ALSA LEGAL RESEARCH TEAM | December 2021

Page 1



Assalamualaikum Wr., Wb., Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam kebajikan, Salam Sejahtera bagi kita semua. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita selalu diberikan kesehatan dan kenikmatan yang berlipat ganda. Berkat rahmat-Nya kita dapat berkumpul dalam satu organisasi hukum yang kita banggakan, Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Syiah Kuala. Shalawat serta salam tak lupa kita sanjung sajikan ke pangkuan Nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari alam kegelapan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini. Asian Law Students’ Association Local Chapter Universitas Syiah Kuala merupakan organisasi non-profit, non-political, non-govermental yang menaungi lebih dari 300 member serta 200 alumni yang dalam menjalankan roda kepengurusannya berpegang teguh pada 4 pilars of ALSA yaitu Legally Skilled, Academically Committed, Internationally Minded, dan Socially Responsible. ALSA Legal Research Team merupakan program kerja inovasi pada kepengurusan Local Board ALSA LC USK Periode 2021. Team ini dibentuk untuk mengkaji isu isu hukum secara komprehensif yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para member dan masyarakat luas. Pada kesempatan ini, kami mengkaji mengenai Ambiguitas Penyelesaian Kasus Konflik dan Akuntabilitas Negara terhadap Pemenuhan Hak Reparasi dan Pelanggaran HAM Berat kepada Korban Konflik Aceh. Kami harap penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang jelas secara akademis dan objektif bagi para pembaca. Tanpa adanya dukungan dan partisipasi dari redactional team, para narasumber, dan seluruh pihak, team ini tidak akan mampu untuk menerbitkan penelitian yang sangat baik seperti sekarang ini. Terimakasih atas seluruh pihak yang sudah ikut serta dalam menyukseskan berjalannya penelitian ini. Penting untuk dicermati bahwa tim ini tidak ditunggangi oleh kepentingan politik manapun dan penelitian ini didasari kajian dan analisis hukum yang objektif. Semoga ALSA Local Chapter Universitas Syiah Kuala dapat terus mengembangkan potensi dan bakat para anggota serta menebarkan kebermanfaatan dalam masyarakat luas, terutama mengenai pengembangan kualitas hukum dan pastinya dapat selalu menghadirkan kebenaran fundamental di setiap elemen masyarakat. Sekian dari saya, Wassalamualaikum Wr., Wb., Shalom, Om Shanti Shanti Shanti Om, Namo Buddhaya, Salam kebajikan, Salam Sejahtera bagi kita semua. Forever will be ALSA Completely ALSA, Always be One!


AMBIGUITAS PENYELESAIAN KASUS KONFLIK DAN AKUNTABILITAS NEGARA TERHADAP PEMENUHAN HAK REPARASI ATAS PELANGGARAN HAM BERAT KEPADA KORBAN KONFLIK ACEH

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar belakang Indonesia sebagai negara hukum telah menjamin dan mengatur mengenai perlindungan

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 yang menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Mengenai HAM secara spesifik terdapat pada pasal 28a - j yang diartikan bahwa HAM merupakan hak dasar atau hak pokok yang melekat pada manusia yang tanpa hak-hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai manusia. Secara teoritis dalam memahami HAM ini disebutkan pengertiannya yaitu hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah dari Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. HAM secara hakekat sendiri merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh. Oleh karena itu HAM yang melekat pada setiap manusia bersifat universal, yang berarti berlaku dimana saja dan kapan saja serta untuk siapa saja dan tidak dapat diambil atau dirampas oleh siapapun. Indonesia dalam upaya penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia diwujudkan dalam berdirinya Komisi Nasional (KOMNAS) HAM dalam pembuktian keseriusan pemerintah menjamin berdirinya supremasi. Komnas HAM berfungsi sebagai lembaga untuk menegakkan perlindungan HAM di Indonesia.


Banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang belum terungkap yang bahkan terdapat pula kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Pada tahun 2019 setidaknya telah tercatat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai. Negara dalam hal ini berupaya dan tetap berkomitmen untuk mencari solusi menangani kasus-kasus tersebut. Penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2019 ini mengalami kemunduran yang diharapkan dapat diperbaiki di masa akan datang. harapan perbaikan ini meliputi berbagai aspek yaitu kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berasosiasi, mengenai hak perempuan dan anak, Papua dan Papua barat (rasisme), orientasi seksual dan identitas gender, hak-hak penyandang disabilitas, hak-hak terkait lingkungan, hak masyarakat adat. Dalam hal ini, pemerintah mewujudkan sikap komitmen terhadap penegakan HAM di Indonesia dalam rencana aksi nasional HAM (Ranham) 2020-2025 dimana hak sipil, politik, ekonomi,sosial, serta budaya harus dilindungi secara seimbang dan tidak ada satupun yang terabaikan. Menjadi tantangan besar bagi negara Indonesia untuk terus memperkuat sistem demokrasi dan nilai-nilai HAM, tidak hanya dalam sistem bernegara namun juga dalam sistem kemasyarakatan. kemudian, Komnas HAM pun berpendapat bahwa asas kesetaraan dan keadilan diperlukan dalam mewujudkan penegakkan HAM serta pemerintah dalam seluruh regulasi dan kebijakan yang dibuat harus ditata sedemikian rupa agar tetap menghormati kedua asas tersebut serta menumbuhkan semangat solidaritas kebangsaan. Seperti yang kita ketahui bersama, Aceh pernah menjadi salah provinsi yang menuntut hak atas Republik Indonesia sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Beberapa faktor terjadinya konflik bersenjata di Aceh yakni reaksi masyarakat Aceh atas penolakan penerapan hukum islam oleh pemerintah pusat yang sebelumnya telah dijanjikan oleh Presiden Ke-1 Republik Indonesia (Ir. Soekarno) pada tahun 1947, Perlakuan penggabungan paksa yang didapat kelompok muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi Orde Baru, Eksploitasi sumber daya alam Aceh dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut yang diduga menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah pusat.1

1

Henry Hafidz. 2019. 3 Penyebab Peristiwa Aceh 1990-1998 https://sejarahlengkap.com/indonesia/penyebab-peristiwa-aceh-1990. 4 Desember 2021 (02.00)

Terlengkap.


Konflik yang terjadi di Provinsi Aceh adalah salah satu konflik bersenjata yang paling lama berlangsung di Bumi Pertiwi di mana konflik bersenjata di Aceh terjadi sejak tahun 1976 hingga tahun 2005.2 Tidak bisa dipungkiri, semasa terjadinya konflik di Aceh, banyak terjadi kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, diantaranya adalah Peristiwa Rumoh Geudong di Pidie, Peristiwa Pembunuhan Massal Simpang KKA di Aceh Utara, Peristiwa Pembantaian Massal Jambo Keupok, dll.3 Penyelesaian konflik bersenjata di Aceh mencapai perdamaian

di masa

kepemimpinan Presiden Ke-6 Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Wakil Presiden Ke-10 Republik Indonesia (Jusuf Kalla), yang memutuskan melakukan perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia dan menghasilkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005. Sudah 16 tahun MoU Helsinki disepakati antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, namun sampai saat ini penyelesaian kasus HAM yang terjadi di masa konflik bersenjata di Aceh serta pemenuhan hak-hak korban konflik seperti the right to know, the right to justice, the right to reparation sampai saat ini belum dipenuhi secara merata.4 Berdasarkan aturan hukum yang berlaku, bentuk penyelesaian dan perbaikan untuk pelanggaran HAM berat adalah dengan melakukan reparasi yang berarti kewajiban negara untuk melakukan pemulihan korban kembali seperti sebelum terjadinya konflik5. Kewajiban tersebut adalah bentuk akuntabilitas pemerintah karena gagal memberikan perlindungan sosial ketika konflik terjadi. Oleh karena itu, reparasi dilakukan agar hak-hak korban kembali terpenuhi serta memperbaiki kerusakan mental dan material yang dialami korban. Reparasi ini mencakup tindakan-tindakan restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan kepuasan serta jaminan atas ketidakberulangan.6

2

KontraS. 2006. Aceh, Damai Dengan Keadlian? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. KontraS. Jakarta. Ibid. 4 Mulyadi Alrianto Tajuddin dan Imran Rusli Tarsan. 2019. Pemenuhan Hak Keluarga Korban Terkait Tindak Pidana Pembunuhan dalam Perspektif Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Universitas Musamus. Merauke. 211. 5 Amnesty International. 2013. Saatnya Menghadapi Masa Lalu. Amnesty International. London. 6 ELSAM. 2014. Reparasi. https://referensi.elsam.or.id/2014/10/reparasi-2/. 15 Oktober 2021 (21.18) 3


Jika kita lihat pada pelaksanaan pemenuhan reparasi kepada korban konflik di Aceh, hingga saat ini pemenuhan reparasi belum dilakukan secara menyeluruh, bahkan reparasi mendesak yang sudah dikeluarkan surat keputusannya belum dilaksanakan dengan maksimal.7 Banyak korban yang belum mendapatkan reparasi yang dijanjikan oleh pemerintah, sehingga muncul gejolak sosial seperti kecemburuan antar korban karena merasa pemenuhan reparasi tersebut hanya diberikan kepada korban-korban tertentu. Pemenuhan reparasi di Aceh dikritik keras oleh lembaga-lembaga HAM nasional maupun internasional. Amnesty International, salah satu lembaga HAM internasional melontarkan kritik kepada pemerintah Indonesia. Hingga saat ini, belum adanya transparansi dan konsistensi pemerintah dalam penyelesaian reparasi di Aceh.8 Hingga saat ini, pemerintah masih mencoba untuk menyelesaikan pemenuhan reparasi korban. Terbukti dengan dikeluarkan Keputusan Gubernur Nomor : 330/1209/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM. Namun, pemberian reparasi kali ini hanya ditujukan kepada beberapa korban saja yang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan di dalamnya, sehingga masih banyak korban yang belum mendapatkan reparasi.9 Oleh karena itu, banyak pihak yang masih berharap pemenuhan reparasi ini dapat dilakukan secara komprehensif, apalagi isu mengenai pemenuhan reparasi selalu digunakan setiap tahunnya.

7

Kumparan, 2021, Pemerintah Aceh Belum Realsasi Reparasi Mendesak 245 Korban Pelanngaran HAM, 9 Juli 2021, Halaman 1. Jakarta. 8 Amnesty International, Op Cit. 9 Kumparan. 2020. Plt Gubernur Aceh Teken Keputusan Penerima Reparasi Korban Konflik Masa Lalu. 29 Juni 2020. Halaman 1. Jakarta.


1.2

Rumusan Masalah 1.2.1

Bagaimana bentuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi ketika

konflik di Aceh menurut hukum positif di Indonesia? 1.2.2

Bagaimana tindakan pemerintah dalam pemenuhan hak reparasi berdasarkan

Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan UU No. 39 Tahun 1999 kepada korban yang terdampak konflik di Aceh.

1.3

Tujuan Penelitian 1.3.1

Mengetahui pentingnya Hak Asasi Manusia dalam kehidupan sehari-hari di

masyarakat serta mengetahui pelaksanaan dan penegakan HAM di Aceh. 1.3.2

Mengetahui jenis-jenis pelanggaran HAM yang pernah terjadi semasa konflik

di Aceh. 1.3.3

Mengetahui

bagaimana

implementasi

prinsip-prinsip

HAM

dalam penyelesaian kasus konflik di Aceh. 1.3.4

Mengetahui upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh seperti

pemenuhan reparasi yang mencakup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

1.4 Metode Penelitian Penulisan pada karya tulis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penulisan ini mengkombinasikan fakta hukum dengan dalil-dalil hukum. Penelitian ini menggunakan banyak fakta hukum yang dihubungkan langsung dengan tiap-tiap pasal yang berkaitan langsung dengan fakta-fakta hukum. Pada penelitian ini, isu yang dibahas adalah isu hak asasi manusia yang terjadi di Aceh dengan fakta-fakta yang terjadi di Aceh. Fakta-fakta yang dihimpun untuk bahan penelitian didapatkan dari berita-berita, jurnal ilmiah, dan Laporan-laporan dari Komnas HAM dan KKR Aceh.


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik Wawancara dan studi pustaka. Teknik wawancara dilakukan ketika menghimpun data dari KKR Aceh dan teknik studi pustaka ketika menghimpun data dari sumber-sumber fakta di media elektronik yang berkorelasi dengan topik yang diteliti. 1.5 Dasar Hukum Dasar hukum yang mengatur Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah : •

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

Pasal 28 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan Hak Asasi Manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”

Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights


UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi konvensi pada anti penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi sampai merendahkan martabat orang.

UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi penghapusan segala macam apapun bentuk-bentuk dekriminasi

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

UU Nomor

26

Tahun

2006

berisikan

tentang

pengadilan

terhadap

pelanggaran HAM •

UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh


BAB II PEMBAHASAN

2.1

Kasus Pelanggaran HAM di Aceh yang terjadi ketika konflik bersenjata

dan kebijakan penyelesaiannya jika ditinjau dari beberapa aturan hukum yang berlaku di Indonesia Konflik bersenjata yang berlangsung panjang di Aceh selama kurun waktu 29 tahun yang memakan ribuan korban mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Korban-korban tersebut tidak hanya berasal dari anggota gerakan aceh merdeka (GAM), namun mereka juga warga sipil yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apapun dengan gerakan aceh merdeka (GAM), sehingga kejadian ini menjadi perhatian semua pihak karena adanya pelanggaran HAM yang terjadi disitu. Ketidakpuasan atas hilangnya teman dan keluarga menjadi faktor yang cukup kuat memicu terjadinya konflik berkepanjangan antara TNI dan GAM. Adanya sifat sentimental di setiap anggota menjadi indikator kuat mengapa banyak jatuhnya korban selama konflik di Aceh ini terjadi. Oleh karena itu, lembaga HAM di Indonesia maupun Internasional merilis data mengenai jenis jenis kasus yang teridentifikasi sebagai pelanggaran HAM berat selama konflik di Aceh terjadi. Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM RI, hingga saat ini terdapat 5 kasus yang teridentifikasi sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu:10 A.

Peristiwa Rumoh Geudong di Pidie

B.

Peristiwa Pembunuhan Massal Simpang KKA di Aceh Utara

C.

Peristiwa Pembunuhan Bumi Flora Aceh Timur

D.

Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa dan Kuburan Massal di Kecamatan

Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah

10

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2013. Ringkasan Eksekutif Hasil Tim Pemantauan dan Penyelidikan. Pelanggaran HAM Pada Masa Daerah Operasi Militer di Provinsi Aceh. Komnas HAM. Jakarta.


E.

Peristiwa Pembantaian Massal Jambo Keupok Selain itu, ada 2 kasus yang dibawa ke pengadilan sebelum pengadilan HAM didirikan

di Indonesia, yaitu:11 A.

Kasus Pembantaian Tgk. Bantaqiah dan murid-muridnya pada tahun 1999 yang sudah

diadili melalui pengadilan koneksitas B.

Kasus Penyiksaan di Gedung KNIP Lhokseumawe pada tahun 1999 yang sudah

diadili melalui pengadilan militer

2.1.1 Peristiwa Rumoh Geudong di Pidie Rumoh Geudong adalah sebuah rumah yang menjadi saksi bisa dimana terjadinya pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan dan lain-lain yang terjadi pada sekitar tahun 19891990.12 Rumoh geudong adalah satu diantara beberapa tempat dipergunakan oleh anggota TNI sebagai pos statis yang tersebar di beberapa wilayah di kabupaten Pidie selama operasi jaring merah dilaksanakan di Aceh. Pos statis ini dibuat memantau tingkat keamanan di suatu wilayah dengan konsiderasi bahwa wilayah tersebut belum cukup aman. Rumoh Geudong adalah tempat yang cukup strategis untuk memantau keamanan di sekitar wilayah tersebut. Oleh sebab itu, Rumoh Geudong ditetapkan sebagai salah satu pos statis anggota TNI saat itu. Pos statis tersebut diisi 6 s.d. 10 orang yang terdiri anggota TNI dan tenaga pembantu operasi (TPO) atau cuak yang berasal dari masyarakat sipil. Aparat menggunakan rumoh geudong tersebut tidak hanya sebagai pos statis, namun menurut laporan yang beredar bahwa aparat juga menggunakan rumoh geudong tersebut sebagai tempat penyekapan, penyiksaan hingga pembunuhan kepada masyarakat sipil yang dituduh sebagai bagian dari GAM. Tindakan represif yang lain seperti pemerkosaan juga terjadi disitu. Hal ini menjadi keprihatinan bagi semua pihak terkait hak-hak perempuan yang harus dihormati. Menurut data yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga, terdapat ribuan orang yang teridentifikasi sebagai korban. Yang menjadi ironisnya adalah hingga sekarang belum ada tindakan yuridis untuk mengadili pelaku pelaku pelanggaran HAM tersebut.

11 12

Hasil Wawancara pada tanggal 8 September 2021 dengan Faisal Hadi selaku koordinator KontraS Aceh. Komnas HAM, Op Cit.


