6 minute read

Manipol Vs Orba:‘Nasib Rock N’ Roll Di Dua Kutub Berbeda’

MANIPOL VS ORBA ‘NASIB ROCK N’ ROLL DI DUA KUTUB BERBEDA’

Agaknya musik selalu mejadi intrik para elit politik untuk melancarkan aneka macam kepentingan –termasuk menggalang dukungan. Riuh rendah persoalan di sekitar musik senantiasa mewarnai situasi politik pada zamannya masing-masing.

Advertisement

Jika Barack Obama tahun 2009 silam menggalang dukungan darisederetan musisi papan atas di negeri Paman Sam sana. Indonesia pun sama halnya. Fenomena demikian bisa kita lihat dari strategi salah satu Capres tahun 2014 lalu –tau lah siapa yang saya maksud- yang getol melakukan konsolidasi dengan musisi-musisi papan atas negeri ini (apakah strategi praktis nan cerdas ini akan berlanjut di 2019?). Namun akhirnya tak sedikit seorang fans mundur dan mereduksi rasa respek kepada si musisi yang telah di pujanya sejak lama, karena sikap kritis kepada pemegang pucuk kekuasaan telah luntur atau dengan kata lain idealisme si musisi telah terjual.

Apakah musik memang memiliki peran yang begitu penting? Hingga akhirnya masuk ke dalam medan yang lebih besar (baca: politik) yang (sama sekali?) tidak bertautan dengan hal-hal musikal.

8

Musik rock n’roll merupakan janin dari eksperimentasi musik blues yang selalu memukau bagi kaum muda yang terus berhasrat akan kebebasan. Barang tentu dalam persoalan lain hal ini akan menjadi masalah tersendiri jika bersinggungan dengan penguasa.

Di Indonesia sendiri, Pemerintahan Soekarno menganggap musik rock n’ roll sebagai racun yang akan merasuki jiwa pemuda dan budaya yang mengancam persatuan nasional. Beda halnya dengan Soeharto, yang malah menganggap rock n’ roll bisa menjadi alat kendali untuk stabilisasi negara dan alat propaganda.

Hal-hal diatas hanyalah sebuah asumsi dasar tentang pertautan yang dipaksakan antara musik dan politik di masa lampau. Lalu bagaimana nasib rock n’ roll di Indonesia pada era kepemimpinnan yang berbeda itu?

De-Rock n’ Roll-isasi a la Soekarno

Baiklah, saya lebih nyaman menyebut Era ini “Demokrasi Terpimpin”, karena istilah “Orde Lama” hanya akal-akalan Soeharto dan koncokonconya. Katanya, kalo ada yang “Baru” tentu ada yang “Lama”. Kira-kira begitu. Nggak kreatif!

Kita sedikit kembali ke awal mula musik rock n’ roll lahir. Di pelopori dengan munculnya artis kenamaan macam Elvis Presley, Bill Hailey and The Comets, The Beatles, dll. Lagi-lagi negara Nekolim (Neo Kolonialisme) bernama Amerika dan Britania Raya atawa Inggris menjadi rahim musik ini lahir dan tumbuh. Di balik busuknya siasat politik mereka, namun akhirnya 60% band atau musisi yang saya sukai lahir dari Negara ini. Sialan! –tapi tenang saja, rata-rata musik yang bagus dan avant-garde selalu hadir dari negara dengan situasi sosial-politik yang buruk-

Penghujung tahun 1950-an, musik rock n’ roll berkecambah di seantero belahan dunia. Wabah musik ini kian merambat, termasuk ke dalam tubuh kebudayaan Indonesia. Dengan sigap sang pemegang otoritas saat itu bersikap tegas akan situasi yang terjadi.

9

Melalui MANIPOL-USDEK (Manifesto Politik -Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) lalu di tegaskan dengan Panpres Nomor 11 Tahun 1965, Soekarno melarang segala bentuk kebudayaan yang datang dari barat. Tentu hal ini dilakukan untuk terlebih dahulu menggalang kekuatan budaya di tingkat nasional sebelum akhirnya maju ke langkah yang lebih jauh, Internasional.

Dalam pidatonya Soekarno berkata dengan nada yang pasti menggebugebu:“Dan Engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi. Engkau yang tentunya anti imperialism ekonomi dan penentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialism politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialism kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock-n-roll rock-n-rollan, dansadansian ala cha-cha-cha, music-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya?”1

Idiom “Ngak-Ngak-Ngik” yang di predikatkan untuk musik rock n’ roll mendadak menjadi polemik. Media dan kaum revolusioner menjadi begitu alergi kepada mereka yang memainkan musik gila-gilaan itu. Namun tidak demikian bagi anak muda yang nakal, yang selalu berhasrat tentang kebebasan.

Di sekitar senjakala Demokrasi Terpimpin, budaya yang datang dari barat akan selalu dicurigai dan dianggap subversif –bahkan di ganjang. Kita ambil contoh sederhana tentang kasus dijebloskannya Koes Bersaudara ke dalam bui.

Suatu ketika Koes Bersaudara sedang mengisi panggung pada sebuah pesta di daerah Petamburan, Jakarta Pusat. Ketika sedang membawakan lagu The Beatles, “I Saw Her Standing There”, tak disangka lemparan batu menghujani atap rumah, tentu dengan diikuti teriakan yang begitu revolusioner saat itu, “Ganjang Nekolim!”, “Ganjang Ngak-Ngik-Ngok!”,

1 Pidato MANIPOL Bung Karno, 17 Agustus 1959

10

“Ganjang Manikebu!”. –kalau teman-teman suka baca buku sejarah pasti tau kelompok mana yang paling Revolusioner dan benci Manikebu-

Pertunjukan pun terhenti. Koes Bersaudara (Tony, Nomo, Yon dan Yok) pun dipaksa untuk meminta maaf atas kejadian itu, Tony akhirnya memenuhi permintaan, lalu dipaksa berjanji untuk tidak memainkan lagi lagu Ngak-Ngik-Ngok. –saat inipun kejadian semacam ini masih terjadi dengan konteks dan teriakan lain-

Berselang 4 hari, 29 Juni 1965. melalui Surat Perintah Penahan Sementara Nomor 22/023/K/SPPS/1965 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta, akhirnya Koes Bersaudara dijebloskann kedalam penjara Glodok selama 100 hari dan baru keluar pada 27 September 1965.

Wartawan dan penulis senior Mochtar Loebis (7 Maret 1922-2 Juli 2004) merespon kejadian itu dengan gaya kritis nya yang khas:

“Suratkabar2 di Djakarta menjiarkan penahan pemain musik Koes Bersaudara. Alangkah dungunja. Lagi pula tuduhan terhadap mereka melakukan aksi subversive karena main musik a la Beatle. Masalah resim Soekarno dgn segala alat kekuasaanja jang begittu hebat takut pada dua orang pemain music jang muda. Apakah Nasakom begitu rapuh hingga takut pada musik a la Beatles?”2

Disini kita bisa melihat bagaimana pemerintah berperan sebagai “penjaga budaya” yang hendak menyelamatkan nilai-nilai budaya adiluhung bangsa Indonesia. Mengingat saat itu Negara kita masih menjadi yesterday afternoon boy dalam hal konsepsi karakter bangsa dan pembangunan nasional.

Rock n’ Roll Masuk Desa a la Orba

Untuk mengawali sub-judul ini saya memulai dengan asumsi yang superfisial dan nggak terlalu prinsipil-prinsipil amat, meskipun akhirnya asumsi ini menjadi penting, untuk penemuan-penemuan mutakhir

2 Kolom “Tjatatan Subversif”, Surat Kabar Indonesia Raja, 3 Djuli 1965.

11

menyoal musik yang berkaitan dengan sosial, politik, ekonomi dan budaya era Orde Baru.

Oke, kita mulai dengan bagaimana bisa musik rock n’ roll dengan mudah diterima dan dijadikan penetrasi pasar dan budaya untuk melanggengkan kekuasaan.

Saat ini, terlintas di benak saya untuk berjabat tangan dengan Soeharto, mengucapkan “terimakasih” karena telah membawa rock n’ roll kembali ke pangkuan ibu pertiwi. “Namun urung”. Alih-alih rock n’ roll sebagai ekspresi kebebasan, Harto saat itu malah melihat peluang lain dari musik yang pernah diganjang Soekarno ini. Akhirnya kebebasan pun hanya diberikan dalam waktu yang singkat.

Usai tumpuk kekuasaan di rebut, semua sektor kebangsaan diambil alih dan di dekontruksi. Soeharto adalah anti-thesis dari Soekarno. Perihal kebudayaan, Soeharto menghalalkan nila-nilai modernisasi barat untuk mengekang pengaruh budaya daerah yang berpotensi mengancam dengan kecenderungan munculnya separatisme daerah. Sebaliknya, Soekarno selalu menggalang kekuatan budaya-budaya daerah untuk membentuk karakter bangsa yang nasionalis.

Untuk urusan musik, Soeharto justru menyokong segala bentuk musik modern yang disiarkan di radio-radio. Saat itu banyak bermuculan radioradio swasta yang dipermudah ijin siarannya, hal ini berhasil menggeser arus budaya yang sebelumnya eksis –termasuk musik. pertunjukanpertunjukan musik yang digagas anak muda tak luput didukung.

Bahkan militer pun campur tangan dalam urusan ini. Badan Koordinasi Seni Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (BKS-Kostrad) adalah manifestasi dimana seni terjangkit ideologi kacang ijo. Lembaga ini giat berkeliling ke kota-kota besar di Indonesia untuk menampilkan jenis-jenis musik yang sempat dilarang pada masa pemerintahan Soekarno, semacam rock bising, tarian cha-cha-cha dan balada cengeng. Konon, mereka pun masuk desa. Rock n’ Roll masuk desa. Edans!. Sempat juga Angkatan Darat mengundang grup rock kenamaan asal Belanda, The Blue Diamonds, untuk

12

melaksanakan ibadah tur di Indonesia dan berkolaborasi dengan biduan lokal seperti Titiek Puspa dan Ernie Djohan.

Ketika Orde Baru tampil berkuasa, kritik dan polemik yang disuarakan oleh musik mulai muncul dipermukaan. Band-band rock kian subur bermunculan. Fase ini seperti bulan madu, dimana para seniman yang dulunya terkekang lalu diberikan peluang untuk berkarya sesuka hati. Namun sayang, kebebasan itu hanya ejakulasi-dini semata alias “tak tahan lama”. Sebelum akhirnya naluri militerian Soeharto muncul.

Musik Rock n’ Roll akhirnya keluar sebagai pemenang atas sejarah percaturan budaya yang dilakukan penguasa politik lama. Kendati demikian, kemenangan itu hanya bias semata. Awal tahun 1970-1997 akhir teramat banyak musik yang dilarang beredar. Dalihnya pun beraneka ragam. Sampai pada tarap yang lebih serius pengendalian ini diatur secara konstitusional dan bisa saja berakhir didalam bui seperti Koes Bersaudara.

Konon, sebelum The Beatles lahir, di Indonesia pun ada pionir musik rock ‘n roll bernama The Tielmans Brother yang malah lebih malang melintang di negeri kincir angin, Belanda. Doakan saja semoga lekas saya tulis, semoga saya tidak amnesia dan menggadaikan jiwa kepada dangdut a la pantura. Amiin

13

This article is from: