Lentera news smart | beriman | inspiratif
Komunikasi & Kerahiman:
Perjumpaan yang Memerdekakan
Lentera news - ed April 2016 | 1
DAFTAR ISI
Lentera news Edisi #23 April 2016 Sapaan Redaksi
3
Telisik Pemred
4
Lentera Utama
7
Lentera Iman
12
Lentera Refleksi
14
Reportase
17
Sastra
20
Lapo Aksara
23
Credit ilustrasi cover : 足 http://www.warrenphotographic.co.uk/39551-white-japanesespitz-dog-hiding-face-in-shame
Lentera news - ed April 2016 | 2
Sapaan Redaksi “Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih insani, kasih ilahi, maka komunikasi kita akan disentuh oleh kuasa Allah sendiri,” ia m enambahkan. Salam sejahtera, Sahabat Pembaca Lentera news! Sebagaimana lazimnya di tahun lalu-lalu, Paus Fransiskus mengeluarkan seruannya berkaitan dengan Hari Komunikasi Sosial Se dunia. Pada HarKomSos ke-50 ini, Sri Paus m enyampaikan nasihatnya dengan tema: “Komunikasi dan Kerahiman: Perjumpaan yang Memerdekakan”. Sri Paus dari negeri Tango ini, mengatakan, Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi.
Intisari seruan ini, sungguh engejutkan, masih relevan m dengan masa kini. Perihal berdialog kita, masih ‘jalan di tempat’, berkutat pada variasi jenis saluran atau m edia. Lainnya, tetap tercenung dengan kecanggihan teknologinya. Redaksi Lentera news hendak enggugah pola fikir tersebut. Tidak m sekedar melawan arus. Namun mengembalikan fondasi berkomunikasi pada tatanan yang sebenarnya.
Usia zaman ternyata tidak menanjak pandangan kita untuk bijaksana. Dan dengan demikian kita akan selalu menjadi pembelajar hingga akhir hayat. Kiranya edisi Lentera news di bulan ini, dapat memberi percikan pemahaman baru bagi kami (Redaksi), anda, kita semua. Shalom,
Redaksi
Ilustrasi: http://www.kimconstable.com/ 3 | Lentera news - ed April 2016
Telisik Pemred
TAK MAU MENJADI SUBYEK YANG BANGSAT DAN KAFIR
M
RP Hubertus Lidi OSC Ketua Komsos KAM
anusia normal selalu mendambakan pertemuan atau perjumpaan yang menyenangkan. Hal Ini sudah merupakan ciri dasar dari manusia yang sebagai makhluk sosial. Perjumpaan sebagai sesama makhluk sosial seyogianya melahirkan sukacita, kegembiraan,dan kebahagiaan. Perjumpaan yang demikian, terjadi, bermula dari penghargaan akan eksistensi sesamanya sebagai subyek. Dalam arti ada pengakuan tulus: Aku manusia dan Dia juga manusia. Rananya menjadi mejemuk, kami atau kita. Dalam pertemuan itu terjadi komunikasi yang sepadan. Nuansa saling memahami, memaklumi, maaf-maafan. Silaturahim. Bathin rasanya plong, lepas bebas, tanpa curiga. Kita menjadi pribadi yang merdeka dan bersaudara. Sebaliknya perjumpaan yang beorientasi kejahatan, tidak membebaskan atau memerdekakan, karena subyek kita terpenjara dalam dalam curiga, emosi, den-
Lentera news - ed April 2016 | 4
dam, dan nafsu dan mencari peluang untuk saling menghabiskan. Ciri khas ini biasanya ada pada hewan yang tidak terdidik. Tidak ada kerinduaan dalam pertemuan ini. Terjadi hanya karena terumbar emosi dan nafsu. Yang ada ‘kematian’ tuna ‘hope.’ Hukum yang berlaku dalam alam perjumpaan yang demikian adalah:rimbah, hewani. Di sana hanya terdengar rintihan kengerian dan ketidak berdayaan bagi yang lemah. Subyek yang suka menghina, menjelekkan, dan menjegal subyek lain, demi kepentingannya entah politik, ekonomi dan status sosial, sebenarnya sedang m enggaris - garis demarkasi. Dia membatasi lintasan perjumpaan. Pada detik yang sama gerakan kemanusiaannya menjadi sempit. Dia menjadi ‘kuper’ alias kurang p ergaulan dan kurang PD alias percaya diri. Tidak berani melewati garis demarkasi yang diguratkan sendiri. Orientasi lintasannya hanya sebatas teman, dan crewnya, yang sama
kepentingannya. Bermuara pada kebutuhan yang insidental alias sesaat, d engan menghambur kelicikan dan kepuraan-puraan. Senyumnya manis tapi hatinya neraka. Tak heran subyek yang d emikian hari ini, baikan, akoran tetapi besoknya gondokgondokan. Atau kemarin gondok-gondokan, hari akoran. Tanpa jijik menjilat ludahnya s endiri. Dinamika demikian menghinggapi siapa saja, baik yang pas-pasan maupun yang menamakan dirinya profesor. Nilai kebijaksanaan, smartnya, dan ketokohannya terpenjara dalam kepentingan. Agar terjadi perjumpaan yang memerdekakan, s ecara sosial manusia perlu sadar akan keberadaannya. Dalam konteks ini, menarik yang diulas oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya: Seni Memahami; mengutip pemikiran dari Palmer, menurutnya, perlu memahami hakekatnya dengan terbuka pada kemungkinan kemungkinan lain. Proses ini melebihi kesadaran-cogito: saya berpikir maka saya ada. Hakekatnya justru menjadi eksitensial karena yang lain (Kanisius – 2016, hal. 108 - 109) Egoisme, kesombongan, dan kerakusan menjadi biang utama yang menghambat subyek berlintas secara jujur dan tulus ke subyek atau pribadi yang lain. Orientasi ketiga’pembudak’ tersebut
cuman mengarahkan ke dirinya, berputar-putar pada pusaran yang sama. Penting- aku, hebat, dan puas. Eluuu...sory sory saja. Ego, d irinya menjadi orientasinya. Sombong, hidupnya menjadi statusnya. Rakus, perutnya menjadi rajanya. Dalam ranah ini subyek yang bersangkutan memandang subyek yang lain hanyalah sebagai saingan dan pengganggu saja. Apakah ia menjadi subyek yang bebas. Ga mungkin karena subyeknya telah diperbudak oleh tiga pembudak tersebut. Perjumpaan yang emerdekan itu baik dan m perlu. Jangan mengahalanghalangi perjumpaan yang demikian dengan hal yang bukan-bukan. Dunia ini akan terasa surga kalau manusianya lepas-bebas bersaudara secara tulus dan jujur. Iklim yang tercipta adalah:saling menghargai, mendahulukan, tak ada pembodohan dan penindasan. Kalau kita jujur orientasi hidup berbangsa dan beragama memang demikian, menjadi Subyek yang merdeka. Kalau tidak demikian berarti kita sedang mengkianati agama dan bangsa sendiri dan memilih menjadi subyek yang bangsat dan kafir. Anda dan saya tentu tak mau menjadi subyek yang bangsat dan kafir!
5 | Lentera news - ed April 2016
Jeda
Lentera news - ed April 2016 | 6
Lentera Utama
Komunikasi dan Kerahiman: Perjumpaan yang Memerdekakan Saudara dan saudari terkasih, TAHUN SUCI Kerahiman engajak kita semua untuk m merefleksikan keterkaitan antara komunikasi dan kerahiman. Gereja, dalam kesatuan dengan Kristus sebagai penjelmaan yang hidup dari Bapa Yang Maha Rahim, dipanggil untuk mewujudkan kerahiman sebagai ciri khas dari seluruh diri dan perbuatannya. Apa yang kita katakan dan cara kita mengatakannya, setiap kata dan sikap kita, harus mengungkapkan kemurahan, kelembutan dan pengampunan Allah bagi semua orang. Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih insani, kasih ilahi, maka komunikasi kita akan d isentuh oleh kuasa Allah sendiri. Sebagai putra dan putri A llah, kita dipanggil untuk berkomunikasi dengan semua orang, tanpa kecuali. Dengan caranya yang khusus, perkataan dan perbuatan Gereja dimaksudkan seluruhnya untuk menyampaikan kerahiman, menjamah hati orangorang dan mendukung perjalanan manusia menuju kepenuhan hidup seperti yang
imaksudkan Bapa ketika d mengutus Yesus Kristus ke dunia. Ini berarti bahwa kita sendiri haruslah bersedia menerima kehangatan Bunda Gereja dan berbagi kehangatan itu dengan orang lain, sehingga Yesus dapat dikenal dan dikasihi. Kehangatan itulah yang memberi hakikat kepada sabda iman; melalui pewartaan dan kesaksian kita, sabda iman itu menyalakan “percikan api” yang memberi mereka kehidupan. Komunikasi memiliki kekuatan untuk mempertemukan, menciptakan perjumpaan dan penyertaan, dan dengan demikian memperkaya manusia. Betapa indahnya ketika orang-orang memilih kata-kata dan melakukan perbuatan dengan penuh kepekaan, agar bisa terhindar dari kesalahpahaman, untuk menyembuhkan kenangankenangan yang terluka dan membangun perdamaian dan keharmonisan. Kata-kata dapat mempertemukan pribadi-pribadi, antar anggota keluarga, kelompok-kelompok sosial dan bangsa-bangsa. Hal ini bisa terjadi di dunia nyata maupun dunia digital. Perkataan dan perbuatan kita seharusnya diungkapkan dan dilakukan untuk membantu kita semua agar terbebas dari lingkaran setan untuk selalu menyalahkan 7 | Lentera news - ed April 2016
dan membalas dendam yang terus menerus m enghantui manusia baik secara pribadi maupun dalam k omunitasnya, yang pada a khirnya memicu ungkapan-ungkapan kebencian. Perkataan orangorang Kristen haruslah menjadi sebuah dukungan terus menerus bagi k omunitas dan bahkan dalam hal di mana manusia harus mengutuk kejahatan dengan tegas, hal ini seharusnya tidak sampai m emutus relasi dan komunikasi. Karena alasan inilah, saya ingin mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk menemukan kembali daya kuasa kerahiman guna menyembuhkan relasi yang terluka dan memulihkan perdamaian dan kerukunan dalam keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas. Kita semua mengetahui bagaimana luka-luka lama dan dendam kesumat dapat menjerat manusia dalam menghalangi komunikasi dan rekonsiliasi. Hal yang sama terjadi juga dalam relasi antar bangsabangsa. Di setiap s ituasi, kerahiman selalu mampu menciptakan cara baru untuk berbicara dan berdialog. Shakespeare merumuskannya dengan elok ketika ia berujar: “Kualitas kerahiman tak terkekang. Ia turun bagai hujan l embut yang menetes dari langit di atas ke bumi di bawah. Kerahiman membawa berkat ganda: ia memberkati dia yang memberi dan dia yang menerima” (Saudagar Venisia, Lakon IV, Adegan I). Bahasa politik dan diplomatik kita akan berhasil dengan baik jika terinspirasi oleh kerahiman, yang tidak Lentera news - ed April 2016 | 8
pernah kehilangan harapan. Saya meminta mereka yang mengemban tanggung jawab kelembagaan dan politik dan mereka yang diberi amanat untuk membentuk pendapat publik, untuk tetap memperhatikan secara khusus cara berkomunikasi kepada orang-orang yang berpikir atau bertindak secara b erbeda, atau orang-orang yang mungkin telah melakukan kesalahan. Sangatlah mudah menyerah pada godaan untuk mengeksploitasi situasisituasi seperti itu yang dapat menyulut api kecurigaan, ketakutan dan kebencian. Sebaliknya, diperlukan keberanian untuk membimbing orang-orang menuju proses rekonsiliasi. Keberanian positif dan kreatif seperti itulah yang sebenarnya menawarkan penyelesaian nyata atas berbagai perseteruan yang mengesumat serta membuka peluang untuk membangun perdamaian abadi. “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat. 5:7), “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Saya sangat berharap agar cara berkomunikasi kita, seperti juga pelayanan kita sebagai gembala Gereja, jangan sampai memberi kesan kekuasaan yang angkuh nan jaya atas seorang musuh, atau menistakan orang-orang yang dianggap sebagai pecundang yang mudah dicampakkan. Kerahiman dapat membantu meringankan berbagai k esulitan hidup dan memberi kehangatan kepada mereka yang hanya mengenal dinginnya penghakiman. Semoga cara
kita berkomunikasi membantu mengatasi pola pikir yang dengan tegas memisahkan orang-orang berdosa dari orang-orang benar. Kita bisa dan harus menilai aneka situasi keberdosaan – seperti tindak kekerasan, korupsi dan eksploitasi – akan tetapi kita tidak boleh menghakimi pribadi-pribadi, karena hanya Allahlah yang mampu melihat ke kedalaman hati manusia. Menjadi tugas kita untuk memperingatkan dan menegur mereka yang berbuat salah serta mengecam kejahatan dan ketidakadilan dari tindakan-tindakan tertentu, untuk membebaskan para korban dan membangkitkan mereka yang telah jatuh. Injil Yohanes mengatakan kepada kita bahwa “kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Kebenaran itu pada akhirnya ialah Kristus sendiri, kerahiman-Nya yang lembut menjadi tolok ukur untuk menakar cara kita menyatakan kebenaran dan mencela ketidakadilan. Tugas utama kita adalah menegakkan kebenaran di dalam kasih (bdk. Ef 4:15). Hanya perkataan yang diucapkan dengan kasih yang disertai dengan kelembutan dan kerahiman mampu menjamah hati kita yang sarat dosa. Kata-kata dan tindakantindakan yang keras dan moralistik cenderung semakin mengasingkan orang-orang yang ingin kita tuntun kepada pertobatan dan kebebasan, sehingga semakin memperkuat rasa penolakan dan sikap bertahan mereka. Sebagian pihak merasa bahwa visi tentang sebuah masyarakat yang berakar pada kerahiman adalah ide-
alisme tanpa harapan atau kebaikan yang berlebihan. Tetapi marilah kita m encoba dan mengingat kembali pengalaman kita yang pertama tentang relasi, di dalam k eluarga kita. Orangtua kita mengasihi kita dan menghargai kita karena siapa kita dan bukan karena kemampuan dan pencapaian kita. Para orangtua secara alamiah menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, namun kasih itu tidak pernah bergantung pada pemenuhan atas syarat-syarat tertentu. Rumah keluarga adalah salah satu tempat di mana kita selalu diterima (bdk. Luk 15:1132). Saya ingin mendorong setiap orang untuk melihat masyarakat bukan sebagai sebuah forum di mana orangorang yang tidak saling mengenal bersaing dan berupaya tampil di puncak, tetapi terlebih sebagai sebuah rumah atau sebuah keluarga, di mana pintu selalu terbuka dan setiap orang merasa diterima. Untuk mewujudkan hal ini, maka pertama-tama kita harus mendengarkan. Berkomunikasi berarti berbagi, dan berbagi menuntut sikap mendengarkan dan menerima. Mendengarkan bermakna lebih dalam dari sekedar mendengar. Mendengar adalah tentang menerima informasi, sedangkan mendengarkan adalah tentang komunikasi yang mensyaratkan kedekatan dan keakraban. Mendengarkan memungkinkan kita melakukan hal-hal yang benar, dan tidak sekadar menjadi penonton, pengguna atau pemakai yang pasif. Mendengarkan juga berarti mampu berbagi an9 | Lentera news - ed April 2016
eka persoalan dan keraguan, berjalan beriringan, membuang semua tuntutan akan kekuasaan mutlak serta mendayagunakan berbagai kemampuan dan karunia kita demi melayani kesejahteraan umum. Mendengarkan bukanlah hal yang mudah. Acapkali lebih mudah untuk berpurapura tuli. Mendengarkan berarti mengindahkan, kerelaan untuk memahami, menghargai, menghormati dan merenungkan apa yang orang lain k atakan. Mendengarkan melibatkan semacam kemartiran atau pengorbanan diri, tatkala kita berusaha untuk meneladan Musa di hadapan semak bernyala: kita harus menanggalkan kasut kita ketika berdiri di “tanah yang kudus” p erjumpaan kita dengan orang yang berbicara kepadaku (bdk. Kel 3:5). Memahami cara untuk mendengarkan adalah sebuah karunia yang besar, maka k arunia itulah yang perlu kita mohonkan dan kemudian d engan segenap daya dan t enaga kita coba melaksanakannya. Surat elektronik, pesan teks singkat, jejaring sosial dan p ercakapan daring (dalam jaringan, on line) dapat juga menjadi bentukbentuk komunikasi insani seutuhnya. Bukanlah teknologi yang menentukan apakah komunikasi itu asli atau tidak, melainkan hati dan kemampuan manusia untuk secara bijak memanfaatkan sarana-sarana yang dimiliki. Pelbagai jejaring sosial dapat memperlancar relasi dan memajukan kesejahteraan masyarakat, namun Lentera news - ed April 2016 | 10
jejaring sosial itu juga dapat menyebabkan pertentangan dan perpecahan yang lebih dalam di antara pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok. Dunia digital adalah ruang umum terbuka, sebuah tempat pertemuan di mana kita bisa saling mendukung atau menjatuhkan, terlibat dalam diskusi sarat makna atau melakukan serangan yang tidak jujur. Saya berdoa agar Tahun Yubileum ini, yang dihayati dalam kerahiman, “dapat membuka diri kita kepada dialog yang lebih bersungguh-sungguh sehingga kita bisa mengenal dan memahami satu sama lain dengan lebih baik: dan ini bisa melenyapkan berbagai bentuk kepicikan dan sikap kurang hormat, dan menghilangkan setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi” (Misericordiae Vultus, 23). Internet dapat membantu kita untuk menjadi warga negara yang lebih baik. Akses ke jaringan digital membawa sebuah tanggung jawab atas sesama kita yang tidak kita l ihat namun benar-benar nyata, dan yang memiliki martabat yang mesti dihormati. Internet dapat digunakan secara bijak untuk membangun sebuah masyarakat yang sehat dan terbuka untuk berbagi. Komunikasi, di mana pun dan bagaimana pun bentuknya, telah membuka aneka cakrawala yang lebih luas bagi banyak orang. Komunikasi adalah sebuah karunia Allah yang menuntut sebuah tanggung jawab besar. Saya ingin merujuk pada kekuatan komunikasi ini sebagai “ kedekatan”. Perjumpaan antara komunikasi dan kerahiman
akan sangat bermanfaat ketika sampai pada tahap di mana perjumpaan itu m enghasilkan sebuah kedekatan yang peduli, memberi rasa nyaman, menyembuhkan, menyertai dan merayakan. Dalam sebuah dunia yang hancur, terbelah, dan bertentangan, berkomunikasi dengan kerahiman berarti membantu menciptakan sebuah kedekatan yang sehat, bebas dan bersaudara di antara anakanak Allah dengan segenap saudara dan saudari kita dalam satu keluarga umat manusia. Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-50 , dengan tema : Komunikasi dan Kerahiman: Perjumpaan yang Memerdekakan
Selamat Hari Raya
Paskah 2016
dari keluarga besar
Komisi KomSos Keuskupan Agung Medan 11 | Lentera news - ed April 2016
Lentera Iman
BAGAIMANA PINTU SUCI DIBUKA?
(credit foto: http://monroenews.com) Benediktus Diptyarsa Janardana Mahasiswa Psikologi di Universitas Negeri Malang
S
ampai pembukaan Tahun Yubileum 1975, cara membuka dan menutup Pintu Suci berbeda dari yang kita bayangkan. Jadi, palang Pintu Suci ditutup dengan menggunakan tembok, bukan pintu. Ketika Bapa Suci akan membuka Pintu Suci, Bapa Suci akan menggetok tembok dengan menggunakan palu perak/emas sebanyak 3 kali yang m elambangkan Trinitas sambil mendaraskan Mazmur 118:19 yang berbunyi, “Bukakanlah aku pintu gerbang kebenaran, aku hendak masuk ke dalamnya, hendak mengucap syukur kepada Tuhan”. Kemudian tembok yang menutupi Pintu Suci ini diturunkan perlahan-lahan dengan menggunakan
Lentera news - ed April 2016 | 12
peralatan mekanik. Sehabis tembok selesai diturunkan dan disingkirkan dari palang Pintu Suci, Bapa Suci berlutut di depan Pintu Suci yang telah terbuka dan berdoa sejenak. Kemudian Bapa Suci akan melewati Pintu Suci menuju altar utama basilika diiringi nyanyian lagu “Te Deum Laudamus”. Praktik ini berubah sejak penutupan Tahun Yubileum 1975. Palang Pintu Suci ditutup dengan menggunakan pintu berbahan tembaga yang didesain untuk Tahun Yubileum 1950, jadi tidak lagi menggunakan tembok. Perubahan ini salah satu nya dilatarbelakangi insiden di malam Pembukaan Y ubileum 1975, saat Paus Beato Paulus VI terkena reruntuhan tembok yang menutupi Pintu Suci. Walau Paus Paulus VI tidak terluka,
namun kejadian ini menjadi salah satu kecemasan tersendiri bagi banyak pihak. Kini, ketika Bapa Suci akan membuka Pintu Suci, beliau cukup mendorong nya sebanyak 3 kali sambil mendaraskan Mazmur yang sama dengan Ritus Lama. (bersambung ke edisi berikutnya)
13 | Lentera news - ed April 2016
Lentera Refleksi
PENGAKUAN DOSA: DARI SISI SEORANG IMAM
S
Fr. Mike Schmitz
Lentera news - ed April 2016 | 14
uatu hari aku m enaiki sebuah bus yang berisi banyak orang tua. M ereka mengenali bahwa aku adalah seorang imam dan mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan terkait. “Apakah kamu melakukan semua tugas imam?” “Ya.” “Pengakuan Dosa juga?” “Ya. Selalu.” Seorang wanita yang lebih tua menahan napas, “Wah, aku pikir mendengarkan pengakuan adalah tugas terburuk. Itu akan membuatmu tertekan; mendengar semua dosa-dosa orang.” Aku menjelaskan kepada mereka bahwa justru sebaliknya, tidak ada tempat lain yang lebih hebat bersama dengan seseorang ketika mereka kembali kepada Allah. Aku mengatakan, “Akan sangat menyedihkan jika aku harus melihat seseorang meninggalkan
Allah; tetapi dengan mendengarkan pengakuan, aku ada bersama dengan mereka ketika mereka kembali kepada-Nya.” Pengakuan Dosa adalah tempat di mana orang-orang membiarkan cinta Allah menang. Pengakuan Dosa adalah tempat yang paling menyenangkan, membuat kita semakin rendah hati, dan memberikan inspirasi di dunia. APA YANG AKU LIHAT SELAMA PENGAKUAN DOSA? Kurasa ada tiga hal. Pertama, aku melihat secara nyata belas kasih Allah yang tak ternilai harganya. Aku dengan teratur berhadapan dengan cinta Allah yang luar biasa, yang mengubahkan hidup. Aku dapat melihat cinta Allah secara sangat dekat, dan hal tersebut mengingatkanku akan betapa baiknya Allah. Tidak banyak orang yang bisa
melihat pengorbanan Allah pada kayu salib yang dapat terusmenerus merasuk ke dalam hidup orang banyak dan melembutkan hati yang paling keras sekalipun. Yesus menghibur mereka yang menangisi dosa-dosanya … dan menguatkan mereka yang ingin berhenti berharap pada Allah atau pada kehidupan. Sebagai seorang imam, aku bisa melihat hal ini terjadi setiap hari. AKU MELIHAT ORANG KUDUS SEDANG DIBENTUK Hal kedua yang kulihat adalah seseorang yang masih berusaha – seorang kudus yang sedang dibentuk. Aku tidak peduli jika ini adalah pengakuannya yang ketiga dalam minggu ini; jika mereka mencari Sakramen Rekonsiliasi, ini berarti mereka masih berusaha. Itu saja yang aku pedulikan. Pemikiran ini patut dipertimbangkan: pergi ke Pengakuan Dosa merupakan tanda bahwa kamu belum berhenti berharap pada Yesus. Inilah salah satu alasan mengapa kesombongan begitu mematikan. Aku telah berbicara kepada orang-orang yang mengatakan bahwa mereka tidak ingin pergi mengakukan dosa kepada imam, karena imam mereka begitu menyukai mereka dan ‘berpikir bahwa mereka adalah anak yang baik.’ Aku ingin mengatakan dua hal: 1. Ia tidak akan kecewa! Apa yang dilihat oleh imammu adalah seseorang yang masih mencoba! Aku menantangmu untuk mencari orang kudus yang tidak membutuhkan belas kasih Allah! (Bahkan Maria membutuhkan belas kasih Allah; ia menerima belas kasih Allah dalam cara yang dramatis dan luar biasa hebat saat pengandungannya.)
2. Lalu kenapa jika seorang imam kecewa? Kita terlalu berusaha untuk membuat hidup kita begitu mengesankan. Pengakuan Dosa adalah tempat di mana kita tidak perlu menjadi mengesankan. Pengakuan Dosa adalah tempat dimana keinginan untuk mengesankan itu mati. Pikirkan ini, semua dosa lain memiliki potensi untuk membuat kita buru-buru ke Pengakuan Dosa, tetapi kesombongan adalah yang membuat kita bersembunyi dari Allah yang dapat menyembuhkan kita. APAKAH AKU MENGINGAT DOSAMU? TIDAK! Seringkali, orang bertanya apakah aku mengingat dosa mereka yang mengaku dosa. Sebagai seorang imam, aku jarang sekali, jika pernah, mengingat dosa setelah mendengarkan pengakuan dosa. Nampaknya memang tidak mungkin, tetapi sesungguhnya, dosa itu tidak mengesankan sama sekali. Dosa-dosa itu tidak seperti matahari terbenam yang mengesankan atau hujan meteor atau film yang sangat menarik ... dosa-dosa itu lebih mirip sampah. Dan jika dosa seperti sampah, maka imam sebenarnya seperti pemulung milik Allah. Jika kamu bertanya kepada seorang pemulung tentang hal paling menjijikkan yang pernah ia angkut ke tempat pembuangan sampah akhir, mungkiiiiiiin ia dapat mengingatnya. Tetapi faktanya, begitu kamu terbiasa untuk membuang sampah, hal tersebut tidak lagi penting, tidak lagi menonjol. Sejujurnya, sekali kamu menyadari bahwa Sakramen Rekonsiliasi bukanlah tentang dosa dan justru lebih tentang kematian dan kebangkitan Kristus yang menang dalam kehidupan seseorang, dosa kehilangan segala gemerlapnya, dan kemenangan Yesuslah yang
menjadi pusat perhatian. Dalam Pengakuan Dosa, kita bertemu dengan belas kasih Allah yang sangat berharga dan mengubahkan hidup, diberikan cumacuma kepada kita setiap kali kita memintanya. Kita bertemu Yesus yang mengingatkan kita, “You are worth dying for… bahkan dalam dosamu, you are worth dying for.” Setiap kali seseorang datang ke Pengakuan Dosa, aku melihat seseorang yang betul-betul dikasihi Allah, dan yang mengatakan kepada Allah bahwa mereka juga mengasihi-Nya. Itu saja. DALAM PENGAKUAN DOSA, AKU MELIHAT KELEMAHANKU SENDIRI Hal ketiga yang dilihat oleh seorang imam ketika ia mendengarkan Pengakuan Dosa adalah jiwanya sendiri. Ini adalah tempat yang mengerikan bagi seorang imam. Aku tidak dapat mengatakan kepadamu betapa aku merasa rendah ketika seseorang menghampiri belas kasih Yesus melalui diriku. Aku tidak tercengang oleh dosadosa mereka; aku terpukul oleh kenyataan bahwa mereka mampu mengenali dosa-dosa tersebut di dalam hidup mereka, sementara aku buta terhadap dosa-dosaku sendiri. Mendengarkan kerendahan hati seseorang dapat menghancurkan kesombongan diriku sendiri. Ini adalah salah satu pemeriksaan batin yang paling baik. Namun, mengapa Pengakuan Dosa merupakan tempat yang mengerikan bagi imam? Hal ini mengerikan, karena cara Yesus mempercayai aku, untuk menjadi tanda yang hidup atas belas kasihNya. Uskup Agung Fulton Sheen sekali waktu pernah mengatakan kepada para imam, bahwa kami 15 | Lentera news - ed April 2016
jarang sekali menyadari apa yang terjadi ketika kami mengulurkan tangan kami ke atas kepala seseorang dalam absolusi. Kami tidak menyadari, kata beliau, bahwa Darah Kristus sungguh-sungguh menetes dari jari kami ke atas kepala mereka, mencuci bersih orang yang mengakukan dosanya (peniten). Pada hari setelah aku ditahbiskan menjadi imam, kami membuat pesta kecil dan ayahku berdiri dan bersulang. Ia telah bekerja seumur hidupnya sebagai dokter bedah tulang, dan ia benarbenar baik. Sepanjang hidupku, pasien-pasiennya yang bertemu denganku di satu atau lain kesempatan, telah mengatakan kepadaku betapa hidup mereka telah berubah karena ayah saya adalah seorang dokter bedah yang begitu baik. Maka, saat itu ayah saya berdiri di tengah orang-orang, dan ia mulai berkata, “Seumur hidupku, saya telah menggunakan tangan saya untuk menyembuhkan tubuh-tubuh orang yang rusak. Namun mulai sekarang, anakku, Michael... umm, Romo Michael... akan menggunakan tangannya (ketika mengucapkan ini, ayahku tercekat) ... Ia akan menggunakan tangannya untuk menyembuhkan jiwa-jiwa yang terluka. Tangannya akan menyelamatkan lebih banyak jiwa daripada yang telah dilakukan oleh tanganku.” Pengakuan Dosa adalah tem-
pat yang sangat luar biasa hebat. Yang harus aku lakukan adalah menawarkan belas kasih, cinta, dan penebusan Allah ... tetapi aku tidak ingin menghalangi Yesus. Imam tidak menghakimi siapa pun. Dalam Pengakuan Dosa, satu-satunya yang aku tawarkan adalah belas kasih. AKU AKAN BERKURBAN BAGIMU Terakhir, ketika seorang imam mendengar Pengakuan Dosa, ia mengambil sebuah tanggung jawab lagi. Suatu ketika, setelah kuliah, aku kembali ke Pengakuan Dosa setelah begitu lama dan begitu banyak dosa. Dan imam tersebut hanya memberikan “satu kali Salam Maria” sebagai penitensi (denda dosa). Saya terhenti. “Umm, Bapa...? Tidakkah engkau mendengar semua yang telah saya katakan?” “Ya, saya dengar.” “Tidakkah Bapa pikir saya perlu penitensi yang lebih besar daripada itu?” Ia melihatku dan dengan kasih yang besar berkata, “Tidak. Penitensi kecil itulah yang saya minta darimu.” Ia tampak ragu, lalu melanjutkan, “Namun engkau perlu tahu ... saya akan berpuasa bagimu untuk 30 hari ke depan.” Aku tertegun. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Ia mengatakan kepadaku bahwa Katekismus mengajarkan bahwa imam harus
melakukan penitensi bagi semua yang datang kepadanya untuk Pengakuan Dosa. Dan di sanalah ia, mengambil semua penitensi berat untuk dosa-dosa berat saya. Inilah mengapa Pengakuan Dosa menunjukkan jiwa imam itu sendiri; ini menunjukkan kerelaannya untuk mengurbankan dirinya bersama Kristus. Ia melihat dosa kita sebagai beban yang akan ia tanggung (bersama Yesus!) dan mempersembahkannya kepada Bapa, sementara menawarkan kepada kita belas kasih Allah. Ingatlah, Pengakuan Dosa selalu merupakan tempat kemenangan. Entah apakah kamu mengakukan dosa tertentu untuk pertama kali, atau jika pengakuan itu adalah kali ke-12.001, setiap Pengakuan Dosa adalah kemenangan bagi Yesus. Dan aku, sebagai imam, bisa berada di sana. Seperti inilah kira-kira ... aku bisa duduk dan melihat Yesus memenangkan anak-anak-Nya kembali sepanjang hari. Ini benar-benar keren. Diterjemahkan secara bebas ( dengan sedikit perubahan) oleh admin Fides et Ratio dan Veritas liberabit vos! untuk page Gereja Katolik (fb.com/GerejaKatolik) dari LifeTeen. My Side of the Confessional: What is it like for a Priest. http://lifeteen.com/my-side-ofthe-confessional-what-is-it…/
Ingin membaca artikel inspiratif mengenai refleksi iman? Sila beli dari Tokopedia!!! Ketikkan judul buku: “manusia mahluk beratribut” di kotak p encarian. Lalu, klik tombol ‘beli’. Lentera news - ed April 2016 | 16
Reportase Resensi Buku
GELIAT PERTANIAN LIANG MELAS TANAH KARO (bag. 1)
K
RP Moses Elias Situmorang, OFM Cap Parokus Paroki Brastagi
amis 03 Maret 2016 lalu, penulis m engajak Pastor Marselinus Sijabat OCarm pastor p aroki Paronggil dan seorang pemerhati lingkungan yang tinggal di kabupaten Dairi untuk melihat, belajar, dan mengamati secara langsung bagaimana penduduk di daerah Liang Melas kabupaten Karo bercocok tanam khususnya jeruk manis. Perjalanan dari Berastagi sampai ke daerah Liang Melas memakan waktu kurang lebih empat jam dengan menggunakan mobil double gardang. Perlu kehatihatian dalam menyetir menuju daerah Liang Melas agar tidak terjerembab masuk jurang. Jalan berliku mampu menampilkan keelokan jajaran Bukit Barisan yang ditumbuhi beragam pepohonan.
Pertanian Baru Tanah Karo Tanah Karo bukan hanya gunung Sinabung. Wilayah kabupaten Karo memiliki luas 2.127,25 KM. Kabupaten ini berlokasi di dataran tinggi Karo, Bukit Barisan Sumatera Utara terletak sekitar 77 KM dari Kota Medan ibukota Sumatera Utara. Wilayah kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut. Karena berada di ketinggian tersebut, Tanah Karo Simalem, nama lain dari kabupaten Karo mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai 17 derajat Celsius. Cukup lama orang mengenal Tanah Karo sebagai penghasil jeruk manis yang biasa disebut kalau di Jakarta sebagai jeruk Medan atau 17 | Lentera news - ed April 2016
jeruk Berastagi. Kabupaten Karo terdiri dari 17 Kecamatan. Kecamatan Mardingding adalah salah satu kecamatan yang tanahnya masih cukup luas dan langsung berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Langkat dan Aceh. Selama lima tahun penulis pernah bertugas sebagai kepala paroki santo Fransiskus Asisi Tiga Binanga yang sebagian besar wilayahnya pelayanan mencakup daerah Liang Melas. Daerah Liang Melas yang meliputi beberapa desa yakni Kuta Mbelin, Kuta Pengkih, Kuta Kendit, Cerumbu dan Pola Tebu. Daerah Liang Melas (tempat yang hangat) berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Sejak tahun 1998 daerah yang sejak lama terkenal sebagai sarang ladang ganja, kini berubah total sebagai surga pertanian untuk Kabupaten Karo. Menurut bapak Samuel Sembiring salah seorang tokoh masyarakat Kuta Pengkih awal mula penanaman karena mereka sudah mulai sadar akan bahaya menanam ganja. “Hingga tahun 1997 di jambur (semacam alun-alun desa) ini masyarakat masih bebas menjual ganja. Mengapa orang sini menanam ganja? Jawabannya sederhana saja sulitnya akses jalan membuat biaya transport sangat tinggi. Sehingga pilihan menanam ganja walaupun sangat berbahaya adalah pilihan terakhir. Namun sejak pemerintah mulai memperbaiki jalan maka pelan-pelan masyarakat sadar dan mulai beralih menanam jeruk manis,kopi, tembakau, dan cabe “ Papar pak Samuel yang juga mantan kepala desa Kuta Pengkih mantap.
Lentera news - ed April 2016 | 18
Daerah Liang Melas memang sangat cocok untuk menanam jeruk karena iklimnya sejuk dan tanahnya masih subur. Air juga sangat melimpah. Namun demikian untuk menanam jeruk agar maksimal hasilnya tetap membutuhkan perawatan intensif. Menurut bapak Saut Nainggolan (53) salah seorang petani jeruk yang berhasil di Kuta Pengkih menanam jeruk itu dimulai dengan pemilihan bibit yang berkualitas. “Proses penanaman jeruk manis itu kita mulai dari pembibitan. Cara pengadaan bibit disini adalah dengan system perkawinan antara jeruk manis dengan jeruk asam lokal yakni jeruk Citrun. Pernah kami coba dengan bibit yang didatangkan dari daerah lain tetapi hasilnya kurang bagus maka berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami mencoba dengan membuat bibit sendiri dan ternyata cukup berhasil.” Tutur Nainggolan kelahiran Kuta Pengkih. Menurut Nainggolan pembibitan dimulai dengan memilih biji “Jeruk Citrun” (sejenis jeruk asam lokal). Setelah dibersihkan bijinya disemaikan selama satu setengah tahun. Kemudian dipotong tinggal batangnya. Ke dalam batang ditempel kulit jeruk manis kemudian dibungkus dengan plastik dan biarkan selama dua minggu sesudahnya buka kalau daun sudah mulai tumbuh maka pindahkan ke plastik besar polibek yang berisi tanah humus. Polibek diletakkan di alam terbuka yang kena sinar matahari. Setelah setengah tahun dalam polibek maka pindahkan ke lahan yang sudah disiapkan. “Tahun pertama setelah ditanam harus kita kasih Nitrogen
Belajar dari pengalaman Saut Nainggolan menjelaskan dengan seksama proses pena pastor Marselinus Sijabat OCarm (topi hita putih) di ladang jeruknya sendiri. Jeruk ini asam lokal dengan jeruk manis.
n (tengah) dengan wajah serius anam dan perawatan jeruk kepada am) didampingi penulis (pakai topi i adalah hasil perpaduan jeruk
(N) atau Urea, Tahun kedua NK (Nitrogen dan Kalium) dan tahun ketiga NPK (Nitrogen,Pospat dan Kalium). Harus kita amati. N itu untuk urat, K itu untuk batang dan P untuk buah. Artinya kalau bunga sudah banyak tidak perlu banyak kita kasih P. Lalu kalau satu minggu musim kemarau harus kita siram secukupnya. Untuk mengatasi agar batang tidak berjamur maka juga harus kita semprot.� Jelas Saut Nainggolan yang hanya sampai duduk di kelas 2 SMP Negeri Lau Baleng. Saut Nainggolan menambahkan bahwa untuk satu pokok jeruk manis dihitung mulai dari penanam di lahan per tahun mememerlukan biaya rata-rata Rp 300.000,- dan hasilnya dari satu batang pokok jeruk untuk usia mulai lima tahun dapat menghasilkan 100 Kg buah selama satu tahun (empat kali panen). Kalau harga per Kg jeruk di daerah Liang Melas Rp 7.000,- itu artinya dari tiap batang kita dapat memperoleh Rp 400. 000,-. Jarak tanam antara yang satu juga dengan yang lain perlu diperhatikan yakni 7 M x 7 M. Jarak ini perlu diperhatikan agar jeruk tumbuh dengan baik dan mendapatkan cukup sinar matahari. “Kalau kita memiliki 200 pokok jeruk manis saja maka kita sudah mengantongi Rp 60 juta per tahun.� Tutur Saut Nainggolan yang sudah mulai menanam jeruk sejak tahun 2001 dan kini memiliki 8 hektar jeruk yang terletak di tiga tempat yang sudah menghasilkan. Dari hasil jeruk, Saut sendiri dapat menyekolahkan ketiga anaknya hingga perguruan tinggi. Juga dari hasil jeruk Saut Nainggolan telah sanggub membeli satu rumah di Kabanjahe dan satu lagi di Medan.
Mahedin Singarimbun salah satu petani jeruk di Kuta Pengkih menambahkan bahwa untuk mengatasi lalat buah yang dalam bahasa Karo disebut citcit diakali dengan cara yang sederhana saja. “Kita beli lem tikus, lalu lem tikus itu direndam dengan bensin selama satu malam dengan ukuran yang seimbang. Seterusnya masukkan bola plastik seperti bola pelampung di laut ke dalam bensin yang sudah dicampur lem tikus, lalu gantungkan di dahan jeruk. Citcit (lalat buah) akan hinggab ke dalam bola plastik yang sudah diolesi dengan lem dan dia akan mati disitu. Karena itu disini ada lalat buah tidak berkutik karena kami mampu mengatasi dengan cara sederhana.Tidak ada artinya menyemprot lalat buah sebab dia dapat terbang. Jalan satu-satunya hanya dengan memakai lem ini. �Papar Singarimbun dengan meyakinkan. Sejak tahun 2005 lalat buah memang menjadi masalah terbesar bagi petani jeruk di Tanah Karo khususnya yang tinggal di daerah Berastagi dan Kabanjahe sekitarnya. Banyak ladang jeruk yang kini tinggal meranggas dan tak terawat. Banyak juga masyarakat yang sudah memotong batang jeruknya dan beralih menanam kopi atau tanaman muda lainnya. Kekompakan masyarakat Liang Melas untuk bersama-sama memerangi lalat buah menjadi kunci keberhasilan mereka lepas dari serangan lalat buah. (bersambung di edisi berikutnya)
19 | Lentera news - ed April 2016
Sastra
PASKA Yohanes Siringoringo Mahasiswa Seminari Menengah Christus Saceros - P. Siantar
T
elah sekian lama aku menunggu. Garis luka di tanganku tak kunjung mengering. Adakah waktu dalam ketenangan untukku. Suara rintik malam ini menjadi saksi uraian kasihmu. Dulu, panah asmara itu terlekat, sekarang semua telah usai dipercekin angin pantai. Tak ada nama terlekat lagi, semua telah sirna oleh bayanganmu. Aku tahu ini bukan salahku seutuhnya, semua terjadi karena mata hati harus menerimanya. Panorama kebahagiaan kini berubah dengan satu goresan. Aku mencoba untuk bangun lalu pergi melupakanmu selamanya. Tiada khiasan makna setelah kejadian itu. Lubuk mengering, darah hatiku telah berbicara cukup. Cukup untuk mencari luka. Luka detik ini adalah hidupku. Hari pertama kuliah
Lentera news - ed April 2016 | 20
membawa terik terang dalam ragamku. Aku telah menapaki janji dalam singgasana untuk berhenti pacaran. Aku ingin mendapatkan IP yang tinggi sekaligus mendapatkan cum laude. Memang untuk mendapatkan semua itu bukanlah hal yang mudah, jika aku bersungguh-sungguh semua pasti bisa. Ruangan ini terasa berbeda bagiku, mungkin karena aku belum terbiasa. Dari sudut sana wajah mereka pun begitu asing di mataku. Kulihat seorang gadis di depanku, berpoleskan tampilan dibawah sederhana, bajunya kusam, rambutnya tak beraturan, badannya mengukir seribu kasihan hasratku. “ Hai, namaku Benny, panggil aja Ben” sapaku membuka perkenalan. “Hai, aku Paska”. Salam kenal. Sekianlah perkenalan kami. Suaranya begitu beraturan tak sama seperti perawakan penampilannya. Butir-butir genggaman m erusak memori ingatanku. Nafasku m enderuh perlahan mengingat wanita tadi. Dalam benakku tersirat kekaguman kepadanya, masih adakah anak kulihan zaman sekarang tak mengenal mode zaman kini ?. Sudahlah pikirku, mungkin dia adalah tipe wanita yang unik, berbeda dengan wanita zaman sekarang. Putaran jam terus mengiringi detak jantungku. Telah terurai
beberapa makna dalam selembar kertas untuk hari ini. Mata indah mencoba merayuku untuk menghentikan aktivitas yang ada. Sudah beberapa hari ini kuperhatikan penampilan Paska tak pernah berubah. Hatiku meminta untuk menyelidiki latar belakangnya. Lepas kuliah ini, aku memutuskan untuk mengikutinya pulang. Bukan uraian merambat dari ujung sana, melainkan belaian nada kasihan melambung untuknya. Rumah coklat tua itu telah terbesit di mataku. Rumahnya bagaikan pondok tak layak huni. Aku tak yakin kalau itu adalah rumahnya. Kurangkai kembali hasrat kata yang telah usang menjadi sebuah khiasan keheningan. Aku telah terjebak dengan belas kasihan wanita itu. Apakah benar itu adalah rumahnya. Andai saja benar, mungkin aku tak dapat berkata apalagi. Besok aku akan memastikan kenyataan yang sesungguhnya. Telah kujelajahi sekian menitnya, alangkah sedihnya hatiku melihat kediamannya. Kakiku menuntunku untuk menemuinya di rumah tua itu. “Syalom” sahutku di tengah keheningan rumahnya. Tak lama menunggu, paska pun keluar dari rumahnya. “Eh, Benny. Kamu tahu rumaku dari mana ?” nada getirnya kepadaku.
“ Aku mohon maaf sebelumnya Paska, aku tadi mengikutimu pulang. Sekali lagi aku mohon maaf telah lancang.” Nada salahku. Aku tak menyangka kalau paska mempersilahkan aku masuk ke rumahnya. Dalam benakku, aku kira aku akan diusir atau mendapat tamparan manis darinya. Ternyata aku salah, keramahannya sungguh menusuk sukmaku lalu menyediakan teh kepadaku. “ Ben, aku pergi sebentar dulu ya. Habiskan minumannya dulu baru bisa pulang. Aku hanya sebentar kok. Dan ingat, jangan pulang sebelum aku kembali.” Nada pintanya. “ Ok Paska.” Telah sekian lama aku disini, menunggu hingga kedatangannya. Jiwaku sudah merasa risih degan rumah ini. Aku merasa tidak betah. Disisi lain, aku sungguh bangga melihat perjuangan hidupnya. Dari sudut kejauhan, terdengar gemercik suara batuk wanita tua. Batuknya tak henti berkesudahan. Kuintip dari lorong kecil, ternyata ibunya terbaring sakit. Tubuh ibunya hanya berlapiskan tulang, nafasnya mendesah deruh kering. Ingin sekali aku mendekatinya, tapi ragaku melonjak menolak. Aku sangat takut paska akan marah kepadaku. Aku kembali duduk di tempat kediamanku seolah-olah aku belum tahu apa yang telah kulihat. “ Ben, maaf ya agak lama” nadanya terengah-engah. “ Ok Paska. Oh iya, aku pulang dulu ya. Maaf sudah merepotinmu.” Nadaku kepadanya sembari melihat bola matanya yang sungguh menawan. **** Telah mengalir darah untuk jantungku dan membentuk panorama kepedihan. Butir-butir airmatanya menusuk nadi rasaku. Dua minggu setelah dari rumahnya, aku memberanikan diri untuk bertanya tentang keluarganya. Ternyata paska adalah wanita yang sungguh berbeda dengan wanita yang kukenal. Sungguh !!! sejak kelas 3 SMP ayahnya telah meninggal dunia karena kecelakaan. Setahun
setelah kepergian ayahnya, ibunya terkena kanker otak. Sungguh malang hidupnya, kini dia harus menjadi kepala punggung keluarga terutama untuk menyekolahkan adiknya. Ia sangat ingin mengobati ibunya, tapi uang pengobatan menjadi penghambat. Kini, ibunya digerogoti stadium IV. Hanya harapan doa yang dapat ia lakukan. Ia ingin sekali melihat ibunya kembali tersenyum, memasak makanan kesukaannya dan menemani suka dukanya.”awan putih pudar memerah darah, yang terjadi b iarlah terjadi. Tuhan itu Mahabaik dan aku percaya bahwa ada makna yang terindah di balik ini semua. Buktinya, aku masih bersyukur bisa kuliah dari beasiswa SMA dan dapat menyekolahkan adiknya.” Sahutnya sambil menitihkan airmata di depanku. Ingin rasanya kubelai rambutnya, mengusap air mata yang menodai hasratku, tapi aku bukanlah siapa-siapa dalam hidupnya. Hanya sebuah sapu tangan putih yang dapat kuberi kepadanya berharap segala sedihnya akan mati di dalamnya. Selama satu semester nadaku hidup di dalam hatinya hingga aku menaruh hati kepadanya. Hari ini Paska tidak hadir kuliah, padahal dia adalah mahasiswi yang tidak pernah absen. Pikiranku merenggut ketakutan, padahal hari ini Dosen akan membagi hasil semester kami. Kutiadakan sejenak tentang dia lalu kulihat IP-ku yang berada di peringkat ke 4. Kulihat posisi peringkat pertama ternyata Paska. Aku terkejut melihatnya, dibalik kepolosannya tertanam beribu kepandaian. Baruku sadari bahwa ia mendapatkan beasiswa karena kepintarannya saat SMA bukan karena kemiskinannya. Setelah pulang kuliah, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Paska untuk memastikan kenyataan tentang dirinya. Setiba disana, kulihat sebuah bendera putih dan rumahnya banyak orang. Aku tak mampu melihat kenyataan ini, ternyata ibunya telah meninggal. Wajah ibunya sangat pucat, badannya dilapisi tulang-tulang,
begitu kurus terpandang dimata. Kanker otak telah merenggut nyawa ibunya dengan begitu cepat. Aku tergoda oleh satu hasrat jiwa, menggema dari sudut sana untuk menuai cintanya. Kesendiriannya membelenggu dan tak akan pernah kembali, jauh disana. Ayah dan ibu yang ia cintai telah pergi selamanya. Tetesan kasih yang direkam dimatanya pergi begitu saja. “ Paska, jika kau mau usaplah tangismu di bahuku dan percayalah semua akan mati dan menjadi sebuah kebahagiaan. Jangan kau sesali selembar tinta pengalaman hari ini. Tuhan memanggil ibumu karena Dia sungguh mencintainya.” Sahutku menghangatkan suasana pikirannya **** Kutulis kembali pengalamanku di selembar kertas. Perlahan-lahan menjadi mengagumkan dan meretas kepastian. Telah tiga hari aku tinggal di rumah tua ini. Dedaunan menyandarkan kesunyian dalam angan, rongga-rongga siulan burung menyatukan ketenangan. N’tah kepada siapa aku mengadu lagi, goresangoresan itu pun menolakku. Nafasku menderuh perlahan-lahan sambil menitih kepedihan. Hari ini umat katolik memperingati hari Paskah, tepat tiga hari setelah kematian ibunya. Hari ini dia pun berulang tahun. Sekian lama aku bersamanya, kini aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta kepadanya tepat di hari ulang tahunnya. Rasa kecewa menusuk ragaku, pecah menyelimuti darah. Saat aku menyatakan perasaanku kepadanya, aku tersadar bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Paska hanya menjadikanku sebagai sahabat demi fokus menjalani kuliahnya. Tak ada yang dapat kuperbuat, pilihannya kini telah menjadi pilihanku. Aku tetap mencintainya dalam karang kelam malam, sekalipun butir-butir cintanya telah menolakku. Aku akan tetap setia menunggunya.
21 | Lentera news - ed April 2016
Lentera news - ed April 2016 | 22
Lapo Aksara
‘Menara Babel’ vol. 2
P
Ananta Bangun Redaktur Tulis
ermainan “Menulis Kata di Punggung” adalah rangkuman kegiatan belajar dan bermain. Permainan ini, pada satu hari saya bawakan ketika mengajar alat berhitung sempoa di satu sekolah. Para siswa girang kegelian saat teman menulis di punggungnya. S ungguh menyenangkan. Namun ada terselip satu p embelajaran. Hampir seluruh tim yang diberi ‘kalimat rahasia’ tidak dapat menyampaikan kalimat tersebut secara utuh. Beberapa masih menjaga inti kalimat, namun ada juga yang ‘terpeleset’ hingga mengaburkan konteks pesan yang dibagikan. Dalih ‘mengejar waktu’ menjadi pemicu kekeliruan menyampaikan pesan. Tidak hanya dalam permainan, namun juga dunia nyata sehari-hari. Media atau saluran yang beragam dan canggih tak jua menjamin keutuhan pesan. Keadaan semakin runyam ketika wadah media sosial menjadi media ‘penghakiman’. Terkini, seorang siswi dibanjiri hujatan karena cekcok dengan seorang polwan direkam. Hasil video tersebut di lepas di ranah mayantara dan menular secepat virus flu. Pantas lah seorang Nicholas Carr mencela Internet sebagai biang
menurunnya mutu dialog serta cara berfikir kita. Dalam bukunya, “The Shallow”, Carr mengungkapkan sendiri pengalamannya sebagai terkikisnya kebiasaan untuk lama ‘mengendap’ dalam bacaan buku. Satu kebiasaan bagai menyelam menikmati isi dalam lautan, sementara kebiasaan lainnya bagai berselancar cepat di atas permukaan-nya. Demikian ilustrasi dari Carr. “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar! (Mat 11:15)”, demikian Yesus mengajarkan pada orang banyak. Seruan melecut kesadaran agar memberdayakan fungsi indra. Juga menghardik kita untuk menggilas kebiasaan yang menyalah: pengabaian. Tidak acuh atas konteks, tidak acuh akan keseluruhan pesan. Sudah biasa? Sudah terlambat? Mungkin kita akan menyaksikan sekali lagi peristiwa ‘Menara Babel’ di masa silam itu.
23 | Lentera news - ed April 2016