3 minute read

Kencan: Canggih Hawari Widyas Kencono Utomo

Next Article
Bye-Bye, Bukabike

Bye-Bye, Bukabike

oleh Rahmah K. Nurdini dan Sekar Dianwidi B.

Memasuki tahun 2020, perebutan kursi kepemimpinan di berbagai tatanan organisasi Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali terjadi. Peristiwa itu pun turut terlaksana di Majelis Wali Amanat Wakil Mahasiswa (MWA

Advertisement

WM). Setelah melewati tiga minggu masa kampanye, sosok Canggih Hawari Widyas

Kencono Utomo akhirnya terpilih untuk melanjutkan perjuangan MWA WM periode 2020-2021.

Saat diberikan pertanyaan mengenai motivasinya saat mencalonkan diri sebagai ketua tim, Canggih menyampaikan kepada

Boulevard bahwa ia ingin menunjukkan eksistensi dirinya lewat berbagai akses dan potensi yang tersedia di ITB.

Melalui MWAWM,

ia rindu untuk membawa perubahan bagi Indonesia lewat sekecil apapun langkah yang dapat ia perbuat sekarang. Karya dan peninggalan yang dapat ia

kerjakan bersama rekan-rekan timnya akan menjadi bukti kerja kerasnya dalam mengejar keabadian yang ia dambakan.

Meskipun mimpi-mimpinya teramat besar, ternyata Canggih juga sempat ragu dirinya tidak layak untuk mengemban amanah mulia ini. Melalui sistem pemilihan yang diadakan, ia berpendapat bahwa secara praktis, setiap suara akan dihitung sama, baik yang mengetahui konten dan semangat yang ia bawa maupun tidak. Bahkan saat masa pemungutan suara, ia memutuskan untuk rehat sejenak dan menyerahkan semua hasilnya kepada Tuhan. “Aku sengaja menghilang dengan alasan tugas ke timku. Saat semua orang sedang sibuk-sibuknya mengajak untuk memilih. Tujuannya agar siapapun yang menang nanti memang adalah yang terbaik, tanpa ada sentuhan praktis tadi,” ucapnya.

Mengenai visi yang ia bawa, Canggih mengatakan bahwa ia ingin MWA WM bisa menjadi sebuah pondasi dari aspirasi seluruh mahasiswa ITB. Hal ini selaras dengan kata-kata yang ia tuliskan pada video deklarasi kemenangannya, “Aku berharap kita berkembang bersama dengan kampus kita. Mari bergerak bersama dengan kepedulian kita.” Canggih, beserta struktur MWA WM yang ia susun, berharap untuk bisa membangun sebuah relasi yang baik. Menurutnya, relasi bukan sekadar menjalin hubungan dan menyampaikan aspirasi, tetapi relasi yang ia mau adalah yang juga bisa membangun basis-basis gerakan bersama.

Namun karena MWA bersama rektorat ini masih terbilang baru, mahasiswa Teknik Kelautan 2016 itu merasa ada banyak gerakan yang belum bisa diketahui bagaimana tanggapannya dari rektorat. Dapat dikatakan bahwa kekuatan politis MWA WM ini masih lemah, baik dalam internal maupun eksternal ITB. “Akhirnya, kita tidak bisa memanfaatkan sumber daya yang dimiliki oleh ITB dengan maksimal sehingga pergerakan keluar oleh KM ITB pun tidak maksimal,” lanjutnya. Canggih kemudian memberi contoh gerakan sosial masyarakat yang dilakukan oleh KM ITB. Gerakan tersebut seharusnya bisa terintegrasi dengan riset dosen tetapi tidak akan bisa dilakukan jika belum mengenal para dosennya. Kemudian, karena kader MWA WM itu tidak ada, kemungkinan semangatnya turun itu kecil. Orang-orang yang ada di dalamnya rawan untuk tidak mendapatkan apa-apa karena programnya kurang tersusun dengan baik. Hanya mereka yang ingin mencari lebih yang akan mendapatkan pembelajaran yang lebih.

Berbicara tentang kesejahteraan mahasiswa, Canggih mengatakan bahwa MWA WM memiliki fokus pada empat aspek yang dianggap mendesak yaitu multi kampus Cirebon, mental

health, MoU, digitalisasi kampus, dan afirmasi. “Info lebih lanjut bisa diakses di bit. ly/BerjuangMengabadi,” tuturnya. Untuk program kerja mengenai kesejahteraan mahasiswa, MWA WM akan lebih banyak bergerak melalui langkah-langkah politis yang sesuai dengan MOST (Mission, Objectives, Strategies, Tactics).

Saat disinggung terkait isu kepekaan kampus terhadap kebutuhan mahasiswanya, Canggih merasa bahwa dalam hal kebutuhan dasar, ITB telah cukup peka. “Walaupun faktanya ITB butuh uang dan lain sebagainya, seperti layaknya kampus-kampus lain, kampus kita jauh lebih memikirkan mahasiswanya,” katanya. Ia mengambil contoh program beasiswa Bidikmisi, salah satu bantuan biaya pendidikan dari pemerintah. Melihat pelaksanaannya di kampus-kampus lain, penerima beasiswa masih diwajibkan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar 2,4 juta tiap semester. Tetapi, hal tersebut tidak terjadi di ITB. Canggih kemudian melanjutkan, “Kalau dari pemerintah memberikan uang 1 juta setiap bulannya, yang kalau di kampus lain tidak diberikan secara penuh. ITB memberikannya walaupun menggunakan nama lain, uang pembinaan.”

Kepekaan ITB ia rasa masih kurang direalisasikan dalam hal-hal yang bersifat gerakan-gerakan, khususnya pada titik di mana kampus merasa ditekan oleh pihak-pihak eksternal. Multi kampus Cirebon, aksi massa, dan beberapa posisi lainnya merupakan sedikit dari isu-isu penting yang seakan diabaikan keberlanjutannya oleh pihak ITB.

“Singkatnya aku bisa bilang kalau ITB ini sering sekali bermain aman dan dengan sikap itu, maka biasanya kita, mahasiswa, yang terdampak. Oleh karena itu, kita harus berjuang untuk meningkatkan daya tawar kita yang masih dianggap rendah,” ujarnya untuk menutup wawancara daring kami.

This article is from: