6 minute read

Menyoal Hukum Omnibus vs Coronavirus: Pemerintah Harus Becus

Oleh: Zahra Annisa Fitri

Sejak akhir 2019, istilah “hukum omnibus” atau “omnibus law” semakin populer di Indonesia setelah disebut dalam pidato Presiden Joko Widodo. Presiden mengungkapkan hukum omnibus mampu menyederhanakan kendala regulasi yang dianggap berbelit dan panjang . Hal tersebut dimungkinkan karena hukum omnibus sendiri bersifat lintas sektor sehingga disebut pula sebagai aturan sapu jagat. Singkatnya, hukum omnibus akhirnya dilirik agar dapat dilakukan perubahan pada banyak undang-undang sekaligus.

Advertisement

Saat ini, hukum omnibus yang akan diusulkan di antaranya adalah Omnibus Law Perpajakan, Omnibus Law Ibu Kota Negara, dan—yang paling kontroversial—Omnibus Law Cipta Kerja. Omnibus Law Cipta Kerja menimbulkan polemik karena aturan-aturan yang telah ada dianggap disederhanakan dengan cara menghapus pasal-pasal yang penting serta mengabaikan detail yang krusial. Akibatnya, yang muncul bukan hanya ancaman akan adanya penindasan buruh , melainkan pula sulit terpenuhinya hak atas lingkungan hidup hingga terganggunya kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia .

Sejatinya, hukum omnibus hanyalah metode untuk mengganti dan/atau mencabut undang-undang. Setiap metode tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Meskipun hukum omnibus dapat menjadi solusi terhadap tumpang tindihnya regulasi di Indonesia, penyusunan hukum omnibus sangat mahal dan kompleks karena muatannya yang multisektor . Di sisi lain, jika hukum omnibus berhasil disahkan, akan ada satu peraturan raksasa yang mampu memangkas regulasi yang tidak efisien serta satu payung hukum yang mampu menjamin dan menjadi standar bagi regulasi-regulasi di bawahnya.

Sebelum disahkan, hukum omnibus harus direncanakan dengan cermat. Guru Besar Hukum Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Maria Farida menyatakan sedikitnya ada lima hal yang perlu diperhatikan terkait perencanaan hukum omnibus. Salah satunya adalah pemenuhan asas partisipasi masyarakat, keterbukaan, dan kehati-hatian .

Sayangnya, Coronavirus yang berkunjung tiba-tiba ke Indonesia sangat memungkinkan asas-asas tersebut tidak terpenuhi. Pandemi akibat Coronavirus kemudian memberikan dampak multidimensi, terutama pada bidang ekonomi. Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri bahkan menilai krisis ekonomi akibat pandemi lebih parah daripada krisis 1998. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam perencanaan hukum omnibus akan lebih sulit diperoleh karena masyarakat cenderung fokus berusaha menyambung hidup di tengah krisis ekonomi. Selain itu, asas keterbukaan juga tampaknya belum terpenuhi mengingat Indonesian Corruption Watch menduga ada pelanggaran dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik .

Sementara itu, asas kehati-hatian juga terlihat mengabur. Kendati Ketua DPR Puan Maharani menyatakan hukum omnibus tidak perlu buru-buru diselesaikan, pengadaan pembahasan hukum omnibus semasa reses dituding seperti mengejar target. Padahal, untuk mewujudkan asas kehati-hatian, semestinya hukum omnibus disahkan tidak secara tergesa-gesa. Sebaliknya, masukan dan pendapat rakyat harus dicari, apalagi di tengah situasi pandemi yang menyebabkan masyarakat mungkin tidak sempat memikirkan persoalan regulasi negara.

Padahal, hukum omnibus adalah regulasi negara dengan dampak yang luar biasa. Jika disusun dengan tepat, hukum omnibus dapat menjadi pemulih krisis pascapandemi . Salah satu contoh implementasi idealnya adalah melalui Omnibus Law Cipta Kerja, jika berhasil disahkan. Adanya hukum omnibus tersebut dapat me

narik minat investor untuk berinvestasi karena kepastian hukum untuk investasi sudah lebih jelas. Hal ini dapat menjadi langkah pemulihan ekonomi yang baik bagi Indonesia.

Sebaliknya, jika hukum omnibus disahkan tanpa penyusunan yang matang, negara akan menanggung kerugian yang berlipat ganda. Sudahlah biaya yang dihabiskan tidak sedikit, penyusunan yang tidak matang juga hanya menghasilkan produk hukum yang cacat. Kecacatan tersebut kemudian menyebabkan hukum omnibus tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, bahkan bisa saja membutuhkan perbaikan melalui uji materi oleh Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, sisi efisien hukum omnibus—yang sebelumnya dibangga-banggakan—akhirnya terampas. Pengesahan hukum omnibus yang tidak matang bisa berakhir pada penyia-nyiaan anggaran, padahal ancaman Coronavirus juga menagih anggaran besar untuk mengatasi krisis multidimensi yang ditimbulkan, terutama dalam mengatasi lesunya konsumsi dan daya beli masyarakat.

Indonesia ibarat tengah bertaruh menggunakan hukum omnibus. Jika memang Pemerintah tidak sanggup menyelesaikan hukum omnibus bersamaan dengan menangani pandemi, tidak ada salahnya untuk mengambil langkah aman dengan mengutamakan penanganan Coronavirus, “musuh mikro” yang sudah jelas sedang meneror 270 juta rakyat Indonesia. Akan tetapi, jika hukum omnibus benar-benar tidak bisa ditunda, Pemerintah mesti sanggup menggunakan anggaran negara secara tepat sehingga menghasilkan output yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan.

Terdapat peribahasa “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”. Saat ini, Indonesia memiliki peluang emas melakukannya, yaitu dengan mengesahkan hukum omnibus yang dapat membantu penanganan Coronavirus. Hanya saja, penyusunan hukum omnibus tersebut harus benar-benar serius. Pemerintah harus becus; jangan sampai (lagi-lagi) hanya menghadirkan sirkus. Rakyat tidak sedang ingin tertawa di tengah pandemi; rakyat berada di antara hidup dan mati.

Apoteker = tukang laundry?!

oleh: Gabriella Yovanda

Keluarnya PMK No. 3 tahun 2020 telah menggemparkan dunia farmasi. Dalam peraturan Menkes tersebut, disebutkan pada Pasal 7 ayat 2 “(2) Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: a. Pelayanan medik dan penunjang medik; b. Pelayanan keperawatan dan kebidanan; c.Pelayanan nonmedik” lalu Pasal 10 menyatakan “Pelayanan nonmedik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c terdiri atas pelayanan farmasi, pelayanan laundry/ binatu, pengolahan makanan/gizi, pemeliharaan sarana prasarana dan alat kesehatan, informasi dan komunikasi, pemulasaran jenazah, dan pelayanan nonmedik lainnya”. Dilihat dari penggalan pasal ini, jelas terlihat bahwa peran farmasis disetarakan dengan pelayanan nonmedik seperti pelayanan laundry/ binatu. Hal ini dinilai merugikan para tenaga farmasis yang bekerja di rumah sakit juga dikhawatirkan dapat mempengaruhi kualitas pelayanan dan mutu pengelolaan sediaan farmasi di RS. Munculnya peraturan ini, memicu berbagai reaksi maupun aksi dari tenaga farmasi. Terdapat beberapa aksi yang secara langsung dilakukan seperti unjuk rasa puluhan apoteker di Purwokerto dalam menolak peraturan terbaru

ini. Selain itu, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengirimkan surat kepada Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk usulan revisi PMK No. 3 tahun 2020 ini.

Sekolah Farmasi ITB juga turut menanggapi permasalahan ini dengan menyampaikan keprihatinan akan perubahan peraturan menkes mengenai peran pelayanan farmasi melalui akun resmi media sosialnya. Salah satu dosen Sekolah Farmasi ITB, Bhekti Pratiwi, mengaku terkejut akan adanya perubahan ini. Beliau melihat permasalahan ini dari beberapa sisi, yaitu dari definisi pelayanan medis dan dari pekerjaan kefarmasian. “Jika dilihat dari definisi pelayanan medis tentu pelayanan obat-obatan yang menjadi pekerjaan kefarmasian masuk ke dalam pelayanan medis. Pekerjaan kefarmasian dibagi menjadi dua ada pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang menjamin ketersediaan sediaan farmasi dari mulai perencanaan, pengadaan, distribusi, sampai ke dokumentasi atau pelaporan serta pekerjaan terkait dengan farmasi klinik mencakup pemberian informasi obat, konseling pasien, visit, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping obat, dan masih ada beberapa hal lain. Jika kita lihat semua pekerjaan kefarmasian tentunya sangat erat kaitannya dengan proses pengobatan pasien, jadi memang posisinya tepatnya di bagian pelayanan medis”, ujarnya. Meskipun demikian, menurutnya, adanya permenkes yang mengalihfungsikan peran pelayanan farmasi, tidak akan mengubah pekerjaan kefarmasian sehingga pekerjaan kefarmasian tetap harus dijalankan dengan paripurna. Selain itu, hal ini juga bisa dijadikan sebagai suatu bahan evaluasi agar kualitas tenaga farmasi dalam menjalankan tugasnya harus lebih ditingkatkan agar tidak dipandang sebelah mata. Beliau juga menyetujui tindakan PP IAI yang mengkritisi keputusan Menteri tersebut dan tetap menyuarakan peran profesi farmasi dengan memberikan solusinya. Dari hal ini, bisa dikatakan bahwa tenaga farmasi tidak diam saja ketika profesinya dipindahkan. Beliau mengharapkan tindakan IAI yang sudah tepat ini, dapat didengarkan dan dikaji ulang oleh pemerintah.

Tindakan yang telah dilakukan IAI telah mencerminkan bahwa tenaga kefarmasian juga tidak tinggal diam menanggapi perubahan peran ini. Bukan semata dilakukan untuk mempertahankan jabatan atau kedudukan, namun ini semua dilakukan agar terdapat kesetaraan peran tenaga kesehatan. Apabila tercapai kesetaraan ini, niscaya terwujud kerjasama yang sinergis antar tenaga kesehatan. Kerjasama yang sinergis dapat meningkatkan taraf kesehatan Indonesia.

This article is from: