnya untuk shalat dzuhur dan subuh (ada yang berpendapat juga pada shalat maghrib dan isya). Sikap di atas menunjukkan kesungguhan diri dalam memenuhi panggilan shalat. Mengenai hal ini Ibnu Mas’ud ra., menanyakan kepada Rasulullah saw., katanya, "Saya bertanya kepada Rasulullah, "Manakah amalan yang lebih utama?" Beliau menjawab: "Yaitu shalat tepat pada waktunya." Saya bertanya lagi, "Kemudian amalan apakah?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Saya bertanya pula, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab, "yaitu berjihad fi-sabilillah." (Muttafaq ‘alaih). Dan Allah telah menyerukan, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” . (QS. al-Jumuah [62]:9). Hal ini juga merupakan petunjuk untuk bersegera dalam melaksanakan shalat. 3. Bersuci. Badan, busana yang dipakai, dan tempat yang suci adalah prasyarat shalat. Karena

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

itu, kita upayakan untuk melaksanakan wudlu dengan sempurna, agar memenuhi syarat badan kita suci dari hadas besar maupun kecil. Secara umum cara berwudlu, termasuk tayamum (jika tidak ada air yang memadai), telah dipaparkan dengan gamblang di dalam Al-Qur’an, surah alMaidah [5]:6. Suci lahiriah dan batiniah merupakan persiapan yang paling baik sebelum melaksanakan shalat. Saat Shalat

Berbagai hal menghalangi orang untuk dapat mencapai kualitas shalat yang kokoh. Termasuk kita. Oleh karena itu marilah kita periksa, bagaimanakah adab kita saat melaksanakan shalat yang mengandung makna kita berhadapan langsung dengan Allah Swt. dan memanjatkan serangkaian do’a. Perhatikan beberapa aspek penting saat kita shalat berikut ini: 1. Khusyuk. Khusyuk menurut istilah syara’ yang mengandung arti keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah hati). Pengaruh khusyuk dalam hati ini akan menjadi penghulu anggota tubuh lainnya untuk bisa bersikap khusuk. Dan suatu pencapaian dalam shalat ini memang cukup berat namun hal itu merupakan satu kondisi yang harus kita dapatkan. Di dalam Qu’ran Allah berpesan, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”. (QS. al-Baqarah [2]:45). “Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha. Dan berdirilah (kalian semua) karena Allah (dalam shalat) dengan khusyuk ” (QS. al-Baqarah [2]:238). Serta, ‘’Orang yang khusyuk dalam shalatnya akan memperoleh kemenangan’’ (QS, al -Mukminun [23]:2). 2. Tumaninah. Tidak sedikit orang mengerjakan shalat dengan terburu-buru. Misalnya, dahinya belum sempat menyentuh lantai (ketika sujud) sudah bangkit lagi. Orang yang shalatnya tidak tumaninah termasuk yang lalai dalam shalat (QS. al-Ma’un [107]:5) sehingga

15


termasuk golongan orang yang shalat tetapi celaka (QS. al-Ma’un [107]:4). Padahal kita diminta untuk senantiasa merujuk kepada shalat Nabi yang tumaninah. “Shalatlah kalian sesuai dengan apa yang kalian lihat aku mempraktikkannya’’. (HR. Bukhari dan Muslim). “Kemudian rukuklah dan tumaninahlah ketika rukuk”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, orang yang shalat dengan tumaninah sesungguhnya termasuk mereka yang menjaga shalatnya (dilakukan dengan baik). Dan Allah telah menyampaikan, ‘’Bagi mereka dijanjikan akan memperoleh kemenangan/keberuntungan’’ (QS. al-Mu’minun [23]:9 dan al-Ma’arij [70]:34). Sesudah Shalat Akhir dari shalat adalah mengucapkan salam, ditandai dengan ucapan assalaamu ‘alaikum seraya menengokkan muka ke kanan dan disusul ke kiri sesudah tasyahud akhir. Usai salam, hendaknya kita jangan terburu-buru pula, langsung bangkit meninggalkan tempat shalat. Namun cobalah untuk menghentikan ketergesaan dan berdiam diri sejenak untuk: 1. Bertasbih dan berdo’a. Setelah mengerjakan shalat fardlu merupakan salah satu waktu terbaik untuk berdo’a. Jika selesai shalat tetapi kita masih tetap duduk, untuk berdzikir dan berdo’a, maka aktivitas kita itu dianggap “masih shalat”. Coba perhatikan hadits berikut: "Dan malaikat itu mendo’akan kepada seseorang di antara kalian semua supaya mendapatkan rahmat, selama orang itu masih ada di dalam tempat shalatnya yang ia shalat di situ, juga selama ia belum berhadas. Malaikat itu mengucapkan: ‘Ya Allah, ampunilah orang itu, ya Allah, belas kasihanilah ia." (HR. Bukhari). Juga Qur’an mengisyaratkan, “Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat”. (QS. Qaf [50]:40). 3. Shalat badiyah (shalat sunat rawatib selesai shalat fardlu) setelah berdo’a. Shalat fardlu yang disertai shalat badiyah adalah Dzuhur, Maghrib dan Isya. Insya Allah, ketika shalat ditunaikan dengan sebaik-baiknya (sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.) pengaruh atau dampak positif bagi kita dalam pelaksanaan aktivitas di luar shalat akan terlihat dan terasakan. Maka tidak mengherankan apabila seseorang yang mampu memelihara shalatnya semenjak persiapan hingga pelaksanaan dan sesudahnya mampu mencegah orang tersebut dari berbuat fahsya wal mungkar. Nah untuk itu, kita diharapkan mampu memelihara sikap konsisten dan terus bersabar dalam menegakkan shalat dengan mempertahankan kualitasnya. Penutup Shalat wajib 5 waktu disyariatkan di saat Nabi Muhammad saw. mengalami peristiwa isra’ mi’raj, yang terjadi pada amul huzni (tahun duka cita) - setelah Siti Khadijah dan Abu Thalib meninggal. Dalam banyak riwayat, Rasul saw. menerima perintah shalat di kala itu, merupakan satu tasliyah (pelipur lara) yang luar biasa dalam menjalani penggalan hidup yang berat. Tentunya bagi kita, dengan bercermin pada kondisi Rasul tersebut, shalat yang merupakan oleh-oleh isra' mi'raj – kiranya mampu menjadi tasliyah dari segala beban hidup, beban dakwah, dan beratnya upaya melawan hawa nafsu yang sering menyesatkan. Shalat yang kita tegakkan dengan sempurna, selayaknya akan menjadi penyejuk dan rehat bagi jiwa dan raga kita di tengah berbagai aktivitas keseharian yang tiada hentinya. [JS]

16

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Hadits

Melatih Sabar dan Syukur Melalui Shalat

Foto: @Rian Afriadi

“Sungguh unik urusan orang yang beriman itu. Semua urusannya baik baginya. Hal itu hanya dimiliki oleh orang yang beriman. Jika dia memperoleh kegembiraan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ditimpa kesulitan, dia bersabar, dan itu baik baginya�. (HR. Muslim).

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

17


Hadits ini mengangkat sebuah relasi, bahwa sifat syukur dan sabar harus menjadi akhlak, dan perhiasan setiap mukmin. Sebagaimana iman, yang kadang naik dan kadang turun, kehidupan pun tidak datar dan selalu mulus. Karena itulah, pandangan Islam memberikan panduan bahwa kehidupan ini musti dijalani dengan sikap penuh syukur dan sabar. Bersabar ketika cobaan mendera, musibah menimpa, sehingga kita terhindar dari rasa frustasi. Bersyukur, manakala sukses dan kegembiraan menghampiri. Sadar bahwa di balik sukses tersebut ada campur tangan Allah, sehingga kita tak tersungkur dalam sikap takabur. Syukur dan sabar menjadi semacam tali kendali bagi seorang mukmin dalam perjalanan menapaki dan memaknai hidup. Sabar dan Shalat Dua ciri mukminin, yaitu sikap sabar dan syukur, yang senantiasa bergandengan ini dibahas luas dalam pengajaran keutamaan akhlak. Tapi tahukah kita mengapa mesti bersabar?

(QS. al-Baqarah [2]:155). Jangan pernah lupa, ujian yang dihampirkan Allah kepada kita tidak melulu dalam bentuk kesedihan, kesengsaraan dan kekurangan lainnya. Jika hal demikian yang dialami pada umumnya manusia bisa “lolos” dari batu ujian. Namun, ‘ujian’ di sisi lainnya, yakni dalam bentuk keberhasilan dan nikmat adalah salah satu ‘kerikil ujian’ yang seringkali justru menyebabkan kita tergelincir. Untuk itulah, kita memerlukan kebersyukuran, manakala memperoleh nikmat dan karunia dari Allah Swt.. Rasulullah saw., suri teladan kita, adalah insan yang paling kerap dan deras mengalami pelbagai ujian. Ujian beliau paling lengkap baik sebagai Nabi dan Rasul dalam kerangka mendakwahkan Islam, maupun sebagai suami, ayah, dan pemimpin di masyarakat. Namun dengan ijin Allah, semua ujian itu dapat beliau atasi khususnya berkat praktik kesabaran yang luar biasa yang beliau miliki. Kesabaran yang hampir tiada batasnya. “Hai orang-orang yang beriman! Bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu...” (QS. Ali Imran [3]:200).

Kita tahu, hidup dan kehidupan ini penuh cobaan. Tidak mudah menjalaninya dan tentu, tidak selalu mulus. Yang demikian itu sesuai sunnatullah: “Cobaan tidak hentihentinya ditimpakan kepada orang Kelapangan hati, sebagaimana beriman, baik laki-laki maupun ciri orang yang sabar telah perempuan, terhadap diri, anak dan dituliskan dengan tinta emas hartanya, hingga ia bertemu Allah dalam shirah tanpa membawa dosa sedikit pun” (HR. Tirmidzi). “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orangorang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan Kami akan uji perihal kamu”. (QS. Muhammad [47]:31). “Sungguh, Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.

18

Kelapangan hati, sebagaimana ciri orang yang sabar telah dituliskan dengan tinta emas dalam shirah yang kita baca bersama. Rasul pun mengajak kita untuk - dalam kehidupan seharihari - mampu meneladani sikap beliau yang penuh kasih, lapang dada, kata-katanya lembut menyejukkan hati. Cercaan dan makian selalu dihadapi dengan senyuman, pemakluman dan kemudian ajakan kepada kebajikan. Kesabaran

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


yang tiada banding inilah kiranya yang menjadi teladan sekaligus menjadi inspirasi para penakluk benua yang santun hingga jutaan manusia yang mulanya memusuhi Islam secara sukarela bergabung dalam naungan Islam disebabkan oleh demonstrasi kebagusan akhlak kaum muslimin. “..Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (QS. az-Zumar [39]:10).

senantiasa melatih sikap dan sifat sabar, yang memang susah mendapatkannya. Sebaliknya, shalat yang dikerjakan dengan sepenuh-penuhnya penghayatan, dilaksanakan dengan sebaikbaiknya sesuai tuntunan Rasulullah, memastikan latihan ini betul-betul berbuah kesabaran.

Kita ketahui, melatih diri memiliki hati yang terbuka, bersikap sabar, bukanlah perkara yang ringan. Namun, demi keutamaan, tidak ada kata Dalam sejumlah ayat Qur’an, kata sabar dan terlambat untuk melatih diri menjadi orang sabar shalat ini kerap beriringan. Tampak penting disini melalui shalat yang kita jaga dan tegakkan. Dan di kita melihat korelasi yang nyata antara keduanya. setiap waktu kita menghadap Allah dengan Mari simak beberapa ayat berikut, “Dan mintalah segenap kesabaran, kita bermohon, semoga kita pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang shalat”. (QS. al-Baqarah [2]:45). “Hai orang-orang dikarunia kesabaran yang akan menolong hidup yang beriman! jadikanlah sabar dan shalat sebagai kita. “Barangsiapa yang berlatih untuk bersabar, penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orangniscaya Allah memberikan kesabaran kepadanya. orang yang sabar”. (QS. al-Baqarah [2]:153). Dan, tidak ada nikmat yang lebih baik dan lebih luas, yang diberikan kepada seseorang selain Dari kedua ayat Al-Qur’an di atas terlihat dengan kesabaran” (HR. Muttafaq ‘alaih). jelas bahwa hubungan sabar dan shalat sangat erat dan setara. Keduanya berfungsi sebagai Syukur dan Shalat penolong. Kesetaraan keduanya terlihat pada Perhatikanlah, sesungguhnya tidak ada alasan makna ayat Al-Qur’an di atas, adalah penggalan bagi seorang mukmin untuk tidak bersyukur atas kata ‘’sabar dan shalat’’, dan bukannya, ‘’ sabar atau shalat’’. Karena kesetaraan itulah keduanya saling mengikat, dan saling menentukan satu dan tidak ada alasan bagi lainnya. Perhatikan dalam praktik shalat, kebanyakan kita dituntut untuk bersabar untuk istiqamah dalam mengerjakan shalat. Tidak terbayangkan bagaimana kita tetap harus bersabar menahan dingin dan kantuk ketika panggilan shalat malam dan subuh menjelang. Kita sabar berpanaspanasan ketika menuju masjid untuk shalat dzuhur, apalagi di wilayah-wilayah dengan suhu udara ekstrim. Shalat bagi si sakit lebih berat lagi. Betapa Allah masih tetap meminta kesetiaan kita untuk tetap tegakkan shalat, tatkala berbagai kendala fisik atau sakit menghampiri kita. Semua pelaksanaan shalat bagi seseorang di kondisi khusus, perjalanan atau uzur karena sakit, rupanya menjadi jembatan bagi kita untuk

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

seorang mukmin untuk tidak bersyukur atas segala karunia yang ada

segala karunia yang ada. Begitu banyak nikmat yang telah dan akan diberikan oleh Allah kepada kita. Coba kita perhatikan alam makro dan mikro kosmos (diri) yang melingkupi kita. Untuk menjadi sehat dan mengindera dengan baik dunia, Allah telah memberikan perangkat hidup yang luar biasa kemampuannya. Tengoklah jantung kita yang sehat, kemampuannya memompa darah ke seluruh tubuh tanpa henti 24 jam sehari. Liver dan ginjal yang berfungsi menyaring racun dalam

19


tubuh, limpa yang memproduksi insulin, belum lagi fungsi-fungsi organ renik lainnya yang bersinergi menjaga tubuh kita berfungsi dengan baik tanpa kita sadari. Coba bayangkan berapa nilai tukarnya untuk transplantasi liver, mengembalikan fungsi jantung karena penyumbatan, cuci darah bila kita diketahui gagal ginjal? Di jagad raya dan perut bumi, gugusan tata-surya yang indah membentuk tatanan yang rapi dan tampak elok. Perut bumi dan lautan tempat bergantung, yang menghidupi jutaan manusia.

mengingkari segala nikmat yang tercurah kepada kita. Maka, melengkapi hal itu, Allah berpesan dalam QS. Ibrahim, ketika kita bersyukur atas segala nikmat, Ia akan menambah limpahan nikmat bagi hamba-Nya. “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan (nikmat) kepadamu, tetapi jika kalian mengingkarinya maka pasti azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim [14]:7). Maka, sekali lagi pantaskah kita dustakan, pantaskah kita ingkari segenap nikmat yang tercurah itu? Salah satu cara kita mensyukuri nikmat Allah itu adalah dengan menegakkan shalat. Shalat adalah salah satu bukti bahwa seorang mukmin bersyukur. Itulah yang dilakukan dan dituntunkan Rasulullah saw. kepada kita. Allah Swt. berfirman, “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad)

Begitu banyaknya nikmat itu, hingga kita tak kuasa menghitungnya. “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim [14]:34). Sebagaimana pula disebut dalam QS. al-Kahfi [18]:109, bahwa begitu luasnya nikmat Allah, hingga Nabi tak pernah absen dalam bila saja lautan yang ada menegakkan shalat tahajud, sebagai sekarang – dan ditambah sebanyak itu lagi – dijadikan tanda rasa syukur yang melimpah tinta, untuk menuliskan nikmat (kalimat) Allah, niscaya ia tak akan kuasa menuliskan kelimpahan nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat nikmat itu. karena Tuhanmu, dan berkurbanlah” (QS. alSurat ar-Rahman (surat ke-55 dalam Al-Qur’an) Kautsar [108]:1-2). adalah surat yang mengungkap lebih utuh soal Kebersyukuran ini telah diteladankan oleh nikmat Allah ini. Surat yang terdiri atas 78 ayat, Baginda Rasul saw., sebagaimana yang diungkap diawali dengan kata Ar-Rahman (salah satu dalam shirah nabawiyah. Pada penghujung asma’ul husna) lalu Allah menyebutkan sejumlah malam, Nabi tak pernah absen dalam nikmat-Nya kepada manusia. Setelah menegakkan shalat tahajud, sebagai tanda rasa mengungkap nikmat tersebut (dalam beberapa syukur yang melimpah. Malam yang gelap, ayat) Allah kemudian melemparkan pertanyaan menunaikan shalat hingga kaki beliau retoris: fabiayyi aalaa’i rabbikumaa tukazzibaan. membengkak. Dilaksanakan rutin semenjak Pertanyaan itu disebutkan sebanyak 31 kali. turunnya surat al-Muzzammil hingga beliau wafat. Artinya hampir separuh surat ar-Rahman berisi Sungguh rasa kebersyukuran yang indah. pertanyaan berulang: “maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad, disebutkan bahwa Inilah makna mendalam yang dihidangkan kepada suatu ketika setelah menunaikan shalat malam sekalian mukminin bahwa sudah semestinya, bila yang panjang sehingga kaki Rasulullah bengkak; kita mau menyadari sejenak, tiada patut kita

20

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Bunda Aisyah menanyakan kepada Baginda Rasul, mengapa duhai Rasul, shalat dan pengorbanan yang begitu besar tetap kau tunaikan, sementara dosa dan kesalahanmu telah diampuni Allah kini dan nanti, serta Allah jaminkan kehidupan yang mulia bagi Baginda. Dengan nada lembut, Nabi terkasih itu menjawab sapaan Aisyah, “Duhai, tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur, ‘abdan syakuran?”.

Pada yang demikian ini, tampaklah tamsil yang indah di tengah zaman yang menawarkan segala rupa ketergesaan. Manusia, diciptakan Allah sebagaimana firman-Nya,”Sungguh, manusia itu diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia menjadi kikir. Kecuali orang-orang yang (mendirikan) shalat. Yaitu orang-orang yang tetap setia melaksanakan (menjaga) shalatnya”. (QS. alMa’arij [70]:19-23). Dan perbedaan itu tampaklah, hanya manusia yang tetap menegakkan shalat, maka ia dinamai Allah dengan kekecualian, suatu kondisi yang istimewa. Oleh sebab itu terdapat korelasi unik antara syukur, sabar dan shalat. Syukur dengan shalat bersifat reversibel, timbal balik. Rasa syukur (atas nikmat dan karunia Allah) dapat dikonversikan dalam wujud menjaga dan menegakkan shalat. Sementara tetap tegaknya shalat, telah mendidik seorang mukmin untuk pandai bersyukur. Orang yang pandai bersyukur niscaya selalu menjaga dan menegakkan shalat. Sedangkan orang yang menegakkan shalat, mencerminkan insan yang pandai bersyukur. Tentu saja, shalat yang dikerjakan dengan segenap kualitas unggul dan dijaga kebagusannya oleh seorang mukmin akan membentuk karakter unggul yang sangat diperlukan di zaman kita yakni sabar dan syukur sebagai benteng kehidupan. [JS]

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

Orang yang pandai bersyukur niscaya selalu menjaga dan menegakkan shalat

21


Tasawuf

Menimbang Hak dan Kewajiban Warga Negeri Menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, suasana Pondok yang dikelola Guru Bijak Bestari (GB) pun terasa semarak dengan perbincangan di seputar permasalahan yang sangat menentukan arah perpolitikan negara dan bangsa ini. Hal ini memang seiring Foto: @Dan Ballard dengan pola pengajaran yang digariskan Guru Bijak Bestari. Guru menekankan pada setiap santri bahwa hidup menjadi warga negara tidak boleh hanya sekadar menjadi peserta. Sebaliknya, Guru berpesan agar dalam diri para santri tumbuh karakter bela-negara yang kuat, sebagai wujud rasa syukur bahwa kita semua telah Allah anugerahi negara yang indah dengan kekayaan alam yang melimpah, serta kebhinekaan suku sebagai ciptaan-Nya. Suatu hari dalam perbincangan seputar kepemimpinan, seorang santri bertanya, S1: Tuan Guru, sebetulnya wajarkah sikap kita yang selalu menuntut kriteria tinggi kepada pemimpin negara dan bangsa ini? GB: Sebuah pertanyaan yang sangat bagus, dan pertanyaan ini menunjukkan bahwa kalian santrisantri Pondok ini peduli dengan kondisi negara dan bangsa kita. Begini anak-anakku, sebagai seorang Muslim, memang seyogyanya kita selalu seimbang dalam memandang persoalan kepemimpinan, karena kepemimpinan meliputi hal yang luas terkait pemimpin dan yang dipimpinnya. Sebagai anggota atau warga negara, wajar kalau kita menuntut dipimpin oleh seorang pemimpin dengan kriteria setinggi-tingginya. Sebab dengan kualitas kepemimpinan yang tinggi pula, kita warga negara ini akan merasa tenang dan terayomi di bawah kepemimpinannya. Tetapi, akan lebih bijak lagi, jika tuntutan tersebut kita utarakan setelah kewajiban-kewajiban kita sebagai warga negara kita tunaikan dengan baik terlebih dahulu. S2: Apakah kewajiban-kewajiban seorang Muslim yang menjadi warga suatu negeri itu, Guru?

22

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


GB: Anak-anakku semua, kewajiban rakyat Muslim di negara yang kita cintai dan sedang membangun ini, di antaranya adalah .. Pertama, beriman bahwa siapapun yang memimpin negara dan bangsa ini, hanya bisa menjalankan kekuasaannya hanya dan hanya jika Allah Swt. mengizinkan. Kedua, meyakini bahwa negara dan segala aset yang kita miliki sesungguhnya hanyalah titipan dan amanah dari Allah yang harus kita pertanggung-jawabkan ke Allah baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ketiga, lebih mengutamakan penunaian kewajiban atas dasar keyakinan keimanan di atas dalam mengupayakan negara ini mencapai adil dan makmur yang Allah Swt. ridhai. Keempat, selalu waspada terhadap hal-hal yang akan membuat Allah murka terhadap negara dan bangsa ini. Kelima, dalam mengupayakan hal tersebut, selalu jadikan Al-Qur’an, As-Sunnah serta ajaran Ulama yang benar-benar mencontoh akhlak dan ilmu Rasulullah saw. serta hamba-hamba yang Allah ridhai, sebagai pedoman utama dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Keenam, berperan serta secara aktif pada kegiatan-kegiatan yang menuju pada tercapainya tujuan negara. Ketujuh, bila terjadi krisis pada negara, akan bersikap proaktif untuk mencari solusi yang terbaik dalam norma Al-Qur’an, karena meyakini bahwa norma Al-Qur’an adalah memberikan kebaikan yang berlaku universal (rahmatan lil aalamiin). Kedelapan, mentaati hukum dan peraturan serta perundangan yang telah ditetapkan oleh Lembaga Tinggi Negara.

"rahmatan lil aalamiin", kita juga menghormati dan menghargai keyakinan warga yang beragama selain Islam, kecuali bila pada kondisi tertentu, pengikut agama non-Islam melakukan tindakan-tindakan yang memusuhi atau menghalangi syiar Islam. S3: Jadi menurut Guru, sebaiknya kita berupaya menunaikan kewajiban kita terlebih dulu, baru setelah itu kita menuntut kewajiban serta kriteria bagi para pemimpin kita?

GB: Benar anakku, karena hal itu akan membangun kewaspadaan kita terhadap tipu daya pada hawa nafsu kita dan hal-hal yang kurang baik yang potensinya juga ada pada diri kita masing-masing. Dengan berfokus pada penunaian kewajiban yang didasari oleh kesadaran kita yang memiliki ilmu, potensi baik dalam diri kita akan menguat dan meredam potensi tidak baik tersebut. Nah, bila kita membiasakan seperti itu, berarti kita sudah menyumbangkan minimal seorang warga negara yang baik kepada negara dan bangsa kita, mulia bukan? S1: Benar Guru, berarti perbuatan bela-negara itu bisa kita mulai dari diri kita sendiri dulu ya Guru? GB: Benar anak-anakku, wah nampaknya kalian sudah memahami apa yang saya uraikan tadi ya? Santri-santri: In sya Allah Guru...!!! Alhamdulillah dan terima kasih atas ilmu yang Guru berikan kepada kami.. GB: Alhamdulillah... Kalau begitu, sekarang mari kita lanjutkan pekerjaan sehari-hari kita merawat kebersihan dan keindahan pondok tercinta kita ini. Demikianlah bentuk keseharian di Pondok Guru Bijak Bestari, kegiatan menuntut ilmu yang langsung disertai dangan upaya mengamalkannya pun berlangsung. [TBH]

Terakhir, meskipun kita meyakini agama Islam sebagai kebenaran, tetapi karena prinsip

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

23


Muamalah

Wajah Ukhrawi, Cermin Perbuatan Manusia Bila sebagian besar kita kini terpikat pada berbagai wujud duniawiah, dan kemudian matimatian menempuh dan berusaha memilikinya. Sebuah pesan terkabarkan untuk kaum muslimin, agar hendaknya menimbang bagaimana ‘wujud’ ukhrawi kita. Sebuah cermin bagi muslim untuk mempertimbangkan kebagusan amaliah dipandang dari sudut ukhrawi.

Jika begitu, sebenarnya, seperti apa ’wajah asli’ kita sebenarnya? Maksud pertanyaan ini adalah, bagaimanakah kiranya ‘wajah’ atau wujud batiniah kita, wajah ukhrawi kita? Seperti apakah ia? Melihat berbagai perilaku manusia yang saat ini berpola tindak sampai melebihi batas-batas kemanusiaan, wajarlah bila kita sering mendengar, bahwa kemanusiaan kita sesungguhnya sudah berubah menjadi berbagai bentuk laiknya hewan. Manusia, bagai serigala bagi yang lain, ada pula yang sudah tidak mengacuhkan aturan apalagi adab, yang bila dipikirkan secara mendalam tak lebih dari perilaku hewaniah. Kita, tentu saja dengan menggunakan indera biasa saat ini – kecuali dengan ijin Allah, tidak akan mampu melihat dan memastikan profil spiritual kita seperti apa. Walaupun di banyak kesempatan

24

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Allah Swt. senantiasa mengingatkan kita akan berbagai perumpamaan dan metafora mengenai kehidupan akhirat dan profil atau bentuk ‘asli’ wajah ukhrawi kita tersebut. Sebagaimana Allah tegaskan, apabila kita sudah meninggalkan dunia ini, amal-amal ibadah dan wujud perilaku ‘asli’ kita di dunia itulah yang akan tampak. Maka Allah sampaikan, pada saat itu, banyak mata akan terbelalak memandang diri dalam wujud sebenarnya, sebagai buah prilaku kita di dunia. Allah berfirman, “Maka Kami singkapkan tirai yang menutup matamu dan tiba-tiba matamu hari ini menjadi amat tajam.” (QS. Qaf [50] : 22) Melengkapi hal ini, Rasulullah saw. memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang kemudian dibahas dalam kitab Tafsir Majma AlBayan 10 : 43 yang mengisahkan wujud ‘asli’ manusia pada hari kemudian.

Dikisahkan, pada suatu hari Muadz bin Jabal duduk di dekat Nabi saw. di rumah Ayub AlAnshari. Muadz bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ayat: Pada hari ditiupkan sangkakala dan kalian datang dalam bergolong-golongan?” (QS An-Naba [78] : 18) Beliau menjawab, “Hai Muadz, kamu bertanya tentang sesuatu yang berat”. Beliau memandang jauh seraya berkata, “Umatku akan dibangkitkan menjadi sepuluh golongan. Tuhan memilah mereka dari kaum muslimin dan mengubah bentuk mereka. Sebagian berbentuk monyet, sebagian lagi berbentuk babi, sebagian lagi berjalan terbalik dengan kaki di atas dan muka di bawah lalu diseret-seret, sebagian lagi buta merayap-rayap, sebagian lagi tuli bisu tidak berpikir, sebagian lagi menjulurkan lidahnya yang mengeluarkan cairan menjijikkan semua orang, sebagian lagi mempunyai kaki dan tangan yang terpotong, sebagian lagi disalibkan pada tonggak-tonggak api, sebagian lagi punya bau yang lebih menyengat dari

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

bangkai, sebagian lagi memakai jubah ketat yang mengoyak-ngoyakkan kulitnya.” “Adapun orang yang berbentuk monyet adalah para penyebar fitnah yang memecah belah masyarakat. Yang berbentuk babi adalah pemakan harta haram. Yang kepalanya terbalik adalah pemakan riba. Yang buta adalah penguasa yang zalim. Yang buta dan tuli adalah orang yang takjub dengan amalnya sendiri.

Yang menjulurkan lidahnya dengan sangat menjijikkan adalah para ulama atau hakim yang perbuatannya bertentangan dengan omongannya. Yang dipotong kaki dan tangannya adalah orang yang menyakiti tetangga. Yang disalibkan ke tonggak api adalah para pembisik penguasa yang menjelekkan manusia yang lain. Yang baunya lebih menyengat dari bangkai adalah orang yang pekerjaannya hanya mengejar-ngejar kesenangan jasmaniah dan tidak membayarkan hak Allah dalam hartanya. Yang dicekik oleh pakaiannya sendiri adalah orang yang sombong dan takabur.” Hikmah Pelajaran apa yang bisa kita petik dari hadits yang disampaikan Baginda Rasulullah saw. mengenai ‘wajah’ ukhrawi kita tersebut di saat kita kini tengah disibukkan dengan berbagai pertimbangan yang duniawiah saat ini? Jelas sekali, berdasarkan hadist di atas yang melengkapi keberadaan ayat-ayat Al-Qur’an yang jumlahnya cukup banyak mengenai hal ini, adalah sebuah pengingat bagi kita semua. Bahwa yang akan menentukan bentuk ukhrawi dari diri kita adalah amal perbuatan kita selama di di dunia ini. Amal-amal kita, yang baik atau yang buruk, kelak semua akan mewujud dan membentuk tubuh ukhrawi (wujud batiniah) kita. Wajah ukhrawi kita adalah cermin perbuatan.

25


Cobalah renungkan. Bila selama di dunia kita menjadi makhluk yang senantiasa mengedepankan sifat-sifat ‘kebinatangan’ kita yakni menuruti hawa nafsu yang cenderung kepada perbuatan yang menipu, tamak, zalim – sesungguhnya, nilai-nilai kemanusiaan unggul kita telah hilang dan digantikan sifat-sifat kebinatangan yang menghiasi kehidupan. Pada praktik kehidupan akhir-akhir ini pun hal itu tentu mampu kita rasakan dan bahkan sering kita lihat. Kita saksikan bahwa di tengah kita kini, banyak tokoh, pejabat, pemimpin di semua tingkatan memraktikkan berbagai kecenderungan prilaku buruk seperti korupsi, sogok, akal-akalan, menindas, tamak, semakin tidak peduli dan semakin tidak memiliki rasa malu. Coba kita permisalkan hal ini dalam kehidupan kita, bila rasa risi, malu sudah tiada, makhluk apakah itu? Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk senantiasa peka dan memiliki kehati-hatian dalam berperilaku dan bertindak/ beramaliah. Karena jelas, apa yang kita lakukan menjadi cermin jati diri kita secara batiniah. Di dalam ilmu tasawuf, mewujudnya jati diri kita dengan amal itu disebut sebagai tajassum ‘amal. Perwujudan amal atau tajassum al-‘amal ini muncul dalam tiga bentuk. Pertama, amal-amal kita akan membentuk jati diri kita. Amal-amal buruk akan membentuk perangai buruk, sebaliknya bila melakukan perbuatan baik akan membentuk perilaku baik. Bila kita melakukan perbuatan buruk, dengan semua derajatnya, maka perbuatan kita itu perlahan akan mengubah kita menjadi manusia yang berjatidiri hewaniah. Diri kita secara batiniah adalah perwujudan amal dalam bentuk yang pertama.

Kedua, amal perbuatan kita akan diciptakan Tuhan dalam wujud makhluk yang akan menyertai kita di dalam kehidupan sesudah

26

mati. Amal shalih akan menjadi makhluk yang indah dan harum. Kehadirannya saja sudah membuat kita bahagia. Amal buruk kita akan menjadi monster yang menakutkan dan berbau busuk. Kehadirannya saja sudah membuat kita ketakutan. Kelak, kita semua akan disambut di pintu kubur nanti oleh dua jenis makhluk ini. Mereka akan berebutan mendampingi kita. Bila makhluk yang buruk yang lebih banyak, merekalah yang menyertai kita dan mengusir makhluk-makhluk indah dari dekat kita. Sebaliknya, bila makhluk yang baik yang lebih kuat, merekalah yang akan membela kita dalam mengusir makhluk-makhluk buruk dari sekitar kita. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya kebaikan akan mengusir keburukan.” (QS. Hud [11] : 114). Dalam ayat lainnya, “Dan mereka dapatkan apa yang mereka lakukan hadir di depan mereka.” (QS. Al-Kahf [18] : 49) “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran [3] : 30) Dalam ayat 12 surat al-Hujurat, mengenai larangan Al-Qur’an untuk tidak melakukan ghibah, bergujing dan mencari-cari kesalahan orang lain, juga digambarkan sebagai sesuatu yang harus sangat dijauhi, “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?.” (QS. al-Hujurat [49] : 12) Mengenai hal ini Allah juga menetapkan, “Barangsiapa melakukaan kebaikan walaupun sebesar zarah dia akan melihatnya. Barangsiapa melakukan keburukan walaupun sebesar zarah dia juga akan melihatnya.” (QS. Al-Zalzalah [99]

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


ayat 7-8) Ketiga, amal-amal yang kita lakukan akan berwujud dalam bentuk dampak atau akibat. Amal baik akan muncul dalam akibat-akibat yang baik, dan sebaliknya. Pertama-tama, dampak amal itu akan mengenai kita yang melakukannya. Kalau kita hayati keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa amal adalah benih yang kita tanam. Apa yang kita tuai sangat bergantung pada apa yang kita tanam. Kita akan menuai permusuhan jika yang kita tanam kebencian. Kita akan memanen cinta, jika yang kita semai adalah kasih sayang. Perhatikan bahwa alam semesta ini bergerak dalam satu kesatuan wujud. Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari makhluk dan sunnatullah-Nya. Bersama-sama dengan makhluk-makhluk lainnya kita adalah anggotaanggota dari satu badan alam semesta. Maka jika kita melukai salah satu di antara mereka, maka itu berarti kita sejatinya telah melukai diri kita sendiri. Karena itu, Al-Qur’an menyebut perbuatan dosa sebagai suatu perbuatan menganiaya diri kita sendiri. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak mengasihi kami tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf [7] : 23) Berulang-kali Al-Quran menegaskan perwujudan amal dalam bentuk akibat amal. “Telah muncul kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Tuhan membuat mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka lakukan, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum [30] : 41) “Maka mereka ditimpa oleh akibat kejahatan perbuatan mereka dan mereka diliputi oleh azab yang mereka perolok-olokan itu.” (QS. Al-Nahl [16] : 34).

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

Lebih dari itu, Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa akibat amal itu bukan hanya akan menimpa pelakunya tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah. Mereka yang terdampak itu tanpa kita sadari mungkin adalah anak-anak kita, keluarga, lingkungan, masyarakat, dan juga bangsa yang luas: Sebab itu, kehati-hatian dalam beramaliah dituntut dari seorang muslim, karena semua mengandung pertanggungjawaban dan dampak. Terkadang Allah mengingatkan kita melalui ungkapan yang keras dan berat seperti ayat berikut: “Dan Allah membuat perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman tenteram dan rezekinya datang berlimpah dari segala penjuru. Lalu penduduk negeri itu kafir kepada anugerah Allah. Maka Allah membuat mereka merasakan pakaian kelaparan dan kehausan karena apa-apa yang sudah mereka lakukan.” (QS. Al-Nahl [16] : 112); Oleh karena itu, marilah kita bersama dan terusmenerus memperbanyak amal shaleh kita selama hayat di kandung badan. Kita harus mengingat bahwa saat ini kita tengah menghias tubuh batin kita dengan sebaik-baiknya. Sebagai orang beriman yang percaya akan hari kebangkitan, kita selayaknya terus berupaya beramal sebagus-bagusnya seraya menghindari suatu kelalaian yang menyebabkan kita jatuh pada situasi amaliah yang tidak kita sadari, berperilaku bak hewan, sekalipun orang melihat kita tetap berujud manusia. *** [NI, diadaptasi dari buku, ”Makna Kematian Menuju Kehidupan Abadi”, karya KH Muhammad Sholikhin, penerbit Quanta, 2012]

27


Akhlak

Foto: @Muktasyaf Annamir

Taubat mengandung makna kembali taat kepada Allah dan menyesal dengan bersungguh-sungguh terhadap dosa yang telah kita lakukan baik dosa besar maupun dosa kecil serta memohon ampunan dari Allah Swt..

Taubat, Pemupuk Harapan Sungguh, ajaran agama mana pun selama sumber utama ajarannya adalah Allah Swt., selalu membuka harapan bagi pengikutnya yang pernah berbuat kesalahan dengan mengajarkan konsep Taubat. Hal ini memang selaras dengan sifat Allah yang Maha Pengampun serta Maha Penerima Taubat. Dia sangat menyukai hamba-Nya yang telah berbuat dosa/kesalahan untuk bersegera bertaubat.

"Dan terhadap dua orang yang melakukan kemunkaran di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa' [4] : 16)

28

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah Taubat adalah pembuka harapan. Manakala kita taubat bagi orang-orang yang berbuat kejahatan berbuat dosa atau kesalahan, beban berat terasa karena kebodohannya, yang kemudian mereka di pundak. Kita memerlukan terhapusnya beban bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang Allah terima taubatnya, dan Allah Kita memerlukan terhapusnya Maha Mengetahui lagi Maha beban dengan petunjuk Allah Swt. Bijaksana." (QS. An-Nisa' [4] : melalui permohonan atas ampunan17)

Nya "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu mohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa' [4] : 64) Rasulullah saw. bersabda,"Sesungguhnya Allah senantiasa membuka tangan-Nya pada malam hari agar orang-orang berbuat kesalahan pada siang hari mau bertaubat, dan juga membuka tangan-Nya pada siang hari agar mereka yang berbuat kesalahan pada malam hari mau bertaubat. Ini berlangsung terus hingga matahari terbit dari arah barat/sebagai tanda datangnya Kiamat." (HR. Muslim dari Abu Musa Al-Asy'ari) Hidup di zaman sekarang yang penuh dinamika ini, bila tidak kerap mawas-diri, rasanya mudah bagi kita semua untuk tergelincir berbuat kesalahan dan dosa. Namun dengan adanya konsep Taubat, seakan memberi harapan kembali kepada kita agar bisa kembali taat dan bertakwa kepada-Nya. Berapa Kali Hendaknya Taubat Kita? Sebaiknya setiap kali berbuat dosa dan kesalahan kita segera mohon ampun dan bertaubat. Jadi tergantung berapa kali kita berbuat dosa, sebanyak itu pula hendaknya kita bertaubat. Mengapa Kita Perlu Bertaubat?

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

dengan petunjuk Allah Swt. melalui permohonan atas ampunan-Nya. Kita laksanakan taubat kepada Allah, hingga Dia menerima taubat kita. Seraya menyesali kesalahan, kemudian kita laksanakan amal-amal kebajikan dan menghindari kesalahan serupa, maka Allah berjanji, setiap yang bertaubat akan diterima taubatnya. Sesudahnya Allah kemudian memberikan kesempatan kepada kita untuk berbuat amal shalih yang lebih baik dan bermanfaat. Dengan itu, hidup kita terasa lebih luas dan ringan. Allah sungguh menyukai kedatangan seorang hamba yang bertaubat usai melakukan kesalahan. Betapa mulianya, selain mengampuni, Allah kemudian memberikan petunjuk kepada hamba yang bertaubat, sesuai firman-Nya: "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap dalam jalan yang Aku tunjuki." (QS Thaa Haa [20] : 82) Nah, kini usai kita memahami keutamaan Taubat, marilah kita bersegera untuk memohon ampunan-Nya, bertaubat atas segala kesalahan baik yang besar maupun yang kecil agar hidup kita dipenuhi keberkahan dan petunjuk-Nya. Itulah hakikat harapan dari taubatan nashuha, taubat yang sesungguh-sungguhnya. [TBH, dari berbagai sumber]

29


Saintek

Bumi, Planet Berkehidupan Oleh: Dr. Moedji Raharto Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membangunkan kesadaran manusia sebagai makhluk cerdas, bahwa hidupnya berkembang di sebuah planet istimewa, planet Bumi. Planet Bumi mempunyai kedudukan istimewa di antara planet-planet lain dalam tata-surya.

30

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Planet Bumi merupakan planet padat yang terbesar dalam tata-surya, permukaan planet Bumi masih hidup dengan aktivitas lempeng tektoniknya, sehingga gempa, tsunami dan letusan gunung masih terus berlangsung. Permukaan Bumi dengan komposisi 29% daratan dan 71% lautan, air dalam bentuk fluida atau dalam bentuk cair (bukan gas dan beku) dapat berlangsung sangat lama hingga berjuta tahun. Dinamika angkasa Bumi sangat luar biasa, siklus penguapan air laut, gumpalan awan, badai, hujan dan salju membuat proses erosi dan proses pertumbuhan kehidupan pada permukaan Bumi terus berlangsung. Planet Bumi tidak hanya merupakan planet yang berkehidupan biasa, bahkan dihuni oleh kehidupan makhluk cerdas, manusia. Keberadaan air dalam bentuk fluida yang memerlukan kesetimbangan antara energi radiasi Matahari yang diterima planet Bumi (variasi jarak Bumi – Matahari dan variasi daya Matahari) dengan ukuran massa planet Bumi. Sebagai planet berkehidupan, planet Bumi mempunyai kondisi biosfer yang berbeda dengan lingkungan dekatnya dalam lingkup tata -surya. Bola-bola karang tetangga terdekat planet Bumi seperti Bulan, planet Mars, planet Venus merupakan tempat tak berkehidupan. Di tempat-tempat tersebut tidak terdapat lapisan udara yang pas (tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis) dan tidak ada air yang menyangga kehidupan. Kondisi ini membangunkan kesadaran manusia akan tidak adanya pilihan. Agar kehidupan di planet Bumi ini tetap nyaman dan bersinambung, pilihan kita adalah melestarikan lingkungan biosfer Bumi yang asri. Kini “rumah kita” telah dihuni sekitar 7 milyar manusia, sudah sewajarnya manusia perlu merenungkan sejenak tentang keadaan planet Bumi. Peringatan hari Bumi, setiap tanggal 22 April,

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

hendaknya bisa menjadi momentum untuk berbuat sesuatu bagi kenyamanan lingkungan “rumah kita”. Senantiasa bertukar pengalaman membangun kualitas lingkungan planet Bumi yang lebih baik. Manusia secara individu maupun kolektif sebagai suatu bangsa perlu membangkitkan rasa “kepemilikan planet Bumi sebagai rumah yang paling nyaman bagi kita semua”. Planet Bumi tempat kita dilahirkan, tempat kita dibesarkan, tempat kita belajar, tempat kita bermain, tempat kita tertawa, tempat kita menangis, tempat kita bersujud kepada Penguasa Alam Semesta, tempat kita bertarung atau berlaga dan juga tempat kuburan/makam kita. Rumah Tinggal Seperti layaknya sebuah rumah tinggal, manusia menghendaki rumah tinggal yang nyaman, apakah planet Bumi kita akan tetap nyaman seterusnya? Apakah Bumi masih mampu menyangga kebutuhan kenyamanan hidup kita semua? Bagaimana bersikap yang senantiasa menjaga agar planet Bumi sebagai “rumah” yang tetap nyaman bagi kehidupan kita semua?.

Bumi yang nyaman memerlukan sikap kasih sayang manusia terhadap Bumi Bumi yang nyaman memerlukan sikap kasih sayang manusia terhadap Bumi. Sikap kasih sayang manusia itu terekspresikan dalam sikap untuk tidak melakukan tindakan yang hanya “merusak dan mencemari” lingkungan planet

31


Bumi, tapi juga menumbuhkan sikap dan tindakan memelihara kenyamanan biosfer Bumi dan memperbaiki lingkungan biosfer planet Bumi yang rusak akibat ulah dan sikap “serakah” atau berlebihan, sikap semaunya mengumbar nafsu dalam eksploitasi dan sikap “salah kaprah” manusia, berbuat sesuatu yang merusak. Bagaimana memanfaatkan ruang untuk menambah tanaman yang bisa ditumbuhkan dan dipelihara dengan keterbatasan waktu dan tenaga yang kita punyai? Manusia perlu membangun sikap damai lahir batin, membina kehidupan rasionalitas dan spiritualitas dalam kesetimbangan. Membangun kesadaran bahwa kehidupan di planet Bumi merupakan anugerah Allah Swt. yang perlu disyukuri bersama. Lingkungan planet Bumi telah disiapkan untuk kehidupan manusia, berbagi peristiwa dahsyat, tabrakan batuan kecil dan besar membentuk planet Bumi, semula lingkungan planet Bumi tandus, panas tapi pada akhirnya menjadi lingkungan yang ramah bagi kehidupan setelah proses jutaan tahun. Dalam perspektif agama manusia tidak diberi kesempatan atau kekuasaan dalam pembuatan planet Bumi, ada pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta, Allah Swt.. ‘’Dan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Nya bahwa engkau melihat Bumi itu tandus, maka apabila Kami turunkan air kepadaNya, ia bergerak dan tumbuh. Sesungguhnya Dia yang menghidupkannya niscaya Dia dapat menghidupkan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’ (QS. Fushshilat [41] : 39) Walaupun manusia belum memperoleh cara bagaimana menghidupkan unsur yang mati. Pada hakekatnya kehidupan merupakan sesuatu yang universal, kehidupan dapat terbentuk dari “zat yang mati” yang tersebar di alam semesta. Kehidupan bisa dikeluarkan dari unsur yang mati dan unsur yang mati juga bisa dikeluarkan dari

32

yang hidup, merupakan sifat umum kehidupan di alam semesta. Kehidupan di planet Bumi dapat dikatakan mewakili hanya satu contoh sistem kehidupan di alam semesta. Satu kode genetik, satu set asam amino yang mempunyai konfigurasi khusus, dan satu aliran energi telah bertahan dari zaman Bumi masih primitif. Bumi masih dalam lingkungan yang kacau balau oleh hantaman asteroid. Untuk mengetahui potensi menyeluruh kehidupan di alam semesta dibutuhkan usaha eksplorasi di luar contoh khusus di planet Bumi dan terus mengembangkan prinsip-prinsip umum fisika dan kimia yang mempunyai peran penting untuk memunculkan/melahirkan sifat utama status kehidupan: auto-catalysis (pertumbuhan secara otomatis), self-organization (mengorganisasi sendiri), spatial containment of functions (menahan pertumbuhan bagian/organ yang berfungsi), reproduction (mereproduksi, menurunkan keturunan) dan evolusi (beradaptasi dengan lingkungan). Perhatikan tentang pertumbuhan kita sebagai manusia dari sejak pertemuan antara sperma dan

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Pada masa yang nyaman ini terdapat ragam benih kehidupan yang melahirkan generasi baru, misalnya padi-padian ditumbuhkan melalui mekanisme reproduksi bulir dan beberapa generasi baru pepohonan juga dari reproduksi biji maupun kultur jaringan.

Foto: @Spreng Ben

sel telur dalam rahim ibu yang berukuran relatif sangat kecil tumbuh menjadi seorang bayi, berbagai makanan telah diubah menjadi bentuk manusia, kemudian akan berhenti pada saat tertentu ketika usia dewasa dicapai, ukuran maksimum semua organ tubuh telinga, hidung, tangan, bulu mata dsb. Kemudian setelah dewasa manusia menikah dan menurunkan generasi berikutnya. Dengan berbagai kondisi baik dan buruk lingkungan di planet Bumi, manusia masih tetap bertahan.

Sebagai insan beragama, kita meyakini bahwa ada Allah Swt. yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezeki makhluk hidup. Terdapat makhluk-makhluk yang melata (min daabbah (tin)), yang disebarkan di antara Langit dan Bumi dan pada keduanya. Keberadaan makhlukmakhluk tersebut masih belum terdeteksi keberadaannya. Pesan ayat Al-Qur’an dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, menyelesaikan masalah dengan pendekatan berbagai paradigma kehidupan diperlukan, tidak hanya paradigma sains saja.

“Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rizki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan’’. (QS. Ali-Imran [3] : 27) “Sungguh, Allah yang menumbuhkan butir (padipadian) dan biji (kurma). Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.’’ (QS. Al-An’am [6] : 95)

Sungguh luar biasa ciptaan Allah bernama bumi, rumah di mana kita tinggal ini. Dengan pengetahuan yang lengkap mengenai bumi kita, Kehidupan di planet Bumi merupakan bagian pelajaran adanya sebuah proses “menghidupkan semoga dapat menggugah qalbu kita, manusia planet Bumi yang tandus’’, menjadi planet Bumi untuk lebih bersyukur dan bertaqwa, dan berkehidupan dengan adanya fluida air. Fluida air menggerakan akal-pikir untuk bisa membangun merupakan katalisator untuk reaksi kimia untuk kualitas kehidupan yang lebih baik di planet Bumi, bersama 7 milyar manusia di dalamnya. membentuk untaian atom dalam molekul yang lebih kompleks dan selain itu untuk transportasi [Dr. Moedji Raharto, Anggota Kelompok bagi mahluk hidup. Benih kehidupan di planet Keahlian Astronomi – FMIPA ITB, Peneliti Bumi telah bertahan dalam lingkungan yang Observatorium Bosscha ITB] berubah secara ekstrim. Proses Berkesadaran

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

33


Renungan

Foto: @Phillipp Klinger

Jangan Berambisi Jadi Terkenal! Di antara hal yang membuat kita bingung, yang mengganggu keteguhan hati dan ketenangannya, adalah kehadiran ambisi, agar dikenal dan mendapat simpati orang lain. 34

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014


Perhatikan firman Allah: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi”. (QS. al-Qashash:83) Riya’ atau kesombongan, sering dilukiskan mengenai hal yang menyangkut ketinggian. Mengenai ini, seorang penyair mengatakan ungkapan yang kontras berikut.. Orang yang berhasil menakhlukkan jiwanya Adalah orang yang telah menghidupkannya dan menjadikannya tenang Dia akan tidur dengan nyenyak Toh, bilapun angin berhembus kian kencang.. Yang diterpa tetaplah bagian pepohonan yang tingg-tinggi, bukan? Perhatikan hadits berikut, ‘’Barangsiapa berlaku riya’, maka Allah akan bersikap riya’ kepadanya. Dan barangsiapa menginginkan kemasyhuran, maka Allah pun akan memamerkan kemasyhuran-Nya kepadanya’’ (AlHadits). Dan Allah berfirman mengenai hal ini.. ‘’Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia’’. (QS. an-Nisa’:142) ‘’Dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan’’. (QS. Ali Imran, 188) ‘’Dan, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia’’. (QS. al-Anfal: 47). Seorang penyair, akhirnya mengemukakan pandangan yang khas tentang riya’. Pakaian riya’ menggambarkan apa yang ada di baliknya. Jika memakainya, sebenarnya..engkau sedang telanjang! Subhanallah.. Semoga Allah menganugerahkan kita keutamaan. Melindungi kita semua dari penyakit riya’ yang mencelakakan. Dan, marilah kita senantiasa menjaga diri dari hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupan. [Jon. Sumber: Aidh Al Qarni, ‘’La Tahzan’’ (Jangan Bersedih!), Terjemah S. Rahman, Qisthi Press, 2004]

al-Islam.my.id | Edisi 4 - Sya’ban 1435 H | Juni 2014

35


Rasulullah saw. bersabda, "Dan aku demi Allah tidak merisaukan kalian akan menyekutukan Allah setelah aku wafat, tapi yang kutakutkan adalah keluasan duniawi atas kalian"

Hadits Riwayat Bukhari-Muslim


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.