Selain itu, banyak harta milik warga yang dirampas, bahkan banyak rumah yang dibakar sehingga mereka harus mengungsi ke tempat lain. Tindakan penyiksaan hingga pembunuhan ini dilakukan karena korban dianggap sebagai bagian dari anggota GAM. Para korban pelanggaran HAM tersebut hingga saat ini masih banyak belum diketahui keberadaan makamnya. Saksi dan korban membenarkan bahwa adanya bukti jika terjadinya penangkapan, pembunuhan, dan lain-lain oleh aparat di pos statis. Menurut Tim Pencari Fakta, ditemukan data bahwa:13 1. Terdapat 3.504 kasus korban operasi militer jaring merah 2. Secara detail, terdapat 168 kasus meninggal, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus dan rumah dirusak 47 kasus dan kerugian harta sejumlah RP. 4,2 Miliar lebih.

2.1.2 Peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT. Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh utara. Tragedi yang disebut juga Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukuh tersebut adalah sebuah peristiwa berlanjut masa konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 yang terus pula diperingati oleh masyarakat setempat setiap tahunnya.14 Bermula dari beredarnya kabar mengenai hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudal 001/Lilawangsa pada tanggal 30 april 1999. Anggota TNI tersebut disinyalir telah menyusup saat acara ceramah agama memperingati 1 Muharram yang diselenggarakan oleh warga desa Cot Murong, Aceh Utara. Dugaan ini diperkuat dengan kesaksian warga yang sedang mempersiapkan ceramah magrib saat itu. Dengan hilangnya anggota TNI yang diduga bernama Edityawarman, Pasukan Militer Datasemen Rudal melancarkan operasi pencarian masif yang melibatkan berbagai satuan.

13 14

Komnas HAM, Op Cit. Komnas HAM, Op Cit.


Saat melakukan penyisiran di desa pada tanggal 2 Mei 1999, aparat menangkap dan melakukan penyiksaan terhadap sekitar 20 orang warga serta 3 warga ditangkap oleh Yonif 113/Jaya Sakti dengan tuduhan terkait atas hilangnya anggota TNI tersebut. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat menurut pengakuan para korban berupa kekerasan fisik dan ancaman. Menanggapi hal itu, warga desa mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk bernegosiasi. Komandan TNI berjanji aksi ini tidak akan terulang kembali. Pada tanggal 3 mei 1999, tragedi mengerikan yang mengakibatkan trauma berat bagi masyarakat itu terjadi. Diawali dengan kedatangan satu truk tentara memasuki wilayah desa Cot Murong dan Lancang Barat, namun diusir oleh warga setempat. Warga desa yang unjuk rasa sebagai aksi protes tindakan aparat ke markas Korem 001 menuntut kontrak yang diberikan oleh Komandan sehari sebelumnya serta membebaskan warga yang ditangkap sehari sebelumnya. Pada siang hari, warga yang berunjuk rasa berhenti di persimpangan KKA, Krueng Geukueh yang lokasi nya dekat dengan markas Korem. Warga mengirim 5 orang utusan untuk berdiskusi dengan Komandan. Disamping diskusi yang sedang dilakukan berlangsung, jumlah tentara yang mengepung warga semakin banyak. Warga bertindak dengan melempar batu ke markas Korem 001 dan membakar 2 sepeda motor. Kemudian 2 truk tentara dari Arhanud yang dilindungi Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dan menembaki kerumunan warga yang berunjuk rasa. Setelah insiden mengerikan tersebut, ditemukan beberapa kantong mayat yang diberi pemberat batu di landasan sungai. Diduga pola pembuangan maya ini mengikuti hal yang sama dilakukan pada Insiden di Idi Cut. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM) bahwa bentuk perbuatan (type of acts) dan pola (pattern) pelanggaran HAM yang terjadi berdasarkan fakta peristiwa tersebut adalah :15 1. Pembunuhan terhadap 22 warga. 2. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang terhadap 3 warga.

15

Komnas HAM, Op Cit.


3. Penyiksaan terhadap 20 warga. 4. Penganiayaan (persekusi) terhadap 17 warga.

2.1.3. Peristiwa Pembunuhan Bumi Flora Aceh Timur Peristiwa Pembunuhan Bumi Flora Aceh Timur adalah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang dalam kurun masa konflik bersenjata di Aceh.16 Peristiwa ini terjadi pada hari kamis, tanggal 9 Agustus 2001. Hari itu adalah hari libur bagi karyawan PT. Bumi Flora yang menempati perumahan karyawan di Afdeling IV. PT. Bumi Flora adalah perusahaan perkebunan yang terletak di Dusun Pelita, Desa Alur Rambut, Kecamatan Banda Alam (sebelumnya Kecamatan Idi Rayeuk), Kabupaten Aceh Timur Pada pagi harinya, sekitar pukul 07.30 WIB, datanglah sekelompok orang yang tidak dikenal dan memakai pakaian loreng serta membawa senjata api masuk ke lokasi perkebunan. Kelompok ini mendatangi rumah-rumah para karyawan dan memerintahkan pada setiap warga laki-laki untuk berkumpul. Kemudian para laki-laki itu dibariskan dalam beberapa barisan dalam keadaan baju yang terbuka serta berjongkok dengan tangan di atas paha. Setelah itu salah seorang dari kelompok tersebut bertanya kepada Mandor Kepala Afdeling IV yang bernama Samsul mengenai berapa jumlah Kepala Keluarga yang ada di Afdeling IV dan kemudian dijawab oleh bahwa di Afdeling IV ada 42 KK. Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, orang tersebut menembak Samsul. Tidak lama kemudian terdengar rentetan tembakan yang mengarah kepada barisan warga laki-laki. Pada saat itu juga terjadi penembakan lainnya terhadap warga laki-laki yang masih berada di luar barisan/sekitar lokasi kejadian. Sebelum kelompok tersebut meninggalkan lokasi, mereka sempat menyuruh saksi menghitung jumlah korban dan supaya melaporkannya kepada GAM. Selanjutnya saksi pergi ke kantor PT. Bumi Flora untuk melaporkan kejadian tersebut sekaligus meminta bantuan agar ada yang mengangkut mayat korban ke Puskesmas Idi Rayeuk.

16

Komnas HAM, Op Cit.


Dalam perjalanan menuju Puskesmas Idi Rayeuk sekitar 18.00 WIB, rombongan dihadang oleh orang berpakaian loreng dan menyuruh para perempuan untuk turun dan berbaris serta diancam akan dilempari dengan bom. Para saksi baik korban yang selamat maupun warga perempuan Afdeling IV PT. Bumi Flora tidak bisa mengetahui nama, kesatuan, maupun kepangkatan yang tertera di baju seragam loreng kelompok tersebut. Para saksi menyatakan bahwa mereka menundukkan wajah karena ketakutan. Tidak satupun dari saksi yang secara jelas dapat melihat wajah anggota kelompok tersebut. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM) bahwa bentuk perbuatan (types of acts) dan pola (pattern) pelanggaran HAM yang terjadi berdasarkan fakta peristiwa tersebut adalah :17 1. Pembunuhan terhadap 31 orang. 2. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang terhadap 1 orang. 3. Penganiayaan (persekusi) terhadap 7 orang. 4. Penghilangan orang secara paksa terhadap 1 orang.

2.1.4. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa dan Kuburan Massal di Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah Pada akhir tahun 2001, tepatnya antara bulan Agustus sampai dengan Desember terjadi penghilangan orang secara paksa di Kecamatan Timang Gajah (sekarang Timang Gajah dan Gajah Putih).18 Beberapa orang warga hilang dari desanya, yaitu Desa Reronga dan Desa Sumberejo Kecamatan Timang Gajah (sekarang Gajah Putih), Desa Bumi Ayu (sekarang Desa Bandar Lampahan), Desa Rembune, Desa Damaran, dan Desa Fajar Baru Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah).

17 18

Komnas HAM, Op Cit. Komnas HAM, Op Cit.


Pihak yang diduga sebagai pelaku penghilangan paksa terhadap warga Kecamatan Timang Gajah ini berasal dari anggota TNI yang tersebar menempati pos-pos di Kecamatan Timang Gajah. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan truk reo yang berkekuatan menggunakan

6-12 orang

anggota

bersenjata

lengkap

dan

diantaranya

ada

yang

sebo (tutup muka), yang umumnya berasal dari warga setempat sebagai

informan. Sebagian ditangkap diatas pukul 22.00 WIB dirumahnya dengan alasan untuk diajak jaga malam dan sebagian lagi ditangkap ketika sedang jaga malam. Sampai saat ini keberadaan warga yang ditangkap tidak diketahui. Sudah 11 (sebelas) tahun setelah peristiwa penghilangan orang secara paksa, tersiar kabar mengenai telah ditemukannya beberapa kuburan tidak dikenal di kebun milik warga, di Desa Bumi Ayu. Penggalian berlangsung pada 16 Juli 2012. Turut hadir saat itu anggota Koramil Timang Gajah, Polsek Timang Gajah, PMI Kec. Timang Gajah (Kaharudin) dan PMI Kab. Bener Meriah (tidak diketahui namanya). Ada 3 titik yang digali saat itu, titik kedua sudah jelas korban dan keluarganya dari pakaian pakaian yang dikenakan dan geligi korban. Titik pertama dan ketiga saat itu ikut digali juga, tapi dihentikan oleh pihak Koramil karena belum ada surat izinnya. Keesokan harinya, keluarga korban yang melanjutkan penggalian dua titik tersebut dan mengambil kerangkanya. Terdapat satu kerangka di masing-masing titik. Akan tetapi tidak diketahui oleh saksi siapa korban dan keluarganya. 2.1.5. Peristiwa Pembantaian Massal Jambo Keupok Tragedi Jambo Keupok adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Desa Jambo Keupok, Kec. Bakongan, Aceh Selatan yang terjadi pada 17 Mei 2003 setelah DOM dan sebelum Darurat Militer.19 Peristiwa ini dimulai setelah ada informasi dari seseorang kepada aparat militer bahwa Desa Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis Gerakan Aceh Merdeka.

19

Komnas HAM, Op Cit.


Informasi tersebut ditindaklanjuti oleh aparat militer dengan melakukan razia dan menyisir perkampungan yang berada di Kec. Bakongan. Dalam operasi tersebut, aparat sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil seperti penengkapan, penghilangan orang, penyiksaan, perampasan harta. Pada 17 Mei 2003, sejumlah aparat militer dengan senjata lengkap melakukan penyisiran terhadap rumah-rumah penduduk pada pagi hari guna mencari anggota dan pendukung Gerakan Aceh Merdeka. Dalam melakukan operasi tersebut, Aparat Militer diduga telah melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan sehingga jatuh korban jiwa maupun lukaluka serta hancurnya rumah penduduk. Tragedi Jambo Keupok setidaknya mengakibatkan 4 warga sipil tewas dengan cara disiksa dan ditembak, 12 orang tewas disiksa, ditembak dan dibakar hidup-hidup, satu orang perempuan pingsan akibat dihantam menggunakan popor senjata tepat di kepala, 4 orang terluka akibat ditendang dan dihantam popor senjata, 3 rumah dibakar. Peristiwa ini juga membuat warga mengungsi selama 44 hari di Mesjid Istiqamah dikarenakan ketakutan dengan aparat militer. Tragedi ini merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki oleh Komnas HAM. Akan tetapi kasus ini seolah tidak menampakkan titik terang, terlihat dikembalikannya berkas kasus oleh Kejaksaan Agung dikarenakan kurangnya bukti untuk mengidentifikasi terduga pelaku. Hingga kini warga Jambo Keupok masih belum memperoleh keadilan dari negara, bahkan mereka hingga saat ini masih mengalami trauma, dan proses hukum terhadap para pelaku belum juga dilakukan.

2.1.6. Kebijakan Penyelesaian Kasus Konflik menurut aturan hukum positif di Indonesia Konflik berkepanjangan antara GAM dengan Pemerintah RI menyisakan butiranbutiran debu permasalahan yang mengumpal menjadi berbagai masalah yang belum dapat diselesaikan oleh negara sebagai aktor dari penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.


Konflik yang dikenang sebagai peristiwa kemanusiaan oleh masyarakat dunia itu terlihat sudah berakhir oleh masyarakat awam, namun sebenarnya konflik tersebut hanya menyelesaikan proses peperangannya saja, tetapi efek setelah konflik tersebut dilewatkan begitu saja oleh pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Hal ini memunculkan asumsi bagi masyarakat bahwa konflik sudah berakhir dan permasalahan sudah selesai. Padahal jika kita tinjau lebih dalam terkait dengan efek sesudah konflik, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seperti realisasi setiap pasal pada MoU Helsinki, pelaksanaan reparasi oleh Pemerintah Daerah melalui rekomendasi dari KKR Aceh dan lain-lain. Konflik yang terjadi di Aceh tergolong sebagai pelanggaran HAM berat karena ada tiga indikator penting yang mengindikasi bahwa konflik di Aceh bisa disebut sebagai pelanggaran HAM berat. Tiga indikator tersebut adalah:20 a) Adanya keseriusan perbuatan b) Akibat yang ditimbulkan c) Jumlah Korban Jika kita menganalisis konflik di Aceh, 3 Indikator memenuhi syarat-syarat kenapa konflik di Aceh dapat disebut sebagai pelanggaran HAM berat. a)

Adanya keseriusan perbuatan Indikator ini dapat dibuktikan dengan mengacu pada histori peristiwa konflik itu

sendiri. Konflik di Aceh terjadi secara berkelanjutan di Aceh sejak pertengahan tahun 1970 an hingga tahun 1998 saat status DOM dicabut.21 Keseriusan perbuatannya itu dapat dilihat dari tahun-tahun tersebut sampai pemerintah kembali melancarkan aksi militernya di tahun 20032004 dengan pola serang yang sama tapi dengan intensitasnya yang lebih tinggi.

20

Aulia Rosa Nasution. 2018. Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui pengadilan Nasional dan Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jurnal MERCATORIA, Vol.11: 108. 21 KontraS, Op Cit.


Status DOM yang dicabut sementara kemudian tidak berselang lama Tahun 1999 kembali dilaksanakan aksi militer. Inilah yang menyebabkan kenapa konflik di Aceh terindikasi sebagai pelanggaran HAM berat karena harusnya setelah status DOM dicabut, masyarakat Aceh harusnya bisa merasakan ketenangan sejenak dari suara tembakan setelah 20 tahun lebih merasakan atmosfer yang tidak nyaman. Tindakan-tindakan represif yang menjadi indikator adanya keseriusan perbuatan adalah sebagai berikut:22 1. Pembantaian terhadap warga yang diduga terafiliasi dengan GAM; 2. Mempertontonkan aksi pembantaian di depan masyarakat sipil; 3. Penggeledahan secara paksa terhadap warga sipil; 4. Penculikan 5. Kerja paksa bagi masyarakat yang tidak patuh dengan aturan dari aparat militer; 6. Pelecehan seksual terhadap perempuan 7. Manuver senjata di sembarang tempat 8. Pembakaran bangunan milik publik dan rumah milik penduduk

b) Akibat yang ditimbulkan Konflik ini menimbulkan efek yang besar bagi masyarakat. Hilangnya anggota keluarga, harta benda dan hal-hal berharga lainnya membuat konflik ini bisa disebut sebagai salah bentuk pelanggaran HAM berat. Salah satu contohnya adalah peristiwa Rumoh Geudong yang menyebabkan kerugian hingga Rp. 4,2 Miliar lebih.23 Selain kerugian selama terjadinya konflik, terganggungnya psikologis korban dan pihak terdekat korban juga menjadi salah satu akibat yang cukup fatal terjadinya dan hingga sekarang masih ada beberapa korban maupun pihak yang dekat dengan korban belum mendapat bentuk restitusi (pemulihan) secara komprehensif sebagai bentuk perbaikan (reparasi) atas kerugian tersebut.

22 23

KontraS, Op Cit. Komnas HAM, Op Cit.


Kerugian seperti inilah yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengembalikan hak-hak mereka seperti semula dengan program yang dijanjikan di hukum internasional, undang-undang dan yang terpenting dalam MoU Helsinki. c)

Jumlah Korban Konflik Aceh yang menyisakan banyak peristiwa yang menimbulkan banyak korban.

Adanya korban dengan kuantitas yang banyak mengindikasi mengapa konflik di Aceh bisa disebut sebagai sebuah pelanggaran HAM berat. Jika kita lihat dari lima masa terjadinya konflik di Aceh, maka ada data korban konflik sangat variatif. Berikut data korban konflik di setiap masa konfliknya: I.

Pra DOM (1976-1989) Menurut catatan dari Amnesty International, terdapat indikasi kekerasan dan pelanggaran HAM selama masa Pra DOM. Ada beberapa bentuk pelanggaran HAM terjadi seperti Penyiksaan, pembakaran rumah penduduk, penangkapan keluarga anggota GAM yang kemudian berlanjut hingga ke pemerkosaan dan pembunuhan diluar proses yudisial terhadap terduga anggota GAM.

24

Namun,

tidak ada data yang valid yang menyebutkan secara spesifik berapa jumlah korban selama masa pra DOM II.

DOM (1989-1998) Menurut data yang dikeluarkan oleh “Forum Peduli HAM Aceh”, Jumlah korban selama masa DOM Aceh adalah, No.

Jenis Pelanggaran

Jumlah

1

Pembunuhan

1.321 kasus

2

Penghilangan

1.958 kasus

3

Penyiksaan

3.430 kasus

4

Pemerkosaan

128 kasus

5

Pembakaran

597 kasus

Sumber: Forum Peduli HAM Aceh tahun 1999

24

KontraS, Op Cit.


Sedangkan menurut data yang dikeluarkan oleh “Tim Pencari Fakta Komnas HAM”, Jumlah korban selama masa DOM Aceh adalah, No.

Jenis Pelanggaran

Jumlah

1

Pembunuhan

781 orang

2

Penghilangan

163 orang

3

Penganiayaan/Penyiksaan

368 orang

4

Pemerkosaan

102 perempuan

5

Pembakaran

102 bangunan

Sumber: Tim Pencari Fakta Komnas HAM

Jika kita simak lebih teliti terkait dengan persebaran data di atas, maka data yang dikeluarkan oleh Komnas HAM cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan data yang dikeluarkan oleh Forum Peduli HAM Aceh.

III.

Pasca DOM (1998-2000) Kontras melaporkan ada beberapa peristiwa yang terjadi selama masa pasca DOM yang terjadi selama tahun 3 tahun pada 1998-2000. Tercatat ada 5 kasus besar yang terjadi saat masa pasca DOM. Nama

Gedung

Idi Cut

Simpang

KNPI Aceh

KKA

Pembunuhan Pembunuhan Jafar Siddiq

Massal Tgk. Bantaqiah

Tewas

4

28

65

1

57

Luka-

27

Tidak

125

-

Tidak

Luka

diketahui

diektahui

Sumber: KontraS (Aceh, Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu)


IV.

Jeda Kemanusiaan (2002-2003) Jeda Kemanusiaan program negara yang ditujukan untuk mereda konflik yang terjadi di Aceh. Tujuan utama dari jeda kemanusiaan ini adalah sebagai masa bagi GAM dan Pemerintah pusat untuk mencari solusi terbaik untuk melakukan aksi damai dan menghentikan aksi konflik ke depan. Namun, jeda kemanuisaan tidak dijadikan momen yang baik bagi kedua pihak. Selama jeda kemanusiaan, dilaporkan bahwa masih banyak terjadi pelanggaran HAM di Aceh.

Beberapa peristiwa yang mengindikasinya pelanggaran HAM selama masa jeda kemanusiaan adalah sebagai berikut: Nama

Pembunuhan

Pembunuhan Ulee Glee

Bumi Flora

Tokoh

Aktivis

Klein,

Intelektual

RATA

Kaway

Aceh Tewas

Gunung

1 (Prof H.

XVI 3

30

87

>70

Syafwan Idris

Anggota

MA)

TNI dan >30 Warga sipil

Luka-

-

-

Ratusan

luka

>159

Tidak disebutkan

Sumber: KontraS (Aceh, Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu)

V.

Darurat Militer (2004-2005) Selama darurat militer dijalankan, pelanggaran HAM yang terjadi cukup masif. Hal ini bisa kita lihat dari jumlah korban selama kurang lebih setahun dijalankan aksi darurat militer.


Menurut dokumentasi kontras, jumlah korban saat dilaksanakan aksi darurat militer adalah: Jenis Pelanggaran

Jumlah kasus

Pembunuhan

383

Penculikan

102

Penembakan

92

Penangkapan

244

Penyiksaan

164

Pembakaran

94

Intimidasi

5

Pemerkosaan

19

Pelecehan Seksual

8

Penggeledahan

58

Penghilangan

24

Pemukulan

1

Penahanan

3

Pemboman

19

Perampokan

11

Penyerahan diri

99

Total

1329

Sumber: Dokumentasi KontraS

Aksi darurat militer ini tidak memberikan esensi yang signifikan bagi masyarakat Aceh, pelaksanaan aksi ini malah hanya mengeskalasi rasa ketidakpercayaan masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat dan membuat rasa trauma baru bagi masyarakat Aceh itu sendiri.


Penyelesaian aksi konflik dengan menggunakan kekuatan militer tidak membuat Aceh bisa damai begitu saja. Pendekatan yang dianggap hanya mewariskan ketidaksejahteraan bagi masyarakat ini membuat intensitas konflik di Aceh makin tinggi karena pendekatan seperti ini hanya akan melahirkan sentimen-sentimen baru untuk negara karena negara dianggap hanya menjadikan Aceh sebagai ladang militer mereka. Secara tersirat, masyarakat Aceh mempertanyakan fungsionalitas pemerintah sebagai aktor utama dalam HAM. Pemerintah adalah Stakeholder (aktor) yang memiliki kewajiban sebagai pemegang fungsi responsibilitas dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Indonesia. Hal ini selaras dengan kewajiban dan tanggung jawab negara yang diatur pada pasal 71 dan 72 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana dalam pasal 71 disebut bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundangundangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Kemudian pasal 72 menyebutkan bahwa “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain”. Dua pasal ini mengklarifikasi bagaimana posisi negara sebagai pelaksana dan penanggungjawab dalam setiap hal yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh semasa konflik bersenjata antara GAM dengan ABRI adalah bentuk kelalaian negara, khususnya pemerintah dalam mengimplementasi dan menjalankan bentuk interpretasi dari pasal 71 dan 72. Ada 3 Kewajiban yang dilanggar negara dalam kasus ini, yaitu:25 1. Kewajiban untuk Menghormati yang dibuktikan dengan terjadinya pembunuhan, penganiayaan, dan jenis kekerasan lainnya seperti peristiwa Rumoh Geudong di Pidie. 2. Kewajiban untuk Memenuhi yang dibuktikan dengan gagalnya pelaksanaan kebijakan penyelesaian masalah konflik, seperti pemenuhan reparasi kepada korban konflik.

25

Aulia Rosa Nasution. 2018. Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui pengadilan Nasional dan Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jurnal MERCATORIA, Vol.11: 108.


3. Kewajiban utuk melindungi dengan memberikan perlindungan atas HAM yang mencakup hak personal atau kolektif sehingga kebebasan dari hak asasi manusia itu dapat dinikmati. Atas kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya, maka negara harus bertanggung jawab atas kelalaiannya selama terjadinya konflik di Aceh. Ada 2 mekanisme

yang

masih

memungkinkan

bagi

negara

untuk

menjalankan

responsibilitasnya kepada masyarakat Aceh, khususnya korban konflik. 2 Mekanisme tersebut adalah:26 a. Penyelesaian melalui Pengadilan HAM Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh dapat dilaksanakan dengan proses peradilan. Salah satunya adalah melalui pengadilan HAM. Mekanisme penyelesaian ini diatur lebih komprehensif di dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Konflik Aceh terjadi selama 29 tahun yang mana ada dua jenis peradilan yang bisa dipakai dalam konteks konflik Aceh. Dua jenis peradilan itu adalah Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc. Pelanggaran HAM yang terjadi sebelum dibentuknya UU No.26 tahun 2000 itu harusnya dapat diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc27. Namun, belum ada satupun kasus pelanggaran HAM di Aceh yang diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. Selain pengadilan HAM ad hoc, pelanggaran HAM yang terjadi setelah dibentuknya UU No. 26 tahun 2000 akan diadili melalui pengadilan HAM. Semenjak dibentuk undang-undang tersebut, hanya ada 3 kasus yang baru selesai diadili yaitu kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priok1984 dan kasus Abepura 200028.

26

Ibid. Kurniawan, Rendy. 2006. Pelanggaran HAM berat serta Mekanisme Penyelesaiannya di Indonesia. Skripsi. Program Sarjana Universitas Airlangga. Surabaya. 28 Kumparan, 2019, 3 Pelanggaran HAM di Aceh Mau dituntaskan, Semoga Bukan Isapan Jempol. 14 Desember 2019, Halaman 1, Jakarta. 27


Dari 15 kasus pelanggaran HAM yang berada dibawah naungan kejaksaan agung, hanya ada 3 kasus pelanggaran HAM Aceh yang masuk. 3 kasus tersebut adalah Tragedi Simpang KKA 1999, Tragedi Jambo Keupok 2003 dan Tragedi Rumoh Geudong29. Tetapi, tidak satupun kasus tersebut yang selesai. Saat ini, masyarakat sangat menantikan komitmen dari kejaksaan agung untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh tanpa dibutuhkan rekomendasi DPR RI untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc atau keppres untuk pembentukan pengadilan HAM. Butir 2.2 MoU Helsinki menyatakan bahwa “Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk di Aceh”. Butir tersebut menyebut dengan jelas bahwa seharusnya Aceh memiliki sebuah pengadilan HAM. Namun, hingga sekarang butir 2.2. tersebut belum terealisasikan dengan nyata, padahal adanya pengadilan HAM di Aceh akan membantu lebih mudah penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh yang hingga saat ini belum ada satupun kasus pelanggaran HAM yang terjadi Ketika konflik di Aceh berlangsung. b. Penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak harus sepenuhnya dilakukan melalui jalur peradilan, namun penyelesaian kasus HAM bisa dilakukan melalui jalur non-peradilan. Salah satu mekanisme non-peradilan adalah melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi Aceh. Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki Lembaga KKR di Indonesia. Pembentukan KKR di Aceh diamanatkan di dalam MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebelum adanya undang-undang tersebut, KKR ini diatur dalam UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR yang kemudian dibatalkan oleh MK karena dianggap merugikan hak korban.30 KKR di Aceh baru menjalankan tugasnya pada tahun 2017 setelah kantornya itu baru diresmikan pada juni 2017. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui KKR dianggap lebih relevan untuk dilakukan karena proses penyelesaian melalui mekanisme ini lebih mudah.

29 30

Aulia Rosa Nasution, Op Cit. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIV/2006.


Namun, Menurut ketua riset dan pengembangan Kontras Aceh, Fuadi Mardhatillah, proses penyelesaian melalui KKR ini masih belum signifikan nampaknya karena KKR sendiri masih berada di bawah Badan Reintegrasi Aceh sehingga Lembaga KKR Aceh belum leluasa menjalankan tugas dan wewenangnya. Selain tidak adanya kesekretariatan, terbatasnya anggaran dan kurangnya dukungan politik dari para pemangku kepentingan di Aceh.31 Dua mekanisme di atas adalah dua mekanisme yang paling rasional untuk dilakukan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Tetapi, dua mekanisme tersebut masih dipertanyakan oleh publik terkait dengan pelaksanaan kebijakannya, khususnya pengadilan HAM. Pengadilan HAM adalah amanat konstitusi sebagai Lembaga peradilan yang mengadili kasus pelanggaran HAM berat karena konflik Aceh tergolong sebagai pelanggaran HAM berat karena ada unsur kejahatan terhadap kemanusiaan.32 Hingga saat ini, kasus pelanggaran HAM di Aceh yang dibawa ke pengadilan HAM tidak mengalami perkembangan sama sekali.33 Stagnannya penyelesaian menjadi perhatian masyarakat dan juga menjadi pertanyaan apakah pemerintah serius menyelesaikan HAM di Indonesia agar asas-asas dasar hak asasi manusia bisa dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. 34 Pengadilan HAM harusnya sudah berdiri di Aceh sejak Perjanjian damai antara Aceh dan Indonesia (MoU Helsinki) ditandatangani, namun pendirian pengadilan HAM di Aceh belum dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA padahal Pasal 228 ayat (1) dan (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebut secara jelas terkait dengan pendirian pengadilan HAM.

31

Rmol Aceh, 2021, Masa Kerja Komisioner Berakhir, Pemerintah Aceh Jangan Biarkan KKR Aceh Vakum, 24 Oktober 2021, Halaman 1, Banda Aceh. 32 Lihat Pasal 7 ayat (2) UU RI Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia. 33 Hasil Wawancara pada tanggal 8 September 2021 dengan Faisal Hadi selaku koordinator KontraS Aceh. 34 Lihat Pasal 2 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia.


Walaupun ayat 1 nya menyebut perkara pelanggaran HAM yang terjadi sesudah UU tersebut diundangkan, tapi Indonesia menganut asas retroaktif dimana tidak ada istilah kadaluarsa di dalamnya. Pendirian pengadilan HAM tidak boleh hanya dianggap sebagai kesepakatan antara pemerintah RI dan GAM, namun pendirian pengadillan HAM adalah bentuk tanggung jawab negara untuk menegakkan HAM dan memberi keadilan bagi korban.35

2.2

Tindakan pemerintah dalam pemenuhan hak reparasi berdasarkan Memorandum

of Understanding (MoU) Helsinki, UU No. 39 Tahun 1999 dan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 kepada korban yang terdampak konflik di Aceh Reparasi adalah proses dan hasil pemulihan kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh sebuah perbuatan yang melanggar hukum. Reparasi bertujuan sebagai pembangun kembali situasi yang ada sebelum kerugian terjadi. Reparasi juga berfungsi sebagai tindakan untuk mengakhiri perbuatan yang melanggar baik yang sedang terjadi maupun akan terjadi di masa depan. Reparasi juga dapat disebut sebagai rekonsiliator antara pelanggar dengan korban sebagai bentuk perbaikan dan rehabilitasi fisik dan psikologis dari korban. Reparasi harus seluruhnya memperbaiki setiap kerusakan, termasuk kerusakan material atau moral. Bentuk-bentuk reparasi yang diakui adalah reparasi berupa restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak akan terulangnya kembali. Pasal 34 dalam Draf Artikel Komisi Hukum Internasional tentang Tanggung Jawab Negara Internationally Wrongful Acts menaruh restitusi, kompensasi, dan kepuasan sebagai sebagai bentuk reparasi. Restitusi adalah rekonstruksi situasi yang ada sebelum tindakan yang salah dilakukan. Kompensasi adalah bentuk perbaikan berupa ganti rugi berupa uang dan non-uang, termasuk kehilalangan penghasilan dan pekerjaan.

35

Pengadilan HAM Untuk Aceh — WAIN ADVISORY INDONESIA. (2018, November 8). WAIN ADVISORY INDONESIA. Diakses pad tanggal 25 November 2021 melalui https://wainadvisory.com/2018/11/08/pengadilan-ham-untuk-aceh/.


Rehabilitasi adalah bentuk perbaikan berupa perawatan medis dan psikologis jangka panjang serta perawatan hukum. Jaminan tidak berulang adalah bentuk perbaikan sebagai pencegahan sebagai tindakan untuk melindungi korban dari bahaya lanjutan.36 Reparasi adalah sebuah program rekonstruksi yang wajib diberikan oleh negara atas pelanggaran HAM yang terjadi sebagai bentuk akuntabiltas negara kepada korban terjadinya pelanggaran HAM sekaligus komitmen negara untuk mengakui pelanggaran masa lalu 37. Pasal 1 ayat 21 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 menyebutkan bahwa “ Reparasi adalah hak korban perbaikan atau pemulihan yang wajib diberikan oleh negara kepada korban karena kerugian yang dialaminya, baik berupa restitusi, kompensasi, rehabilitasi, jaminan ketidakberulangan dan ha katas kepuasan38. Dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, Pemberian reparasi adalah salah satu mekanisme penyelesaian kasus HAM yang sedang dilakukan oleh pemerintah Aceh. Hal ini bisa kita lihat dengan dibentuknya Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang menjadi menjadi mandat hukum atas terbentuknya Lembaga yang berwenang merekomendasikan Langkah-langkah reparasi yang adil bagi korban.39 Penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui KKR Aceh hingga saat ini belum cukup maksimal. KKR Aceh telah merekomendasi hingga 5.178 ribu korban untuk diberikan reparasi komprehensif dengan kriteria laki-laki sebanyak 3.275 korban dan perempuan sebanyak 1.903 korban serta 245 koban untuk diberikan reparasi mendesak, tapi pelaksanaan atas rekoemendasi reparasi komprehensif dan reparasi mendesak belum diberitakan hingga saat ini. Publik tidak pernah tau sejauh mana pelaksanaan reparasi dilakukan yang menjadi tugas dari Badan Reintegrasi Aceh.

36

Reparations. (n.d.). obo. Diakses pada tanggal 2 November 2021 melalui https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199796953/obo-9780199796953-0003.xml. 37 Tim Reparasi Komnas HAM. 2011. Executive Summary Tim Reparasi bagi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Jakarta. 38 Lihat Pasal 1 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. 39 Lihat Pasal 10 ayat (l) Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 Komisi Kebnaran dan Rekonsiliasi Aceh.


Dalam Hal ini KKR Aceh telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam bentuk sebagai berikut:40 •

KKR Aceh telah memberikan rekomendasi reparasi mendesak kepada Pemerintah Aceh sebanyak 245 orang korban.

Pemerintah Aceh telah menindaklanjuti rekomendasi KKR Aceh tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 330/1629/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM.

Rekomendasi KKR Aceh tersebut telah diserahkan kepada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sebagai pelaksananya. Jenis layanan rekomendasi reparasi mendesak tersebut terdiri dari layanan medis, layanan psikosisial, layanan kependudukan, tunjangan hidup dan bantuan usaha.

Jumlah layanan yang direkomendasikan mendesak terdiri dari : Jenis Layanan Pembangunan dan perbaikan rumah 933 orang

Jumlah

sebanyak Bantuan modal usaha bidang

168 orang

pertanian Bantuan modal usaha bidang

159 orang

peternakan

40

Bantuan usaha bidang perikanan

70 orang

Tunjangan hidup

427 orang

Kompensasi dan ganti rugi

149 orang

Penyediaan lapangan pekerjaan

148 orang

Pengangkatan PNS

33 orang

Layanan medis

349 orang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. 2021. Laporan Perkembangan Kerja KKR Aceh 2016-2021. KKR Aceh. Banda Aceh.


Pendidikan/beasiswa

407 orang

Layanan spiritual

51 orang

Layanan inprastruktur

17 orang

Total

2.911 orang Sumber: Laporan Perkembangan Kerja KKR Aceh 2016-2021

KKR Aceh juga telah melakukan konsultasi pra laporan untuk pemenuhan hak atas pemulihan korban di 6 (enam) wilayah. Mulai dari Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Pidie Jaya. Konsultasi dilakukan dalam bentuk diskusi terfokus dengan mengundang pemateri dari Komisioner KKR Aceh yang memaparkan hasil telaah atas kebutuhan korban. Pemerintah Kabupaten yang diwakili oleh kepala Bappeda dan peserta konsultasi terdiri dari unsur penyintas, SKPA, Organisasi Masyarakat Sipil, Forkopimda Kabupaten dan penyelenggaraan kegiatan ini dibuka secara langsung oleh Bupati setempat. Kegiatan konsultasi ini memberikan masukan yang kontributif bagi KKR Aceh atas layanan yang selama ini terdapat pada pemerintah kabupaten setempat. Sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam merekomendasikan reparasi baik yang sifatnya mendesak dan komprehensif. Hasil dari konsultasi ini digunakan untuk kepentingan penyusunan rekomendasi reparasi. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh melalui Lembaga KKR adalah amanat dari perjanjian damai antara RI dan GAM, jadi sudah sepatutnya pemerintah membuka mata untuk terus berkomitmen menguatkan Lembaga ini.

41

Menurut salah satu demissioner

komisioner KKR Aceh, Mastur Yahya, S.H., M.H., Lembaga KKR Aceh masih sangat bergantung kepada Lembaga lainnya, jadi seharusnya KKR Aceh menjadi Lembaga yang otonom sehingga KKR Aceh bisa lebih kuat dan lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya sebagai pihak yang merekomendasi reparasi korban di Aceh. 42

41

Lihat MoU Helsinki 2005. Hasil wawancara pada tanggal 1 November 2021 dengan Mastur Yahya selaku Demissioner Komisioner KKR Aceh Periode 2016-2021. 42


Selain penguatan kelembagaan, Mastur juga merasa masyarakat masih dihantui dengan perasaan traumatis dengan kejadian konflik masa lalu sehingga proses pencarian data korban agak terhambat, bahkan ada beberapa lapisan masyarakat yang enggan diwawancarai karena masyarakat tidak terlalu percaya dengan KKR Aceh.43 Pelaksanaan pemberian reparasi di Aceh hingga saat ini belum dilaksanakan secara komprehensif. Tetapi, pelaksanaan pemberian reparasi mengalami sedikit kemajuan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 330/1209/2020 tentang Reparasi mendesak. SK ini dianggap sebagai komitmen awal pemerintah Aceh untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Aceh. Walaupun komitmen yang ditujukan oleh pemerintah Aceh sudah ada, namun realisasi dari SK tersebut agak tidak jelas. Reparasi mendesak yang mencakup layanan medis, layanan psikologis, layanan usaha, layanan jaminan sosial bagi lansia dan layanan akses kependudukan belum terealisasikan semuanya. Menurut Demissioner Komisioner KKR Aceh, KKR Aceh hanya menerima informasi bahwa pelaksanaan reparasi mendesak hanya sekedar pemberian dana sebesar Rp. 3.000.000 yang dilaksanakan oleh Baitul Mal Aceh.44 Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra menyoroti komitmen dari Pemerintah Aceh. Menurut Hendra, surat keputusan gubernur tentang reparasi mendesak tidak bisa dilaksanakan di tahap berikutnya karena substansi dari reparasi mendesak reparasi yang dilaksanakan karena ada kebutuhan mendesak disitu dan harus dilaksanakan di tahun terbitnya SK tersebut. 45Hendra juga menyebutkan bahwa penetapan surat keputusan gubernur tersebut tidak bisa dianggap sebagai sebuah capaian karena ketidakjelasan dari realisasinya.46 Jika dilihat Kembali pada data yang dikumpulkan oleh KKR Aceh, masih ada sekitar 5 ribuan korban yang harus diberikan reparasi secara komprehensif47. Mastur Yahya menyampaikan bahwa masih ada puluhan ribu korban yang belum terdata sebagai penerima reparasi48.

43

Ibid. Ibid. 45 Irfan Habibi, 2020, KontraS Tagih Janji Pemerintah Aceh Lakukan Perbaikan Mendesak terhadap Korban HAM, 8 Juli, Halaman 1, Banda Aceh. 46 Ibid. 47 KKR Aceh, Op Cit. 48 Hasil wawancara pada tanggal 1 November 2021 dengan Mastur Yahya selaku Demissioner Komisioner KKR Aceh Periode 2016-2021. 44


Calon penerima reparasi masih bisa bertambah apabila proses pengungkapan kebenaran berhasil. Eksistensi pengadilan HAM di Aceh sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan kebenaran yang terjadi selama konflik di Aceh dan putusan dari pengadilan HAM dapat dijadikan sebagai instrumen penting dalam pemenuhan reparasi korban.49 Reparasi tidak hanya mencakup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, namun esensi utama dari reparasi adalah adanya perbaikan yang nyata baik secara material maupun mental sehingga keterbukaan atas informasi dan terungkapnya kebenaran selama konflik masih sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat Aceh khusunya korban konflik yang pasrah atas hilangnya keluarga dan aset milik mereka.50 Masih ada tiga tahun lagi menuju pemilihan gubernur baru Aceh dan apakah gubernur sekarang mampu menyelesaikan permasalahan HAM di Aceh?. Aceh seharusnya lebih mudah menyelesaikan permasalahan HAM dibandingkan dengan daerah lainnya. Eksistensi dari KKR Aceh harusnya dimanfaatkan dengan maksimal karena Lembaga ini memiliki peran penting dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM dimana daerah lain tidak memiliki Lembaga ini. Namun, ironisnya penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh sangat lambat. Kembali lagi, pertanyaanya adalah “Apakah pemerintah Aceh serius dalam menyelesaikan kasus konflik di Aceh mengingat hanya tersisa 3 tahun masa kepemimpinan sebelum kontestasi politk Kembali dimulai?”.

49 50

Lihat Pasal 228 ayat (1) dan (2) UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Amnesty International, Op Cit.


BAB III PENUTUP 3.1

Kesimpulan Konflik berkepanjangan antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah

memakan ribuan korban mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, tidak hanya berasal dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) namun mereka juga warga sipil yang sebernarnya tidak memiliki keterkaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Terdapat lima kasus yang teridentifikasi sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu Peristiwa Rumah Geudong di Pidie, Peristiwa Pembunuhan Massal Simpang KKA di Aceh Utara, Peristiwa Pembunuhan Bumi Flora di Aceh Timur, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa & Kuburan Massal di Bener Meriah dan Peristiwa Pembantaian Massal Jambo Keupok. Tiga indikator yang menggolongkan Konflik Aceh sebagai Pelanggaran HAM Berat yaitu Adanya keseriusan perbuatan, Akibat yang ditimbulkan, dan Jumlah Korban. TindakanTindakan Represif yang menjadi indikator adanya keseriusan perbuatan diantaranya Pembantaian, Penculikan, Kerja Paksa, Pelecehan Seksual, Manuver Senjata, dan Pembakaran. Hilangnya anggota keluarga, Harta Benda, dan hal-hal berharga lainnya membuat Konflik Aceh disebut salah satu pelanggaran HAM Berat. Jumlah Korban Konflik Aceh dalam lima masa yaitu Pra DOM, DOM, Pasca DOM, Jeda Kemanusiaan, dan Darurat Militer memakan korban hingga ribuan (data korban konflik sangat variatif). Dua mekanisme yang dapat negara lakukan dalam menjalankan responsibilitasnya terhadap korban Konflik Aceh yaitu Penyelesaian melalui Pengadilan HAM yang mekanisme penyelesaiannya diatur lebih komprehensif di dalam UU No.26 Tahun 200 tentnag Pengadilan HAM. Butir 2.2 MoU Helsinki menyatakan “Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk di Aceh”, butir tersebut jelas menyebutkan bahwa Aceh seharusnya memiliki sebuah Pengadilan HAM, namun hal ini belum direalisasikan dengan nyata. Padahal dengan adanya Pengadilan HAM di Aceh akan membantu lebih mudah penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh yang hingga saat ini belum terselesaikan.


Mekanisme lainnya adalah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang diatur didalam MoU Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. KKR Aceh baru menjalankan tugasnya pada tahun 2017, namun hingga saat ini KKR Aceh masih belum signifikan karena KKR Aceh masih berada di bawah Badan Reintegrasi Aceh sehingga KKR Aceh tidak leluasa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, serta tidak adanya kesekretariatan dan terbatasnya anggaran dan kurangnya dukungan politik dari para pemangku kepentingan di Aceh membuat KKR Aceh tidak dapat bekerja secara maksimal. Dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh, pemberian reparasi merupakan salah satu mekanisme penyelesaian kasus HAM di mana reparasi bertujuan sebagai pemulihan kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh sebuah perbuatan yang melanggar hukum. Reparasi adalah sebuah program rekonstruksi yang wajib diberikan oleh negara atas pelanggaran HAM yang terjadi sebagai bentuk akuntabilitas negara kepada korban terjadinya pelanggaran HAM sekaligus komitmen negara untuk mengakui pelanggaran HAM masa lalu. Berdasarkan Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, KKR Aceh adalah lembaga yang diberi mandat hukum dan yang berwenang merekomendasikan langkah-langkah reparasi yang adil bagi korban.

3.2

Rekomendasi ALSA LC USK Berdasarkan data, fakta dan hasil analisis yang didapatkan oleh ALSA Legal Research

Team, ALSA Local Chapter Universitas Syiah Kuala merekomendasikan kepada seluruh stakeholder yang terkait , sebagai berikut: 1. Mendorong pemerintah, khususnya pemerintah provinsi Aceh untuk segera melaksanakan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 330/1629/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan di dalam surat keputusan tersebut. 2. Mendorong Pemerintah Aceh untuk mengkaji kembali terkait dengan pembentukan pengadilan HAM di Aceh sebagai instrumen khusus dalam pengungkapan kebenaran sebagai pendahuluan dari pemenuhan reparasi korban pelanggaran HAM di Aceh.


3. Mendorong Pemerintah Aceh untuk melaksanakan reparasi komprehensif sesuai dengan data penerima reparasi yang telah direkomenadasikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. 4. Mendorong Pemerintah Aceh untuk memproduksi sebuah film dokumenter atau film pendek yang merefleksikan peristiwa pelanggaran HAM di Aceh sebagai bentuk pemenuhan hak atas informasi kepada masyarakat. 5. Mendukung usulan dari demissioner komisioner KKR Aceh untuk menjadikan KKR Aceh sebagai lembaga yang otonom yang tidak bergantung pada Badan Reintegrasi Aceh (BRA). 6. Mendorong Pengalokasian anggaran khusus untuk KKR Aceh ketika menjadi lembaga yang otonom agar KKR Aceh bisa melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya lebih baik sehingga substansi dari pemenuhan reparasi dapat terlaksana. 7. Mendorong Kejaksaan Agung untuk segera menindaklanjuti 3 kasus pelanggaran HAM Aceh yang berkas peristiwanya sudah diselidiki dan diajukan oleh Komnas HAM RI. 8. Mendorong DPR RI untuk menindaklanjuti kembali draf UU KKR yang sudah selesai dibentuk sehingga dengan adanya UU KKR dapat menjadi instrumen penguatan kelembagaan dari KKR sendiri. 9. Mendorong DPRA untuk segera menetapakan komisioner KKR Aceh yang baru setelah terjadinya kekosongan kepengurusan di KKR Aceh. 10. Mendorong Komisioner KKR Aceh ke depan untuk melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya menjadi lebih baik lagi yang belum terlaksanakan secara menyeluruh di kepengurusan sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA Jurnal Tajuddin, M. A. dan I. R. Tarsan. 2019. Pemenuhan Hak Keluarga Korban Terkait Tindak Pidana Pembunuhan dalam Perspektif Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Universitas Musamus. Merauke. Nasution, Aulia Rosa. Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsilias. Jurnal Hukum. Universitas Medan Area. Medan. Andini, Anisha P. 2014. Tanggung Jawab Negra Terhadap Penegakan HAM Di Aceh Pasca Memorandum of Understanding Helsinki.Prosiding Simposium Hukum Tata Negara Malang. Universitas Brawijaya : 1-18. Daudy, Muhammad H. 2019. Rekonsiliasi Di Aceh: Peluang Dan Tantangannya. Jurnal Hukum. 14(1):110-118. Kurniawan, Rendy. 2006. Pelanggaran HAM Berat Serta Mekanisme Penyelesaiannya Di Indonesia. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya Hasnawati, Desi. 2020. Implementasi Qanun Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh Dalam Pengungkapan Kasus-Kasus Daerah Operasi Militer. Skripsi. Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Ar-raniry. Banda Aceh.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Pada Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi Sampai Merendahkan Martabat Orang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights MoU Helsinki 2005 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIV/2006

Laman VOA Indonesia. 2020. Aktivis : Pelanggaran HAM di Indonesia Terus Meningkat. https://www.voaindonesia.com/a/aktivis-pelanggaran-ham-di-indonesia-terusmeningkat/5694381.html. . 27 juni 2021 (21:43) Antero

Aceh.

2020.

Tragedi

Jambo

Keupok

Luka

yang

Masih

Berdarah.

https://anteroaceh.com/news/tragedi-jambo-keupok-luka-yang-masihberdarah/index.html. 02 Juli 2021 (14.32) Redaksi Aceh Satu. 2020. Sejarah Hari Ini: 17 Tahun Tragedi Jambo Keupok, 16 Warga Sipil Dibakar Hidup-Hidup dan Ditembak. Aceh Satu. https://acehsatu.com/sejarah-hariini-17-tahun-tragedi-jambo-keupok-16-warga-sipil-dibakar-hidup-hidup-danditembak/. 02 Juli 2021 (14.54) ITS

News.

2019.

Jejak

Hak

Asasi

Manusia

di

Indonesia.

https://www.its.ac.id/news/2019/12/11/jejak-hak-asasi-manusia-di-indonesia/. juli 2021 (16.07)

02


Hukum Online. 2021. Penyelesaian

Pelanggaran

HAM

Berat

Melalui

Rekonsiliasi.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt60211c116eaa7/penyelesaianpelanggaran-ham-berat-melalui-rekonsiliasi/. 25 November 2021 (17.45) Rmol Aceh. 2021. Kontras Tagih Janji Pemerintah Aceh Lakukan Perbaikan Mendesak terhadap

Korban

HAM.

https://www.rmolaceh.id/kontras-minta-tagih-janji-

pemerintah-aceh-lakukan-perbaikan-mendesak-terhadap-korban-ham. 29 November 2021 (14.25) Oxford

Bibliographies.com.

2012.

Reparations.

https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199796953/obo9780199796953-0003.xml. 18 Oktober 2021 (16.18) Kumparan. 2019. 3 Pelanggaran HAM di Aceh Mau Dituntaskan, Semoga Bukan Isapan Jempol.

https://kumparan.com/acehkini/3-pelanggaran-ham-di-aceh-mau-

dituntaskan-semoga-bukan-isapan-jempol-1sRZIVPYUlD.

24

November

2021

(17.45) Rmol Aceh. 2021. Masa Kerja Komisioner Berakhir, Pemerintah Aceh Jangan Biarkan KKR Aceh Vakum. https://www.rmolaceh.id/masa-kerja-komisioner-berakhir-pemerintahaceh-jangan-biarkan-kkr-aceh-vakum. 24 November 2021 (18.05) Kumparan. 2021. Pemerintah Aceh Belum Realisasi Reparasi Mendesak 245 Korban Pelanggaran

HAM.

https://kumparan.com/acehkini/pemerintah-aceh-belum-

realisasi-reparasi-mendesak-245-korban-pelanggaran-ham-1w6AePXLW7S/4.

29

November 2021 (15.08) Henry

Hafidz.

2019.

3

Penyebab

Peristiwa

Aceh

1990-1998

Terlengkap.

https://sejarahlengkap.com/indonesia/penyebab-peristiwa-aceh-1990. 4 Desember 2021 (02.00) Lain-lain Amnesty International. 2013. Saatnya Menghadapi Masa Lalu. Amnesty International. London.


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2016. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan HAM Yang Berat : Peristiwa Simpang KKA Aceh. Komnas HAM. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2013. Ringkasan Eksekutif Hasil Tim Pemantauan dan Penyelidikan : Pelanggaran HAM Pada Masa Daerah Operasi Militer di Provinsi Aceh.Komnas HAM.Jakarta. Kontras. 2006. ACEH Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Seri II. Kontras. Aceh. Badan Diklat Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ). 2016. Modul Hak Asasi Manusia. JKT-PPPJ. Jakarta. Institute for Defense Security and Peace Study (IDSPS). 2009. Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009. Edisi Pertama. IDSPS. Jakarta. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII). 2007. Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia. Edisi Pertama. PUSHAM UII. Yogyakarta. Komisi Nasional Hak Asasi manusia. 2016. Ringkasan Eksekutiv Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat : Peristiwa Jambo Keupok di Aceh. Komnas HAM. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2006. Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusi Yang Berat Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 5 Periode 1997 – 1998. Komnas HAM. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2020. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat. Komnas HAM. Jakarta. Wain Advisory. 2018. Pengadilan HAM untuk Aceh. Wain Advisory. Jakarta. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. 2021. Laporan Perkembangan Kerja KKR Aceh 2016-2021. KKR Aceh. Banda Aceh. ELSAM. 2014. Reparasi. ELSAM. Jakarta.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.