5 minute read

Multi Kampus dan Konsiderasi Mengenai Akreditasi

Next Article
Bye-Bye, Bukabike

Bye-Bye, Bukabike

oleh Hanzel dan Rhea

Sistem multi kampus muncul ke dalam realita sejak adanya kesepakatan untuk merentangkan jangkauan yang lebih jauh ke tanah Jatinangor. Sebanyak 29 hektar tanah Ganesha dinilai belum cukup untuk menaungi jumlah para pembelajar, pun untuk memupuk pengembangan program-program studi baru yang dirasa sudah dibutuhkan di tengah perkembangan tantangan dunia. Akhirnya, jawaban yang dipilih terhadap problema tersebut adalah sistem multi kampus. Ada harapan untuk mempertahankan, bahkan menegaskan relevansi ITB dengan sistem tersebut. Locally relevant, globally respected. Frasa tersebut dapat terwujud lebih nyata dengan adanya sistem multi kampus sebagai salah satu motor penggerak, begitulah keyakinan Bapak Muhamad Abduh selaku Wakil Rektor Keuangan, Perencanaan, dan Pengembangan ITB periode 2020 - 2025. Meskipun demikian, solusi tersebut bukan serta-merta menjadi ujung masalah, melainkan dikecap sebagai pencetus polemik yang baru bagi beberapa kalangan. Kelahiran program-program studi baru berarti memulai segalanya dari nol, salah satu diantaranya akreditasi. Lantas, bagaimana dengan program-program studi yang belum mendapatkan akreditasi yang setara dengan prestise ITB yang begitu diagung-agungkan, dan bagaimana dengan nasib mahasiswa-mahasiswanya? Apakah hal tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang oleh ITB sebelum mengambil keputusan tersebut?

Advertisement

Dasar Pemilihan Lokasi Multi Kampus dan Kualitas Fasilitas

Dalam pencarian jawaban mengenai pandangan ITB mengenai akreditasi, muncul pertanyaan lain: apa saja yang mendasari pemilihan lokasi multi kampus? Bukan suatu rahasia bahwa ada keterkaitan antara lokasi dan lingkungan dengan performa akademik, sehingga memungkinkan spekulasi bahwa pemilihan lokasi dipengaruhi oleh aspek tersebut. Meskipun demikian, pemilihan lokasi bukanlah perihal yang mudah seper

ti yang dikira. Salah satu hal yang dapat mempengaruhi yaitu opportunity. Jatinangor, misalnya, sudah “jadi” dan matang untuk dijadikan “cabang” ITB, sehingga keputusan untuk mengambil opportunity tersebut tidaklah salah, selagi lokasi tersebut bisa memenuhi hal yang diharapkan tadi: peningkatan kuantitas (karena kuantitas juga penting selain kualitas), yang juga akhirnya dapat memperbesar banyak peluang, salah satu diantaranya melahirkan program-program studi baru.

Pertimbangan-pertimbangan lain selain opportunity juga ada, yaitu pencarian akan lokasi yang “tepat”, yang menurut Pak Abduh telah diterapkan saat ITB “memilih” Cirebon sebagai wilayah kampus yang lain. Kata “tepat” di sini bisa berarti sesuai secara geologis, tanah, air, lingkungan sekitarnya, dan lain-lain. Selain aspek geologis, ada aspek-aspek lain seperti masalah teknis, sosial, politik, sampai ke masalah kepemilikan. Pak Abduh menganggap bahwa pemilihan lokasi sudah pasti mengutamakan “yang terbaik” dari segala aspek secara kolektif.

Berkaitan dengan fasilitas, menurut Pak Abduh, Jatinangor sudah cukup nyaman dengan adanya fasilitas-fasilitas seperti kantin, tempat olahraga, dan lain-lain. Salah satu hal yang patut dibanggakan adalah sudah mulai terbangunnya atmosfer akademik di Jatinangor, yang memang mustahil bisa terbentuk dalam waktu singkat. Perkembangan atmosfer akademik me

merlukan waktu, dan pastinya secara bertahap. Oleh karena itulah, sebaiknya pun tidak ada ekspektasi yang terlalu tinggi akan kampus Cirebon yang baru akan dibuka. Akan lebih baik apabila prosesnya dinikmati, karena kita sedang membangun, dan itulah hal yang terpenting. Pada akhirnya, pencapaian yang baik akan dihasilkan apabila semua pihak berkontribusi.

Bagaimana Akreditasi Program Studi Multi Kampus?

Saat ini, ada suatu pencapaian yang dapat dibanggakan, yaitu bahwa semua program studi S1 ITB yang terdapat di Kampus Ganesha sudah terakreditasi A oleh BAN-PT. Meski demikian, program-program studi yang terletak di kampus lain (non-Ganesha) belum bernasib sama, misalnya Rekayasa Infrastruktur Lingkungan (FTSL-J), dan Teknik Pangan (FTI-J). Lantas, muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya kepedulian ITB mengenai akreditasi prodi-prodi di luar kampus Ganesha yang belum bisa mencapai akreditasi “A” seperti prodi-prodi pendahulunya?

Akreditasi bukanlah hal yang paling diprioritaskan dalam program studi baru. Pak Abduh menegaskan bahwa pembukaan prodi baru akan lebih banyak difokuskan dalam sisi substansi. Program studi yang dibentuk harus relevan dengan kebutuhan sekarang serta memiliki sistem yang terstruktur agar semua sumber daya dapat berkiprah di kancah global. Sudah merupakan risiko yang tidak terelakkan bahwa apabila suatu universitas/institusi pendidikan membuka program studi baru, akreditasi tidak akan bagus dalam waktu sekejap. Pada akhirnya, semua membutuhkan proses, sebuah pematangan membutuhkan waktu yang memadai, barulah akreditasi yang baik bisa tersematkan bagi program studi tersebut.

Oleh karena itu, tidak perlu ada keraguan untuk membuka program studi baru apabila substansinya memang dibutuhkan, karena akreditasi bukan menjadi penghalang di awal, melainkan suatu pencapaian di akhir, yang harus diperoleh nantinya setelah ‘pematangan’ program studi yang baru tersebut selesai. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga menyatakan bahwa akreditasi tidak lagi penting dan hanya bersifat voluntary. Kualitas pendidikan tidak lagi diukur dengan jumlah dosen bergelar doktor, jumlah sitasi dalam penelitian, maupun jumlah kursi.

Meski menganggap akreditasi belum terlalu penting ketika membangun di awal, masalah akreditasi tentu tidak akan dilewatkan begitu saja oleh ITB. ITB akan terus berupaya untuk meningkatkan kualitasnya, dan akreditasi bisa dibilang hanya sekadar ‘bonus’. Hal ini tidak sulit dipercaya, karena nyatanya, saat ini SITH-R

pun sudah memenangi akreditasi A untuk 2 prodi yang terbilang baru, yaitu Rekayasa Hayati dan Rekayasa Pertanian. Pencapaian ini memunculkan harapan dan kepercayaan bahwa akreditasi yang belum seimbang salah satunya dipengaruhi oleh waktu. Pada dasarnya, sudah merupakan misi ITB untuk terus melangkah menuju kemajuan, dengan perseverasi untuk terus meningkatkan mutu. Senada dengan fasilitas dan atmosfer akademik, seiring berjalannya waktu, akreditasi akan terus ditingkatkan agar dapat mengimbangi akreditasi prodi-prodi yang sudah berdiri sebelumnya.

Lalu, bagaimana dengan kecemasan para mahasiswa yang harus berkuliah di prodi-prodi baru ITB yang belum terakreditasi sebaik program studi pendahulu? Menurut Pak Abduh, perihal demikian adalah suatu konsekuensi yang memang harus dikecap oleh mahasiswa yang telah menetapkan pilihan untuk memilih prodi-prodi tersebut. Apabila memang tidak ingin mengenyam pendidikan dari program studi yang ‘hanya’ terakreditasi B atau kurang, akan lebih bijak bila sejak awal mahasiswa tersebut mencari alternatif lain.

Berkaitan dengan permasalahan “kuliah di prodi-prodi yang belum terakreditasi dengan baik”, perlu kita cermati pula bahwa sebaiknya ada sosialisasi yang baik mengenai akreditasi prodi-prodi ITB. Perlu dijelaskan secara lebih rinci mengenai perbedaan mendasar multi kampus ITB, terutama akreditasi, sehingga pilihan calon-calon mahasiswa menjadi lebih mantap dan tidak perlu disesali. Bukannya tidak mungkin ada beberapa calon mahasiswa yang kurang memahami perihal kata “Ganesha”, “Jatinangor”, dan “Cirebon” ketika memilih fakultas saat mendaftar, dan mereka tidak mengetahui perbedaan yang ada mengenai akreditasi ini. Oleh karena itu, penyebarluasan informasi yang tepat guna, dalam hal ini termasuk akreditasi, amat dibutuhkan pula saat memperkenalkan prodi-prodi ITB.

Fasilitas pendidikan, atmosfer akademik, hingga aspek administratif seperti akreditasi memang tidak dibangun dalam semalam. Perlu waktu dan proses bertahap untuk mencapai level yang sepatutnya bagi ITB. ITB memiliki penjamin mutu. ITB harus dan pasti akan terus maju. 100 tahun bukanlah masa yang sebentar. Selama itu pula, ITB terus berkembang hingga konsisten hadir sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik bangsa, harapan untuk kemajuan bangsa. Multi kampus pun menjadi salah satu roda penggerak kemajuan, oleh karena itu ITB tak henti-hentinya mencari the whole system yang tepat dan efisien, agar bisa mencapai relevansi dan kehormatan yang sesuai.

This article is from: