5 minute read
Mendengarkan Lagi Bob Dylan Dan Iwan Fals Sebagai Marka Musik Protes
MENDENGARKAN LAGI BOB DYLAN DAN IWAN FALS SEBAGAI MARKA MUSIK PROTES
Mendengarkan lagi lagu-lagu Iwan Fals di album awalnya (Canda Dalam Nada) saya selalu membandingkannya dengan Bob Dylan. Entah kenapa, selain dari lirik-lirik yang diangkat dalam lagu mereka begitu dekat dengan persoalan kehidupan kita sampai hari ini, mereka pun sama-sama piawai memetik gitar dan meniup harmonika. mungkin juga karena suaranya yang sama sumbang, nyaris seperti kambing tercekik, mereka seperti meletakan standar dan pemahaman baru jika bernyanyi itu tidak harus merdu-merdu amat dan dibebani dengan seberapa mirip penampilan dan suara si penyanyi dengan Frank Sinatra.
Advertisement
Jika dibandingkan, mereka sebetulnya tidak hanya bernyanyi, tetapi mereka membangun percakapan yang hangat dengan orang yang mendengarkan, seakan kita tidak berjarak dengan mereka, toh lagunya pun seperti orang yang sedang orasi. Meskipun hanya mendengarkan streaminng di internet, karena akhirnya nyaris mustahil hari ini Iwan Fals ataupun Bob Dylan menyanyikan lagi lagu-lagu yang telah dibuatnya di album-album awal mereka, selain dari lagu hitsnya semacam ‘A Hard Rain's A-Gonna Fall’ ataupun ‘Dongeng Tidur’. Tetapi lagu-lagu mereka masih sangat relevan untuk didengarkan lagi hari ini.
74
Bob Dylan adalah musisi gaek yang sudah malang melintang di industri musik Internasional -tentu sebelum Iwan Fals muncul. Di era tahun 1960an Bob Dylan menawarkan revolusi baru dalam bentuk musik. Musik dijadikannya sebagai medium protes. Seperti misal dalam lagu ‘Master of War’, dimana Dylan secara gemilang mengutuk perang: “Come you masters of war. You that build the big guns. You that build the death planes. You that build all the bombs. You that hide behind walls. You that hide behind desks. I just want you to know. I can see through your masks”. atau dalam lagu ‘Talkin World War III Blues’, yang mencurahan kegelisahannya terhadap perang dunia III yang bisa kapan saja terjadi. Bob Dylan selalu punya cara memikat orang-orang disekelilinngya untuk mendekat dan mendengarkan apa yang dinyanyikannya.
Oleh masyarakat AS, lagu berjudul ‘Blowin in the wind’ (1962) dan The Times They Are a-Changin’ (1964) dianggap sebagai hymne untuk menyuarakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian menolak perang. Lagu-lagunya yang begitu monumetal dan fenomenal akhirnya mengantarkan Bob Dylan mendapat anugerah penghargaan Nobel Sastra tahun 2016. Hal ini tentu memantik polemik di berbagai kalangan, entah itu musisi ataupun sastrawan. Bob Dylan adalah orang kedua diluar sastrawan -setelah Winston Churcil-yang mendapat hadiah Nobel.
Sedangkan Iwan Fals pada penghujung tahun 1970-an, di sektor lokalnya (Indonesia) mampu membangunkan keberanian para musisi dan berhasil merintis rel musik sebagai medium protes. Seperti di dalam lagu ‘Pemborong Jalan’ album Perjalanan, dilagu itu Iwan Fals seperti sedang merespon wacana pembangunan a-la Orde Baru. Dimana persoalan antara si bos pemborong, buruh pekerja dan lalainya pemerintah dengan kualitas materi yang dibangun menjadi fokus utama dalam lagu ini. “Baru kemarin selesai diaspal, terkena hujan kok jerawatan.. oh kasian bayar pajak mahal banyak jalan seperti comberan... Pemborong berpengalaman tertawa, berteman pipa topi baja. Bercanda dengan istri paling muda, tak ingat jalan dan pekerja. Oh kasian pekerja jalan. Tenaga hilang, gaji tidak berimbang”.
75
Untuk hal yang lebih personal kita bisa mendengarkan lagi lagu ‘Generasi Frustasi’, tak sungkan ia mengutarakan diksi-diksi dalam lirik yang mungkin kebanyakan orang saat itu menganggapnya tabu: “…. Hey mister Gelek, Lo tega kok mata gua ga bisa melek. Hey mister Gelek, duit gope gue kira cepe”, Lirik penutup dalam lagu ‘Generasi Frustasi’ itu begitu kuat kaitannya dengan konteks yang diangkat. Dimana persoalan keluarga yang berantakan menjadi hal utama yang dihadirkan. Si anak yang menjadi korban kebinalan orang tua. Akhirnya, barang haram menjadi pelampiask kegelisahannya. Dengan gaya humor yang khas, seolah-olah lagu itu direkam dengan dikelilinngi penonton, dimana suara orang tertawa dan tepuk tangan turut memperkuat atmosfir musiknya.
Selaras dengan Bob Dylan, Iwan Fals pun begitu membenci perang. Jika Bob Dylan dalam lagu ‘Master of War’ mengutuk keras perang dengan gaya optimis bahwa perang adalah sebuah kebiadaban, Iwan Fals pun sama marah dan menganggap bahwa perang adalah sebuah kesia-siaan. Kita bisa mendengarnya dalam lagu ‘Puing II’ album ‘Anti Perang’ (2001): “Dengan nafsu yang makin menggila, Nuklir pun tercipta (nuklir bagai dewa). Tampaknya sang jendral bangga. Di mimbar dia berkata, Untuk Perdamaian (Bohong), Demi Perdamaian (Bohong), Guna Perdamaian (Bohong), Dalih Perdamaian (Bohong)”
Senasib dengan ‘Blowin in The Wind’, lagu ‘Bongkar’ pun seperti lagu wajib para demonstran untuk turun aksi ke jalan ketika senjakala pemerintahan Soeharto. Meskipun akhirnya hari ini lagu itu tergadai kedalam segelas kopi. Tapi tak mengapa selama semangatnya masih terwariskan.
Iwan Fals begitu mengagumi Bob Dylan, seperti halnya kebanyakan musisi folk lain. Dalam wawancaranya kepada salah satu media Iwan mengatakan: “Bob Dylan itu musisi yang usianya lebih tua 20 tahun dari saya. Bob Dylan menginspirasi saya dalam memainkan harmonika. Awal mula saya belajar harmonika ya gara-gara mendengarkan dia (Bob
76
Dylan)”18. Kendati demikian Iwan Fals bukan tipe musisi yang selalu berada dalam bayang-bayang idolanya.
Dalam tulisan ini saya menghubungkan Bob Dylan dan Iwan Fals dengan cara sedikit memaksa. Karena memang keduanya berada di negara dengan kondisi sosial dan budayanya yang jelas berbeda. Namun akhirnya jika kita mendengarkan lagi lagu-lagu Iwan Fals ataupun Bob Dylan di albumalbum awalnya, kita akan segera ngeh jika mereka memiliki kesamaan, selain dari memainkan gitar dan harmonika disetiap penampilannya, mereka pun memiliki cara yang sama untuk menyampaikan apa yang menjadi kegelisahan generasi yang mereka wakili. Mengemas narasi protes dengan cara melankolis ataupun humor satir disetiap lagunya selalu menjadi ciri disetiap karya mereka. Atau bahkan mereka sama-sama di monitor oleh intelejen negara disetiap panggunngnya.
Senada dengan apa yang telah diuraikan Saini K.M, “Dalam menyalurkan kreativitasnya, seorang sastrawan (secara khusus) atau seniman (secara umum) hanya memiliki dua jalur saja, yaitu perayaan dan protes. Jika suatu karya merupakan hasil perayaan, maka pembaca (atau pendengar) akan menemukan ungkapan-ungkapan kegembiraan, sanjungan, dan persetujuan terhadap kenyataan yang direfleksikan dalam karya tersebut. Jika suatu karya merupakan hasil protes, maka pembaca (atau pendengar) akan diajak untuk prihatin, menolak, dan tidak setuju pada kenyataan yang direfleksikan”19. Iwan Fals ataupun Bob Dylan secara paripurna telah berhasil menularkan daya kreativitasnya dalam hal perayaan sekaligus protes. Banyak musisi yang akhirnya terinspirasi dengan cara mereka menyalurkan opini melalui musik.
Lagu-lagu folk adalah cara melintasi semesta. Lagu-lagu itu serupa gambar-gambar, dan gambar-gambar jauh lebih berharga daripada apa yang bisa disampaikan20. Agaknya memag begitulah musik folk lahir, dimana musik semacam ini selalu berbicara dengan gaya sederhana
18 http://m.semarangpos.com/2016/10/17/konser-musik-semarang-iwan-fals-akui-terinspirasi-bobdylan-761163 19 Saini K.M. 1989. Protes Sosial. Bandung: Angkasa. 20 Bob Dylan. 2018. Chronicles.Jakarta: KPG
77
seputar persoalan yang tidak jauh dari kehidupan nyata masyarakat luas. Folk diawal kelahirannya seakan merefleksikan kembali kondisi hidup yang sedang tidak baik-baik saja. Meskipun hari ini Folk terditorsi dan kadung dipahami sebagai musik aduhai percintaan nan puitis.
Sebetulnya saya ingin mengaitkan lagi kedua musisi ini dengan Jason Ranti, sekalian mengamalkan metode cocokologi seperti misal urusan bencana alam dan moral manusia yang saat ini lagi ngetren, tetapi urung, mungkin dalam kesempatan lain. Dan tentu masih terlampau banyak kisah hidup juga lagu-lagu Iwan Fals dan Bob Dylan yang syarat akan protes, yang tentu tidak mungkin saya uraikan satu persatu dalam tulisan ini. untuk membayar tuntas kepenasaran Sahabat Fibrator sekalian, maka saya sarankan untuk kembali tenggelam dalam berjibun artikel ataupun buku yang mengulas kisah hidup mereka, tentu sambil mendengarkan lagulagunya.
78