6 minute read

Menuju Pemilihan Presiden A.S 2020: Mengenal para Kandidat dan Dampaknya

Next Article
Seabad lamanya

Seabad lamanya

Menuju Pemilihan Presiden A.S 2020: Mengenal para Kandidat dan Dampaknya bagi Dunia

oleh: Rizky Ramdany H. dan William Chang

Advertisement

Sebagian besar orang tidak akan lupa dengan Pemilihan Presiden A.S. empat tahun lalu. Sementara rakyat Amerika harus memilih di antara “yang lebih tidak buruk”, seluruh dunia sibuk memikirkan dan memperkirakan pengaruh yang akan dibawa calon presiden saat itu kepada negara masing-masing. Tidak terasa beberapa bulan lagi, tepatnya pada November 2020, pemilihan presiden A.S. akan kembali dilaksanakan. Kali ini, apakah rakyat Amerika harus kembali sekadar memilih di antara “yang lebih tidak buruk”, dan apakah Pilpres A.S. nantinya tetap memiliki dampak global sebesar yang lalu, khususnya bagi Indonesia?

Mengenal Para Kandidat

Pada saat penulisan artikel ini, setidaknya ada dua tokoh yang masing-masing menjadi kandidat kuat pada Pilpres A.S. 2020, yaitu Joe Biden dari Demokrat, dan Donald Trump dari Republikan. Sebelumnya, Joe Biden berhasil menjadi kandidat terpilih

dari Demokrat setelah berhasil menggusur kompetitor separtai, Bernie Sanders. Meskipun Sanders memiliki kubu pendukung yang cukup solid dan exist di media sosial, banyak kebijakannya dinilai terlalu progresif dan memakan banyak biaya (atau pajak). Kebijakan-kebijakan Sanders memang populer di kalangan pemuda Amerika, tapi tidak terlalu diterima oleh golongan tua. Selain itu, popularitas Biden sebagai wakil presiden di bawah Obama (serta pengalamannya sebagai senator daerah selama tujuh masa jabatan) juga menjadi salah satu faktor kemenangannya.

Di sisi lain, Donald Trump memiliki sekelompok orang di Republikan yang loyal mendukungnya. Akan tetapi, tidak ada yang menyangkal bahwa popularitasnya kian menurun belakangan karena telatnya penanganan pemerintahannya terhadap COVID-19. Hal itu semakin banyak dibahas setelah beredar kabar bahwa sejak akhir Januari, Peter Navarro, penasehat ekonomi Gedung Putih, sebenarnya sudah mengabarkan Trump mengenai perkiraan dampak COVID-19 pada A.S. (yaitu kematian setengah juta warga Amerika—yang kemudian angkanya terus naik pada pekan-pekan berikutnya). Citra inkompetensi Trump terus meningkat setelah beberapa blunder yang ia lakukan, mulai dari menyebut alternatif pencegahan COVID-19 dengan menyuntikkan disinfektan ke dalam tubuh, sampai menolak menggunakan masker meskipun beberapa staf Gedung Putih sudah positif terkena COVID.

Meskipun Trump dianggap kekanak-kanakan oleh banyak orang, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak rakyat Amerika menganggap sosoknya sentral dalam konflik

A.S.-China. Sejak tahun 2000an awal, persentase rakyat Amerika yang merasa bahwa China adalah sebuah ancaman bagi kedudukan superpower A.S. memang terus meningkat tiap tahunnya. Akan tetapi, meningkatnya intensitas perang dagang pada tahun 2019 (masih ingatkah pada masa ketika perangkat Huawei tidak boleh lagi menggunakan Android?) dan tidak transparannya China dalam penanganan COVID-19 menjadi katalis yang membuat semakin banyak rakyat A.S. yang “benci” terhadap China. Dengan sikap tegas Trump yang bahkan berani menghentikan pendanaan kepada WHO, yang dianggap terlalu China-sentris dalam penanganan COVID, Trump telah menjadi ikon anti-China yang “dipuja” oleh masyarakat A.S. Mungkin saja “blunder” yang Trump lakukan ketika menyebut Coronavirus sebagai “Chinese Virus” bukanlah sebuah kesalahan, melainkan agenda politik yang sudah direncanakan.

A.S., Iran, dan Indonesia

Beberapa bulan sebelum isu COVID-19 mengglobal, Trump juga telah menarik perhatian internasional dengan meluncurkan serangan militer terhadap Iran yang akhirnya membunuh Qasem Soleimani, pemimpin Angkatan Militer Quds, Jumat pagi (3/1/2020). Trump beralasan bahwa serangan ini dilakukan tanpa alasan melainkan untuk menjaga perdamaian dan dengan dalih bahwa Qasem Soleimani merencanakan serangan terhadap warga Amerika Serikat. Konflik ini bukan hanya merugikan Iran atau bahkan Amerika Serikat tapi juga terhadap seluruh negara termasuk Indonesia, kenapa demikian?

Konflik AS-Iran adalah salah satu dari rentetan konflik yang terjadi di Timur Tengah, konflik-konflik ini tak jarang menimbulkan kenaikan harga minyak mengingat negara-negara Timur Tengah merupakan produsen minyak, sedangkan minyak sendiri merupakan bahan bakar yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia, contohnya di Indonesia sendiri, mengacu pada data SKK Migas konsumsi minyak bumi Indonesia pada 2015 sebesar 1,592 juta barel per hari dan meningkat pada 2016 naik menjadi 1,615 juta barel per hari. Hal ini menunjukkan bahwa melambungnya harga minyak akibat konflik di Timur Tengah dapat berakibat serius terhadap perekonomian Indonesia.

Banyak opini yang berkembang hingga saat ini, seperti ada yang berpendapat bahwa jika terjadi “perang dunia ketiga” atau konflik global, Indonesia akan merapat ke kubu Rusia & China hal ini diperkuat dengan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini dimana Indonesia menggugat Uni Eropa ke WTO (World Trade Organization) terkait kebijakan Renewable Energy Directive II (RED

II) dan Delegated Regulation UE, karena dianggap ‘mendiskriminasi’ minyak sawit Indonesia yang dapat berimbas pada ekspor minyak sawit di pasar Uni Eropa, karenanya pada awal tahun 2020 pemerintah Indonesia mulai membalas UE dengan melakukan pelarangan ekspor bijih nikel per 1 januari 2020, UE pun balik menggugat Indonesia ke WTO terkait hal ini. Banyak yang beranggapan hal ini sebagai awal dari perang dagang Indonesia dengan Uni Eropa, walaupun kita tahu bahwa Uni Eropa beranggotakan negara-negara yang memiliki kelebihan dibanyak bidang daripada Indonesia namun jangan anggap remeh negara yang satu ini, kita juga tahu kelebihan Indonesia dibanding negara-negara di Uni Eropa yaitu SDA yang melimpah. Hal ini tak perlu kita perdebatkan lagi dengan bukti yang telah tertulis dalam sejarah bagaimana bangsa-bangsa Eropa menjajah Indonesia untuk mendapatkan SDA yang diperlukan untuk kebutuhan dagang mereka, walaupun mungkin zaman telah berubah dari yang berawal rempah-rempah beralih menjadi mineral-mineral hasil tambang.

Kita mungkin tidak lupa dengan perang dagang antara China dan Amerika yang mulai bisa mereda karena keduanya terserang oleh wabah COVID-19. Mungkin perang dunia ketiga bukanlah perang dengan senjata melainkan dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak lebih ampuh ketimbang senjata. Hal ini menjadi dasar opini bahwa Indonesia mungkin akan membangun kerjasama dengan Rusia dan China untuk melawan Uni eropa yang mana telah kita ketahui bahwa Uni Eropa memiliki kedekatan ‘khusus’ dengan Amerika Serikat. Namun apakah Indonesia akan melakukannya? Bagaimana jika kita berkaca pada sejarah dimana saat dunia terbagi kedalam dua kelompok, blok Barat dan blok Timur, Indonesia malah mencoba ‘menggabungkan’ negara-negara lain untuk membuat kelompok baru yang kita kenal dengan Konferensi Asia-Afrika dimana aksi ini berlanjut dan menjadi kekuatan baru yang kita kenal dengan sebutan Gerakan Non Blok.

Lalu bagaimana selanjutnya?

Untuk menyederhanakannya, peran figur baru A.S. serta kebijakan luar negerinya sangatlah berdampak pada bagaimana hubungan A.S. dan Timur Tengah akan berlanjut—yang tentunya akan sangat berdampak pada perekonomian dunia. Jika Trump terpilih kembali, banyak orang yang meragukan apakah kelak hubungan A.S. dan Iran akan pulih kembali. Meskipun, sebagian pengamat dan pendukung Trump tentu akan setuju bahwa “musuh” atau fokus terbesar A.S. untuk waktu dekat adalah China. Setidaknya, Biden kelihatannya tidak akan terlalu membahayakan lebih lagi hubungan A.S-Iran yang sudah retak itu. Biden sendiri sudah cukup

berpengalaman dengan menjadi bagian dari pemerintahan Obama yang berhasil menjalin kerjasama nuklir dengan Iran.

Dengan kondisi global yang sangat tidak stabil karena pandemi COVID-19, perlahan ketegangan antara Iran dengan A.S. kian redup. Kedua negara tersebut sekarang berada di daftar negara dengan penduduk positif COVID-19 terbanyak, dan sebagian anggaran negara mereka sudah dialihkan ke sektor kesehatan untuk menangani COVID-19. Di dalam kondisi ketidakpastian ini, bahkan tidak ada yang bisa yakin kalau Pilpres A.S. akan tetap berlangsung pada November 2020 nanti. Akan tetapi, apakah ketegangan A.S. dengan Iran akan hilang begitu saja setelah COVID-19 pergi? Bila tidak, akankah figur baru dalam pemerintahan A.S. dapat kembali menjalin perdamaian dengan Iran?

A.S., Iran, dan Indonesia Mengenal Para Kandidat

Lalu bagaimana selanjutnya?

This article is from: