BEST LEGAL OPINION

Page 1

PERAN NEGARA DALAM MELINDUNGI TANAMAN KHAS DAERAH TERHADAP PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN PADA STUDI KASUS POHON ANDALAS ( Morus Mocroura) Arya Putra Rizal Pratama, Universitas Andalas

Studi Kasus Indonesia merupakan Negara hukum yang berdaulat sebagaimana cita-cita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19451. Indonesia memiliki hasil kekayaan alam baik secara hayati maupun non-hayati. Dalam pengaturan hukum di Indonesia bahwa “Perlindungan Varietas Tanaman adalah perlindungan khusus yang diberikan oleh negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya untuk dihasilkan oleh pemuliaan tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman”2. Melihat secara studi kasus bahwa Pohon Andalas merupakan tanaman yang memiliki nama ilmiah Morus mocroura yang menjadi tanaman khas daerah Sumatra Barat3. Ciri khas dari tanaman andalas adalah memiliki tinggi 60 meter dan diameter 1 meter dengan batang yang tegak lurus. Tanaman memiliki buah dengan karakteristik “bergerombol kecil-kecil, berwarna hijau sewaktu muda, dan berwarna ungu kemerahan jika sudah matang, serta hidup di dataran tinggi yang berada di wilayah suhu rendah. Negara sebagai regulator sejatinya memiliki peran dalam melindungi untuk menciptakan suatu jaminan dan kepastian hukum terhadap hasil keanekaragaman hayati khususnya Varietas lokal milik masyarakat4. Mengacu pada Konstitusi bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”5. Secara kasus bahwa

1

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman 3 Yomi Hanna,2017: “Pohon Andalas, Tanaman Khas Sumatra Barat”,bobo.grid.id, https://bobo.grid.id/read/08673553/pohon-andalas-tanaman-khas-sumatera-barat, diakses pada tanggal 28 November 2020 4 Ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman 5 Ketentuan pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 2


tanaman andalas telah mengalami suatu kepunahan yang diakibatkan adanya eksploitasi secara berlebihan dan bahkan tumbuhan ini memiliki manfaat yang baik terutama pengobatan herbal. Nama latin dari tanaman andalas adalah Morus mocroura tanaman potensial yang bergabung pada kelompok mulberry. Kelompok mulberry merupakan tanaman yang berasal dari jenis tumbuhan yang unik dan berkarakteristik,terutama bentuk buah dan warna serta tanaman yang mudah untuk beradaptasi sehingga dapat dibudidayakan di negara tropis dan subtropis6. Indonesia termasuk negara yang peduli terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Namun, meskipun daerah-daerah mempunyai potensi atas varietas ungguk yang dapat dimintakan permohonan PVT tetapi pengetahuan masyarakat dan instansi terkait tentang perlindungan varietas tanaman masih kurang7. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui bagaimana perlindungan keanekaragaman hayati khas daerah terutaman tanaman khas Sumatra Barat yaitu Tanaman Andalas (Morus mocroura). Isu Hukum 1. Bagaimana Perlindungan Tanaman Khas Daerah (Sumatra Barat) sebagaimana Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) di Indonesia ? 2. Bagaimana Kedudukan Tanaman Andalas (Morus mocroura) sebagai Tanaman Khas Daerah Sumatra Barat dalam Perlindungan Hukum Keanekaragaman Hayati di Indonesia ?

6

Pohon Murbei-Taksonomi, Morfologi, Manfaat Buah & Cara Tanam: “Pohon Murbei”,rimbakita.com, https://rimbakita.com/pohonmurbei/#:~:text=Pohon%20murbei%20atau%20mulberry%20merupakan,dari%20bentuk%20bua h%20dan%20warnanya.&text=Umumnya%20tumbuhan%20murbei%20dimanfaatkan%20untuk,b agian%20tanaman%20berumur%20pendek%20ini., diakses pada tanggal 28 November 2020 7 Prasetyo Hadi Purwandoko dan Moch Najib Imanullah, 2013, “Perlindungan Varietas Tanaman Sebagai Salah Satu Bentuk Perlindungan Hak Ekonomi Para Pemulia Tanaman Menuju Ketahanan Pangan Nasional”,Jurnal Hukum,Volume 2, Nomor 3, file:///C:/Users/TOSHIBA/Downloads/10162-18472-1-PB%20(2).pdf, diakses pada tanggal 28 November 2020


Dasar Hukum 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention Biological Diversity (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Penamaan, Pendaftaran Dan Penggunaan Varietas Asal untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial

Analisis 1. Perlindungan Tanaman Khas Daerah (Sumatra Barat) sebagaimana Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) di Indonesia Pada tahun 1993 dari174 negara termasuk Indonesi melakukan ratifikasi terhadap Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati. Bentuk ini menjadi suatu perlakuan Indonesia beserta dari 174 negara untuk melindungi hasil keanekaragaman hayati untuk dilindungi,hormati, dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi,dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal sebagaimana ciri khas kehidupan tradisional. Fokus pengaturan terhadap tanaman varietas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Secara filosofi bahwa “untuk membangun pertanian yang maju, efisien, dan tangguh perlu didukung dan ditunjang antara lain dengan tersedianya varietas unggul”8. Tanaman Andalas (Morus mocroura) merupakan tanaman asli dari Provinsi Sumatra Barat. Tanaman dengan batang pohon yang kokoh dapat dijadikan sebagai tiang-tiang rumah adat minang atau rumah gadang yang terbuat dari kayu andalas9. Menurut penelitian bahwa

8

Ketentuan “Menimbang huruf b” pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman 9 Anis Kurniawan, 2020, “Pohon Andalas, Maskot Provinsi Sumatra Barat, Manfaat dan Fakta Unik di Baliknya”,klikhijau.com, https://klikhijau.com/read/pohon-andalas-maskot-provinsisumatera-barat-manfaat-dan-fakta-unik-di-baliknya/, diakses pada tanggal 28 November 2020


tanaman andalas memiliki khasiat dalam pengobatan secara herbal untuk penghasil antioksidan baru dan anti HIV10. Secara analisa hukum, bahwa perlindungan varietas tanaman telah mengatur mengenai tanaman milik lokal yang berasal dari Indonesia. Menurut ketentuan hukum bahwa “Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh negara melalui pemerintah sebagaimana berkewajiban untuk memberikan penamaan terhadap varietas lokal11. Tanaman andalas telah menjadi maskot Provinsi Sumatra Barat pada tanggal 14 agustus 1990 melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 522-414199012.Secara analisa hukum bahwa Pemerintah Sumatra Barat telah memberikan dasar hukum untuk perlindungan tanaman khas daerah sebelum Indonesia melakukan

ratifikasi

Undang-Undang

Nomor

5

Tahun

1994.

Melihat

perlindungan varietas tanaman di negara India bahwa menggunakan prinsip “sui generis system”. Prinsip “Sui Generis System merupakan memandang hukum secara fundamental dari hukum yaitu sisi intrinsic dari hukum13. Artinya bahwa UU Perlindungan Varietas Tanaman di negara India lebih mengacu pada nilainilai keadilan. Penulis menganalisa terhadap UU Perlindungan Varietas Tanaman Indonesia menggunakan prinsip “Sui Generis System”. Dimana analisa penulis melihat pada Pasal 10 yang menjelaskan bahwa “penggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk dituntut komersial serta adanya untuk kebijakan pengadaan pangan dan obat-obatan”14.Hal ini menunjukkan dengan peran negara dalam perlindungan tanaman khas daerah 10

Rizka Desri Yusfita, 2019, “Pohon Andalas, Flora Identitas Sumatra Barat Bakal Ditanam Untuk Menetralisir Pencemaran Udara”, padang.tribunnews.com, https://padang.tribunnews.com/2019/07/18/pohon-andalas-flora-identitas-sumatera-barat-bakaldi-tanam-untuk-menetralisir-pencemaranudara#:~:text=%22Daun%2C%20akar%2C%20dan%20batang,rematik%2C%22%20jelas%20Sit i%20Aisyah., diakses pada tanggal 28 November 2020 11 Ketentuan pada Pasal 7 ayat (1),(2),dan (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman 12 Anis Kurniawan, 2020, “Pohon Andalas, Maskot Provinsi Sumatra Barat, Manfaat dan Fakta Unik di Baliknya”,klikhijau.com, https://klikhijau.com/read/pohon-andalas-maskot-provinsisumatera-barat-manfaat-dan-fakta-unik-di-baliknya/, diakses pada tanggal 28 November 2020 13 Bayu Pradana, 2013, “Karakter Sui Generis Dalam Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum”,saplaw.top, https://www.saplaw.top/karakter-sui-generis-dalam-ilmu-hukum-dan-filsafathukum/, diakses pada tanggal 28 November 2020 14 Ketentuan pada Pasal 10 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman


dilakukan melalui perjanjian Benefit Sharing . Perjanjian ini merupakan kesepakatan bersama dalam pembagian manfaat ekonomi sebagai kompensasi kepada masyarakat lokal atas tindakan komersialisasi varietas tanaman lokal oleh pihak lain15 . 2. Kedudukan Tanaman Andalas (Morus mocroura) sebagai Tanaman Khas Daerah Sumatra Barat dalam Perlindungan Hukum Keanekaragaman Hayati di Indonesia Mengacu pada ketentuan hukum bahwa “Varietas Lokal adalah varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun temurun oleh petani, serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai oleh negara”16. Analisa penulis terhadap ketentuan hukum diatas bahwa kedudukan tanaman asal daerah terutama tanaman Andalas (Morus mocroura) telah diakomodir melalui peraturan pemerintah terhadap hasil keanekaragaman hayati di Indonesia. Tanaman Andalas telah ditetapkan sebagai tanaman khas (flora identitas) provinsi Sumatra Barat dengan batang pohon yang kuat dan mudah beradaptasi dalam berbagai macam cuaca ataupun iklim. Kedudukan pada tanaman lokal diatur pada ketentuan hukum pada Penamaan dan Pendaftaran yang menjelaskan bahwa “mencerminkan identitas varietas lokal, tidak menimbulkan kerancuan, tidak digunakan nama varietas lain,tidak menggunakan nama orang terkenal, tidak menggunakan nama alam, tidak menggunakan lambaga negara, dan tidak menggunakan merek dagang ”17. Dalam perjanjian yang dikenal yaitu Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights” (TRIPs) bahwa “Tumbuh-tumbuhan dan binatang selain mikroorganisme dan proses-proses esensial biologis untuk produksi tumbuhtumbuhan atau binatang selain non-biologis dan proses mikrobiologis”18.Hal ini 15

Yuliana Diah Warsiki Susi Irianti, 2017, “Perlindungan dan Pemanfaatan Varietas Tanaman Melalui Perjanjian Benefit Sharing, Jurnal Hukum,Vol.12, No.1, file:///C:/Users/TOSHIBA/Downloads/2855-6985-3-PB.pdf, diakses pada tanggal 28 November 2020 16 Ketentuan pada Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penamaan, Pendaftaran Dan Penggunaan Varietas Asal untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial 17 Ibid,.Ketentuan pad Pasal 4 huruf a,b,c,d,e,f,g Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2014 18 Perlindungan Varietas Tanaman Lokal Dalam Hukum Kekayaan Intelektual,2011,”Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)”, bhpn.go.id, https://bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-15.pdf, diakses pada tanggal 28 November 2020


sebagaimana setiap negara-negara anggota harus menyelenggarakan perlindungan bagi varietas tanaman baik melalui paten maupun sistem sui generis yang efektif atau melalui kombinasi.

Indonesia merupakan negara yang berdaulat

sebagaimana telah menyepakati perjanjian dalam upaya konservasi terhadap keanekaragaman hayati secara adil dan merata. Penulis menganalisa, dalam perlindungan hukum terhadap tanaman andalas merupakan prinsip dari “Common heritage of mankind” yang dimana siapapun dalam memanfaatkanya dengan baik demi kepentingan umum. Ini menjadi suatu keuntungan bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang dapat mendapatkan keseimbangan dengan negara-negara industrial dalam rangka penelitian, komersial, pemuliaan serta lainnya. Kandungan nilai-nilai yang terdapat dalam UU Perlindungan Varietas Tanaman bahwa “Negara Republik Indonesia merupakan negara agraris, maka pertanian yang maju, efisien, dan tangguh mempunyai peranan yang penting dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional”19 . Oleh karena itu, peran negara dalam perlindungan tanaman lokal terutaman tanaman andalas sebagai tanaman khas daerah perlu diatur oleh hukum sehingga kedudukan dari tanaman-tanaman khas daerah lainnya dapat terakomodir sebagai bagian dari peran pembangunan nasional. Kesimpulan Perlindungan varietas tanaman telah mengatur mengenai tanaman milik lokal yang berasal dari Indonesia. Menurut ketentuan hukum bahwa “Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh negara melalui pemerintah sebagaimana berkewajiban

untuk

memberikan

penamaan

terhadap

varietas

lokal”.

Perlindungan Tanaman Khas Daerah melalui UU Perlindungan Varietas Tanaman bahwa Varietas Tanaman Indonesia menggunakan prinsip “Sui Generis System”. Dimana analisa penulis melihat pada Pasal 10 yang menjelaskan bahwa “penggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk dituntut komersial serta adanya untuk kebijakan pengadaan pangan dan

19

Ketentuan pada “Filosofi” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman


obat-obatan”. Hal lain pun, peran Negara dalam perlindungan tanaman khas daerah dilakukan melalui perjanjian Benefit Sharing. Analisa penulis terhadap ketentuan hukum diatas bahwa kedudukan tanaman asal daerah terutama tanaman Andalas (Morus mocroura) telah diakomodir melalui peraturan pemerintah terhadap hasil keanekaragaman hayati di Indonesia. Dalam perjanjian yang dikenal yaitu Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights” (TRIPs) bahwa “Tumbuh-tumbuhan dan binatang selain mikroorganisme dan proses-proses esensial biologis untuk produksi tumbuhtumbuhan atau binatang selain non-biologis dan proses mikrobiologis”. Sebagaimana setiap negara-negara anggota harus menyelenggarakan perlindungan bagi varietas tanaman baik melalui paten maupun sistem sui generis yang efektif atau melalui kombinasi. Indonesia merupakan negara yang berdaulat sebagaimana telah menyepakati perjanjian dalam upaya konservasi terhadap keanekaragaman hayati secara adil dan merata. Penulis menganalisa, dalam perlindungan hukum terhadap tanaman andalas merupakan prinsip dari “Common heritage of mankind” yang dimana siapapun dalam memanfaatkanya dengan baik demi kepentingan umum.Oleh karena itu, dengan perlindungan tanaman khas daerah masih diatur melalui UU Perlindungan Varietas Tanamn dan Peraturan Pemerintah, perlu adanya penguatan demi keberlanjutan pembangunan nasional.

DAFTAR PUSTAKA


Jurnal

Prasetyo Hadi Purwandoko dan Moch Najib Imanullah, 2013, “Perlindungan Varietas Tanaman Sebagai Salah Satu Bentuk Perlindungan Hak Ekonomi Para Pemulia Tanaman Menuju Ketahanan Pangan Nasional”,Jurnal Hukum,Volume 2, Nomor 3, file:///C:/Users/TOSHIBA/Downloads/1016218472-1-PB%20(2).pdf Yuliana Diah Warsiki Susi Irianti, 2017, “Perlindungan dan Pemanfaatan Varietas Tanaman Melalui Perjanjian Benefit Sharing, Jurnal Hukum,Vol.12, No.1, file:///C:/Users/TOSHIBA/Downloads/2855-6985-3-PB.pdf, 

Laman/Website

Anis Kurniawan, 2020, “Pohon Andalas, Maskot Provinsi Sumatra Barat, Manfaat

dan

Fakta

Unik

di

Baliknya”,klikhijau.com,

https://klikhijau.com/read/pohon-andalas-maskot-provinsi-sumatera-baratmanfaat-dan-fakta-unik-di-baliknya/, Bayu Pradana, 2013, “Karakter Sui Generis Dalam Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum”,saplaw.top,

https://www.saplaw.top/karakter-sui-generis-dalam-

ilmu-hukum-dan-filsafat-hukum/, Perlindungan

Varietas

Tanaman

Lokal

Dalam

Hukum

Kekayaan

Intelektual,2011,”Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)”, bhpn.go.id, https://bphn.go.id/data/documents/pkj2011-15.pdf, Pohon Murbei-Taksonomi, Morfologi, Manfaat Buah & Cara Tanam: “Pohon Murbei”,rimbakita.com,

https://rimbakita.com/pohon-

murbei/#:~:text=Pohon%20murbei%20atau%20mulberry%20merupakan,dar i%20bentuk%20buah%20dan%20warnanya.&text=Umumnya%20tumbuhan %20murbei%20dimanfaatkan%20untuk,bagian%20tanaman%20berumur%2 0pendek%20ini,


Rizka Desri Yusfita, 2019, “Pohon Andalas, Flora Identitas Sumatra Barat Bakal Ditanam Untuk Menetralisir Pencemaran Udara”, padang.tribunnews.com, https://padang.tribunnews.com/2019/07/18/pohon-andalas-flora-identitassumatera-barat-bakal-di-tanam-untuk-menetralisir-pencemaranudara#:~:text=%22Daun%2C%20akar%2C%20dan%20batang,rematik%2C %22%20jelas%20Siti%20Aisyah, Yomi

Hanna,2017:

Barat”,bobo.grid.id,

“Pohon

Andalas,

Tanaman

Khas

Sumatra

https://bobo.grid.id/read/08673553/pohon-andalas-

tanaman-khas-sumatera-barat,

Peraturan Perundang-Undangan

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention Biological Diversity (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)  Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman  Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Penamaan, Pendaftaran Dan Penggunaan Varietas Asal untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial


PENGESAHAN RUU PSDG SEBAGAI WUJUD PENCEGAHAN PRAKTIK BIOPIRACY DI INDONESIA BERDASARKAN PERATIFIKASIAN NAGOYA PROTOCOL

Mikhael Petric Domula, Muhammad Adimaz Yudhistira, dan Qiyamullail Nuzhul Islam Universitas Brawijaya

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat banyak, dengan wilayah yang mencakup lebih dari 17.000 pulau, Indonesia menjadi tempat bermukim kurang lebih 10% dari tumbuhan berbunga di dunia, 12% dari mamalia, serta 17% dari reptil, amfibi, dan burung.1 Kekayaan akan keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan kekayaan genetik ini membuat indonesia disebut sebagai megabiodiversity country, bahkan dikatakan juga sebagai negara dengan biodiversitas tertinggi di dunia. Kekayaan yang dimiliki Indonesia tidak terbatas pada kekayaan biodiversitas di atas tanah tetapi juga mencakup lautan yang tidak kalah kaya.2 Dengan segala kekayaan biodiversitas ini, tidak heran bila Indonesia menjadi pusat penelitian dan sumber faktor produksi bagi negara-negara maju untuk menghasilkan berbagai macam produk dalam sektor pertanian, pangan, bioteknologi dan farmasi. Namun begitu, luas wilayah serta kekayaan biodiversitas Indonesia, menyebabkan rentan nya praktik biopiracy yang dilakukan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab. Para pihak ini mengeksploitasi biodiversitas Indonesia tanpa izin dan bahkan tidak memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia dalam pemanfaatan biodiversitas nya sendiri.

1

Normile, D. (2010). Saving Forests to Save Biodiversity. Science, 329(5997), 1278-1280. doi:10.1126/science.329.5997.1278 2 Tobing, I. S., & Matondang, I. (2018). Biodiversitas untuk Kehidupan. Jakarta, Indonesia: Unas Press.


Biopiracy atau biocolonialism adalah penyelundupan kekayaan hayati milik suatu negara sehingga menyebabkan kerugian ekonomi secara langsung bagi negara pemilik kekayaan hayati tersebut. Selain itu, bentuk praktik biopiracy juga dapat berupa pencurian berbagai produk alami dan memperjualbelikannya tanpa memberikan keuntungan atas hak paten atau hak kekayaan intelektual negara sumber kekayaan hayati tersebut berasal.3 Praktik biopiracy, tidak hanya merugikan ekonomi secara langsung, tetapi juga menyebabkan kerugian jangka panjang. Misalnya, suatu paten yang diambil dari sampel curian hasil biopiracy menyebabkan manfaat suatu kekayaan hayati Indonesia tidak dapat digunakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Beberapa kegiatan yang termasuk kedalam Biopiracy adalah: -

Hak komersial eksklusif untuk tumbuhan, hewan, mikroorganisme dan gen.

-

Komersialisasi pengetahuan masyarakat tradisional tentang sumber daya hayati.4 Konsep dari biopiracy berasumsi bahwa memanfaatkan kekayaan gen

tanaman, hewan dan manusia merupakan suatu hak yang bernilai ekonomis. Dikarenakan memiliki nilai ekonomis, maka praktik biopiracy ini jelas merugikan negara-negara yang tereksploitasi. Selain itu, biopiracy juga merupakan permasalahan internasional dikarenakan berhubungan erat dengan kedaulatan suatu negara. Maka dari itu, diperlukannya suatu perlindungan hukum dan peraturan yang mengatur mengenai biopiracy ini.

Peraturan mengenai akses kepada kekayaan genetika dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan biodiversitas suatu negara telah diatur dalam Nagoya Protocol yang telah ditandatangani oleh 21 Negara termasuk Indonesia. Perjanjian internasional ini bertujuan untuk membagi keuntungan yang adil dan merata terhadap pemanfaatan sumber daya genetik, meliputi aturan mengenai 3

Pallavi Sharma, Ravi Shringi, Zainul Abideen Ansari. (2015). Biopiracy. Indian Journal of Science, 15(45), 25-26

4

Ibid.


akses terhadap sumber daya genetik itu sendiri, dengan mempertimbangkan semua hak atas sumber daya, teknologi, dan pendanaan, sehingga para pihak dapat berkontribusi terhadap keberlanjutan dari konservasi biodiversitas di negara tersebut.5 Inti dari Nagoya Protocol tertuang dalam artikel lima dan enam. Artikel lima menjelaskan mengenai pengaplikasian pemanfaatan sumber daya genetik dan komersialiasi yang dibagikan secara merata dengan pihak penyedia sumber daya dengan kesepakatan bersama tanpa bertentangan dengan undang-undang nasional dan masyarakat adat di negara tersebut.6 Sementara Artikel enam membahas mengenai akses pada suatu sumber daya genetik harus berdasarkan hak kedaulatan suatu negara. Selain itu, akses dari sumber daya genetik ini juga harus bersifat transparan kepada masyarakat adat dan lokal untuk dapat terlibat dalam penelitian yang dilakukan, tentunya dengan keterlibatan pemerintah di negara tersebut baik dari segi legislatif, administratif, maupun pembuatan aturan.7

Indonesia sendiri telah meratifikasi Nagoya Protocol dalam undang-undang nomor 11 tahun 2013. Namun begitu, undang-undang ini masih sebatas penetapan prosedural perjanjian internasional. Karena itu diperlukan undang-undang yang mentransformasikan norma dalam Nagoya Protocol kedalam hukum nasional Indonesia.

Isu Hukum 1. Bagaimana bentuk perlindungan biodiversity Indonesia terhadap biopiracy saat ini? 2. Kenapa pengesahan RUU PSDG merupakan sebuah urgensi?

5

Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity, Article 1. 6 Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity, Article 5. 7 Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity, Article 6.


Dasar Hukum ● Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (LN.2019/NO.148, TLN NO.6374) ● UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (LN.1990/NO.49, TLN NO.3419) ● Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (LN.2013/No. 73, TLN No. 5412) ● Nagoya Protocol

on Access to Genetic Resources and The Fair and

Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity


Analisis

Perlindungan Hukum bagi Biodiversitas Indonesia Terhadap Praktik Biopiracy

Meskipun Indonesia telah meratifikasi Nagoya Protocol, Indonesia sendiri belum memiliki undang-undang secara khusus yang melindungi biodiversitas dan kekayaan genetiknya dari tindakan biopiracy termasuk mengenai akses kepada kekayaan genetika dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan biodiversitas. Meskipun terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai biopiracy, kami menilai nomenklatur dan pembahasan pada peraturan tersebut masih kurang komprehensif sehingga dapat menimbulkan misinterpretasi dan miskonsepsi pada masyarakat dan pemerintah sebagai pihak berwenang. Beberapa Undang-Undang tersebut diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU 11/2011) dan UndangUndang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990). Namun, kedua peraturan tersebut hanya mengatur perlindungan biodiversitas secara umum. Dalam UU 11/2011 terdapat tiga pasal yang mengatur mengenai biopiracy, yaitu pasal 35, 77, dan 85. Ketiga pasal tersebut secara umum membahas mengenai perlindungan kekayaan intelektual bagi biodiversitas Indonesia, perlindungan kepentingan masyarakat, dan pelarangan pengalihan material biodiversitas Indonesia. Sedangkan dalam UU 5/1990 diatur pada pasal 21 mengatur mengenai larangan untuk mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan baik hewan maupun tumbuhan demi menjaga biodiversitas Indonesia. Selain itu, pasal ini juga melarang setiap orang untuk mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

Seperti yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa pasal pada UU 11/2011 yang melindungi biodiversitas Indonesia terhadap praktik biopiracy.


Pertama, pasal 35 mengatur mengenai kewajiban pemerintah pusat untuk memfasilitasi perlindungan kekayaan intelektual (HAKI) dan pemanfaatannya sebagai hasil invensi dan inovasi nasional secara umum. Dalam pasal ini, tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana ketentuan mengenai peran pemerintah sebagai fasilitator dalam perlindungan kekayaan intelektual. Pada pasal ini juga tidak terdapat ketentuan mengenai peraturan pelaksana yang dapat dibuat di kemudian hari seperti peraturan pemerintah. Jika ditelaah lebih lanjut, ketentuan pada pasal ini hanya mengatur biodiversitas dan kekayaan genetik Indonesia setelah menjadi kekayaan intelektual melalui proses paten. Sedangkan, seharusnya ketentuan ini mengatur mengenai bentuk perlindungan biodiversitas Indonesia bahkan sebelum menjadi kekayaan intelektual, sehingga menjadi peraturan yang bersifat preventif guna mencegah praktik biopiracy. Kemudian, pasal ini tidak memuat sanksi administratif kepada pemerintah apabila tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana telah disebutkan pada pasal ini, padahal adanya sanksi administrasi diperlukan agar terciptanya suatu kepastian hukum untuk masyarakat guna memastikan haknya tetap terpenuhi.

Kemudian pasal 77 mengatur mengenai pelarangan pengalihan material keanekaragaman hayati, spesimen lokal Indonesia, kekayaan sosial, budaya, dan kearifan lokal Indonesia, baik dalam bentuk fisik maupun digital, sepanjang uji material dapat dilakukan di Indonesia. Pengalihan material sendiri adalah proses pemindahan biodiversitas dan kekayaan genetik indonesia ke luar negeri dengan cara membawa, mengirim, dan mentransfer. Berbeda dengan pasal 35, di dalam pasal 77 terdapat ketentuan akan adanya peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah. Pelanggaran pada pasal 77 ini juga dapat dikenakan pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Namun sayangnya, peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan pasal 77 ini hingga sekarang belum dibuat sehingga peraturan ini tidak memiliki kepastian hukum mengenai penegakannya.


Dalam ketentuan pasal 85, pemerintah pusat diwajibkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, bangsa dan kelestarian fungsi lingkungan terhadap dampak negatif penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi. Ketentuan ini lebih melindungi masyarakat sebagai pihak yang paling dirugikan dalam praktik biopiracy. Ketika biodiversitas indonesia dipatenkan oleh negara asing, masyarakat adat menjadi pihak yang sangat merugi dikarenakan penggunaan atas kekayaan genetik lingkungannya sendiri dibatasi.8 Kemudian, pengalihan material berupa pemindahan keanekaragaman hayati, spesimen lokal Indonesia, kekayaan sosial, budaya, dan kearifan lokal Indonesia, baik fisik dan/atau digital ke luar negeri dengan cara membawa, mengirim, atau mentransfer juga dilarang demi melindungi kepentingan Indonesia.9 Menurut hemat kami, meskipun pasal ini sudah mendekati dengan norma-norma yang diatur pada Nagoya Protocol mengenai perlindungan masyarakat akan akses terhadap biodiversitas Indonesia, namun dalam pasal ini tidak memuat bahasan mengenai pembagian keuntungan dari pemanfaatan biodiversitas Indonesia.

Urgensi Pengesahan RUU PSDG

Terdapat beberapa alasan mengapa RUU PSDG merupakan urgensi sehingga harus segera diundangkan. Antara lain karena Indonesia belum memiliki peraturan pelaksana yang mengakomodir norma yang ada pada Nagoya Protocol yang telah diratifikasi pada UU 11/2013 tentang pengesahan Nagoya Protocol. Karena itu, RUU PSDG akan berperan menjadi peraturan pelaksana dari Nagoya Protocol. Kemudian, seperti yang telah kami jelaskan di atas, undang undang yang mengatur biopiracy secara spesifik di Indonesia belum cukup untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan belum ada bentuk tindak lanjut pada pembuatan peraturan pemerintah dalam beberapa pasal yang seharusnya menjadi payung hukum bagi masyarakat. yang terakhir, masih terdapat kekurangan daripada peraturan perundang-undangan yang ada. 8 9

Ibid. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019, Pasal 77.


Salah satu kasus yang bersinggungan dengan praktik biopiracy di Indonesia terjadi pada tahun 1995, yaitu ketika Shiseido Corporation dari Jepang, sebuah perusahaan kosmetik multinasional di bidang perawatan kulit telah melakukan pembajakan hayati dengan mengajukan 51 permohonan paten pada tanaman obat dan rempah asli Indonesia secara diam-diam. Perusahaan ini telah mendapatkan paten bagi tanaman obat dan rempah yang telah digunakan dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia secara turun temurun oleh masyarakat adatnya.10 Meskipun kasus tersebut telah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu, menurut hemat kami UU 11/2019 belum dapat menjadi perlindungan hukum bagi masyarakat, dikarenakan perlindungan atas kekayaan intelektual hanya dapat dilindungi oleh pemerintah ketika telah dipatenkan, sehingga dapat terjadi miskonsepsi bahwa segala biodiversitas Indonesia apabila belum dipatenkan maka tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas perlindungan dari pemerintah. Meskipun dalam kasus tersebut pada akhirnya paten oleh Shiseido Corporation itu dicabut, kasus ini menunjukan bahwa terdapat kekosongan hukum mengenai praktik biopiracy terhadap biodiversitas Indonesia.

Sementara itu, kelemahan dari sisi peraturan perundang-undangan yang telah ada mengenai pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, meliputi: 1. Masih bersifat sektoral dan parsial; 2. Terjadi tumpang tindih kewenangan di antara lembaga dan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 3. Peraturan perundang undangan yang ada secara substansi belum sepenuhnya menyesuaikan dengan perkembangan terbaru ; 4. Pelibatan masyarakat – individu warga negara Indonesia, masyarakat adat, kalangan peneliti, civitas kampus, Ormas, dan

10

Wiradirja,R, (2013). Konsep Perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Asas Keadilan Melalui Sui Generis Intellectual Property System, Jurnal Hukum IUS QUIAIUSTUM, Vol. 20, No. 2, hal.163-185


kelompok masyarakat lain-- serta swasta nasional masih sangat minim; 5. Sistem informasi dan dokumentasi keanekaragaman hayati belum terintegrasi dan masih sangat terbatas; 6. Peraturan yang telah ada dan implementasinya masih lemah dan kurang efektif dalam memberikan jaminan terhadap konservasi keanekaragaman

hayati

dan

optimalisasi

pemanfaatan

keanekaragaman hayati untuk peningkatan kualitas ekosistem, menambah

devisa

negara

maupun

untuk

sebesar-besar

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.11 Dari beberapa permasalahan yang telah disebutkan diatas, menurut hemat kami, pengesahan RUU PSDG ini merupakan sebuah urgensi sekaligus salah satu jawaban dari permasalahan biopiracy yang masih sering terjadi di indonesia.

Kesimpulan

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan biodiversitas dan kekayaan genetik yang sangat banyak, sehingga disebut sebagai megabiodiversity country. Namun begitu, luas wilayah serta kekayaan biodiversitas Indonesia, menyebabkan rentan nya praktik biopiracy yang dilakukan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi Nagoya Protocol sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah agar Indonesia terlindungi dari praktik biopiracy, belum terdapat peraturan pelaksana dari perjanjian internasional ini. Peraturan perundang-undangan yang setidaknya membahas mengenai biopiracy terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, namun masih belum dapat memberikan kepastian maupun perlindungan hukum terhadap biodiversitas dan masyarakat Indonesia ini sendiri karena pembahasannya masih bersifat sektoral dan parsial. 11

DPR RI. (2017). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.


Masih banyaknya praktik biopiracy terjadi di Indonesia, belum adanya peraturan pelaksana dari ratifikasi Nagoya Protocol, dan masih terdapat banyak kekurangan pada hukum positif yang mengatur mengenai perlindungan Indonesia dari praktik biopiracy maupun akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan biodiversitas di Indonesia menjadi alasan mengapa pengesahan RUU PSDG merupakan sebuah urgensi.

Saran Pemerintah harus segera membuat peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 agar dapat terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat. Kemudian, lembaga legislasi dalam hal ini DPR harus segera mengesahkan RUU PSDG sebagai peraturan pelaksana dari Nagoya Protocol agar terdapat dasar hukum khusus yang mengatur mengenai perlindungan biodiversitas Indonesia terhadap praktik biopiracy dan akses serta pembagian keuntungan dari pemanfaatan biodiversitas di Indonesia oleh pihak asing.


Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal Ilmiah

DPR RI. (2017). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

Normile, D. (2010). Saving Forests to Save Biodiversity. Science, 329(5997), 1278-1280. doi:10.1126/science.329.5997.1278

Pallavi Sharma, Ravi Shringi, Zainul Abideen Ansari. (2015). Biopiracy. Indian Journal of Science, 15(45), 25-26 Rohaini, R., & Ariani, N. D. (2017). Positive Protection: Protecting Genetic Resources Related to Traditional Knowledge in Indonesia. Fiat Justisia, 11(2).doi:https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v11no2.985 Tobing, I. S., & Matondang, I. (2018). Biodiversitas untuk Kehidupan. Jakarta, Indonesia: Unas Press Wiradirja,R, (2013). Konsep Pelindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Asas Keadilan Melalui Sui Generis Intellectual Property System, Jurnal Hukum IUS QUIAIUSTUM, Vol. 20, No. 2, hal.163-185

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (LN.2019/NO.148, TLN NO.6374)



Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable


Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (LN.2013/No. 73, TLN No. 5412) 

UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (LN.1990/NO.49, TLN NO.3419)

Perjanjian Internasional 

Nagoya Protocol

on Access to Genetic Resources and The Fair and

Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity


Urgensi RUU Pengelolaan Sumber Daya Genetik (PSDG) sebagai Perlindungan Pengetahuan Tradisional atas Varietas Tanaman di Indonesia Oleh: Nabila Khoirunnisa, Patricia Anggita Paulika Tunggal, dan Muhammad Rizki ALSA Local Chapter Universitas Diponegoro

PENDAHULUAN Status megabiodiversity yang telah melekat pada Indonesia menimbulkan potensi besar akan pemanfaatan serta komersialisasi sumber daya alam hayati, yang salah satunya adalah sumber daya genetik tanaman. Pembajakan kekayaan intelektual atau yang biasa disebut biopiracy yang paling dominan terjadi di Indonesia ialah tanaman obat. Kondisi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pada umumnya kaya akan sumber daya genetika namun masih terbilang rendah dalam teknologi dan sumber daya finansial sehingga belum dapat mengembangkan kekayaan yang ada secara maksimal. Dengan melimpahnya potensi hayati tersebut memberikan peluang Indonesia menjadi ladang subur dilakukannya praktik biopiracy, dimana pencurian materi genetik disalahgunakan keberadaannya untuk dikomersialisasikan dan sifatnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, tidak dibagikan kepada masyarakat tradisional asal sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional tersebut berasal. Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, Indonesia merupakan negara yang masih lemah dalam melindungi sumber daya genetik tanamannya maupun pengetahuan tradisional masyarakat adatnya. Faktanya 80 persen kekayaan hayati dunia terdapat di negara tropis, sehingga praktik biopiracy ini terindikasi banyak terjadi di negara tropis. Maka tidak heran jika Indonesia merupakan pasar herbal medicine yang menggiurkan untuk diadakannya pengerukan plasma nutfah atau sumber daya genetik secara besar-besaran melalui biopiracy, mengingat Indonesia sebagai negara pemilik dari 11 persen keanekaragaman hayati tropis dunia.

ISU HUKUM

1


Efektivitas regulasi-regulasi hukum dalam menangani praktik biopiracy yang menimbulkan urgensi perancangan undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (PSDG) sebagai perlindungan sumber daya genetik di Indonesia.

DASAR HUKUM 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Paten. 4. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 734/Kpts/OT.140/12/2006 tentang Pembentukan Komisi Nasional Sumber Daya Genetik.

ANALISIS Pemanfaatan Sumber Daya Genetik yang sering kali menyimpang dan bermuara kepada berbagai kasus biopiracy nyatanya bukanlah isapan jempol belaka. Salah satu kasus yang menjadi pemantik bagi masyarakat Indonesia untuk memulai kepekaannya terhadap isu biopiracy adalah kasus permohonan hak paten atas tanaman tradisional Indonesia oleh perusahaan kosmetik Jepang yaitu Shiseido. Sejak tahun 1995, Shiseido telah mengajukan 51 permohonan paten tanaman obat dan rempah asli Indonesia. Kasus ini sempat ramai diperbincangkan terkait upaya pemanfaatan HKI Indonesia. Salah satu pihak yang paling vokal dalam

menyuarakan

penolakannya

adalah

BioTani,

Lembaga

Swadaya

Masyarakat dari Indonesia yang peduli di bidang biopiracy dan juga merupakan anggota dari Pesticide Action Network (PAN), meluncurkan kampanye melawan perusahaan Shiseido pada awal tahun 2000.1 Proses kampanye tersebut diawali dengan mengirimkan surat peringatan secara berkala kepada komunitaskomunitas internasional, termasuk juga perusahaan terkait yakni Shiseido melalui surat elektronik sejak akhir tahun 1999 sampai dengan awal tahun 2002. Tak 1

Riza V. Tjahjadi, “Advocacy Strategy on Anti-Biopiracy and Bio-patenting: Selected case Study of Indonesia�, BioTani Indonesia/Pesticide Action Network (PAN) Indonesia, 2004.

2


berhenti disitu, mereka juga mengadakan semi workshop mengenai biopiracy serta menggerakan media massa melalui pemberitahuan kepada jurnalis-jurnalis mengenai biopiracy serta kasus terkait.2 Upaya ini pun membuahkan hasil sebab pada 24 Januari 2002, Shiseido pun akhirnya membatalkan permohonan registrasi paten yang menggunakan tanaman obat dan rempah asli Indonesia melalui siaran pers dari Shiseido Jepang.3 Pengaturan mengenai hak paten bagi Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) sebenarnya sudah diatur secara eksplisit dalam UU Paten. Dari sudut pandang filosofis memang benar pengaturan pemberian paten ini dimaksudkan untuk mendukung kegiatan inovasi dan invensi teknologi yang harus dilindungi.4 Namun pertanyaan yang kemudian muncul apakah UU tersebut sudah cukup mengakomodir perlindungan HKI dari maraknya praktik biopiracy yang terjadi? Pasal 26 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten yang berbunyi: �Jika invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional, harus disebutkan dengan jelas dan benar asal sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional tersebut dalam deskripsi� memiliki arti bahwasanya inventor atau pemohon paten harus bersikap jujur mengungkapkan penggunaan sumber daya genetik atau pengetahuan tradisional dalam deskripsi invensinya. Alasan penyebutan asal dari sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional dalam deskripsi supaya sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional tidak diakui oleh negara lain dan dalam rangka mendukung access and benefit sharing. Artinya pasal ini dijadikan senjata utama untuk mencegah adanya pencurian pengetahuan tradisional yang terinvensi di Indonesia. Namun jika ditelaah kembali, Pasal 26 ayat (1) tidak menjelaskan mengenai prior informed consent5 yang merupakan hal yang mutlak dibutuhkan untuk mencegah maraknya praktik biopiracy. Kekosongan penjelasan mengenai

2

Ibid. “Shiseido Batalkan Paten Rempah Indonesia�, Kompas.com. 26 Maret 2020. 4 Pendahuluan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. 5 Prior informed consent adalah perjanjian antara inventor dengan masyarakat setempat untuk menggunakan sumber daya genetik yang bersangkutan. 3

3


hal ini akan bermuara kepada munculnya potensi pemanfaatan dan pencurian pengetahuan tradisional oleh pihak asing dengan dalih memberikan bantuan sokongan sumber dana. Lebih lanjut UU Paten Pasal 49 ayat (1) juga berisi ketentuan yang memungkinkan pemegang pengetahuan tradisional untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan paten yang melanggar pengetahuan tradisionalnya.6 Berdasarkan pasal ini, pemilik atau pemegang pengetahuan obat tradisional dapat mengajukan keberatan terhadap suatu permohonan paten dengan alasan misalnya invensi yang bersangkutan tidak memiliki syarat kebaruan (novelty) karena dianggap tidak berbeda dengan pengetahuan tradisionalnya. Ketentuan pasal ini dianggap tidak cukup kuat apabila UU Paten tidak menganggap pengetahuan obat tradisional sebagai �prior art� (teknologi yang diungkapkan sebelumnya).7 Karena dengan melihat ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Paten yang mengatur mengenai prior art, tidak semua pengetahuan tradisional bisa dianggap sebagai prior art. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa “dalam UndangUndang ini, ketentuan mengenai uraian lisan atau melalui peragaan atau dengan cara lain tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga terhadap tersebut yang dilakukan di luar negeri dengan ketentuan bahwa bukti tertulis harus tetap pula disampaikan.� sementara di Indonesia ada beberapa pengetahuan tradisional yang justru tidak tertulis. Hal ini akan berimbas pada banyaknya pengetahuan tradisional di Indonesia yang terpaksa tidak mendapatkan hak paten hanya karena tidak terdokumentasi secara tertulis. Keberadaan pasal-pasal ini tentu saja menyulitkan proses perlindungan hak paten atas pengetahuan tradisional di Indonesia. Fakta bahwa pengetahuan tradisional yang sifatnya komunal memerlukan jenis proteksi yang lebih adaptif dan diharapkan komprehensif sehingga dapat memadai segala elemen pengetahuan tradisional di Indonesia dalam proses mendapatkan hak paten. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya genetik tanaman, Indonesia tentu 6

Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten menyatakan bahwa setiap pihak dapat mengajukan keberatan terhadap suatu permohonan paten dengan memberitahukan alasannya. 7 Prior art dapat diartikan sebagai invensi atau cara sebelumnya.

4


mempersiapkan pagar hukum demi melindungi sumber daya alam hayati yang dimiliki. Dengan keragaman tanaman yang dapat diolah menjadi pangan, obat tradisional, atau bahkan kosmetik, secara nasional sejak tahun 1990 telah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, atau biasa disebut dengan Undang-Undang Konservasi Hayati. Pengelolaan dan tujuan dari undang-undang ini didasarkan pada tiga poin utama yaitu perlindungan, pengawetan, dan permanfaatan secara lestari.8 Berdasarkan Pasal 3 poin h Undang-Undang Konservasi Hayati menyatakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.9 Namun faktanya, isu-isu sumber daya hayati yang ada menimbulkan Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological

Diversity

(Konvensi

Perserikatan

Bangsa-Bangsa

Mengenai

Keanekaragaman Hayati). Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati ini dilatarbelakangi oleh terjadinya penyusutan dengan jumlah besar terhadap sumber daya hayati yang mengkhawatirkan secara berkala tiap tahunnya. Selanjutnya diciptakan juga Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman demi menjaga sumber daya genetik tanaman di Indonesia yang sangat beragam agar tetap dilestarikan dan dimanfaatkan secara bijak. Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT merupakan perlindungan khusus yang diberikan negara. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU PVT menekankan bahwa varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh Negara.10 Penguasaan oleh negara dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah berkewajiban memberikan penamaan, pendaftaran dan penggunaan varietas lokal serta instansi yang diberi tugas melaksanakannya diatur lebih lanjut oleh

8

Sudaryat, “Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia da Optimalisasi Teknologi Informasi�, Bina Hukum Lingkungan. Vol 4 No. 2, hlm 241. 9 Pasal 3 poin h Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. 10 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).

5


Pemerintah.11 Berdasarkan pasal tersebut, pemerintah wajib memberikan nama serta mendaftarkan varietas lokal, varietas milik negara. Sehingga sudah seharusnya penggunaan dan pemanfaatan oleh pihak luar harus dilakukan atas izin pemerintah dan digunakan serta dimanfaatkan demi kemakmuran masyarakat Indonesia sebagai pemilik dari varietas lokal tersebut. Dalam rumusan Pasal 8 huruf J Konvensi Keanekaragaman Hayati Regulasi tersebut sesuai dengan mekanisme perizinan terlebih dahulu dan adanya pembagian keuntungan yang adil, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf J Konvensi Keanekaragaman Hayati.12 Efektivitas implementasi dari tiap-tiap regulasi yang telah disebutkan diatas masih terbilang rendah dan tak terarah. Banyaknya regulasi yang sebenarnya dapat menjaga dan melestarikan kekayaan sumber daya genetik di Indonesia terbilang belum digunakan secara maksimal. Hal ini mendorong pembuatan undang-undang yang dapat mengacu pada pengelolaan negara terhadap sumber daya genetik agar dapat menyokong dan meningkatkan efektivitas tujuan regulasiregulasi perlindungan SDA secara maksimal.

KESIMPULAN DAN SARAN Biopiracy atau pembajakan kekayaan intelektual masih menjadi masalah yang sering terjadi di negara tropis khususnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan kurangnya perlindungan HKI dari maraknya praktik biopiracy ini seperti pada Pasal 26 UU No. 13 Tahun 2016 prior informed consent yang merupakan hal yang mutlak dibutuhkan untuk mencegah maraknya praktik biopiracy, ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Paten 2016 yang mengatur mengenai prior art dimana tidak semua pengetahuan tradisional dapat dikatakan sebagai prior art dan hanya pengatahuan tradisional yang terdokumentasi secara tertulislah yang dapat mendaftarkan hak patennya. Selanjutnya terdapat UU Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman demi menjaga sumber daya genetik tanaman di Indonesia yang sangat beragam agar tetap dilestarikan dan 11

Pasal 7 ayat (2) dan (4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). 12 Sudaryat, Op.cit., 243.

6


dimanfaatkan secara bijak dan pemerintah juga membentuk pula Komisi Nasional Plasma

Nutfah

sesuai

dengan

Keputusan

Menteri

Pertanian

Nomor

734/Kpts/OT.140/12/2006 tentang Pembentukan Komisi Nasional Sumber Daya Genetik. Dalam keputusan tersebut telah menyatakan bahwa Pelaksana Harian Komnas SDG mempunyai tugas untuk melaksanakan penyadaran publik tentang pentingnya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik tetapi masih banyak masyarakat Indonesia khususnya masyarakat tardisional yang tidak memahaminya sama sekali. Daya guna atau impelementasi dari tiap-tiap UU yang telah disebutkan dapat dibilang masih sangat rendah dan masih belum bisa mencakup perlindungan terhadap seluruh kekayaan intelektual yang ada di Indonesia sehingga dirasa perlu untuk melakukan pembuatan UU baru yang lebih efisien dan secara implisit dalam narasi UU tersebut melindungi kekayaan intelektual modern maupun tradisional. Pemerintah seharusnya menyadari kurangnya pengetahuan para rakyatnya dalam kejamnya biopiracy yang dapat merugikan. Maraknya pencurian pengetahuan tradisional milik masyarakat adat dan hak kekayaan intelektual dalam praktik biopiracy yang semakin lazim terjadi di negara-negara kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia sudah seharusnya menjadi urgensi terdepan dalam merancang dengan bijak dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (PSDG). Melihat dengan regulasi yang ada masih rentan dengan terjadinya pembajakan hak intelektual, timbul harapan besar masyarakat akan adanya UU PSDG yang berisi regulasi dengan sifat lebih spesifik dan tepat sasaran sebagai upaya proteksi sumber daya genetik milik Indonesia dari maraknya praktik biopiracy. Sebab dalam kenyataannya, walaupun RUU PSDG sudah dimasukkan kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), pembahasan RUU PSDG masih belum dimulai. Sementara di sisi lain, belum ada regulasi yang mengatur secara khusus dan komprehensif mengenai proteksi sumber daya genetik. RUU PSDG diharapkan dapat menegakkan hak negara dalam pengelolaan serta pelestarian sumber daya genetiknya secara bijaksana dan bertanggungjawab.

7


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN49 Tahun 1990. TLN NO. 3419.

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 29 Tahun 2000, LN241 Tahun 2000. TLN NO. 4043.

Indonesia. Undang-Undang Paten, UU No. 13 Tahun 2016, LN176 Tahun 2016. TLN NO. 5922.

Keputusan

Menteri

Pertanian

Nomor

734/Kpts/OT.140/12/2006

tentang

Pembentukan Komisi Nasional Sumber Daya Genetik.

Jurnal Tjahjadi, Riza V. “Advocacy Strategy on Anti-Biopiracy and Bio-patenting: Selected case Study of Indonesia”, BioTani Indonesia/Pesticide Action Network (PAN) Indonesia, 2004.

Sudaryat, “Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia da Optimalisasi Teknologi Informasi”, Bina Hukum Lingkungan. Vol 4 No. 2 (2020).

Berita “Shiseido Batalkan Paten Rempah Indonesia”, Kompas, (26 Maret 2002).

8


9


Penerapan Undang-Undang Paten dan United Nations Convention on Biological Diversity sebagai Mekanisme Perlindungan Biodiversitas (Genetical Resources and Traditional Knowledge) Indonesia dari Biopiracy Berskala Nasional dan Internasional Putu George Matthew Simbolon Universitas Kristen Indonesia A. Isu Hukum A.1. Latar Belakang Isu Hercules Boosyen mendefinisikan Hukum Perdagangan Internasional sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional yang mengatur tentang perdagangan barang, jasa dan perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI).1 Dalam pendapat hukum ini, penulis akan membahas tentang mekanisme hukum untuk memberantas biopiracy sebagai penerapan dari kaidah hukum perdagangan internasional dalam ranah perlindungan hak kekayaan intelektual. Thomas W. Dufee dan Frank F. Gibson menyatakan bahwa HKI merupakan suatu manifestasi fisik suatu gagasan praktis kreatif atau artistik serta cara tertentu dan mendapatkan perlindungan hukum.2 Kemudian, Article 2 paragraph 1. United Nations Convention Conventions on Biological Diversity (UNCBD) merumuskan bahwa Biodiversity/Biodiversitas adalah “variability among living organism from all sources including, inter alia, terrestrial, marine and other aquatic ecosystem and the ecological complexes of which they are part : this includes diversity within species, between species and of ecosystems.� (keanekaragaman mahkluk hidup yang terdapat dalam tingkat organisme hingga ekosistem). Sebelum menguraikan biopiracy sebagai perbuatan yang bersifat melawan 1

Adolf, Huala, 2014, Hukum Perdagangan Internasional (Depok : PTRajaGrafindoPersada), h.10.

2

Asikin, Zainal, 2013, Hukum Dagang : Edisi Kedua (Depok : PTRajaGrafindoPersada), h.127.

1


hukum, penulis akan menguraikan yang dimaksud dengan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional. Secretariat UNCBD menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sumber Daya Genetika adalah seluruh mahkluk hidup yang mampu membawa materi genetika yang berpotensi untuk membawa manfaat bagi kehidupan manusia. 3 Sedangkan penulis dapat menyimpulkan berdasarkan dokumen diatas, bahwa Pengetahuan Tradisional merupakan wawasan yang dimiliki oleh masyarakat lokal dalam mengelola biodiversitas menjadi produk yang bernilai ekonomi. Pemanfaatan atas Genetical Resources and Traditional Knowledge/Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional (GRTK) merupakan penerapan dari kedaulatan setiap negara atas biodiversitas dalam wilayahnya. Sedangkan, Biopiracy merupakan “the act of taking living things, especially plants, from an area or taking the knowledge of local people about these living things, and using them or it to make money for a particular company or organization.�4 Secara empiris, biopiracy dapat dilakukan baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Dengan melihat bahwa Indonesia belum menerapkan kaidah hukum secara tegas terhadap perbuatan ini, penulis akan membahas tentang mekanisme hukum yang Indonesia dapat terapkan untuk memberantas biopiracy yang berskala nasional maupun berskala internasional untuk melindungi biodiversitas/GRTK Indonesia. A.2. Rumusan Isu Hukum 1. Bagaimana mekanisme perlindungan HKI dalam negeri yang Indonesia dapat terapkan untuk memberantas biopiracy yang berskala nasional ?

3

Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2010, Introduction to Access and Benefit-Sharing (Montreal :

Convention on Biological Diversity), h.1. 4

Cambridge Dictionary (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/biopiracy) (dikutip pada hari Minggu, 6

Desember 2020, pukul 23.20 wita).

2


2. Bagaimana mekanisme hukum internasional yang dapat Indonesia terapkan untuk memberantas biopiracy yang berskala internasional ? B. Dasar Hukum B.1. Dasar Hukum Primer (Ius Constitutum) 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (berdasarkan TRIPS Agreement) (UU Paten); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD); 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Tambahan UNCBD) (Nagoya Protocol); 4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Netherland Indies) (KUHP). B.2. Dasar Hukum Sekunder (Ius Constituendum) B.2.1. Teori Hukum 1. Teori Perlindungan Hukum - Sajcipto Raharjo; Teori ini menyatakan bahwa perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan

masyarakat

tersebut

untuk

mengatur

hubungan

perilaku

antara

anggota-anggota masyarakat. 5 Teori ini akan penulis terapkan untuk menjawab rumusan masalah no.1.

5

Raharjo, Sajcipto, 2000, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), h. 53.

3


2. Teori Pacta Sunt Servanda - Grand Theory; Walaupun dikenal sebagai asas dalam hukum perjanjian, Pacta “Fakta” Sunt Servanda merupakan salah satu teori-teori besar/grand theories dalam ilmu hukum. Teori ini menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, merupakan perjanjian yang memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan undang-undang.6 3. Teori Kehendak Bersama - Hiedrich Triepel. Dikenal dengan istilah Vereinbarungtheorie, Triepel menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional didasari oleh kehendak bersama dari lebih dari satu negara, dan meniadakan fakta bahwa hukum internasional terbentuk atas kehendak satu negara.7 Teori ini akan penulis terapkan dalam mejawab rumusan masalah no.2. B.2.2. Asas Hukum 1. Asas Teritorial; Dirumuskan ke dalam Pasal 2 KUHP, asas ini menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam hukum Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia. 2. Asas Au Dedere Au Punire - Hugo De Grotius; Asas ini menyatakan bahwa penjahat yang melakukan kejahatan internasional dapat dihukum berdasarkan hukum nasional yang menjadi locus delicti kejahatan tersebut.8 3. Asas Resiprositas. 6

Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theories) (Jakarta : Kencana), h.210 s.d 211.

7

Diantha, I Made Pasek, Ida Bagus Wyasa Putra, I Dewa Gede Palguna dkk., 2017, Buku Ajar Hukum Internasional,

(Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana), h. 58 8

Harun and Muhammad Nasir, ‘The Position of Non-Retroactive Principle in The International Criminal Law’ (2017)

IOSR Journal of Humanities and Social Science., h.16.

4


Asas

ini

mengkehendaki

adanya kebijaksanaan

yang seimbang

dan

saling

menguntungkan antara satu negara dengan yang lain dalam perdagangan internasional.9 C. Analisa Hukum 1. Mekanisme

Hukum

Nasional

yang

Indonesia

dapat

terapkan

untuk

memberantas biopiracy yang berskala nasional. Dalam kacamata hukum nasional, GRTK pada dasarnya dapat diberikan perlindungan hukum melalui penerapan UU Paten terhadap pemegang GRTK. Sebagaimana dinyatakan di dalam Penjelasan Umum UU Paten, bahwa “Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang sering dimanfaatkan oleh inventor dalam maupun luar negeri untuk menghasilkan Invensi yang baru”. Penjelasan tersebut penulis anggap sebagai urgensi dari penerapan UU Paten untuk melindungi inventor pengetahuan tradisional. Sedangkan, Pasal 1 angka 1. UU Paten antara lain menyatakan bahwa Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, untuk melaksanakan invensinya sendiri atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakanya. Kemudian, Pemegang Paten GRTK (Pasal 1 angka 6. UU Paten) pada prinsipnya mendapatkan perlindungan atas GRTK yang mereka ciptakan berdasarkan mekanisme permohonan paten sebagaimana dirumuskan di dalam Bab III UU Paten, khususnya Pasal 26 ayat (1) UU Paten yang memerintahkan bahwa “Jika Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional, harus disebutkan denan jelas dan benar asal sumber daya genetik dan/atau pengetahuan trasional tersebut dalam deskripsi.”

9

Sood, Muhammad, 2011, Hukum Perdagangan Internasional : Edisi Kedua (Depok : PTRajaGrafindoPersada),

h.34.

5


Kemudian, ayat (3) dari ketentuan diatas menegaskan pemanfaatan GRTK dilaksanakan berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional yang megantur tentang GRTK. Berdasarkan uruaian ketentuan diatas, Pemegang GRTK pada prinsipnya berhak atas perlindungan hukum dalam bentuk hak atas Paten dari biopiracy dengan syarat bahwa GRTK tersebut disebutkan secara jelas dan jujur (Penjelasan Umum UU Paten). Pendapat ini sejalan dengan Teori Perlindungan Hukum yang menegaskan bahwa produk hukum disepakati oleh masyarakat untuk mengatur hubungan perilaku antar anggota masyarakat. Sehingga UU Paten yang sejalan dengan UNCBD dan Nagoya Protokol, merupakan kaidah yang dapat mengatur hubungan masyarakat agar perampasan intelektual dalam bentuk biopiracy dapat diberantas. Adapun mekanisme pengaturan yang lebih rinci berdasarkan UU Paten yaitu Pasal 59 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Sertifikat Paten merupakan bukti atas Paten�. Sehingga pemegang GRTK termasuk masyarakat lokal/adat pada prinsipnya berhak mendapatkan perlindungan dari biopiracy dengan syarat bahwa GRTK tersebut didaftarkan kepada Ditjen HKI Kemenkumham RI. Dengan mendapatkan Sertifikat Paten, maka setiap orang yang mengambil manfaat dari GRTK tersebut tanpa persetujuan dari pemegang paten (Pasal 160 UU Paten) dapat dipidana berdasarkan ketentuan sebagaimana dirumuskan di dalam Bab XVII UU Paten, apabila pemegang GRTK melakukan pengaduan atas terjadinya suatu biopiracy (Pasal 165 UU Paten). Penegakan UU Paten terhadap biopiracy pada prinsipnya merupakan penerapan dari Asas Teritorial yang menyatakan bahwa ketentuan pidana di dalam UU Paten dapat diterapkan bagi pelaku biopiracy di wilayah Indonesia (Pasal 2 KUHP). 2. Mekanisme Hukum Internasional yang Indonesia dapat terapkan untuk memberantas biopiracy yang berskala internasional. Penulis perlu menegaskan bahwa mekanisme perlindungan GRTK yang merupakan biodiversitas berdasarkan UU Paten hanya dapat memberikan perlindungan terhadap 6


biopiracy yang dilakukan oleh pelaku yang melakukan perbuatanya di wilayah Indonesia (seperti Perusahaan Multinasional yang beroperasi di Indonesia) dan atas GRTK yang telah didaftarkan di Indonesia. Namun mengingat bahwa biopiracy sangat berpotensi untuk dilakukan dalam skala internasional dalam bentuk pematenan GRTK Indonesia di negara pelaku tersebut menjadi warga negara, maka perlindungan GRTK Indonesia perlu juga dilindungi berdasarkan mekanisme yang diatur oleh hukum internasional. Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCBD dan Nagoya Protocol ke dalam hukum nasional, Indonesia tentunya dapat bahkan wajib untuk melaksanakan materi muatan dari UNCBD dan Protokol Tambahanya. Hal ini sejalan dengan Teori Pacta Sunt Servanda dalam bentuk UNCBD yang telah dibentuk secara sah, memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan ketentuan hukum nasional dari masing-masing negara anggota UNCBD. Preambule UNCBD menyatakan bahwa “states have sovereign rights over their own biological resources�. Hak berdaulat ini diatur secara lebih lanjut dalam Article 15 paragraph 1. UNCBD mengatur secara lebih rinci bahwa negara berdaulat terhadap akses sumber daya genetika mereka. Sehingga berdasarkan teori dan ketentuan diatas, setiap negara anggota wajib untuk memberikan perlindungan terhadap GRTK dan mencapai kemanfaatan atas GRTK berdasarkan fair and equitable sharing atas pemanfaatan dari GRTK (Article 1 UNCBD dan Article 1 Nagoya Protocol). Biopiracy dalam skala internasional merupakan salah satu tindakan yang menghambat setiap negara anggota untuk mencapai tujuan diatas. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi biopiracy berdasarkan kehendak bersama perlu untuk dilakukan. Hiedrich Triepel menyatakan bahwa berlakunya hukum internasional hanya dapat memiliki kekuatan mengikat apabila dilandasi dengan kehendak bersama dari lebih dari satu negara. Article 6 paragraph 3(a) Nagoya Protocol menyatakan bahwa setiap negara anggota harus “take necessary legislative, administrative or policy measures, as 7


appropriate to: (a) Provide legal certainty, clarity and transparency of their domestic access and benefit-sharing legislation or regulatory requirements;�. Kemudian huruf (g) section (ii) dari ketentuan ini memerintahkan untuk “Establish clear rules and procedures for requiring and establishing mutually agreed terms. Such terms shall be set out in writing and may include, inter alia: (ii) Terms on benefit-sharing, including in relation to intellectual property rights;�. Berdasarkan ketentuan Nagoya Protocol yang merupakan pelaksana dari Article 15, Article 16 dan Article 19 UNCBD, setiap negara anggota berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang GRTK dalam negara mereka, melalui pembentukan produk legislatif, produk administratif atau kebijakan. Oleh karena itu, setiap negara anggota berkewajiban untuk memberantas biopiracy demi mencapai fair and equitable sharing antar sesama negara anggota. Adapun urgensi pemberantasan biopiracy yang perlu dianggap sebagai permasalahan serius yang perlu diberantas bersama, yang penulis akan uraikan dalam beberapa fakta sebagai berikut. Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan KEHATI menyatakan bahwa biorespecting merupakan masa depan Indonesia. Megawanto menjelaskan

bahwa

Yayasan KEHATI telah mengumpulkan data praktik biopiracy di Indonesia.10 Praktik tersebut antara lain adalah pencurian sampel tawon untuk publikasi di Sulawesi Selatan oleh perusahaan multinasional, Shieseido (Warga Negara Jepang) mengajukan paten untuk tumbuhan obat dari Indonesia, Perusahaan Jepang yang mendaftarkan pengetahuan tradisional kopi toraja di negara mereka.11 Selain itu, Roni menjelaskan bahwa publikasi jurnal ilmiah tentang GRTK yang penelitianya dilakukan di Indonesia oleh orang Indonesia, termasuk penelitian tentang perbedaan kelenjar limpa Suku Bajo

10

https://www.mongabay.co.id/2020/11/08/antara-tanaman-obat-sumber-daya-genetik-dan-biopiracy/ (dikutip pada

hari Senin 7 Desember 2020, pukul 19.49 wita). 11

https://www.mongabay.co.id/2020/11/08/antara-tanaman-obat-sumber-daya-genetik-dan-biopiracy/ (dikutip pada

hari Senin 7 Desember 2020, pukul 19.51 wita).

8


dan efeknya terhadap efisiensi respirasi, dipublikasikan dengan tidak mencantumkan penulisnya dan hanya mencantumkan ucapan terimakasih.12 Dibelahan Bumi lainya, India juga menjadi korban dari praktik biopiracy oleh Amerika Serikat (The Neem Tree Incident). Menurut Vandana Shiva, direktur Research Foundation for Science and Ecology, New Dehli India dan aktivis bioteknologi dan keanekaragaman hayati, “biopiracy merupakan praktik kolonialisasi dari negara maju”.13 Neem merupakan pohon yang Etnis Myriad gunakan untuk tujuan medis. Sedangkan, WR Grace merupakan perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dalam produksi bahan kimia agrikultural (berkedudukan di Boca Raton, Florida) mengeksplotiasi proses invensi dari produk yang berasal dari Pohon Neem, dengan mengstabilisasi azadirachtin didalam air dan mempatenkan baik proses stabilisasinya maupun azadirachtin kepada United States Patent Office.14 Dengan melihat uraian diatas, maka penulis menyatakan bahwa setiap negara anggota UNCBD perlu melakukan kerjasama biorespecting dalam bentuk menerapkan hukum nasionalnya terhadap praktik biopiracy yang terjadi di yurisdiksi mereka (Indonesia belum memiliki) sebagai kehendak bersama untuk mencapai fair and equitable sharing. Penerapan hukum nasional tersebut tentunya sejalan dengan Asas Au Dedere Au Punire dalam hukum pidana internasional, mengingat bahwa setiap negara anggota UNCBD memiliki ketentuan hukum nasional yang bertujuan untuk memberantas praktik biopiracy berdasarkan perintah UNCBD. Dengan menerapkan Asas Au Dedere Au Punire tersebut, maka fair and equitable sharing yang sejalan dengan Asas Timbal Balik dalam hukum perdagangan 12

https://www.mongabay.co.id/2020/11/08/antara-tanaman-obat-sumber-daya-genetik-dan-biopiracy/ (dikutip pada

hari Senin 7 Desember 2020, pukul 19.59 wita). 13

Muria Kruger, ‘Harmonizing TRIPs and CBD : A Proposal from India’, University of Minesota Law School.,

(2001), h.170 s.d. 171. 14

Ibid, h. 173.

9


internasional dapat dicapai demi menerapkan hukum perdagangan internasional dalam bidang perlindungan HKI yang adil sebagai kontribusi terhadap sustainable development/pembangunan berkelanjutan (Preambule Nagoya Protocol jo. Article 15, Article 16 dan Article 19 UNCBD). D. Kesimpulan dan Pendapat Hukum 1. Mekanisme hukum nasional yang Indonesia dapat terapkan untuk memberantas biopiracy berskala nasional oleh perusahaan multinasional di Indonesia adalah penerapan ketentuan pidana di dalam UU Paten. Selain itu, pemegang GRTK harus mendaftarkan GRTK-nya untuk mendapatkan Sertifikat Paten sebagai syarat mutlak untuk mendapatkan perlindungan HKI. 1. Mekanisme hukum internasional yang dapat Indonesia terapkan bersama dengan

negara anggota UNCBD lainya adalah melakukan kerjasama dalam pemberantasan biopiracy melalui penerapan hukum nasional setiap negara anggota. Untuk itu, Indonesia juga perlu membentuk peraturan pelaksana Nagoya Protocol untuk melindungi GRTK yang belum terdaftar.

10


DAFTAR PUSTAKA Adolf,

Huala,

2014,

Hukum

Perdagangan

Hukum

Dagang

Internasional

(Depok

:

(Depok

:

PTRajaGrafindoPersada). Asikin,

Zainal,

2013,

:

Edisi

Kedua

PTRajaGrafindoPersada). Diantha, I Made Pasek, Ida Bagus Wyasa Putra, I Dewa Gede Palguna dkk., 2017, Buku Ajar Hukum Internasional, (Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana). Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theories) (Jakarta : Kencana). Harun and Muhammad Nasir, ‘The Position of Non-Retroactive Principle in The International Criminal Law’ (2017) IOSR Journal of Humanities and Social Science. https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/biopiracy. https://www.mongabay.co.id/2020/11/08/antara-tanaman-obat-sumber-daya-genet ik-dan-biopiracy/. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Netherland Indies) (KUHP). Muria Kruger, ‘Harmonizing TRIPs and CBD : A Proposal from India’,

University of

Minesota Law School., (2001). Raharjo, Sajcipto, 2000, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti). Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2010, Introduction to

Access

and Benefit-Sharing (Montreal : Convention on Biological Diversity).

11


Sood, Muhammad, 2011, Hukum Perdagangan Internasional : Edisi Kedua

(Depok :

PTRajaGrafindoPersada). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Tambahan UNCBD) (Nagoya Protocol). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

12


Identifikasi Upaya Pelembagaan Terhadap Budidaya Ekosistem Flora dan Fauna Indonesia sebagai Tindakan Mengurangi Praktik Biopiracy Tirza Mariani dan Maria Fransina1 Universitas Kristen Indonesia A. Isu Hukum a. Latar Belakang Isu Hukum Lingkup biodiversity atau yang seringkali disebut keanekaragaman hayati masuk kedalam ranah perkembangan hukum lingkungan. Dapat dilihat dari ungkapan United Nations

Conference On The Human Environment

dalam Dr. Waty Suwarty Haryono, bahwa perkembangan hukum lingkungan juga tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebuh besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup.2 Konperensi PBB mengenai Lingkungan Hidup yang diadakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm yang dihadiri oleh wakil dari 110 negara yang membahas terkait jalan keluarnya terhadap masalah lingkungan sehingga pembangunan dapat terlaksana dengan turut memperhitungkan daya dukung lingkungan (“eco –development�). Tim penulis mengutip pandangan dari Rachel Carson yang mengemukakan bahwa ungkapan seperti pollution, recycling, ecological balance bahkan seperti praktik biopiracy pada dasarnya sudah diketahui sebelum adanya konperensi Stockholm3. Berkaitan dengan hal ini dapat juga dilihat dari ketentuan perundangundangan di suatu negara naju seperti USA: National Environmental Policy Act 1969 (NEPA4) namun pada kenyataannya Konperensi Stockholm menjadi puncak perhatian dan kesadaran manusia terhadap kualitas 1

Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Kristen Indonesia . Tirza Mariani, NIM : 1840050042 ; Maria Fransina, NIM : 1840050043. 2 Dr.Wati Suwarty Haryono,SH.,MH. , 2007, Hukum Lingkungan , Jakarta, Universitas Islam Jakarta Program Pascasarjana Ilmu Hukum. Hal.17 3 Ibid, Hal.20. 4 Ibd, Hal.20.

1


lingkungan, terutama permasalahan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang. Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang dengan segudang kekayaan alam didalamnya sudah seharusnya memiliki perhatan lebih dan tingkat kesadaran dari manusia terhadap lingkungan diluar dari peraturan perundang-undangan yang telah ada. Adapun pokok permasalahan dari praktek biopiracy (pencurian sumber daya genetik dalam kekayaan hayati) di Indonesia yang masih seringkali terjadi berdasarkan tulisan dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh para

akademisi ilmu hukum di Universitas Gadjah Mada yang menuturkan prinsip Prior Informed Consent (PIC) bahwa dapat dilakukannya pencegahan terjadinya eksploitasi dan melindungi keanekaragaman hayati dari praktik biopiracy. Dalam aturan PIC tersebut terdapat sejumlah pengakuan terhadap keberadaan hak-hak masyarakat dan adanya upaya mengurangi praktik biopiracy5. Selama ini dugaan terkait bahwa peneliti asing yang sering melakukan praktik biopiracy ialah dengan melihat adanya paten suatu obat herbal di luar negeri dan diketahui bahwa bahan dasar di dalam proses pembuatan obat herbal tersebut berasal dari keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Paten merupakan salah satu cabang dari hak kekayaan intelektual. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang menyebutkan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya6. Dikarenakan sering terjadi praktik biopiracy di Indonesia sehingga diperlukan perlindungan dalam hak kekayaan intelektual melalui paten dan

5

Gusti : Cegah Biopiracy, Pemerintah Diminta Perketat Izin Peneliti Asing, https://www.ugm.ac.id/id/berita/18978-cegah-biopiracy-pemerintah-diminta-perketat-izin-penelitiasing, diakses pada 08 Desember 2020 pukul 14.50 WIB. 6

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

2


perlindungan tehadap keanekaragaman hayati serta upaya lainnya yang dapat mengurangi praktik biopiracy tersebut. b. Rumusan Isu Hukum 1. Mengapa Indonesia perlu melakukan pembaruan terhadap instrumen biodiversity untuk mengurangi serta mencegah terjadinya praktik biopiracy ? 2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan Indonesia sejalan dengan Hukum Lingkungan dan hak kekayaan intelektual di Indonesia dalam hal perlindungan biodiversity dari praktik biopiracy ? B. Dasar Hukum a. Landasan Hukum Primer (Norma Hukum Positif) 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa

Mengenai

Keanekaragaman

Hayati). 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) . 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922). 4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah . 5. Peraturan Indonesia

Menteri

Lingkungan

Hidup

dan

Kehutanan

NomorP.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018

Tentang Perubahan Atas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Nomor

P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018

Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1228).

3


C. Analisis 1. Alasan penting mengapa Indonesia perlu melakukan pembaruan terhadap instrumen biodiversity untuk mengurangi serta mencegah terjadinya praktik biopiracy. Dapat dilihat dari segala temuan praktik biopiracy yang terjadi, Indonesia memang perlu melakukan pembaruan akan instrumen terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal ini selaras dengan konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm. Di dalam sidang umum PBB tersebut menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangi “proses kemerosotan kualitas lingkungan hidup� agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis demi kelangsungan hidup manusia. Secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No.2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada panitia persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada publik khususnya pengusaha untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan negara-negara yang sedang berkembang7 dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijaksanaan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana pembangunan nasional dengan skala prioritas di dalamnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang masih berkembang memang memerlukan

suatu

instrumen

perlindungan

hukum

terkait

dengan

lingkungan hidup. Secara khusus dalam mengurangi tindak atau praktik biopiracy yang masih sering terjadi dalam realita di lingkungan Indonesia. Instumen hukum disini juga dapat dikatakan sebagai legal policy8 dimana menerapkan hukum sebagai instrumen dasar yang melindungi biodiversity serta turut

mengarahkan masyarakat terbuka

menerima dari kebijakan

yang dibuat. Dengan demikian pelaksanaan legal policy dapat meningkatkan efektivitas instrumen yang mengatur tidak saja ditujukan kepada 7 8

Op.Cit. Hal.18 Ibid, Hal.26.

4


instrumennya sendiri tetapi juga kepada unsur implementasi dan penegakan hukumnya. Masalah seperti praktik biopiracy tidak dapat selesai dengan hanya memberlakukan

undang-undang

atau

menyediakan

dana

untuk

melaksanakannya. Akan tetapi perlu adanya suatu tindak lanjut yang harus ditaati oleh publik, hal ini dikarenakan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia merupakan kekayaan alam yang patut dilindungi secara bersama, sehingga keanekaragaman hayati Indonesia tidak dieksploitasi oleh berbagai pihak yang tidak berkepentingan. Pihak-pihak yang sering melakukan praktik biopiracy sebagaimana yang ditemukan pada realita yang ada seperti yang telah disampaikan tim penulis pada bagian sebelumnya. Dalam literatur terkait banyak kalangan akademisi yang mengungkapkan pendapat bahwa perlindungan hukum sebagai tindak preventif

praktik

biopiracy yang hanya terletak pada bagian hukum lingkungan, namun juga bermuara para perlindungan hukum terhadap Paten sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual9. Dapat dikatakan bahwa yang menjadi alasan masih terjadinya praktik biopiracy di Indonesia karena belum adanya ketentuan yang khusus menyinggung perlindungan daripada ekosistem keanekaragaman hayati Indonesia. Sehingga dalam hal ini pembaruan terhadap ketentuan yang telah ada agar dapat secara eksplisit melindungi keanekaragaman hayati dari tindak illegal praktik biopiracy. 2. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi praktik biopiracy di Indonesia.

9

Ega Ramadayanti : Menilik Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Intelektual

(KI) dalam Biopiracy yang bermuara kepada Komersialisasi, https://fh.unpad.ac.id/menilik-perlindungan-hukum-terhadap-kekayaan-intelektualki-dalam-biopiracy-yang-bermuara-kepada-komersialisasi/, diakses pada 11 Desember 2020 pukul 13.15 WIB.

5


Perlunya ketentuan perlindungan bagi seluruh ekosistem flora-fauna dalam keanekaragaman hayati di Indonesia menjadi hal yang utama. Lebih lanjut dalam implementasi guna terjadinya perlindungan terhadap seluruh biodiversity

yang

dimiliki

oleh

Indonesia

dari

praktik

biopiracy

membutuhkan proses pelembagaan dari setiap sektor ekosistem terkait di seluruh wilayah Indonesia. Keberagaman dan bentuk geografis Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak dan ekosistem yang tersendiri. Hal ini menjadi acuan bahwa implementasi yang dapat dilaksanakan ialah pelembagaan terhadap ekosistem dengan kerja sama dengan pihak terkait, seperti lembaga penilitian dan perlindungan ekosistem dalam unit terkecil. Lembaga unit terkecil ekosistem ini juga dapat bekerja sama dengan Departemen terkait seperti salah satunya dalam tingkat universitas ialah dalam bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Dengan keterlibatan universitas dalam pelembagaan yang akan menjadi sarana untuk tindak nyata perlindungan dari seluruh ekosistem biodiversity Indonesia dari praktik biopiracy dapat turut mengembangkan dan meningkatkan mutu daya saing daripada mahasiswa yang turut terlibat dalam pelembagaan tingkat universitas tersebut. Hal ini selaras dari pasal 5 ayat (3) UUPPLH yang berbunyi , “Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku�10. Pelaksanaan dalam pasal ini didasarkan pada prinsip keterbukaan, karena dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut meikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan. Peran serta masyarakat antara lain dengan memberi informasi kepada Pemerintah mengenai berbagai hal sehubungan dengan akan dilakukannya suatu kegiatan yang dapat menimbulkan berbagai hal yang merugikan lingkungan hidup dan konsekuensi yang timbul dari tindakan 10

Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

6


yang direncanakan akan dilakukan oleh suatu kegiatan dan atau usaha, seperti hal nya praktik biopiracy. Dengan demikian Pemerintah dengan lembaga yang terkait dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang dapat terketna suatu tindakan dan perlu mendapat perhatian serta diperhatikan. Masyarakat bersama Pemerintah dan lembaga terkait akan mendapatkan pengetahuan khusus, serta pengetahuan tambahan tentang masalah yang mungkin timbul layaknya praktik biopiracy sehingga dapat meningkatkan mutu tindakan Pemerintah dan berbagai lembaga untuk melindungi lingkungan. Dalam upaya agar dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat berjalan sebagaimana mestinya dan untuk

menghindari kemungkinan terjadinya

masalah lingkungan berupa praktik biopiracy maupun pencemaran lingkungan, perlu dilakukannya penegakan hukum lingkungan dengan sebaik-baiknya. Tim penulis senada dengan hal yang dikemukakan oleh Hamzah (1995 : 67) dalam Dr.Waty Suwarty11 yang mengemukakan bahwa penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, dengan suatu harapan agar regulated communities mematuhi peraturan dan persyaratan-persyaratan perlindungan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan and perizinan lingkungan melalui penerapan dan pengawasan sanksi administrsai , pidana, dan perdata baik secara sendirisendiri maupun secara bersama-sama. Instrumen pelembagaan menjadi bentuk penegakan hukum preventif yang menjadi pengawasan aktif terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan sangkaan peraturan hukum yang telah dilanggar. Dengan demikian, dalam penegakan hukum lingkungan sebagaimana dengan penegakan hukum pada umumnya juga ditentukan oleh berbagai faktor tersebut. Penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual , melalui

11

Op.Cit. Hal.99

7


pengawasan dan penerapan (atau ancaman) hukum bidang administrasi, bidang hukum pidana dan bidang hukum perdata. Di sisi lain, jika lembaga dari unit terkecil setiap ekosistem yang ada di Indonesia dapat terbentuk maka dapat mendorong ahli-ahli Indonesia untuk menemukan penemuan baru di dalam keanekaragaman hayati di Indonesia12. Dalam hal ini penemuan-penemuan baru dapat didaftarkan sebagai paten yang pada dasarnya bersifat eksklusif dari bangsa Indonesia sebagai pemilik paten tersebut dengan adanya perlindungan hukum didalamnya sehingga turut membuka peluang kesempatan masyarakat dan pengusaha-pengusaha nasional untuk memproduksi penemuan-penemuan tersebut guna meningkatkan industrialisasi bahkan perekonomian di negeri kita. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa upaya yang dapat di kembangkan ialah pelembagaan terhadap keanekaragamanhayati hingga unit terkecil di Indonesia menjadi bagian dari hak kekayaan intelektual. E. Solusi (Kesimpulan dan Pendapat Hukum) 1. Alasan

Indonesia

perlu

melakukan

pembaharuan

terhadap

instrumen biodiversity untuk mengurangi serta mencegah terjadinya praktik biopiracy adalah dengan membuat ketentuan khusus perlindungan ekosistem keanekaragaman hayati Indonesia secara spesisfik dari tindak illegal praktik biopiracy. Mekanisme tinjauan terhadap legal policy yang ada dapat menjadi solusi untuk menerapkan hukum sebagai instrument dasar yang melindungi seluruh keanekaragaman hayati di Indonesia. 2. Upaya konkret yang dapat dilakukan agar mengurangi praktik biopiracy di Indonesia sejalan dengan hukum lingkungan

yang

dapat di lakukan di Indonesia dengan cara proses pelembagaan pada berbagai ekosistem terkait di seluruh wilayah Indonesia dengan melibatkan universitas dengan departemen terkait didalamnya serta

12

Dr.CFG Sunaryati Hartono,SH.,1988, Cetakan I Hukum Ekonomi Pembangunan , Bandung, Penerbit Binacipta. Hal.142.

8


turut melibatkan mahasiswa dan masyarakat. Pelembagaan ini perlu dilakukan agar turut mendorong ahli-ahli Indonesia dengan penemuannya

dan

pendaftaran

paten

guna

industrialisasi dan sektor perekonomian di Indonesia.

9

meningkatkan


DAFTAR PUSTAKA Buku Dr.CFG Sunaryati Hartono,SH.,1988, Cetakan I Hukum Ekonomi Pembangunan , Bandung, Penerbit Binacipta. Dr.Wati Suwarty Haryono,SH.,MH. , 2007, Hukum Lingkungan , Jakarta, Universitas Islam Jakarta Program Pascasarjana Ilmu Hukum. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) . Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah . Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia NomorP.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018

Tentang

Atas

Kehutanan

Menteri

Lingkungan

Hidup

dan

Perubahan Nomor

P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1228).

10


Laman Gusti : Cegah Biopiracy, Pemerintah Diminta Perketat Izin Peneliti Asing,

https://www.ugm.ac.id/id/berita/18978-cegah-biopiracy-

pemerintah-diminta-perketat-izin-peneliti-asing,

diakses

pada

08

Desember 2020 pukul 14.50 WIB. Ega Ramadayanti : Menilik Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Intelektual (KI) dalam Biopiracy yang bermuara kepada Komersialisasi, https://fh.unpad.ac.id/menilikperlindungan-hukum-terhadap-kekayaan-intelektual-kidalam-biopiracy-yang-bermuara-kepada-komersialisasi/, diakses pada 11 Desember 2020 pukul 13.15 WIB.

11


ATURAN HUKUM INDONESIA TERKAIT HAK MASYARAKAT DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI AGAR TERHINDAR DARI PRAKTIK BIOPIRACY Islamia Tanjung ALSA LC Universitas Sriwijaya

LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang terdri dari banyak pulau. Tidak hanya memiliki banyak pulau Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat banyak. Hal ini disebabkan karena Indonesia mempunyai letak yang strategis secara geografis. Dilihat secara geografis Indoenisa memiliki letak diantara dua Benua (Benua Asia dan Australia) dan dua samudra (Samudra Indonesia dan Fasifik). Karena letak tersebut Indonesia menjadi titik silang perdagangan dunia. Indonesia juga terdiri Âą 17.000 pulau yang kecil dan yang besar, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Sebagai Negara kepulauan dengan wilayah laut dua kali lebih luas dari daratan, menempatkan posisi Perhubungan laut sebagai kedudukan yang paling penting. Letak geografis ini juga yang menyebabkan Indonesia menjadi negara yang tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sehingga Indonesia menjadi salah satu negara yang pusat keanekaragaman hayati dunia yang dikenal dengan istilah negara mega- biodiversity. Keanekaragaman hayati atau biodiversity variabilitas di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk interaksi ekosistem terestrial, pesisir dan lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks ekologik tempat hidup makhluk hidup menjadi bagiannya. Hal ini meliputi keanekaragaman jenis, antar jenis dan ekosistem (Convention on Biological Diversity, 1993). Berdasarkan pengertian itu disampaikan bahwa keanekaragaman itu makhluk hidup dan bagiannya. Namun, keanekaragaman hayati menimbulkan persolan jika tidak tidak dirawat dan dilindungi. Salah satu persoalan yang dihadapi negara Indonesia adalah praktik Biopiracy. Praktik Biopiracy bukan hal yang baru di dunia. Praktik ini sudah lama berkembang, tapi


menimbulkan beberapa permasalahan terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Praktik Biopiracy atau Pembajakan kekayaan intelektual adalah suatu kejahatan transnasional yang melibatkan perusahaan multinasional dan pengetahuan tradisional, dimana perusahaan multinasional tersebut mengklaim hak kepemilikan atas sumber daya genetik (Dutfield, 2005). Kegiatan Praktik Biopiracy ini secara tidak langsung tidak kelihatan. Namun, jika diselidiki kegiatan ini dapat dilihat dan dicegah. Karena jika tidak dicegah, praktik ini sangat berbahaya. Suatu tumbuhan yang sangat langkah di Indonesia, jika di patenkan oleh peneliti luar negeri akan berdampak sangat luar biasa pada keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal yang dapat dicegah oleh Negara Indonesia agar tidak terjadi Praktik Biopiracy yang dilalukan oleh negara lain adalah memperkuat peraturan dan melakukan kerja sama baik pemerintah pusat dan daerah. Dalam penulisan ini penulis akan menjabarkan tulisan yang berhubungan dengan peraturan dasar dalam pencegah Praktik Biopiracy oleh peneliti negara lain.

FAKTA HUKUM 1. Mengalihkan pandangan kepada kasus biopiracy di Indonesia yang cukup populer, terjadi pada tahun 1999 ketika perusahaan kosmetik asal Jepang dituntut untuk membatalkan paten atas pemanfaatan rempah-rempah asal Indonesia untuk penggunaan produk anti aging yang pada akhirnya diikuti pendaftaran paten atas 51 permohonan tumbuhan obat rempah asli Indonesia di kantor paten Jepang, Inggris, Jerman, Perancis dan Italia dibatalkan. 2. Pada 2012 seorang remaja Inggris mengumpulkan sampel tanpa izin di hutan lindung Murung Raya, Kalimantan Tengah. 3. Februari 2017, KLHK menangkap seorang peneliti Prancis yang datang sebagai wisatawan Papua. Ia diduga menyelundupkan Ornithoptera Goliath, jenis kupu-kupu langka yang memiliki ukuran terbesar ke dua di dunia. 4. tahun 2019, banyak pemberitaan kasus di media tentang pengambilan lebih dari 200 sampel tumbuhan dan satwa liar tanpa izin oleh warga negara asing


di Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Bukit Kelam, Sintang, Kalimantan Barat. Kemudian di tahun yang sama, Kemenristek mendeportasi 10 peneliti asing yang melanggar aturan penelitian di Indonesia. Hal ini tidak diherankan, karena

keberadaan

bioprospecting

bermuara

kepada

komersialisasi

mempunyai potensi ekonomi mencapai $500 miliar per tahun mencakup sektor

farmasi, produk pertanian, tanaman hias, kosmetik dan berbagai

produk bioteknologi lainnya.

ISU HUKUM Di Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada pasal 33 ayat 3 berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.� Berdasarkan pasal ini bearti keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia sepenuhnya milik Indonesia dan digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Tapi jika ada kasus praktik Biopiracy dimana ada nya hak paten hal ini akan menganggu keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Tidak hanya bermasalah pada

hak untuk menggunakan

keanekaragaman hayati. Hal ini juga berdampak pada perlindungan ekosistem yang di Indonesia jika tidak melalui hukum yang sesuai. Karena jika tidak melalui perizinan dikhawatir praktik ini akan mengganggu habitat asli dari keanekaragaman hayati tersebut.

Dalam

hal

ini

juga

masyarakat

memiliki

hak

untuk

makmur

darikeanekaragaman hayati yang dimiliki negara Indonesia. Dan dibutuhkan peran pemerintah terkait regulasi dalam prkatik biopiracy yang dilakukan oleh negara lain di Indonesia.

DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 2. Undang Undang No. 5 Tahun 1994 Tentang : Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati


ANALISIS HUKUM Berdasarkan hasil inventarisasi dan penamaan pulauyang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487 pulau dengan 47 ekosistem yang sangat berbeda, dengan 450 spesies terumbu karang dari 700 spesies dunia. Sedangkan berdasar data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2011 tentang keragaman spesies yang dimiliki Indonesia adalah707 spesies mamalia,1062 spesies amfibi dan reptil, 2800 spesies invertebrata, 1400 spesies ikan, 35 spesies primatadan 120 spesies kupu-kupu. Selain hal tersebut di Indonesia juga terdapat kurang lebih 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan 400 jenis buah-buahan yang dapat di makan, 6000 spesies tanaman bunga, baik itu liar maupun

yang dipelihara dan telah

dimanfaatkan untuk berbagai macam hal, salah satunya adalah untuk obatobatan.

Indonesia juga memiliki

7.500

menyusun 10% total tumbuhan obat

di

jenis

tumbuhan

obat-obatan

yang

dunia.1 Berdasarkan data Indonesia

merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati dan tempat yang menjadi paling diincar untuk kejahatan Praktik Biopiracy. Terkait hal ini terdapat dasar hukum untuk mencegah terjadi tindakan Praktik Biopiracy. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada pasal 33 ayat 3 berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”2 Dalam pasal ini sudah diatur bahwa alam dan beserta isi nya dimiliki oleh Negara Indonesia dan digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Untuk keanekaragaman hayati akan dibahas untuk pengertiannya. Pengertian lainnya keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumber daya hayati berupa jenis maupun kekayaan plasma nutfah 1

Sri Nurhayanti Qodriyatun, ‘Perlindungan Terhadap Pengetahuan Tradisional Masyarakat Atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik (SDG)’, 2016, Kajian Volume 21 Nomor 2.[141-142]. 2 Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945


(keanekaragaman genetik di dalam jenis), keanekaragaman antarjenis dan keanekaragaman ekosistem (Sudarsono dkk, 2005: 6). Pengertian ini memiliki hubungan erat dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dasar hukum ini yang menguatkan bahwa keanekaragaman hayati yang dimiliki Negara Indonesia pada dasarnya milik Masyarakat Negara Indonesia sendiri. Biopiracy diartikan sebagai suatu praktek eksploitasi atas sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alam tanpa izin dan pembagian perihal manfaat yang diperoleh. Biopiracysebagai suatu mengenai masalah dikomersialisasikan

pencurian dan

tertentusaja.Sekretaris

materi

sifatnya

utama

LIPI,

yang

menjelaskan

genetikyang keberadaannya

hanya Dr.

istilah

menguntungkan bagi Rohadi

Abdul

untuk

pihak-pihak

Hadi APU, pernah

menyatakan bahwa kasus biopiracydi Indonesia bukanlah suatu isu belaka. Sudah banyak kasus terjadi yang menunjukan dugaan adanya kasus biopiracyini terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia.Fakta menyebutkan bahwa 80% kekayaan hayati di dunia berasal dari wilayah tropis dan sub tropis di selatan. dalam

sektor

pasar

obat

memiliki

Perdagangan

prospekuntuk dikembangkan melalui

praktek-praktek eksploitasi plasma nutfah di negara-negara tropisdan sub tropis secara

massif

yang

dikhawatirkan

terjadi

tanpa

adanya persetujuan

atau

perizinan, sehingga merugikan bagi negara yang dieksploitasi tanpa adanya kesepakatan pembagian keuntungan.3 Hal ini harus dilindungi karena akan merugikan Negara Indonesia. Jika dilindungi masyarakat bisa memanfaatkan secara baik. Mengenai perlindungan pengetahuan tradisional di Indonesia menjadi sangat penting karena beberapa alasanyaitu: (1) adanya potensi keuntungan ekonomis yang dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional, (2) keadilan dalam sistem perdagangan dunia, dan (3) perlunya perlindungan hak masyarakat

3

Anis Devy. ‘Biopiracy Tantangan Indonesia Kini dan Nanti’,(Isent, 2020) https://isnet.or.id/biopiracy-tantangan-indonesia-kini-dan-nanti/> accessed 10 Desember 2020.

<


lokal.4 Dalam hal ini sudah jelas bahwa masyrakat Indonesia memiliki hak dalam mengelola dan perlindungan dalam keanekaragaman hayati. Tuntutan perihal adanya perlindungan bagi pengetahuan tradisional muncul dengan ditanda tanganinya Convention on Biological Diversity(CBD) pada tahun 1992. Sejak saat itu telah terselenggara berbagai macam pertemuan dunia, terutama dalam konteks World Intellectual Property Organisation(WIPO) terus diselenggarakan untuk merumuskan bagaimana sistem perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional. 5 Pengetahuan tradisional sebagai suatu konsep kunci yang terdapat dalam CBD khususnya dalam Pasal 8 (j) yang menekankan peran penting dari pengetahuan tradisional yaitu: “..... to encourage the equitable sharing of the benefits arising from the utilization of such knowledge, innovation, and practices.”6 Dalam hal ini bahwa pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan. Hal ini juga selaras dengan aturan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) yang berbunyi “Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia terus ditumbuhkembangkan melalui penerangan dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pemberian rangsangan, penegakan hukum, dan disertai dengan dorongan peran aktif masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam setiap kegiatan ekonomi sosial.”7 Dengan hal ini pada dasarnya Negara Indonesia sudah memberikan dasar hukum yang kuat. Aturan ini memberikan hak kepada masyarakat untuk mengelola,

4

Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual& Pengetahuan Tradisional, Bandung, (PT. Alumni 2010).[3]. 5 Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Eksplorasi Konsep Kekayaan Intelektual untuk Menumbuhkan Inovasi, Jakarta, (LIPI Press 2005).[10]. 6 Articles 8 Convention on Biological Diversity. 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati).


melindungi dan menikmati keanekaragam hayati yang dimiliki oleh Negara. Dalam hal ini digunakan sepenuhnya kemakmuran masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Buku Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual& Pengetahuan Tradisional (PT. Alumni 2010). Muhammad Ahkam Subroto & Suprapedi, Eksplorasi Konsep Kekayaan Intelektual untuk Menumbuhkan Inovasi (LIPI Press 2005). Sudarsono, Taksonomi Tumbuhan Tingkat Tinggi (Universitas Negeri Malang 2008). Jurnal Sri Nurhayanti Qodriyatun, ‘Perlindungan Terhadap Pengetahuan Tradisional Masyarakat Atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik (SDG)’ (2016) Kajian Volume 21 Nomor 2.

Website Anis Devy. ‘Biopiracy Tantangan Indonesia Kini dan Nanti’(Isent, 2020)< https://isnet.or.id/biopiracy-tantangan-indonesia-kini-dan-nanti/>

Perundang- undangan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 Convention on Biological Diversity 1993 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati).


PERLINDUNGAN BIODIVERSITAS INDONESIA DARI PRAKTIK BIOPRACY Adrian Josua Nababan dan M.Togar Rayditya ALSA LC Universitas Sriwijaya

1. PENDAHULUAN Perihal tentang Indonesia yang dijuluki sebagai Zamrud Khatulistiwa, Indonesia juga dilabeli sebagai negara Mega Biodiversity karena keanekaragaman hayati yang berlimpah. Terkait Biodiversitas atau Keanekaragaman hayati berperan juga sebagai komponen paling krusial dari sistem ekologi dan merupakan kekayaan dalam bingkai kehidupan bumu, baik dalam mikroorganisme, genetika, tumbuhan, hewan, ekosistem serta prosesproses ekologi yang terbangun menjadi lingkungan hidup. Terkait perihal dalam Biodiversitas itu dapat dikatakan juga sebagai Endemisme yang merupakan bagian dari gejala ekologi yang dimiliki organisme untuk menjadi unik pada suatu lokasi geografi, seperti pulau, negara atau zona ekologi tertentu. Jika dilihat dalam Pembagian yang lebih besar, akan tampak sekali perbedaan keanekaragaman hayati di Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Selanjutnya, dalam Perbedaan mencolok dari keanekaragaman hayati diatas, patut dilihat bahwa dalam keanekaragaman hayati itu sendiri memiliki tigas tingkatan, yaitu: (A) Keanekaragaman spesies, termasuk bakteri, plasma nutfah dan Protista serta spesies kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan).

II. DASAR HUKUM a) Peraturan Perundang-Undangan b) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan c) Ekosistemnya; d) Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragam Hayati; e) Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; f) Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya; g) Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.


III. ANALISIS HUKUM Upaya Pemerintah dalam melindungi keranekagaman hayati dari ancaman praktik biopiracy Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang beragam ragam hal ini disebabkan Indonesia yang dilalui oleh garis khalustiwa , hal ini tentu saja membuat Negara Negara lain melirik kekayaan alam yang melimpah di Indonesia hal ini juga memiliki dampak positif dan negative bagi Indonesia sebagai contoh hal positif yang akan didapat Indonesia dapat menarik minat investor bagi Indonesia dan menaikan perekonomian bagi Indonesia tetapi selain memiliki dampat positif Indonesia juga akan terkena dampak negative seperti pencurian satwa dan tumbuhan dalam istilah kerenya yaitu “praktik biopiracy� hal ini tentu sangat merugikan pihak Indonesia dikarenakan pihak asing mengambil keuntungan dari Indonesia sedangkan Indonesia tidak mendapatkan apa apa sebagai contoh nyata Sekretaris Utama LIPI, Dr Rohadi Abdul Hadi APU, punya cerita pedih soal praktik biopiracy ini. Syahdan, pada akhir 1990-an, peneliti dari Universitas Andalas, Prof Dayar Arbain, tengah menelusuri sebuah spesies tumbuhan langka di daerah Sumatra. Tumbuhan jenis ini, kata Rohadi, diduga mengandung komponen penting untuk menciptakan jenis obat baru. Namun, belum kelar penelitian soal tumbuhan tadi, "Tiba-tiba ilmuwan dari Jepang sudah mengumumkan hak paten atas sebuah produk obat, " cerita Rohadi. "Uniknya, obat ini ternyata diperoleh dari tumbuhan langka tadi, ". Bagaimana mungkin peneliti-peneliti Jepang bisa sekonyong-konyong mengantungi spesies jarang itu Bagaimana mereka bisa lebih dulu Tapi itulah fakta yang terjadi, eksodus keanekaragaman hayati Indonesia ke mancanegara. Dikarenakan maraknya tindakan tersebut membuat Pemerintah Indonesia berang sehingga membuat perlindungan hukum bagi satwa dan hayati kita dengan membuat UU No 18/2002 tentang Sistem Nasional dalam Penelitian, Pengembangan, dan Aplikasi Sains dan Teknologi. Perangkat ini diperkuat oleh Keputusan Kepala LIPI No 3550/A/1998 tentang Petunjuk Persetujuan Riset oleh Peneliti Luar Negeri. UU ini bertujuan agar pihak asing tidak semena mena dalam mengambil keanekaragaman yang ada di Indonesia lalu diperkuat dengan pasal Terdapat larangan diantaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 adalah larangan untuk mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaaan hidup atau mati. Ancaman pidananya pun dilakukan secara komulatif yaitu menggabungkan antara pidana denda dan pidana kurungan. Sehingga membuat para peniliti asing dapat mendapatkan hukum penjara bila melakukan praktik biopiracy di


Indonesia lalu Indonesia juga melakukan perjanjian hukum dengan Negara lain agar tidak terjadi praktik biopiracy lagi dengan mengadakan kerjasama dengan Negara lain yang dinamakan : “UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL NAGOYA TENTANG AKSES PADA SUMBER DAYA GENETIK DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN YANG ADIL DAN SEIMBANG YANG TIMBUL DARI PEMANFAATANNYA ATAS KONVENSI KEANEKARAGAMAN HAYATI� Indonesia memiliki beragam sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang melimpah dan bernilai ekonomis sehingga perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya Pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk melaksanakan amanat tersebut, perlu dilakukan berbagai langkah, seperti melakukan inventarisasi terhadap berbagai potensi sumber daya yang dapat dijadikan modal pembangunan. Sumber daya dimaksud salah satunya adalah sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang memiliki nilai ekonomis. Selanjutnya, sumber daya tersebut perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil toponimi atau inventarisasi dan penamaan pulau oleh Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487 (tiga belas ribu empat ratus delapan puluh tujuh) pulau. Pulau yang satu dan yang lain dipisahkan oleh lautan sehingga membuahkan 47 (empat puluh tujuh) ekosistem yang sangat berbeda. Sedangkan berdasarkan Status Keanekaragaman Hayati Indonesia yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2011, keragaman spesies yang dimiliki Indonesia, terdiri atas : a. 707 (tujuh ratus tujuh) spesies mamalia; b. 1.602 (seribu enam ratus dua) spesies burung; c. 1.112 (seribu seratus dua belas) spesies amfibi dan reptil; d. 2.800 (dua ribu delapan ratus) spesies invertebrata; e. 1.400 (seribu empat ratus) spesies ikan; f. 35 (tiga puluh lima) spesies primata; dan g. 120 (seratus dua puluh) spesies kupu-kupu.


Berdasarkan data dari kementrian kelautan dan perikanan memiliki 450 spesies terumbu karang dari 700 spesies di dunia : Dari data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta memiliki keanekaragaman sumber daya genetik dan ekosistem dengan karakteristik tertentu. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin beragam dan kompleks. Upaya perlindungan terhadap sumber daya genetik telah dilakukan melalui alokasi sejumlah kawasan, baik di darat, di pesisir, maupun di laut untuk dijadikan kawasan konservasi dalam berbagai bentuk seperti taman nasional, kawasan konservasi daratan dan perairan, dan suaka margasatwa darat dan laut. Selain bertujuan untuk melindungi sumber daya genetik, kawasan konservasi juga dimaksudkan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan lautan dengan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Upaya lain yang telah dilakukan termasuk membangun peta ekologi wilayah Indonesia. Selain itu, perlindungan tersebut dimaksudkan juga untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik bagi generasi yang akan datang. Pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara berkelanjutan diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitas lokal kepada generasi berikutnya. Untuk itu, dalam melestarikan dan memanfaatkan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, harus terpolakan dan tercermin dalam pengetahuan, inovasi, dan praktik yang terkait serta perlu dikembangkan pengaturan pengelolaannya sehingga dapat menampung dinamika dan aspirasi masyarakat hukum adat dan komunitas lokal. Dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada saat ini pemanfaatan sumber daya genetik tidak terbatas pada sumber daya genetiknya saja tetapi juga terhadap produk turunannya (derivatives) dari sumber daya genetik tersebut. Produk turunan merupakan suatu senyawa biokimia alami yang dihasilkan dari ekspresi genetik atau hasil metabolisme sumber daya hayati atau genetik. Produk turunannya tersebut dapat berupa: a.

individu hasil persilangan/perkawinan/metode lainnya;

b.

bahan aktif dari hasil metabolisme sumber daya genetik;

c.

enzim; dan

d.

gen.

Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati (Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair


and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity) yang selanjutnya disebut Protokol Nagoya merupakan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup dalam kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mengatur akses terhadap sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang antara pemanfaat dan penyedia sumber daya genetik berdasarkan persetujuan atas dasar informasi awal dan kesepakatan bersama serta bertujuan untuk mencegah pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy). Perjanjian Protokol Nagoya merupakan perjanjian yang sangat penting bagi Negara Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati. Adapun manfaat yang diperoleh Indonesia melalui pengesahan Protokol Nagoya, antara lain: 1. 2.

Melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. Mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan utilization) terhadap keanekaragaman hayati.

tidak

sah (illegal

3.

Menjamin pembagian keuntungan (finansial maupun non finansial) yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms).

4.

Meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama.

5.

Menguatkan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6.

Menegaskan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik.

7.

Memberikan insentif dan dukungan pendanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

8.

Menciptakan peluang untuk akses alih teknologi pada kegiatan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Protokol Nagoya disusun berdasarkan prinsip hukum internasional, yaitu negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup dan pembangunannya serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan di dalam yurisdiksi atau pengendaliannya tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup negara lain atau wilayah di luar batas yurisdiksi negara yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan Protokol Nagoya,


antara lain: a.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

b.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);

c.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);

d.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);

e.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);

f.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);

g.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

h.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043);

i.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);

j.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);

k.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);

l.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);


m.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);

n.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4612);

o.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);

p.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

q.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

r.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);

s.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073).

Protokol Nagoya terdiri atas 36 (tiga puluh enam) pasal dan 1 (satu) lampiran. Materi pokok Protokol Nagoya mengatur hal-hal sebagai berikut: a.

ruang lingkup Protokol Nagoya adalah pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik;

b.

pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms);

c.

akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya genetik;

d.

penyederhanaan prosedur akses pada sumber daya genetik untuk penelitian nonkomersial dan pertimbangan khusus akses pada sumber daya genetik dalam situasi darurat kesehatan, lingkungan, dan pangan;

e.

mekanisme pembagian keuntungan multilateral global (global multilateral benefit


sharing) terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang bersifat lintas negara; f.

mekanisme kelembagaan diatur dengan: 1)

penunjukkan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA) sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta kesepakatan bersama; dan

2)

penunjukkan Pumpunan Kegiatan Nasional (National Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung Para Pihak dengan Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pumpunan Kegiatan Nasional dapat juga berfungsi sebagai NCA;

g.

pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik;

h.

penaatan terhadap peraturan perundang-undangan nasional mengenai akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik;

i.

pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang diakui secara internasional;

j.

penaatan terhadap kesepakatan bersama penyedia (provider) dan pemanfaat (user) sumber daya genetik harus menaati kesepakatan dalam kontrak atas pemanfaatan sumber daya genetik khususnya klausul penyelesaian sengketa, akses terhadap keadilan (access to justice), pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa;

k.

model klausul kontrak kesepakatan bersama Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan model klausul kontrak dalam kesepakatan bersama;

l.

kode etik, pedoman dan praktik terbaik, dan/atau standar Negara Pihak mendorong pengembangan, pemutakhiran, dan penggunaan kode etik sukarela, pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam kaitannya dengan akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik;

m.

peningkatan kesadaran Negara Pihak melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik, dan isu-isu terkait dengan akses dan pembagian keuntungan;

n.

peningkatan kapasitas Negara Pihak bekerja sama dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, antara lain pengembangan:


1)

kapasitas untuk mengimplementasikan dan untuk mematuhi kewajibankewajiban dalam Protokol Nagoya;

2)

kapasitas untuk menegosiasikan kesepakatan bersama;

3)

kapasitas untuk mengembangkan, mengimplementasikan dan menegakkan langkah-langkah legislatif, administratif atau kebijakan nasional tentang akses dan pembagian keuntungan; dan

4)

kapasitas untuk mengembangkan kemampuan penelitian endogen untuk menambahkan nilai pada sumber daya genetik.

Transfer teknologi, kolaborasi, dan kerja sama Negara Pihak meningkatkan dan mendorong akses terhadap teknologi dan transfer teknologi untuk pengembangan dan penguatan teknologi. Negara pemanfaat sumber daya genetik harus mengembangkan kegiatan kerja sama dengan negara asal sumber daya genetik; Selanjutnya, Terkait prosedur dan mekanisme untuk mempromosikan penaatan Protokol Nagoya. Konferensi Para Pihak mempertimbangkan dan menyetujui prosedur kerja sama dan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan penaatan dan penanganan kasus ketidaktaatan terhadap substansi Protokol Nagoya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Indonesia telah membuat perpu dan uu yang mengatur tentang permasalahan ini serta telah membuat kerjasama internasional yang seharusnya Indonesia tidak lagi mengalami kerugian akan tetapi pelaksanaan dari pada UU tersebut kurang maksimal yang membuat Indonesia mengalami kerugian hal ini justru membuat tindakan klaim dari Negara lain khususnya Negara maju menjadi suatu ancaman bagi sumber daya genetik Indonesia khusus nya dengan tumbuhan yang berkhasiat obat sehingga Indonesia sangat perlu memperhatikan hal ini, jika Indonesia tidak membenahi terkait pelaksanaan maka Indonesia sudah pasti akan terkeruk kekayaannya serta Sudah tertuang sejak, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya hingga UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073).

V. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang – undangan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragam Hayati;


Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya; Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Internet http://lipi.go.id/berita/indonesia-ladang-subur-biopiracy/451

https://fh.unpad.ac.id/menilik-perlindungan-hukum-terhadap-kekayaan-intelektual-kidalam-biopiracy-yang-bermuara-kepada-komersialisasi/

https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2013/11TAHUN2013UU.HTM

file:///C:/Users/User/Downloads/98-686-1-PB.pdf

http://repository.unair.ac.id/25616/13/13.%20Bab%202.pdf



Pencurian Keanekaragaman Hayati: Hukuman Apa yang Menanti? Oleh: Ronaldo Dwi Putro, Sari Rahmatullah dan Ghina Gatriliananda ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya

I.

PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki luas

total sebesar 7,81 juta km2 dengan 17.499 pulau yang terbentang dari sabang sampai merauke.1 Dengan kondisi Geografis Indonesia yang sedemikian rupa, Indonesia memegang kepemilikan atas segala keanekaragaman hayati yang terkandung dan tersebar luas di setiap pulaunya, bahkan Pusat Penelitian Biologi LIPI, memaparkan bahwa status dan tren keanekaragaman hayati Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat agro biodiversitas dunia dengan 10% spesies dari total spesies tumbuhan dunia atau negara Megabiodiversitas.2 Melihat

fakta

tersebut,

suatu

keharusan

bagi

Indonesia

untuk

terus

mengembangkan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai aset jangka panjang negara. Keanekaragaman Hayati Indonesia yang memiliki potensi besar dalam meningkatkan berbagai aspek kehidupan nasional, terutama dalam bidang Ekonomi, masih sulit untuk diterapkan, karena kurangnya perlindungan Pemerintah dan kesadaran masyarakat mengenai Biodiversitas tersebut. Permasalahan mengenai Biodiversitas di Indonesia ditandai dengan banyaknya pencurian genetik (biopiracy) yang terjadi, akibat kelengahan pemerintah dan minimnya pengetahuan masyarakat mengenai Biodiversitas dan Biopiracy tersebut, pencurian atau eksploitasi sumber daya alam ilegal yang

1

Oki Pratama, ‘Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia’ (Kementrian Kelautan dan perikanan, kkp.go.id, 2020) https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautandan-perikanan-indonesia diakses pada 06 Desember 2020 2 Dr. Laksana Tri Handoko M.Sc., ‘Potensi Keanekaragaman Hayati Indonesia untuk Bioprospeksi dan Bioekonomi’ (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, lipi.go.id, 2020) http://lipi.go.id/berita/potensi-keanekaragaman-hayati-indonesia-untuk-bioprospeksi-danbioekonomi-/22154 diakses pada 06 Desember 2020


terjadi, biasanya dilakukan oleh negara-negara maju (Industrialis) kepada negara berkembang yang memiliki sumber daya alam melimpah (Agraris). Sehingga biodiversity sebagai bio ekonomi menjadi isu besar dalam perdebatan antara negara maju dengan negara berkembang.3 Seperti kasus yang pernah terjadi adalah perusahaan kosmetik asal Jepang yang sempat akan mematenkan tumbuhan dan rempah dari Indonesia, seperti kayu rapet, kemukus, tempuyung, belantas, mesoyi, pule, pulowaras dan sintok. Bermula pada tahun 1995, perusahan Shiseido mengajukan 51 permohonan paten tanaman obat dan rempah asli Indonesia, dimana tanaman dan rempah yang hendak dipatenkan oleh perusahaan tersebut sudah ada di Indonesia sejak zaman dahulu kala, diracik oleh ahli obat-obatan herbal yang berasal dari masyarakat tradisional Indonesia, racikan tersebut dikenal juga sebagai Jamu. Mengetahui hal tersebut Biotani LSM melakukan kampanye luas melawan perusahaan Shiseido, dengan mengadakan konferensi pers, workshop, dan mengirim surat-surat peringatan kepada Shiseido dan komunitas-komunitas Internasional melalui surel secara berkala sejak tahun 1999 sampai 2002. Akibat ditekan dengan berbagai perlawanan dan pemberitaan media mengenai Biopiracy, pada 24 Januari 2002, Shiseido pun akhirnya membatalkan permohonan registrasi paten terhadap tanaman obat dan rempah asli Indonesia untuk keperluan produk kosmetiknya, yang sebelumnya sudah sampai pada pengajuan ke kantor paten di Tokyo.4 Berpandangan terhadap fakta-fakta yang terjadi, kemudian bagaimana pemerintah melindungi Biodiversitas Indonesia dan apakah sudah efektif perlindungan sumber daya genetik oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada?

II.

ISU HUKUM 1. Perlindungan Hukum bagi Keanekaragaman Hayati Terhadap Praktik Biopiracy Oleh Negara Asing

3

Dr. Yulia, S.H., M.H., Biodiversiti, Bioekonomi dan Biopiracy: Dalam Penggunaan Spesies Tanaman Indonesia (Unimal Press 2016), [1]. 4 Tami Justitia, 2012. ‘Perlindungan Sumber Daya Genetik menurut Hukum Internasional’. Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia. Depok.


2. Efektivitas Perlindungan Sumber Daya Genetik dalam Ratifikasi Protokol Nagoya

III.

DASAR HUKUM

a.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

c.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

d.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity

IV.

ANALISIS HUKUM

1.

Perlindungan Hukum bagi Keanekaragaman Hayati terhadap Praktik Biopiracy oleh Negara Asing “Cujus est dominium ejus est periculum� Risiko atas suatu kepemilikan

ditanggung oleh pemilik. Istilah biopiracy digunakan untuk menyebut perampasan pengetahuan dan sumber daya genetik dari masyarakat lokal oleh individu atau lembaga untuk mematenkan sumber daya dan pengetahuan tersebut. Pencurian terhadap sumber daya hayati terutama sumber daya genetik Indonesia menjadi masalah yang sangat merugikan bagi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak sumber daya genetika seperti obat, pangan, bahan industri dipatenkan ataupun diambil dan dimanfaatkan tanpa izin oleh perusahaan dan lembaga luar negeri.

Bambang Dahono Aji, Direktur Konservasi dan

Keanekaragaman Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan kondisi saat

ini,

praktik

biopiracy

yang

terjadi

di

Indonesia

sudah

cukup


mengkhawatirkan.5 Beberapa kasus telah terjadi menunjukkan bahwa kurang diperhatikannya perlindungan negara terhadap keanekaragaman hayati. Modus praktik biopiracy dilakukan beberapa negara asing dengan datang ke Indonesia sebagai turis, lalu masuk ke taman nasional. Dari taman nasional tersebut bisa saja mengambil sampel daun, batang, kulit kayu, bahkan tanah yang masih mengandung mikroorganisme lalu di bawa ke negaranya untuk diteliti. Agar tidak terulang lagi kasus seperti Perusahaan Kosmetik Jepang Shiseido, Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dalam upaya mencegah pencurian sumber daya hayati, terutama sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional Indonesia sekaligus memberikan sanksi bagi semua pihak yang melanggar. Dalam UU ini Pelaksanaan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan oleh Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi asing dan/atau orang asing wajib memperoleh izin dari Pemerintah Pusat. Selain itu, setiap orang dilarang mengalihkan keanekaragaman hayati, baik dalam bentuk fisik atau digital. Apabila uji material tidak bisa dilakukan di Indonesia maka pengalihan material harus dilengkapi perjanjian pengalihan material. Jika setiap orang asing yang melanggar kewajiban tersebut akan diberikan sanksi administratif berupa

peringatan

tertulis;

penghentian

pembinaan;

denda

administratif; pencantuman para pelanggar dalam daftar hitam Pelanggaran Penelitian, Pengembangan, Pengkajian dan Penerapan; dan/atau pencabutan izin. Sedangkan sanksi pidana tidak diberikan secara langsung tetapi diberikan ketika melakukannya berulang kali. Sanksi pidana berupa pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan pidana tambahan berupa pelarangan izin penelitian di Indonesia paling lama 5 (lima) tahun.6 Selain Indonesia, kasus yang mirip pernah terjadi di India. Pada tahun 1990, perusahaan agrobisnis multinasional Amerika bernama W.R Grace & Co. 5

Danny Kosasih, ‘Keanekaragaman Hayati Indonesia Masih Rentan Pembajakan’, (greeners.co, 2016) https://www.greeners.co/berita/keanekaragaman-hayati-indonesia-masih-rentanpembajakan/ diakses pada 06 Desember 2020. 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


memperoleh patent dari European Patent Office berkaitan dengan biji Neem. Neem adalah semak India yang tumbuh di sub-benua India dan kemudian menyebar ke negara-negara lain seperti Australia, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, dan sebagainya. Ekstrak Neem dapat digunakan sebagai pestisida, obat, dan pupuk. Kemudian gugatan hukum diajukan oleh Magda Aelvoet (Menteri Lingkungan Belgia saat itu), atas perwakilan Green Group di Parlemen Eropa, Brussel, Dr. Vandana Shiva, atas perwakilan dari Research Foundation for Science, Technology, and Natural Resource Policy, dan International Federation of Organic Agriculture Movement. Pada bulan Mei tahun 2000 EPO membatalkan paten tersebut. Kasus tersebut kemudian melahirkan the Biological Diversity Act 2002 yaitu undang-undang nasional India. Dua contoh kasus tersebut menunjukkan betapa pentingnya perlindungan hukum terhadap keanekaragaman hayati agar terhindar dari praktik biopiracy oleh negara asing. 2.

Efektivitas Perlindungan Sumber Daya Genetik dalam Ratifikasi Protokol Nagoya “Lex Prospicit, Non Respicit – the law looks forward, not backward”

Hukum Melihat ke depan bukan ke belakang. Tahun 1990, diberlakukan UndangUndang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.7 Pada tahun 1992 digelar Convention on Biological Diversity (CBD) kemudian melahirkan Protokol Nagoya yang mengatur lebih lanjut terkait Access and Benefit Sharing (ABS).8 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) ini kemudian memanifestasikan Protokol Nagoya yang mengatur lebih lanjut terkait ABS.9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari penerapannya dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati. Protokol Nagoya merupakan instrumen internasional yang bertujuan untuk mengatur pembagian yang adil dan merata terhadap 7

Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 8 Nur Ghenasyarifa Albany Tanjung dan Diah Apriani Atika Sari, ‘Konsep Access And Benefit Sharing Sebagai Pencegahan Biopiracy Di Indonesia’ (2017), Vol 3 Belli ac Pacis. [18]. 9 Ibid


penggunaan sumber daya genetik. Termasuk di dalamnya konservasi keragaman hayati dan transfer teknologi, serta perlindungan traditional knowledge yang dimiliki oleh masyarakat adat (indigenous and local communities). Dasar pengaturan Protokol Nagoya telah diratifikasi oleh Indonesia bertujuan untuk menjamin kedaulatan Negara, mengatur konservasi pemanfaatan berkelanjutan, dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang.10 Dengan demikian, Negara memiliki hak untuk mengawal akses keanekaragaman hayati dan informasi,11 karena Negara memiliki hak berdaulat untuk menilik keanekaragaman hayati di wilayahnya. Protokol Nagoya menjadi tolak ukur bagi Negara dalam menerapkan undang-undang nasional, menjaga keanekaragaman hayati dari kerusakan, termasuk hasil modifikasi dalam batas-batas lintas nasional.12 Ratifikasi Protokol Nagoya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 oleh pemerintah,13 menjadi salah satu peluang bagi Indonesia dalam mendapat pembagian keuntungan dari hasil pengeksploitasian keanekaragaman hayati. Access Benefit and Sharing adalah saran yang ditawarkan Protokol Nagoya dalam perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk bagi Indonesia. Penerapan ABS di Indonesia, dapat mencegah terjadinya biopiracy.14 Hal ini harus didukung dengan pembentukan sistem regulasi nasional. Tetapi faktanya, hal ini belum bisa menjadi regulasi dalam arti material (substantif). Karena itu diperlukanlah Undang-Undang lain yang dapat mengimplementasikan Protokol Nagoya ke dalam hukum nasional. Tetapi sebelumnya, sudah pernah disusun Rancangan Undang-Undang yang mengimplementasikan norma Protokol Nagoya, yaitu RUU tentang 10

Sudaryat, ‘Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia Dan Optimalisasi Teknologi Informasi’ (2020), Vol. 4 Bina Hukum Lingkungan. [243]. 11 Michael I. Jeffery, ‘Bioprostecting: Access to Genetic Resoucers and and Benefit Sharing Under the CBD and the Bonn Guidelines’ (2002), Vol. 6 Singapore Journal Internasional and Omparative Law. [759]. 12 Yulia dan Sinatul Ashiqin Zainol, ‘Melindungi Keanekaragaman Hayati dalam Kerangkan Protokol Nagoya’ (2013), Vol. 25 Mimbar Hukum. [274-275]. 13 Draf Ratifikasi diajukan pemerintah melalui Surat Nomor: R-58/Pres/06/2012 tanggal 6 Juni 2012 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Ketua DPR RI). 14 Carlos M. Correa, ‘What Come After Nagoya? Addresing Developing Country Needs in Intellectual Property Rights and Biodiverity’ (2001), Laporan Penelitian, UNTAC & ICTSD, WIPO, Switzerland, Geneva. [6].


Pengelolaan Sumber Daya Genetik (PSDG). RUU ini telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional pada periode 2005-2009, periode 2010-2014 dan kemudian periode 2015-2019. Namun sampai saat ini RUU tersebut masih berstatus sebagai “Rancangan”. Menteri RUU PSDG juga sempat memasukkan RUU ini ke dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Namun revisi yang diinisiasikan oleh DPR-RI tersebut ditolak oleh pemerintah sama halnya dengan RUU PSDG.15 Saat Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB yang diadakan di Sharm El Sheikh, Mesir (November 2018), posisi Indonesia masih begitu lemah karena tidak memiliki peraturan di level nasional terkait pemanfaatan sumber daya genetik dan forum tersebut meminta negara-negara PBB untuk memiliki kebijakan atau peraturan nasional terkait pemanfaatan sumber daya genetik, tapi sayangnya hingga sampai saat ini Indonesia belum mempunyai payung hukum.16 Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kegiatan penelitian yang ada di Indonesia ini dilakukan secara ilegal oleh orang asing.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Maraknya kasus Biopiracy atau pencurian sumber daya hayati di Indonesia mengingatkan kita pentingnya peran pemerintah dan masyarakat. Kurangnya kesadaran masyarakat akan apa yang menjadi hak mereka, membuat masalah ini seperti luput dari pandangan sehingga mempermudah akses bagi siapapun yang ingin menikmati kekayaan alam tersebut demi kepentingan diri sendiri, ditambah kepastian hukum mengenai Biopiracy yang masih dibuat samar, mengharuskan pemerintah untuk segera membentuk suatu peraturan yang lebih mengikat dan tegas dalam rangka melindungi keanekaragaman hayati Indonesia yang mana memiliki potensi besar bagi peningkatan perekonomian demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 15

Kehati, ‘Sumber Daya Genetik Indonesia’, (2020) https://www.kehati.or.id/coronadansumberdayagenetik/ diakses pada 07 Desember 2020. 16 Maharani, Shinta, ‘RUU konverensi mandek posisi Indonesia Lemah di KTT Keanekaragaman Hayati’, (2018) https://www.ekuatorial.com/id/2018/12/ruu-konservasi-mandek-posisi-indonesialemah-di-ktt-keanekaragaman-hayati/ diakses pada 07 Desember 2020.


DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Buku Dr. Yulia, S.H., M.H., Biodiversiti, Bioekonomi dan Biopiracy: Penggunaan Spesies Tanaman Indonesia, (Unimal Press 2016).

Dalam

Jurnal Michael I. Jeffery, ‘Bioprostecting: Access to Genetic Resoucers and and Benefit Sharing Under the CBD and the Bonn Guidelines’ (2002), Vol. 6 Singapore Journal Internasional and Omparative Law. Nur Ghenasyarifa Albany Tanjung dan Diah Apriani Atika Sari, ‘Konsep Access And Benefit Sharing Sebagai Pencegahan Biopiracy Di Indonesia’ (2017), Vol 3 Belli ac Pacis. Sudaryat, ‘Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia Dan Optimalisasi Teknologi Informasi’ (2020), Vol. 4 Bina Hukum Lingkungan. Yulia dan Sinatul Ashiqin Zainol, ‘Melindungi Keanekaragaman Hayati dalam Kerangkan Protokol Nagoya’ (2013), Vol. 25 Mimbar Hukum.

Skripsi Tami Justitia, ‘Perlindungan Sumber Daya Genetik menurut Hukum Internasional’. (Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia. Depok 2012).

Laporan Penelitian


Carlos M. Correa, ‘What Come After Nagoya? Addresing Developing Country Needs in Intellectual Property Rights and Biodiverity’ (2001), Laporan Penelitian, UNTAC & ICTSD, WIPO, Switzerland, Geneva

Laman Danny Kosasih, ‘Keanekaragaman Hayati Indonesia Masih Rentan Pembajakan’, (greeners.co, 2016) https://www.greeners.co/berita/keanekaragaman-hayati-indonesia-masihrentan-pembajakan/ diakses pada 06 Desember 2020. Dr. Laksana Tri Handoko M.Sc., ‘Potensi Keanekaragaman Hayati Indonesia untuk Bioprospeksi dan Bioekonomi’ (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, lipi.go.id, 2020) http://lipi.go.id/berita/potensi-keanekaragaman-hayati-indonesia-untuk-bioprospeksi-danbioekonomi-/22154 diakses pada 06 Desember 2020.

Kehati, ‘Sumber Daya Genetik Indonesia’, (2020) https://www.kehati.or.id/coronadansumberdayagenetik/ diakses pada 07 Desember 2020. Maharani, Shinta, ‘RUU konverensi mandek posisi Indonesia Lemah di KTT Keanekaragaman Hayati’, (2018) https://www.ekuatorial.com/id/2018/12/ruu-konservasimandek-posisi-indonesia-lemah-di-ktt-keanekaragaman-hayati/ diakses pada 07 Desember 2020. Oki Pratama, ‘Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia’ (Kementrian Kelautan dan perikanan, kkp.go.id, 2020) https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautandan-perikanan-indonesia diakses pada 06 Desember 2020


Upaya Perlindungan Biodiversitas Di Era Industry 4.0 : Ancaman atau Peluang? Nuzul Quraniati Rohmah Universitas Sriwijaya

I.

Pendahuluan

Indonesia tercatat memiliki 515 jenis mamalia yang merupakan 12% dari total populasi mamalia di dunia,511 jenis reptil yang merupakan 7,3% dari total populasi repti dunia,1.594 jenis burung yang merupakan 17% dari total populasi burung dunia dan juga 38 ribu jenis bunga.1 Namun dari berlimpahnya keanekaragaman hayati tersebut apakah Indonesia sudah memaksimalkan pemanfaatan biodiversitas tersebut. Pasalnya dari 5 juta jenis keanekaragam hayati yang 15% diantaranya terdapat di Indonesia hanya 5% yang sudah dimanfaatkan. 2 Kurangnya pengoptimalan terhadap biodiversitas yang ada merupakan konflik tersendiri bagi pemerintah,semakin lama perlindungan terhadap biodiversitas yang ada maka akan semakin rawan biodiversitas milik Indonesia dicuri oleh pihak luar. Pasalnya tindakan pencurian terhadap biodiversitas sudah kerap kali terjadi dan apabila tindakan pencurian biodiversitas atau sering disebut dengan biopiracy tersebut dibiarkan tanpa adanya perlindungan hukum secara tegas maka hal tersebut tentunya akan merugikan negara asal pemilik biodiversitas tersebut. Tindakan biopiracy merupakan tindakan pencurian atau perampasan sumber daya genetik yang terdapat dalam biodiversitas yang kemudian dijadikan atau diperoleh hak patennya untuk medapatkan keuntungan.3 Tindakan biopiracy sering kali terjadi antara perusahaan-perusahaan negara maju dengan negara1

Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama (2009 154 2 Sudaryat,’Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia Dan Optimalisasi Teknologi Informasi’ (2020) 4 Jurnal Bina Hukum Lingkungan, 237 3 Rohaini,’Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui Pengembangan Sui Generis Law’ (2015) 9 Jurnal Ilmu Hukum, 435


negara berkembang. Pencurian sumber daya genetik oleh negara-negara maju sepertinya bukan hal yang sulit mereka lakukan,pasalnya teknologi-teknologi yang mereka miliki sudah lebih canggih dibanding teknologi di negara-negara berkembang. Perkembangan teknologi merupakan hal yang sudah tidak bisa dihentikan lagi, memasuki era Industry 4.0 dimana semua hal kini sudah sangat bergantung dengan teknologi-teknologi. Lalu apakah bagi negara berkembang seperti Indonesia era Industry 4.0 adalah sebuah ancaman terhadap keberlangsungan biodiversitas yang ada di Indonesia atau era Industry 4.0 ini merupakan sebuah peluang untuk dapat melindungi biodiversitas yang ada di Indonesia dari tindakan-tindakan biopiracy.

II.

Isu Hukum 1. Bagaimana dampak dari Industry 4.0 terhadap perlindungan biodiversitas di Indonesia? 2. Bagaimana dengan perlindungan hukum terhadap biodiversitas yang sudah ada di Indonesia apakah sudah relevan dengan era Industry 4.0?

III.

Dasar Hukum 1. Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati 2. Undang-Undang No.5 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations on Biological Diversity) 3. Undang-Undang

No.11

Tahun

2003

Tentang

Ratifikasi

Pengesahan Protokol Nagoya 4. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 5. Undang-Undang No.13 Tahun 2016 perubahan atas UndangUndang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten

IV.

Analisis


Sebagai negara yang memiliki sumber daya genetik yang melimpah dan beraneka ragam sudah seharusnya pemerintah turut andil dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan sumber daya hayati. Dalam kegiatan internasional Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations on Biological Diversity) dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1994 dan Undang-Undang No.11 Tahun 2003 Tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya. Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990 dijelaskan bahwa sumber daya hayati ialah unsur-unsur hayati dalam alam,baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.4 Konvensi Keanekaragaman Hayati yang dilakukaan pada tahun 1990 secara umum memiliki tiga tujuan utama diantaranya. 1. Konservasi keanekaragaman hayati 2. Pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan 3. Pembagian keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik secara adil dan merata.5 Dalam

upaya

mencapai

tujuan-tujuan

tersebut,

Konvensi

Keanekaragaman Hayati memberikan peluang kepada negara-negara peserta untuk menggunakan dua model perlindungan, yaitu model perlindungan secara positip (positive protection) dan model perlindungan secara defensif (defensive protection).6 Model perlindungan secara postif ialah metode perlindungan yang dapat diwujudkan dengan mengembangkan hukum positip di negara tersebut,sedangkan metode perlindungan secara defensif menekankan pada pengembangan inventarisasi pengetahuan tradisonal atau terkait pengetahuan atas sumber daya hayati dalam bentuk database. Sumber daya genetik atau plasma nutfah ialah bahan yang berasal dari tumbuhan,hewan,jasad renik yang memiliki kemampuan untuk menurunkan sifatnya dari generasi ke generasi. Dalam tanaman sumber daya genetik 4

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Pasal 1 Konvensi Keanekaragaman Hayati 6 Rohaini,’Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui Pengembangan Sui Generis Law’ (2015) 9 Jurnal Ilmu Hukum, 435 5


dapat ditemukan di biji,jaringan dan bagian tanaman lain dan pada hewan dapat ditemukan di di telur,embrio,hewan hidup baik muda dan dewasa.7 Ancaman terhadap pembajakan sumber daya genetik (biopiracy) tidak hanya bersifat isu nasional tetapi sudah masuk kedalam isu global, yang kemudian melatarbelakangi diadakan Convention on Biological Diversity pada tahun 1992 di Rio de Janiero. Dalam konvensi ini membahas mengenai perlindungan terhadap sumber daya hayati,memanfaatkan komponenkomponennya secara berkelanjutan yang nanti hasilnya dibagi secara adil (benefit sharing). Aturan terkait pelindungan sumber daya genetik kemudian tertuang pada Protokol Nagoya yang dimana isi dari protokol ini mengatur mengenai akses terhadap sumber daya genetik dan aturan terkait pembagian keuntungan yang adil dan seimbang.8 Apabila melihat dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.9 Penguasaan oleh negara yang dimaksud tidak berarti bahwa negara yang memiliki sumber daya alam tersebut, namun negara bertugas mengatur masalah peruntukan,penggunaan,pemanfaatan oleh pihak luar yang harus dilakukan atas izin pemerintah dimana sebesarbesarnya digunakan untuk keperluan masyarakat Indonesia. Untuk memperkuat perlindungan terhadap sumber daya genetik dibentuklah Undang-Undang No.13 Tahun 2016 dimana menggantikan Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten dimana pada Pasal 9 Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 bahwa paten tidak diberikan terhadap invensi yang berkaitan dengan mahluk hidup, kecuali jasad renik, proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non biologis atau proses mikrobiologis.10

7

Sudaryat,’Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia Dan Optimalisasi Teknologi Informasi’ (2020) 4 Jurnal Bina Hukum Lingkungan, 238 8 Sudaryat,’Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia Dan Optimalisasi Teknologi Informasi’ (2020) 4 Jurnal Bina Hukum Lingkungan, 243 9 Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 10 Pasal 9 Undang-Undang No.15 Tahun 2016


Perkembangan teknologi kemudian dijadikan sebagai celah masuk bagi negara maju untuk memperoleh akses seluas-luasnya terkait dengan pengetahuan tradisonal khususnya pengetahuan terhadap sumber daya hayati yang nantinya digunakan oleh mereka untuk menciptakan produkproduk baru dan kemudian akan mendapat keuntungan yang besar dari komersialisasi produk tersebut dan negara maju memiliki pandangan bahwa pengetahuan tradisonal bersifat komunal dan dapat dimiliki oleh siapa saja.11 Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan negara berkembang yang menganggap bahwa pengetahuan tradisional adalah warisan turun temurun dan kemudian menganggap bahwa mereka adalah pemilik dari pengetahuan beserta sumber daya alam tersebut dan biasanya lebih menekankan kepada pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dalam pemanfaatan sumber daya hayati. Revolusi Industry 4.0 juga dirasakan dalam upaya perlindungan biodiversitas di Indonesia. Sebagai salah satu negara megabiodiversity terbesar kedua setelah Brazil,sudah menjadi kewajiban bagi Indonesia untuk melindungi segala sumber daya alam yang ada agar terhindar dari tindakantindakan ilegal seperti tindakan biopiracy. Tindakan biopiracy dianggap illegal karena dianggap sebagai kegiatan eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat mengenai sumber daya alam yang dilakukan tanpa izin dan tidak adanya pembagian manfaat. Dimana tentunya hal tersebut merugikan bagi negara asal sumber daya alam tersebut karena sumber daya genetik yang dirampas oleh pihak lain memiliki nilai ekonomis yang seharusnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Indonesia dapat dikatakan dengan negara yang beruntung karena dihuni oleh begitu banyak biodiversitas, namun sangat disayangkan bahwa bahwa sistem database Indonesia masih sangat lemah dan belum sistematis. Dan hal tersebut yang dapat memudahkan tindakan biopiracy terjadi di

11

Anggraeni Maulia Vidyastutie,’Analisa Komparasi Penanganan Kasus Kejahatan Transnasional Biopiracy antara India dan Amerika Serikat Di Bawah Rezim Internasional’ (2018) 4 Journal of International Relations, 5


Indonesia, karena masih sedikitnya data identifikasi terkait biodiversitas yang ada di Indonesia. Perkembangan teknologi informasi yang terus berkembang juga dapat menjadi sebuah peluang untuk melakukan perlindungan terhadap sumber daya hayati di Indonesia. Teknologi informasi dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempercepat proses identifikasi terhadap sumber daya hayati yang kemudian data-data tersebut dikumpulkan hingga berbentuk sebuah database yang nantinya dapat digunakan sebagai bukti atas kepemilikan sumber daya hayati dan juga database tersebut akan memiliki nilai ekonomis.

V.

Kesimpulan

Terdesaknya

pemerintah

dalam

upaya

perlindungan

terhadap

biodiversitas di era Industry 4.0 ini sudah seharusnya dimaksimalkan upaya perlindungan baik secara positif (positive protection) dengan mengeluarkan atau membentuk undang-undang yang lebih kompherensif terkait sumber daya genetik dan secara defensif (defensive protection) pemerintah sudah seharusnya memaksimalkan perkembangan teknologi informasi untuk mengidentifikasi seluruh sumber daya hayati yang ada di Indonesia. Sistem database terkait sumber daya hayati sudah seharusnya dikembangkan hal ini menjadi urgensi agar Indonesia memiliki bukti kepemilikan atas sumber daya genetik, dan dengan bukti kepemilikan nantinya dapat menjadi daya dukung utama apabila terjadi proses hukum terkait tindakan biopiracy. Database sumber daya genetik juga dapat menjadi klaim terhadap pemerintah luar untuk menerapkan benefit sharing sesuai dengan yang terdapat dalam protokol nagoya.


Daftar Pustaka

Buku Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama (2009) Jurnal Rohaini, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui Penegembangan Sui Generis Law’ (2015) 9 Jurnal Ilmu Hukum Sudaryat, ‘Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetik Indonesia Dan Optimalisasi Teknologi Informasi’ (2020) 4 Jurnal Bina Hukum Lingkungan Anggraeni Maulia Vidyastutie, ‘Analisa Komparasi Penanganan Kasus Kejahatan Transnasional Biopiracy antara India dan Amerika Serikat di Bawah Rezim Internasional’ (2018) Journal of International Relations

Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati Undang-Undang No.13 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten



LEGAL OPINION COMPETITION 1.0 ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS SYIAH KUALA EFEKTIVITAS REGULASI PERLINDUNGAN BIODIVERSITY TERHADAP BIOPIRACY DI INDONESIA Sena Britantoro Ramadhan Suditomo, Gabby Agnesya, dan Jeff Nolan Lintang Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran __________________________________________________________________ I.

LATAR BELAKANG Kasus ini berlangsung pada tahun 2006, yaitu kasus Biopiracy yang terjadi

antara Indonesia dan World’s Health Organization (WHO). Indonesia sebagai negara biodiversity terbesar ke-2 (dua) di dunia, dinilai telah dimanfaatkan kekayaan sumber daya genetiknya oleh WHO dalam penemuan virus influenza subtipe H5N1 yang dikenal sebagai virus flu burung A. Pada bulan Agustus 2006, Indonesia mengirimkan sampel virus H5N1 kepada WHO dengan tujuan untuk diteliti dan dijadikan vaksin untuk kepentingan wabah H5N1 yang sedang berkembang di Indonesia. Indonesia juga berpesan agar sampel virus yang diberikan tidak dijadikan kepentingan komersial. Tanpa permintaan izin, WHO memberikan sampel virus kepada perusahaan farmasi di Australia. Dengan berhasilnya ditemukan vaksin H5N1 oleh Australia yang berasal dari sampel virus Indonesia, Indonesia tidak dapat mengakses vaksin yang sudah dipatenkan karena harga yang tinggi dan antri yang cukup panjang dengan negara-negara lain. Dalam hal ini, negara-negara maju diberi keistimewaan dalam mengakses vaksin karena kemampuan finansialnya. Padahal, korban di Indonesia terus bertambah dan Virus H5N1 belum masuk ke seluruh negara maju. Dalam kasus ini, Indonesia menyatakan adanya indikasi Biopiracy yang dilakukan WHO dengan perusahaan farmasi Australia karena mengabaikan Indonesia selaku penyedia virus vaksin. Biropiracy dalam hal vaksin ini tidak sejalan dengan Pasal 28H ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 yang mengatur tentang hak asasi manusia untuk mendapatkan kesehatan.


II.

ISU HUKUM 1. Biopiracy dalam Berbagai Macam Regulasi di Indonesia 2. Celah Hukum dalam Ruang Lingkup Pengaturan Biodiversity pada Hukum Positif Indonesia 3. Upaya Perlindungan Pencegahan Biopiracy di Indonesia

III. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem 4. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten 8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian, dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing


IV.

ANALISA A.

Biopiracy dalam Berbagai Macam Regulasi di Indonesia Keanekaragaman

hayati

(Biological

Diversity)

merupakan

keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber termasuk diantaranya, daratan, lautan, dan akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya mencakup keanekaragaman

didalam

spesies,

antara

spesies

dan

ekosistem.1

Berdasarkan data yang dihimpun dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang memiliki biodiversity terbanyak setelah Brazil yang menyebabkan Indonesia kerap disebut dengan negara mega-biodiversity. Kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia adalah warisan dunia. Sehingga, hal tersebut menjadi

tanggungjawab

memanfaatkannya.

Indonesia

untuk

memelihara

dan

2

Dengan keanekaragaman hayati yang berlimpah dan wilayah daratan maupun lautan yang luas dan sulit terpantau secara menyeluruh, Indonesia menjadi target bagi Perusahaan Multinasional/Warga Negara Asing untuk melakukan biopiracy. Indonesia sebagai negara berkembang, kurang mengoptimalkan keanekaragaman hayati yang dimiliki. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Perusahaan Multinasional/Warga Negara Asing untuk mengambil manfaat dari keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Perusahaan Multinasional/Warga Negara Asing kerap melakukan penelitian tanpa izin, mengambil hak paten atas pemanfaatan Sumber Daya Genetik maupun pengetahuan tradisional yang mereka dapatkan tanpa adanya pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Paten. Hal tersebut dapat diindikasikan sebagai tindakan Biopiracy. Biopiracy sendiri merupakan penggunaan pengetahuan tradisional dan Sumber Daya Genetik secara tidak 1 2

Pasal 2 Konvensi Keanekaragaman Hayati Hartiko Hari, Bioteknologi dan Keselamatan Hayati. (Jakarta: Konphalindo, 1995) Hal. 58


sah yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan komersial tanpa persetujuan dari komunitas sumber atau otoritas negara penyedia.3 Dalam melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia, Biopiracy diatur dalam berbagai macam regulasi. Namun, pada faktanya masih banyak terjadi kasus Biopiracy tanpa pemberian akses manfaat maupun pembagian keuntungan terhadap Indonesia. Biopiracy sendiri diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Connection on Biological Diversity, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian, dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan tersebarnya pengaturan Biopiracy di berbagai regulasi, diharapkan dapat mengurangi kasus Biopiracy yang terjadi di Indonesia. Namun,

Indonesia

masih

saja

kecolongan

akan

perlindungan

keanekaragaman hayati-nya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia masih belum sadar akan pentingya perlindungan keanekaragaman hayati walau sudah diatur dalam banyak regulasi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya regulasi yang sudah mengatur secara terpisah, namun hanya diatur secara singkat dan tidak mendetail. Lebih lanjut, pengaturan yang tersebar menimbulkan adanya multitafsir dari penjelasan terkait Biopiracy itu sendiri, mengingat Biopiracy merupakan pengetahuan yang sulit untuk dimengerti bagi orang awam. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan pengaturan secara terfokus, jelas, dan mendetail terkait

3

Miranda Risang Ayu, dkk., Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia. (Bandung: PT. Alumni, 2014) Hal. 16


pencegahan Biopiracy agar seluruh masyarakat dapat mengerti dan sadar akan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia. B.

Celah Hukum dalam Ruang Lingkup Pengaturan Biodiversity pada Hukum Positif Indonesia! Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten menjadi peraturan

perundang-undangan yang paling implementatif terhadap Protokol Nagoya dan Konvesi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Hal ini karena di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten telah diakomodir perlindungan terhadap biodiversity yang juga secara tidak langsung menjadikan biodiversity ke dalam rumpun perlindungan hak kekayaan intelektual yang terpecah menjadi sumber daya genetik dan pengetahuan

tradisional.

Walaupun

begitu

dalam

pengaturannya

perlindungan terhadap biodiversity belum terakomodasi secara menyeluruh bahkan dapat dikatakan masih sangat kurang untuk mencegah dan menangani pelanggaran biodiversity. Hal tersebut dapat dilihat dari hal paling sederhana, di mana di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten tidak diatur atau dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan biodiversity serta sumber daya genetic dan pengetahuan tradisional yang diatur perlindungannya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten itu sendiri. Hal tersebut juga tidak sejalan dengan asas kejelasan rumusan dalam pembentukan undang-undang yang mengharuskan suatu undang-undang memberikan interpretasi yang jelas agar tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi.4 Ketidakjelasan tersebut tentunya membuat kaburnya ruang lingkup dari perlindungan biodiversity itu sendiri, tentunya kekaburan tersebut membuka peluang celah hukum terhadap upaya perlindungan biodiversity.

4

Zaid Afif, “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia�, Jurnal Dialog, Vol. VIII, No. I, September 2018, hlm. 5.


Selanjutnya, terkait dengan penanganan dan pengawasan dirasa belum terakomodir, hal ini sangatlah disayangkan mengingat permasalahan biodiversity merupakan permasalahan kompleks. Maka dari itu bukan hanya diperlukan pengaturan pengawasan dan penindakan tetapi harus disusun secara khusus agar dapat terakomodir secara maksimal oleh oleh yang berkompeten dibidangnya. Sejalan dengan hal tersebut, pada kenyataannya kurangnya pengaturan yang mengakomodir pengawasan dan penindakan terhadap perlanggaran biodiversity terlihat dari fakta bahwa kurangnya koordinasi dari pihak daerah dan pusat dalam upaya penangananya.5 Sehingga muncul kemungkinan bahwa telah terjadi beberapa pelanggaran namun tidak ditindaklanjuti akibat minimnya upaya preventif serta represif pemerintah. C.

Upaya Perlindungan Pencegahan Biopiracy di Indonesia Demi melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia, pemerintah

telah melakukan upaya guna melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia atas perlindungan untuk mencegah biopiracy di Indonesia melalui langkah hukum maupun non-hukum. Pemerintah

telah

memberlakukan

upaya

hukum

dengan

mengimplementasi beberapa peraturan yang telah dijadikan sebagai payung hukum untuk melindungi biodiversity dari biopiracy seperti: No. 1.

Peraturan Hukum

Pembahasan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Pemanfaatan

jenis

tumbuhan

tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan satwa liar dilakukan dengan Hayati dan Ekosistem

memperhatikan potensi,

daya

keanekaragaman

5

kelangsungan dukung,

dan jenis

Republika, “Indonesia Ladang Subur Biopiracy�, http://lipi.go.id/berita/indonesia-ladang-suburbiopiracy/451, diakses pada 10 November 2020.


tumbuhan dimana

dan

satwa

dalam

liar,

Pasal

21

menyatakan bahwa setiap orang dilarang

untuk

mengambil,

menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,

memelihara,

mengangkut,

dan

memperniagakan

tumbuhan

yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau

mati,

mengeluarkan

tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya

dalam

keadaan hidup atau mati dari suatu tempat lain di dalam dan diluar Indonesia. 2.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1994

Tiga

tujuan

tentang Pengesahan United Nation

konservasi

Convention on Biological University

pemanfaatan

utama

seperti

biodiversity, komponen

biodiversity yang berkelanjutan, dan

pembagian

keuntungan

yang adil bagi manusia. 3.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Asas sebagaimana yang diatur

tentang Perlindungan dan Pengelolaan

dalam

Lingkungan Hidup

bahwa

Pasal

2

menjelaskan

Perlindungan

dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup dilaksanakan

berdasarkan

beberapa asas seperti tanggung jawab negara, kelestarian dan


keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan,

keterpaduan,

manfaat, kehati-hatian, keadilan, biodiversity,

pencemar

membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintahan yang baik dan otonomi daerah. 4.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 Adanya balai kliring akses, tentang Pengesahan Protokol Nagoya pembagian

keuntungan,

tentang Akses Pada Sumber Daya pertukaran informasi, penataan Genetik dan Pembagian Keuntungan terhadap

undang-undang

yang Adil dan Seimbang yang Timbul nasional

atau

dari Pemanfaatannya atas Konvensi peraturan Keanekaragaman Hayati

persyaratan

tentang

akses,

pembagian keuntungan dalam penataan

terhadap

undang

undang-

nasional

atau

persyaratan peraturan tentang ‘access and benefit sharing’ (akses

dan

pembagian

keuntungan) untuk pengetahuan tradisional sumber

terkait

daya

genetik

dengan serta

pemantauan atas pemanfaatan sumber daya genetik.

Terakhir, bahwa peran serta Lembaga pemerintah dalam hal Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, di mana berdasarkan Indikator Kinerja Kegiatan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati


masih banyak kekurangan dalam kinerjanya terutama dalam hal perkembangan konservasi hayati itu sendiri.6

V.

KESIMPULAN Berdasarkan analisis di atas, kami berkesimpulan bahwa perlindungan

biodiversity di Indonesia terhadap tindakan-tindakan biopiracy masih belum maksimal terutama dari segi regulasi yang berlaku, di mana regulasi-regulasi yang ada masih menimbulkan multitafsir yang memungkinkan adanya celah hukum terhadap perlindungan biodiversity serta regulasi yang bersifat preventif dan represif. Lebih lanjut, pemerintah kurang memberikan perhatian yang serius terhadap urgensi adanya perlindungan biodiversity dan juga dalam hal pemanfaatan biodiversity sebagai sumber budgeter Indonesia dengan melakukan invensi-invensi mandiri di Indonesia dibandingkan memanfaatkan hasil invensi negara lain. Terakhir, pemerintah juga diberatkan karena kompleksitas pengetahuan biodiversity, di mana baik masyarakat dan para penegak hukum masih kurang teredukasi mengenai biodiversity dan manfaatnya.

VI.

SARAN Demi melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia, pemerintah dapat

melakukan berbagai macam upaya untuk mencegah biopiracy di Indonesia melalui langkah hukum maupun non-hukum. Pemerintah telah membentuk regulasi sebagai payung hukum untuk melindungi biodiversity dari biopiracy. Namun, selain dari pembentukan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan, pemerintah dapat melakukan upaya seperti: 1.

Perlu adanya komunikasi hukum secara efektif terkait biopiracy secara rutin dan berkala di setiap sektor yang bersentuhan langsung

6

Direktorat KKH, “Laporan Kinerja Direktorat Konversi KH Tahun 2019�, Januari 2020, hlm. 25


dengan perlindungan keanekaragaman hayati, mengingat arti penting perlindungan biodiversity yang belum banyak disadari dan dipahami oleh masyarakat luas, maupun oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, penegakannya tidak dapat berjalan maksimal. 2.

Perlu dilakukan legitimasi hukum dimana pemerintah membuat Undang-Undang baru yang mengakomodir segala perlindungan terhadap biodiversity atas tindakan biopiracy dengan menimbang dan mengingat peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

3.

Pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, yang nantinya akan menjadi Undang-Undang yang mengatur secara khusus, jelas dan mendetail terkait pencegahan biopiracy, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum yang pasti dan jelas kepada masyarakat dan pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan pembagian keuntungan bagi Indonesia.

4.

Indonesia perlu membentuk suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

yang mengatur

pemanfaatan

biodiversity

dalam

pengembangan invensi keanekaragaman hayati sebagai fungsi budgeter Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara biodiversity terbesar ke-2 (dua) di dunia.

VII. DAFTAR PUSTAKA Buku Miranda Risang Ayu, dkk., Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia. (Bandung: PT. Alumni, 2014). Hartiko Hari, Bioteknologi dan Keselamatan Hayati. (Jakarta: Konphalindo, 1995).


Peraturan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Dokumen Direktorat KKH, “Laporan Kinerja Direktorat Konversi KHH Tahun 2019”, Januari 2020. Jurnal Zaid Afif, “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Jurnal Dialog, Vol. VIII, No. I, September 2018. Laman Republika,

“Indonesia

Ladang

Subur

Biopiracy”,

http://lipi.go.id/berita/indonesia-ladang-subur-biopiracy/451, pada 10 November 2020.

diakses


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.