Lentera news ed Desember 2016

Page 1

Lentera news smart | beriman | inspiratif

Lentera news - ed Desember 2016 | 1


DAFTAR ISI

Lentera news Edisi #26 Juli 2016

Lentera news - ed Desember 2016 | 2

Sapaan Redaksi

3

Telisik Pemred

4

Lentera Utama

7

Lentera Opini

11

Lentera Iman

14

Lentera Refleksi

17

Sastra Jeda | Paus Fransiskus

20 23


Sapaan Redaksi

E

ntah pada hari ke-berapa, Nuh kembali membuka jendela bahtera. Menantikan burung yang ia lepas, guna cari tahu apakah air bah telah s­ urut. Ternyata burung itu kembali dengan sehelai daun zaitun di ­paruhnya. Sejak kapan mulanya, tiada yang mengetahui, cuplikan peristiwa ­tersebut menjadi lambang p ­ erdamaian di dunia. Keberadaan manusia yang hanya diwakili keluarga Nuh dan anak-anaknya tentulah sungguh hening. Jumlah mereka yang hitungan jari tentu sedikit kemungkinan saling teror dan masing-masing mengaku mayoritas. Mereka semua, pada masa itu, adalah mahluk hidup yang minoritas. Lalu, karena hal tersebut, apakah saat itu saja muncul perdamaian? Apakah perdamaian hanya impian minoritas? Mengapa kerusuhan dan teror membuncah demi ­menyuarakan pesan beringas: Kami lah yang ­berkuasa! Enyahlah! Numeral atawa jumlah seolah ­ajimat penentu bahwa beberapa insan saja yang layak berpijak di bumi-nya. Sehingga muncul, lagi dan lagi, pertanyaan ini: Mestikah kita kembali menjadi mahluk hidup minoritas demi kembalinya perdamaian? Tak sedikit pula yang berpendapat, bumi ini ­ sungguh damai bila saja tiada ­manusia. Petikan ilham dari karya tulis Pater Moses dalam Lentera Refleksi ­ ­menyegarkan fikiran kita tentang hal ini. Bahwa ‘miskin’ dialog telah menggiring kita pada ciri manusia barbar.

Kiranya edisi akhir tahun ini turut menyegarkan sahabat pembaca Lentera news. Rubrik-rubrik tetap lainnya juga kami hadirkan sebagai inspirasi iman dan ide baru bagi Anda. Kami, selaku Redaksi majalah ­online di bawah naungan Keuskupan Agung Medan dalam kesempatan berbahagia ini turut mengucapkan Selamat hari Natal 2016 & Tahun Baru 2017. Shalom,

Redaksi

3 | Lentera news - ed Desember 2016


Telisik Pemred

CASING ASPAL

S

RP Hubertus Lidi OSC Ketua Komsos KAM

Lentera news - ed Desember 2016 | 4

ebuah benda ­kecil yang lurus, kala dimasukan ke dalam gelas yang berisi air jerni maka nampak dari luar tongkat itu menjadi ­bengkok. Matamu ­melihat sesuatu yang indah dan bagus belum tentu ­seindah dan sebagus yang anda lihat. Hal yang lurus bisa menjadi bengkok dan hal bengkong jadi lurus ­karena kepentingan. Casing pada prinsipnya penting dan bagus, justru karena kepentingan maka casing itu dimanipulasi. Casing asli tapi palsu (aspal) Casing umumnya ­dipahami sebagai ­bungkusan, kemasan. Di balik casing ada isi, ­bagian yang esensial untuk ­dilindungi. Merk dagang yang tertera di casing itu penting untuk meyakinkan konsumen akan kualitas isinya. Casing dikemas sedemikian rupa agar keliahatan elegan, indah, dan kokoh. Tujuannya agar mata terbuai, lalu menggerakan hati dan niat, mengakui kualitas yang terbungkus itu. Warna, gambar, dan indahnya

lukisan huruf yang tertera dalam casing itu mendatangkan pesona. Jatuh cinta pada pandangan pertama, itulah kiranya falsafah casing. Betapa penting dan berharganya nilai casing itu maka ada saja, manusia yang lain memanipulasinya, dengan mengedepankan produk asli tapi palsu(aspal) atau Originaloriginalan. Produk KW dan imitasi. Hal ini dilakukan demi meraup keuntungan diri sendiri atau kelompok dengan kelihaian ‘membohongi’ ribuan mata manusia. Menjebak sesamanya agar masuk dalam permainan kepalsuannya dan memberikan keuntungan padanya. Maka beratuburlah barangbarang palsu. Bahkan barang-barang yang langsung berurusan dengan hajat hidup sesamanya, misalnya obat beras, air minum mineral, dan berbagai produk makanan lainnya. Kalau direfleksikan lebih jauh Ini, memalsukan barang-barang itu masuk dalam mentalitas cani-


balis, ‘memangsa’ alias menjadikan sesamanya daging empuk. Mental ini bahkan lebih kejam dari Canibalis itu, sebab dimangsanya adalah generasi berikutnya. Contoh: Si A memimun obat Palsu tentu ini berdampak atas si A dan keturunannya. Figur, penampilan, gelar, jubah kebesaran dalam hal-hal tertentu merupakan juga casing. Membungkus kualitas keahlian dan profesionalitasnya. Dengan kata lain sedang menunjukan kualitas hidup, pengetahuan, dan kepribadian serta ­orientasi dari pribadi yang ­bersangkutan dalam ­membangun ­kemanusiaannya dan ­sesamanya. Bicara ­tentang kualitas, tentu ada standar. Otak, profesionalisme dan ­pengalaman. Otak ­menunjukan ­kualitas pengetahuannya, ­kemampuan ­menalarnya. Profesionalisme ­menyangkut ­keahliannya. Pengalaman ­menunjukan berapa lama ia ­berkecimpung. Kata-kata, seruan, himbauan, serta perbuatan yang keluar dari balik figur, penampilan, gelar, jubah menunjukan kualitas pribadi yang bersangkutan.

Kadang mata kita terbuai dengan casing kemanusiaan ini. Wah... penampilannya, gelarnya nempel muka dan belakang namanya, Jubahnya kemanusiaan. Ternyata teriaknya, Bunuhhhhhh. Pernyataannya membingungkan dan kesukaanya bersimbah darah. Produk manusia semacam ini perlu diwaspadai, karena ujungujungnya demi kepentingan diri dan crewnya. Jadilah menusia yang berkualitas baik dari aspek penampilan dan perbuatan serta motivasnya. Jangan menjadi manusia CASING aspal

5 | Lentera news - ed Desember 2016


Jeda

Source: http://www.renungan-katolik.com/2016/09/23/7-tabiat-baik-di-dalam-keluarga-katolik/ Lentera news - ed Desember 2016 | 6


Lentera Utama Hentikan Kekerasan Dengan Berani Berdialog

I

RP. Moses Elias Situmorang OFMCap Penulis adalah seorang Pastor dari Ordo Fratrum Minorum Capucinorum. Sedang menjalani tahun sabat di sebuah biara yang sunyi.

ntan Olivia ­Banjarnahor (2 tahun 6 bulan), salah satu korban bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, ­Minggu (13/11), akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat di beberapa jam di rumah sakit. ­Kepergian Intan Olivia ­meninggalkan luka yang mendalam keluarganya. Ribuan orang ­menyampaikan ucapan belangsungkawa melalui media sosial dan juga ­gerakan penyalaan seribu ­lilin sebagai bentuk ­solidaritas melawan kekerasan (Kompas, 16/11/2016). Jo pelaku peledakan bom adalah juga pelaku bom gereja Serpong tahun 2011. Setiap kali ada peristiwa ledakan bom kita semua terguncang dan terutama lagi bila yang menjadi korban adalah anak-anak seperti yang terjadi di Samarinda. Seperti ditulis tentang rentetan peristiwa bom dan terorisme dalam tajuk rencana Kompas (14/11), “Mengapa Mereka Memilih Jalan Kekerasan”? Tidak mudah menjawab pertayaan itu hanya yang mungkin secara umum dapat dikatakan bahwa nurani para pelaku bom sudah bebal. Mereka da-

pat dikatakan terasing dari pencarian makna hidup dan gagal mencari pengakuan diri. Secara tidak sadar setiap orang ingin diakui. Maka tidak heran untuk mencapai tujuan semu itu manusia menghalalkan segala cara bahkan dengan cara yang sangat agresif. Kekerasan Kondrad Lorenz, seorang ahli filsafat abad modern mengenakan istilah agresivitas pada kekerasan dalam kaitan seperti bagaimana binatang buas melakukan pembunuhan agar tetap survival. Bagi Lorenz kata aggredior berarti keterlibatan aktif yang mengikat, menjalankan tugas atau memecahkan persoalan. Perilaku tersebut melulu merupakan dorongan untuk terlibat, menguasai atau mengendalikan lingkungan dan dengan demikian, memperoleh sesuatu yang dibutuhkan bagi perjuangan hidup. Agresivitas mendorong setiap orang “will to power” keinginan untuk berkuasa. Will to power merupakan perjuangan lanjut demi eksistensi, untuk ‘meninggikan’ diri sendiri, dan sasaran akhir agresivitas adalah untuk mencapai kekuasaan ((A.Storr, Human 7 | Lentera news - ed Desember 2016


Destructivenes, New York, 1975). Kompetisi dalam mengejar will to power terjadi pada semua level kehidupan, dari sperma di dalam sistem genital perempuan, hingga persaingan kaum pria demi afirmasi status, independensi dan sinyifikansi. Melalui kompetisi manusia mencari status dan prestise, berkompetisi dalam turnamen-turnamen, money politic dalam perolehan suara, memenuhi kebutuhan-kebutuhan akademis, atau mau mencapai suatu insight transendental dalam kodrat Tuhan. Dalam arti ini power merupakan keyakinan personal bahwa seseorang bernilai berkat pengakuan dari yang lain. Sedangkan aksi merupakan bentuk penegasan diri individual seseorang dalam memperoleh power atas aneka macam kekuatan di luar dirinya. Tidak jarang dalam mewujudkan aksi, kekuatan sering harus digunakan dan kematian kadang-kadang tidak terelakkan. Kekerasan bukanlah hasil logis dari agrevitas yang kompetitif. Kekerasan berakar dalam keseluruhan kebutuhan manusia untuk bertindak demi perjuangan hidup; sesuatu yang ekslusif dari hasil kecerdasan manusia dan yang berperan sebagai suatu solusi alternatif atas persoalan eksistensi. Kekerasan merupakan reaksi terhadap ketakberkuasaan, ketakberdayaan atau ketidakmampuan untuk Lentera news - ed Desember 2016 | 8

‘menjadi’. Kekerasan terjadi bila seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhankebutuhannya demi power dengan cara-cara normal. Sederhananya kekerasan merupakan ekspresi ketidakmampuan atau ungkapan ketakberdayaan. aksi-aksi kekerasan memberikan kepada individu suatu cita rasa power yang pada gilirannya menganugerahkan kepadanya suatu cita rasa makna dan identitas. Kekerasan tidaklah pararel dengan agresivitas, tetapi merupakan alternatif pada agresitvitas. Potensi untuk kekerasan berkembang seperti agresivitas berkembang dalam penyimpangan. Itulah sebenarnya ketidakwajaran dan produk jahat dorongan hakiki manusia pada kehidupan. Manusi jahat, manusia keras potensial bagi setiap orang bila tidak diolah dengan baik. Kemarahan, kecemasan, kebosanan, keputusasaan, kenekatan dan frustrasi yang tak terkendalikan, semua ini merupakan ‘keniscayaan’ yang memaksa orang orang bereaksi dengan cara kekerasan untuk mengamankan kebutuhan-kebutuhan pokok dan mendasar yang tak dapat diperolehnya. Karena itu untuk mengurangi supaya tidak terjadi agresifitas dalam bentuk kekerasan perlu dibangun sikap dan kemauan saling mau berbagi, peduli dan saling menghormati sekalipun berbeda suku, agama, ras dan keyakinan sekaligus juga terus-menerus

menandaskan dan mengatakan “tidak” pada setiap usaha pelecehan kehidupan, dorongan semangat dan optimisme untuk berani hidup sekalipun berada dalam kepahitan, duka dan derita menghadang. Dialog Kehidupan Realitas manusia sedemikan kaya, sehingga tidak satu definisi pun sanggup membahasakannya secara tuntas dan habis. Manusia adalah sebuah rahasia besar dan suci. Manusia adalah misteri. Ungkapan ke-misteri-an itu, dalam kosa kata filosofis adalah bahwa manusia disebut sebagai makhluk yang paradoksal. Paradoks berarti bahwa sesuatu tampaknya bertentangan akan tetapi tidak berkontradiksi. Maka bila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, itu berarti bahwa kebenaran atas jawaban dari pertanyaan siapakah manusia, terletak pada dua hal yang tampaknya bertentangan, tetapi tidak berkontradiksi. Manusia adalah makhluk yang otonom dan sekaligus tergantung; sosial dan individual; faktisitas dan possibilitas; fana sekaligus baka; bebas serentak juga terikat; mengubah dunia sekaligus juga dibuah dunia; yang mengukur sekaligus juga yang diukur (Adelbert Snijders, Manusia dan KebenaranKanisius, Yogyakarta 2006). Paradoks kena pada hakikat manusia yang membuat manusia menjadi unik


dan selalu mencari kebenaran. Ada orang yang terobsesi dan memutlatkan kebenaran hanya pada apa yang diyakininya. Perang, terorisme, bom, perselisihan sangat sering berpangkal pada pemutlakan pandangan pribadi atau kelompok tertentu pada kebenaran absolut. Dengan memutlakkan pandangan sendiri, pandangan orang lain sering dilihat sebagai ancaman yang harus ditahlukkan atau bahkan harus dihapuskan. Inilah yang disebut fundamentalisme, yakni ketika orang merelatifkan segalanya secara ekstrim. Relativisme menghapus sifat mutlak dan umum. Norma-

norma tidak lagi diakui. Individu menjadi penentu apakah sesuatu benar atau tidak, baik atau salah. Kalau mau jujur kebenaran tidak ada yang mutlak untuk semua orang dari segala zaman. Kebenaran selalu bersifat dinamis, paradoksal, dan multidimensional. Dalam kebenaran pertentangan antara mutlak dan relatif bukanlah pertentangan yang bersifat kontradiktoris, melainkan bersifat paradoksal. Sifat-sifat paradoksal sekaligus merupakan suatu seruan dan tantangan. Manusia harus setia kepada kebenaran yang dinamis, paradoksal, dan multidemensional. Pertentangan tidak

boleh dihapuskan dengan memilih yang satu dan menolak yang lain. Dua kebenaran itu bertentangan, namun hanya benar dalam kesatuannya. Menurut pakar pendidikan Indonesia almarhum Pater J.Drost SJ, pada dasarnya toleransi akan menghalangi usaha dialog karena sikap toleran pada hakikatnya tidak menghargai jati diri orang yang diajak berdialog. Toleransi berasal dari kata kerja Bahasa Latin tolerare yang artinya mengangkat dan memikul. Mengangkat dan memikul adalah kegiatan yang memberatkan orang. Artinya orang yang toleran adalah orang yang 9 | Lentera news - ed Desember 2016


menyerah pada keadaan. Toleransi terhadap orang lain mengenai apa saja adalah sikap negatif. Tentang bagaimana berdialog yang sehat lebih mendalam pater J.Drost SJ mengatakan, �‌Seseorang akan mampu berdialog dengan orang lain, bila dia menghargai orang lain. Saya berpegang pada agama saya, dan justru karena keyakinan itu saya dapat menghargai pribadipribadi yang beragama lain. Benar, saya tidak menghargai agama lain seperti agama saya sendiri. Iman saya tunggal. Saya dapat berdialog dengan orang lain agama, sebab saya menghargai dia sebagai pribadi yang memeluk agama lain itu. Dan saya yakin, bagi dia agamanya merupakan hal yang paling berharga. Mustahail bisa sungguh-sungguh rukun dengan seseorang yang tidak dihargai. Itu sikap purapura bahkan bisa dikatakan munafik. Kendala paling mendasar untuk mengadakan dialog yang dewasa dan mencari kerukunan adalah ketidakmampuan membedakan antara pendapat orang dan orang yang berpendapat. Orang yang tidak dapat membedakan pendapat orang dari orang yang berpendapat akan selalu melawan orangnya. Karena tidak dapat menangkis pendapat yang menurutnya salah maka yang bersangkutan berusaha menyerang dengan mengerahkan orang yang lugu dan Lentera news - ed Desember 2016 | 10

polos akhirnya musyawarah menjadi perkelahian.� Kerukunan tidak mungkin antar agama. Yang mungkin adalah kerukunan antar orang yang beragama secara dewasa. Dengan demikian yang satu dapat menjadi teman dan rekan yang pendapatnya tidak bisa diterima. Itulah sikap seorang pribadi yang dewasa yang tidak terbawa emosi primordial yang didasarkan atas agama. Dalam kenyataan sangat kita sesalkan ternyata banyak pemimpin belum mencapai kedewasaan untuk sanggub berdialog. Dialog hanya dapat diadakan antar orang yang mau dan terbuka untuk saling menghargai dan melihat perbedaan sebagai kekayaan. Maka maksud dialog adalah untuk saling membantu melihat kenyataan dan pada akhirnya mau menyatakan diri. Akhirnya Dialog beragama yang dewasa menjadi pegangan kita dalam kehidupan bermasyarakat dalam situasi berbangsa dan bernegara dalam ikatan persaudaraan. Setiap orang di Indonesia ini entah apa pun agama dan keyakinannya harus dihargai dan harus ikut menjunjung persatuan bangsa ini. Kita mesti menyadari Bangsa Indonesia menjadi kenyataan karena dua kali ada komponen bangsa merelakan kedudukan dominannya demi persatuan bangsa. Dalam sumpah pemuda 1928 para pemuda Jong Jawa merelakan bahasa

Melayu menjadi bahasa Indonesia. Andaikan bahasa Jawa yang dijadikan bahasa Indonesia, maka Republik Indonesia akan dipahami sebagai republik Jawa Raya dengan akibat bahwa kaum Sunda, Minang, Nias, Batak, Flores dan lain-lain sangat mungkin tidak ikut. Peristiwa kedua adalah penetapan lima sila Pancasila sebagai dasar negara dalam pembukaan UUD 1945. Kesepakatan itu memastikan bahwa Indonesia menjadi milik seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama. Kesediaan para wakil umat Islam untuk tidak menuntut kedudukan khusus dalam UUD meski mereka mayoritas terbesar memungkinkan persatuan dari sabang sampai Merauke. Semangat dalam bentuk kesediaan berdialog untuk saling menerima itulah yang perlu kita pupuk terus-menerus untuk merawat kehidupan dalam masyarakat majemuk yang ada di bumi Nusantara ini.


Lentera Opini Sinergi Gereja & Keluarga Mewujudkan Sinode-VI KAM “Membangun keluarga adalah jalan menuju kekudusan. ­Bahkan melebihi jalan pengabdian yang dirintis para biarawan/ ­biarawati. ­Karenanya, peneguhan janji pernikahan ini adalah untuk ­meneguhkan kembali semangat saling mengasihi pasangan suami istri. Dimana pernikahan ialah upaya untuk meningkatkan ­kebahagiaan insan manusia.” --- homili Mgr. A.G. Pius Datubara OFMCap dalam perayaan pesta pelindung di Gereja Paroki St. Pius X Aek Kanopan | Minggu, 21 September 2014.

K Ananta Bangun (Ananta Bangun| Penulis adalah Staf Komsos KAM, Menikah ­dengan Eva S. Barus pada ­Februari 2015)

utipan khotbah Uskup Emeritus Mgr. Pius Datubara OFMCap di atas terngiang k ­ embali ­tatkala berperan serta ­sebagai ­Anggota di ­Sinode-VI ­Keuskupan Agung Medan (KAM). Sidang agung Gereja Katolik KAM ini m ­ encantum tema: “Keluarga, Gereja Kecil”. Dasar pemikirannya ialah keluarga Katolik yang mumpuni iman, sejahtera dan bermasyarakat. Sebagaimana kerap didengungkan oleh Uskup Keuskupan Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM Cap bahwa orangtua hendaknya menjadi guru, imam dan gembala dalam rumah tangga. Sehingga keluarga tangguh dalam ketiga sendi tersebut, dan demikian juga Gereja Katolik. Kala pertama menden-

gar perkataan Oppung Pius, saya terkaget sendiri, karena konsep pemikiran selama ini adalah sebaliknya. Bagaimana mungkin berkeluarga ialah jalan yang lebih kudus daripada yang ditempuh klerus? Di tengah himpitan tuntutan zaman dan kesejahteraan yang tidak merata, kehidupan keluarga berantakan justru lebih mudah ditemukan. Sadar ataupun tidak, perubahan zaman telah menggeser pandangan ideal untuk kesejahteraan, budaya dan juga iman. Globalisasi menjadi ‘jembatan’ pertukaran hingga penyesuaian ketiga nilai ideal tersebut, di antara berbagai bangsa. Sehingga isu-isu sensitif seperti hubungan tanpa ikatan pernikahan, LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) hingga hedonisme bagai

11 | Lentera news - ed Desember 2016


arus yang kini juga menerpa keluarga kristiani. Bagaimana Sinode-VI ini akan memberi dampak positif pada saat Gereja menjadi tidak populer, utamanya di kalangan keluarga Katolik dari generasi X (lahir 19811989) dan millenial (lahir di periode 1990-2001)?. Karena tipikal generasi ini membentuk pendapat serta keputusan mengandalkan data-data digital serta tren sosial terbesar. Patut disyukuri bahwa Paus Fransiskus merangkul keluarga ‘generasi penerus’ ini melalui sapaan di mediamedia berbasis cetak hingga digital. Setidaknya, Gereja Katolik dipandang turut hadir di tengah kehidupan mereka. Sebelum jauh membahas tentang program Sinode bagi Keluarga Katolik, ada baiknya mengenali ciri khas generasi ‘Y’ dan ‘millenial’ yang akan mengisi ruang keluarga kristiani mendatang. Ciri yang paling kentara adalah budaya instan, mengutamakan convinient (kemudahan), kesenangan dan keindahan. Sehingga kerap bertolak belakang dengan Gereja yang hening dan terstruktur, sehingga kerap dianggap terlalu kaku. Kepiawaian Paus dalam merangkul generasi penerus tersebut ialah merancang media yang tepat dan tajam sasaran. Dia menyampaikan pesan pewartaan dengan ringkas dibarengi desain citra yang menyentuh emosi. Lentera news - ed Desember 2016 | 12

Bandingkan dengan pendekatan Yesus yang mewartakan Injil dengan perumpamaan. Sehingga pewartaan para jemaat tak terhenti sepeninggal Yesus, meskipun melalui masa siksaan kejam di bawah rezim kaisar Nero. KAM boleh terinspirasi pendekatan Paus Fransiskus dalam melanggengkan program Sinode-VI ini. Yakni dengan merancang media interaktif, khususnya berbasis teknologi komunikasi & informasi. Melalui media ini tidak hanya hadir dialog saling menggali permasalahan yang disasar Sinode-VI, namun juga melibatkan mereka dalam sosialisasi program terobosan KAM agar lebih luas menjangkau banyak umat. Inisiatif Keluarga Katolik Menatap Sinode-VI KAM Keluarga Katolik bisa berbuat apa? Pertanyaan ini tentu akan dialamatkan pada subjek tema Sinode-VI KAM. Tidak berarti kedudukan tersebut menjadikan keluarga Katolik cenderung menunggu dengan pasif. Gagasan yang baik sejatinya harus beroleh dukungan. Tema “Keluarga, Gereja Kecil” sudah jelas menggambarkan bagaimana idealnya keluarga yang didambakan Gereja dan umat. Keluarga Katolik dapat memulai inisatif ini dengan menerapkan pada diri sendiri terlebih dahulu. Sehingga

tepatlah perkataan bijak bahwa ‘untuk mengubah dunia, haruslah dimulai dari diri sendiri dahulu.’ Tentu saja pada sisi yang mudah untuk dilakukan bagi keluarga tersebut: saling bercengkerama, bekerjasama dalam usaha keluarga, ataupun menyisihkan waktu doa saat teduh bersama. Sebagaimana pesan sederhana yang kuat seperti kata mutiara St. Teresia dari Kalkuta: “Apa yang dapat anda lakukan untuk perdamaian dunia? Pulanglah, dan kasihi keluargamu.” Sebagaimana disebut sebelumnya, dengan mengenali ciri khas generasi muda masa kini maka program Sinode dapat melibatkan mereka seutuhnya. Bukan tidak mungkin, mereka lah yang menjadi agen implementasi program Sinode-VI. Kelebihan generasi ini ialah kesediaan mengorbankan waktu serta materi bagi ‘kampanye’ yang dipandang logis dan menyentuh. Kita bisa merujuk pada program Pengumpulan Dana Pembangunan Gereja Katolik melalui Facebook oleh Albertus Gregory Tan beserta rekanrekannya. Meski mereka berbasis di Jakarta, program donasi pembangunan Gereja Katolik ini telah menyasar lingkup nasional, termasuk di Keuskupan Agung Medan. Tentu saja kita hendak menyorot jangkauan insan yang digerakkan melalui desain komunikasi program ini, bu-


kan sekedar bertumpu pada penggalangan dana. Sejatinya menggerakkan manusia tidak selalu berdasarkan imbalan ataupun materi. Ada anugerah emosi dan hikmat dari Allah, Sang

Pencipta kita. Sehingga harapan terindah Sinode-VI dapat diwujudkan selangkah ke depan, terlebih dahulu melalui tanggapan Keluarga Katolik sendiri. Gereja dan Keluarga Katolik hendaknya

bersinergi untuk mewujudkan impian mulia ‘Keluarga, Gereja Kecil’. Sebagaimana jati diri Sinode itu sendiri (dari bahasa Yunani) ‘Sinhodos’, yang berarti berjalan bersama.

13 | Lentera news - ed Desember 2016


Lentera Iman

APAKAH SINTERKLAS SUNGGUH ADA? oleh: Romo William P. Saunders

Y

a, Sinterklas sungguh ada. Tetapi, kita lebih mengenalnya sebagai St. Nikolas. Sayangnya, kita hanya mempunyai sedikit saja bukti sejarah mengenai santo yang populer ini. Menurut tradisi, St. Nikolas dilahirkan di Patara di Lycia, sebuah propinsi di Asia Kecil, dalam sebuah keluarga Kristiani yang kaya raya; ia beruntung mendapatkan pendidikan Kristiani yang kuat. Sebagian mengatakan bahwa pada usia lima tahun ia mulai belajar ajaran-ajaran Gereja. Ia senantiasa berusaha mengamalkan kebajikan dan belas kasihan. Kedua orangtua St. NikoLentera news - ed Desember 2016 | 14

las meninggal dunia ketika ia masih muda dan meninggalkan harta warisan yang besar, yang dipergunakannya untuk melakukan banyak perbuatan baik. Suatu kisahnya yang terkenal bercerita mengenai seorang duda yang mempunyai tiga anak gadis. Sang ayah hendak menjual anak-anak perempuannya itu ke pelacuran sebab ia tak mampu menyediakan mas kawin yang dibutuhkan bagi perkawinan mereka. St. Nikolas mendengar nasib buruk yang menimpa ketiga anak gadis ini dan memutuskan untuk menolong. Dalam kegelapan malam, ia pergi ke rumah mereka dan melemparkan sekantong emas melalui

sebuah jendela yang terbuka di rumah sang duda, dengan demikian menyediakan uang yang diperlukan untuk mas kawin yang layak bagi anak gadis tertua. Berturut-turut dua malam berikutnya, St. Nikolas melakukan hal yang sama; kemurahan hatinya menyelamatkan ketiga gadis tersebut dari nasib malang. Reputasi St. Nikolas sebagai seorang yang kudus tersebar luas. Ketika Bapa Uskup wafat, St. Nikolas dipilih untuk menggantikannya sebagai Uskup Myra. Beberapa catatan sependapat bahwa St. Nikolas menderita dipenjarakan dan dianiaya demi iman dalam masa penganiayaan Kaisar Diocletian sekitar


tahun 300. Beberapa sumber menegaskan bahwa setelah disahkannya Kekristenan, ia hadir dalam Konsili Nicea (tahun 325) dan ikut serta dalam mengutuk bidaah Arianisme yang menyangkal keallahan Kristus. Kisah selanjutnya menceritakan bagaimana St. Nikolas ikut campur tangan demi membebaskan tiga orang tak bersalah yang dijatuhi hukuman mati oleh seorang gubernur yang korup bernama Eustathius, yang ditentang oleh St. Nikolas dan digerakkan pada pertobatan. St. Nikolas wafat pada abad keempat antara tahun 345 dan 352 pada tanggal 6 Desember, dan dimakamkan di katedralnya. St. Nikolas telah senantiasa dihormati sebagai seorang santo besar. Pada abad keenam, Kaisar Yustinian I mendirikan sebuah gereja demi menghormati St. Nikolas di Konstantinopel, dan St. Yohanes Krisostomus memasukkan namanya dalam liturgi. Pada abad kesepuluh, seorang penulis anonim Yunani menulis, “Baik Barat maupun Timur memuji dan memuliakan dia. Di manapun orang berada, di desa dan di kota, di dusun dan di pulaupulau, di belahan-belahan bumi yang paling jauh sekalipun, namanya dihormati dan gereja-gereja didirikan demi menghormatinya. Segenap umat Kristiani, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, pula anak-anak, menghormati kenangan akan dia dan berseru mohon perlindungan-

nya.” Setelah Seljuk Muslim yang fanatik menyerbu Asia Kecil dan dengan keji menganiaya Kekristenan, tubuh St. Nikolas diselamatkan oleh para saudagar Italia dari pencemaran pada tahun 1087 dan dimakamkan kembali di sebuah gereja baru di Bari, Italia. Paus Urbanus II, seorang pembela iman yang gigih dan seorang penganjur perang salib, memberkati makam baru tersebut dengan upacara meriah. Sejak saat itu, devosi kepada St. Nikolas meningkat di seluruh wilayah Barat. Sebagai misal, lebih dari 400 gereja di Inggris didedikasikan kepadanya. Beberapa waktu lamanya dalam Abad Pertengahan, makamnya menjadi tempat ziarah yang paling banyak dikunjungi para peziarah dari seluruh Eropa. Yang menarik, karena aroma dupa yang tercium di sekitar makamnya, segera saja ia dikenal sebagai santo pelindung dari para pengusaha wangi-wangian. Menurut tradisi, St. Nikolas dihubungkan dengan pemberian hadiah-hadiah pada masa Natal, karena kisahnya mengenai duda dengan tiga anak gadisnya itu. Di Belanda, di mana tampaknya kebiasaan ini berasal, St. Nikolas (atau Sint Klaas atau Santa Claus) akan datang pada malam menjelang pestanya (6 Desember) dengan membawa berbagai macam hadiah untuk anakanak yang manis; seringkali dengan mengisikannya pada

sepatu-sepatu kayu mereka. Banyak hiasan-hiasan Natal dari Belanda maupun Jerman menggambarkan St. Nikolas mengenakan pakaian uskup dengan mitra dan tongkat uskup di tangannya, dengan disertai seorang malaikat penolong yang membawa daftar nama anak-anak yang baik. Devosi kepada St. Nikolas diselewengkan oleh kaum Protestan Belanda, yang ingin menghapus “ke-Katolik-an” St. Nikolas. Mereka menanggalkan tanda wewenang uskupnya, dan menjadikannya lebih menyerupai seorang Bapa Natal dari Eropa berbaju merah. Mereka juga mengaitkannya dengan beberapa legenda seputar Dewa Thor yang mengendarai sebuah kereta dan yang datang mengunjungi rumah melalui cerobong asap. Pada abad ke-19, para penulis Amerika juga berperan serta dalam menghapuskan gambaran St. Nikolas sebagai seorang uskup. Pada tahun 1820, Washington Irving menulis sebuah kisah mengenai Santa Claus yang terbang dalam sebuah kereta untuk membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak. Tiga tahun kemudian, Clement Moore menulis Sebuah Kunjungan dari St. Nikolas (yang lebih dikenal sebagai Malam Sebelum Natal, menggambarkan Santa Claus sebagai seorang “kurcaci tua jenaka” dengan perut gendut bagai tong, pipi merah bagai mawar, dan hidung bagai buah ceri. Pada tahun 1882, Thomas Nast 15 | Lentera news - ed Desember 2016


melukis gambar Santa Claus berdasarkan gambaran yang diberikan Moore dan bahkan menambahkan North Pole sebagai tempat kediamannya. Dan akhirnya, Haddom Sundblom, seorang seniman iklan dari Coca-Cola mengubah sosok Santa Claus menjadi seorang tokoh berpakaian merah, berbadan besar, dan bahkan gemar minum cola, seperti yang dengan mudah kita bayangkan dalam pikiran kita sekarang ini. Jadi, apakah Sinterklas atau Santa Claus sungguh ada? Saya ingat suatu ketika saya membaca tanggapan editor The New York Sun pada tahun 1897 atas pertanyaan Lentera news - ed Desember 2016 | 16

yang sama yang diajukan seorang anak perempuan berumur 8 tahun bernama Virginia. Sebagian dari jawaban tersebut, yang masih relevan hingga kini, adalah, “Ya, Virginia, Santa Claus sungguh ada. Ia ada, senyata cinta kasih dan kemurahan hati dan devosi ada, dan kau tahu bahwa semuanya itu ada dengan berlimpahlimpah dan mengisi hidupmu dengan kebahagiaan dan sukacita yang paling luar biasa. Sungguh malang! Betapa suramnya dunia ini andai tidak ada Santa Claus! Pastilah akan sesuram andai tidak ada Virginia-Virginia. Sebab, jika demikian tidak akan ada iman yang kekanak-kanakan, tidak akan ada gubahan sajak, tidak akan ada romantisme yang membuat hidup ini tertahankan. Kita tidak akan menikmati kegembiraan, kecuali dalam apa yang dipikir dan dilihat. Cahaya abadi dengan mana masa kanak-kanak mengisi dunia akan lenyap. ... Tak seorang pun pernah melihat Santa Claus, tetapi itu

bukan berarti bahwa Santa Claus tidak ada. Hal-hal yang paling nyata di dunia adalah hal-hal yang tak dapat dilihat baik oleh anak-anak maupun orang-orang dewasa. ... Terima kasih Tuhan! Santa Claus ada, dan ia akan ada untuk selama-lamanya.” Bagi saya, pernyataan di atas merupakan suatu kesaksian yang cukup bagus mengenai St. Nikolas dan sukacita yang ia datangkan ke dalam perayaan Natal kita. Kiranya St. Nikolas mengilhami kita dengan doa-doanya dan teladan hidupnya agar kita dapat merayakan Natal dengan penuh iman. * Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria. Sumber: “Straight Answers: Is There a Santa Claus?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/ yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald. ✥ Instaurare Omnia in Christo ✥


Lentera Refleksi Ruwet Tapi Indah

K

etika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan.

Goklas Nainggolan Alumni Politeknik Negeri Medan | Ketua ­emeritus Bincang-Bincang ­Mahasiswa (BBM)

Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet. Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut: “Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.” Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil; “Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu.”

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benangbenang yang ruwet. Kemudian ibu berkata:”Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan.” Sering selama bertahuntahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah; “Allah, apa yang Engkau lakukan?” Ia menjawab: “Aku sedang menyulam kehidupanmu.” 17 | Lentera news - ed Desember 2016


Dan aku membantah,”Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?”

Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke sorga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu.” Sahabatku,

Kemudian Allah menjawab,”Anakku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini…

Lentera news - ed Desember 2016 | 18

Memang hidup kita ini seakan2 ruwet, karena kita tidak akan pernah bisa memahaminya, tapi percayalah bahwa Tuhan

telah merencanakan gambar hidup kita ini indah pada waktunya nanti. Serahkanlah semua masa depan kita, pekerjaan kita dan pelayanan kita kepada Tuhan, jangan pernah meragukanNya, krn Dialah arsitek hidup kita yang paling Dahsyat. IUVANTE DEO VINCIMUS. AMIN.


Jeda

Source: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/97/ce/fb/97cefb6a6a1ef23376aba10df687ec1c.jpg 19 | Lentera news - ed Desember 2016


Sastra

Bingkisan Natal Maria

D

Suhendro Afandi Purba

Lentera news - ed Desember 2016 | 20

ia seorang gadis kecil yang saban hari menggendong beberapa karung goni. Sebenarnya, dia masih terlalu muda untuk disebut gadis. Usianya mungkin baru seumuran jagung yang mulai berbungara. Itu tampak dari lengan tipis dan kulitnya yang ramping. Hidungnya agak pesek, ada bekas luka di sekitar pelipis bagian kanan. Kelopak matanya agak menyayukan. Mungkin dia jarang mandi. Tampak dari rambutnya yang terurai menggulung bak serabut kelapa atau ijuk. Sandal yang dia kenakan tidak selalu sepasang. Kalaupun sepasang, keduanya pasti tidak sama. Mungkin dia hanya temukan di pinggir jalan. Anjinganjing biara yang galak akan melolong bila ia sudah tepat di pintu gerbang masuk biara. Hati-hati, dia akan meletakkan karung-karungnya

di semak dan berjalan agak pincang. Kayu kecil selalu sedia di tangan, takut kawanan anjing nekat menggigit tubuh kurusnya. Ia akan segera duduk di bangku paling depan. Di depan jejeran bangku itu, berdiri anggun arca seorang wanita dengan pakainan putih berpadu biru muda. Sebelumnya, dia akan menyalakan lilin kecil di samping arca. Sambil merapikan pakaian lusuh di badan, dia selalu memulai dengan tanda salib. Kadang berdiri, kadang juga berlutut, mulutnya komat-kamit seperti mulut ikan yang berenang di kolam. Dia senang merapal doa. Pernah aku lihat di tangannya terjuntai sebuah rosario kecil. Tentang idenitas dan perkerjaannya, aku belum tahu pasti. Maklum, aku masih orang baru di tempat ini. Minggu lalu aku tiba di biara. Selama seminggu yang lalu, hampir setiap sore dia singgah di depan

gua maria. Gua itu ada di seberang biara kami dan ukurannya lumayan besar. Awal melihat gerak-gerik lakunya, aku sedikit menaruh rasa curiga. Namun, aku enggan menegurnya, toh tempat ini terbuka bagi siapa saja yang berkehendak baik dan tidak merugikan orang sekitar. Keingintahuanku akan gadis kecil itu mulai muncul. Siapa gerangan gadis mungil cantik namun kurang terawat. Pernah ingin kusapa dia kala dia selesai memanjat doa dan bergegas pulang. Sayang, rencana gagal karena raut wajahnya berubah ketakutan. Pikirnya aku seperti serigala atau anjing-anjing biara yang siap menerkam. Sejak itu, acap kali selesai berdoa, dia langsung mengemas diri dengan sedikit berlari. Tak lupa karung-karung di balik semak ikut dibawa. Akhirnya aku tahu sedikit tentangnya. Ketika


itu, aku akan mengajar asmika di stasi terdekat. Tidak ada sepeda motor. Selama proses pembinaan, aku diwajibkan berjalan kaki ke stasi. Lagi pula jaraknya juga tidak terlalu jauh, sekitar empat kilometer saja. Hanya saja, tikungan di sebuah perbatasan membuatku sedikit dongkol. Tikungan yang terkenal jorok, bau amis, dan menjijikkan. Lalat-lalat akan mampir bila kita melintas. Itu tempat pembuangan sampah-sampah kiriman dari beberapa sudut kota. Di tempat itulah kala mataku tepat memandangnya. Dia tampak asyik bersama temanteman separuh baya. Beberapa duduk di atas tumpukan sampah yang terpanggang sinar matahari. Mungkin mereka sedang menunggu kiriman rezeki tiba dari mulut bak mobil petugas kebersihan. Kuputuskan berhenti sejenak di bibir jalanan. Pandangan kufokuskan melihatnya. Sayang, gadis kecil itu langsung beranjak pergi ke seberang sambil membawa karung goni. Entahlah, dia menyingkir karena melihatku atau sudah lelah mengais sampah. Tergesa-gesa dia pergi berteduh ke bawah pohon kemiri. Di sana, didapatinya beberapa orang yang sedang berteduh. Ada juga sedang memilah-milah barang-barang rongsok yang bagi mereka adalah suatu berkah. Penasaran semakin muncul dalam pikiranku. “Pak, gadis kecil tadi siapa ya,” tanyaku pada seorang bapak yang duduk menunggu kiriman di atas tumpukan sampah plastik. Asap

rokoknya mengepul. Mungkin rokok hasil pulungan. “Gadis yang mana, Dek?” “Itu, gadis kecil di seberang,” jelasku sambil menunjuk ke arah pohon kemiri “Ohh.. dia Maria, pemulung termuda di sini. Sudah sejak dua tahun lalu dia ditinggal ayahnya. Ayahnya meninggal, kata dokter sakit paru-paru. Udara di sini memang bau busuk, sampai paru-paru bisa ikut-ikutan busuk. Ayahnya dulu teman saya memulung. Kasihan, tubuhnya kini semakin tidak terawat. Ada niat untuk menampungnya, tapi makan saya saja terancam, tidur tak jelas di mana.” “Jadi, bapak tahu tempat dia tinggal sekarang?” “Hohoho, saya juga tidak tahu. Seingatku, tempat tinggal mereka yang lama sudah habis kontrak. Aku menghela nafas sejenak. Ada rasa iba yang begitu kuat muncul. Terdengar suara klakson dari balik tikungan. Beberapa orang di sekitar mulai beranjak berdiri. Dari balik tikungan muncul sebuah truk kuning petugas kebersihan. Terlihat luapan semangat mereka menanti barang-barang yang mungkin masih bernilai. Tidak ingin mengganggu keasyikan mereka, segera aku beranjak melanjutkan perjalanan ke stasi. Senja tadi, selimut awan kelabu sangat menyesakkan di atas langit. Awan pekat itu berarak ke sana kemari, lewat tanpa janji menumpahkan hujan. Seperti biasa, gadis kecil datang lagi ke gua maria.

Karung-karung berisi beberapa botol minuman plastik atau kaleng bekas hasil pulungan ditaruh di sekitar gerbang. Letaknya agak masuk ke parit, agar sedikit tersembunyi, takut diambil orang atau dikais burung-burung pencari remah-remah. Pelan, dia berjalan menuju gua maria. Kayu kecil tidak lupa diapit telapak tangan. Dari balik jendela, aku mencoba mengamatinya. Tampak dia mengeluarkan sesuatu dari saku. Mungkin rosario atau apa, tak jelas kusaksikan. Di depan Bunda Penyayang itu, kepalanya ditundukkan. Agak samar, tampak dia seperti mengusap wajahnya dengan lengan baju kusutnya. Tubuh mungilnya sebenarnya enak dipandang, namun perawakannya menumbuhkan rasa iba yang mendalam. Kepalanya kembali didongakkan. Arca dipandangi saksama selang beberapa menit. Seperti biasa, lekas dia pulang menyusuri pintu keluar biara. Pagi ini hari Minggu. Seperti biasa, aku akan membuka kotak intensi di sebelah arca maria. Ini adalah sarana bagi para peziarah yang datang untuk menyampaikan ujud-ujud doanya. Syahdan intensi-intensi itu akan dipersembahkan imam dalam ekaristi kudus. Bunda Maria memang banyak menarik hati umat. Tak mengherankan, di dalam kotak itu biasanya akan terdapat puluhan lembaran kertas berisi intensi. Jenis intensinya bermacam-macam. Terkadang dibungkus dalam amplop disertai beberapa lem-

21 | Lentera news - ed Desember 2016


bar uang kertas tanda syukur. Uang recehan juga, walau terhitung jarang. Setelah kubuka, di dalamnya tersua beberapa surat dan amplop. Namun, ada satu surat yang menarik minatku. Surat yang agak berbeda, tidak beramplop dan lusuh. Hati tertarik menelisik isinya. Hati begitu tertegun begitu selesai membaca isi surat kecil ini. Bunda Maria, hari ini kau melahirkan Putra kesayanganmu Tapi sampai kapan Dia berlaku adil, tidak hanya mengirimkan Sinterklas, membagi-bagikan hadiah natal yang indah bagi anak-anak kecil pengikut Yesus sedang anak-anak yatim dan fakir kau biarkan dalam pengharapan Atau katakan saja Dia tidak punya uang untuk membeli hingga aku berhenti, mengadumu lewat pintu hati “Ohh.. ya ya ya, aku ingat. Ini pasti milik gadis mungil itu.” Tanpa menunggu lama, aku langsung menemui pater guardian. “Pater, ini surat intensi dari kotak samping gua Maria. “Ohh ya, sini. Terima kasih, ya.” “Saya juga temukan surat ini. Hati saya tersentuh membacanya” Pater guardian mulai membaca dan meniliik makna isi surat. Sambil mengelus kepala shaolinnya, dia mengangguk pelan.”

Lentera news - ed Desember 2016 | 22

“Kamu tahu pemilik surat ini?” “Itu milik gadis kecil yang sering berdoa ke sini. Gadis kecil bermata sayu itu. Dia seorang pemulung. Aku melihatnya kala perjalanan mengajar asmika. “Bagaimana kalau kita berikan saja dia sebuah bingkisan natal. Kamu bisa memberinya pada saat mengajar asmika.” “Usul yang bagus, Pater,” sahutku bersemangat. Dalam pikiranku, telah terbayang ekspresi kegembiraannya menerima bingkisan itu. Mungkin dia akan melonjak kegirangan. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di hati. Muncul rasa ketidaktegaan melihatnya kegirangan. Aku kadang tidak bersyukur dengan apa yang kumiliki. Sungguh akan pedih dan memilukan melihat gadis kecil itu tersenyum bahagia hanya kerena mendapat sebuah bingkisan. “Bagaimana kalau kita letakkan saja di samping arca Maria. Aku yakin dia akan ke sini nanti sore,” Pater guardian tersenyum dan mengangguk mengerti tanda setuju. “Pilihan bijaksana,” tandasnya. Sore ini, gadis pemulung itu datang lagi. Seperti biasa dia menepikan karung-karungnya dan mulai pergi berkeluh. Seusai berdoa, terdengar suara melonjak kegirangan. Suara yang begitu memilukan. Mata dan hati tak tega melihatnya. Ada bing-

kisan untuknya, bingkisan dari sang Bunda yang akhirnya mengabulkan doanya. Hati gadis polos itu berbunga-bunga. Dia melompat-lompat sembari mencium dan mendekap erat bingkisan. Lalu gadis kecil itu berjalan agak terseok-seok memikul beberapa karung pulungan. Aku hanya ternganga, menatap sosoknya yang membelah hawa senja. Punggungnya tersapu samar mendung yang semakin temaram. Sepasang sandal mengiringi langkahnya. Dari kejauhan, langkah anak itu sesekali tersaruk-saruk akibat sandal yang tidak berpasangan. Langit mendung berganti rupa menjadi rintik yang membasahi sore. Kucoba menguatkan kelopak mata, menahan air mata yang seiringan hendak jatuh. Dia pulang bergegas, entah ke mana, karena setahuku pemulung seperti dia tidak punya rumah menetap. “Selamat natal, Maria,” gumanku lirih.

Postulat Kapusin, Nagahuta, Oktober 2016 Suhendro Afandi Purba


Jeda

23 | Lentera news - ed Desember 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.