7 minute read

Kehidupan Mahasiswa Multi Kampus

Next Article
Bye-Bye, Bukabike

Bye-Bye, Bukabike

Mahasiswa Multi Kampus Harus Bisa Multi Adaptasi

oleh Hafsah Restu dan Maria Kirana

Advertisement

Multi kampus adalah solusi yang dibawa ITB untuk mengembangkan ukuran kampusnya. Kampus Ganesha dirasa sudah sangat sesak dan jauh dari kondisi ideal dalam daya tampungnya, padahal ITB diharapkan oleh Gubernur Jawa Barat untuk memperbanyak SDM unggul. Dalam pelaksanaannya, multi kampus masih mengalami cukup banyak kendala, dan berdampak pula terhadap kehidupan mahasiswa di dalamnya. ITB Jatinangor memang terlihat sudah mulai ramai, namun dengan keadaan yang baru tersebut, bagaimanakah suasana kemahasiswaan di dalamnya? Di sisi lain, mahasiswa ITB kampus Cirebon yang selama ini “menumpang” di Jatinangor, pada bulan Agustus 2020 akan ditempatkan di kampus ITB Cirebon. Bagaimana kesiapan mereka?

ITB Jatinangor

Ekspektasi dan Realita

Sebelum menjalani perkuliahan di Jatinangor, mahasiswa ITB Jatinangor terlebih dahulu menjalani masa TPB mereka di kampus Ganesha. Untuk itu, muncul beberapa ekspektasi mahasiswa terhadap kampus Jatinangor. Lintang Purnomo Ajie, ketua HMPG ITB, yang saat ini menjalani tahun ketiga di kampus Jatinangor mengekspektasikan suasana kemahasiswaan yang tetap ramai, seperti halnya di kampus Ganesha. Selain itu, Lintang juga berekspektasi bahwa para mahasiswa disana tidak tertinggal kegiatan terpusat. Akan tetapi, realita yang terjadi tidak seluruhnya sesuai dengan ekspektasi tersebut. Kegiatan dari KM maupun UKM tidak sepadat di kampus Ganesha. Kemahasiswaan di Jatinangor masih sepi di awal kepindahan Lintang satu tahun lalu. Meskipun demikian, saat ini ITB Jatinangor perlahan mulai relatif ramai jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Selain memunculkan ekspektasi dan realita, kepindahan mahasiswa dari satu kampus ke cabang kampus yang lain juga memunculkan perbedaan mendasar yang dirasakan secara langsung oleh mahasiswa. Apabila di kampus Ganesha, mahasiswa ITB menjadi kaum mayoritas karena ke

tika mereka ke luar kampus, misalkan ke Jalan Dago, maka akan banyak ditemukan mahasiswa ITB lain disana. Berbeda halnya dengan di kampus Jatinangor. Ketika mahasiswa ITB Jatinangor bepergian ke luar kampus, misalkan ke pusat perbelanjaan atau tempat makan, mereka sama sekali tidak mengenal orang-orang yang ada di sana karena mayoritasnya adalah mahasiswa Universitas Padjajaran. Dalam hal ini, mahasiswa ITB Jatinangor dapat dikatakan sebagai minoritas, sehingga mereka merasa terasing dalam kondisi tersebut. Tak hanya itu, dengan area kampus yang sangat luas dan populasi mahasiswa yang sedikit, menjadikan kampus Jatinangor sangat sepi.

Menilik Sisi Lain

Sementara dalam hal akademik, perbedaan yang menonjol adalah terkait jadwal akademik. Secara umum, perkuliahan di ITB Ganesha berlangsung dari pukul 7 pagi hingga 5 sore. Sedangkan di ITB Jatinangor, sebagai contoh di Jurusan Teknik Pangan, kelas paling pagi dimulai pukul 8, pada umumnya pukul 9, dan diakhiri paling lambat pukul 4 sore, umumnya pukul 3 sore. Jadwal yang lebih singkat ini disebabkan oleh dosen pengajar diambil dari kampus Ganesha. Selanjutnya, terkait fasilitas akademik. Sebenarnya pihak ITB sudah mengusahakan penyediaan fasilitas semaksimal mungkin, namun karena program studi di Jatinangor masih baru, beberapa pe

ralatan laboratorium belum tersedia, sehingga praktikum harus dilakukan di Ganesha. Sebaliknya, ditinjau dari akses internet, wifi di ITB Jatinangor lebih kencang karena penggunanya sedikit.

Di sisi lain, kampus Jatinangor memberikan sisi positif bagi suasana belajar mahasiswa. Kondisinya yang sepi memungkinkan mereka untuk dapat belajar dengan lebih kondusif, tentram dan nyaman. Lingkungan asri, banyaknya pohon dan masih sedikitnya bangunan menjadi penghilang stres ketika mahasiswa ke luar kelas

Adaptasi

Perbedaan-perbedaan di atas mengakibatkan mahasiswa harus beradaptasi. Pertama, adaptasi lingkungan di luar kampus, kondisi di Jatinangor lebih menantang karena sepi dan tingkat kriminalitasnya tinggi. Kedua, adaptasi dengan fasilitas akademik, lebih ke permasalahan teknis, seperti banyak dosen yang terlambat. Ketiga, adaptasi kemahasiswaan yang mengharuskan beberapa mahasiswa rela bolak-balik Ganesha-Jatinangor untuk UKM maupun kepanitiaan. Keempat, adaptasi lingkungan di dalam kampus. “...di Jatinangor ini kekeluargaannya lebih dapet sih. Karena orangnya dikit, ketemunya sama dia-dia lagi di dalem kampus, jadi lebih akrab aja sama orang-orang Nangor.” jelas Lintang.

Asa untuk Kemahasiswaan

Kemahasiswaan di ITB Jatinangor paling banyak dilakukan oleh himpunan untuk massa himpunannya masing-masing. Sementara kolaborasi antarmasa ITB Jatinangor masih jarang dilakukan. Adapun kolaborasi terbesar yaitu OJAN/Olimpiade Jatinangor. Untuk kegiatan UKM, belum ada prosedur khusus untuk mewadahi mahasiswa multikampus sehingga mereka harus menyesuaikan diri dengan kegiatan di Ganesha.

Menanggapi isu multi kampus ini, urgensi yang harus dibenahi menurut mahasiswa yaitu terkait fasilitas akademik, terutama kegiatan praktikum. Lalu, terkait ketersediaan dosen yang sebaiknya ahli dalam bidang program studi, bukan induk program studi. Kemudian dari segi kemahasiswaan, yakni dalam upaya meramaikan kampus Jatinangor. Upaya yang dapat dilakukan mahasiswa diantaranya dengan mengadakan kegiatan pusat yang pelaksanaannya juga diadakan di Jatinangor serta membuat cabang unit. Adapun kendala yang mungkin dihadapi yaitu keterbatasan sumber daya manusia.

Mahasiswa berharap ITB Jatinangor semakin baik dari segi fasilitas akademik dan penunjang kemahasiswaannya. Minimal dapat memenuhi kebutuhan dasar mahasiswa. Selain itu, kegiatan kemahasiswaan

di Jatinangor juga lebih ramai, lebih berkarakter dan lebih relevan dengan massanya.

Ketika kita melihat kegelapan, jangan mengutuk kegelapan itu, tapi jadilah lilin yang menerangi di ruangan itu. Terkait isu multi kampus ini, Lintang berpesan kepada seluruh massa multi kampus ITB untuk tidak pernah merasa rendah diri ataupun kurang percaya diri, tetap semangat dalam berkemahasiswaan dan menjalaninya sepenanggungan bersama-sama.

ITB Cirebon

Apa yang Sama dan Berbeda

Tidak sedikit orang yang mempertanyakan kebijakan kampus ITB Cirebon, yang sudah memiliki mahasiswa namun belum kunjung tampak wujud kampusnya secara fisik. Walaupun mendapat tekanan tinggi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, eksistensi kampus ini baru mulai terangkat kembali tahun 2020, saat mahasiswa Cirebon angkatan 2018 dan 2019 diwacanakan akan dipindahkan dari Jatinangor ke Cirebon bulan Agustus 2020. Angkatan 2016 dan 2017 sendiri akan “menumpang” akreditasi dari kampus Ganesha, sedangkan angkatan 2018 dan 2019 akan memperoleh akreditasi baru, mengikuti akreditasi kampus ITB Cirebon. Setelah terjadinya pergantian kepengurusan kepada Bu Reini, ITB menyatakan bahwa mereka akan mengkaji ulang keputusan yang diambil pada kepengurusan sebelumnya dan mengusahakan penginformasiannya sebelum tahun ajaran baru dimulai.

Langkah HMP Komisariat

Perbedaan yang menarik dari ITB Cirebon dan ITB Jatinangor adalah jurusannya. Walaupun jurusan-jurusan di ITB Jatinangor sebagian bernaung di bawah fakultas yang sama dengan ITB Ganesha, program-program studi yang ditawarkannya berbeda. Sedangkan ITB Cirebon memiliki jurusan yang sama persis dengan Ganesha, seperti SAPPK-C yang memiliki jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), sama seperti Ganesha dalam hal kurikulum dan dosennya.

Persamaan jurusan ini lah yang membuat Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) di Cirebon tidak sepenuhnya bebas, karena adanya peraturan dari Menristekdikti bahwa satu prodi tidak boleh memiliki dua organisasi yang berbeda. Untuk menyikapi hal ini, salah satu HMJ yang memiliki cabang di Cirebon, Himpunan Mahasiswa Planologi (HMP), membuat kebijakan diadakannya badan khusus yang dinamakan HMP Komisariat, sebagai wadah mahasiswa PWK-C untuk berkemahasiswaan. HMP Komisariat memiliki hak dan kewajiban berbeda, dan memiliki badan yang berbeda. Anggota dan badan

pengurusnya memiliki tambahan kata “komisariat” dalam jabatannya, seperti Dewan Perwakilan Anggota (DPA) Komisariat dan Anggota Komisariat. Alasan lain yang mendasari PWK-C masih berada di bawah HMP yang sama adalah karena pembelajaran di kelas yang sama, pembelajaran di luar kelas pun haruslah demikian dalam hal perujukan profil yang sama dan penurunan nilai-nilai yang sama. Sehingga, output lulusan yang didapat tidak memiliki kesenjangan kualitas antara mahasiswa PWK-G dan PWK-C

Fokus utama HMP Komisariat adalah pemenuhan dasar kebutuhan para mahasiswanya, baik secara akademik maupun kejiwaannya. Membangun sistem yang sustain dan berkelanjutan menjadi masalah utama dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Baru setelah kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, mereka bisa benar-benar bermanfaat ke luar, untuk mewujudkan rencana menghidupkan kemahasiswaan, baik di kampus Jatinangor maupun kampus Cirebon, yang telah mereka buat. “Kita punya komitmen bahwa di mana pun kita berada, kita harus bisa ngeramein kampus,” kata Ketua HMP Komisariat.

Selain Himpunan Mahasiswa Ju

rusan, ITB Cirebon juga direncanakan memiliki empat Unit Kegiatan Mahasiswa dari setiap rumpun yang hanya ada secara legalitas karena adanya desakan dari Lembaga Kemahasiswaan. Keempat rumpun tersebut adalah pendidikan, seni dan budaya, agama, dan olahraga.

Asa untuk Kemahasiswaan

Harapan mahasiswa terhadap ITB-Cirebon adalah adanya perlindungan hak kepada mahasiswa ITB di Cirebon. Jangan sampai hak mereka untuk belajar, berkarya, dan berjuang itu tidak bisa terwujud karena ada proses-proses politis dari pihak atas, seperti masalah pembangunan kampus yang belum selesai dan pembelajaran di kelas yang tidak optimal karena kurangnya perencanaan. Untuk mahasiswa Cirebon angkatan selanjutnya, mereka diharapkan dapat memiliki karakter yang resilien

di tengah kondisi yang fluktuatif ini. Perubahan pola pikir sangat diperlukan karena mahasiswa Cirebon pada akhirnya bukan mahasiswa yang hanya mengikuti sistem yang sudah ada dan mengikuti arus, tapi mahasiswa Cirebon harus menjadi pencipta sistem. “Sehingga akhirnya (mahasiswa Cirebon) tidak lagi mengutuk-ngutuk kegelapan, tapi harapannya bisa mencari penerangan di antara kegelapan itu, dan memberikan penerangan kepada orang-orang lainnya,” kata Jedy.

This article is from: