MODEL KEPEMIMPINAN LOKAL UNTUK MEWUJUDKAN RESILIENT CITY KOTA SEMARANG
Oleh : DR. LILIN BUDIATI SH, MM Pembina Utama Muda NIP. 1961 1986032 011 Widyaiswara Ahli Madya
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SEMARANG, 19 APRIL 2016 MODEL KEPEMIMPINAN LOKAL UNTUK MEWUJUDKAN RESILIENT CITY DI KOTA SEMARANG
ABSTRAK Studi ini mengkaji tentang kepemimpinan lokal untuk membangun ketahanan kota terhadap fenomena kebencanaan. Kepemimpinan lokal terdiri dari tiga unsur yaitu: (1) kepemimpinan politik; (2) kepemimpinan profesional; (3) kepemimpinan komunitas dimana kepemimpinan walikota menjadi faktor determinan bagi upaya membangun ketahanan kota. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dirumuskan pertanyaan penelitian: (1) Mengapa kepemimpinan walikota Semarang belum dapat meningkatkan efektifitas internal birokrasi untuk membangun ketahanan kota?; (2) Bagaimana model kepemimpinan lokal yang dibutuhkan untuk membangun ketahanan kota Semarang?; dan (3) bagaimana model pembelajaran Diklatpim untuk melatih pemimpin birokrasi yang efektif? Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.. Data diolah dengan teknik display, reduksi, pengkodean (coding) dan kategorisasi. Interpretasi dan analisis dilakukan secara deskriptif dan preskriptif dengan metode triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dalam konteks kebencanaan, kepemimpinan walikota belum mendapat dukungan sosial politik dan kelembagaan yang cukup karena ketahanan kota Semarang belum menjadi realitas objektif yang dijadikan sebagai kepentingan, agenda dan tujuan bersama; (2) Kebijakan, perencanaan dan program kerja SKPD belum terintegrasi dalam konsep ketahanan kota; (3) Belum terintegrasinya fungsi dan struktur sehingga memunculkan konflik struktural dalam pelaksanaan program penanggulangan bencana; (4) Inklusifitas dan tingkat partisipasi pimpinan struktural birokrasi, masyarakat dan sektor privat dalam pengambilan keputusan hanya sebatas didengar aspirasi dan pendapatnya. Hal itu disebabkan karena terdapat kesenjangan pengetahuan, persepsi dan komunikasi; (5) perlu penyelarasan kepemimpinan struktural formal dan informal dengan model kepemimpinan kongruen berbasis kemitraan sektor publik-privat. Wadah untuk menerapkan model ini adalah forum ketahanan kota dan/atau musrenbang; (6) Perlu diciptakan local governance dengan 4 asas: transparansi, akuntabilitas, ekuitas dan demokrasi guna membangun kapasitas lokal yang dibutuhkan; (7) Diklatpim dapat dijadikan sebagai wahana untuk menjalankan strategi mengubah kerentanan kota menjadi ketahanan kota melalui pendidikan dan pelatihan. Diklatpim dapat difungsikan sebagai laboratorium ketahanan kota yang mengintegrasikan antara tupoksi mengembangkan kompetensi kepemimpinan formal yang diselaraskan/kongruen dengan kepentingan, kebutuhan dan tujuan membangun ketahanan kota. Kata Kunci: kepemimpinan lokal, model, ketahanan kota, DIKLATPIM
LOCAL LEADERSHIP MODEL FOR BUILDING RESILIENT CITY: THE CASE OF SEMARANG
2
ABSTRACT This study aims to examine local leadership role in forming city resilience on disaster phenomena. Local leadership carries out three attributes, i.e. (1) political leadership, (2) professional leadership, and (3) community leadership by which local leaders determining city resilience efforts. Taking on Semarang City as a case study, this study addressed some research questions: (1) why the city mayor leadership was yet unable to enhance internal bureaucracy effectiveness to form city resilience, (2) what sorts of local leadership model necessary to building up Semarang city resilience, and (3) how the learning model in DIKLATPIM should adapt for scaling up effective bureaucracy leaders? By using qualitative case study approach, this study produced some insightful results. First, the current mayor‘s leadership style lacks of both socio-political and institutional support in response to disaster problems due to the absence of shared interest, goal and agenda setting within the bureaucracy bodies. Second, policies, plans and programs of responsible SKPDs are not integrated within the adopted city resilience concept. Third, the present governmental structures and functions are not well-integrated, creating structural conflicts in coping disaster management programs. Fourth, inclusiveness and the participation levels of the present bureaucratic structure leaders, society, and private sector are less considered in decision making process, because of which disparities of knowledge, perception, and communication remains persist. Fifth, harmonizing both formal and informal structural leaderships with congruent leadership model based on public-partnership approach is required during the implementation of MUSRENBANG and/or designated city resilience forum. Sixth, the needs for creating good local government based on four pillars, i.e. transparency, accountability, equity, and democracy in order to develop required local capacity. Seventh, DIKLATPIM may provide strategic mediums for transforming city vulnerability towards city resilience through a set of education and training programs. DIKLATPIM could be functioned as a city resilience laboratory useful to integrating government duties and responsibilities in scaling up formal leadership competence with city resilience interests, needs, and objectives. Keywords:
local leadership capacity, model, resilient city, DIKLATPIM
KATA PENGANTAR
3
Ungkapan syukur tiada henti, seirama dengan helaan nafas senantiasa penulis kumandangkan kepada Allah SWT, hanya dengan izinNya penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan fungsional Widyaiswara Ahli Utama di Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Tengah. Karya Tulis Ilmiah dengan judul : ―Model Kepemimpinan Lokal Untuk Mewujudkan Resilient City Kota Semarang‖ didasarkan pada : (1) kepemimpinan merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan upaya pengembangan kapasitas lokal; (2) Upaya pengembangan kapasitas lokal harus dimulai dengan mengubah mindset, sikap dan perilaku kepemimpinan yang dilaksanakan secara simultan dengan upaya peningkatan kompetensi dan karakteristik kepemimpinan Ungkapan rasa hormat dan bangga penulis tujukan kepada : 1.Bapak Herru Setiadhi, SH,M.Si Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Tengah beserta jajarannya yang mendukung dan memfasilitasi berjalannya penelitian penulis 2. Bapak Hendar Prihadi, Walikota Semarang, yang memberikan kesempatan dan keterbukaan informasi kepada penulis untuk meneliti ―Kepemimpinan Lokal‖ Kota Semarang 3. Bapak Ir. Bambang Haryono, Kepala BAPPEDA (sebagai narasumber) dan Bapak Drs. Iwan Budi Setiawan, Kepala BPBD Kota Semarang, yang sangat terbuka dan jujur membantu penulis dalam pemetaan masalah kebencanaan dan kepemimpinan lokal 4. Bapak Prof.Ir. Bobi Setiawan,MA, Ph.D, sebagai pembimbing yang memberikan kesempatan penulis belajar tentang ―Making Resilient City” di Kota-kota besar; 5. Bapak Drs.Sigit Sumarhaen Yanto SH. Msi, sebagai pembimbing yang selalu mendorong penulis dengan gayanya yang ―khas‖ 6. Bapak Dr.Ir.Nugroho In Saputra, MM, sebagai pembimbing yang rajin memberikan kritik sistematis; 7. Ibu Dr.-Ing. Wiwandari Handayani, ST, MT, MPS, sebagai pembahas, yang mendorong penulis menyumbangkan pokok pikiran terbaik 8. Ibu Prof. Happy Santosa dan Bapak Prof. Johan Silas (ITS Surabaya), sebagai pakar dan informan kunci, sudah
4
‗sepuh‘, tapi spirit dan jiwanya hanya untuk keberlanjutan kehidupan; 9. Pak Dr, Prihadi, Pak Jawoto, Pak Pur, Pak Joko, Mas Lutfi, mbak Mega, dan teman-teman yang tergabung dalam POKJA Kapasitas RC Semarang yang sangat antusias mengungkap masalah utama Kota Semarang ; 10. Pak Toton, mbak Myrna, mbak Arga…tokoh belakang layar tidak kalah semangatnya menggali, blusukan menemukan fakta aktual mendampingi penulis 11. Mas Tomi (alm), Mbak Mita, Mas Nizar dan dik Yaniz, anak2 terkasih, semangat juangku, karena melihat semangat juangmu.. “Body, mind and soul have to be well organized for the best practice” Akhirnya penulis berharap hasil penelitian ini menjadi bahan masukan untuk Pemerintah Kota Semarang dalam menyusun program strategis kebencanaan yang terintegrasi. Di sisi lain, hasil penelitian ini, Fungsi DIKLATPIM menjadi sangat strategis karena muatan inovasi sebagai hasil proses berpikir kreatif dapat diimplementasikan pada proyek perubahan yang dikerjakan oleh peserta. Apabila hal ini dilaksanakan dengan baik, maka secara akumulatif akan dapat meningkatkan kapasitas Institusinya.
Semarang, 17 Mei 2016 Lilin Budiati
DAFTAR ISI
5
LEMBAR JUDUL .................................................................................... ABSTRAK ............................................................................................. ABSTRACT ............................................................................................ KATA PENGANTAR ............................................................................. DAFTAR ISI ........................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
i ii iii iv vi viii ix x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. A. Latar Belakang ...................................................................... 1. Resilient City .................................................................. 2. Peran Dan Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Membangun Kapasitas Lokal Untuk Mewujudkan Ketahanan Kota .............................................................. 3. Penguatan Kapasitas Kepemimpinan, Kelembagaan di Tingkat Lokal Melalui Pendidikan Dan Pelatihan ........ 4. Problematika Kota Semarang ......................................... B. Perumusan Masalah ............................................................. C. Tujuan Penelitian .................................................................. D. Manfaat Penelitian ................................................................ E. Ruang Lingkup ...................................................................... 1. Ruang Lingkup Wilayah .................................................. 2. Ruang Lingkup Materi .....................................................
1 1 1
BAB II A. B. C. D. E. F.
ANALISIS DATA .................................................................. Kerangka Konsep Penelitian ................................................. Konstruk Teoritis Model Kepemimpinan Lokal ...................... Metode Penelitian ................................................................. Desain Penelitian .................................................................. Definisi Operasional .............................................................. Analisis Kepemimpinan Lokal Dalam Perspektif Kebencanaan dan Konteks Ketahanan Kota......................... 1. Efektivitas Kepemimpinan Kepala Daerah/Walikota Semarang terkait Isu Kebencanaan dan Ketahanan Kota .............................................................................. 2. Inefisiensi Instrumen Kebijakan .................................... 3. Faktor-Faktor Penyebab Ketidakefektifan Kepemimpinan dan/atau Kebijakan Walikota Semarang Terkait Isu Kebencanaan dan Ketahanan Kota ........... 4. Analisis Perbandingan Kepemimpinan Lokal di Kota Semarang dan Surabaya .............................................. G. Model Kepemimpinan Lokal Untuk Membangun Ketahanan Kota Dalam Rangka Mewujudkan Semarang Resilient City .. 1. Konstruksi Sosial Untuk Membentuk Konsepsi
6 8 10 17 18 18 20 20 22 25 25 27 28 30 30 32
36 39
45 58 63
6
―Ketahanan Kota‖ Menjadi Agenda dan Tujuan Bersama ....................................................................... 2. Jejaring Kerja Kebijakan Kolaboratif Pada Proses Perencanaan ................................................................ 3. Model Kongruen Sebagai Model Kepemimpinan Lokal Untuk Membangun Ketahanan Kota ............................. H. Model Pembelajaran Diklatpim.............................................. 1. Perspektif Kepemimpinan pada Diklatpim Pola Baru ........ 2. Permasalahan Diklatpim Pola Baru ................................... BAB III PENUTUP ............................................................................. A. Simpulan ............................................................................... B. Rekomendasi ........................................................................
63 65 67 72 72 83 78 78 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 81 LAMPIRAN ........................................................................................ 83 RIWAYAT HIDUP ................................................................................ 149
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2
Kondisi Kebencanaan Kota Semarang dan Dampaknya .................................................................. Definisi Operasional Kepemimpinan Walikota Semarang .....................................................................
2 31
7
Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6
Hasil Penilaian Tentang Efektivitas Kepemimpinan Kepala Daerah / Walikota Semarang............................ Rangkuman Hasil FGD ................................................. Penyebab Ketidakefektifan Kebijakan Walikota Semarang ..................................................................... Perbandingan Kepemimpinan lokal di kota Semarang dan Surabaya Terkait Isu Kebencanaan dan Ketahanan Kota ............................................................
36 38 57
58
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4
Kerangka Konsep Penelitian ........................................ Desain Penelitian .......................................................... Perspektif Kepempinan Lokal ....................................... Konstruk Teoritis Sistem Perkotaan..............................
26 30 32 35
8
Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15
Korelasi Kapasitas Birokrasi dengan Kapasitas Lokal Melalui Efisiensi Instrumen Kebijakan Walikota ............ Model Kesenjangan pada Program Semarang RC ....... Jejaring Kerja Kebijakan ............................................... Tangga Partisipasi Arnstein .......................................... Model Partisipasi Top Down-Bottom Up ....................... Struktur Organisasi program 100 RC............................ Model Kongruensi Nadler & Tushman .......................... Model Kepemimpinan Lokal ......................................... Konsep Strategis Reformasi Kepemimpinan ............... Kepemimpinan Dalam Perspektif Pembangunan Daerah Model Pembelajaran Diklatpim .....................................
40 56 63 66 67 68 70 71 75 78 86
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Lampiran B Lampiran C Lampiran D
Tekanan dan Guncangan Kota Semarang ................... Foto-Foto Kebencanaan di Kota Semarang ................. Focus Group Discussion Tanggal 31 Maret 2016 ......... Hasil Focus Group Discussion Tanggal 31 Maret 2016
84 85 87 89
9
Lampiran E Lampiran F
Hasil Wawancara Key Informan.................................... 124 Catatan untuk Proposal Karya Ilmiah ........................... 144
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
10
1.
Resilient City Sejak 1 Januari hingga 3 februari 2016 telah terjadi 10 kejadian
bencana di kota Semarang yang meliputi angin kencang, banjir, kebakaran dan tanah longsor. Warga Panggung Lor siaga satu menghadapi puncak musim hujan di bulan februari. Selain masalah banjir, banyaknya warga yang terkena Demam Berdarah Dengue (DBD) juga menjadi perhatian.1 Kota Semarang memang akrab dengan kebencanaan karena kondisi geografisnya yang unik dan spesifik, yaitu terdiri dari area pesisir di kota bawah dan area perbukitan di kota atas. Area pesisir rentan terhadap bencana kenaikan muka air laut, banjir pasang, penggenangan, abrasi dan erosi pantai. Sementara area perbukitan rentan terhadap bencana tanah longsor, amblesan tanah, angin kencang, kekeringan dan banjir karena curah hujan tinggi. Kondisi kebencanaan yang dialami oleh kota Semarang beserta dampaknya dapat dilihat pada tabel 1.1. sebagai berikut:
Tabel 1. Kondisi Kebencanaan Kota Semarang dan Dampaknya Kondisi Kebencanaan Kenaikan muka air laut yang menyebabkan banjir, banjir pasang (rob) di daerah pesisir, dan penggenangan kota Keterbatasan kemampuan adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim Kerusakan infrastuktur kota akibat banjir 1
Dampak Nelayan dan petani tambak kehilangan sumber penghidupan Menurunkan tingkat kesejahteraan kelompok mayarakat berpenghasilan rendah, khususnya wanita dan anak-anak Kelumpuhan sektor industri dan penurunan
Tribune Jateng: ―Bencana Mengepung Awal Februari‖, Edisi Sabtu, 13 Februari 2016.
11
Kondisi Kebencanaan dan rob Kekeringan
Dampak tingkat investasi di kota Semarang Kekurangan penyediaan air bersih untuk warga kota
Sumber: Hendrar Prihadi, 2013
Dengan adanya permasalahan bencana dan fenomena perubahan iklim ditambah dengan permasalahan perkotaan yang yang kompleks, maka pada tahun 2009, Kota Semarang bergabung dengan program Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) yang didanai oleh the Rockefeller Foundation dan difasilitasi oleh Mercy Corps Indonesia. Secara umum, program yang dilakukan regional di India, Thailand, Vietnam, dan Indonesia ini bertujuan untuk menguji coba pendekatan yang praktis agar kota-kota di Asia dapat bertahan, beradaptasi, dan tetap berfungsi dengan adanya bencana terkait perubahan iklim. Secara spesifik, program ACCCRN di Kota Semarang dimaksudkan agar stakeholder kota dapat merespon banjir, rob, abrasi, angin puting beliung, kekeringan, kekeringan melalui pemahaman soal kerentanan dan kapasitas adaptif kota, strategi dan aksi ketahanan, dan implementasi aksi (Kajian Kerentanan dan Resiko Perubahan Iklim di Kota Semarang, 2009 dan Strategi Ketahanan Kota Semarang dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim, 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan sejak tahun 2009 hingga 2011 menunjukkan bahwa sebelum tahun 2010, penanganan pemerintah kota Semarang dalam mengatasi kondisi kebencanaan bersifat teknis, berjangka pendek dan tidak terintegrasi dalam perencanaan kota berjangka menengah dan panjang. Hasil penelitian Mizan B. F. Bisri, dkk
12
tahun 2011 menunjukkan bahwa Semarang adalah satu-satunya kota pantai di Indonesia yang paling rentan terhadap bencana.2 Hal ini mendorong pemerintah kota Semarang bersama stakeholder terkait untuk mengikuti program penilaian risiko dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang diselenggarakan oleh ACCCRN. Hasil penilaian tim ACCRN pada tahun 2011 ternyata sama dengan hasil penilaian tim ITB sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hasil tersebut, Semarang
ditetapkan
sebagai
penerima
bantuan
program
untuk
dikembangkan menjadi kota tangguh (Resilient City-untuk selanjutnya disebut RC), sehingga Semarang menjadi salah satu dari seratus ―kota tangguh/RC‖ di dunia. Strategi dan aksi yang telah diamanatkan dalam Strategi Ketahanan Kota telah banyak dilakukan dibawah koordinasi Pokja Ketahanan Perubahan Iklim Kota Semarang, tim adhoc multistakeholder yang diformalkan melalui SK Walikota. Aksi-aksi yang telah dilakukan dan berhasil mendapatkan pendanaan antara lain; 1. Studi kelayakan pemanenan air hujan (2011) dengan pilot di kelurahan Wonosari dan Tandang, yang hingga kini telah direplikasi oleh Badan Lingkungan Hidup melalui APBD sebanyak lebih dari 40 instalasi sejak tahun 2011 dengan memanfaatkan studi tersebut dan telah dilakukan pengembangan design secara kontiyu.
2
Mizan B. F. Bisrie, wilmar A. Salim dan Djoko S. A. Suroso, “Entry Points” In Integrataing Climate Risk Adaptation And Assessment Into development Planning: Reflection From Semarang And Tarakan, Bandung, ITB 2011, hlm. 7., disampaikan pada forum 2nd International Conference on “Cities at Risk” , Taiwan 11 – 13 April 2011
13
2. Sistem Peringatan Dini Banjir dan Kesiapsiagaan Masyarakat di DAS Bringin (2012-2014) yang mengkombinasikan pendekatan teknologi (sensor banjir dan sms) dengan kearifan lokal (titir bambu), membentuk 7 Kelompok Siaga Bencana yang telah terbukti siap berkoordinasi satu dengan yang lain dan dengan BPBD untuk melakukan respon dan evakuasi saat banjir hingga kini. 3. Sistem Informasi dan Peringatan Dini Demam Berdarah (2013-Juni 2016) yang memungkinkan kader masyarakat dan sekolah (dokter kecil dan guru) melaporkan angka bebas jentik dan rumah sakit dan puskemas untuk melaporkan kasus DBD melalui SMS dan mendapatkan peringatan agar dapat segera direspon. Pilot proyek di 6 kelurahan menunjukkan bahwa area tersebut nyaris bebas DBD walaupun dikelilingi oleh area yang mengalami KLB DB. Sistem ini sudah bisa diakses melalui website Dinas Kesehatan Kota Semarang. 4. Perlindungan pesisir melalui reforestasi mangrove, pembangunan alat pemecah ombak untuk menangkap sedimen, dan mata pencaharian yang berkelanjutan melalui ekowisata, pembinaan bisnis kerupuk ikan, dan silvofoshery (2013-2016). Salah satu komponen penting dalam program ini adalah penyusunan Strategi Ketahanan Kota yang lingkupnya mencakup shocks and stresses, dan
Kota
Semarang
berkesempatan
untuk memperbarui Strategi
14
Ketahanan Kota yang telah disusun pada tahun 2010 agar menjadi lebih komprehensif dan mengundang lebih banyak partisipasi/kolaborasi public. Strategi
ketahanan
kota
adalah
perencaaan
strategis
untuk
melaksanakan adaptasi perubahan iklim yang disinergikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan perencanaan spasial (RTRW). Rencana strategis itu secara bertahap akan diimplementasikan dalam program-program pembangunan kota Semarang.
Ketahanan
kota
dimaknai
sebagai
―kemampuan
mempersiapkan diri untuk merespon dan memulihkan diri dari berbagai bentuk ancaman dan bencana dengan tingkat kerusakan minimum pada keselamatan, kesehatan, ekonomi dan keamanan publik (Wilbanks T., 2007). Metafora kota tangguh banyak dikaitkan dengan upaya mitigasi bencana, adaptasi terhadap perubahan iklim dan stabilitas perekonomian. Hasil penelitian Sariffudin (2015) menyatakan bahwa maraknya pemikiran baru ini sebagai upaya menjawab ketidakpastian masa depan kota dan respon
terhadap
berbagai
persoalan
global
yang
dikhawatirkan
berpengaruh terhadap keberlanjutan kota (Musacchio, Capello dan Faggian, 2002; Pelling, 2003; Shaw dkk., 2009; Simmie dan Martin, 2010; Calthorpe, 2011, Yuen dan Kumssa, 2011).
2.
Peran Dan Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Membangun Kapasitas Lokal Untuk Mewujudkan Ketahanan Kota
15
Ketangguhan (resilience) terhadap kondisi bencana hanya dapat terwujud apabila kota Semarang memiliki kapasitas inheren untuk mengenali dan beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang bersifat kompleks. Dalam arti luas, kapasitas inheren kota Semarang mencakup kapasitas pemerintah daerah, kapasitas pemimpin formal termasuk Wali Kota
dan
jajarannya,
kapasitas
pemimpin
informal,
kapasitas
kelembagaan, kapastas masyarakat dan sebagainya. Pemerintah Kota Semarang mempunyai peran dan fungsi kunci dalam pencegahan dan penanggulangan bencana guna mewujudkan Semarang Resilient City karena posisinya sebagai pemegang otoritas di masyarakat. Dalam agenda 21 yang dideklarasikan PBB di Rio De Janeiro tahun 1992, pemerintah daerah mempunyai tiga peran inti sebagai: a. Implementor, penyandang dana (funder), dan pengelola program dan kegiatan untuk mewujudkan target dan tujuan pembangunan, termasuk diantaranya target dan tujuan untuk mengatasi kondisi kebencanaan melalui pengelolaan risiko dan adaptasi terhadap perubahan iklim, dalam rangka mewujudkan kota tangguh (Resilient City/RC) Semarang. b. Inovator yang merumuskan agenda kegiatan dan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi c. Pusat keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam mewujudkan agenda dan tujuan bersama yaitu Semarang resilient city.
16
Keberhasilan
mengelola
risiko,
beradaptasi
dan
memitigasi
kebencanaan secara berkelanjutan ditentukan oleh pengaruh pemimpin, terutama kepala daerah/walikota beserta jajaran pimpinan birokrasi pemerintah kota Semarang. Etzioni (1985) menjelaskan bahwa pemimpin dapat dibagi menjadi dua yaitu formal dan informal. Pemimpin informal adalah seseorang yang mampu mengendalikan orang lain/pengikut berdasarkan
atribut,
karakteristik
dan
modal
kepemimpinan
yang
bersumber dari kekuatan pribadinya, sedangkan pemimpin formal adalah orang yang memiliki kekuasaan karena jabatannya sekaligus menjadi prasyarat
kepemimpinan
untuk
mempengaruhi
orang
lain
yang
membedakannya dengan ―bukan pemimpin‖. Kepemimpinan
merupakan
seni/cara
dan/atau
kemampuan
mempengaruhi orang lain, mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, untuk memiliki kemampuan atau keahlian tertentu dalam bidang yang diinginkan guna mencapai tujuan organisasi atau kelompok. (Tead, Herry, Hoit dan Young, dalam Kartono 2003). Kepemimpinan merujuk pada tiga hal yaitu: (1) Proses memimpin; (2) Semua kegiatan atau perilaku memimpin; dan (3) kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk melaksanakan tugas tertentu yang ditentukan oleh pemimpin guna mencapai tujuan kelompok atau organisasi (Gwendoline Williams, 2012). Pada penelitian ini, yang dimaksud kepemimpinan lokal dalah kepemimpinan pemimpin formal karena peran dan fungsi strategisnya dalam menentukan pembangunan kota. Berdasarkan kewenangan
17
jabatannya, pemimpin formal dapat menggerakkan partisipasi dan kolaborasi pemimpin informal serta civil society untuk bersama-sama mengembangkan kapasitas lokal guna membangun ketahanan kota. Peran pemimpin informal dalam pembangunan dapat dilihat dari tingkat partisipasinya dalam program pembangunan.
3.
Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Formal di Tingkat Lokal Melalui Pendidikan dan Pelatihan (DIKLATPIM) Tujuan membangun ketahanan kota Semarang yang berkelanjutan
hanya bisa dicapai apabila tersedia kapasitas lokal yang memadai. Faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan kapasitas adalah kepemimpinan formal di tingkat lokal/daerah. Berdasarkan otoritas dan legalitas yang dimilikinya, pemimpin formal di tingkat lokal mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan, mengalokasikan sumber daya dan memobilisasi stakeholder untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu titik masuk (entry point) yang paling memungkinkan untuk mengubah mindset, sikap dan perilaku pemimpin di daerah berkenaan dengan isu-isu proteksi lingkungan dan/atau ketahanan kota pada kebijakan pembangunan adalah melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (DIKLATPIM). DIKLATPIM adalah domain Lembaga Administrasi Negara (LAN) selaku pembuat kebijakan dan penyusunan agenda di tingkat nasional, dan Badan DIKLAT Provinsi atau Kabupaten/Kota selaku penyelenggara DIKLATPIM. Muatan proyek perubahan dan inovasi dalam kurikulum DIKLATPIM merupakan wahana pembelajaran pemimpin formal mengenai berpikir kreatif dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan. Berpikir
18
kreatif dengan menggunakan intuisi amat berguna untuk mencari solusi manakala cara-cara biasa menemui jalan buntu. Inovasi melalui penemuan ide atau gagasan baru adalah inti dari pembelajaran konstruktivistik dalam Diklatpim pola baru. Perbedaan antara pemimpin dan manajer adalah dari inovasinya. Manajer hanya mengelola tanpa ada tuntutan berinovasi, sementara pemimpin dituntut selalu
berinovasi
sebagai
instrumen
untuk
beradaptasi
terhadap
perubahan. Dengan demikian inovasi adalah faktor kunci yang harus dikuasai dengan baik oleh widyaiswara agar bisa ditransfer kepada peserta DIKLATPIM. Kekuatan inovasi terletak pada penciptaan ide-ide baru (generation of new ideas) sebagai hasil proses berpikir kreatif menggunakan intuisi, yang masih tetap harus diimbangi dengan proses berpikir kritis (objektif – rasional) agar tidak melanggar norma yang berlaku serta terjaga akuntabilitasnya. Oleh karena itu, berpikir kreatif dengan pendekatan intuitif sedang menjadi kecenderungan (trend) kuat pada saat ini. Penelitian ini merupakan kajian dan sekaligus pembelajaran mengenai praktik kepemimpinan lokal dengan pendekatan intuitif yang dapat teramati melalui efektivitas kepemimpinan walikota Semarang beserta stakeholder terkait dalam membentuk Tim RC kota Semarang dan menginisiasi program membangun ketahanan kota untuk merespon dan beradaptasi terhadap kebencanaan.
4.
Problematika Kota Semarang
19
Berdasarkan pengamatan pra penelitian serta studi pustaka, terdapat indikasi bahwa sebelum tahun 2010 upaya adaptasi terhadap bencana hidrometeorogi banyak dilakukan oleh kelompok rentan secara swakarsa dan swadaya, yang dibantu oleh LSM dan komunitas peduli bencana. Upaya tersebut bersifat sektoral hanya untuk mengatasi kesulitan kelompok rentan, berjangka pendek, sporadis dan tidak terintegrasi dalam program pembangunan kota. Fenomena menguatnya civil society ini yang sebenarnya merupakan modal sosial bagi pengembangan kapasitas kota, ternyata aspirasi dan sumber daya yang dimiliki civil society belum secara maksimal diakomodasi oleh pemerintah kota. Kendati ada kerjasama antara civil society
dengan
pemerintah
kota
pada
program
atau
proyek
penanggulangan bencana, hal itu hanya sebatas pada program atau proyek tersebut. Jika program atau proyek selesai maka kerjasama berakhir. Belum ada agenda dan tujuan bersama yang diperjuangkan dalam suatu jejaring kerja kolaboratif (collaborative network). Akibatnya dapat dilihat bahwa upaya yang ditempuh untuk mengatasi kebencanaan, menggunakan cara-cara biasa yang seringkali mengalami stagnasi apabila masalahnya menjadi semakin kompleks dan rumit. Fakta menunjukkan bahwa upaya menanggulangi bencana dan kerusakan lingkungan belum menghasilkan perubahan signifikan, bahkan kondisinya justru mencapai tingkat paling kritis di Indonesia. Masalah yang terjadi di
20
kota Semarang terkait kebencanaan, dapat disoroti dari beberapa perspektif antara lain: Pertama, dalam perspektif perubahan sosial, mencuatnya isu kekritisan kota Semarang tidak terlepas dari peran LSM, organisasi non pemerintah dan kalangan akademisi misalnya ITB, UNDIP, IPB dan civil society sehingga mendorong pemerintah daerah, pemerintah pusat dan bahkan lembaga donor internasional dan negara lain berpartisipasi memberikan bantuan anggaran dan program. Mobilisasi sosial civil society secara horisontal dan vertikal telah menguatkan posisi, peran dan fungsinya dalam proses pengambilan keputusan pada perencanaan pembangunan kota Semarang. Terbentuknya Tim RC kota Semarang adalah prestasi luar biasa yang tidak mungkin dicapai apabila hanya mengandalkan cara-cara biasa. Prestasi itu merepresentasikan efektivitas kepemimpinan lokal (formal dan informal) yang berhasil melakukan inovasi dalam membangun jejaring kerja kolaboratif melalui pendekatan Public Private Partnership. Hal itu merupakan gambaran mengenai praksis berpikir kreatif (out of the box) dengan menggunakan intuisi untuk menciptakan ide-ide baru (generation of new ideas) guna menembus kemacetan. Kenyataan menunjukkan bahwa keberhasilan yang dicapai tidak diimbangi dengan efektivitas internal birokrasi yang memadai. Efektivitas kinerja birokrasi pemerintahan justru di bawah standar, yang terbukti dari adanya SILPA sebesar 33% dan serapan anggaran infrastruktur sebesar 50%. Terdapat kesenjangan antara kinerja kepemimpinan walikota yang
21
berhasil mencapai best practice dengan kinerja birokrasi pemerintahan yang rendah. Hal itu berimplikasi pada tidak optimalnya capaian kinerja Tim RC kota Semarang. Bahwa kepemimpinan lokal tidak mendapat dukungan institusional yang memadai dapat terlihat dari beberapa indikasi berikut: (1) Waktu empat tahun dari 2011 sampai dengan 2015 baru sampai pada tahap pembentukan tim dan inisiasi program adalah terlalu lama; (2) kurangnya publikasi sehingga kegiatan tim RC tidak diketahui oleh sebagian besar warga kota Semarang; (3) kurangnya keterlibatan SKPD terkait dalam setiap kegiatan tim; (4) isu kebencanaan dipersepsikan sebagai masalah kelompok rentan yang harus ditanggulangi oleh pemerintah kota bersama institusi terkait seperti BPPD, dan belum dirasakan sebagai masalah bersama warga kota. Efektifitas kepemimpinan kepala daerah/walokota seharusnya dapat berseiring dengan efektifitas internal birokrasi pemerintah, dan pada giliran berikutnya akan meningkatkan kapasitas lokal kota semarang, Tetapi hal itu tidak terjadi dan bahkan muncul kesenjangan kinerja. Apakah hal itu disebabkan oleh kematangan atau kesiapan para pejabat struktural
di
bawahnya
belum
mencukupi
sehingga
tidak
dapat
mengimbangi ritme kerja atasannya? Pendekatan apakah yang diterapkan oleh walikota dalam memimpin pemerintahan di kota Semarang? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berusaha dijawab melalui penelitian ini.
22
Kedua, dalam perspektif tata ruang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, terdapat sejumlah masalah antara lain: (1) inkonsistensi kebijakan penataan bangunan yang kurang baik dan penggunaan air dalam tanah yang berlebihan mempercepat penurunan muka tanah; (2) Kapasitas infrastruktur dan aset kota tidak mampu mengimbangi meningkatnya frekuensi atau intensitas bencana; (3) alih fungsi lahan yang tidak terkontrol meningkatkan risiko dan kerentanan kota terhadap bencana. Wiwandari
Handayani
(2013)3
menyatakan
bahwa
fenomena
bencana tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan administratif saja, seolah-olah bencana yang terjadi di kota Semarang tidak akan berpengaruh terhadap daerah disekitarnya yaitu Demak dan Kendal. Konversi lahan yang terjadi di bagian timur kota semarang juga menjalar ke kabupaten Demak. Harus dipertimbangkan juga pola sebaran difus urbanisasi yang menyebabkan disparitas distribusi penduduk di daerah urban. Pusat kota dengan tingkat densitas rendah akan dihuni oleh kelompok masyarakat berpenghasilan lebih tinggi, sementara daerah pinggiran dengan tingkat densitas tinggi dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah, Kelompok inilah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana. Fenomena urban sprawl dan sub-urbanisasi pada daerah pinggiran harus diperhitungkan ketika menyusun strategi dan perencanaan untuk membangun ketahanan kota terhadap bencana. Sehubungan dengan hal 3
Wiwananidari Handayani, Proceedings Of The Workshop On Population Dynamics And Climate Change, Semarang, 17 – 18 Oktober 2013, hlm.26
23
itu, muncul pemikiran mengenai bagaimana kepemimpinan walikota pada saat ini dapat menterjemahkan fenomena urban sprawl dan suburbanisasi pada kebijakan dan rencana strategis jangka menengah dan panjang?, Mengingat pada tahun 2025 akan terjadi bonus demografi, dimana sebaran frekuensi distribusi penduduk kelas menengah mencapai tingkat maksimal, sementara sebaran frekuensi distribusi penduduk kelas bawah mencapai tingkat minimal. Apabila hal ini tidak dikelola dengan baik sejak sekarang, maka bonus demografi yang sebenarnya merupakan peluang pembangunan, akan berbalik menjadi bencana (catastrophe) di masa yang akan datang. Ketiga, dalam perspektif kepemimpinan, dua pemikiran di atas menyiratkan bahwa untuk masalah kebencanaan dan pembangunan kota Semarang saat ini dan ke depan, dibutuhkan kualfikasi kepala daerah/walikota yang dapat menjalankan kepemimpinannya secara efektif dan kreatif. Efektifitas kepemimpinan walikota salah satunya dapat dilihat dari
efektifitasnya
dalam
mengembangkan
kapasitas
lokal
yang
menyangkut tiga dimensi yaitu: (1) pengembangan sumber daya manusia; (2) penguatan organisasi pemerintah maupun non pemerintah; dan (3) reformasi kelembagaan. Merujuk
pada
pendapat
Robin
(2002:
29),
―Kepemimpinan
merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi‖, maka terdapat korelasi positif antara kepemimpinan lokal yang direpresentasikan oleh kepemimpinan kepala daerah dengan kapasitas lokal untuk membangun ketahanan kota.
24
Pada titik dimana terdapat kebutuhan untuk menciptakan pemimpinpemimpin yang dapat menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara efektif dan bersih dari korupsi, maka peran dan fungsi Lembaga Administrasi Negara (LAN) beserta jajaran Badan Diklat Provinsi dan Badan
Diklat
Kabupaten/Kota
menjadi
krusial.
Kebijakan
untuk
menerapkan Diklatpim pola baru sejatinya ditujukan untuk menjawab tantangan kebutuhan pemimpin abad 21. Di abad 21, dibutuhkan kualifikasi pemimpin yang efektif dan sekaligus kreatif. Agar dapat memenuhi kualifikasi tersebut pemimpin harus mampu berpikir kritis (objektif
dan
rasional)
supaya
akuntabilitas
keputusannya
dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan standar normatif yang berlaku. Pada saat yang sama pemimpin juga harus mampu berpikir kreatif (out of the box) dengan menggunakan intuisinya. Berpikir kreatif sangat diperlukan apabila menjumpai persoalan kompleks dan rumit dimana cara-cara biasa yang diputuskan melalui proses berpikir kritis menemui jalan buntu. Inovasi melalui penemuan ideide baru sebagai hasil proses berpikir kreatif adalah jalan keluarnya. Inovasi adalah faktor kunci yang membedakan antara manajer dengan pemimpin. ―Inovasi dan berpikir kreatif menggunakan intuisi‖ menjadi arus utama (mainstream) dalam praksis pembelajaran Diklatpim pola baru yang diekspresikan pada tugas inti peserta Diklatpim yaitu merancang dan melaksanakan ―proyek perubahan‖. Proyek perubahan menjadi instrumen
25
pembelajaran konstruktivistik untuk mengasah kemampuan peserta agar mampu berpikir kritis menggunakan intuisinya. Pada kenyataannya, makna substantif dari materi ―inovasi‖ dalam kebijakan Diklatpim pola baru belum dapat diimplementasikan secara optimal.
Praksis
pembelajaran
Diklatpim
masih
bergeming
pada
pendekatan kognitivistik dan behavioristik. Akibatnya, misi LAN untuk menciptakan pemimpin abad 21 yang efektif dan sekaligus kreatif dapat diprediksi akan mengalami kegagalan. Pada akhirnya Diklatpim pola baru akan tidak jauh berbeda dengan wajah lamanya yaitu sebagai ―wahana mencari sertipikat‖ dan bukan sebagai wahana menciptakan pemimpin. Outcome pembelajaran hanya menghasilkan manajer yang hanya mampu mengelola tetapi tidak mampu berinovasi. Kondisi ini memunculkan pertanyaan: Bagaimana model pembelajaran yang tepat untuk menciptakan pemimpin efektif dan kreatif di masa depan? Permasalahan yang diuraikan pada tiga pemikiran di atas, mendasari peneliti untuk melakukan studi tentang model kepemimpinan lokal yang tepat untuk merespon isu kebencanaan yang dihadapi kota Semarang. Proyek Semarang RC untuk membangun ketahanan kota terhadap bencana dapat dianalogikan dengan ―proyek perubahan‖ yang dikerjakan oleh peserta Diklatpim, tetapi dengan lingkup dan skala yang lebih besar. Proyek/program Semarang RC dan program pembangunan lainnya membutuhkan kualifikasi pemimpin efektif dan kreatif di jajaran birokrasi pemerintahan daerah. Kebutuhan inilah yang harus dipenuhi melalui
26
mekanisme Diklatpim yang diselenggarakan oleh Badan Diklat Provinsi atau Kabupaten/kota. Terdapat korelasi fungsional antara pemerintah kota Semarang sebagai pengguna jasa (service user) dengan Badan Diklat sebagai penyedia jasa (service provider). Alasan inilah yang menjelaskan mengapa peneliti memilih model kepemimpinan lokal pada proyek Semarang RC sebagai objek penelitian. Temuan yang diperoleh pada studi ini nantinya akan dapat diterapkan untuk memperbaiki praksis penyelenggaraan dan pembelajaran Diklatpim, terutama pada fungsi menciptakan ―pemimpin efektif dan kreatif‖ yang mengisi jabatan struktural di jajaran birokrasi pemerintahan kota Semarang di masa depan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Model Kepemimpinan Lokal Untuk Mewujudkan Resiilient City di Kota Semarang�.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bagian latar
belakang, maka masalah kepemimpinan lokal kota Semarang untuk membangun ketahanan kota dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengapa kepemimpinan lokal walikota Semarang belum dapat meningkatkan efektifitas internal birokrasi pemerintahan di kota Semarang? 2. Bagaimana model kepemimpinan lokal efektif dan kreatif yang tepat untuk diterapkan di kota Semarang guna menanggulangi bencana?
27
3. Bagaimana model pembelajaraan Diklatpim yang tepat agar dapat menciptakan pemimpin efektif dan kreatif?
C.
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui dan menganalisis peran kepemimpinan walikota Semarang terhadap upaya pengembangan kapasitas lokal untuk menanggulangi kondisi kebencanaan 2. Mengetahui dan menganalisis model kepemimpinan lokal yang tepat untuk diterapkan guna menanggulangi kondisi kebencanaan di kota Semarang 3. Mengetahui dan menganalisis model pembelajaran Diklatpim yang tepat untuk menghasilkan pemimpin efektif dan kreatif di masa depan
D.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang
berbeda pada beberapa pemangku kepentingan sebagai berikut: 1. Bagi Lembaga Administrasi Negara (LAN) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan justifikasi teoretik terhadap praksis pembelajaran konstruktivistik melalui proyek perubahan. Studi ini menjelaskan tentang keterkaitan diantara beberapa mata ajar Diklatpim seperti inovasi, benchmarking, visitasi dan integritas. Implikasi praktis dari pembelajaran itu berujung pada kompetensi peserta untuk mampu berpikir kreatif dalam menyelesaikan masalah yang kompleks dan rumit.
28
2. Bagi Badan Diklat Provinsi atau Kabupaten Kota Praktik pembelajaran inovasi dan berpikir kreatif dalam membuat keputusan dapat diterapkan pada saat peserta Diklat pim merencanakan dan melaksanakan proyek perubahan. 3. Bagi Pemerintah Kota Semarang Memberikan inspirasi dan/atau masukan bagi pemerintah kota Semarang
untuk
menyusun
kebijakan,
perencanaan
dan
pelaksanaan pembangunan, guna membangun kapasitas lokal yang dapat menunjang upaya mengatasi kondisi kebencanaan 4. Bagi Civil Society Kota Semarang Merupakan
entry
membentuk
civil
point
bagi
society,
warga
yaitu
kota
Semarang
masyarakat
yang
untuk
memiliki
independensi, akses, peran, fungsi dan partisipasi yang semakin besar dalam penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, kontrol, monitoring dan evaluasi pembangunan di daerah. 5. Bagi Organisasi Lokal di Kota Semarang Merupakan insrumen struktural untuk menguatkan kelembagaan organisasi-organisasi lokal yang bekerjasama secara kolaboratif dengan lembaga-lembaga pemerintah kota Semarang. Model pengembangan kapasitas lokal hasil temuan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan wahana yang memungkinkan organisasi-organisasi lokal seperti LSM, komunitas warga dan organisasi massa menjadi lebih kapabel, mandiri dan mampu
29
menunjang
pemerintah
daerah
dalam
upaya
mewujudkan
Semarang Resilient City. 6. Bagi Sektor Privat Memberikan peluang kepada sektor privat atau bisnis untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam membangun ketahanan kota terhadap bencana melalui kerjasama kemitraan dengan pemerintah kota Semarang dan stakeholder lainnya.
E.
Ruang Lingkup
1.
Ruang Lingkup Wilayah Untuk memperoleh hasil pembahasan yang terfokus dan terarah
dilakukan pembatasan ruang lingkup. Ruang lingkup wilayah penelitian adalah wilayah Kota Semarang khususnya wilayah dengan rawan bencana. Wilayah administratif Kota Semarang terdiri dari 16 wilayah kecamatan dan 177 kelurahan. Kota Semarang terletak antara 109° 35‘ – 110°50‘ Bujur Timur dan 6°50‘ – 7°10‘ Lintang Selatan dengan luas sebesar 37.370,39 Ha dan dengan batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut : o
Sebelah Utara
: Laut Jawa
o
Sebelah Selatan
: Kabupaten Semarang
o
Sebelah Timur
: Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan
o
Sebelah Barat
: Kabupaten Kendal
30
31
2.
Ruang Lingkup Materi Pembatasan materi dilakukan agar penelitian dapat berjalan dengan
fokus dan terarah serta mudah diselesaikan. Kendati menurut definisi kepemimpinan lokal adalah mencakup kepemimpinan formal dan informal, namun pada penelitian ini hanya kepemimpinan walikota Semarang beserta jajaran pejabat struktural di bawahnya yang dikaji. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya yang tersedia. Selain itu, aspek utama yang dijadikan unit analisis adalah kepemimpinan walikota Semarang dalam upaya mengatasi kondisi kebencanaan. Terkait upaya
menghadapi
kondisi
kebencanaan,
indikator-indikator
kepemimpinan yang diteliti adalah visi, misi, dan tujuan pembangunan, kebijakan dan keterlibatan walikota selama periode pemerintahan 20102015. Kepemimpinan lokal sebagaimana telah dijelaskan pada batasan penelitian
adalah
kepemimpinan
walikota
beserta
jajaran
pejabat
struktural pemerintahan kota Semarang. Dinamika dan kompleksitas permasalahan dan tantangan di abad 21, menuntut para pemimpin lokal untuk
selalu
beradaptasi
dan
berinovasi
terus
menerus
dalam
menghadapi guncangan dan tekanan yang dialami kota Semarang. Agar dapat membangun ketahan kota guna mewujudkan Semarang Resilient City, dibutuhkan kepemimpinan lokal yang memenuhi standar kompetensi dan karakteristik tertentu. Kepemimpinan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap upaya pengembangan kapasitas lokal. Dengan demikian, kompetensi dan karakteristik para pemimpin di birokrasi
32
pemerintahan di tingkat lokal mempunyai peran dan fungsi strategis dalam menentukan pengembangan
keberhasilan kapasitas
pembangunan melalui
di
daerah,
peningkatan
sehingga
kompetensi
dan
karakteristik kepemimpinan di tingkat lokal perlu diupayakan secara berkelanjutan. Pengembangan kapasitas kepemimpinan ASN yang menduduki jabatan struktural sebagai pemimpin di jajaran birokrasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun lokal, adalah domain Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai pembuat kebijakan, agenda dan kurikulum Diklat Kepemimpinan (DIKLATPIM) sekaligus sebagai penyelenggara di tingkat makro,
sedangkan
Badan
Diklat
Provinsi
dan
badan
Diklat
Kabupaten/Kota masing-masing sebagai penyelenggara kebijakan di tingkat meso dan mikro. DIKLATPIM merupakan entry point bagi upaya pengembangan kapasitas kepemimpinan di tingkat lokal, yang harus dapat memberikan hasil nyata berupa meningkatnya kapasitas kinerja pembangunan di daerah, serta dapat menunjukkan dampak nyata antara lain berupa penurunan angka kemiskinan dan tingkat kerentanan terhadap bencana. Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka penelitian ini difokuskan pada kajian terhadap kepemimpinan lokal di birokrasi pemerintahan kota Semarang, yang diukur menggunakan indikator-indikator kompetensi kepemimpinan
dan karakteristik kepemimpinan. Penetapan bahwa
variabel kepemimpinan dipilih sebagai fokus studi didasarkan pada alasan sebagai berikut: (1) kepemimpinan merupakan faktor kunci yang
33
menentukan keberhasilan upaya pengembangan kapasitas lokal; (2) Upaya pengembangan kapasitas lokal harus dimulai dengan mengubah mindset, sikap dan perilaku kepemimpinan yang dilaksanakan secara simultan dengan upaya peningkatan kompetensi dan karakteristik kepemimpinan melalui DIKLATPIM yang diselenggarakan oleh LAN dan Badan Diklat Provinsi dan/atau Badan Diklat Kabupaten/Kota. Terkait dengan isu kebencanaan yang dhadapi kota Semarang dan upaya membangun ketahanan kota, adalah relevan dan sudah saatnya mengasah kemampuan peserta berpikir kreatif pada saat merancang dan melaksanakan proyek perubahan. Dalam konteks pembangunan di daerah, Fungsi DIKLATPIM menjadi sangat strategis karena muatan inovasi sebagai hasil proses berpikir kreatif dapat diimplementasikan pada proyek perubahan yang dikerjakan oleh peserta. Apabila hal ini dilaksanakan
dengan
baik,
maka
secara
akumulatif
akan
dapat
meningkatkan kapasitas kota Semarang untuk menanggulangi dan memitigasi bencana.
34
BAB II ANALISIS DATA
A.
Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep merupakan hasil pemikiran peneliti mengenai
permasalahan yang sedang dikaji dan dicarikan solusinya melalui penelitian ini. Kerangka konsep merupakan akumulasi dialektik dari berbagai
aktivitas
yang
dilakukan
seperti
observasi,
seminar,
lokakarya/workshop dan FGD berkenaan guncangan dan tekanan yang selalu dihadapi kota Semarang akibat bencana hidrometeorologi dan perubahan iklim. Realitas empiris yang teramati berupa jejak kerusakan ekologis dan kerentanan kota Semarang terhadap kondisi kebencanaan, telah memunculkan kebutuhan untuk membangun ketahanan kota yan berkelanjutan sehingga kota Semarang memiliki ketangguhan terhadap bencana. Kerangka konsep penelitian ini dapat diilustrasikan pada bagan berikut ini:
35
KAPASITAS LOKAL UNTUK MENCAPAI TUJUAN “SEMARANG RESILIENT CITY”
KEPEMILIKAN LOKAL, LOCAL GOVERNANCE, EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PEMANFAATAN SUMBER DAYA
TEORI KEPEMIMPINAN
Kondusivitas lingkungan Sosial politik
Efisiensi Instrumen Kebijakan
Efektivitas Penataan Organisasional
TEORI KAPASITAS
PROSES PERUBAHAN YANG DIKENDALIKAN OLEH “AGEN PERUBAHAN” è PEMIMPIN LOKAL è KEPEMIMPINAN LOKAL Learning Outcome 1. Bangkitnya kesadaran 3. Mengembangkan kepemimpinan efektif dan kreatif 2. Peningkatan skill 4. Menekankan pendekatan intuitif dan berpikir kreatif agar mau dan mampu berinovasi melalui penemuan ide-ide baru
5. Formulasi kebijakan/strategi 7. Penekanan aspek inovasi 6. Perencanaan berbasis nilai dan berpikir kreatif pada kearifan lokal pelaksanaan proyek perubahan
AKTIVITAS Lesson learned, Observasi, Studi Pustaka, Seminar, Lokakarya/Workshop, FGD Sumber: Dimodifikasi dari Samuel Otoo et.al.,The Capacity Development Results Framework, World Bank Institute, 2009
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
36
B.
Konstruk Teoritis Model Kepemimpinan Lokal Istilah
kepemimpinan
baik
secara
teoritis
maupun
praktis
memberikan gambaran umum tentang proses dimana seorang pemimpin yang memiliki sejumlah unsur-unsur kepemimpinan seperti: atribut, karakteristik, gaya, pendekatan dan perilaku kepemimpinan menjalankan proses memimpin. Berbicara mengenai kepemimpinan dalam konteks lokal, maka terdapat unsur-unsur spesifik, unik dan lokal yang membuat kepemimpinan di kota Semarang berbeda dengan gambaran umum kepemimpinan dan gambaran kepemimpinan lokal di daerah lain. Hal itu disebabkan karena premis, konsep, praksis dan pendekatan kepemimpinan yang diterapkan adalah berbeda-beda antara pemimpin yang satu dengan lainnya, tergantung pada situasi, kondisi, kebutuhan dan tujuan masing-masing daerah terkait isu aktual yang sedang mengemuka. Untuk keperluan praktis, keterkaitan antara teori, premis, konsep dan praksis perlu diintegrasikan ke dalam ―model‖ agar menjadi suatu kesatuan (entitas) yang utuh sehingga dapat diimplementasikan. Model merupakan abstraksi dari pola sistematis dan terstruktur yang memuat konsep, strategi, kerangka kerja, metode dan pendekatan yang digunakan dalam menjalankan perilaku kepemimpinan sesuai dengan situasi, kondisi, kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Stachowiak,4 model setidaknya memiliki tiga ciri utama yaitu: (1) memuat gambaran spesifik tentang produk tetapi masih terkait dengan gambaran
4
Stachowiak dalam Thomas Kuhne, What Is A Model?, Darmstadt University
37
umum/aslinya; (2) merefleksikan bagian-bagian tertentu yang menonjol dari gambaran umum; (3) dibuat untuk memenuhi tujuan tertentu. Pada konteks kepemimpinan di kota Semarang, maka model kepemimpinan lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah abstraksi dari premis, konsep strategi, praksis dan pendekatan kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala daerah walikota yang ditujukan untuk mengatasi kondisi kebencanaan di kota Semarang.
C.
Metode Penelitian Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Pendekatan studi kasus dipilih karena beberapa kelebihannya antara lain: (1) kasus yang unik dan spesifik; (2) multi perspektif dan multik konteks; (3) fleksibel dan lintas paradigma. Dari segi metodologi, penelitian ini ditujukan untuk menemukan teori dari data observasi empirik di lapangan dengan metoda induktif (menemukan teori dari sejumlah data) dengan cara memenuhi beberapa karakteristik yaitu: (1) generatif yaitu penemuan atau konstruksi teori menggunakan data sebagai evidensi; (2) konstruktif yaitu menemukan konstruksi teori atau kategori lewat analisis dan proses mengabstraksi; dan (3) subyektif yaitu merekonstruksi penafsiran dan pemaknaan hasil penelitian berdasarkan konseptualisasi masyarakat yang dijadikan subyek studi. Motode menemukan teori dari analisis data empirik melalui proses induktif disebut sebagai ―Grounded Theory (selanjutnya disingkat GT). GT disebut juga dengan local theory, patterned theory yang bersifat open ended sehingga dapat diperluas tanpa batas. Peneliti GT harus terlibat
38
langsung dengan dunia yang diteliti untuk menjamin hasil penelitian benar-benar bersumber ―(grounded)‖ dari masyarakat yang diteliti. Inti dari proses GT dalam membangkitkan teori menurut Aidah (2008) adalah perbandingan terus menerus (constant comparison). Isu-isu
penting
keterwakilan
dari
keterulangan
dari
Auditability,
yang
temuannya
dan
perhatian
dijelaskan
temuannya
kekuatan
consistency,
memikat
dengan
dijelaskan
metodologinya
kemampuan
dalam
generalisasi
adalah
confirmatibility,
dengan
dijelaskan
GT
dependability/
dengan
internal
diterangkan
dengan
transferability. Tujuan umum dari penelitian GT adalah mengkonstruksi teori untuk memahami suatu penomena. Menurut Haig (1995) sebuah GT dikatakan baik jika: (1) secara induktif diperoleh dari data empirik; (2) dielaborasi secara teoritis; dan (3) diputuskan cukup memadai dengan domain dari sejumlah kriteria evaluasi. GT berkaitan dengan proses pengumpulan data dan melakukan induksi secara spontan dan alami (Morse, 2001), dimana peneliti ke lapangan tidak membawa ide-ide sebagai pertimbangan sebelumnya untuk membuktikan atau tidak. Isu-isu penting dari partisipan muncul dari kisah atau cerita yang mereka katakan tentang sesuatu yang menjadi interes bersama-sama peneliti. Peneliti mengalisis data dengan analisis komparatif (comparative analysis),
menganalisis
data
secara
refleksif,
dilanjutkan
dengan
pembandingan interpretasi yang diterjemahkan kedalam kode-kode dan kategori. Melalui analisis analisis komparatif, peneliti di lapangan
39
membuat teori berdasarkan pengalaman partisipan. (MacDonald, 2001; MacDonald & Schreiber, 2001; Wuest & Merritt-Gray, 2001).
D.
Desain Penelitian Gambar 2. Desain Penelitian
OBSERVASI
Fenomena Kerentanan Kota Semarang Terhadap Bencana
KASUS Kota Semarang tidak tangguh (belum memiliki kapasitas lokal terkait kebencanaan)
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah kepemimpinan lokal saat ini sudah efektif? 2. bagaimana model kepemimpinan lokal yang efektif? 3. bagaimana model pembelajaran yang tepat dalam menciptakan pemimpin efektif dan kreatif?
Menentukan Desain Penelitian
Tipe penelitian : Kualitatif Pendekatan: Studi Kasus
Pengumpulan Data Wawancara, FGD
Data primer dan sekunder
Analisis Preskriptif
MODEL KEPEMIMPINAN LOKAL
ISU KETAHANAN KOTA
Guncangan Banjir bandang, kebakaran, longsor, DBD, kekeringan, stabilitas pasokan bahan baku Tekanan Banjir rob, kekurangan air bersih, penurunan muka tanah, Kemacetan lauli lintas, pengangguran dan kemskinan, penurunan kualtas air sungai, pencemaran, stabilitas pasokan listrik, abrasi, krisis ekonomi
Karakteristik 1. Spesifik/unik 2. Multi konteks 3. Multi perspektif 4. Mendalam dan terinci 3. Fleksibel 4. Lintas paradigma
TEORI KEPEMIMPINAN LOKAL
Sumber: Dielaborasi dari Remenyi et. al., (1998:45) dalam Sitha Laksmi dkk. (2011) – CIPG oleh Lilin Budiati, 2014
E.
Definisi Operasional Pada setiap penelitian diperlukan definisi operasional, agar variabel-
variabel yang diteliti dapat diukur dan dianalisis baik secara deskriptif maupun preskriptif. Definisi operasional merupakan rumusan tentang indikator-indikator, cara pengkuran dan alat ukur dari variabel yang diteliti.
40
Tabel 2. Definisi Oprasional Kepemimpinan Walikota Semarang Variabel
Dimensi Kebijakan dan/atau program
Efektifitas
Kepemimpinan
Pengaruh Kepemimpinan Casey (2008)
Kompetensi Inti Sondang P. Siagian (1999: 39)
Keterlibatan terhadap upaya mengatasi kondisi kebencanaan
Perencanaan (T. Hani Handoko (2003: 79-81)
Indikator Adanya kebijakan Keberlanjutan Partisipasi Transparansi Adanya visi, misi dan tujuan Kejelasan tujuan Pencapaian tujuan Kemampuan adaptasi Integrasi Modal kepemimpinan
Memiliki kondisi fisik yang sehat sesuai dengan tugasnya Berpengetahuan luas Mempunyai keyakinan bahwa organisasi akan berhasil mencapai tujuan Kemampuan inovasi Menetapkan nilai
Kehadiran dalam seminar, workshop Dukungan
rapat,
1. Menetapkan tujuan 2. Merumuskan keadaan saat ini 3. Mengidentifikasi kemudahan dan hambatan 4. Membuat rangkaian kegiatan dalam mencapai tujuan 5. Membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan 6. Membantu mengidentifikasi masalah utama
Output SK Walikota Peraturan Walikota RPJMD, RPJP Program adaptasi atau mitigasi bencana Visi, misi dan tujuan Capaian kinerja
Modal manusia, modal institusi, modal sosial, modal simbolik, modal ekonomi, modal budaya, modal moral Kondisi fisik dan status kesehatan Tingkat pendidikan dan pengalaman Visi dan misi Inovasi dalam kebijakan dan program Nilai-nilai yang diterapkan dalam mengatasi bencana Daftar hadir Penyediaan anggaran bantuan terhadap penyelenggaraan kegiatan Dokumen perencanaan
41
F.
Analisis Kepemimpinan Lokal Dalam Perspektif Kebencanaan dan Konteks Ketahanan Kota Inti dari kepemimpinan lokal mencakup tiga unsur kepemimpinan
yaitu: (1) kepemimpinan politik yang diselenggarakan oleh kepala daerah/walikota beserta jajaran pimpinan birokrasi pemerintahan di bawahnya; (2) Kepemimpinan profesional dan/atau managerial yang diselenggarakan oleh para profesional dan/atau perguruan tinggi; dan (3) Kepemimpinan
Komunitas
yang
diselenggarakan
oleh
pimpinan
komunitas/civil society, organisasi non pemerintah, LSM dan pimpinan sektor privat. Perspektif kepemimpinan lokal dapat diilustrasikan pada gambar 3. sebagai berikut: Gambar 3. Perspektif Kepemimpinan Lokal
KEPEMIMPINAN INTEGRATIF
KEPALA DAERAH/ WALIKOTA
NGO &TOKOH MASYARAKAT
KEPEMIMPINAN LOKAL
PERGURUAN TINGGI
KEPEMIMPINAN KOLABORATIF
Di antara ketiga unsur kepemimpinan lokal tersebut, kepemimpinan politik yang diselenggarakan oleh kepala daerah/ walikota Semarang
42
merupakan faktor dominan yang mendeterminasi efektivitas kinerja dua unsur kepemimpinan lokal lainnya. Meskipun kepemimpinan profesional dan kepemimpinan komunitas dapat berjalan sendiri secara terpisah, tetapi tanpa adanya dukungan dan kolaborasi dari kepemimpinan kepala daerah/walikota tidak akan bisa mencapai hasil yang optimal. Efektivitas kinerja kepemimpinan politik yang dijalankan oleh kepala daerah/walikota ditentukan oleh lima kapasitas inti kepemimpinan yaitu: (1) menetapkan tujuan; (2) mengalokasian sumber daya berdasarkan prioritas; (3) mempromosikan budaya pembelajaran kolaboratif terhadap setiap isu dan masalah; (4) manajemen pengetahuan berbasis data dan informasi akurat; dan (5) mendorong pemikiran kreatif dan progresif untuk menemukan inovasi dalam menyelesaikan masalah (Elmore R., 2007). Kepemimpinan
lokal
memiliki
peran
penting
dalam
upaya
mengembangkan kapasitas lokal untuk membangun ketahanan kota agar dapat mengurangi dan mengelola risiko, beradaptasi, memberikan respon, memitigasi dampak serta memulihkan diri dari kerusakan dan/atau kerugian akibat bencana. Untuk dapat mencapai tujuan itu, maka kepemimpinan lokal harus dapat mengintegrasikan upaya pengurangan dan
pengelolaan
perencanaan
risiko
serta
pembangunan
adaptasi
ruang
terhadap
perkotaan
bencana
berjangka
pada
pendek,
menengah dan panjang. Tujuan membangun ketahanan kota dapat dicapai hanya apabila kota dipandang sebagai sistem di mana terdapat tata kelola perkotaan yang baik (good urban governance). Menurut Bank Dunia (2010), good
43
urban governance mencakup empat ranah yaitu: (1) Inklusi; (2) produktivitas; (3) Keberlanjutan; dan (4) Identitas. Makna substantif dari good urban governance dalam perspektif kebencanaan dan ketahanan kota adalah: (a) pemerintah kota Semarang menjadi konseptor, inisiator dan sekaligus implementor kebijakan pengembangan kapasitas lokal untuk membangun ―ketahanan kota‖ yang berbasis pada identitas lokal, yang mengarah pada aktualisasi ―identitas lokal‖ yaitu sesuatu yang menunjukkan ciri-ciri lokal/lokalitas yang dimiliki (geografis,
historis,
karakteristik
dan
kultural)
sebagai
basis
pengembangan kapasitas lokal; (b) pengembangan kapasitas lokal dicapai melalui produktivitas atau pertumbuhan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya; (c) upaya pembangunan harus melibatkan partisipasi pemangku kepentingan dan/atau civil society pada tahap pengambilan keputusan,
perencanaan,
pelaksanaan
dan
evaluasi;
(d)
Hasil
pembangunan berupa produktivitas atau pertumbuhan, tidak boleh dicapai dengan mengabaikan asas keseimbangan dan keselarasan di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan; dan (e) pembangunan sistem perkotaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip good urban governance. Konstruk teoritis sistem perkotaan dapat diilustrasikan pada gambar di bawah ini:
44
Gambar 4. Konstruk Teoritis Sistem Perkotaan
Berdasarkan konstruk teoritis tersebut, maka kepemimpinan lokal di kota Semarang dikaji melalui beberapa temuan yang diperoleh di lapangan selama berlangsungnya penelitian. Temuan-temuan tersebut dikaji berdasarkan aspek-aspek kebijakan, strategi dan perencanaan, prioritas, transparansi, keberlanjutan dan partisipasi kepemimpinan kepala daerah/walikota selaku pemegang otoritas pemerintahan di daerah. Temuan-temuan yang diperoleh pada penelitian ini antara lain sebagai berikut:
45
1.
Efektivitas Kepemimpinan Kepala daerah/Walikota Semarang Terkait Isu Kebencanaan dan Ketahanan Kota Berikut adalah tabel penilaian tentang efektivitas kepemimpinan kepala daerah/walikota Semarang: Tabel 3. Hasil Penilaian Tentang Efektivitas Kepemimpinan Kepala Daerah / Walikota Semarang
No.
Substansi
Bobot
Tingkat Kepentingan
Skor
1
Visi, Misi dan Tujuan
4
1,25
5
2
Kebijakan
2
1,25
2,5
3
Strategi
2
1,25
2,5
4
Partisipasi
2
0,75
1,5
5
Prioritas
1,2
1,25
3,75
6
Legalitas
1,2,3
1,75
10,5
7
Keterlibatan stakeholder
2
1,25
2,5
8
Manajemen pengetahuan dan teknologi
1, 2
1,75
5,25
9
Pemanfaatan data & informasi
1, 2
1,75
5,25
10
Bentuk kelembagaan
2
1,25
2,5
11 12
Kerjasama atau kemitraan Inovasi
2 2
1,50 1,25
3 2,5
Keterangan 1= belum ada; 2 = ada tetapi tidak jelas; 3 = ada, jelas tetapi parsial/sektoral; 4 = ada, jelas dan komprehensif; 5 = sudah menjadi agenda dan tujuan bersama 1 = belum ada; 2 = ada tetapi berorientasi pada anggaran atau proyek; 3 = ada, ber-orientasi pada risiko dan hasil 1 = belum ada; 2 = ada tetapi belum terintegrasi antara pencegahan, mitigasi, res-pon, pengurangan risiko dan pemulihan/rekonstruksi; 3 = ada dan sudah terintegrasi 1 = belum ada; 2 = ada tetapi sebatas didengar aspirasi dan pendapatnya; 3 = ada dan sudah dilibatkan dalam pengambilan keputusan 1 = prioritas hanya pada kepentingan sektoral/lokal berjangka pendek; 2 = prioritas pada kepentingan regional berjangka menengah; 3 = prioritas pada kepentingan nasional berjangka panjang 1 = belum ada regulasi; 2 = Surat Keputusan (SK) atau Peraturan Walikota (Perwal); 3 = Peraturan Daerah (Perda) 1 = hanya pemerintah daerah; 2 = pemerintah daerah, perguruan tinggi dan masyarakat; 3 = pemerintah daerah, masyarakat, perguruan tinggi dan sektor privat/swasta 1 = Belum memanfaatkan pengetahuan & teknologi; 2 = Kadang-kadang atau memanfaatkan dalam lingkup dan skala terbatas; 3 = selalu memanfaatkan pada tiap proses pengambilan keputusan 1 = belum ada data/informasi; 2 = ada data/informasi tetapi tidak lengkap/ akurat dan sulit diakses publik; 3 = selalu ada data lengkap/akurat dan mudah diakses publik 1 = belum ada kelembagaan; 2 = ada lembaga tetapi berstatus ad hoc; 3 = sudah ada lembaga permanen 1 = tidak/belum ada kerjasama; 2 = kooperasi; 3 = koordinasi; 4 = kolaborasi 1 = belum ada inovasi; 2 = inovasi pada tingkat produk, kebijakan, strategi,
46
No.
Substansi
Bobot
Tingkat Kepentingan
Skor
13
Transparansi
2
1,25
2,5
14
Keberlanjutan
2
1,25
2,5
15
Diseminasi/Sosialisasi dan/atau edukasi
1
0,75
0,75
16
Pendekatan
1, 2
1,50
4,5
Jumlah Total
Keterangan metode atau pendekatan; 3 = inovasi pada tingkat sistem 1 = belum ada keterbukaan; 2 = ada keterbukaan tetapi terbatas pada stakeholder inti; 3 = keterbukaan terhadap publik 1 = tidak ada keberlanjutan dan hanya berbasis proyek jangka pendek; 2 = Ada keberlanjutan berjangka menengah selama lima tahun; 3 = keberlanjutan berjangka panjang sampai beberapa periode pemerintahan. 1 = Belum ada; 2 = hanya diseminasi; 3 = diseminasi dan sosialisasi; 4 = edukasi 1 = Top down berbasis anggaran/proyek; 2 = Top down disertai bottom up yang didasarkan pada kebutuhan dan aspirasi publik; 3 = integrasi topdown dan bottom up berbasis kemitraan sektor publik dan sektor privat (Public – Private – Partnership)
57
Sumber: Hasil FGD tanggal 31 Maret 2016, wawancara (diolah)
Keterangan: Skor = bobot x tingkat kepentingan Tingkat Kepentingan 1,75 : Kepentingan negara 1,50 : kepentingan provinsi 1,25 : Kepentingan kabupaten/kota 0,75 : Kepentingan lokal 0,50 : Tidak ada kepentingan (Sumber : Kementrian PU)
∑ Kelas/kategori = 3, terdiri dari tidak efektif, cukup efektif dan efektif
∑ total skor minimum = 21 ∑ total skor maksimum = 67,75 Rentang = ∑ total skor maksimum - ∑ total skor minimum = 67,75 – 21 = 46,75 Interval = Kategori Skor 21 – 36,6 = tidak efektif ˃ 36,6 – 52,2 = cukup efektif ˃ 52,2 – 67,75 = efektif
∑ skor kepemimpinan terkait isu kebencanaan dan ketahanan kota = 57, yang berarti kepemimpinan walikota Semarang termasuk kategori efektif
47
Pada lingkup terbatas (sektoral), yaitu dalam perspektif kebencanaan dan konteks ketahanan kota, efektivitas kepemimpinan walikota Semarang terkait isu kebencanaan (guncangan dan tekanan kronis) adalah sesuai dengan realitas keberhasilannya dalam beberapa hal antara lain (Laporan Pokja Kapasitas Tim RC Kota Semarang, 2016): a. Penilaian & pengurangan risiko dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim b. Bantuan dana dan program dari pemerintah pusat, lembaga donor internasional dan negara mitra c. Aksi adaptasi dan mitigasi terhadap guncangan akut dan tekanan kronis (pembangunan polder, kolam retensi, konservasi lahan kritis, restorasi DAS/banjir kanal barat) d. Penyusunan strategi dan roadmap ketahanan kota e. Inisiasi program Semarang RC f. Pembentukan Tim RC kota Semarang
Rangkuman hasil FGD model kepemimpinan lokal untuk mewujudkan Semarang Resilient City pada tanggal 31 Maret 2016, dapat disajikan pada tabel 4. sebagai berikut: Tabel 4. Rangkuman Hasil FGD NO.
ASPEK
KETERANGAN
48
1
Kebijakan
2
Transparansi
3
Keberlanjutan
4
Partisipasi
5
Kesadaran/awareness
6
Edukasi
Kebijakan terkait guncangan akut dan/atau tekanan kronis sudah ada. Proporsinya relatif cukup besar/banyal, tetapi lebh didominasi oleh kebijakan yang berorientasi pada proyek jangka pendek untuk tujuan kuratif sehingga bersifat elitis, incremental dan parsial. Aspek pencegahan dan adaptasi justru yang dapat membangkitkan respon dan kesiapan warga kota terhadap bencana tidak tercermin di dalam kebijakan terkait kebencanaan Pada lingkup dan konteks tertentu/terbatas misalnya banjir dan/atau banjir rob, transparansi kebijakan relatif baik/cukup. Akan tetapi, untuk masalah guncangan akut dan/atau tekanan kronis lainnya misalnya tanah longsor, kebakaran, pengangguran dan kemiskinan, DBD, stabilitas pasokan bahan baku, krisis ekonomi, dan lain-lain justru belum ada transparansi Aspek keberlanjutan hanya tercermin pada kebijakan tertentu dengan lingkup terbatas, misalnya kebijakan mengenai banjir. Ditinjau dari perspektif ketahanan kota yang sangat tergantung pada ―kapasitas lokal‖ (kepemilikan lokal, local governance, dan efisiensi-efektifitas pemanfaatan sumber daya lokal), maka aspek keberlanjutan justru belum ada atau belum termuat/tercermin pada kebijakan yang ada. Potensi partisipasi masyarakat/civil society sebagai modal sosial pembangunan justru sangat besar tetapi kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah. Dukungan, akomodasi, dan pendampingan pemerintah terhadap kegiatan swakarsa dan swadaya masyarakat/civil society sangat kurang/minimal Kesadaran masyarakat tentang kebencanaan dan/atau ketahanan kota sangat besar. Kesadaran merupakan determinan kunci untuk membangkitkan partisipasi, tetapi hal ini kurang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kota Semarang Edukasi masyarakat tentang kebencanaan dan/atau ketahan kota belum dilakukan dan belum tercermin pada kebijakan yang ada pada saat ini. Edukasi justru sangat penting bagi upaya membangkitkan kesadaran, respon, partisipasi dan pada akhirnya membangun kapasitas lokal untuk menciptakan ketahanan kota.
Sumber: FGD tanggal 31 Maret 2016
2.
Inefisiensi Instrumen Kebijakan Kepemimpinan formal walikota berkaitan langsung dengan tiga ranah
inti kapasitas birokrasi pemerintah daerah yaitu: (a) pengembangan sumber daya manusia (SDM); (b) penguatan organisasi; dan (c) reformasi kelembagaan. Kapasitas birokrasi pemerintah daerah merupakan faktor
49
determinan bagi pengembangan kapasitas lokal yang ditunjang oleh tiga pilar utama yaitu: (1) kondusivitas lingkungan sosial politik; (2) efisiensi instrumen kebijakan; dan (3) local governance. Korelasi antara Kapasitas birokrasi pemerintah kota/ kabupaten dengan kapasitas lokal ditentukan oleh efisiensi instrumen kebijakan sebagai output dari kepemimpinan walikota/kepala daerah. Korelasi instrumen kebijakan walikota dengan kapasitas lokal untuk membangun ketahanan kota diilustrasikan pada gambar 5. sebagai berikut:5 Gambar 5. Korelasi Kapasitas Birokrasi Dengan Kapasitas Lokal Melalui Efisiensi Instrumen Kebijakan Walikota KAPASITAS LOKAL Untuk membangun Ketahanan Kota
Kepemilikan Lokal, Efisiensi & Efektifitas Pemanfaatan Sumber Daya
Kondusifitas Lingkungan Sosial Politik Dukungan politik DPRD & d Dukungan sosial masyarakat)
Efisiensi Instrumen Kebijakan (Kebijakan membentuk struktur BPBD di kota Semarang)
Local Governace
Kapasitas Birokrasi Pemerintah Kota
Pengembangan SDM
Penguatan Organisasi Pemerintah & Organisasi Non Pemerintah
Reformasi Kelembagaan
Lilin Budiati, 2016, dielaborasi dari Samuel Otoo, et.al., 2009, World Bank Institute
5
Samuel Otoo, et al., Ibid., hlm. 10
50
Pada lingkup yang lebih luas, hasil Focus Group Discussion (FGD) menunjukkan bahwa kepemimpinan walikota Semarang justru belum efektif untuk mengembangkan kapasitas lokal yang dibutuhkan guna membangun ketahanan kota. Hal itu terlihat dari beberapa fakta empiris sebagai berikut: a. Program ketahanan kota dan/atau Semarang RC belum diketahui dan dipahami secara luas di jajaran SKPD maupun di masyarakat; b. Pelaksanaan proyek pembangunan kolam retensi Muktiharjo untuk menanggulangi banjir dan penggenangan, dan proyek bantuan sosial untuk pengentasan kemiskinan tidak akuntabel sehingga menjadi kasus korupsi; c. Program/proyek terkait penanggulangan bencana yang diselenggarakan oleh BPBD dan SKPD terkait, berjalan sendiri-sendiri secara terpisah dan tidak terintegrasikan dalam satu paket program penanggulangan bencana; (4) adanya SILPA sebesar 33 % dan rendahnya serapan anggaran infrastruktur yaitu sebesar 50 %. d. Rendahnya ketersediaan data dan informasi tentang kebencanaan. Data yang ada pada umumnya kurang informatif sehingga hanya bisa dipahami oleh pembuatnya saja. e. Program desa siaga yang dipromosikan oleh BPBD untuk membangun kesiapan (preparedness) dan respon masyarakat terhadap
51
bencana, dipersepsikan sebagai proyek subsidi atau hibah sehingga BPBD dimintai sejumlah dana oleh masyarakat.6
Fakta-fakta tersebut mengindikasikan bahwa instrumen kebijakan yang merupakan output kepemimpinan walikota tidak efisien dan akuntabel, sehingga implementasinya menjadi tidak efektif dan bermasalah. Dalam konteks kepemimpinan, walikota dapat dianggap kurang mengeksplorasi kapabilitasnya untuk mempengaruhi pejabat-pejabat struktural di bawahnya agar mau dan mampu mengerjakan tupoksinya guna mencapai tujuan pembangunan yang sudah direncanakan. Pada kasus BPBD kota Semarang, ketidakefektifan kinerja bukan semata-mata disebabkan karena kurangnya pengaruh dan kemampuan walikota dalam mendorong BPBD agar menjalankan tupoksinya secara efektif, tetapi lebih disebabkan karena adanya kesenjangan internal yang timbul karena struktur BPBD itu sendiri yang bersumber pada inefisiensi instrumen kebijakan tentang pembentukan struktur BPBD. Struktur BPBD dibentuk berdasarkan Perka BNPB No. 3 tentang pedoman Pembentukan BPBD Tahun 2008 dan Permendagri No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja BPBD. Terdapat fenomena ―dua matahari kembar‖ di mana dua lembaga negara yang sederajat, BNPB dan Kementerian Dalam Negeri sama-sama
6
Wawancara dengan Iwan B, selaku Kepala BPBD pada hari Selasa, tanggal 5 April 2016 di BPBD Kota Semarang
52
mengatur satu urusan yang sama yaitu pembentukan struktur BPBD. Pada kasus semacam ini, selalu muncul risiko tumpang tindih kewenangan, pertentangan, disharmoni dan inkonsistensi yang menyebabkan terjadinya inefisiensi kebijakan dan pada akhirnya menimbulkan ketidakefektifan kinerja dari lembaga yang dibentuk. Kasus BPBD merupakan dilema kelembagaan yang
bersumber
dari
adanya
kesenjangan
struktural
dan
berlanjut
menimbulkan konflik struktural, yang pada akhirnya bermuara pada ketidakefektifan kinerja BPBD. Pasal 2 ayat (1) Permendagri No. 46/2008 menyatakan bahwa: “Di setiap Provinsi dibentuk BPBD Provinsi dan disetiap Kabupaten/Kota dapat dibentuk BPBD Kabupaten/Kota”.
Kata ―dapat‖ dalam pasal tersebut bisa dimaknai bahwa struktur BPBD ―dapat dibentuk‖ atau ―dapat tidak dibentuk‖ di dalam birokrasi pemerintah kota/kabupaten. Kebijakan untuk membentuk atau tidak membentuk BPBD adalah kekuasaan/kewenangan walikota/kepala daerah. Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 46/2008, menyatakan bahwa: “BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota dipimpin Kepala Badan secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah”.
Struktur BPBD secara ex officio dijabat oleh sekretaris daerah dan secara administratif dan teknis operasional dipimpin oleh kepala BPBD. Kondisi ini berimplikasi pada tumpulnya kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan program BPBD karena kewenangan/kekuasaan kepala BPBD yang tidak penuh dan independen. 53
Kewenangan untuk membuat kebijakan adalah kekuasaan sekretaris daerah, tetapi secara teknis operasional formulasi kebijakan dilaksanakan oleh kepala BPBD. Kepala BPBD diberi kewenangan untuk memimpin organisasi untuk menjalankan kebijakan sekretaris daerah. Kewenangan untuk menjalankan tupoksi disandera dari belakang oleh sekretaris daerah . Kondisi ini mematikan kreatifitas dan motivasi kepala BPBD untuk melaksanakan tupoksi secara optimal, kreatif dan efektif. Tumpulnya kebijakan dan stagnasi kreatifitas BPBD dapat disimpulkan dari hasil wawancara secara terpisah dengan Kepala BPBD dan Kepala Bappeda kota Semarang. Menurut pendapat Kepala BPBD kota Semarang, rendahnya kinerja BPBD disebabkan karena dua hal yaitu: (a) anggaran BPBD yang terlalu kecil untuk melaksanakan tupoksi dengan lingkup dan skala yang besar; dan (b) kewenangan membuat kebijakan berada di tangan sekretaris daerah selaku pemangku jabatan ex officio. Sedangkan menurut pendapat kepala Bappeda kota Semarang, BPBD bisa mendapatkan anggaran yang lebih besar jika cukup kreatif dan mau membuat usulan program/proyek penanggulangan bencana yang tidak terbatas hanya pada saat dan sesudah bencana, tetapi juga sebelum terjadinya bencana. 7 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidakefektifan kinerja BPBD disebabkan oleh ketidakefisienan (inefisiensi) instrumen kebijakan. Inefisiensi itu dimulai dari struktur birokrasi pemerintah pusat (tumpang tindih kewenangan dalam pembentukan struktur BPBD). Konflik 7
Hasil wawancara dengan Kepala BPBD dan Kepala Bappeda pemerintah kota Semarang
54
struktural antara BNPB dan Kementerian Dalam Negeri sudah ada, bahkan sebelum BPBD dibentuk. Walikota serta merta mendapat warisan konflik struktural ini saat membentuk BPBD. Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 46 Tahun 2008 justru menambah konflik baru yang memperbesar konflik yang sudah ada. Konflik ini menyebabkan secara langsung inefisiensi kebijakan walikota dalam membentuk BPBD di kota Semarang. Kondisi ini berpengaruh langsung terhadap keberhasilan pengembangan kapasitas lokal yang dibutuhkan untuk membangun ketahanan kota.
3.
Faktor-Faktor Penyebab Ketidakefektifan Kepemimpinan dan/ atau Kebijakan Walikota Semarang Terkait Isu Kebencanaan (Guncangan Akut &Tekanan Kronis) dan Ketahanan Kota Berdasarkan hasil FGD tanggal 31 Maret 2016, ketidakefektifan
kepemimpinan walikota untuk mengembangkan kapasitas lokal yang dibutuhkan guna membangun ketahanan kota, ternyata disebabkan oleh beberapa faktor penyebab sebagaimana diuraikan di bawah ini:
a) Perencanaan temporer
yang
berorientasi
pada
tujuan
praktis
dan
Beberapa kebijakan di Kota Semarang terkait kebencanaan belum mewujudkan penataan ruang kota sebagai suatu sistem komprehensif dan terpadu, masih bersifat incremental, elitis dan sektoral. Kebijakan lebih menekankan pada upaya pemulihan pasca bencana atau kuratif, dan kurang mengutamakan pada upaya-upaya preventif dan/atau upaya membangun kesiapan (preparedness) serta upaya melatih respon terhadap bencana. 55
Pemerintah lebih berfokus pada kebijakan atau program saat dan pasca kebencanaan muncul. Kebijakan yang ada bertujuan tunggal dengan lingkup terbatas pada bencana tertentu misalnya banjir. Implementasi kebijakan terkait banjir sebagaimana yang bisa dilihat di kota Semarang antara lain: sistem peringatan dini (early warning sistem), pengerukan sedimentasi sungai, peninggian badan jalan dan pembangunan kolam retensi. Untuk tujuan praktis penanggulangan banjir pada kelompok rentan di area terdampak, hal itu sudah cukup efektif sebagaimana yang diungkapkan oleh warga Panggung Lor bahwa intensitas banjir dan penggenangan (inundation) sudah berkurang banyak (data mengenai berapa persen pengurangan intensitas banjir dan luasan area penggenangan belum ada). Ditinjau dari perspektif kota sebagai sistem dan konteks kebencanaan, maka kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh pemerintah kota Semarang belum efektif karena belum menggambarkan Good Local/Urban Governance yang berpilar pada asas-asas: inklusi, produktifitas, lokalitas dan keberlanjutan. Program/proyek terkait banjir semuanya diinisiasi oleh pemerintah dengan dana APBD dan/atau APBN, dan bertujuan tunggal mengatasi
masalah-masalah
yang
berkaitan
dengan
banjir
saja.
Pembangunan kolam retensi dan pengerukan sedimentasi sungai atau normalisasi DAS, belum disertai dengan upaya menumbuhkan produktifitas perekonomian rakyat, mengikutsertakan partisipasi warga kota dalam perencanaan kota dan memikul beban pembangunan secara swakarsa dan swadaya. Penataan ruang sungai belum diarahkan pada upaya menciptakan 56
kawasan waterfront sebagai suatu sistem yang mengubah kerentanan menjadi ketangguhan. Ketahanan kota dapat dibangun hanya apabila kapasitas lokal dikembangkan
lebih
dulu
oleh
pemimpin
lokal,
terutama
kepala
daerah/walikota. Salah satu unsur kapasitas lokal adalah ―kepemilikan lokal‖8 sebagai bagian dari identitas lokal/lokalitas yang menjadi salah satu pilar good urban governance sistem kota. Program membangun ketahanan kota dan/atau Semarang RC, ternyata belum banyak diketahui atau dipahami bahkan di kalangan pejabat SKPD, apalagi di kalangan masyarakat umum di luar birokrasi pemerintahan. Melihat kenyataan ini, maka pendapat para peserta FGD yang menyatakan bahwa kebijakan Semarang RC bersifat elitis ada benarnya. Ketahanan kota masih menjadi milik Tim RC dan/atau para aktor pelakunya saja, belum menjadi realitas objektif yang dimiliki dan dijadikan sebagai agenda dan tujuan bersama seluruh warga kota. Program ini belum menjadi unsur kepemilikan lokal yang dibutuhkan untuk membangun kapasitas lokal guna merealisasikan ketahanan kota. Jika program ini tidak sampai menjadi ―kepemilikan lokal‖, maka dapat diperkirakan akan gagal atau terhenti di tengah jalan, karena tidak mendapat dukungan sosial dari warga kota. Kondusifitas lingkungan sosial politik adalah unsur penting bagi pengembangan kapasitas lokal.9 Pernyataan itu merujuk pada pertanyaan:
8 9
Samuel Otoo, dkk.. Samuel Otoo, dkk.
57
Bagaimana persepsi warga kota terhadap program Semarang RC? Apakah program ketahanan kota dan/atau Semarang RC mendapat dukungan dari warga kota? Apakah tidak ada penolakan atau resistensi terhadap program tersebut? Apakah warga kota bersedia ikut memikul beban ekonomi untuk membangun ketahanan kota? Dukungan sosial berupa partisipasi warga kota merupakan modal sosial besar yang dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memikul beban ekonomi pembangunan melalui pembangkitan mekanisme swakarsa dan swadaya. Persoalannya terletak pada bagaimana menciptakan jejaring kerja kolaboratif yang dapat mengakomodasikan partispasi warga tanpa melanggar empat asas Good Local/Urban Governance yaitu: akuntabilitas, transparansi, ekuitas dan demokrasi (UN Habitat, 2010) Pada titik inilah tampak kesenjangan struktural di antara kepemimpinan walikota
dengan
struktur
birokrasi
di
bawahnya.
Wadah
yang
mengakomodasi partisipasi warga kota di dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan kota sebenarnya sudah ada yaitu forum ―Musrenbang‖. Tetapi struktur birokrasi pemerintahan di kota Semarang belum dapat mengefektifkan forum ini sampai pada taraf yang diharapkan. Proses transformasi sosial di mana warga kota dapat melakukan mobilisasi vertikal untuk ikut menentukan perencanaan kota tidak terjadi. Arus kebijakan walikota yang bersifat top down dan arus aspirasi dan pendapat masyarakat yang bersifat bottom up, tidak terintegrasikan dalam
58
suatu titik kompromi berdasarkan musyawarah-mufakat untuk memutuskan tentang perencanaan kota. Ditinjau dari perspektif tangga partisipasi Arnstein, maka mobilitas vertikal masyarakat hanya bergeming pada tangga 1 (manipulation) dan tangga 2 (therapy). Artinya, mobilisasi vertikal warga kota belum bisa dinyatakan sebagai partisipasi, karena warga kota dimanipulasi kehadirannya hanya untuk didengar pendapat dan aspirasinya saja (tangga 1) di dalam musrenbang. Pendapat dan aspirasi warga kota hanya ditampung tetapi tidak dipakai sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Kewadiran warga kota dimanipulasi
untuk
melegitimasi
blue
perencanaan
kota
yang
sebenarnya sudah jadi. Atas kehadirannya itu, masyarakat diberi terapi (tangga 2) dengan memberikan realitas subjektif dan simbolik bahwa seolaholah aspirasi dan pendapatnya dijadikan landasan untuk menyusun perencanaan kota. Pada akhirnya forum musrenbang yang menghadirkan warga
kota
sebagai
pemangku
kepentingan
hanya
menjadi
ajang
menyampaikan keluhan dan permintaan bantuan. Kesenjangan antara kinerja walikota yang tergolong efektif dengan kinerja birokrasi pemerintahan yang tergolong tidak efektif sebagaimana yang dijelaskan di atas, dapat dijelaskan dari perspektif teori kepemimpinan situasional. Merujuk pada pendapat Paul Harsey dan Blanchard dalam Thoha (201: 71), terdapat indikasi bahwa kematangan bawahan (jajaran pemimpin birokrasi di bawah walikota) berada pada tingkatan terendah (tidak mampu dan tidak mau) untuk menindaklanjuti dan melaksanakan program Semarang 59
RC. Hal ini terbukti dari fakta empiris bahwa sangat sedikit dan jarang sekali pimpinan SKPD yang hadir di dalam kegiatan-kegiatan Tim RC kota Semarang yang dipimpin oleh walikota. Pada situasi program Semarang RC, terjadi kesenjangan (gap) pengetahuan dan persepsi karena program ini belum dikomunikasikan dengan
baik
melalui
diseminasi,
sosialisasi
dan
edukasi.
Hal
ini
menyebabkan para pejabat struktural di birokrasi pemerintah Kota Semarang ―tidak tahu‖, dan oleh karena itu ―tidak mau‖ menindaklanjuti, apalagi melaksanakannya. Rendahnya tingkat kematangan bawahan ini, dapat disebabkan
karena
adanya
kesenjangan
komunikasi
politik
maupun
komunikasi inter personal walikota mengenai kebijakan dan program Semarang RC. Tupoksi birokrasi adalah menjabarkan dan menjalankan visi, misi dan tujuan pemerintahan yang dituangkan di dalam kebijakan walikota. Pada proses ini, seringkali terjadi kebijakan walikota tidak dapat diimplementasikan dengan efektif karena adanya lima kesenjangan yaitu: (1) pengetahuan; (2) konsepsi ketahanan kota yang dipersepsikan oleh Tim RC; (3) spesifikasi; (4) pelaksanaan; dan (5) komunikasi tentang ketahanan kota dan program Semarang RC. Posisi walikota sebagai pemangku jabatan politik pada puncak hierarki struktur birokrasi pemerintahan di daerah yang membawahi para pejabat struktural eselon IV – II, yang pada umumnya adalah jabatan karir, dapat menimbulkan
kesenjangan
struktural
yang
bersumber
dari
distribusi 60
kewenangan pada fungsi-fungsi yang terdapat di dalam struktur birokrasi. Pembentukan Tim RC kota Semarang yang kelembagaannya bersifat Ad Hoc (di luar struktur birokrasi), menjelaskan mengapa program Semarang RC tidak diketahui dan belum menjadi realitas onjektif yang dijadikan sebagai agenda dan tujuan bersama. Ditinjau dari perspektif administrasi publik, maka kelima kesenjangan itu menentukan tinggi rendahnya kualitas pelayanan publik pemerintah kota Semarang terhadap warga kota. Merujuk pada model kesenjangan kualitas pelayanan (service quality) Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990),10 maka walikota bersama jajaran birokrasi pemerintahan dapat dipandang sebagai pemberi (provider), sedangkan masyarakat dipandang sebagai penerima/ pengguna (user) pelayanan publik. Kesenjangan
1:
perbedaan
antara
konsepsi
ketahanan
kota/penanggulangan bencana yang dipersepsikan oleh provider dengan yang diharapkan oleh user. Penanggulangan bencana yang dipersepsikan oleh provider berdasarkan tupoksi dan ketersediaan anggaran jelas berbeda dengan penanggulangan bencana yang diharapkan oleh user berdasarkan kebutuhan personal, komunikasi dari mulut ke mulut dan pengetahuan & pengalaman masa lalu. Diperlukan penyamaan persepsi melalui diseminasi, sosialisasi dan edukasi agar konsepsi ketahanan kota atau Semarang RC dapat menjadi realitas objektif yang dijadikan agenda dan tujuan bersama. 10
Parasuraman, Berry and Zeithaml. (1990). “An Empirical Examination of Relationship in an Extended Service Quality Model.� Marketing Science Institute Research Program Series. Report No.90 - 122.
61
Hasil FGD menyatakan bahwa perlu dilakukan penyesuaian struktural berupa perbaikan SOTK agar fungsi-fungsi SKPD terkait secara terpadu diorientasikan pada hasil yang diharapkan warga kota (user). Perencanaan program/proyek tidak lagi didasarkan pada anggaran yang tersedia, melainkan pada fungsi pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan warga kota. Anggaran yang tersedia tidak akan pernah cukup sehingga sudah saatnya walikota sebagai ―agen perubahan‖ menggerakkan sumber daya lokal, terutama masyarakat dan pihak swasta untuk bersama-sama memikul beban pembangunan ketahanan kota. Strategi untuk mengatasi kesenjangan 1 dapat dirumuskan pada boks 1 sebagai berikut:
Boks 1 Strategi Inisiasi 1 Penyamaan persepsi melalui penyusunan definisi, konsepsi dan spesifikasi ketahanan kota dan kota tangguh 2 Diseminasi, sosialisasi dan edukasi konsepsi ketahanan kota sehingga menjadi realitas objektif yang dijadikan agenda dan tujuan bersama seluruh warga kota 3 Pendayagunaan sumber daya lokal terutama warga kota dan sektor swasta, termasuk mencari sumber anggaran selain APBD atau APBN, dengan melibatkan masyarakat dan sektor swasta untuk ikut memikul beban ekonomi dalam membangun ketahanan kota 4 Merealisasikan partisipasi masyarakat sampai pada tingkat tokenism yang mencakup tangga ke 3 (informasi), tangga 4 (konsultasi) dan tangga 5 (penyesuaian) 5 Melakukan penyesuaian struktural berupa perbaikan SOTK, koordinasi fungsi-fungsi SKPD di dalam forum Musrenbang atau forum ketahanan kota 6 Melaksanakan Good Local Governance dengan pendekatan sistem berdasarkan asasasas inklusi, produktivitas, lokalitas dan keberlanjutan
62
Kesenjangan 2: perbedaan antara konsepsi ketahanan kota yang dipersepsikan oleh provider dan/atau Tim RC melalui riset dengan spesifikasi ketahanan kota yang dirumuskan oleh pemangku kepentingan berdasarkan faktor risiko dan indikator risiko. Konteks kebencanaan yang semula dirumuskan oleh ACCRN terbatas pada bencana akibat perubahan iklim, telah diperluas oleh Tim RC kota Semarang menjadi guncangan akut dan tekanan kronis. Akibat perluasan itu, maka indikator risiko kebencanaan yang dirumuskan oleh ACCRN menjadi tidak relevan untuk digunakan. Dengan demikian, spesifikasi ketahanan menurut ACCRN akan berbeda dengan spesifikasi yang dirumuskan oleh TIM RC. Pada tataran konsep, kerangka kerja Blue Wheel ketahanan kota sudah merefleksikan Local Governance kota Semarang dengan pendekatan sistem yang bertumpu pada inklusivitas, produktivitas, lokalitas dan keberlanjutan, tetapi belum merumuskan secara spesifik apa spesifikasi dari ketahanan kota yang dimaksud karena prioritas dan indikator risikonya belum ditetapkan. Berdasarkan hal itu, maka strategi untuk mengatasi kesenjangan ini dapat dilihat pada boks 2 sebagai berikut:
Boks 2 Strategi Penetapan Spesifikasi 1 2 3 4
Penetapan spesifikasi ketahanan kota Penetapan prioritas dan penyusunan kebijakan Menyusun indikator risiko dan indikator kinerja Menyusun perencanaan dan program kerja ketahanan kota bagi SKPD terkait berdasarkan prioritas, indikator risiko dan indikator kinerja 63 5 Optimasi peran dan fungsi BPBD dalam menyusun strategi dan perencanaan ketahanan kota
Kesenjangan 3: spesifikasi ketahanan kota dan/atau Semarang RC yang dirumuskan oleh Tim RC pada saat inisiasi program, memiliki strategi dan perencanaan tertentu baik pada tataran konsep maupun pada tataran pelaksanaan praktis di lapangan seperti yang dituangkan dalam kerangka kerja blue wheel ketahanan kota. Ketika program diimplementasikan, bisa terjadi bahwa pelaksanaannya tidak sesuai dengan strategi dan rencana yang sudah ditetapkan, karena konsepnya tidak jelas atau tidak didasarkan pada indikator yang spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, dan dapat diandalkan sehingga sulit diimplementasikan, dimonitor, dikontrol dan dievaluasi. Kerangka kerja blue wheel ketahanan kota perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi langkah strategis dan rencana aksi yang lebih operasional agar dapat dituangkan ke dalam program kerja SKPD terkait. Strategi untuk menjembatani kesenjangan 3 ini dapat dilihat pada boks 3 sebagai berikut:
Boks 3 Strategi Pelaksanaan Kerangka Kerja Blue Wheel Ketahanan Kota 1 Optimasi peran dan fungsi forum ketahanan kota dalam pelaksanaan program 2 Penyesuaian struktural untuk menyelaraskan karakteristik organisasi formal dan non formal melalui forum musrenbang, dengan lebih menekankan pada aspek fungsi daripada aspek struktur 3 Melibatkan masyarakat dan pihak/privat swasta pada tiap kegiatan atau program ketahanan kota berbasis kemitraan sektor publik - privat
64
Kesenjangan 4: ketidakberhasilan program restorasi hutan bakau di kecamatan Tugu Semarang Barat, salah satunya dapat disebabkan karena adanya kesenjangan komunikasi eksternal pihak provider (pemerintah kota) dengan masyarakat penerima proyek (user). Substansi, maksud dan tujuan proyek kurang disosialisasikan sehingga dipersepsikan salah sebagai kepentingan
pemerintah. Warga
merasa tidak berkepentingan
untuk
menjaga, memelihara dan mengembangkan apa yang sudah dimulai agar keberlanjutan program tersebut dapat dipertahankan. Komunikasi yang kurang atau tidak tepat, tidak dapat membangkitkan motivasi dan partisipasi masyarakat, bahkan dapat berbalik menjadi dorongan untuk meminta kompensasi atas partisipasinya. Situasi ini analog dengan program desa siaga yang dipromosikan oleh BPBD. Strategi untuk mengatasi kesenjangan 4 ini dapat dilihat pada boks 4 sebagai berikut:
Boks 4 Strategi Komunikasi Eksternal 1 Melakukan diseminasi, sosialisasi dan edukasi tentang ketahanan kota kepada masyarakat 2 Mengefektifkan peran dan fungsi PKK sebagai instrumen untuk mempromosikan ketahanan kota berbasis gender 3 Mengefektifkan peran dan fungsi organisasi non pemerintah, ormas dan LSM sebagai isntrumen untuk edukasi ketahanan kota kepada masyarakat 4 Optimasi peran dan fungsi media sebagai instrumen penyedia informasi, monitor dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan edukasi masyarakat
65
Kesenjangan 5: Hasil pembangunan ketahanan kota yang diterima atau dirasakan oleh warga kota (user) seringkali berbeda dengan hasil yang diharapkan.
Kesenjangan
semacam
ini
lazim
terjadi
terutama
jika
perencanaan dan manajemen pelaksanaannya tidak baik. Strategi untuk menjembatani kesenjangan 5 dapat dilihat pada boks 5 sebagai berikut:
Model
Boks 5 Strategi Manajemen Pelaksanaan kesenjangan Zeithaml dkk., Proyek dapat
diadopsi
untuk
1 Program ketahanan kota di breakdown menjadi kecil berdasarkan menggambarkan kesenjangan pelayanan publik unit-unit terkait program ketahanan parameter lingkup, biaya dan waktu 2 Menerapkan manajemen berdasarkan kota atau Semarang RC proyek sebagai berikut: 9 area pengetahuan
Gambar 6. Model Kesenjangan Pada Program Semarang RC Kebutuhan Personal
Komunikasi Mulut ke Mulut (WOM)
Pengalaman Masa Lalu
Hasil Program Penanggulangan Bencana/ Ketahanan Kota Yang Diharapkan GAP 5 User (Warga Kota)
Hasil Program Penanggulangan Bencana/Ketahanan Kota Yang Diterima/Dirasakan User (Warga Kota)
Provider Walikota + Birokrasi
Inisiasi, Perencanaan & Pelaksanaan Program Ketahanan Kota/ Semarang RC
GAP 4
Komunikasi Eksternal Terhadap User (Warga Kota)
GAP 1
GAP 3 Spesifikasi Ketahanan Kota/Semarang RC GAP 2 Persepsi Ketahanan Kota/Semarang RC Berdasarkan Ekspektasi Warga Kota
66
Terdapat indikasi bahwa kebijakan walikota tidak efektif dalam meningkatkan kapasitas internal birokrasi pemerintahan di kota Semarang. Ketidakefektifan itu disebabkan oleh beberapa faktor sebagaimana disajikan pada tabel 5. berikut ini:
Tabel 5. Penyebab Ketidakefektifan Kebijakan Walikota Semarang No.
Penyebab Ketidakefekti fan
1
Politik praktis perencanaan
2
Keterbatasan data dan Informasi
3
Ego Sektor
4
Program/kegi atan yang tidak aspiratif; partisipatif; inklusif
Kondisi Kota Semarang Beberapa kebijakan di Kota Semarang masih bersifat incremental, belum komprehensif dan upaya preventif masih kurang dilakukan. Pemerintah lebih berfokus pada kebijakan atau program saat dan pasca kebencanaan muncul. Kebijakan komprehensif akan membuahkan hasil atau dampak yang baik akibat didasarkan oleh proses pemikiran yang rasional dan didukung dengan data atau informasi yang lengkap. Proses yang komprehensif diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dari suatu kebijkakan. Pada aspek transparanasi kebijakan, pemerintah kurang aktif dalam mensosialisasikan kebijakan terkait ketahanan kota kepada masyarakat. Masyarakat seharusnya dapat mengakses dengan mudah informasi-informasi baik dari media konvensional maupun media sosial. Sebagai contoh kebijakan mengenai perijinan dan pengawasan ABT di Kota Semarang relatif belum jelas Adanya ―confusing program‖ sehingga terdapat program-program dimana nama proyek redaksionalnya beda tetapi substansinya sama. Suatu program atau kebijakan haruslah bersifat inklusif artinya dalam prosesnya melibatkan dan memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada semua pemangku kepentingan untuk menyampaikan masalahnya, mengemukakan pandangannya, dan menentukan peranan dan kontribusinya dalam pencapaian hasil. Implementasi di Kota Semarang menunjukkan bahwa masih partisipasi masyarakat sudah mulai nampak namun masih perlu ditingkatkan
67
No.
Penyebab Ketidakefekti fan
5
Monev yang lemah
6
Kapasitas kelembagaan yang bersifat Ad Hoc.
Kondisi Kota Semarang Selain dari masyarakat, peran pihak swasta masih perlu ditingkatkan. Perlu adanya koordinasi dari pihak pemerintah, swasta dan masyarakat yang saling terintegrasi satu sama lain agar kebijakan dapat berjalan dengan baik Pentingnya pemantauan dan evaluasi pelaksanaan suatu kebijakan atau program menjadi sebagai indikator utama untuk mengetahui sejauh mana program-program tersebut telah tercapai, apa saja kendala di lapangan, serta bagaimana pemecahannya. Monitoring dan evaluasi yang masih lemah menjadi kendala keberhasilan kebijakan di Kota Semarang contohnya adalah mengenai kebijakan perijinan ABT (Air Bawah Tanah). Perijinan ABT sudah ketat dengan adanya regulasi pelarangan di zona merah, namun monitoring dan evaluasi di lapangan perlu dilakukan agar tidak ada pelanggaranpelanggaran yang dilakukan pemohon ijin ABT tersebut. Jaringan antar lembaga yang tidak terpadu dalam proses perencanaan, masih adanya tumpang tindih kewenangan dan overlapping program menyebabkan kebijakan menjadi tidak fokus. Seharusnya terdapat grand design yang disepakati oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah (Bappeda, BPBD, dan dinas terkait), swasta, dan masyarakat sehubungan dengan program-program ketahanan kota di Kota Semarang sehingga peran dan fungsi dari masingmasing pihak jelas.
Sumber: FGD tanggal 31 Maret 2016
4.
Analisis Perbandingan Kepemimpinan lokal di kota Semarang dan Surabaya
Tabel 6. Perbandingan Kepemimpinan lokal di kota Semarang dan Surabaya Terkait Isu Kebencanaan dan Ketahanan Kota No.
Substansi
1
Kelembagaan
2
Struktur Organisasi
Kota Semarang Terdapat lembaga struktural di birokrasi pemerintahan ko-ta Semarang yaitu Badan Penanggulangan Bencana da-erah (BPBD)
BPBD Kota Semarang di-pimpin oleh Kepala Badan secara exofficio dijabat oleh Sekretaris Daerah
Kota Surabaya Tidak ada lembaga struktural yang khusus untuk menangani bencana seperti BPBD. Tupoksi pe-nanggulangan bencana dibebankan kepada Ba-dan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masya-rakat (BAKESBANGLINMAS).  Untuk penanggulangan bencana di Sura-baya, pemkot sudah membentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (sat-lak PB), yang di bawah Bakesbanglinmas dan di setiap kecamatan dan
68
No.
3
4
Substansi
Pengambilan Keputusan
Efektivitas kinerja
Kota Semarang
Pengambilan keputusan mengenai kebencanaan ter-pusat di BPBD yang dibantu secara ad hoc oleh stakeholder ter-kait  Efektivitas kinerja menjadi kurang akibat kurangnya partisipasi dari masyarakat. Keterlibatan pihak akademisi pun sangat kurang dalam pengambilan keputusan kebencanan.  Selain itu, kinerja BPBD pun dirasa kurang efektif dalam perencanaan programprogram jangka pendek mengenai kebencanaan (rencana aksi belum ada). Kebijakan/program lebih mengarah kepada upayaupaya pasca bencana yang berjangka pendek, parsial dan tidak terintegrasi dengan program SKPD lain, dan belum pada upaya pre-ventif, adaptasi, mitigasi dan respon tanggap darurat yang terintegrasi dan berkelanjutan  Meskipun sudah ada badan formal yang menangani kebencanaan di Kota Semarang, namun untuk kualitas dan kuantitas SDM nya dirasa masih kurang
Kota Surabaya kelurahan, su-dah ada koordinator penanggulangan ben-cana.  Satlak PB yang dipimpin oleh Walikota langsung ini melibatkan 38 instansi yang ada di lingkungan Pemkot Surabaya Pengambilan keputusan selain dari pihak pemerintah (38 instansi), juga melibatkan selalu pihak perguruan tinggi seperti ITS dan masyarakat.
Meskipun tidak memiliki badan khusus dalam penanganan kebencanaan, na-mun Bakesbanglinmas Kota Surabaya dilatih untuk sigap dan tanggap ben-cana. Selain itu, degan adanya par-tisipasi dari berbagai pihak menye-babkan penanganan bencana di Kota Surabaya bisa lebih cepat. Implikasinya dilihat dari efektivitas ki-nerja adalah jalur koordinasi pena-nganan kebencanaan menjadi lebih cepat antar instansi karena persoalan bencana bukan hanya melibatkan satu atau dua, namun seluruh instansi.
Sumber: data primer hasil wawancara dengan Prof. Happy Santosa pada tanggal 7April 2016 di ITS Surabaya
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan walikota Semarang masih belum dapat meningkatkan kapasitas internal birokrasi pemerintahan di Kota Semarang. Terdapat
69
kesenjangan
antara
kinerja
kepemimpinan
walikota
dengan
kinerja
kepemimpinan pimpinan birokrasi di bawahnya. Kondisi ini akan menurunkan tingkat kinerja secara keseluruhan menjadi rendah, sebagaimana terbukti dari adanya SILPA sebesar 1,2 trilyun rupiah atau 33% dari pagu anggaran berjalan, serta tingkat serapan anggaran infrastruktur yang rendah yaitu sebesar 50%. Terkait dengan kondisi kebencanaan, maka adanya SILPA berimplikasi
pada
berkurangnya
kapasitas
lokal
untuk
membangun
ketahanan kota. Ketidakefektifan kinerja birokrasi pemerintahan khususnya dalam konteks kebencanaan, diakui oleh Kepala Bappeda kota Semarang yang menyatakan bahwa ―tiga dimensi kapasitas birokrasi pemerintahan yang meliputi fungsi-fungsi SDM, organisasi dan kelembagaan adalah lemah jika dibandingkan dengan kebutuhan dan tantangan pembangunan yang semakin kompleks dan rumit‖.
11
Kepemimpinan formal yang ada saat ini, belum dapat
mendorong integrasi dan sinkronisasi program di antara SKPD sehingga terdapat program-program yang tidak sesuai dengan perencanaan. Kesenjangan kepemimpinan tersebut berakar dari adanya konflik struktural di tubuh birokrasi pemerintahan daerah yaitu; 12 Pertama, konflik struktural vertikal di antara struktur atas (high level bureaucracy) dengan struktur birokrasi di bawahnya (low level bureaucracy), 11
12
Wawancara dengan Ir. Bambang Haryono selaku Kepala Bappeda Kota Semarang pada hari Senin, 4 April 2016 di Bappeda Kota Semarang Sri Suwitri, Jejaring Kerja Kebijakan Dalam Perumusan Kebijakan Publik: Suatu Kajian Tentang Perumusan Kebijakan Penanggulangan Banjir Dan Rob Pemerintah Kota Semarang, Jurnal Ilmu Administrasi, Vol. VI, No. 3, Januari 2008, hlm. 21.
70
misalnya pada struktur BPBD yang dipimpin oleh Kepala BPBD tetapi secara ex officio dipimpin oleh Sekretaris Daerah (Sekda). Kewenangan kepala BPBD tidak dapat dijalankan sepenuhnya karena harus menunggu petunjuk atau instruksi Sekretaris Daerah. Di sisi lain, konflik serupa juga terjadi di antara Bappeda dengan SKPD pada tahap implementasi RKPD ke dalam program kerja masing-masing SKPD. Bappeda yang kewenangannya terbatas pada penyusunan RKPD tidak mempunyai kewenangan lebih jauh setelah RKPD dilaksanakan menjadi program kerja. Pada tahap inilah seringkali terjadi implementasi program yang melenceng dari blue print RKPD. Bahkan bisa terjadi hal yang lebih buruk di mana RKPD tidak bisa diimplementasikan karena reses politik di DPRD. Kedua, konflik struktural horisontal di antara SKPD, misalnya antara BPBD dengan Dinas Pekerjaan Umum dan/atau Badan Lingkungan Hidup dalam penanganan banjir bandang dan banjir rob. Terjadi konflik kepentingan yang bersumber dari ego sektoral dan tumpang tindih fungsi dan kewenangan di antara aktor pelaku kebijakan. Kondisi ini merupakan gambaran tipikal jejaring kerja kebijakan birokratik (bureaucratic policy network) yang didominasi oleh instruksi dan petunjuk atasan dengan sesedikit mungkin melibatkan aktor pelaku. Dalam situasi semacam ini, sulit menghilangkan kesan bahwa Bappeda adalah struktur birokrasi yang elitis dan memonopoli otoritas pembuat perencanaan. Perangkap struktural ini menjadi dilema bagi Bappeda itu sendiri. Di satu sisi, kondisi SOTK yang ada tidak memungkinkan mengakomodasi keterlibatan 71
aktor pelaku lain, termasuk masyarakat dan LSM atau organisasi non pemerintah
pada
proses
pengambilan
keputusan
dan
perencanaan.
Sementara di sisi lain, tidak ada jaminan bahwa RKPD yang disusunnya akan dilaksanakan oleh SKPD secara benar dan tepat sesuai dengan blue print asalnya. Situasi tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya SILPA atau serapan anggaran yang rendah sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Realitas empiris yang sudah terungkap melalui penelitian Sri Suwitri pada tahun 2008, ternyata belum berubah hingga saat ini. Hal ini menjawab pertanyaan penelitian: Mengapa kepemimpinan walikota Semarang belum efektif untuk meningkatkan efektifitas internal birokrasi pemerintahan, padahal kompetensi kepemimpinannya secara individual terbukti efektif dalam menginisiasi program Semarang RC. FGD pada tanggal 31 Maret 2016 menghasilkan rekomendasi yang sejalan dengan hasil penelitian Sri Suwitri, bahwa perlu dilakukan perubahan atau perbaikan SOTK untuk mewujudkan good urban governance sebagai prasyarat pengembangan kapasitas lokal guna membangun ketahanan kota. Merujuk pada pengalaman kota lain, maka dapat dipelajari pengalaman kota Surabaya dalam membangun ketahanan kota.
72
Johan Silas, 2016,13 dalam suatu wawancara tertulis dengan peneliti mengenai kepemimpinan lokal dalam membangun kota pada prinsipinya mengatakan sebagai berikut; “Ketahanan kota menjadi syarat mutlak bagi seluruh kota karena dinamika dan kompleksitas ancaman dan tantangan yang beragam dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Setiap kota perlu mengenal kapasitasnya (kapasitas sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dll), mengembangkan/meningkatkan kapasitas yang masih kurang dan menjaga kapasitas yang sudah baik. Strategi yang benar adalah yang sifatnya pendampingan karena memberi subsidi sangat jarang bisa membangun kapasitas. Pendampingan masyarakat lebih baik dilakukan oleh orang yang berpengalaman, karena masalah di lapangan bersifat sangat praktis yang mampu ditangani dengan baik oleh orang yang berpengalaman. Di awal pross, warga tidak harus mengerti tentang ketahanan kota, tetapi selalu diajak diajak ikut serta dalam program-program kota. Dengan pendampingan warga sampai ke level bawah dan pengalaman terlibat dalam program-program kota, maka lama kelamaan warga akan mengerti. Kepemimpinan lokal yang tangguh seperti rantai, dimana tiga ranah (kepemimpinan politik, kepemimpinan profesional dan kepemimpinan komunitas) masing-masing seperti mata rantai. Satu mata rantai yang lemah akan mengakibatkan rantai tidak berfungsi dengan baik, oleh sebab itu masing-masing mata rantai harus kuat. Mata rantai yang kuat harus membantu memperkuat mata rantai yang lemah, dan semua mata rantai harus bekerja sama sehinga menjadi rantai yang utuh/berfungsi, terintegrasi dalam satu sistem yang bagus.
Lesson learned yang dapat dipetik dari observasi, FGD dan pendapat pakar bagi kota Semarang menyiratkan bahwa prinsip-prinsip untuk menyusun strategi perencanaan membangun ketahanan kota Semarang antara lain adalah: (1) agenda dan tujuan bersama; (2) inovasi; (3) partisipasi pemangku kepentingan; (4) Jejaring kerja kolaboratif; (5) pendampingan; dan (6) kemitraan Kolaborasi dan kemitraan di dalam jejaring kerja kebijakan menjadi sangat penting, mengingat kapasitas pemerintah daerah tidak akan cukup 13
Johan Silas,
73
untuk memikul beban pembangunan sendirian. Partisipasi pemangku kepentingan dan semua warga kota perlu dilibatkan secara maksimal dalam setiap tahapan, mulai dari tahap pengambilan keputusan sampai dengan tahap evaluasi. Jejaring kerja kebijakan dapat diilustrasikan pada gambar 7. sebagai berikut: Gambar 7. Jejaring Kerja Kebijakan
KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK - PRIVAT
PENDAMPINGAN
PARTISIPASI Sumber: Susan R. Komives et al. (2010) Univ. of Maryland, Sage Pub., Contemporary Leadership Theories, dielaborasi oleh Lilin Budiati (2014)
G.
Model Kepemimpinan Lokal Untuk Membangun Ketahanan Kota dalam rangka Mewujudkan Semarang Resilient City
1.
Konstruksi Sosial Untuk Membentuk Konsepsi “Ketahanan Kota� Menjadi Agenda dan Tujuan bersama
74
Hasil FGD pada tanggal 31 Maret 2016 menunjukkan bahwa konsepsi ―ketahanan kota‖ untuk mewujudkan Semarang menjadi kota yang tangguh dalam menghadapi bencana, belum menjadi kepentingan, agenda dan tujuan dari warga kota Semarang karena belum diketahui dan dipahami maknanya secara luas. Ketahanan kota hanya dipahami oleh sekelompok elit pembuat kebijakan dan komunitas yang tergabung di dalam Tim RC. Hal ini mengindikasikan bahwa konsepsi ketahanan kota baru diketahui dan dipahami secara terbatas pada lingkup individual dan/atau komunitas tertentu, dan belum dipahami pada lingkup seluruh masrakat kota Semarang sebagai suatu sistem. Seseorang yang tidak tahu atau memahami tentang suatu realitas sosial, tidak akan berkepentingan terhadap realitas tersebut, apalagi menjadikannya sebagai agenda dan tujuan. Pada lingkup kota sebagai sistem, diperlukan proses konstruksi sosial untuk membuat ketahanan kota menjadi kepentingan, agenda dan tujuan bersama. Konstruksi sosial adalah proses interaksi sosial di antara individu dengan individu lain atau kelompok, dimana individu memberikan makna subjektif, makna objektif dan makna simbolik terhadap realitas yang dihadapinya. Proses pemaknaan tersebut terjadi melalui tiga aktivitas yang berlangsung simultan yaitu: (1) internalisasi; (2) eksternalisasi; dan (3) objektivisasi.14 Dalam perspektif teori konstruksi sosial, ketahanan kota dipandang 14
sebagai realitas
objektif
yang
harus
diwujudkan
melalui
Peter L Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Jakarta, LP3ES, 1990, hlm. 130.
75
internalisasi dan eksternalisasi dari ―makna simbolik‖ bencana dan ketahanan kota pada diri individu. Internalisasi akan menghasilkan makna subjektif pada tiap warga kota bahwa ketahanan kota merupakan kepentingan dan sekaligus kebutuhan, sementara eksternalisasi membangkitkan motivasi tiap warga kota untuk mencurahkan partisipasinya ke lingkungan sosialnya guna mewujudkan ketahanan kota. Manusia memahami dan memberikan makna terhadap realitas melalui internalisasi, dan mengubahnya menjadi realitas sosial melalui eksternalisasi/sosialisasi, dan akhirnya membuatnya menjadi tujuan Melalui proses internalisasi dan eksternalisasi/sosialisasi inilah individu menjadi anggota kelompok atau masyarakat. Mekanisme yang efektif untuk mengkonstruksikan ―ketahanan kota‖ menjadi realitas sosial-objektif adalah melalui edukasi dan pendampingan warga kota pada program-program pengurangan risiko, adaptasi dan penanggulangan bencana.
2.
Jejaring Kerja Kebijakan Kolaboratif Pada Proses Perencanaan Konstruksi ketahanan kota sebagai realitas objektif memerlukan
transformasi sosial, agar masyarakat dapat melakukan mobilisasi vertikal sehingga partisipasinya dapat diakomodasi oleh struktur formal birokrasi dalam pengambilan keputusan untuk menyusun perencanaan program kerja. Tingkat partisipasi masyarakat setidaknya berada di tangga ke 3-5 dari
76
tangga partisipasi Arnstein, yaitu tahap ―tokenism‖ yang mencakup informing, consultation dan placation (Arnstein, 1969). Gambar 8. Tangga Partisipasi Arnstein
Sumber: Arnstein, 1969
Sesudah ketahanan kota dipahami sebagai realitas sosial objektif, pada giliran berikutnya masyarakat harus melakukan mobilisasi sosial secara horisontal dan vertikal. Mobilisasi sosial merupakan bagian dari transformasi sosial agar masyarakat dilibatkan pada tahap pengambilan keputusan. Pada proses pengambilan keputusan dalam menyusun perencanaan inilah, masyarakat
melakukan
pembelajaran
sosial
(social
learning)
untuk
meningkatkan kapasitas fungsionalnya agar dapat memberikan perlindungan terhadap warga kota. Mobilisasi vertikal warga kota menghasilkan garis partisipasi bottom up ke arah atas. Di sisi lain, pemerintah kota harus membuat kebijakan reformasi sosial guna mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat pada tingkat yang
77
dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan pemerintah menghasilkan garis disposisi top down ke arah bawah. Garis disposisi top down dan garis partisipasi bottom up akan bertemu di garis horisontal yang merupakan garis perencanaan integratif. Pada garis inilah terjadi kompromi dalam pengambilan keputusan antara pemerintah (organisasi struktural formal) dengan masyarakat (organisasi fungsional informal) berdasarkan asas ―musyawarah-mufakat‖. Model partisipasi top down-bottom up ini dapat diilustrasikan pada gambar 9. sebagai berikut: Gambar 9. Model Partisipasi Top Down-Bottom Up
GARIS PERENCANAAN INTEGRATIF
Sumber: dielaborasi dari sumber anonim
78
3.
Model Kongruen Sebagai Model Kepemimpinan Lokal Untuk Membangun Ketahanan Kota Tim RC kota Semarang telah berhasil menyusun struktur organisasi
yang mencakup tiga unsur kepemimpinan lokal yaitu: pemimpin politik (walikota), pemimpin profesional (akademisi/ perguruan tinggi) dan pemimpin komunitas (LSM dan organisasi kemasyarakatan), serta sektor privat/swasta sebagai berikut: Gambar 10. Struktur Organisasi Program 100 RC
Sumber: PRA Pokja Kapasitas Semarang RC 2016
Struktur organisasi tersebut merepresentasikan jejaring kerja kebijakan pada level program dengan pendekatan kemitraan sektor publik-privat (public private partnership). Permasalahannya adalah bagaimana mengefektifkan
79
kinerja program agar mencapai outcome yang optimal. Pertanyaan itu relevan untuk dikemukakan mengingat:15 “Karakteristik masyarakat Semarang masih bergantung pada ketokohan dan kepeloporan dalam sistem sosial paternalistik hirarkis. Figur pemimpin masih menjadi referensi untuk memotivasi perubahan di dalam masyarakat ketimbang kesadaran dari dalam diri sendiri. Oleh karena itu sikap, perilaku dan mentalitas pemimpin lokal seharusnya menunjukkan kualitas terbaik untuk diteladani warga masyarakatnya”. Sehubungan dengan pernyataan itu, fungsi kepemimpinan lokal terutama walikota menjadi faktor kunci bagi keberhasilan program. Namun demikian, realitas empiris yang teramati di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda. Menurut Wiwandari Handayani,16 dukungan pemerintah kota Semarang terhadap pelaksanaan program 100 RC tetapi tidak signifikan dan bersifat ―sebagaimana biasanya (business as usual)‖. Tidak ada inovasi selain mengulang praktik yang sudah biasa dilakukan. Pelibatan stakeholder melalui forum Musrenbang juga belum efektif dan masih menjadi tantangan sampai dengan saat ini. Pola pembangunan yang dirumuskan melalui forum ini cenderung bersifat elitis, teknis, parsial, dan berorientasi proyek berjangka pendek.17 Pada kondisi seperti ini, fungsi pemimpin lokal sebagai ―agen perubahan‘ menjadi sangat penting. Keberhasilan program tergantung pada tiga faktor determinan yaitu: kepemimpinan, inovasi dan kolaborasi sebagaimana diilustrasikan pada gambar 4. 15
Prihadi Nugroho dalam wawancara tertulis selaku Tim RC Wiwandari Handayani, dalam wawancara tertulis 17 Prihadi Nugroho, Op.Cit. 16
80
Mengingat bahwa pada struktur organisasi program 100 RC terdapat komponen organisasi formal (pemerintah) dan organisasi informal (LSM dan organisasi kemasyarakatan), maka diperlukan suatu model kepemimpinan yang bisa mengintegrasikan kedua komponen tersebut secara selaras. Organisasi formal pemerintah kota Semarang bersifat struktural (fungsi-fungsi tersusun secara sitematis dalam struktur kierarkis), sementara organisasi informal bersifat fungsional (fungsi-fungsi tersusun tanpa struktur hierarkis). Perbedaan karakteristik organisasi ini memunculkan kesenjangan yang bila tidak disesuaikan/diselaraskan akan menimbulkan konflik yang kontra produktif bagi keberhasilan program. Penyelarasan kedua komponen tersebut dapat mengadopsi model kongruen Nadler & Tushman. Gambar 11. Model Kongruensi Nadler & Tushman
Sumber : Nadler & Tushman, 1988
81
Terkait dengan dinamika dan kompleksitas masalah dan tantangan di abad 21 yang semakin kompleks dengan tingkat kesulitan senmakin tinggi, maka dibutuhkan kompetensi dan perilaku kepemimpinan yang dapat menjawan masalah dan tantangan tersebut. Model kepemimpinan kongruen ini sangat tepat untuk diterapkan dalam upaya membangun Semarang Resilient City, karena beberapa alasan antara lain: (a) Program Semarang RC baru pada tahap inisiasi dan sedang menyusun strategi, perencanaan dan program kerja, sehingga ada peluang untuk mengefektifkan forum musrenbang dan/atau forum ketahanan kota guna mengakomodasikan partisipasi masyarakat di dalam membuat perencanaan. (b) Pada struktur organisasi Tim RC, terdapat organisasi formal (pemerintah) dan organisasi non formal (perorangan/individu, organisasi non pemerintah dan masyarakat) yang berbeda karakteristiknya. Perlu dilakukan suatu penyelarasan yang menekankan pada aspek kecocokan/kongruensi di antara komponen-komponen transformasi. (c) Kepemimpinan walikota Semarang pada saat ini adalah pada tahap awal masa pemerintahan di mana RPJMD dan RPJPD sedang disusun, sehingga ada peluang mengintegrasikan program ketahanan kota atau Semarang RC di dalam rencana pembangunan jangka menengah dan panjang kota Semarang. (d) Terdapat tuntutan masyarakat untuk meningkatkan partisipasinya di dalam perencanaan pembangunan tata ruang kota sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Struktur birokrasi yang bersigat kaku, rigid, sulit diubah dan struktur kepemimpinannya berjenjang perlu diselaraskan dengan struktur organisasi informal dan masyarakat baik itu individual maupun organisasional yang bersifat fungsional. Penyelarasan tersebut adalah dengan merancang wadah yang menampung partisipasi seluruh stakeholder secara legitimate, yaitu
82
Musrenbang. Berikut adalah model kepemimpinan lokal Kota Semarang yang dimodifikasi dari model kongruensi Nadler dan Tushman.
Gambar 12. Model Kepemimpinan Lokal PROSES TRANSFORMASI
ORGANISASI INFORMAL
INPUT
KEPEMIMPINAN LOKAL
TUPOKSI
MUSRENBANG
STRATEGI
OUTPUT PENYESUAIAN STRUKTURAL ORGANISASI FORMAL
PERENCANAAN PROGRAM
INDIVIDU
FEEDBACK
Keterangan: 1 Pada tahap Input, terdapat unsur kepemimpinan lokal yang terdiri dari kepemimpinan politik (walikota), kepemimpinan profesional (perguruan tinggi-organisasi profesi), dan kepemimpinan komunitas (LSM – organisasi kemasyarakatan). Bentuk kepemimpinan lokal yang memungkinkan untuk dilaksanakan adalah kepemimpinan kolektif yang dimotori oleh pemimpin politik (walikota) sebagai penggerak utama dan sekaligus agen perubahan, merumuskan strategi pelaksanaan kebijakan.Kepemimpinan kolektif tersebut dapat ditransormasikan pada forum ketahanan kota, yang dijalankan berdasarkan asas keselarasan/ kecocokan (kongruensi) di antara ketiga unsur kepemimpinan lokal. Selain itu, model pendekatan integratif yang memadukan unsur-unsur kepemimpinan lokal harus diterapkan agar tercapai kinerja kepemimpinan yang efektif. 2 Pada proses transformasi, strategi yang telah dirumuskan ditransformasikan berdasarkan Tupoksi SKPD terkait menjadi rencana aksi/kerja program. Proses transformasi ini melibatkan organisasi formal pemerintah dan partisipasi organisasi informal melalui forum Musrenbang. Agar organisasi informal dapat bersinergi dengan organisasi formal 83
pemerintah, diperlukan penyesuaian struktural pada birokrasi pemerintah sehingga organisasi informal dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan untuk menyusun perencanaan. Proses transformasi ini, juga dijalankan berdasarkan asas kecocokan yang menjadi basis nilai bagi model kongruen Nadler & Tushman. 3 Pada tahap output, dihasilkan rencana kerja/program yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat. 4 Pelaksanaan rencana kerja/program. Dimonitor dan dievaluasi bersama sebagai dasar memberikan feedback kepada pemimpin lokal H. Model Pembelajaran Diklatpim 1 Perspektif Kepemimpinan Pada Diklatpim Pola Baru Diklatpim pola baru adalah model pembelajaran berbasis pengalaman yang diterapkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) sejak tahun 2013 untuk menggantikan Diklatpim pola lama. Pembelajaran pola baru lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor dan berpusat pada peserta (student centered), daripada pola lama yang lebih menekankan pada aspek kognitif dan berpusat pada guru/widyaiswara (teacher centered). Ada unsur kebaruan (novelty) di mana inovasi menjadi unsur penting karena merupakan prasyarat bagi peserta untuk mengerjakan proyek perubahan. Sejak diluncurkan pada tahun 2013, Diklatpim pola baru sudah dilaksanakan selama kurang lebih hampir tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, belum pernah dilakukan analisis dan evaluasi mengenai pelaksanaan Diklatpim
pola
baru,
sehingga
tidak
dapat
diketahui
bagaimana
pelaksanaannya selama ini, apakah sudah sesuai dengan tata laksana yang ditetapkan
oleh
LAN
atau
belum.
Apakah
pelaksanaannya
sudah
memberikan hasil yang efektif atau tidak? Apabila dikatakan efektif atau tidak
84
efektif, apakah ukuran dan kriteria yang dipakai untuk menilai? Apakah ada perbedaan yang bermakna antara Diklatpim pola baru dengan Diklatpim pola lama? Apabila memang ada, apakah perbedaannya dan bagaimana pengaruhnya terhadap kompetensi kepemimpinan peserta? Hal paling penting untuk dipikirkan adalah: apakah manfaat relatif Diklatpim pola baru dibandingkan Diklatpim pola lama? Terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, perspektif kepemimpinan seperti apa yang dididik dan dilatihkan melalui Diklatpim? Beberapa pertanyaan tersebut sangat penting dan mendesak untuk dijawab, tetapi karena belum pernah dilakukan analisis maupun evaluasi, maka gambaran mengenai substansi yang dipertanyakan itu setidaknya dapat diperoleh dengan mengkaji pelaksanaan Diklatpim pola baru di Badan Diklat Provinsi Jawa tengah dan beberapa Badan Diklat Kota/Kabupaten. Data penelitian mengenai pelaksanaan Diklatpim diperoleh dari beberapa sumber antara lain: (a) Materi Pengarahan Mentor yang dikeluarkan oleh Badan Diklat provinsi jawa tengah; (b) catatan mengenai pelaksanaan pembelajaran Diklatpim; (c) Hasil angket mengenai materi ajar dan kegiatan peserta; (d) wawancara dengan peserta, alumni dan mentor. Pada penelitian ini diperoleh temuan-yemuan sebagai berikut: a. Perspektif Kepemimpinan Menurut Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah
85
Merujuk pada materi pengarahan untuk mentor tentang hubungan antara ―kepemimpinan dan perubahan‖ yang dikutip dari pendapat Ronald Heifetz sebagai berikut: ―Leadership becomes important and needed only in times when you require some kind of changes, some kind of innovation. In a stable environment, all you need is the authority or expertise‖ Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut: ―Kepemimpinan menjadi penting dan hanya dibutuhkan pada saat akan melakukan perubahan atau inovasi tertentu. Pada situasi yang stabil, yang dibutuhkan hanyalah kewenangan dan keahlian‖. Pendapat Ronald Heifetz yang dikutip tersebut tidak salah, tetapi
apabila
disampaikan
apa
adanya
(hanya
makna
eksplisit/harfiahnya saja) tanpa penafsiran lebih lanjut tentang makna implisitnya dalam konteks kepemimpinan di daerah, maka dapat timbul bias persepsi yang menyesatkan pada audiens. Bias yang dapat terjadi antara lain: (a) seolah-olah kepemimpinan diperlukan hanya pada saat akan melakukan perubahan atau inivasi; (b) seolaholah perubahan dan inovasi adalah dua situasi terpisah yang saling asing (mutually exclusive); (c) pada situasi yang stabil, seolah-olah kepemimpinan tidak diperlukan lagi karena semuanya bisa diatasi dengan kewenangan dan keahlian. Apabila bias persepsi yang dikhawatirkan itu terjadi pada mentor dan widyaiswara sebagai pendidik dan sekaligus coach, maka hal itu akan menyebabkan stagnasi kepemimpinan pada profil birokrasi
yang
statis,
konservatif,
lamban,
resisten
terhadap 86
perubahan dan mempertahankan kemapanan atau status quo. Hal ini akan menyebabkan reformasi birokrasi menjadi semakin sulit diwujudkan. Indikasi bahwa reformasi birokrasi masih sulit terwujud, terlihat dari konsep strategis reformasi kepemimpinan yang dijadikan materi arahan kepada mentor sebagai berikut: Gambar 13. Konsep Strategis Reformasi Kepemimpinan
BAGAIMANA MEREFORMASI KEPEMIMPINAN ?
TEKNIKAL TEKNIKAL
ADAPTIF ADAPTIF
MANAGEMENT
LEADERSHIP
FORMAL AUTHORITY
INFORMAL AUTHORITY
FINITE/TERBATAS
DINAMIS
Sumber: World Bank Institute
Apabila dicermati, maka gambar 13 di atas secara eksplisit menegaskan pendapat Heifetz di atas bahwa: (a) kewenangan formal hanya dipergunakan untuk mengelola birokrasi pemerintahan yang berisifat ―teknis – administratif‖; (b) kepemimpinan terpisah dari kewenangan formal, dan hanya diperlukan apabila akan beradaptasi
87
terhadap perubahan. Adaptasi terhadap perubahan dilaksanakan dengan
mentransformasikan
kewenangan
informal.
kewenangan
Pertanyaannya
adalah:
formal (a)
menjadi Bagaimana
perspektif kepemimpinan di Indonesia dalam konteks otonomi daerah?; (b) Bagaimana cara mentransformasikan kewenangan formal menjadi kewenangan informal untuk beradaptasi terhadap perubahan?; (c) Apa implikasinya apabila konsep ini ditransfer kepada mentor dan widyaiswara dan kemudian diajarkan kepada peserta? Dua kutipan di atas disampaikan apa adanya terpenggal dari teks yang menyertainya tanpa dijelaskan lebih lanjut berdasarkan perspektif dan konteksnya. Pengarahan kepada mentor, widyaiswara atau peserta mengenai konsep kepemimpinan adalah proses transfer pengetahuan
yang
bukan
sekedar
menterjemahkan
lalu
mengadopsinya tanpa melihat perspektif dan konteks masyarakat di mana suatu konsep akan diterapkan. Kepemimpinan dalam perspektif barat adalah berbeda dengan kepemimpinan dalam perspektif Indonesia, sehingga tidak bisa diadopsi begitu saja tanpa konteks politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam perspektif Indonesia, dan konteks otonomi daerah, maka kepemimpinan yang dimaksud pada kutipan di atas harus dimaknai sebagai kepemimpinan di Indonesia dalam konteks daerah yang berbeda dengan kepemimpinan di barat. 88
Pada
konteks
lokal/daerah,
terdapat
dua
kategori
kepemimpinan yaitu: (a) kepemimpinan formal yang dipangku oleh pemerintah daerah; dan (b) kepemimpinan informal yang terdiri dari kepemimpinan
komunitas
Kompetensi kepemimpinan
dan
kepemimpinan
yang dididik dan
profesional.
dilatihkan
pada
Diklatpim seharusnya kepemimpinan dalam perspektif kepemimpinan lokal. Pada bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa pemerintah daerah sebagai pemangku kewenangan formal merupakan agen perubahan
dan
sekaligus
pusat
pelibatan
para
stakeholder.
Perspektif kepemimpinan lokal ini dapat menjelaskan secara substantif mengenai apa substansi kepemimpinan dalam konteks lokal dan bagaimana mentranformasikan kewenangan formal (formal authority) menjadi kewenangan informal (informal authority). Kepemimpinan pejabat struktural pemerintah daerah harus dimaknai sebagai kepemimpinan dalam perspektif pembangunan di daerah, di mana terdapat kepemimpinan informal yang terdiri dari kepemimpinan profesional (perguruan tinggi dan organisasi profesi) dan
kepemimpinan
komunitas
(organisasi
non
pemerintah,
masyarakat dan swasta). Kepemimpinan formal (pemerintah daerah) merupakan agen dan inisiator perubahan dan sekaligus enabler kepemimpinan informal.
89
Kepemimpinan dalam perspektif pembangunan di daerah dapat diilustrasikan pada gambar 14 sebagai berikut: Gambar 14. Kepemimpinan Dalam Perspektif Pembangunan Daerah
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN DAERAH Ranah Berpikir Kritis Pencapaian Tujuan Pembangunan Aspek Manajerial Mengelola organisasi & Administrasi
KAPASITAS LOKAL
GOOD GOVERNMENTAL GOVERNANCE
Ranah Berpikir Kreatif Aspek Mengelola Perubahan
CIVIL SOCIETY
Kultur Birokrasi
Kultur Adaptasi & Inovasi
Mobilisasi Sosial
Teknis - Administratif
Fungsional
Transformasi Sosial
Manajemen
Kebijakan
Kewenangan dari UU Atribusi, Delegasi & Mandat
Kewenangan Diskresional
KEPEMIMPINAN FORMAL (Kepemimpinan Birokratik)
Tidak diatur Dengan UU INKLUSI, KOLABORASI & KEMITRAAN
KEPEMIMPINAN INFORMAL
Diklatpim KOMPETENSI
Reformasi Sosial
OTORITAS INFORMAL
OTORITAS FORMAL (Diatur dengan UU)
Lilin Budiati, 2016
LAN BANDIKLAT
Memperbesar Otoritas Informal
KEPEMIMPINAN LOKAL
KAPABILITAS
Bagan kepemimpinan pada gambar 14 di atas dapat digunakan untuk menjelaskan perspektif kepemimpinan lokal di kota Semarang
90
dalam konteks membangun ketahanan kota untuk mewujudkan Semarang Resilient City (Semarang RC). Meminjam istilah Diklatpim pola baru, maka Semarang RC dapat dipandang sebagai ―proyek perubahan‖ bagi pejabat struktural eselon II, III dan IV di kota Semarang dengan lingkup yang lebih luas dan skala lebih besar. Kepemimpinan formal pejabat struktural di kota Semarang harus dijalankan secara kolaboratif bersama-sama dengan kepemimpinan informal guna membentuk kepemimpinan lokal yang efektif. Kepemimpinan
formal
pejabat
didasarkan
pada
dua
kewenangan yaitu: (a) kewenangan formal yang bersumber dari atau diatur dengan undang-undang melalui mekanisme atribusi, delegasi atau mandat. Kewenangan formal ini digunakan untuk menjalankan fungsi manajerial
kepemimpinan
yaitu
mengelola
administrasi
dan
organisasi pemerintahan di daerah (tata usaha negara). Dalam konteks ketahanan kota, wujud pelaksanaan kewenangan formal adalah menjalankan tupoksi terkait tekanan kronis yang sudah tertuang di dalam RPJMD dan/atau RPJPD, misalnya pembangunan kolam retensi, pengerukan sedimentasi dan normalisasi kanal dan lain-lain. Untuk dapat menjalankan kewenangan formal, dibutuhkan kompetensi dengan kualifikasi tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang; Mekanisme untuk menjalankan kewenangan formal 91
diatur di dalam SOTK. Kewenangan formal bersifat kaku (rigid), pasti, jelas dan terukur, serta harus dilaksanakan tepat sebagaimana diatur oleh undang-undang, mengutamakan aspek akuntabilitas dan transparansi yang dijalankan dengan berpikir kritis (objektif-rasional) menggunakan logika akal sehat. (b) kewenangan diskresional yang melekat pada jabatan struktural yang disandang. Kewenangan ini digunakan untuk mengatasi masalah kritis, berdampak luas, tidak jelas dan meragukan tetapi mendesak harus segera diatasi dan belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme untuk menjalankan kewenangan diskresional adalah dengan membuat kebijakan. Kebijakan bersifat fleksibel tetapi tetap harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dapat dipertanggungjawabkan, dan digunakan
sebagai instrumen untuk
beradaptasi terhadap perubahan. Untuk dapat membuat kebijakan dibutuhkan inovasi dengan cara berpikir kreatif menggunakan intuisi untuk menemukan gagasan/ide baru. Dalam konteks kebencanaan, kebijakan digunakan untuk mengatasi masalah guncangan akut seperti banjir bandang, kebakaran, tanah longsor, krisis ekonomi dan lain-lain yang terjadi tiba-tiba, berdampak luas dan harus segera ditangani. Pertanyaan bagaimana cara memperbesar kewenangan formal menjadi kewenangan informal sebagaimana telah dikemukakan di 92
atas,
dapat
dijawab
dengan
membuat
kebijakan.
Masalah
kebencanaan di kota Semarang tidak akan teratasi jika hanya mengandalkan kapasitas pemerintah daerah saja, tetapi harus mengikutsertakan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat. Agar kapasitas masyarakat dapat dimanfaatkan, maka kewenangan formal pemerintah
daerah harus
ditansformasikan
menjadi kebijakan
reformasi sosial untuk memobilisasikan masyarakat agar mau dan mampu berpartisipasi ikut memikul beban dalam membangun ketahanan kota. Kompetansi kepemimpinan pejabat struktural eselon II, III dan IV pada aspek mengelola administrasi dan organisasi pemerintahan dan aspek mengelola perubahan inilah yang seharusnya dijadikan isu sentral Diklatpim yang diselenggarakan oleh Badan Diklat. Perlu dibentuk persepsi yang sama pada mentor, widyaiswara dan peserta mengenai perspektif kepemimpinan dalam konteks pembangunan di daerah, sehingga Diklatpim dapat memberikan outcome berupa perubahan perilaku kepemimpinan yang efektif dan kreatif agar dapat memberikan dampak positif berupa percepatan pembangunan berkelanjutan. Adanya
kesenjangan
persepsi
kepemimpinan
akibat
pemahaman yang berbeda-beda antara mentor, widyaiswara dan peserta,
akan
menyebabkan
timbulnya
kesenjangan
antara
93
kompetensi kepemimpinan yang dihasilkan melalui Diklatpim dengan kompetensi kepemimpinan yang diharapkan. Kesenjangan
kompetensi
(competency
gap)
didefinisikan
sebagai : ―perbedaan antara kompetensi standar yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan dan/atau tugas spesifik dengan kompetensi aktual individu pada berbagai level. Kompetensi‖.18 Kesenjangan kompetensi adalah gambaran dari kekurangan atau
ketidakcukupan
kompetensi
dan/atau
kemampuan
untuk
mencapai hasil-hasil yang telah ditargetkan sebelumnya dengan menggunakan materi dan sumber daya manusia yang tersedia. Kesenjangan kompetensi berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi/lembaga, terutama dalam hal:19 a. Menghambat perkembangan organisasi dan mengurangi kemampuan organisasi untuk merespon ancaman, sehingga kinerja organisasi menjadi tidak efisien dan tidak efektif; b. Menghambat organisasi untuk mengembangkan daya saing di aras lokal maupun flobal; c. Menghambat upaya organisasi untuk melakukan inovasi kreatif serta mengurangi kemampuan adaptasi terhadap perubahan. Adanya kesenjangan persepsi ini terbukti dari hasil observasi terhadap praktik coaching,20 bahwa ―pemahaman widyaiswara terhadap fungsi coaching berbeda-beda‖.
18
19 20
Urszula Skurzynska & Sikora, Reducing Competence Gap And The Enterprise‟s Effectiveness, Management, Knowledge and Learning International Confference, 2011, Marie Curie Institute, Poland, p. 574. Ibid. Materi Presentasi Pengarahan Mentor Diklatpim 2016, Badan Diklat provinsi Jawa Tengah.
94
Bertolak dari temuan tersebut, dapat ditarik suatu analogi bahwa jika pengertian coaching yang termasuk sederhana dapat terjadi
pemahaman
yang
berbeda-beda.
Apalagi
pemahaman
mengenai pengertian kepemimpinan yang lebih rumit, peluang terjadinya kesenjangan persepsi tentu lebih besar. Pemahaman yang berbeda-beda akan menyebabkan pelaksanaan praktik yang di tidak sama. Hal ini akan menyebabkan pelaksanaan fungsi coaching menjadi tidak efektif yang pada akhirnya berpengaruh terhadap output dan outcome Diklatpim.
2 Permasalahan Diklatpim Pola Baru Temuan
tentang
pemahaman
widyaiswara
yang
berbeda-beda
mengenai fungsi coaching sebagaimana telah diungkapkan di muka, hanyalah ujung dari sejumlah masalah lain yang dijumpai dalam praktik pembelajaran Diklatpim. Ada persoalan yang lebih mendasar mengenai bentuk, isi dan arah Diklatpim pola baru yang belum dipahami oleh penyelenggara, mentor, widyaiswara dan terlebih lagi peserta sehingga pelaksanaan penyelenggaraan dan praktik pembelajaran Diklatpim belum seperti yang diharapkan oleh pembuat kebijakan yaitu Lembaga Adiministrasi negara. Pertama,
bentuk
pembelajaran
Diklatpim:
mengenai
bentuk
pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan pejabat
95
struktural eselon I, II, III dan IV, tidak ada perbedaan antara Diklatpim pola lama dengan pola baru, yaitu melalui Diklat Kepemimpinan (Diklatpim). Kedua, Isi Diklatpim:
terdapat perbedaan substansial mengenai isi
Diklatpim pola lama dan pola baru. Pada Diklatpim pola baru ada materi ajar baru sama sekali berbeda yaitu: (a) Rumpun diagnosa kebutuhan perubahan yang mencakup materi wawasan kebangsaan, integritas, standar etika publik dan diagnostic reading; (b) Inovasi yang mencakup materi ajar berpikir kreatif dan benchmarking; dan (c) proyek perubahan. Ketiganya merupakan suatu kontinum yang berujung pada pelaksanaan proyek perubahan. Ketiga materi ajar tersebut merupakan hal baru yang belum benar-benar dipahami oleh widyaiswara, ditambah lagi tidak adanya modul dan petunjuk teknis sehingga pemahaman widyaiswara mengenai substansi ketiga materi ajar itu berbeda-beda tergantung penafsiran subjektif masing-masing widyaiswara.
Persepsi
penyelenggaraan
yang
yang
berbeda
berbeda
yang
ini
menyebabkan
pada
akhirnya
praktik
dan
menimbulkan
kebingungan di antara peserta. Persoalan-persoalan terkait materi ajar Diklatpim pola baru dapat disajikan pada tabel berikut:
No. 1
Substansi Masalah Diagnostic Reading
Status Pemahaman
Dampak Pada Peserta
Tidak jelas dan bias. Kriteria penggunaan tools DR tidak didasarkan pada kebutuhan spesifik yang sesuai dengan masalah yang dihadapi, tetapi lebih didasarkan pada parameter waktu ―baru atau usang‖.
Peserta kebingungan dan tidak mampu menggunakan tools DR. Ketika berkonsultasi kepada widyaiswara pada saat coaching, sebagian widyaiswara menyuruh peserta mencari sendiri di internet.
96
No.
Substansi Masalah
Status Pemahaman
Dampak Pada Peserta
Contoh: FFA, SWOT, fishbone atau pohon masalah tidak boleh digunakan karena dianggap sudah usang
87,2 % peserta menggunakan tools DR yang tidak sesuai dengan masalah yang dihadapi. Hasil angket pada peserta dari 4 angkatan menunjukkan bahwa 72,6 % tidak memahami tentang DR. 27,4 % yang memahami, 603 % di antaranya tidak dapat menggunakan untuk mendiagnosa masalah yang dihadapi. Peserta tidak dapat menemukan gap antara kinerjanya sendiri dengan kinerja mitra benchmark. Akibatnya peserta tidak dapat menemukan nilai-nilai best practice yang dapat diadopsi untuk memperbaiki kinerja sendiri. Setelah kunjungan benchmarking, peserta tetap tidak memahami bahwa benchmarking adalah proses yang harus dilakukan untuk menentukan perubahan dan melakukan inovasi. 93,4 % peserta tidak dapat menjawab pertanyaan pre test benchmarking, dan 62,2 % tidak dapat menjawab pertanyaan post test
2
Benchmarking
Tidak jelas. Pemahaman widyaiswara berbeda-beda . Widyaiswara tidak memahani substansi pokok dari benchmarking, sehingga tidak membuat SOP pelaksanaan kegiatan benchmarking Widyaiswara tidak membuat persiapan apapun dalam melaksanakan kegiatan Penetapan mitra benchmarking tidak didasarkan pada kriteria best in class, sehingga terjadi kenyataan bahwa mitra benchmark yang dikunjungi justru kinerjanya lebih buruk daripada kinerja peserta
3
Wawasan kebangsaan dan integritas
4
Modul belajar
Tidak jelas. Tidak jelas nilai-nilai kebangsaan dan integritas seperti apa yang akan dikembangkan melalui Diklatpim. Widyaiswara mengajarkan berdasarkan pengetahuan dan penafsiran subjektifnya terhadap standar normatif yang ada Karena tidak ada modul belajar maka pemahaman widyaiswara terhadap semua materi ajar tidak seragam
Peserta tidak tahu nilai kebangsaan dan integritas apa yang pernah diajarkan oleh Ronggowarsito sehingga layak diabadikan di museum. Peserta tidak tahu apa manfaat dari kegiatan visiytasi ini
Pemahaman peserta terhadap semua materi ajar Diklatpim juga tidak seragam, sehingga hasil pembelajaran sulit dinilai, diukur dan dievaluasi
97
Persoalan-persoalan diatas menyebabkan fungsi Diklatpim tereduksi hanya sebatas instrumen untuk menghasilkan output berupa sertipikat kelulusan
saja,
sementara
outcome
berupa
perubahan
perilaku
kepemimpinan yang efektif dan kreatif menjadi tidak jelas apakah tercapai atau tidak. Ketiga, arah Diklatpim: melihat materi ajar yang terdapat pada kurikulum Diklatpim pola baru, sudah jelas bahwa Diklatpim diarahkan untuk menghasilkan kompetensi kepemimpinan yang efektif dan kreatif sehingga mampu mengelola perubahan dengan cara membuat kebijakan-kebijakan inovatif untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi internal dan eksternal secara terus menerus. Berdasarkan uraian di atas, maka model yang dapat digunakan untuk memperbaiki praktik pembelajaran Diklatpim adalah sebagai berikut:
98
Gambar 15. Model Pembelajaran Diklatpim
OFF CAMPUS
ON CAMPUS
Ranah Berpikir Kreatif
Ranah Berpikir Kritis
BT II
Penetapan Kelulusan
Ujian Hasil
Menyusun Laporan
Mentoring
BT I
Melaksanakan Proyek Perubahan
Coaching
Proyek Perubahan
Menyusun Proposal
Persetujuan Proposal
Inovasi
Revisi &Konsultasi Pembekalan Metodologi KTI Pembekalan materi Diklatpim
Brainstorming Penemuan Ide/Gagasan Baru
Ujian Proposal Observasi Identifikasi & Analisis Masalah
Gambar 15 di atas menjelaskan perubahan penting yang sebaiknya dilakukan
agar
praktik
penyelenggaraan
proyek
perubahan
dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif. Pada saat ini, proses identifikasi dan analisis masalah, diagnosa kebutuhan perubahan menggunakan tools Diagnostic Reading, pembuatan usulan proyek perubahan dilaksanakan pada saat peserta sudah masuk kampus pada periode Breakthrough I. Hal ini tidak
99
efisien karena waktu belajar peserta banyak terbuang untuk pembuatan proposal yang sebenarnya bisa dilakukan pada saat peserta masih belum masuk Diklatpim. Pada saat instansi pengguna mengajukan peserta untuk mengikuti Diklatpim, sebaiknya sudah disertai dengan usulan proyek perubahan yang akan dilaksanakan. Pemikiran ini didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain: (a) mentor atau peserta sudah mengetahui mengenai isu aktual dan masalah yang dihadapi di unit kerja sesuai dengan tupoksi-nya; (b) peserta sekurang-kurangnya berpendidikan S1 dan bahkan seringkali berpendidikan S2 yang sudah pernah membuat proposal proyek, sehingga pembuatan proposal proyek perubahan bukanlah hal yang sulit bagi peserta; (c) pembekalan mataeri ajar diagnostic reading dapat diberikan pada saat konsultasi pada saat peserta sudah masuk Diklatpim; (d) Badan Diklat provinsi dan/atau Kota/Kabupaten hanya perlu membuat petunjuk teknis bagi peserta tentang pembuatan proposal dengan mengacu pada Perkalan Nomor 3 Tahun 2006 tentang penulisan Karya Tulis Ilmiah.
100
BAB III PENUTUP
A.
SIMPULAN Berdasarkan temuan dan hasil analisis data penelitian, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1 Kepemimpinan walikota Semarang terkait isu kebencanaan dan ketahanan kota tergolong efektif, tetapi belum dapat meningkatkan efektifitas internal birokrasi pemerintahan karena adanya konflik struktural. 2 Model kepemimpinan lokal yang dapat diterapkan untuk membangun ketahanan kota dalam rangka mewujudkan Semarang RC, adalah model kongruen berbasis kemitraan sektor publik – privat, yang diimplementasikan melalui forum ketahanan kota. 3 Model pembelajaran ideal yang diterapkan pada Diklatpim adalah model pembelajaran konstruktivistik dengan pendekatan intuitif.
B.
REKOMENDASI 1. Kepada Lembaga Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara perlu melakukan langkah-langkah strategis
untuk
memperbaiki
penyelenggaraan
dan
praktik
pembelajaran Diklatpim pola baru. Langkah-langkah strategis tersebut antara lain:
101
a. Memperjelas perspektif dan konteks kepemimpinan birokratik yang diterapkan di Indonesia dalam rangka melaksanakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi b. Membuat modul pembelajaran untuk menyamakan persepsi di antara penyelenggara, widyaiswara, mentor dan peserta agar dapat dicapai output dan outcome Diklatpim yang lebih optimal. c. Melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap pelaksanakan Diklatpim pola baru d. Meningkatkan frekuensi dan intensitas pelatihan widyaiswara guna memperbaiki kualitas Diklatpim 2. Kepada Badan Diklat Provinsi dan/atau Kota/kabupaten a. Membentuk forum komunikasi dan koordinasi widyaiswara untuk menyamakan persepsi dan praktik pembelajaran atau coaching kepada peserta. b. Membuat kebijakan penyelenggaraan agar pembuatan usulan proposal proyek perubahan dilakukan peserta sebelum masuk ke kampus (off campus). c. Mengkomunikasikan kepada mentor dan peserta bahwa usulan proposal proyek perubahan sudah dibuat sebelum masuk ke kampus 3. Kepada Pemerintah Kota Semarang a. Model kepemimpinan lokal kongruen tepat untuk diterapkan di Kota Semarang dengan tujuan untuk mewujudkan ketahanan 102
kota dari guncangan maupun tekanan. Upaya menyelaraskan antara kepemimpinan formal yang bersifat struktural dan kepemimpinan
informal
yang
bersifat
fungsional
dengan
memberikan wadah berupa Musrenbang. Namun, masih perlu mengefektifkan kegiatan musrenbang agar seluruh partisipasi berbagai stakeholder dapat disalurkan dengan baik b. Meninjau kembali semua kebijakan/program terkait kebencanaan di kota Semarang untuk diintegrasikan menjadi satu program terpadu ketahanan kota guna mewujudkan Semarang Resilient City. c. Melakukan
diseminasi,
sosialisasi
dan
edukasi
mengkonstruksikan program ketahanan kota dan/atau Semarang RC menjadi realitas objektif yang dijadikan agenda dan tujuan bersama seluruh warga kota. d. Menciptakan
kondisi
sosial
politik
yang
kondusif
bagi
pelaksanaan program ketahanan kota dan/atau Semarang RC dengan cara meningkatkan keterlibatan SKPD terkait dan memobilisasi partisipasi masyarakat terkait dalam perencanaan ketahanan kota dan/atau Semarang RC. e. Mengefektifkan peran dan fungsi forum musrenbang dalam perencanaan sistem perkotaan.
103
f. Membuat
kebijakan
kewenangan
formal
reformasi
sosial
pemerintah
kota
untuk
mentransfer
Semarang
menjadi
kewenangan informal yang dilaksanakan oleh civil society g. Melibatkan sektor swasta/privat dalam perencanaan ketahanan kota dan/atau Semarang RC
DAFTAR PUSTAKA
Arnstein, S . (1969), A Ladder of Citizen Participation, Vol. 35, No. 4, hh. 216224 Budiati, Lilin. (2015) Diklat Kepemimpinan Pola Baru Dalam Prespektif Inovasi dan Pembelajaran Konstruktivistik, Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Biro Penerbit Planologi Undip, Volume 11 (2): 2015 Etzioni, Amitai. (1985). Organisasi-Organisasi Modern. UI Press Pustaka Bradjaguna: Jakarta.
104
Handoko, T. Hani. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung : Salemba Empat Laksmi, Shita, dkk. (2012). Mapping The Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia, Creative Commons. Jakarta Maxwell, J.C. (1995). Developing the Leaders Around You: How To Help Othres Reach Their Full Potential. USA: Sae International,Inc. Mizan B. F. Bisrie, wilmar A. Salim dan Djoko S. A. Suroso, (2011). “Entry Points” In Integrataing Climate Risk Adaptation And Assessment Into development Planning: Reflection From Semarang And Tarakan, Bandung, ITB 2011, hlm. 7., disampaikan pada forum 2nd International Conference on “Cities at Risk” Musacchio, L. W. J. (2002). Cities Of Resilience: Four Themes Of The Symposium (Abstracts). Symposium #19: Cities Of Resilience: Integrating Ecology Into Urban Planning, Design, Policy, And Management . Washington, Dc: Ecological Society Of America. Nadler, D.A, Tushman, M.L. (1988). Stategic Organizations Design. USA. Harpes Collins Otoo Samuel et. al., (2009). The Capacity Development Results Framework, World Bank Institute, Peggy A. Ertmer and Timothy J. Newby, (2013). Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical Features From an Instructional Design Perspective, Wiley. Siagian, P Sondang. (1999). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta Sri Suwitri, (2008). Jejaring Kerja Kebijakan Dalam Perumusan Kebijakan Publik:
Suatu
Kajian
Tentang
Perumusan
Kebijakan
Penanggulangan Banjir Dan Rob Pemerintah Kota Semarang. Jurnal Ilmu Administrasi, Vol. VI, No. 3, hlm. 21
105
Stephen
P.Robbins,
(2002),
Perilaku
Organisasi
penerjemah
Dr
.HadyanaPujaatmaka (edisi ketujuh) dan Benyamin Molan (perevisi) Edisi ke delapan ,Penerbit P.T Prenhallindo Jakarta. Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) ―Beyond Leadership (12 Konsep Kepemimpinan)‖, Jakarta: PT Elek Media Komputindo. Thomas Gwendolyn A., et. al., (2007). Maximal Power At Different Percentages Of One Repetition Maximum: Influence Of Resistance And Gender. Journal of Strength and Conditioning Research. 21(2), 336– 342, Thomas Halvorsen, et. al., (2005). Innovation in the Public Sector. Public Project Report No. D9, European 5th Framework Programme, Oslo.
106
LAMPIRAN
107
LAMPIRAN A: TEKANAN DAN GUNCANGAN KOTA SEMARANG Berdasarkan hasil Lokakarya Resilient City 2015, dapat diidentifikasi guncangan dan tekanan yang dihadapi kota Semarang. Penentuan prioritas dilakukan sesuai dengan perangkat 100RC dengan melihat tingkat dan peluang terjadinya risiko. Melalui lokakarya tersebut dapat diidentifikasi enam guncangan utama yang dihadapi kota Semarang sebagai berikut: Tabel Guncangan Kota Semarang No.
Guncangan
Sub Penggerak Utama
Dimensi Utama
1
Banjir bandang
Pengelolaan ekosistem dan aset
2.
Kebakaran
Pengelolaan ekosistem dan aset
3.
Longsor
Pengelolaan ekosistem dan aset
4.
DBD
5.
Kekeringan
Kapasitas dan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat Pengelolan ekosistem dan aset
6.
Stabilitas pasokan Pengadaan, bahan baku distribusi Sumber: 100 RC Report, 2014
penyimpanan
dan
Kepemimpinan strategi Lingkungan infrastruktur Kepemimpinan strategi Kesehatan kesejahteraan sosial Lingkungan infrastruktur Ekonomi dan sosial
dan dan dan dan dan
Pada saat yang sama, kota Semarang secara terus-menerus atau kronis mengalami sepuluh tekanan utama yaitu: Tabel Tekanan Utama Kota Semarang No.
Tekanan
Sub Penggerak Utama
1
Banjir Rob
Pengelolaan risiko banjir
2.
Kekurangan air bersih Penurunan muka tanah Kemacetan lalu lintas Pengangguran dan kemiskinan
Pemenuhan kebutuhan air bersih
3. 4. 5.
6.
9.
Penurunan kualitas air sungai Pencemaran (sampah) Stabilitas pasokan listrik Abrasi
10.
Krisis ekonomi
7 8.
Dimensi Utama
Lingkungan dan infrastruktur
Pengelolaan ekosistem dan aset Jaringan transportasi publik logistik Kebijakan ketenagakerjaan ekonomi lokal
dan dan
Pengelolaan ekosistem dan aset Pemenuhan kebutuhan energi Pengelolaan ekosistem dan aset
Ekonomi lokal, investasi dalam kota, anggaran belanja kota dan rencana ekonomi berkelanjutan Sumber: 100 RC Report, 2014
Kesehatan dan kesejahteraan, sosial dan ekonomi Lingkungan dan infrastruktur Kesehatan kesejahteraan Lingkungan infrastruktur Sosial dan ekonomi
dan dan
108
LAMPIRAN B: FOTO FOTO KEBENCANAAN DI KOTA SEMARANG
Adanya penurunan muka tanah menyebabkan amblesan pada rumah-rumah warga
Rob di Stasiun Tawang. Hal Ini dapat mengganggu sistem transportasi di Semarang karena jalur kereta api yang terendam air.
109
Suasana ROB yang selalu terjadi di desa Pondok, Kelurahan Tambakrejo, Kec. Gayamsari
Alih fungsi lahan yang tidak terkendali di daerah Gombel
110
LAMPIRAN C: FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) TANGGAL 31 MARET 2016
Suasana FGD Model Kepemimpinan Lokal Untuk Mewujudkan Resilient City di Kota Semarang
Pengisian Metaplan oleh peserta FGD
111
Pengisian metaplan yang dipandu oleh fasilitator
Peserta FGD yang berasal dari SKPD dan LSM di Kota Semarang
112
LAMPIRAN D: HASIL FOCUS GROUP DISCUSSION TANGGAL 31 MARET 2016 Matriks I : Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis untuk Dimensi Kebijakan Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Dimensi
Kebijakan (K)
Kepemimpinan
Variabel
Indikator
Kebijakan/program (K1)
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob
Air Bersih Kurang
Muka Tanah Turun
(T1) 1) Pembuatan polder/ kolam retensi 2) Pembuatan embung 3) Penyedotan lumpur 4) Pengendalian perubahan tata guna lahan dan perlindungan/ konservasi di daerah hulu DAS perlu lebih tegas dan diimplementasikan secara konsisten 5) Penguatan kelembagaan Kelompok Siaga Bencana (KSB) di daerah rawan rob dan banjir 6) Pembenahan saluran 7) Pompa di pemukiman pesisir 8) Perbaikan sungai banjir kanal barat maupun banjir kanal timur agar sungai bisa menampung air rob dari laut. 9) Perlu adanya penghijauan di daerah kota atas semarang, agar tidak terjadi pendangkalan sungai di daerah bawah 10) Program perbaikan dan pembenahan drainase kota agar saluran/ drainase lancar 11) Membatasi ijin reklamasi pantai untuk pembangunan
(T2) 1) Pembuatan sumur PAM SIMAS 2) Peningkatan kinerja PAM dalam penyediaan air bersih 3) Program bantuan air bersih ke daerah atau wilayah kekeringan 4) Penyambungan pipa PAM baru 5) Pemanenan air hujan 6) Pembuatan sumur artetis/ sumur bor 7) Pemanfaatan waduk jatibarang 8) Mempermudah perijinan penolahan air permukaan 9) Jangan tebangi pohon 10) Lindungi hutan dan RTH 11) Belum optimalkan potensi air hujan sebagai air baku 12) Masih terdapat kekurangan air bersih di pesisir dan belum ada program
(T3) 1) Pembatasan pembuatan sumur dalam 2) Program tolak eksploitasi air tanah 3) Perda tentang pembatasan pembuatan sumur artetis 4) Pemancangan tiang beton 5) Pembuatan talud 6) Pengurukan 7) Membatasi ijin pengambilan air bawah tanah (ABT) 8) Pembuatan air minum artesis perlu diatur dan perlu pengawasan 9) Perijinan ABT ditarik provinsi = fungsi kontrol lemah 10) Tidak tahu, belum mendengar
1)
2)
3)
4)
5)
Kualitas Air Sungai Turun (T4) Pencegahan untuk membuang sampah apapun di sungai Pengerukan sungai untuk mencegah pendangkalan. Program resik-resik kali dan penyadaran kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai kita Sampah di sungai tidak jelas urusan siapa: PSDA/DKP Ya. Ada kontrol BLH, perusahaan nakal bisa dilaporkan
Abrasi 1)
2)
3) 4) 5) 6)
7)
(T5) Ada kebijakan terkait abrasi meskipun sangat terbatas, hanya berupa APO yang sangat sedikit dan tidak atau belum signifikan menyelesaikan masalah (seperti di pesisir Kecamatan Tugu) Program/ grand design dalam mengatasi abrasi di pesisir barat Kota Semarang Penanaman pohon pelindung Pembuatan talud pantai Hutan mangrove di dekat pantai Penghijauan pada pesisisr pantai sangat kurang Sudah ada penanggulangan seperti penanaman mangrove di pesisir kota semarang daerah tambakrejo
113
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob
Indikator 1) 2) 3) 4) 5)
6) Integrasi dengan kebijakan/progr am lain (K2) 7) 8)
1) 2) 3) 4) Keberlanjutan (K3) 5)
1) 2)
3) Partisipasi (K4) 4) 5) 6)
Air Bersih Kurang
Muka Tanah Turun
(T1) Sabuk pantai 1) Kampung bahari Reklamasi Pemetaan resiko banjir Belum sepenuhnya, antarprogram masih tumpang tindih Pemerintah seharusnya dapat mengeluarkan kebijakan lain yang dapat mendukung program drainase kota Memperkuat prose perijinan AMDAL Belum perhatikan aspek ―soft structure‖ misal konservasi hulu
(T2) Pemerataan untuk air 1) bersih kurang dari pemerintah sehingga 2) terdapat monopoli di dalamnya seperti di 3) Tambakrejo
Normalisasi sungai Anggaran Perawatan aliran sungai Keberlangsungan program per tahun harus dilakukan agar berkesinambungan Belum sepenuhnya fokus, masih pada bertahan belum antisipasi jangka panjang Resik-resik kutha Kerja bakti atau gotong royong membersihkan saluran Optimalisasi Forum Pengurangan Resiko Bencana Kota Semarang Belum sepenuhnya tapi mulai didorong Musrembang belum optimal melibatkan Partisipasi dari masyarakat dari tingkat
Pengelolaan sampah Sustainable water PDAM terus meningkatkan kinerjanya Sumber air harus prioritasi yang berkelanjutan (bukan ABT) Swasta ambil peran monopoli pada daerah yang belum dilayani PDAM Kreativitas masyarakat dengan membuatn terobosan pengolahan air bersih Penghematan air Kerja bakti/ gotong royong membuat embung dan sumur resapan di dekat sumur gali Partisipatif karena terdesak. Ketiadaaan PAM di sebagian wilayah
1) 2) 3)
4)
5)
1)
2) 3)
4) 5)
4)
1) 2)
3)
1)
(T3) Pemetaan resiko tanah longsor Kebijakan tata ruang(RTRW) Pelarangan ABT tidak diimbangi dengan penyediaan sumber perpipaan Tidak integral. Pemprov justru membiarkan pembangunan ABT
1) 2)
3)
4)
Kualitas Air Sungai Turun (T4) Kualitas air sungai 1) turun Penghijauan terutama di daerah hulu 2) Pengolahan sampah organik dan 3) anorganik oleh pemerintah pada pintu-pintu saluran air sungai Perlu ditingkatkan integrasi antara pengawasan (BLH) dan yang memanfaatkan (PDAM) supaya lebih efektif
Abrasi (T5) Pemprov dan pemkot sama-sama punya giat APO namun berjalan kurang efektif Penanaman mangrove di tepi sungai Kebijakan dari pemerintah sudah ada san telah dilaksanakan dengan penanaman mangrove melibatkan masyarakat setempat
Pembatasan 1) reklamasi Perlu peningkatan layanan dari PDAM agar 2) masyarakat tidak mengesksploitasi ABT Penggunaan ABT makin tinggi, 3) perlu distop
Pendanaan yang 1) perencanaannya secara terus menerus Meningkatkan 2) kesadaran masyarakat pembuangan smapah di sungai Monitoring terhadap pembuangan limbah industri di sunga
Program pengendalian abrasi yang parsial atau terpotong-potong tidak efektif Program mangrove untuk menanggulangi abrasi menyertakan pihak-pihak untuk mmenanam mangrove di bibir pantai Kota Semarang
Tidak familiar. 2) Yang terjadi justru sebaliknya, sumur ABT dibangun partisipatif
Masyarakat perlu 1) sosialisasi jika tanggung jawab menjaga kalitas air sungai adalah 2) tanggung jawab kita bersama Penanganan sampah Kolaborasi partisipasi antar stakeholder (masyarakat, dunia usaha, pemerintah) dan kesediaan anggaran
Program APO oleh pemkot telah melibatkan LSM dan masyarakat setempat. Survei lokasi penanaman dan pelaksanaannya sudah berjalan dan perlu pengelolaan yang terpadu dari berbagai pihak seperti kelompok peduli lingkungan di pesisir adalah perwakilan dari masyarakat setempat dan lembaga terkait
3) 4)
114
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob
Indikator
7) 8)
1)
2) Tranparansi (K5)
Air Bersih Kurang
(T1) warga, RT, RW, pemerintah (Kelurahan dan kecamatan) untuk mendukung program Belum melibatkan sektor swasta Masyarakat jangan buang sampah sembarangan di tepi sungai. Perlu adanya kebijakan melalui perda
(T2) menyebabkan individu/ perusahaan/ perumahan menyediakan air bersihnya sendiri dan akan merusak lingkungan.
Ada transparansi dalam 1) pelaksanaan dan perencanaan anggaran Informasi program dan 2) projek apa saja tidak secara jelas diinfokan
Ada posko bencana 1) kekeringan yang dapat diakses masyarakat Perlu ada transparansi dengan adanya pelaporan di surat kabar 2) Informasi layanan PDAM jika bermasalah masih terbatas. Perlu agar masyarakat siap jika air mati
3)
Kualitas Air Sungai Turun (T3) (T4) 5) Pelarangan/ pengendalian terhadap buangan limbah domestik maupun industri terhadap badan sungai perlu dipertegas dan masyarakat perlu dilibatkan. 6) Sektor swasta kurang perhatikan aspek pengolahan limbah dalam investasi 7) Terdapat sampah kiriman dari semarang atas dan demak sehingga sungai dan pantai tercemar sampah dan belum ada fasilitas dari pemerintah utnuk membersihkan sungai Kebijakan 1) Informasi kondisi perijinan dan dan pelanggaran pengawasan sungai harus terhadap diekspose eksploitasi ABT di Kota Semarang relatif belum jelas Informasi yang ada justru tentang ijin mudah ABT
Muka Tanah Turun
Abrasi (T5)
1)
2)
Program masih hanya diketahui oleh pihak terkait dan belum diketahui oleh masyarakat di pesisir. Program dan pelaksanaan penanaman mangrove telah terlaksana namun masih perlu fasilitasfasilitas untuk pengelolaan mangrove untuk menanggulangi bahaya abrasi
115
Matriks II : Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis untuk Dimensi Efektivitas Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel Dimensi
Isu Tekanan Kronis
Indikator 1) 2) 3) 4) 5) 6) Visi dan misi program (E1)
7)
Efektivitas (E)
Kepemimpinan
8)
9) 1)
2) Kejelasan tujuan (E2) 3)
1)
2) Pencapaian tujuan (E3)
Banjir Rob (T1) Penanganan rob dan banjir Tidak adanya dukungan anggaran yang cukup Pemeliharaan sungai kurang Kurangnya tenaga ahli Kurangnya koordinasi Sudah pernah dimasukan dalam sapta program Agar tidak terjadi lagi rob bisa ditanggulangi dengan pompanisasi Pemkot kota semarang untuk menanggulangi rob dan banjir dengan kebijakan membuata tanggul kali banger dan juga waduk jatibarang Sudah ada masterplan drainase (Perda) Tujuan jelas untuk mengurangi cakupan wilayah banjir/ rob Tujuan jelas karena Bisa menanggulangi rob agar tidak merusak kebersihan lingkungan Sebenarnya kejelasan tujuan sudah jelas, namun kurang sosialisasi dan penerapannya saja Berkurangnya intensitas kejadian bencana banjir/ rob Di wilayah Semarang Utara, bencana alam rob tidak bisa dihilangkan hanya bisa dikurangi dengan pompanisasi untuk meminimalkan dampaknya terhadap
Air Bersih Kurang (T2) 1) Program antisipasi yang mengutamakan jaminan keterpenuhan air bersih perlu dipersiapkan 2) Visi dan misi program yang berwawasan lingkungan sehat atau hijau 3) Masyarakat pesisir mendapatkan air bersih 4) Memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dengan mudah dan murah
Muka Tanah Turun (T3) 1) Khususnya di kecamatan Semarang Utara, rentan terjadi bencana alam rob dan penurunan muka tanah. Misi untuk menganggulanginya dengan cara meninggikan jalan melalui pavingisasi. 2) Visi misi program pencegahan dan pengendalian penurunan muka tanah di Semarang sepertinya tidak atau kurang serius. 3) Dalam program diintegrasikan dengan isu banjir rob
Kualitas Air Sungai Turun (T4) 1) Sanksi yang dijatuhkan terlalu ringan 2) Pencemaran sungai karena kurangnya pengawasan 3) Kurangnya sosialisasi aturan yang sudah dibuat 4) Permasalahan anggaran yang kurang 5) Masih belum diperhatikan dalam program 6) Terdapat sampah kiriman dari berbagai sungai dan belum ada program untuk mengatasinya dari pemerintah namun ada program dari masyarakat setempat (tambakrejo)
1) Program PAMSIMAS
1) Kejelasan tujuan program pengendalian penurunan muka tanah di Kota Semarang 2) Masih sedikit mix dengan penanggulangan banjir dan rob
1)
Kelas sugai masih belum ditetapkan oleh provinsi 2) Kejelasan tujuan dari pemkot belum ada
1) Kejelasan tujuan program sudah jelas yang tidak jelas adalah tentang pelaksanaannya dan kesinambungan programnya (sustainability)
1) Penambahan perluasan jaringan perpiaan PDAM sampai kepinggiran 2) Tingkat layanan terus naik walau belum disertai kualitas. Kebutuhan bisa terus meningkat melebihi kemampuan
1) Kondisinya semakin buruk karena isu penurunan muka tanah masih jarang disebut. Provinsi memudahkan ijin ABT. 2) Banyak perumahan menggantungkan pada ABT 3) Pencapaian tujuan pencegahan/ pengendalian penurunan muka tanah di
1) Sudah dilaksanakan namun tujuan belum tercapai 2) Program resik-resik di kali masih terbatas di sampah, belum sampai pencemaran 3) Masyarakat belum sepenuhnya sadar akan bahaya air sungai tercemar sampah namun masyarakat hanya membersihkan di sebagian
1) Upaya pencapaian tujuan absurd dan tidak jelas karena tidak terukur tingkat keberhasilannya 2) Tujuan penanaman mangrove di pesisir telah tercapai
1) 2) 3)
4)
5)
Abrasi (T5) Sabuk pantai Mangrove Efektivitas program pengendalian atau pencegahan abrasi pantai belum berjalan efektif. Program menanggulangi abrasi telah dibuat kebijakan dan sasaran jangka panjang masih berlanjut Penataan lahan untuk konservasi
116
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel Dimensi
Indikator
Kemampuan adaptasi (E4)
Integrasi antarprogram (E5)
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob (T1) lingkungan 3) Tujuan belum tercapai secara optimal 4) Telah meningkatkan kondisi, sebagian wilayah telah terlindungi
1) Pembuatan waduk dan embung Jatibarang 2) Adanya pelatihan bagi anggota kelompok siaga bencana (KSB) di wilayah banjir dan rob guna meningkatkan kapasitas SDM di wilayah banjir dan rob. 3) Masih kurang dengan adanya banjir dan rob belum tertangani dengan baik 4) Masyarakat adaptasi dengan bertahan misalnya meninggikan lantai/ jalan. Risiko : akan ada batasnya, dapat saling konflik dengan antartetangga 1) Pembuatan polder 2) Belum tercapai 3) Integrasi antarprogram pelu disinkronisasikan
Air Bersih Kurang (T2) peningkatan layanan. 3) Target 100% pelayanan PDAM tahun 2029 terlalu lama 4) Pencapaian belum tercapai karena belum ada lembaga yang ikut berpastisipasi 1) Program sumur resapan atau biopori 2) Masyarakat pesisir terbiasa berdaptasi dengan kondisi kekurangan air bersih dan masyarakat status sosial rendah membeli ke masyarakat status sosial 3) Masyarakat beradaptasi dengan layanan PDAM terbatas melalui pemenuhan sendiri/ beli dari swasta
1)
Masih berjalan sendiri-sendiri antara PDAM, AMPL, dll dalam penyediannya
Muka Tanah Turun (T3) Kota Semarang kurang terukur baik satuan waktu maupun lainnya.
1) Masyarakat di meninggikan bangunan hanya bertahan.
1)
pesisir lantai sekedar
Diperlukan integrasi antar program yang perlu dipantau secara berkelanjutan konsistensinya.
Kualitas Air Sungai Turun (T4) tempat. Belum tercapai tujuan karena tidak ada fasilitas yang mendukung 4) Kualitas sungai terus menurun padahal digunakan sebagai sumber PDAM. Di beberapa titik bisa dilihat sungai penuh sampah terutama mendekati muara 1) Masyarakat cenderung memunggungi dan menjauhi sungai bahkan cenderung turut serta membuang sampah. Ada keputusasaan karena usaha jadi percuma jika di hulu terus terjadi 2) Masyarakat beradaptasi dari program sendiri dari masyarakat setempat dan pemkot belum ada program 3) Potensi 23 sungai di semarang masih belum dikembangkan. Untuk: air baku pariwisata
1)
2)
3)
Belum ada integrasi dari lembaga terkait sehingga sungai tercemar dan untuk mendapatkan air bersih tidak mudah Perlu ditingkatkan terutama dengan regional terkait kondisi hulu Masih berjalan sendiri-sendiri antara program kali bersih, resik-resik kali dan normalisasi sungai
Abrasi (T5)
1) Kemampuan adaptasi masih rendah dan cenderng terancam oleh kebijakan pengembangan industri 2) Pemanfaatan sabuk pantai dan mangrove. 3) Masyarakat mulai beradaptasi dengan program penanaman yaitu ikut berpartisipasi dan pelaku dalam pengelolaan mangrove di tambakrejo
1)
2)
Sudah ada integrasi dari lembaga terkait dan program berjalan dengan baik dalam penanaman mangrove Integrasi antar program perlindungan abrasi tidak jelas seperti tidak ada grand design tentang pencegahanperlindungan abrasi di Kota Semarang
117
Matriks III : Strategi Terkait Isu Tekanan Kronis Strategi Terkait Tekanan Kronis
Strategi (S)
Dimensi
Perlindungan (P)
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob
Air Bersih Kurang
Muka Tanah Turun
(T1) 1) Disediakan obat-obatan bagi warga yang sakit saat terjadi banjir dan rob 2) Pembuatan kolam dan embung 3) Pembuatan perda mengenai banjir dan rob di kota Semarang 4) Penyediaan sarana prasarana keselamatan kebencanaan 5) Mendorong masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. 6) Pompanisasi di Kecamatan Semarang Utara 7) Perkumpulan P5L di Kelurahan Panggung Lor, Kec. Semarang Utara. 8) Perlindungan terhadap program penanggulangan banjir rob berupa pompa untuk penyaluran air rob limpasan 9) Pemberian pelayanan pengobatan, bantuan sembako, susu, pembalut secara gratis 10) program asuransi rob = untuk proteksi rusaknya aset masyarakat karena rob 11) Dirikan posko kesehatan 12) Kalau perlu dilakukan relokasi
(T2) 1) Bila terjadi kekurangan air bersih, PDAM siap untuk dropping air bersih secara berkala ke warga 2) Tersedianya regulasi tentang kelestarian sumber air atau cadangan air bersih 3) Bangun saluran insfrastruktur air bersih yang dikelola negara 4) Dropping air bersih dengan kiriman air tangki 5) Kembangkan sistem pemanenan air hujan di fasilitas komersial (swasta), hunian, dll 6) Kerjasama SPAM regional 7) Masyarakat mendapat air bersih di wilayah pesisir untuk kebutuhan rumah tangga dan terhindar penyakit kulit
(T3) 1) Disiapkan tempat penampungan atau evakuasi apabila terjadi kerusakan bangunan rumah tempat tinggal 2) Regulasi yang mengatur tentang galian C 3) Penegakan RTRW 4) Kurangi penyedotan air tanah/ air artesis 5) Perkenalkan sistem stilted house rumah panggung atau rumah apung 6) Memberikan informasi tentang penurunan tanah kepada masyarakat 7) Pengurangan ABT dan penyediaan air PDAM 8) Upaya perlindungan masyarakat di wilayah kec semarang utara dengan adanya permukaan tanah turun dnegan meninggikan tanah di tempat tinggalnya
Kualitas Air Sungai Turun (T4) 1) Melakukan reboisasi di daerah hulu 2) Memasang papan peringatan pada sungai tercemar agar warga tidak menggunakan air sungai tersebut 3) Pengawasan pembuangan limbah di sungai 4) Penyediaan / peningkatan laanan persampahan 5) Peningkatan standar pengelolaan limbah cair perusahaan 6) Pengawasan (reward dan punishment) limbah perusahan 7) Mulai tangani limbah domestik 8) Pencegahan terhadap budaya buang sampah di saluran sungai sembarangan 9) Galakkan penanaman pohon di perumahan 10) Larang buang sampah 11) Kerjabakti bersihkan sumber air dan sungai
Abrasi (T5) 1) Upaya perlindungan masyarakat terkait dengan abrasi pantai di wilayah kecamatan Semarang Utara dengan menanam pohon mangrove di sepanjang pantai di Kecamatan Semarang Utara 2) Pembuatan sabuk pantai 3) Lakukan penanaman mangrove 4) Kurangi reklamasi pantai 5) Peringatan dini terhadap bahaya abrasi kepada masyarakat sekitar 6) Pemukiman wilayah pesisir terhindar dari gerusan abrasi dengan konservasi mangrove 7) Mekanisme tata ruang dengan pengaturan bangunan kawasan pesisir
118
Strategi Terkait Tekanan Kronis
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob
Dimensi 1)
2)
3) 4) Mobilitas (M)
5)
6)
7) 8)
9)
Kapasitas Kepemimp inan (KK)
(T1) Kebijakan yang dilakukan pemkot dalam menanggulangi bencana banjir dan rob adalah dengan pembangunan tanggul Kali Banger dan pembangunan waduk Jatibarang. Penyiapan sarana dan prasarana, seperti posko bencana Keterlibatan komunitas relawan kebencanaan Manajemen lalu lintas saat banjir rob Pembangunan jalan dengan teknologi adaptif terhadap rob Bawa warga ke lokasi penampungan sementara Bangun pompa untuk menyedot air rob Bangun infrastruktur yang tidak menutup permukaan tanah Memberikan bantuan mobilisasi mobil ataupun perahu karet
1) Diperlukan pemimpin yang bisa menjembatani seluruh stakeholder 2) Kapasitas kepemimpinan dalam menanggulangi bencana rob dengan kerja bakti di lingkungan masing-masing 3) Diperlukan pemimpin yang mampu mengambil kebijakan secara tepat dan cepat (tanggap) 4) Dari tingkat dasar lurah,
Air Bersih Kurang (T2) Ketersediaan sarpras dan sumber air bersih pada saat kemarau 2) Perlunya perbaikan mutu air bersih 3) Perlunya anggaran 4) Sanksi yang tegas untuk mengurangi pencemaran tanah 5) Diperlukan koordinasi dengan pihak terkait. 6) Penyediaan mobil tangki air bersih yang didistribusikan dengan gratis / murah pada paceklik air bersih 7) Penyediaan tandon air/ pamsimas cukup membantu warga untuk tetap menjalani kehidupan sehari hari 8) Harus ada pemerataan air bersih di pesisir kota semarang dari PDAM dan pemerintah yang terkait 1) Pemerintah sebaiknya memberikan air bersih ke wilayah pesisir dan memberikan kebijakan dalam pembangunan 2) Diperlukan kemampuan pemimpin yang bisa berkerjasama dengan wilayah lain yang 1)
Muka Tanah Turun 1)
2)
3)
4)
5)
(T3) Adanya akses masyarakat untuk bisa turut serta dalam mengurangi eksploitasi Pengurukan bukan solusi namun jika hal tersebut harus dilakukan pada jalan jalan yang turun Perkenalkan konstruksi jalan layang pada area rawan muka tanah turun mengingatkan warga agar tidak membangun sumur artesis Jika membahayakan, lakukan relokasi warga ke tempat aman
1) Perlu kepemimpinan yang integral dengan menyatukan lntas SKPD 2) Penerapan aturan RTRW secara jelas dan tegas 3) Menginstruksikan kepada pejabat di bawah untuk melakukan penyelidikan maupun penelitian tentang penurunan tanah 4) Pencegahan dan pengaturan pengambilan air muka tanah oleh
1) 2) 3)
4)
5)
6)
Kualitas Air Sungai Turun (T4) Pengolahan limbah pabrik yang benar Penegakan hukum Sosialisasi tentang bahaya limbah yang dibuang ke sungai Rawat hutan mangrove dengan meningkatkan penanaman untuk perikanan dibawahnya Pengaturan beban/ tonase angkutan di jalan terdampak Dorong masyarakat mencintai lingkungan. Melakukan kerjabakti rutin membersihkan sungai rutin dan merawat kondisi sungai. Jadikan itu sebagai gerakan bersama
1) Kebijakan yang tegas dan mengikat dengan hukumab/ sanksi 2) Monitor ketat dan sanksi ktegas terhadap perusahaan yang mencemari sungai 3) Mendorong pemanfaatan sungai dengan program yang menjaga kebersihan sungai
Abrasi 1) 2) 3)
4)
(T5) Rumah panggung Sabuk pantai Masyarakat mendapat informasi tentang konservasi mangrove, menanggulangi abrasi dan mendapat edukasi Ketersediaan bibit mangrove dan pupuk setelah penanaman mangrove di pesisir
1) Merangkul stakeholder untuk bersama-sama mengantisipasi abrasi (CSR) 2) Dibutuhkan kapasitas pemimpin yang berwawasan luas pro lingkungan 3) Sadar kebencanaan sehingga masalah abrasi dapat dikendalikan 4) Melarang reklamasi pantai dengan tidak
119
Strategi Terkait Tekanan Kronis
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob
Dimensi
(T1) camat hingga walikota harus mendukung program penanggulangan banjir rob 5) Kepala daerah harus memahami penyebab rob, melakukan studi komparasi dengan daerah lain tentang penggulangan rob 6) Tidak proyek profit oriented, tapi membangun masyarakat sejahtera
Air Bersih Kurang
3)
4)
5)
6)
7) 1) 2)
3)
Kapasitas Lokal (KL)
4)
5)
Melalui penegakan perda Perlunya pelestarian kearifan lokal dalam mitigasi bencana Kapasitas mendukung dengan menjaga kebersihan drainase kota dan lingkungan Penganggaran harus komprehensif untuk seluruh wilayah, jangan parsial atau temporer Penganggaran yang simultan meski multi years
1)
2)
3) 4)
5)
(T2) punya sumber air. Isu air= isu regional. Pemimpin kota harus bicara dengan kabupaten tetangga dan pusat untuk saling share mengenai pengelolaan air bersih PDAM, Pemkot, dan jajaran penerima delegasi harus ikut mendukung program Pimpinan harus tanggap dan memberikan keputusan yang cepat dan tepat Harus terbuka dan membuka diri secara personality atas keluhan warga Harus sering turun ke lapangan Adanya pelestarian budaya lokal tentang warisan lingkungan Sediakan anggaran untuk membangun infrastruktur penyaluran air sehingga warga benar-benar tak kekurangan air Sediakan anggaran penyaluran PDAM Masyarakat harus diberi sosialisasi tentang air bersih pesisir Masyarakat mengeluarkan dana pribadi untuk mendapatkan air
Kualitas Air Sungai Turun (T4)
Muka Tanah Turun (T3) pemerintah (PSDA) secara tegas 5) Pimpinan yang bijak akan selalu mengampanyekan pentingnya menjaga lingkungan dan mengambil kebijakan yang memperhatikan kondisi tanah
1)
2) 3)
4)
Informasi mengenai resiko land subsidence harus disampaikan secara jelas dan konkret. Ajakan membuat sumur resapan/ biopori Pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan penyidikan tanah Bangun fasilitas kebutuhan air warga
1)
2)
3)
Partisipasi masyarakat dalam penanganan sampah dan penghijauan Berdayakan KSM untuk monitoring kebersihan dan kualitas sungai Pariwisata untuk memanfaatkan fungsi sungai
Abrasi (T5) mengeluarkan perijinan sembarangan 5) Pemerintah mendanai pembibitan dan penanaman mangrove serta maintenancenya 6) Dari dinas kota semarang ikut dalam pelaksanaan konservasi mangrive agar mengurangi bahaya abrasi dan memfasilitasi 7) Pemimpin kota untuk koordinasi dengan kabupaten tetangga dan provinsi karena limbah dan deforestasi juga terjadi di hulu dan berdampak pada kota semarang
1)
2)
3)
4)
5)
Penanganan terhadap penggunaan dan pemanfaatan lahan Masyarakat membentuk kelompok untuk peduli lingkungan pesisir Membuat program untuk melaksanakan tujuan agar terhindar dari abrasi dengan menaman pohon mangrove di bibir pantai/ area pemukiman pesisir Penganggaran yang meliputi berbagai wilayah / antardaerah Dorong masyarakat untuk aplikasikan metode EMR (Environmental mangrove Restorarism)
120
Strategi Terkait Tekanan Kronis Dimensi
Isu Tekanan Kronis Banjir Rob
Air Bersih Kurang
(T1) 6)
7)
8)
(T2) bersih Ada pengelola air bersih di pemukiman pesisir Peningkatan kapasitas dan informasi untuk penghematan air Peningkatan kapasitasdan info soal sumber air alternatif seperti RWH
Muka Tanah Turun (T3)
Kualitas Air Sungai Turun (T4)
Abrasi (T5)
121
Matriks I : Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis untuk Dimensi Kebijakan Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Dimensi
Kebijakan (K)
Kepemimpinan
Variabel
Indikator
Kebijakan/program (K1)
Lalu Lintas Macet (T6) 1) Bangunan infrastruktur transportasi atau jalan (eg : flyover) 2) Program trans semarang 3) Perda andalalin 4) Pengaturan/rekayasa lalin 5) Peningkatan kapasitas jalan 6) Pelebaran jalan di Ngaliyan, Siliwangi, dan flyover Kalibanteng, dan rencana jalan tol 7) Ada (saat ini): (1) (Perluasan jalan/pelebaran) (2) adanya rambu dan lampu lalin (3) dipasangnya dan dicabutnya timer di lampu lalu lintas 8) Implementasi program BRT, SORR, LRT, MRT (rintisan), control AICS 9) Yang perlu dilakukan: (1) pembatasan jumlah mobil (2) perbaikan angkutan umum 10) Eksisting: Flyover (Kalibanteng, Jatingaleh). Usulan: Intensifikasi kendaraan umum (lebih nyaman murah) 11) Traffic light monitoring, metode subsidi transportasi umum 12) Usulan: carpooling, pajak progresif
Isu Tekanan Kronis Pengangguran dan Polusi Sampah Kemiskinan (T7) (T8) 1) Belum ada 1) Perda sampah pendataan detail perlu direvisi tentang karena belum pengangguran efektif 2) Belum juga didata 2) Tim justisi sampah terpusat sumber ―mandul‖ lapangan kerja 3) Pengangkutan rutin 3) Sudah ada SK s/d TPA, 3R, walikota TKPD (tim composting Koord. 4) Perda penanganan Penanggulangan sampah, kemiskinan dan penyediaan TPS pengangguran dan TPA, daerah kota pengangkutan semarang 5) SK Walikota 4) Perbaikan akses tentang Forum jalan ke daerah Kota Sehat miskin 6) Program bank 5) Pelatihan dan sampah ketrampilan untuk 7) Ada. Adanya TPA, kelompok wanita pemberian fasilitas 6) Belum ada solusi truk sampah, ada 3 transportasi bagi Kecamatan, pengangguran (tidak Kecamatan juga ada integrasi dengan ada mesin babat sektor transportasi) untuk asap 7) Perda kayaknya belum, penanggulangan pengolahan kemiskinan sampah belum 8) Sudah program tampak jobfair di 8) TPA Sistem dinaskertrans dan Dumping razia gelandangan di 9) Pemanfaatan kota semarang sampah kegiatan 9) Ada: Gerdukempling, dinas kebersihan FEDEP. Rencana: 10) Truk sudah ditutup Pelatihan UMKM cover terpal 10) Ada berbagai 11) Pemanfaatan macam bantuan, sampah bioenergy pelatihan, perbaikan 12) TPS konvensional infrastruktur, 13) Pengangkutan pemberian fasilitas sampah macam-macam 14) Sudah ada tapi 11) Penanganan belum ditegakkan
Suplai Listrik
Krisis Ekonomi
(T9) 1) Belum ada program/regulasi untuk irit listrik di RT, kantor dl, 2) Program ducting utilitas (kabel dibawah) 3) Adanya kebijakan nyalamati listrik (himbauan) 4) Program PJU, Solar cell, harga listrik 5) Meterisasi PJU 6) Pemanfaatan lampu hemat, LED, dan rendah watt. 7) Himbauan hemat listrik di kantorkantor pemerintahan 8) Pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah 9) Waste 0 energy skala rumah tangga 10) Earth our 11) Belum ada perda tentang missal: suhu terencah AC untuk gedung pemerintah
(T10) 1) Raskin 2) Pemberdayaan masyarakat 3) Percepatan pelaksanaan kegiatan 4) Perda 4-2008 tentang penangguangan kemiskinan kota semarang 5) Belum ada kebijakan efisiensi transportasi sehingga ongkos perjalanan tinggi oleh para buruh 6) Ada melalui peraturan bidang fiscal dan moneter 7) Peningkatan UMKM 8) Revitalisasi pasar tradisional 9) Kebijakan cinta produk dalam negeri belum ada
122
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Lalu Lintas Macet
Indikator
(T6)
1)
2) Integrasi dengan kebijakan/prog ram lain (K2)
3)
4)
5)
6) 7)
Belum ada kebijakan integrasi trans semarang dengan angkutan luar kota maupun angkot. Trans semarang belum terintegrasi dengan lokasi pabrik dan job location Bina marga, dinas perhubungan, dan adalalin Terintegrasi dengan Amdal, Imb, KRK, RTRW, dan lain-lain Sudah ada lintas program antara dinsopora, satpol, polisi, skpd terkait anjal yang menggangu lalin Sudah ada koordinasi dengan pemilik utilitas jalan Belum ada integrasi infrastruktur Beberapa sudah
Isu Tekanan Kronis Pengangguran dan Polusi Sampah Kemiskinan (T7) (T8) kawasan kumuh, (Perda), Jamkesmaskot 12) Pelatihan mandiri UMKM 13) Program Posdaya 14) Dana untuk masyarakat miskin, BPJS Kota, Pendidikan Wajib 12 tahun 15) Ada, tapi kadangkadang masih belum terkoordinasi 16) Program bahan pertanian JSDF + bengkok 17) Beasiswa Miskin 18) PNPM 19) PKH (Program Keluarga Harapan) 1) Sudah ada tim 1) Mengikuti program penanggulanan jalan hijau kemiskinan kota 2) Diintergrasikan (TPPK yang terdiri dengan programdari SKPD, dunia program usaha, akademisi, lingkungan hidup LSM, dll) (misal 2) Belum ada korelasi peningkatan dengan aspek kesadaran ramah pendidikan, lingkungan) manajemen, dan 3) Operasi dengan lain-lain tim justisi sampah 3) Tidak mengetahui dengan persis tentang dinas/instansi keterkaitan antara terkait perlu kebijakan terprogram kemiskinan dengan 4) Adanya koordinasi kebijakan lain pengelolaan 4) Adanya sinergi sampah di tingkat dengan PERTI dan RT, RW (swadaya SMK dengan masyarakat) dinaskertrans 5) Koordinasi dengan 5) Rencana: green PDAM, P2KP, economy seperti BLH, DKP, memberdayakan program kota angkatan kerja sehat, dan CSR
1)
2)
3)
4) 5) 6)
7) 8)
Suplai Listrik
Krisis Ekonomi
(T9)
(T10)
PLN berwenang untuk suplai listrik sementara PJPR terkait lampu atau penerangan kota Kerjasama PJPR dan Binamarga Koordinasi dengan program pemilik utilitas Integrasi dengan pemkot dan PLN Belum banyak kerjasama Pasti terintegrasi karena susah jika tidak koordinasi dengan pihak lain Belum ada Rintisan PJU CCTV dan TCS bersama
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Program yang lain untuk ketrampilan, pendidikan, dll haus dikoordinasikan Integrasi mengundang investor Proses pengadaan yang dipercepat Belum ada integrasi lokasi industri dengan penyediaan perumahan buruh (milik dan sewa) Kerjasama dengan investor lokal dan luar untuk pembukaan lapangan kerja Integrasi dengan
123
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Lalu Lintas Macet
Indikator
(T6) terintegrasi, missal pembuatan jalur searah disesuiakan dengan bina marga yang membuat batas jalan 8) Pemantauan rutin dinas kominfo dan kepolisian pada ruas-ruas jalan rawan kemacetan 9) Integrasi terminal terpadu 10) Integrasi dengan kebijakan lain: tidak tahu 11) Membutuhkan integrasi perencanaan transportasi dengan daerah sekitar tidak hanya didalam semarang seperti masterplan transportasi Kedungsepur 12) Belum ada. Perlu integrasi dengan pengurangan BBM/energy terbaharukan
1)
2)
3) Keberlanjutan (K3) 4) 5)
6)
Belum ada pengawalan atau evaluasi kebijakan di lapangan Flyover efektif jangka pendek tapi tidak berkelanjutan Lebih ditingkatkan sinergi kepolisian, dinas perhubungan untuk lebih efektif Masih kurang, perlu sosialisasi Perlu peningkatan melibatkan partisipasi masyarakat Keberlanjutan trans semarang bagus
Isu Tekanan Kronis Pengangguran dan Polusi Sampah Kemiskinan (T7) (T8) untuk bank sampah 6) Integrasi dengan sekaligus drainase menyelesaikan 7) Pengelolaan permasalahan sampah oleh sampah Bintang (LSM) dan 6) Perlu kebijakan Bank Sampah yang pro lingkungan Masyarakat penanggulangan 8) Pemilahan kemiskinan yang sampah mendukung terintegrasi pembangunan dengan program berkelanjutan peningkatan 7) Dinas Tenaga Kerja, UMKM tapi belum Dinas Perdagangan efektif skala masih dan Pemkot harus rumah tangga memiliki data 9) Masih sporadic update terkait warga pelaksanaan miskin di Kota untuk program belum basis pelaksanaan diikitu dengan kebijakan pemahaman tentang pengolahan sampah 10) Mungkin sudah tapi belum terasa missal pemilahan dan pengolahan sampah masih belum maksimal 1) Perlu dilanjutkan 1) Harus terintegrasi proram dengan penanggulangan masyarakat daur kemiskinan ulang, untuk gas, 2) Program dan lain-lain penanggulangan 2) Sudah berlanjut sudah diadakan tiap dari tahun ke tahun tapi tidak tahun tapi dari sisi menyelesaikan sustainibility masalah belum, belum 3) Perlu diperjelas tepat waktu sehingga lebih 3) Perlu ada terjamin pengelolaan keberlanjutannya sampah untuk 4) Peningkatan barang handmade kapasitas tenaga 4) Sosialisasi terus kerja (pelatihan) menerus,
Suplai Listrik 9)
1)
2)
3) 4)
5)
Krisis Ekonomi
(T9) Tower seluler bersama
(T10) bidang ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat 7) Intergrasi dalam TKPKD 8) Belum ada integrasi lokasi industri dengan transportasi publik dan perusahaan 9) Kerjasama dengan LSM (Mercy Coprs) dan swasta (CSR) 10) Belum ada
Keberlanjutan sejak FS, DED, AMDAL, LARAP fisik Perlu dipikirkan alternatif sumber listrik Perlu pengawasan Dibutuhkan koordinasi yang terus menerus karena terdapat masyarakat yang belum terjangkau listrik Solar cell utk
1)
2)
3)
4)
5)
Pengawalan dengan kebijakan selalu dimonev untuk keberhasilan Buruh tidak disiapkan menjadi pengusaha kecil Mempermudah perijinan dunia usaha Harus dilanjutkan programprogram nya Belum ada
124
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Lalu Lintas Macet
Indikator
(T6) (tambah 2 koridor trayek baru) 7) Masih reaktif perlu membangun one map traffic sesuai scenario Kota/RTRW 8) Transportasi public yang belum baik 9) Belum adanya penekanan yang cukup siginifikan dalam perencanaan solusi macet yang selalu masih berorientasi pembangunan fisik jalan 10) Masih bersifat sementara 11) Untuk BRT masih bersifat parsila karena koridor yang direncanakan masih belum bias mengakomodasi kebutuhan 1 kota semarang terkait jalur operasional dan jam
1)
2)
Partisipasi (K4)
3)
4)
Partisipasi pengusaha menjadi investor tans semarang masih kurang sekali Partisipasi warga menggunakan trans semarang baik Tokoh agama, tokoh masyarakat, OSIS, BEM, pemuda, RT, RW Flyover tidak partisipatif, apalagi pada proses pembangunan kepentingan publik
Isu Tekanan Kronis Pengangguran dan Polusi Sampah Kemiskinan (T7) (T8) masih bersifat penajaman sporadic belum program melihat ekonomi 5) Tetap berlanjut 5) Musrenbang selain untuk seharusnya bias meraih menjadi program penghargaan kota yang berkelanjutan sehat 2017, juga dalam pengentasan agar kota kemiskinan dan semarang bebas pengangguran polusi sampah 6) Masih bersifat 6) Kayaknya belum sporadic perlu berlanjut, kecuali diidentifikasi daerah kalau sudah ada rawan miskin dan program dievaluasi pengolahan limbah besarbesaran 7) Masih jauh dari keberlanjutan 8) Masih berkelanjutan 9) Integrasi antara pemanfaatan sampah sebagai bioenergy di TPA Jatibarang 10) Masih parsial belum pada konsep tuntas ditempat 1) Perlu peningkatan 1) GO dan NGO, partisipasi tokoh agama, masyarakat, tokoh masyarakat, khusunya untuk PKK, OSIS, BEM, wirausaha dll wajib mendaur 2) Kebijakan sampah tidak pemberian hanya membuang ketrampilan untuk sampah wanita umumnya 2) Perlu adanya partisipatif tapi bisa kesadaran lebih ditingkatkan masyarakat akan 3) Peran masyarakat kebersihan sudah baik dan bisa lingkungan lebih ditingkatkan 3) Pengurangan 4) Antar instansi harus penggunaan guyub data, share kantong plastik
Suplai Listrik (T9) PJU sustainable secara ekologis tetapi tidak secara ekonomis
Krisis Ekonomi
6)
7)
8)
1) Agar masyarakat menhemat penggunaan listrik dengan menggunakan alat listrik hemat daya 2) Melibatkan pemilik utilitas terutama PLN 3) Kantor, rumah, perlu mendukung pemakaian listrik seperlunya 4) Perusahaan memakai lampu
(T10) monitoring untuk memastikan keberlanjutan Belum adanya akselerasi implementasi pemetaan dasar pasar tradisonal Belum berlanjut, masih ada minimarket yang mematikan pasar tradisonal dan pedagang kecil Belum. Masih menjamur swalayanswalayan tidak mendukung pedagang lokal
1) NGO dan masyarakat sudah dilibatkan 2) Dunia pendidikan telah dilibatkan 3) Partisipasi dunia usaha sudah ada 4) Masyarakat sudah aktif unuk berwirausaha 5) Partisipasi semua pihak sudah cukup baik tapi dapat ditingkatkan 6) Belum dapat
125
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Indikator
Lalu Lintas Macet (T6) diabaikan 5) Melibatkan stakeholder (kepolisian dan masyarakat) selama proses kegiatan 6) Masyarakat mendukung tertib lalu lintas 7) Partisipasi masih kurang dalam menangani anjal 8) Partisipasi masyarakat masih belum cukup signifikan dalam pengambilan kebijakan terkait isu macet, perlu ada FGD intens dalam hal ini 9) Masiih dalam domain pemerintah, penjaringan aspirasi komunitas bersepeda perlu 10) Kurang tahu, tapi biasanya tetap minta pendapat berbagai pihak dengan cara public hearing di DPRD 11) Belum melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder lain masih domain Pemkot 12) Ada swasta (pemilik bis) kendaraan umum
Isu Tekanan Kronis Pengangguran dan Polusi Sampah Kemiskinan (T7) (T8) BUMN/D, oleh masyarakat perusahaan dan 4) Dalam lain-lain pelaksanaan perlu 5) Pimpinan bawah melibatkan instansi perlu dilibatkan lain 6) Sudah sesuai 5) Partisipasi untuk dengan kemampuan 3R dan masyarakat dalam composting sudah partisipasi ada tapi belum 7) Musrenbang bias merata lebih di monitoring 6) Peran masyarakat untuk bias sudah cukup tapi melahirkan program perlu ditinngkatkan yang bias menjadi 7) Belum optimal solusi ekonomi partisipasi waarga yang masyarakat masih berkelanjtan dengan sangat kurang kata kunci partisipasi 8) Harus banyak warga melibatkan 8) Partisipasi: swasta: komunitas perusahaan (CSR), masyarakat/NGO organisasi semacam dalam memberi Womens Club pemahaman Fitness terkait pengelolaan 9) Sudah misalnya sampah memberikan 9) Sudah melibatkan bantuan kepada NGO/swasta kelompok-kelompok 10) Masyarakat tani, seni, nelayan, banyak ternak. Juga berpartisipasi memberikan dalam pelatihan juga mengumpulkan 10) Penjaringan Kartu sampah masingMiskin oleh LSM masing ke suatu (Jamkesmaskot) tempat sehingga 11) Sudah melibatkan petugas gampang komunitasmengambilnya komunitas terkait 11) Partisipasi skala tapi skalanya sangat rumah tangga/ perlu ditingkatkan masih sangat kecil 12) Sudah melibatkan walaupun stakeholders swasta sebenernya sudah melalui gerdu ada kemplin 12) Belum optimal
Suplai Listrik
5)
6)
7)
8)
(T9) LED Perlu pelibatan masyarakat dalam pendataan keluarga miskin yang belum dapat suplai listrik Komunitas earth hour buat program matikan listrik 1 jam Belum ada partisipasi yang integrative Sudah, tidak akan sukses jika tidak ada pastisipasi masy.
Krisis Ekonomi (T10) mewakili aspirasi para buruh 7) Sudah melibatkan tapi perlu replica di tempat lain 8) Belum adanya data base dan pemetaan PKL dan UMKM yang baik
126
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Lalu Lintas Macet
Indikator
(T6) Kurang transparan dalam hal perencanaan, pengeluaran, dan pendapatan, monitoring pelayanan setiap hari, dan permasalahan trans semarang 2) Dalam perencanaan dan penganggaran belum semua stakeholder tahu 3) Masyarakat belum bisa mengakses program lalu lintas melalui beberapa media 4) Belum sosialiasi di tingkat RT, Rw, dan kelurahan 5) Belum ada sosialisasi dari pihak kepolisian dan dinas terkait terkait lalin 6) Perda anjal belum tersosialisasi dengan baik 7) Pembangunan flyover cukup transparan dalam skala projek, tapi tidak sampai ke masyarakat 8) Belum. Contoh flyover Jatingaleh, pembuatan portal tengah jalan 9) Sudah transparan dan dapat diketahui public. Sayangnya banyak yang belum mengetahui cara mengakses data-data seperti anggaran 10) Transparansi: tidak tahu 11) Masih banyak dinas yang belum mengetahui konsep 1)
Tranparansi (K5)
Isu Tekanan Kronis Pengangguran dan Polusi Sampah Kemiskinan (T7) (T8) 1) Program 1) Warga berani pelatihan/ketrampil bersuara dan an untuk wanita action bersama mungkin sudah 2) Sosialisasi harus transparan ( tidak rutin tahu persis) 3) Ada informasi 2) Kurang transparan dan akses karena masih ada tentang masyarakat yang pengelolaan sebenarnya sampah bagi mampu namun masyarakat mengaku miskin 4) Penggunaan 3) Perlu kejelasan dana retribusi alokasi dana untuk sampah masih wirausaha belum jelas 4) Usulan dari 5) Perencanaan, masyarakat bisa pelaksanaan, dan diketahui *sudah pengawasan baik) harus lebih 5) Akses dan terbuka informasi yang 6) Transparansi mudah untuk pengelolaan TPA bantuan atau dan operasional pinjaman untuk moda angkutan wirausaha sampah perlu 6) Sudah ditingkatkan tersosialisasi 7) Progam ini sudah hingga tingkat tersosialisasi ke kelurahan masyarakat Kota 7) Pemanfaatan IT Semarang (Web). Nama 8) Belum lihat di penerima kartu TPA belum 8) Semua dituntut ditangani karena transparan membuat polusi 9) Kurangnya 9) Retribusi sampah pemahaman terkait bersama rek OPEN DATA PDAM tapi 10) Belum transparan kelompok tingkat RT masih memungut retribusi sampah 10) Nampaknya masih kurang, sosialisasi ke masyarakat masih lemah
Suplai Listrik 1)
2)
3)
4)
5)
(T9) Ada kegiatan sosialisasi deng an stakeholder tapi perlu ditingkatkan Perlu keterbukaan dalam meterisasi PJU Transparansi harga listrik yang kompetitif Ada edukasi dan sosialisasi terhadap regulasi, besaran watt yang disarankan Tidak transparan lagi belum berorientasi open data
Krisis Ekonomi 1)
2)
3)
4) 5)
6)
7)
8) 9)
(T10) Kebijakan dan data yang ada harus disampaikan kepada masyarakat Akses dan informasi yang mudah bagi masyarakat Dana untuk usaha dipermudah Perlu adanya sosialisasi Transparansi perusahaan terhadap resiko kesehatan buruh terkaitan proses produksi industri Sejak perencanaan, pelaksanaan, lewat media elektronik Sosialiasi sudah berjalan dan terus dilakukan Belum optimal Data pemilik PKL dan lapak dapat dikases warga
127
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Isu Tekanan Kronis Lalu Lintas Macet
Indikator
(T6) OPEN DATA terkait transparansi data 12) Sudah transparan karena sekarang sudah ada UU KIP, tidak boleh ada yang ditutuptutupi
Pengangguran dan Kemiskinan (T7)
Polusi Sampah
Suplai Listrik
Krisis Ekonomi
(T8) 11) Transparan tapi sulit diakses public 12) Masih banyak dinas yang offline (Belum beras0as OPEN DATA 13) Sudah transparan
(T9)
(T10)
Matriks II : Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis untuk Dimensi Efektivitas Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Isu Tekanan Kronis Lalu Lintas Macet
Indikator 1)
2) 3)
Efektivitas (E)
Kepemimpinan
4)
Visi dan misi program (E1)
5)
6)
(T6) Sudah jelas hanya perlu up date situasi kondisi, penajaman dan pengembangan Bagus tapi belum diterapkan di masyarakat Tertuang dalam misi tiga dari misi visi walikota saat ini Perlu dievaluasi implementasi di lapangan Belum, terbukti dengan masih banyaknya kemacetan pada rush hour belum sesuai. Karena perdagangan dan jasa seharusnya mengutamakan konsumen. Transportasi public masih amat buruk
1)
2)
3) 4)
5)
Pengangguran dan Kemiskinan (T7) Krisis ekonomi memang belum terjadi tetapi upaya antisipasi masih belum disiapkan oleh pemerintah Tertuang dalam visi misi: penanggulangan kemiskinan terpadu Sudah jelas namun belum efektif Perlu disesuaikan visi misi agar lebih gampang tercapai gardukempling sudah
Polusi Sampah 1)
2) 3) 4)
5)
6)
7)
8)
(T8) Sudah mengarah ke visi dan misi namun perlu sosiaalisasi terus menenrus Perlu kejelasan Bagus namun belum efektif Tertuang dalam visi misi walikota terpilih Belum. Mekanisme monitoring dan evaluasi solusi bersama masih tidak jelas Masih butuh banyak peningkatan Belum: bantuan bangunan rumah kompos tidak optimal Belum: penanganan sampah belum
Suplai Listrik 1)
2)
3)
(T9) Visi misi jelas namun perlu ada evaluasi untuk perbaikan Visi misi ada tapi kurang konsisten dalam penyampaian ke warga dan tidak ada priorias Masih perlu penajaman
Krisis Ekonomi 1)
2) 3) 4)
5) 6)
(T10) Efektivitas krisis ekonomi untuk visi misi perlu penajaman Sesuai dengan program Visi misi tidak jelas Belum maksimal. Masih banyak warga yang miskin Ada, yaitu gerdukempling Sesuai dengan visi perdagangan dan jasa
128
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Indikator
Isu Tekanan Kronis Pengangguran dan Kemiskinan (T7)
Lalu Lintas Macet (T6)
Kejelasan tujuan (E2)
Pencapaian tujuan (E3)
1) Tujuan lalin macet bisa diatasi tapi perlu dilihat dampak panjangnya 2) Program lalin sudah memiliki kejelasan tujuan meskipunbelum maksimal 3) Masih bersifat sektoral dan ego institusi 4) Tujuan jelas yaitu untuk mengurangi kemacetab dan meningkatkan pelayanan jalan 5) Tujuan belum jelas 6) Belum menjadi prioritas, belum bersifat menyeluruh 7) Masih ngalor ngidul (spatial) 8) Belum. Masih bersifat sementara 1) Pencapaian pengendalian lalu lintas masih buruk 2) Sudah bisa mengurangi jumlah kendaraan 3) Tujuan arus lalin belum maksimal karena perilaku masyarakat, petugas, dan pengguna jalan 4) Lebih mengandalkan dana APBD tidak dari sumber lain misal iklan di halte trans 5) Pencapaian secara bertahap 6) Sudah namun Belum optimal, masih banyak kemacetan.
1)
Tujuan jelas yaitu untuk memberi bantuan pada keluarga miskin 2) Tujuan sudah jelas namun pencapaian sasaran yang masih belum jelas 3) Kejelasan tujuan lebih tepat pada sikap ―business as usual‖
1)
2) 3)
4)
5)
6)
Pencapaian tujuan tidak menjadi fokus padahal tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi Pencapaian tujuan masih buruk Usia produktif tidak didayagunakan dengan pengawalan sehingga tidak maksimal Penurunan angka kemiskinan untuk masyarakat yang sejahtera Pencapaian seiring dengan program yang lain Belum maksimal dan
Polusi Sampah
Suplai Listrik
Krisis Ekonomi
(T8) mampu wujudkan budaya besih dan mengurangi sampah 1) Tujuan jelas yaitu untuk mengelola sampah 2) Tujuan jelas namun belum mencapai sasaran 3) Harus lebih diperjelas
(T9)
(T10)
Tujuan jelas yaitu untuk penerangan 2) Tujuan jelas namun kurang kritis 3) Kebijakan masih kontradiksi anatar hemat biaya dengan pembangunan PJU dan lampu highmass
1) Jelas sesuai program namun masih belum tersosialisasi dengan baik 2) Tujuan jelas yaitu membantu warga miskin 3) Tidak ada. Tidak ada target penurunan ekonomi 4) Belum jelas. Seharusnya memihak masyarakat kecil. 5) Jelas. Melalui semarang setara
1)
2)
3)
4)
5)
Penanganan polusi sampah masih buruk Masih belum maksimal, karena masih terjadi banjir akibat penumpukan sampah Menuju kota perdagangan dan jasa sudah cukup baik Pencapaian program belum gamblang Target belum
1)
1) 2) 3) 4)
5)
Suplai listrik masih belum adil Masih jauh dari tujuan utama Masih belum efektif Sudah cukup baik pemenuhan listrik terpenuhi Target tujuan belum terukur dengan baik
1)
2)
3)
4)
Dapat menurunkan angka kemiskinan namun belum efektif Krisis ekonomi sulit untuk diukur capaian tujuannya Baseline data ekonomi belum sama Belum optimal
129
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Isu Tekanan Kronis Lalu Lintas Macet
Indikator 7)
8)
Kemampuan adaptasi (E4)
(T6) Pemerinntah belum responsive. BRT belum menjadi focus. Jaker masih dibatasi. Masyarakat belum menyambut baik Pembukaan BRT melebihi target
1) Masyarakat belum sepenuhnya paham sehingga perlu sosialisasi 2) Adaptas masyarakat bagus karena berkepentingan langsung 3) Sudah baik karena Trans semarang mampu mengatasi penolakan dari pengusaha angkutan pada trayek yang dilalui 4) Perlu adaptasi regulasi dengan pemakai jalan dan aparat untuk penenggakan sanksi 5) Penempatan Halte BRT belum sesuai dengan kondisi permukiman 6) Sudah. Tapi belum maksimal. Misal sudah ada Brt tapi belum bias mengatasi kemacetan 7) Belum. Transportasi umum yang belum menjangkau seluruh wilayah dan cost public transport yang tinggi, masyarakat memilih naik motor 8) Masih butuh waktu
Pengangguran dan Kemiskinan (T7) belum langsung bermanfaat 7) Sudah mengarah/ belum optimal 8) Tidak sesuai karena kota perdagangan dan jasa tp sampah belum terkontrol 9) Target pengentasan kemiskinan dan pengangguran belum berbasis data yang baik 10) Belum jelas indikatornya karena masih banyak bantuan yang salah sasaran 1) Sifat warga semarang yang relatif irit 2) Kegiatan yang ada membuat masyarakat mampu beradaptasi namun belum efektif 3) Program miskin sudah membuat masyarakat untuk beradaptasi dengan baik 4) Adaptasi harus dipertajam dengan data dan program yang diangkat 5) Masih banyak keluarga miskin yang belum tersentuh 6) Sulit merubah mind set sebagai warga miskin 7) Kerjasama dengan swasta missal via CSR masih kurang 8) Belum, integrasi layanan jamkesmas kota menjadi BPJS belum sesuai harapan masy. 9) Belum komprehensif 10) Sudah beradaptasi missal ada pelatihan keterampilan perbaikan HP, dsb 11) Kemampuan
Polusi Sampah (T8) terukur dengan baik
1) Masyarakat masih sulit beradaptasi 2) Beberapa masyarakat sudah dapat beradaptasi atau menyesuaikan 3) Adaptasi cukup bagus dan respon masyarakat bagus 4) Sudah beradaptasi missal sudah ada program pilah sampah 5) Masyarakat belum tergerak masih business as usual 6) Belum bisa melihat peluang pengembangan ekonomi 7) Masyarakat adaptasi persoalan sampah melalui
Suplai Listrik
Krisis Ekonomi
(T9)
(T10)
1) Masyarakat bisa beradaptasi dengan kebutuhan suplai listrik tapi menurunkan produktivitas 2) Masih perlu pemahaman 3) Masyarakay sebagian kecil belum dapet suplai listrik 4) Masyarakat tidak dapat beradaptasi terkait kebijakan tariff 5) Sosialisasi hemat energy belum optimal 6) Sudah ada kemampuan adaptasi missal ada kebijakan tambah daya 7) Masyarakat sudah beradaptasi dengan kebijakan pemutusan listrik
1) Sangat bagus adaptasi masyarakat 2) Dapat disesuaikan dengan kebutuhan ducting 3) Mind set agar tidak krisis perlu dibentuk 4) Masih banyak masyarakat miskin yang belum tersentuh 5) Belum maksimal 6) Belum meihak rakyat kecil 7) Ekonomi kreatif
130
Kepemimpinan Terkait Tekanan Kronis Variabel
Dimensi
Indikator
Isu Tekanan Kronis Lalu Lintas Macet (T6)
Integrasi antarpro gram (E5)
1) Perlu integrasi antar program dan antar institusi terkait 2) Efektivitas integrasi antar program secara umum masih rendah 3) Integrasi trans semarang belum ada jadwal buruh pulang kerja 4) Trans semarang belum terintegrasi dengan pembangunan trotoar yang aman dan nyaman 5) Sedikit banyak sudah. Missal gorong-gorong yang dijadikan jalan 6) BRT belum terintegrasi dengan angkutan lain dan jalur pejalan kaki
Pengangguran dan Kemiskinan (T7) adaptasikurang 12) Sudah tumbuh ekonomi kreatif
1) Sudah terjalin tetapi belum efektif (Belum terlihat fungsi dan manfaat bagi masyarakat umum) 2) Perlu koordinasi antar SKPD 3) Integrasi penanganan kemiskinan masih rendah 4) Belum nampak integrasi antar institusi. Masih sekedar kegiatan masingmasing 5) Harus lebih dipertegas sehihngga penanggulangan kemiskinan dapat ―zero‖ atau berkurang 6) Kerjasama dengan swasta dari luar negeri mestinya ditingkatkan 7) Data antara BPS, dan Kota serta masy. Tidak sinkron 8) Terintegrasi isu lingkungan: bank sampah
Polusi Sampah (T8) program swadaya tersendiri, bakiti
kerja
1) Integrasi program sampah masih belum efektif 2) Cukup terintegrasi namun haislnya belum maksimal 3) Diperlukan integrasi program sehingga bisa saling melengkapi 4) Integrasi belum baik missal dinas kebersihan dengan sekolah, perusahaan 5) Terintegrasi program peningkatan ekonomi masyarakat local 6) Sudah terintegrasi missal pilah sampah diintegrasikan dengan bidang ekonomi: pelatihan souvenir dan limbah sampah 7) Belum terintegrasi
Suplai Listrik (T9) bergilir 8) Kemampuan adaptasi pemerintah baik
1) Efektifikasi integrasi program suplai listrik masih rendah 2) Integrasinya belum berjalan 3) Kerjasama dengan swasta belum baik 4) Belum dijolakkan PLTS padahal potensi luar biasa 5) Belum. Belum diterapkan konsep rumah ramah lingkungan
Krisis Ekonomi (T10)
1) Efektifitas integrasi dalam penanganan krisis ekonomi masih rendah 2) Perlu lebih ditingkatkan integrasi antar program 3) Sudah berjalan Cuma belum begitu efektif terhadap sasaran dan tujuannya 4) Belum terjadi kegiatan promosi dan kredit UKM antara pemerintah dan swasta (Semarang Great Sale) 5) Masih sendiri-sendiri belum ada integrasi. Missal penanganan harga daging belum diimbangi dengansupply daging 6) Masih parsial. 7) Peningkatan UMKM harusnya terkait dengan program pada isu lingkungan
131
Matriks III : Strategi Terkait Isu Tekanan Kronis Strategi Terkait Tekanan Kronis
Isu Tekanan Kronis Lalu Lintas Macet
Dimensi 1)
2)
3) 4) 5)
6)
Strategi (S)
7) 8) Perlindungan (P) 9) 10) 11) 12)
13) 14) 15)
16)
(T6) Belum begitu maksimal, resiko kecelakaan masih tinggi Reformasi sistem angkutan umum publik dan pribadi Perlu ada regulasi pengaturan lalin Sosialisasi infrastruktur, angkutan publik Untuk lalin ini aspek perlindungan perlu dikaji ulang untuk mengurai sehingga cost jadi rendah Ada sistem transportasi publik yang memadai Reformasi sistem pembuatan SIM Pajak kendaraan pribadi ditingkatkan berlipat-lipat menurut ukuran mobil dan jumlah mobil yang dimiliki Integrasi jalur lingkar utara sebagai tanggul air laut Jalur KA dibangun nelayan diatas rawan bencana Adanya kereta bawah tanah atau monorail Adanya pemisahan jalur sepeda motor, mobil dan sepeda Perbaikan akses pada transportasi public Penambahan armada dan jalur Peningkatan integrasi antar moda transportasi umum dan jalur pejalan kaki One map traffic (cetak biru jaringan jalan sesuai dengan scenario RTRW)
1)
2) 3)
4) 5)
6) 7)
Pengangguran dan Kemiskinan (T7) Adanya regulasi tentang penanggulangan kemiskinan Pusat penyaluran tenaga kerja Membangun basis ekonomi kreatif yang independen Program projob, pro poor, pro ekologi Permodelan penanganan kawasan kumuh= kampong bahari=rumah apung Adanya program padat karya Pelayanan dasar diperbaiki
Polusi Sampah 1)
2)
3)
4)
5) 6)
(T8) Treatment pengolahan sampah yang dekat dengan sumber sampah Masyarakat belum terlindungi oleh polusi sampah Regulasi tentang kota sehat, petugas sampah perlu dilindungi dari aspek kesehatan Adanya akselerasi kegiatan berdasarkan konsep bank sampah Teknologi tepat guna Dukungan program bank sampah
Suplai Listrik 1)
2)
3)
4) 5)
6)
7)
(T9) PLN harus mengantisipasi kebutuhan suplai listrik Perlu kerjasama pemerintah lokal dengan PLN Perlu adanya perlindungan terhadap konsumen Adanya program jalur ducting PLN Pemkot harus memastikan ground listrik yang standar Alternative sumber energy lain seperti angina an solar Kampanye hemat energi
Krisis Ekonomi 1) 2)
3)
4) 5)
6) 7)
(T10) Adanya perlindungan masalah ekonomi Regulasi tentang penanggulanan kemiskinan Buruh memiliki kartu transportasi yang dibeli dari 10% dari pendapatannya Penyediaan lapangan kerja Program pemerintah berkaitan dengan tanah Akses bahan pokok disetiap kelurahan Perbaikan jamkesma gaskin
132
Strategi Terkait Tekanan Kronis
Isu Tekanan Kronis Lalu Lintas Macet
Dimensi 1)
2)
3)
4) Mobilitas (M) 5) 6)
7)
8) 9) 1)
2)
3) Kapasitas Kepemimpi nan (KK)
4)
5)
6)
7)
(T6) Dewan transportasi Kota Semarang harus segera dibentuk Manajemen secara menyeluruh untuk lalu lintas Sistem yang terintegrasi baik sarana dan prasarana transportasi untuk mudah diakses Percepatan program penanggulangan kemacetan Perlu penanganan parkir yang konsisten Integrasi simpul antar moda yang sesuai pola ruang Jaringan transport terintegrasi diseluruh pelosok Penambahan armada BRT Integrasi masterplan transportasi Kedungsepur Koordinasi dengan lintas lembaga, daerah (provinsi dan pusat) Para pemimpin harus punya nyali untuk menertibkan sesuai regulasi Harus ada peningkatan kontrol ke bawah Pimpinan harus lebih responsive pada tuntutan masyarakat Pemkot harus punya kapasitas instruksi kepada SKPD Manajemen puncak harus memahami konsep tata ruang dan aturan yang berlaku visioner
1) 2)
3) 4) 5)
1) 2)
3)
4)
Pengangguran dan Kemiskinan (T7) Akses lapangan kerja diperluas Peningkatan informasi program-program penanggulangan kemiskinan System informasi pekerjaan Penciptaan lapangan kerja (klaster) Minimarket agar dibatasi
Peningkatan efektivitas forum memperhatikan kepentingan masyarakat bukan kepentingan yang punya uang pemerintah agar membahas APBD untuk komunitas kepemimpinan local agar memihak masyarakat kecil
Polusi Sampah 1)
2) 3)
4)
(T8) Perlu dianggrakan penggantian armada karena cepat rusak Pembangunan TPS Pengaturan jam pengiriman sampah pada jam tidak sibuk Intensif pengurangan sampah ditingkat produsen
Suplai Listrik 1) 2)
3)
(T9) Kemudahan akses Distribusi penerangan jalan desa Program hemat listrik untuk warga
Krisis Ekonomi 1)
2) 3) 4) 5) 6)
1)
2) 3) 4)
5) 6)
7)
Kemampuan dalam menangani persampahan Koordinasi antar lembaga Pimpinan daerah harus adaptif Peningkatan informasi ketersediaan program penanganan sampah mengurangi sampah ditingkat sumber Adaptif terhadap sampah yang menumpuk Pemerintah mendorong pengurangan dan pemilahan sampah
1) 2)
3)
Menghemat pengeluaran listrik Kemampuan memenuhi kebutuhan listrik Kapasitas instansi dan pimpinan terkait belum peduli dengan kondisi masyarakat
1)
2)
3)
(T10) Bantuan gratis tans semarang jika masih menganggur misal berlaku 3 bulan Pemberdayaan UMKM Akses informasi ketenagakerjaan Perbaikan infrastruktur agar distribusi lancar Informasi harga Balancing supply dan demand kebutuhan pokok
Koordinasi lintas lembaga level daerah/provinsi/pusat Pemimpin lebih hadir bagi warga miskin dan menganggur Sensibilitas kkepemimpinan dalam melihat pasar
133
Strategi Terkait Tekanan Kronis
Isu Tekanan Kronis Lalu Lintas Macet
Dimensi 1) 2)
3) 4) Kapasitas Lokal (KL)
5)
6)
7)
8)
(T6) Pendayagunaan petugas seperti FKPM Pengurusan SIM harus tanpa korupsi agar terseleksi pengendara di jalan Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan Menerapkan kepastian peraturan Pelibatan instansi vertical dalam pemanfaatan asset yang dimiliki Sharing ekonomi layak dikembangkan di Semarang berbasis aplikasi Kesadaran masyarakat akan manajemen transportasi Car pooling
1)
2)
3)
4) 5) 6)
Pengangguran dan Kemiskinan (T7) Kota semarang harusnya mampu dan mandiri untuk mendatangkan investor Bisa untuk pemenuhan kebutuhan dasar Musrenbang monitoring, evaluasi dan kerjasama dinas dan warga Adanya KSM ditingkat bawah Eko sosio preneurship Pengembangan koperasi harus diberi kebijakan yang mendukung
Polusi Sampah 1)
2)
3)
4)
(T8) Perlu dukungan peran serta masyarakat, stakeholder, dan CSR dalam pengolahan sampah Meningkatkan setiap potensi dalam penangan polusi sampah Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan kebijakan Manajemen kelompok ditingkat sumber
Suplai Listrik 1)
2)
(T9) Perlu diversifikasi bahan listrik seperti PLTU, PLTG, dll Definisi tipikor
Krisis Ekonomi 1)
2) 3) 4)
(T10) Masyarakat diharapkan mampu berwirausaha Pemanfaatan potensi lokal perlu didorong Kapasitas manajemen kelompok Partnership antara swasta dan masyarakat
134
Matriks I : Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut untuk Dimensi Kebijakan Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Variabel
Dimensi
Kebijakan (K)
(G1)
Kepemimpinan
Kebakaran
Longsor
DBD
Indikator 1) Evakuasi korban 2) Kesiapan logistik dan peralatan penangan banjir bandang 3) Distribusi logistik dan peralatan 4) Perlunya pelatihan penanggulangan bencana di tingkat kelurahan, RT, dan RW 5) Normalisasi kanal timur, kanal barat dan anak sungainya 6) Pembangunan atau perawatan saluran 7) Pembuatan polder di sungai banjir kanal timur 8) Penataan kawasan tepi saluran (rumah-rumah di tepi sungai) Kebijakan/program 9) Pembuatan tanggul (K1) 10) Pengendalian Rob & Banjir 11) Flood Early Warning System (FEWS) 12) Masterplan Drainase Terpadu. (Dulu masih draft, apakah sekarang sudah di sahkan?) 13) Pemanfaatan rumah pompa
(G2)
(G3)
1) Evakuasi, Penanganan / identifikasi korban 2) Sosialisasi dari damkar kepada KSB 3) Memasang atau melengkapi alat pemadam kebakaran di setiap gedung 4) Memasang rambu peringatan bahaya kebakaran 5) Pelatihan penanggulanga n bencana di tingkat RW atau RT 6) Penyediaan sumbersumber air yang mudah didapat atau dijangkau oleh petugas pemadam kebakaran 7) RAD bencana 8) Penambhan posko-posko di rawan kebakaran 9) Adanya RISPA (Rencana Indik Sistem Proteksi Kebakaran)
1) Penataan kawasan permukiman 2) Aturan yang jelas 3) Penanaman mangrove 4) Pemasangan early warning system bahaya longsor 5) Penyusunan peta rawan longsor 6) Perbanyak RTH 7) Penghijauan 8) Betonisasi 9) Konservasi terutama di Ungaran & daerah-daerah longsor Kota Semarang 10) RAD Bencana 11) Penentuan lahan lereng/konservasi pada Perdan no 14 th 2011 tentang RT/RW Kota Semarang
Pasokan Bahan Baku
(G4)
(G5)
Foging atau pengasapan Pemberantasan sarang nyamuk dengan menggunakan tanaman penghalau nyamuk 3) Ikan pemangsa jentik 4) Perlunya gerakan bersama penanggulangan wabah sampai ke tingkat RT/RW 5) 3M 6) Penggalakkan PSN 7) FKK 8) Gerakan bersih-bersih lingkungan terutama daerah kumuh 9) Berbagai kebijakan tentang penanggulangan wabah 10) Pembentukan Gasurkes 11) Perbanyak penelitian pada daerah-daerah endemic DBD
1) Regulasi harga pada saat hari raya atau paceklik lebih bisa dianalisa 2) Memotong regulasi yang berbelit-belit 3) Memberi kemudahan para pemasok 4) Untuk posko PBA : Mei – beras, susu, minyak sarden 5) Raskin (beras untuk warga miskin) 6) Bazar sembako 7) Banyak dipengaruhi kebijakan nasional
1) 2)
135
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Variabel
Dimensi
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
(G1)
(G2)
(G3)
(G4)
(G5)
Indikator 10) Dibentuknya Dinas Pemadam 11) Simulasi kebakaran di Pemerintah Kota Semarang.
Integrasi dengan kebijakan/pro gram lain (K2)
1) Koordinasi instansi terkait 2) Program pemberatasan nyamuk 3) Simulasi penanganan bencana, pra, darurat, pasca banjir 4) Konservasi hutan di Ungaran 5) Perda Sampah 6) Penataan Drainase Kota Semarang 7) Sosialisasi sadar lingkungan 8) RTH
1) Sosialisasi penggunaan APAR (alat Pemadam Kebakaran) dan bahaya kebakaran 2) Kerjasama dinas pemadam dengan instansi terkait seperti lingkungan hidup 3) Penyediaan sarana air/saluran mengarah ke tempat-tempat padat lingkungan 4) Perijinan IMB 5) Sertifikat layak fungsi 6) KSB 7) Perda no. 5 tahun 2009 tentang bangunan gedung
1) Pembentukan desa tangguh bencana 2) Perda no 14 tahun 2011 3) Perda no.5 tahun 2009 4) Kabupaten Ungaran Bakorwil BPBD 5) Menggalakkan kepedulian kepada SKPD terkait untuk menanggulangin ya 6) Peningkatan ruang terbuka hijau 7) Penanaman rumput virifier
1)
2)
3) 4) 5) 6)
7)
8)
9)
Mengajak sekolah dll untuk PSN dan penyuluhan Mengasjak swasta untuk menyalurkan CSRnya untuk penanganan DBD. Bersih-bersih lingkungan sekitar Sosialisasi rumah sehat Perda no 5 tahun 2009 Dinas terkait melakukan kerjasama dengan pemerintah tingkat bawah (kecamatan & kelurahan) dalam PSN dan penyuluhan Bekerjasama dengan lembaga penelitian Perguruan Tinggi untuk bersama-sama menganalisa DBD di wilayah dengan penderita DBD tinggi Bekerjasama dengan dinas kebersihan dan kesehatan Peningkatan peran PK, LPMK, RT/RW
1)
Sarana transportasi dipermudah 2) Dari BPBD Kota dan PMI (sembako) 3) Pendataan warga miskin 4) Padi tadah hujan 5) TMMD 6) Dinas perdagangan 7) Dinas pasar 8) Dinas peternakan 9) Dinas perikanan 10) Bulog, Dolog
136
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Variabel
Dimensi
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
(G1)
(G2)
(G3)
(G4)
(G5)
1) Tidak buang sampah sembarangan 2) Memisahkan sampah organik dengan anorganik 3) Kerjabakti jumat bersih 4) Pengadaan air bersih 5) Komposting di tingkat RT/RW 6) Adanya masterplan drainase yang mengamanahkan penanggulangan rob dan banjir 7) Normalisasi Banjir Kanal 8) Swakelola pergerakan sungai 9) Sosialisasi & Waskat 10) RAD Bencana 11) Bank Sampah 12) Kegiatan utama dins PSDA & ESDM 13) Polder pompa waduk jatibarang 14) Replikasi kegiatan FEWS di sungai/lokasi 15) Perwujudan hutan dan tanaman di lahan-lahan kosong.
1) Dimasukkan dalam renstra SKPD teknis 2) Pembuatan sumur hidran untuk RT atau lingkungan yang sulit air atau rawan kebakaran 3) Sosialisasi lingkungan hidup 4) Penambahan pos mobil kebakaran di kelurahan 5) integrasi bersama dengan lembagalembaga terkait 6) Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan perijinan
Indikator
Keberlanjutan (K3)
1)
2)
3)
4)
5)
Pembatasan pembangunan perumahan di kawasan tebing Gerakan bersama penghijauan di seluruh RT/RW/Kelurah an Antisipasi pembuatan talud yang kuat untuk daerah yang rawan longsor Sosialisasi Perda no. 14 tahun 2011 && Perda no. 5 tahun 2009 Kepedulian pemeliharaan kawasan longsor
1) 2)
3) 4) 5)
6) 7)
8)
9) 10)
11)
12)
13)
Partisipasi (K4)
1) Mendirikan posko 2) Membuat talud darurat menggunakan karung dan tanah 3) Mengirimkan relawan untuk melakukan evakuasi dan pemberian bantuan lainnya 4) Menjaga kebersihan dan lingkungan
1)
2)
3)
Kontrol kondisi rumah bila akan pergi Pastikan kompor mati, dan listrik dalam keadaan aman jika akan pergi Tidak
1) 2)
3)
4)
Pembentukan tim reaksi cepat Simulasi/gladi yang melbatkan masyarakat Pembuatan talud di lingkungan yang rawan longsor Penghijauan
1) 2) 3)
4) 5)
Jumat bersih Pilah sampah sampai pengaktifan bank sampah Mengevakuasi korban Mensosialisasikan 3M ke masyarakat Mengaktifkan FKK (Forum kesehatan Kelurahan) Rutin menjaga kebersihan lingkungan Membangun dan memperhatikan kaidahkaidah kesehatan, kenyamanan dan kebersihan Perlu kesepakatan dengan DPRD terkait anggaran Penegakan sanksi dan pengawasan. Evaluasi setiap 2 tahun sekali terhadap rangkaian program Rutinitas di agendakan dan ditetapkan bersihbersih lingkungan setiap bulan Sosialisasi melalui media cetak dan elektronik Sosialisasi dan papan reklame di tiap jalan Bersihkan bak air seminggu sekali Tanam pohon lavender di halaman rumah Buang barang-barang yang biasa jadi sarang nyamuk Mengaktifkan jumantik (juru pemantau jentik) Pemerikasaan jentik
1)
2)
3) 4)
5)
6)
1)
2)
3)
Penyediaan stok bahan baku terkendali Memangkas regulasi yang merugikan Kebijakan nasional Peningkatan Teknologi pangan Kemudahan transportasi antar kota/kabupaten batas Kota Semarang Info harga Disperindag
Dinas terkait melaksanakan CSR ke masyarakat Tidak boros dalam penggunaan bahan kebutuhan pokok Jika ada lahan
137
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Variabel
Dimensi
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
(G1)
(G2)
(G3)
(G4)
(G5)
Indikator 5) Menanam banyak pohon di lingkungan rumah 6) Membuat biopori di lingkungan 7) Kerja bakti masal 8) Melibatkan tokoh masyarakat unsur RT atau RW, PKK, karang taruna untuk penyampaian informasi 9) Kelompok (PSL) di Panggung Lor dalam menangani rob dan banjir 10) Kelompok sadar bencana banjir (di daerah beringin) 11) Membentuk satgassatgas penghijauan di tingkat kelurahan 12) Pelibatan dan membahas ruang bagi komunitas ataupun kelompok & masyarakat 13) Kelompok siaga bencana 14) Dinas terkait 15) Resik-resik kali 16) Tim subsistein
1) 2) 3) Tranparansi (K5) 4)
5)
Update data Keterbukaan anggaran Informasi yang cepat dan valid jika ada indikasi akan terjadi banjir bandang Melalui media konvensional dengan disinergikan pada media non konvensional Website Pemertintah
membakar sampah 5) sembarangan 4) Membantu 6) mamadamkan api secara manual sambil menunggu petugas pemadam 7) 5) Pusat pelayanan pengaduan publik PS DW SKPS P3M 6) Sosialisasi ke masyarakat siaga bahaya kebakaran 7) Pelayanan perijinan online 8) Pengaduan online 9) Dibentuknya dinas pemadam kebakaran bekerjasama dengan masyarakat 10) Satlakan di tiap-tiap kelurahan 1) Memberi 1) pemberitahuan ke instansi kelurahan
2)
kawasan tebing Kelurahan sadar bencana Kesadaran masyarakat untuk mengetahui tata ruang Kota Semarang Penanaman pohon oleh masyarakat
6)
7)
8)
9)
Adanya pelibatan dan kerjasama antara akademisi dan instansi pemerintah Belum optimal tersampaikan informasi daerah-daerah
1)
2) 3)
tiap RT dilaksanakan secara rutin Pemberian Abate di bak-bak rumah tangga masing-masing masyarakat Membentuk masyarakat peduli lingkungan tiap RT Melibatkan RT-RWKelurahanKecamatan_PKKSekolahSwastaPerguruan TInggi namun terlebih dahulu terdapat blue print/road map mengenai masingmasing tugasnya Jumat bersih
Penyebarluasan informasi melalui leaflet, poster, dan media massa untuk anggaran dan publikasi kegiatan Transparansi sosialisasi Program pemerintah penanganan DBD secara transparansi &
4)
5) 6)
1)
2)
bisa menanam sendiri Penggunaan alternative lain makanan pokok Hidroponik Bazar pasar murah pedagang
Publikasi demand dan suplai bahan baku Informasi ketersediaan di gudang penyimpanan disampaikan pada masyarakat
138
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Variabel
Dimensi
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
(G1)
(G2)
(G3)
(G4)
(G5)
Indikator Kota Semarang 3)
4)
rawan longsor ke masyarakat Peraturan pusat provinsi & daerah yang mudah diakses dari medsos, maupun langsung Peta kelerangan yang bisa di download di website Pemerintah Kota Semarang
mudah di akses
3)
4) 5)
secara berkala yaitu 1 bulan 1 kali Informasi harga melalui berbagai media dan melalui pasarpasar Sosialisai tentang raskin Pelatihan pengolahan makanan pokok alternatif lain
Matriks II : Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut untuk Dimensi Efektivitas Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Variabel
Dimensi
Kebakaran
(G1) 1)
Efektivitas (E)
2) Kepemimpinan
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
Indikator
Visi dan misi program (E1)
3) 4)
5)
Pengurangan resiko bencana Mewujudkan masyarakat tangguh becana belum teralisasikan dengan maksimal Mengadakan perawatan di bantaran sungai Pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan program yang dimaksud (penataan kawasan sungai atau saluran) Meningkatkan
(G2) 1)
2)
3)
Pencegahan lebih baik daripada pemadaman Antisipasi pemadaman kebakaran sudah ada di tiap lokasi, kecuali hutan Visi misi jelas, bagaimana Dinas Kebakaran meningkatkan kinerja
(G3) 1)
2)
3)
4)
5)
Sosialisasi belum sampai ke masyarakat Living harmony with disaster lebih ditingkatkan sosialisasi dan implementasinya Mengatasi penurunan tanah dengan penanaman mangrove Lebih baik mencegah sebelum terjadi Visi misi masih
(G4) 1)
2) 3)
Sosialisasi dan implementasi sampai ke tingkat RT Peningkatan pelayanan kesehatan Jelas dan tepat, terlihat pada sosialisasi 3M sebagai VMTSS melindungi masyarakat
(G5) 1)
2)
3)
4)
Melakukan penanaman kultivultura Baru dilakukan lewat media TV atau radio Sudah jelas di masing-masing SKPD. Misal Disperindag, KKP, Dinas Pertanian Visi ketahanan pangan.
139
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Variabel
Dimensi
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
(G3)
(G4)
(G5)
Indikator (G1)
Kejelasan tujuan (E2)
kepedulian masyarakat terhadap evakuasi korban 6) Perlu sosialisasi sampai ke tingkat RT/RW 7) Sudah adanya program penanggulangan robbanjir 8) Sudah kongkrit bentuk penanggulan banjir dan rob 9) Pencegahan banjir menuju Semarang aman dan sejahtera 10) Visi Misi sudah jelas 1) Kelompok siaga bencana /KSB 2) Meminimalisir korban 3) Tujuan belum jelas program berkelanjutan 4) Belum tersosialisasi dengan baik 5) Mengajak masyarakat mensosialisasikan jangan membuang sampah sembarangan 6) Kejelasan tujuan sudah jelas 7) Untuk menanggulangi banjir dengan membangun polder, rumah pompa tanggul, dll 8) Adanya pompanisasi tim sukseskan waduk Jatibarang Polder 9) Tujuan untuk merasa aman, nyaman dan bebas banjir
(G2) 4)
1)
2)
3)
4) 5)
Jelas, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penanganan kebakaran
Tujuan jelas dari penyediaan sarpras pemadam kebakaran Masyarakat masih belum mendapati informasi yang jelas Ketelitian tempat-tempat penyebab terjadinya kebakaran misalnya instalansi listrik, pembongkaran sampah dan bahan mudah terbakar Melindungi masyarakt Tujuannya jelas bagaimana
6) 7)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
kurang jelas Terfokus di visi misi BPBD Jelas. Tertuang pada Perda no.14 tahun 2011
Belum melibatkan masyarakat di tingkat terkecil penghijauan wilayah agar bisa menciptakan oksigen Dengan terwujudnya penghijauan Tahud dan betonisasi, longsor tidak terjadi Jelas. Tercantum lokasi yang rawan longsor Di daerah rawan longsor (tol) terlihat jelas. Di daerah rawan longsor lain beum terlihat Tujuan jelas untuk mengurangi bahaya longsor tapi belum optimal
1)
2)
3)
4)
Pemkot sudah melaksanakan visi dan misi dengan pencegahan dan sosialisasi Baik sehingga partisipasi masyarakat baik Tujuan jelas untuk mengurangi masyarakat yang terjangkit DBD Perlu di aplikasikan
1)
2)
3)
Menciptakan lahan konservasi kultivultura Sesuai arahan badan ketahanan pangan namun belum kearah kedaulatan pangan Tujuan juga hanya terbatas pada masyarakat miskin
140
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Variabel
Dimensi
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
(G2)
(G3)
(G4)
(G5)
Indikator (G1)
1)
2)
3) 4)
5) Pencapaian tujuan (E3)
6)
Belum dilaksanakan secara penuh yaitu program berhenti karena masih ketergantungan dengan pemerintah pusat Bagus untuk daerah yang sudah memiliki KSB SOP KSB Pencapaian belum optimal karena terbatasnya biaya dan sumber daya yang ada Belum maksimal, karena program bertahap Tercapai tujuan dengan melihat cepat surut banjir saat hujan
1)
2)
3)
4)
5)
6)
merespon adanya bahaya kebakaran sesuai SPM Pemkot harus secara berkala melakukan koordinasi dengan instansi terkait Bagus untuk daerah yang siap siaga bencana Minimalisasi terjadinya dan penyabab kebakaran Masih terfokus pada perumahan dan pertokoan. Sementara hutan belum optimal Pencapaian belum optimal karena masih kurangnya sarana dan prasarana Masih perlu koordinasi antar masyarakat dan instansi terkait
1)
2)
3)
4)
5) 6)
Pemkot megecek kawasan longsor secara rutin Bagus untuk daerah yang sudah memiliki KSB Tujuannya mengurangi longsor dari pemukiman masyarakat belum optimal Masih overlapping. Di satu sisi melindungi masyarakat, di sisi lain untuk investasi pengpresan bukit, membangun perumahan Tidak terjadi longsor, penduduk merasa aman Masih kurang, karena belum tersosialisasi ke wilayah pinggir
1) Bagus, kesadaran masyarakat makin meningkat 2) Pencapaian tujuan belum optimal karena sifat nyamuk yang berpindah-pindah dan kurang koordinasi dengan dinas terkait. Dinas Kesehatan, Dinas Kebersihan, dan Dinas Pendidikan. 3) ABJ masih belum terpenuhi masih masuk 10 besar 4) Perlu koordinasi dalam pelaksanaannya 5) Tujuan melindungi masyarakat dari penyakit menular, wabah, KLB
1) 2)
3) 4)
Masih sering kurang info Pencapaian tujuan belum maksimal karena harga bahan baku terutama pangan masih dikuasai oleh pemodal besar Belum tepat sasaran Data warga miskin tidak valid
141
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Variabel
Dimensi
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
Indikator (G1) 1)
Kemampuan adaptasi (E4)
Masyarakat sudah mampu beradaptasi dengan kondisi alam tetapi masih perlu sosialisasi dari pihak yang berwenang 2) Cepat tanggap untuk daerah yang memiliki KSB 3) Pemkot belum sepenuhya menjawab keinginan masyarakat 4) Pendataan masih setengah-setengah 5) Memeperkuat adaptasi masyarakat untuk bisa bertahan di tempat tinggal atau tempat kerjanya 6) Sudah meningkatkan keterlibatan masyarakat 7) Belum ―merangkul‖ sepenuhnya pemerintah Provinsi apalagi Pemerintah Pusat 8) Perubahan kebijkakan terhadap sumur resapan & masyarakat mininggikan bangunan 9) LSM peduli bangunan & lingkungan 10) Relokasi masyarakat di bantaran sungai 11) Pemerintah Kota Semarang meniadakan kegiatan rutin di lokasi untuk masyarakat umum sebagai imbauan.
(G2) 1)
2)
3)
4)
5)
6)
Mampu menggerakkan masyarakat dengan cepat jika banyak tersedia kantong air Kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran dan antisipasinya terus dilaksanakan Belum optimal adaptasi akibat korsleting listrik Perlunya bimbingan kepada masyarakat untuk teknis pencegahan Memperkuat adaptasi dimana masyarakat lebih tanggap dan paham akan bahaya kebakaran Pemerintah Kota belum memberi contoh pada gedung sendiri.
(G3) 1)
2)
3)
4)
5)
6)
Ajakan untuk masyarakat lebih peduli lingkungan lewat program go green Simulasi, publikasi, gladi antisipasi longsor perlu ditingkatkan Menciptakan ide penanaman mangrove dalam pot dan menggunakan bambu sebagai talud manual Meningkatnya adaptasi masyarakat terhadap bahaya longsor Masyarakat hanya mampu membangun di lokasi yang rawan longsor karena nilai jual tanah rendah (terjangkau) Selama ini sudah cukup bagus, tapi perlu ditingkatkan lagi
(G4) 1)
2) 3) 4)
5)
6)
7)
Mampu mengajak masyarakat untuk melakukan PSN setiap waktu Respon masyarakat baik PSN di semu unit Masyarakat rajin menutup tempat air, 3M, fogging, lampu nyamuk Belum meningkatkan kesadaran masyarakat secara maksimal namun meningkatkan partisipasi PKK, kelurahan, Kecamatan dan pihak-pihak terkait lainnya Kesadaran masyarakat terhadap lingkungan masih kurang. Perlu ditumbuhkan, Kemampuan adaptasi meningkat dengan memahami penanggulanan DBD
(G5) 1)
2)
3)
4)
5)
Masih kurang karena sering terbentur birokrasi dan regulasi Keberadaan raskin menimbulkan permasalahan baru Masih rendah dalam kemapuan keanekaragaman pangan pengganti beras. Kemampuan adaptasi meningkat dengan adanya stok beras Kemampuan adaptasi belum menjangkau semua pelaku/subjek dari penghasil produk pangan. Masih terpaku pada beras.
142
Kepemimpinan Terkait Guncangan Akut
Isu Guncangan Akut Banjir Bandang
Variabel
Dimensi
Kebakaran
Longsor
DBD
Pasokan Bahan Baku
(G2)
(G3)
(G4)
(G5)
Indikator (G1)
Integrasi antarprogram (E5)
1) Belum sesuai dengan yang diharapkan 2) Pemkot kurang tegas dalam pentaan kawasan sungai/saluran 3) Sinergitas dan sinkronisasi antar stakeholder terkait di optimalkan 4) Reklamasi pantai, pengeboran sumur artetis melemahkan integrasi program. 5) Belum efektif untuk program-program antar instansi-intstansi yang lain 6) Masih perlu adanya integrasi dengan stakeholder lain khususnya dengan dinas teknis seperti Bina Marga, DTUP 7) Penghijauan 8) Restrukturisasi dinasdinas terkait dengan mengatakan tugas dan fungsi yang serumpun dengan prinsip struktur ramping kaya fungsi
1) Seringkali kesulitan telpon mobil pemadam kebakaran jika libur atau tanggal merah 2) Belum optimal integrasi dengan PLN sehingga banyak kebakaran akibat korsleting 3) Sosialisasi ke warga masih kurang 4) Peralatan penanganan kebakaran masih mahal dan prosedur masih rumit 5) Mitigasi bencana 6) Kesadaran bersama untuk kepentingan umum 7) Perlu integrasi denan PDAM untuk titik Hydrant yang lebih banyak
1) Masih sering belum bisa ada penanganan cepat 2) peningkatan koordinasi antar stakeholder 3) Pemerintah kota belum mampu memberikan solusi 4) Sosialisasi perlu sering dilakukan 5) Harus punya kepedulian bersama 6) Kurang integrasi antara investasi dengan konservasi dan lingkungan hidup 7) Perlu integrasi dengan dinas PSDA & ESDM dan Bina Marga.
1) kesadaran gerakan PSN di masyarakat sudah bagus 2) Dinas Kesehatan, RT, RW, Dasawisma, LPMK, DInas Kebersihan, Pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan perempuan 3) Perlu gerak bersama dari unsur masyarakat, pemerintah, perguruan tinggi, swasta dan DPRD 4) Masih ada persepsi DBD urusan kesehatan, padahal itu urusan bersama 5) Dinas Kesehatan perlu turun langsun ke lapangan. 6) Membuat contoh rumah sehat
1) Masih sering terhambat penanganannya 2) Dinas ketahanan pangan belum terintegrasi dengan BMKG, BPBD, Pengairan, Kelistrikan. 3) Masih perlu integrasi antar program. 4) Pendataan warga miskin dari tingkat RT-RW s/d Kota harus sinkron dan jelas 5) Peningkatan peran Bulog & Kementrian pertanian
143
Matriks III : Strategi Terkait Isu Guncangan Akut Strategi Terkait Guncangan Akut
Strategi (S)
Dimensi
Perlindungan (P)
Isu Guncangan Akut (G) Banjir Bandang (G1) 1) pembuatan tanggul 2) pengerukan saluran secara berkala 3) penyediaan jalur dan tempat evakuasi 4) pemenuhan kebutuhan dasar 5) pembuatan polder dan bisa difungsikan setiap musim penghujan atau rob 6) gerakan sosialisasi untuk peduli sampah, peduli lingkungan, dan peduli banjir yang terus menerus dan serempak 7) Simulasi cara mengungsi cepat secara periodic 8) Tanggap bencana di setiap wilayah 9) Melaksanakan pengendalian dan control secara berkala 10) Melaksanakan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas dan adil serta di evakuasi 11) Perlindungan tidak hanya pada banjir bandang namun juga banjir/rob yang terjadi. 12) Menerbitkan aturan baku sebagai acuan dasar yang detail dan jelas bagi pelaksana. 13) Menyiapkan SDM yang sesuai dengan prinsip The Right Man in the Right
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
Kebakaran (G2) Mengatur tata ruang yang lebih amnan dan meminimalisir kebakaran Penyediaan krankran hidran yang berfungsi dan memadahi Penyediaan APAR di gedung/tempat keramaian Menciptakan atau mengurangi adanya bahaya kebakaran Simulasi kebakaran harus periodik dilakukan pada gedung-gedung bertingkat, perumahan padat dan hutan. Penyediaan peralatan pemadam yang terjangkau dari semua lapisan masyarakat Perlu perlibatan masyarakat luas dalam sosialisasi penanggulangan kebakaran Sosialisasi bahaya kebakaran melalui berbagai media Untuk menyediakan tempat-tempat aman, sperti karung dibasahi, dll Melaksanakan pengendalian dan kontrol secara berkala. Melaksanakan pengawasan dan
1)
2) 3) 4) 5) 6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
Longsor (G3) Menciptakan talud pakai bambu sekalian bisa menjadi tabulampun mangrove Penyediaan tempat pengungsian Pemenuhan kebutuhan dasar Gladi/simulasi Pemasangan rambu evakuasi Gerakan oenanaman pohon da penghijauan hingga tingkat paling kecil Pelarangan/aturan dilarang membangun perumdi kawasan rawan longsor Melaksanakan pengendalian dan kontrol secara berkala Melaksanakan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas dan adil serta di evaluasi Menerbitkan aturan sebagai bahan acuan dasar yang detail dan jelas bagi pelaksanaan Menyiapkan SDM yang sesuai dengan prinsip The Right Man in the Right Place Perlu aturan guna perlindungan tidak hanya daerah atas yang lereng/bahaya longsor tapi juga daerah terkena dampak dibawahnya Dibangun pondasi yang tahan longsor
1) 2) 3)
4)
5)
6) 7)
8) 9)
10)
11)
12)
13)
DBD (G4) Pembagian abate gratis Menjaga kebersihan lingkungan Pembinaan dan pemberian insentif ke jumantik dan FKK rutin Dinkes melaksanakan sosialisasi berkala Pemkot secara rutin melakukan pembersihan saluran Gerakan PSN Penanaman tanaman lavender di tiap rumah Pembuatan biopori Penangan yang cepat apabila ada kasus DBD Melaksanakan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas dan adil serta di evakuasi Perlindungan tidak hanya pada banjir bandang namun juga banjir/rob yang terjadi. Menerbitkan aturan baku sebagai acuan dasar yang detail dan jelas bagi pelaksana. Menyiapkan SDM yang sesuai dengan prinsip The Right Man in the Right Place rutinitas oenyuluhan kebersihan
Pasokan Bahan Baku (G5) 1) Penyediaan stok sembako di kecamatan 2) Stok bahan baku memperhitungkan kebutuhan 3) Mengendalikan harga bahan baku 4) Sertifikasi umkm rutin 5) Menggiatkan petani dengan memberi bantuan modal 6) Pupuk harga terjangkau 7) Lebih ke koordinasi terhadap pihak-pihak terkait 8) Melaksanakan pengendalian dan kontrol secara berkala 9) Melaksanakan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas dan adil serta di evaluasi 10) Menerbitkan aturan sebagai bahan acuan dasar yang detail dan jelas bagi pelaksanaan 11) Menyiapkan SDM yang sesuai dengan prinsip The Right Man in the Right Place 12) Melibatkan petugas dinkes untuk memastikan kualitas raskin 13) Transportasi strategis pengangkut bahan baku harus diatasi dari banjir-banjir rob
144
Strategi Terkait Guncangan Akut Dimensi
Isu Guncangan Akut (G) Banjir Bandang (G1) Place. 14) Penyediaan alat-alat untuk pencegahan terjadi banjir
1)
2)
3)
4)
5) Mobilitas (M)
6) 7)
8)
Perlu peningkatan komunikasi dan publikasi Masyarakat siap mengamankan dan merawat Adanya jalur evakuasi untuk mempercepat penanganan Penyediaan sarana transportasi untuk evakuasi seperti perhu karet Relokasi pemukiman daerah-daerah rawan banjir bandan Birokrasi di pemerintahan Menyediakan aplikasi khusus berbasis android dan sejenisnya yang berisi konten dan seperti pelaporan kejadian jalur evakuasi. System komunikasi yang intens.
Kebakaran (G2) pemberian sanksi yang tegas dan adil serta di evaluasi 12) Menerbitkan aturan sebagai acuan dasar yang detail dan jelas bagi pelaksanaan 13) Menyiapkan SDM yang sesuai dengan prinsip The Right Man in the Right Place. 1) Ada sarana penunjang yang bisa mambantu warga agar tetap bisa beraktifitas 2) Pemeliharaan jalan kampung 3) Penambahan mobil pemadam kebakaran dan personilmembangun jalan lingkungan yang bisa dilewati pemadam kebakaran 4) Penyediaan pencegahan alatalatnya 5) Perlu jalur cepat untuk mobilitas kendaraan pemadam kebakaran 6) Perlu peningkatan mobilitas kendaraan pemadam kebakaran dengan standart jalan hingga ke tingkat lingkungan 7) Menyediakan aplikasi khusus berbasis android dan sejenisnya yang berisi konten dan seperti pelaporan kejadian jalur
Longsor (G3)
1)
2) 3)
4) 5) 6)
7) 8)
9)
Tersedianya alternatif jalan baru yang dibuka jika ada longsor Mengurangi abrasi dan erosi tanag tersebut Kesiapan alat berat apabila sewaktu waktu dibutuhkan Relokasi penduduk di daerah rawan longsor Sosialisasi di berbagai media Menyediakan aplikasi khusus berbasis android dan sejenisnya yang berisi konten dan seperti pelaporan kejadian jalur evakuasi. Adanya pos pengaduan tiap RT/RW Informasi aturan membangun area longsor perlu di detailkan Mobilitas terkait informasi dengan daerah rawan longsor perlu disosilisasikan
DBD (G4) lingkungan 14) Riset bagi pencegahan dan pengobatan DBD
1) 2)
3) 4) 5) 6)
Penambahan mobil ambulance Tersedianya RS yang bentuknya tanpa kelas jika terjadi wabah Karantina penderita Sosialisasi melalui berbagai media Melakukan penelitian Informasi rutin dan kerja nyata
Pasokan Bahan Baku (G5)
1)
2)
3) 4) 5)
6)
7)
8)
Penambahan alat angkut untuk kecepatan penyaluran bahan baku Ada alternatif bahan pengganti untuk masyarakat Memberi kemudahan alat transportasi Penurunan BBM System informasi masyarakt yang menerima raskin dari kriteria yang jelas Pasar-pasar tradisional yang punya unigness diberi kemudahan transportasi dan informasi Merampingkan perijinan pangan menjadi satu atap terpadu (semisal BPOM, MUI, dll) Prasarana penunjang disediakan
145
Strategi Terkait Guncangan Akut
Isu Guncangan Akut (G) Banjir Bandang (G1)
Dimensi
8)
1)
2)
3)
4)
Kapasitas Kepemimpinan (KK)
5)
6) 7)
8)
9)
Mengerti dan memahami secara teknis fenomena banjir Segera turun tangan untuk berkoordinasi dengan instansi terkait Secara rutin melakukan kunjungan lapangan untuk meninjau kondisi di lapangan terutama pada polder Selalu kontak dengan BPBD dalam kondisi apapun Kepemimpinan perlu sering mengunjungi daerah rawan banjir banjir untuk sosialisasi. Kurang kesungguhan dan keseriusan Political will dengan DPRD di maksimalkan dan merangkul komunitas. Komunitas (relawan) non profit. Membentuk tim pengawas bagian amdal. Memantau pelaksanaan pembangunan berkoordinasi dengan PSDA ESDM
1)
2) 3)
4) 5)
6) 7)
8)
9)
Kebakaran (G2) evakuasi. PDAM agar mendukung hingga di lokasi pelosok untuk support penanganan kebakaran.
Arif dan bijaksana dalam penanganan pasca kebakaran Memberikan jalan keluar yang terbaik Membantu tiap RT/RW untuk memenuhi sumursumur atau kantongkantong air yang bisa segera dipakai jika terjadi kebakaran Dibentuk damkar dalam tingkat wilayah Perlu mendorong dinas kebakaran lebih kepada teknologi penanggulangan kebakaran Loyalitas dan totalitas dalam pengabdian Perlu lebih memperhatikan keminatan masyarakat pada pekerjaan sebagai pemadam kebakaran dan pendidik kebakaran, Political will dengan DPRD di maksimalkan dan merangkul komunitas. Komunitas (relawan) non profit. Pengecakan Perda tentang proteksi bahaya kebakaran
Longsor (G3)
1)
Segera mengupayakan alat-alat berat berat yang dibutuhkan tanpa birokrasi yang sulit 2) Lebih meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan masyarakat 3) Dukungan walikota pada program penghijauan 4) Mengerti dan memahami secara teknis, penyebab longsor 5) Agar lebih peka dan peduli 6) Political will dengan DPRD di maksimalkan dan merangkul komunitas. Komunitas (relawan) non profit. 7) Perlu penataan kebijakan yang terintegrasi antara BPBD, DTKP, PSDA, ESDM untuk daerahdaerah rawan longsor 8) Sinergitas antar program 9) Pedoman teknis di gedung area longsor 10) Penegakan Perda di area tersebut 11) Pimpinan daerah untuk tidak menggunakan atau memanfaatkan area lahan longsor.
DBD (G4)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Pemkot lebih berperan aktif turun ke masyarakat Pengadaan personil kesehatan yang diharapkan untuk mengecek PSN di tiap-tiap RT/RW setiap minggu Sosialisasi bulanbulan rawan DBD dan subsidi abate dan fogging Political will dengan DPRD di maksimalkan dan merangkul komunitas. Komunitas (relawan) non profit. Harus satu komando di dalam pelaksanaan Perda DBD harus benar-benar diapliaksikan
Pasokan Bahan Baku (G5)
1) 2)
3) 4)
5)
6)
Kebijakan kemudahan akses Informasi dan data yang jelas, lengkap dan cepat tentang tersedianya stock bahan baku Ketegasan pengawasan terhadap bahan baku Penyediaan dan penyimpanan yang higienis dan memadai System trasportasi yang memadai sehingga terdistribusi Kebijakan revitalisasi pasar-pasar yang tua tetapi strategis harus segeera disusun guna mencegah kerusakan/kebakaran
146
Strategi Terkait Guncangan Akut Dimensi
Kapasitas Lokal (KL)
Isu Guncangan Akut (G) Banjir Bandang (G1) 10) Perlunya inisiatif dan ide-ide serta teknologi dari pimpinan SKPD menangulangi banjir bandang 1) Sinergi dan koordinasi antar stakeholder terkait 2) Sigap dan peduli untuk segera memberikan pertolongan atau bantuan kepada warga yang miskin 3) Ada komunitas KSB untuk menjembatani ke BPBD kota 4) BPBD perlu merangkul daerah rawan banjir gandeng untuk sosialisasi. 5) Sinergitas antara BPPD, kecematan, kelurahan, dinas sosial. 6) Perlu peningkatan sarana & prasarana bagi masyarakat guna mengurangi dampak banjir bandang. 7) Memantau pelaksanaan tanggap darurat banjir, pembangunan kota yang terintegrasi. 8) Pembentukan poskoposko tingkat RT.
Kebakaran (G2) 10) Sosialisasi Perda terkait
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Mengajak masyarakat menciptakan alat pemadam yang manual sambil menunggu petugas damkar Membantu penanganan kebakaran tanpa diminta Kesadaran masyarakat digalakkan Masyarakat diberi fasilitas titik-titik air bagi pemadaman kebakaran dan peralatan Semua elemen masyarakat harus memahami dan mampu menjalankan system proteksi kebakaran Penggunaan hentogan kembali sebagai alat informasi bahaya kebakaran.
Longsor (G3)
1)
2)
3) 4)
5) 6)
7)
Koordinasi antar pemangku kepentingan dan keterlibatan masyarakat Menyediakan peralatan/tenaga untuk segera bisa mengatasi longsor Masyarakat diberdayakan Merangkul tokoh-tokoh masyarakat, agama, LSM dalam sosialisasi Sinergitas program Pelatihan pembangunan di area peningkatan kapasitas masyarakat Perlu adanya sosialisasi bagi kepala daerah
DBD (G4)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Dinkes kota untuk memberikan bantuan pengawasan rutin tanpa menunggu kejadain luar biasa Sosialiasi untuk edukasi pentingnya PSN dan kebersihan lingkungan secara terus menerus dan berkesinambungan Simulasi pencegahan dan pengobatan di RT, RW, PKK, Desa wisma DBD tidak hanya urusan kesehatan tetapi lintas program Perlu peningkatan keterlibatan pimpinan skala dinas guna penanggulangan DBD Harus ada koordinatorya tiap angkatan
Pasokan Bahan Baku (G5)
1)
2)
3)
4) 5)
6)
Pembinaan dan penguatan permodalam UMKM Membantu memberikan informasi ke warga jika ada alternatif tambahan Masyarakat dapat memantau dan memberi saran kepada wraga yang berhak menerima raskin Home industri bagi penganekaragaman. Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang peduli Penguatan lebih kepada bahan baku dan pengelolaanya agar lebih hemat dan aman.
147
LAMPIRAN E: HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 1) Hari/Tanggal Instansi Peneliti Narasumber
: Senin, 4 April 2016 : Bappeda Kota Semarang : Dr. Lilin Budiati, SH., MM. : Ir. Bambang Haryono
Tema : Model Kepemimpinan Lokal Konsentrasi: Kepemimpinan walikota beserta jajaran birokrasi pemerintah kota Semarang Konteks: Kepemimpinan efektif dan kreatif dalam membangun “ketahanan kota” untuk mewujudkan Semarang Resilient City No. Pertanyaan Jawaban 1 Apa yang harus dilakukan oleh Adanya konsep-konsep penanganan terkait seorang pemimpin terkait dengan kebencanaan. Misalnya saja adanya Perda Sistem kondisi kebencanaan dan tantangan Drainase terkait penanganan banjir/rob. yang dihadapi kota Semarang pada Selanjutnya mulai mempersiapkan masyarakat saat ini? sebelum terjadinya bencana. Memang ini masih dalam proses dan bertahap. Contohnya yang ada di Kali Bringin itu sudah, baik itu alat, jalur evakuasi, dan dukungan logistik di lapangan) 2 Faktor-faktor apa yang menginspirasi Masih kurang kesiapan kelembagaan terutama di atau mendorong pemimpin untuk tingkat masyarakat. Selain itu, kebijakan kebijakan membangun ketahanan kota? yang ada belum bersifat preventif. Untuk itu, salah satu upaya dari Bappeda Kota Semarang adalah dengan memasukkan kegiatan-kegiatan di RPJM 3 Dibandingkan dengan praktik yang Adanya komitmen (dengan DPRD) khususnya sudah pernah terjadi sebelumnya, untuk daerah pesisir untuk rencana ―membeli apakah ada pembaruan atau inovasi lahan‖. Karena ternyata implementasi di lapangan pada praktik kepemimpinan walikota wilayah pesisir meskipun sudah di plot menjadi Semarang pada saat ini? Jika ada, kawasan konservasi, tapi ternyata dimiliki oleh apa yang membedakannya dengan private/perseorangan. kepemimpinan di masa lalu, serta apa manfaat relatifnya bagi warga Selain itu sekarang sudah ada kenaikan anggaran kota Semarang? untuk tahun 2016, menjadi 20 M 4 Apakah visi, misi dan tujuan dari Salah satu misi dari walikota semarang adalah upaya membangun ketahanan kota sebagai kota metropolitan yang berwawasan Semarang? lingkungan. 5 Apa saja kebijakan yang sudah Konservasi lahan pesisir seperti menanam dan/atau akan dirumuskan serta mangrove dengan pelibatan berbagai diimplementasikan terkait isu pihak membangun ketahanan kota? Lalu, CSR dengan perusahaan Sosialisasi terutama pada masyarakat. Yang sekarang terjadi masyarakat sudah merasa biasa dengan kebencanaan yang ada di Kota Semarang, sehingga perhatian terhadap upaya-upaya preventif menjadi kurang Perijinan untuk ABT. Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah regulasi untuk perijinan ABT sudah ketat dengan tidak memperbolehkan di zona merah, namun masih kurangnya monitoring (pengawasan) dari dinas di lapangan. (satu perijinan ternyata banyak titik) 6 Sejauh ini, apakah kebijakan terkait Dari Bappeda Kota Semarang sudah berupaya isu kebencanaan dan membangun untuk menganggarkan seefektif mungkin, namun ketahanan kota mendapat dukungan dinas-dinas terkait masih perlu untuk politik dan dukungan anggaran yang meningkatkan kapasitasnya dalam pemanfaatan memadai? Jika jawabannya ―Ya‖, dari teknologi khususnya untuk inovasi-inovasi baru.
7
8
9
(1)
(2)
(3)
(4)
10
mana dan apa bentuk dukungan tersebut? Jika Jawabannya ―Tidak atau belum‖, apa upaya dan strategi walikota untuk memperoleh dukungan yang dimaksud? Dalam konteks membangun ketahanan kota Semarang, pendekatan apakah yang diterapkan dalam menjalankan kepemimpinan dan apakah kelebihannya dibandingkan dengan pendekatan lainnya Menurut pendapat Bapak, apakah kapasitas birokrasi pemerintah kota Semarang saat ini sudah mencukupi atau memadai bagi kepentingan membangun ketahanan kota? Jika jawabannya: ―sudah cukup/memadai‖, bagaimana strategi Bapak dalam memanfaatkan kapasitas itu untuk mengalokasikan sumber daya dan membangkitkan serta menyerap partisipasi publik? Jika Jawabannya ―tidak atau belum cukup/memadai‖, bagaimana upaya dan strategi Bapak untuk meningkatkan kapasitas yang dimaksud? Catatan: Kapasitas birokrasi pemerintah daerah mencakup: (1) Pengembangan SDM; (2) Penguatan organisasi; dan (3) Reformasi kelembagaan Upaya mewujudkan kota tangguh Semarang dapat dicapai dengan menggunakan dua model pendekatan yaitu: (1) model stabilitas atau keseimbangan/ekuilibrium yang dapat dievaluasi setiap lima tahun sekali dengan menggunakan basis data yang terukur; dan (2) model non ekuilibrium yang tepat digunakan untuk kondisi bencana yang membutuhkan respon cepat seperti banjir bandang. Bagaimanakah kebijakan, strategi dan perencanaan pemerintah kota Semarang dalam membangun ketahanan kota yang berkelanjutan? (jangka pendek, menengah dan panjang). Bagaimana strategi mengintegrasikan dua model pendekatan tersebut di dalam suatu perencanaan kota? Siapa saja stakeholder terkait yang bertanggungjawab dalam upaya memba-ngun ketahanan kota yang berkelanjutan? Bagaimanakah strategi melibatkan partisipa-si kalangan bisnis/sektor privat dan masyarakat dalam upaya membangun ketahanan kota? Bagaimanakah strategi dan perencanaan terpadu Bappeda kota
Lalu seringkali, anggaran program lebih besar dibandingkan keampuan APBD
Masih belum cukup memadai. Kurangnya integrasi pihak-pihak terkait dalam kepentingan membangun ketahanan kota masih kurang. Seharusnya pihak pihak seperti birokrat (Bappeda, BPBD) lalu pihak swasta, dan masyarakat harus koordinasi satu sama lain. Masyarakat juga tidak hanya dilatih-latih saja tetapi juga dipersiapkan anggaran khusus untuk kegiatan-kegiatan terkait ketahanan kota di lingkungan mereka, misalnya kelompok siaga bencana harus disiapkan
Aturan atau Perda tentang tata ruang, Rencana Induk Sistem Drainase, Perda bangunan,
149
Semarang untuk mengatasi tantangan banjir dan kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), penurunan muka tanah dan tanah longsor, abrasi dan erosi pantai ?
penanganan air limbah, perda RTH, Perda lingkungan hidup  Upaya secara teknis dengan program-pogram SKPD misalnya pengendalian banjir dan rob (pompa, pembuatan tanggul), lalu pengamanan kawasan pesisir ( penanaman mangrove, tanggul pencegah abrasi)  menganggap pajak sebagai pendapatan utama PAD bukan retribusi. Jadi, misal IMB itu bukan untuk mendapatkan retribusi sebanyakbanyaknya tetapi untuk mengendalikan pembangunan agar tidak melenceng.  Perlu adanya kerjasama juga dengan komunitaskomunitas anak muda/sekolah (SMU dan SMK) untuk mensukseskan program-program pemerintah.
Tambahan:  Sebelum musrenbang ada alokasi dana untuk menstimulus partisipasi. Dana fasilitas musrenbang 173M untuk 177 kelurahan. Terdapat 7 indikator dalam anggaran a. Luas wilayah b. Jumlah penduduk c. Jumlah penduduk miskin d. Jumlah RT/RW e. Jarak dengan pusat kota f. Kondisi infrastruktur g. Tingkat swadaya Indikator kebencanaan dapat menjadi salah satu faktor juga dalam indikator anggaran tersebut (dapat menjadi salah satu masukan strategi)
150
2)
Hari/Tanggal Instansi Peneliti Narasumber
: Selasa, 5 April 2016 : BPBD Kota Semarang : Dr. Lilin Budiati, SH., MM. : Pak Iwan B. (Kepala BPBD Kota Semarang)
Tema : Model Kepemimpinan Lokal Konsentrasi: Kepemimpinan walikota beserta jajaran birokrasi pemerintah kota Semarang Konteks: Kepemimpinan efektif dan kreatif dalam membangun “ketahanan kota” untuk mewujudkan Semarang Resilient City No. Pertanyaan Jawaban 1 Menurut perspektif (sudut pandang) BPBD, kebijakan apa yang dapat dikembangkan oleh pemerintah kota Semarang untuk menanggulangi guncangan akut (banjir bandang, penurunan permukaan tanah dan tanah longsor, serta abrasi dan erosi pantai) untuk jangka pendek, menengah dan panjang secara berkelanjutan dan terpadu? 2 Peran dan fungsi BPBD lebih ditekankan Perlu adanya dukungan dari semua pihak, pada upaya mitigasi, pemulihan dan baik itu atasan, BPBD, dan masyarakat. rekonstruksi pasca bencana. Menurut Selain itu, antar program pendapat BPBD, bagaimana strategi penanggulangan kebencanaan haruslah kepemimpinan pemerintah kota Semarang bersinergi agar dapat mengintegrasikan peran dan fungsi BPBD dalam perumusan kebijakan dan perencanaan strategis untuk membangun ketahanan kota? 3 Menurut sudut pandang BPBD, bagaimanakah seharusnya strategi penerintah kota untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat dan kalangan bisnis/swasta agar dapat memberikan kontribusi efektif bagi upaya membangun ketahanan kota? 4 Mencermati pengalaman berbagai negara Saya setuju, namun yang perlu ditingkatkan lain dalam membangun kota tangguh, itu adalah daya antisipasi dari masingterdapat kecenderungan umum untuk masing individu. Nah disinilah peran menggunakan perencanaan strategis camat dan lurah perlu ditingkatkan. pembangunan ketahanan kota yang Sebagai contoh, sosialisasi kepada wargaberbasis "gender". Alasannya adalah warga di sekitar rawan longsor mengenai karena dalam situasi bencana, wanita cara membuat talud mempunyai tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada pria. Apakah bpk/Ibu/sdr setuju jika model serupa juga diterapkan di kota Semarang? (Berikan alasan apabila jawabannya setuju atau tidak setuju). 5 Jika jawaban no, 4 adalah setuju, Salah satunya adalah dengan membangun bagaimana kebijakan dan strategi pemkot partisipasi melalui sosialisasi kepada Semarang untuk membangkitkan dan kaum wanita. Apabila ada sosialisasi dari mengorganisasikan partisipasi kaum BPBD, kami juga turut mengundang perempuan dalam upaya membangun PKK, dharma wanita untuk ikut serta. ketahanan kota? Selain itu, sudah ada keterlibatan kaum wanita dalam KSB (Kelurahan Siaga Bencana) 6 Bagaimana kebijakan dan strategi BPBD Pelatihan dan sosialisasi pada dalam upaya meningkatkan respon, masyarakat kesiapan dan pencegahan guna Brosur dan pamflet mengenai mengurangi risiko (bahaya, paparan dan kebencanaan kerentanan) bencana? Pelatihan emergency respond Kerja sama dengan Basarnas dan Brimob untuk pelatihan-pelatihan
151
7
8
9
10
11
12
Kebijakan, strategi dan kegiatan/program apa yang dapat diusulkan oleh BPBD untuk memberikan pembelajaran kepada warga kota tentang kebencanaan dan ketahanan kota? Apakah BPBD sudah memiliki kebijakan dan strategi untuk memobilisasi stakeholder dan/atau warga kota untuk menghadapi situasi kebencanaan akut/darurat? Jika sudah ada, bagaimana deskripsi konseptual dan deskripsi operasionalnya? Bagaimanakah deskripsi dari ukuran dan kriteria kondisi ketahanan kota yang ingin dicapai untuk kota Semarang? Kendala apa yang dihadapi BPBD dalam menjalankan Tupoksi-nya?
Berdasarkan Tupoksinya, sebenarnya BPBD dapat memobilisasi sumberdaya lokal yang mencakup SDM, organisasi lokal non pemerintah, komunitas peduli lingkungan/bencana, sektor swasta, LSM, sektor swasta dan warga kota lainnya untuk ber-sama2 merumuskan kebijakan, menentukan kebutuhan jangka pendek dan panjang, menentukan indikator risiko utama (IRU))dan indikator kinerja utama (IKU), menetapkan strategi dan menyusun rencana, serta mengusulkan program untuk meningkatkan kapasitas lokal guna membangun "ketahanan kota" seperti yang diinginkan dalam rangka mewujudkan Semarang RC. Sejauh ini, apakah hal2 tersebut sudah dilakukan? Jika sudah, bagaimana pencapaiannya saat ini? Bagaimana roadmap dan/atau penanggulangan bencana kota Semarang yang dibuat oleh BPBD untuk jangka pendek, menengah dan panjang? Apakah roadmap dan atau renstra tersebut didasarkan pada riset empiris atau dibuat secara "ad hoc" jika terjadi bencana?
152
Meningkatkan kelurahan siaga bencana (KSB) menjadi kelurahan tangguh bencana. Saat ini terdapat 22 KSB di Kota Semarang

Kualitas dan kuantitas SDM yang masih kurang, (kekurangan staf ahli di sini)  Tidak ada kejelasan arah fungsi/peran BPBD. Mau seperti apa BPBD ini akan diarahkan  Birokrasi yang berbelit-belit sehingga penanganan kebencanaan menjadi lama  Sekda selaku kepala BPBD masih kurang berperan Untuk kerja sama dengan komunitas sudah mulai berjalan seperti ada forum pengurangan resiko bencana. Itu kita fasilitasi sehigga output yang diharapkan adalah hasil rekomendasi untuk BPBD.
Untuk saat ini, masih belum ada rencana aksi daerah untuk penanggulangan bencana.
3)
Hari/Tanggal Instansi Peneliti Narasumber
: Senin, 6 April 2016 : TIM RC : Dr. Lilin Budiati, SH., MM. : Dr.-Ing. Wiwandari Handayani, ST, MT, MPS
Tema : Model Kepemimpinan Lokal Konsentrasi: Kepemimpinan walikota beserta jajaran birokrasi pemerintah kota Semarang Konteks: Kepemimpinan efektif dan kreatif dalam membangun “ketahanan kota� untuk mewujudkan Semarang Resilient City No. Pertanyaan Jawaban 1 Hasil rumusan POKJA KAPASITAS Tim RC Kata kunci: kota Semarang menyatakan bahwa Komitmen (yang tidak hanya lip service) kapasitas lokal merupakan fungsi dasar dari sangat dibutuhkan untuk membangun penguatan ketahanan kota. Fungsi tersebut ketahanan kota semarang. mengarah pada empat dimensi penataan Koordinasi dan integrasi internal antara ruang perkotaan yaitu: (1) Inklusi; (2) skpd kota semarang, eksternal dgn wilayah Produktivitas; (3).Identitas Lokal; dan (4) sekitar maupun dgn berbagai stakeholder Keberlanjutan. Kebijakan apa yang dapat terkait di luar pemerintahan. dirumuskan dan bagaimana strategi untuk membangun kapasitas lokal agar dapat Secara umum, strategi kunci yang memberikan perlindungan kepada warga dibutuhkan adalah strategi untuk kota? membangun komunikasi dan komitmen baik pada high, medium, maupun low level kepemimpinan. 2
Apakah Tim RC sudah menentukan indikator risiko utama (IRU) dan indikator kinerja utama (IKU), guna membangun "ketahanan kota" seperti yang diinginkan dalam rangka mewujudkan Semarang RC?
3
Bagaimana ukuran dan kapasitas untuk membangun ketahanan kota terkait dengan resiko yang dihadapi?
4
Apakah isu ketahanan kota ini sudah menjadi isu dan kepentingan bagi seluruh warga Kota Semarang? Jika belum, bagaimana strategi Tim RC untuk mensosialisasikan agar isu RC Semarang ini dapat dipahami oleh seluruh masyarakat?
5
Isu sentral dari kapasitas lokal adalah penetaan kelembagaan, kepemimpinan, pemanfaatan pengetahuan dan akuntabilitas. Terkait dengan konteks ketahanan kota, wadah atau lembaga apakah yang tepat untuk mengakomodasikan dan mengintegrasikan keempat isu tersebut dalam struktur birokrasi pemerintahan kota Semarang? Pelibatan pemangku kepentingan menyangkut aspek inklusiviitas partisipasi masyarakat dalam penataan ruang perkotaan sebagaimana dimaksud Pasal 65 UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menyatakan: ayat (1)
6
153
Untuk mewujudkan ketahahanan kota, CRO Semarang difasilitasi tools/alat analisis oleh 100RC Rockefeller Foundation yang dikembangkan ARUP. Secara eksplisit, dalam pendekatan 100RC belum ada indicator IRU dan IKU. Namun, secara implisit sdh dapat diindikasikan IRU dan IKU nya. Secara umum, ukuran yang digunakan adalah mengacu pada kemampuan kota semarang untuk mengantisipasi dan menghadapi shocks and stresses nya. Karena prinsip pendekatannya adalah inklusif, isu ketahanan kota seharusnya sudah relevan dengan kepentingan seluruh warga kota semarang. Strategi utama yg dilakukan RC antara lain: Penggunaan sosial media (twitter, blog, FB dll), sosialisasi melalui radio dan yang baru saja dilakukan, mengangkat Putri Indonesia 2015 yg kebetulan warga semarang sebagai ambassador ketahanan kota Semarang. Di SOTK yang baru, LITBANG akan menjadi lembaga penting sbg lembaga/SKPD tersendiri. LITBANG dapat dijadikan sebagai institusi/wadah yang ckp relevan untuk mengkaji dan mendorong pelaksanaannya. LITBANG dalam hal ini perlu berperan sebagai policy institute bagi pemerintah daerah. Ini masih menjadi tantangan besar, diantaranya tantangan agar masyarakat lebih peduli dan ada ―trust‖ ke pemerintah. Musrembang dianggap belum efektif. Mengembangkan mekanisme yang lebih baik (tranparan dan akuntabel) agar Musrembang
7
8
9
10
―penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat‖, dan ayat (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui: (a) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Terkait dengan dinamika populasi kota Semarang, bagaimana kebijakan, strategi dan perencanaan kota untuk memobilisasi dan mengakomodasikan partisipasi pemangku kepentingan guna membangun ketahanan kota? Kepemimpinan lokal merupakan salah satu isu penting dari kapasitas lokal. Kepemimpinan lokal menyangkut tiga ranah yaitu : (1) kepemimpinan politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kota Semarang; (2) kepemimpinan manajerial/profesional yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi; dan kepemimpinan komunitas yang dilaksanakan oleh organisasi non pemerintah/LSM dan civil society. Kepemimpinan lokal seperti apakah yang diharapkan agar dapat membangun ketahanan kota guna mewujudkan Semarang RC?
Terdapat indikasi bahwa organisasiorganisasi non pemerintah dan/atau civil society di kota Semarang mengalami penguatan dan melakukan mobilisasi horisontal maupun vertikal. Bagaimana kebijakan dan strategi untuk mengarahkan mobilisasi sosial ini guna membangun kapasitas lokal dalam rangka mewujudkan ketahanan kota? Sejauh ini, apakah kebijakan terkait isu kebencanaan dan membangun ketahanan kota mendapat dukungan politik dan dukungan anggaran yang memadai? Jika jawabannya ―Ya‖, dari mana dan apa bentuk dukungan tersebut? Jika Jawabannya ―Tidak atau belum‖, apa upaya dan strategi walikota untuk memperoleh dukungan yang dimaksud? Menurut pendapat Bapak/Ibu/Sdr., apakah kapasitas birokrasi pemerintah kota Semarang saat ini sudah mencukupi atau memadai bagi kepentingan membangun ketahanan kota? Jika jawabannya: ―sudah cukup/memadai‖, bagaimana strategi Bapak dalam memanfaatkan kapasitas itu untuk mengalokasikan sumber daya dan membangkitkan serta menyerap partisipasi publik? Jika Jawabannya ―tidak atau belum cukup/memadai‖, bagaimana upaya dan strategi Bapak untuk meningkatkan
154
dapat lebih efektif adalah salah satu inisiatif kunci yang dapat dilakukan.
Kepemimpinin yang sinergis…. Kepemimpinan yang mampu mendorong inklusifitas (kerjasama dan kebersamaan) dalam membangun ketahanan kota semarang. Sehingga, membangun kepemimpinan lokal di berbagai lini (pemerintah: high-medium-low level maupun non pemerintah) sangat sangat penting. Kita perlu punya, mencari dan jika mungkin, menciptakan ‖local champion‖ di berbagai lini tersebut. Notes: Saat ini, dr hasil wawancara dgn beberapa kepala dinas SKPD, diketahui byk kepala dinas yang tidak memahami maslaah riil di lapangan. Civil society menguat, banyak ditemukan local champion, misal local champion dari kelompok siaga bencana. Mereka perlu dirangkul, diajak kerjasama, dan perlu membangun komunikasi secara intensif.
Dukungan, ada tetapi tidak signifikan, msh spt business as usual saja, karena terkesan pemerintah tidak mau repot, tidak mau punya inovasi. Setahu saya, belum ada strategi khusus dari walikota selain strategu yang sifatnya business as usual. Padahal banyak masalah kebencanaan yg perlu komitmen dan penanganan intensif. Kapasitas BELUM memadai, perlu ada reformasi agar orang yg tepat ditempatkan pada posisi yang tepat. Perlu ada sistem agar jabatan penting dan strategis diduduki oleh orang yang berkapasitas bukan semata2 hasil lobi.
11
12
13
kapasitas yang dimaksud? Catatan: Kapasitas birokrasi pemerintah daerah mencakup: (1) Pengembangan SDM; (2) Penguatan organisasi; dan (3) Reformasi kelembagaan Mencermati pengalaman berbagai negara lain dalam membangun kota tangguh, terdapat kecenderungan umum untuk menggunakan perencanaan strategis pembangunan ketahanan kota yang berbasis "gender". Alasannya adalah karena dalam situasi bencana, wanita mempunyai tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada pria. Apakah bpk/Ibu/sdr setuju jika model serupa juga diterapkan di kota Semarang? (Berikan alasan apabila jawabannya setuju atau tidak setuju). Jika jawaban no, 4 adalah setuju, bagaimana kebijakan dan strategi pemkot Semarang untuk membangkitkan dan mengorganisasikan partisipasi kaum perempuan dalam upaya membangun ketahanan kota? Upaya mewujudkan kota tangguh Semarang dapat dicapai dengan menggunakan dua model pendekatan yaitu: (1) model stabilitas atau keseimbangan/ekuilibrium yang dapat dievaluasi setiap lima tahun sekali dengan menggunakan basis data yang terukur; dan (2) model non ekuilibrium yang tepat digunakan untuk kondisi bencana yang membutuhkan respon cepat seperti banjir bandang. (1) Bagaimanakah kebijakan, strategi dan perencanaan pemerintah kota Semarang dalam membangun ketahanan kota yang berkelanjutan? (jangka pendek, menengah dan panjang). (2) Bagaimana strategi mengintegrasikan dua model pendekatan tersebut di dalam suatu perencanaan kota? (3) Siapa saja stakeholder terkait yang bertanggungjawab dalam upaya memba-ngun ketahanan kota yang berkelanjutan? (4) Bagaimanakah strategi melibatkan partisipa-si kalangan bisnis/sektor privat dan masyarakat dalam upaya membangun ketahanan kota?
155
Setuju, wanita, anak2 dan orang tua memang lebih rentan dan dalam situasi bencana perlu lebih diperhatikan.
Setahu saya, dari pemerintah belum ada upaya spesifik menuju kea rah itu.
Secara umum, strategi dalam menghadapi bencana di kota semarang msh cenderung bersifat reaktif dari pada proaktif. Tidak ada keinginan untuk berinovasi dan membuat terobosan.
4)
Hari/Tanggal Instansi Peneliti Narasumber
: Senin, 6 April 2016 : TIM RC : Dr. Lilin Budiati, SH., MM. : Aniessa Delima Sari, Mercy Corps Indonesia
Tema : Model Kepemimpinan Lokal Konsentrasi: Kepemimpinan walikota beserta jajaran birokrasi pemerintah kota Semarang Konteks: Kepemimpinan efektif dan kreatif dalam membangun “ketahanan kota” untuk mewujudkan Semarang Resilient City No. Pertanyaan Jawaban 1 Hasil rumusan POKJA KAPASITAS Untuk menentukan kebijakan apa yang dapat Tim RC kota Semarang menyatakan dirumuskan, menurut saya perlu ada evaluasi bahwa kapasitas lokal merupakan kembali atas kebijakan-kebijakan yang sudah ada fungsi dasar dari penguatan di Kota Semarang sejak tahun 2009 hingga kini, ketahanan kota. Fungsi tersebut hal ini karena analisis terakhir soal kebijakan dan mengarah pada empat dimensi kapasitas yang saya pahami di Kota Semarang penataan ruang perkotaan yaitu: (1) dilakukan di tahun 2009 di dalam kajian Inklusi; (2) Produktivitas; (3).Identitas Kerentanan dan Resiko Perubahan Iklim di Kota Lokal; dan (4) Keberlanjutan. Semarang yang dilakukan melalui program Kebijakan apa yang dapat dirumuskan ACCCRN (dokumen terlampir). dan bagaimana strategi untuk membangun kapasitas lokal agar Adanya program RC yang dimulai di tahun 2014 ini dapat memberikan perlindungan sebetulnya merupakan peluang yang sangat baik kepada warga kota? untuk meng‖update‖ dokumen strategi ketahanan kota Semarang yang telah dibuat di tahun 2010 yang memiliki keterbatasan lingkup (resiliens terhadap bencana yang terkait iklim, seperti rob, baniir, longsor, angin puting beliung, sea level rise,abrasi, kekeringan). Dalam hal ini, aksi-strategi yang nantinya termuat di dalam Strategi Ketahanan Kota di tahun 2016 ini, selain lingkup resiliens nya lebih luas (juga ke shocks and stresses), strategi dan aksi yang dimuat tidak hanya berupa action, tapi bisa juga menjawab knowledge gaps-sehingga bisa berupa riset, dan kebijakan-sesuai kebutuhan. Sepemahaman saya, biasanya yang sering terjadi bukan kebijakannya yang kurang, tapi pelaksanaan dari kebijakan tersebut yang kurang termonitor dengan baik, dan mekanisme sanksi dan insentifnya tidak dikelola dengan baik, serta informasi soal kebijakan tersebut tidak dikemas dengan cara yang mudah dipahami public/segmen yang dituju atau malah tidak tersedia dengan mudah untuk public. Sehingga, menurut saya adanya kebijakan dan strategi untuk memformalkan City Resilience Office yang bisa terus memfasilitasi kooridnasi dan komunikasi antara DP2K, POkja PErubahan Iklim, ataupun stakeholder kota lainnya mungkin diperlukan—misal dengan mengintegrasikan secara formal dengan fungsi Pusat Informasi Publik yang sudah ada di Kota Semarang agar bisa menjalankan fungsi koordinasi, monitoring, dan memastikan informasi tersedia untuk public— karena stakeholder yang dilibatkan melalui City Resilience Office merupakan human capital yang luar biasa di Kota Semarang. Strategi-stratgi untuk melindungi warga kota sudah cukup banyak dielaborasi di dokumen Strategi Ketahanan Kota, sehingga langkah selanjutnya
156
2
Apakah Tim RC sudah menentukan indikator risiko utama (IRU) dan indikator kinerja utama (IKU), guna membangun "ketahanan kota" seperti yang diinginkan dalam rangka mewujudkan Semarang RC?
adalah bagaimana terus mengajak para pelaku kota dengan sumber daya dan potensinya masingmasing untuk berkontribusi dalam pelaksanaan aksi-aksi yang ada dalam dokumen tersebut. Peran City Resilience Office dalam hal ini sangat strategis, karena letaknya juga yang saat ini sudah menempati di Pusat Informasi Publik (hanya saja belum diformalkan, saat ini masih selama pelaksanaan program Resilient Cities saja sampai tahun 2017) Menurut saya, indicator risiko sangat penting ditentukan jika inisiatif/aksi yang ingin dilakukan sudah spesifik (skala proyek), karena sepemahaman saya, Resiko akan lebih mudah ditangani jika statement risknya spesifik. Adapun penyusunan inisiatif ini masih dalam proses, sehingga menurut saya terlalu premature jika kita sudah menentukan indicator resiko nya saat ini. Dalam hal ini, saya menangkap yang dimaksud resiko disini adalah resiko terhadap implementasi. (mohon koreksinya jika saya salah persepsi) Dokumen Startegi ketahanan Kota dimaksudkan sebagai dokumen public (mengundang kolaborasi, dan bisa menjadi investment tool untuk Kota Semarang), sehingga proses rekam jejak aksi-aksi kolaborasi yang dilakukan setelah dokumen ini selesai menjadi penting. Untuk indicator kinerja utama, menurut saya Pemkot punya peranan penting untuk ikut turun memberikan arahan indikatornya agar sejalan dengan indicator yang wajib diukur oleh Pemkot, missal indicator kota berkelanjutan, MDG‘s dan SDG‘s, dsb (dimaksudkan agar aksi-aksi parsial yang dilakukan oleh universitas, LSM, pelaku bisnis terekam kontribusinya). Agar public tidak bingung, perlu ada lanjutan informasi/pendetilan dari dokumen Strategi Ketahanan Kota, contohnya untuk aksi-aksi yang terkait dengan kesehatan, beberapa pilihan indicator yang bisa dipilih; penurunan angka kasus DB, HIV, dsb.
3
Bagaimana ukuran dan kapasitas untuk membangun ketahanan kota terkait dengan resiko yang dihadapi?
Jika pertanyaan ibu Lilin adalah apakah ada indicator spesifik untuk ketahanan kota, jawabannya ada, dan untuk dokumen strategi ini merupakan kombinasi dari indicator-indikator yang sudah dikumpulkan oleh kota, ditambah dengan persepsi stakeholder terhadap berbagai sector/aspek-aspek penting kota yang sebetulnya sudah dilakukan dalam penyusunan dokumen strategi ini sebagai baseline. Tapi menurut, saya masih ada hal-hal yang bisa dilakukan agar indicator-indikator ini lebih eksplisit untuk dipahami public. Walaupun masih perlu dilakukan pendetilan setelah dokumen selesai (dan hal ini penting dilakukan bersama, karena ownership dokumen ini adalah Pemkot dan para pelaku kota yang ingin berkontribusi), menrut saya, beberapa hal yang penting untuk menjadi ukuran: 1. Kuantitatif : Indikator skala program (sejalan dengan indicator-indikator yang sudah dikumpulkan kota, sifatnya wajib, agar terlihat kontribusinya ke kota, misal
157
angka kemiskinan) dan skala proyek (spesifik proyeknya, misal peningkatan pendapatan dari usaha UMKM cluster makanan di Kelurahan X) 2. Kualitatif: skala kota untuk per sector (seperti yang sudah dilakukan dalam Startegi Ketahanan Kota) dan skala proyek (untuk melihat keefektifan aksi-aksi yang sudah dilakukan) Menurut saya, hal yang tidak kalah penting adalah pendokumentasian aksi-aksi ini. Dari proses yang dilakukan di Startegi Ketahanan Kota, banyak sekali yang sudah dilakukan, tapi informasi soal apakah efektif, apakah menyelesaikan masalah, kapan, siapa yang melakukan sangat minim, sehingga proses belajar dari pengalaman yang lampau (baik praktik sukses ataupun yang kurang berhasil) sangat minim. 4
Apakah isu ketahanan kota ini sudah menjadi isu dan kepentingan bagi seluruh warga Kota Semarang? Jika belum, bagaimana strategi Tim RC untuk mensosialisasikan agar isu RC Semarang ini dapat dipahami oleh seluruh masyarakat?
Menurut saya belum, tapi seharusnya iya. Pada tahun 2009, isu resiliensi yang diperkenalkan melalui program ACCCRN hanya mencakup lingkup bencana terkait iklim, sedangkan lingkup untuk resiliens dalam Resilient Cities sudah sangat berkembang. Artinya pelaku –pelaku yang harus dilibatkan dengan lingkup yang baru ini juga jauh lebih besar dari sebelumnya. Hal-hal yang sudah dilakukan: 1. Memetakan dan melibatkan stakeholder dengan lebih komprehensif, misal DP2K, POkja Perubahan Iklim, berbagai komunitas masyarakat, pemuda, dll dalam workshop-workshop 2. Mengadakan kompetisi soal Resilient Cities (blog dan twitter) 3. Membuat akun di media-media sosial untuk menjangkau public (social media seperti Facebook, Twitter. Instagram), membuat website. 4. Bekerjsama dengan media massa (seperti talkhow radio dengan Radio Idola) dan mendorong agar walikota juga ikut dalam talkshow 5. Mengadakan acara-acara dan media yang kreatif agar bisa menjangkau masyarakat luas, seperti melalui acara musik, bekerjasama dengan komunitas Histeria melalui dialog-dialog public.
5
Isu sentral dari kapasitas lokal adalah penetaan kelembagaan,
Saat ini tim 100RC juga sedang dalam proses pembuatan video series soal ketahanan kota dengan melibatka tokoh-tokoh yang dikenal masyarakat (misal Prof Dharto dan Prie GS) Tim juga sedang mengeksplor kerjasama dengan Putri Indonesia 2015 agar bisa menjadi semacam ambassador untuk isu resiliens. Hal yang masih perlu didorong adalah peran Walikota selaku tokoh pemimpin agar lebih sering terlibat mendukung isu ini dan mendorong kolaborasi. (bahwa semua pihak punya sumber daya dan bisa berkontribusi untuk membangun kotanya Menurut saya, adanya otonomi daerah memungkinkan Walikota memberika arahan
158
kepemimpinan, pemanfaatan pengetahuan dan akuntabilitas. Terkait dengan konteks ketahanan kota, wadah atau lembaga apakah yang tepat untuk mengakomodasikan dan mengintegrasikan keempat isu tersebut dalam struktur birokrasi pemerintahan kota Semarang?
6
7
8
9
Pelibatan pemangku kepentingan menyangkut aspek inklusiviitas partisipasi masyarakat dalam penataan ruang perkotaan sebagaimana dimaksud Pasal 65 UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menyatakan: ayat (1) ―penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat‖, dan ayat (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui: (a) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Terkait dengan dinamika populasi kota Semarang, bagaimana kebijakan, strategi dan perencanaan kota untuk memobilisasi dan mengakomodasikan partisipasi pemangku kepentingan guna membangun ketahanan kota? Kepemimpinan lokal merupakan salah satu isu penting dari kapasitas lokal. Kepemimpinan lokal menyangkut tiga ranah yaitu : (1) kepemimpinan politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kota Semarang; (2) kepemimpinan manajerial/profesional yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi; dan kepemimpinan komunitas yang dilaksanakan oleh organisasi non pemerintah/LSM dan civil society. Kepemimpinan lokal seperti apakah yang diharapkan agar dapat membangun ketahanan kota guna mewujudkan Semarang RC? Terdapat indikasi bahwa organisasiorganisasi non pemerintah dan/atau civil society di kota Semarang mengalami penguatan dan melakukan mobilisasi horisontal maupun vertikal. Bagaimana kebijakan dan strategi untuk mengarahkan mobilisasi sosial ini guna membangun kapasitas lokal dalam rangka mewujudkan ketahanan kota? Sejauh ini, apakah kebijakan terkait
langsung dan inovasi terkait perubahan system agar lebih efektif (misal e-budgeting, update rutin kinerja SKPD, update soal hasil penanganan complain dari public; contoh yang cukup baik misal aplikasi Qlue yang digunakan di DKI Jakarta), sekaligus menjadi role model (sosok pemimpin) bagi SKPD. Untuk pemanfaatan pengetahuan, menurut saya bisa memanfaatkan fungsi Pusat Informasi Publik agar bisa lebih responsive melayani berbagai informasi utntuk public yang juga menyimpan database terpadu soal kota. City Resilience Office yang ada sekarang mungkin bisa diformalkan agar bisa menjalankan fungsi tersebut. Menurut saya, kemjuan internet banyak berpengaruh terhadap pola interaksi social masyarakat, sehingga cara memobilisasi dan mengakomodasi partisipasi pelaku-pelaku kota juga perlu dirubah (tidak bisa tetap dengan caracara konvensional seperti tatap muka langsung hanya via RT, RW, dimana pelaku yang terlibat semakin mengecil). Walaupun pak Walikota sudah memulai inisiatif yang baik dengan membuat akun social media agar bisa banyak berinteraksi, tapi Cara-cara kreatif perlu mulai dieksplorasi dan dietmpuh, misal: 1. Kotak Ide untuk Kota 2. Dialog publik rutin soal permasalahan dan solusi kota di Pusat Informasi Pembangunan atau tempat public lainnya (taman, area Banjir Kanal, dll) 3. Mengoptimalkan fungsi website kota agar bisa menampung ide dan keluhan secara sistematis. 4. Penyampaian informasi yang lebih jelas agar masyarakat memahami cara-cara untuk menyampaikan ide atau ikut berkontribusi dengan mudah. 5. Dll. Semuanya sama-sama penting dan perlu saling mendukung.
Melibatkan organisasi-organisasi tersebut agar bisa dipetakan dari segi keahlian (core competencies), program yang sudah/sedang/akan dilakukan, dan melakukan mekanisme assess and match (antara kebutuhan dan peluang kolaborasi) agar apa yang dilakukan bisa terekam kontribusinya bagi kapasitas local.
Belum. Sepemahaman saya, anggarannya ada
159
isu kebencanaan dan membangun ketahanan kota mendapat dukungan politik dan dukungan anggaran yang memadai? Jika jawabannya ―Ya‖, dari mana dan apa bentuk dukungan tersebut? Jika Jawabannya ―Tidak atau belum‖, apa upaya dan strategi walikota untuk memperoleh dukungan yang dimaksud?
10
11
Menurut pendapat Bapak/Ibu/Sdr., apakah kapasitas birokrasi pemerintah kota Semarang saat ini sudah mencukupi atau memadai bagi kepentingan membangun ketahanan kota? Jika jawabannya: ―sudah cukup/memadai‖, bagaimana strategi Bapak dalam memanfaatkan kapasitas itu untuk mengalokasikan sumber daya dan membangkitkan serta menyerap partisipasi publik? Jika Jawabannya ―tidak atau belum cukup/memadai‖, bagaimana upaya dan strategi Bapak untuk meningkatkan kapasitas yang dimaksud? Catatan: Kapasitas birokrasi pemerintah daerah mencakup: (1) Pengembangan SDM; (2) Penguatan organisasi; dan (3) Reformasi kelembagaan Mencermati pengalaman berbagai negara lain dalam membangun kota tangguh, terdapat kecenderungan umum untuk menggunakan perencanaan strategis pembangunan ketahanan kota yang berbasis "gender". Alasannya adalah karena dalam situasi bencana, wanita mempunyai tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada pria. Apakah bpk/Ibu/sdr setuju jika model serupa juga diterapkan di kota Semarang? (Berikan alasan apabila jawabannya setuju atau tidak setuju).
dan sebetulnya bisa mengakses Pusdalops. Masalah utamanya, kapasitas BPBD belum memadai (baik dari segi perencanaan—Kota Semarang belum punya rencana kontingensi kota) dan pengambil keputusan di BPBD terlalu takut mengambil keputusan karena khawatir terjerat penyalahgunaan dana (dana bencana sangat rentan terhadap penyalahgunaan dana). Sepemahaman saya, RAD Bencana yang dulu pernah disusun juga masih sangat perlu asistensi dari Bappeda, karena kualitasnya dipertanyakan. Upaya yang bisa dilakukan antara lain justru bekerjasama dengan KPK, BPK atau lembaga sejenis untuk memperjelas SOP kebencanaan dan melakukan training Role-play atau simulasi, agar saat bencana, BPBD mampu beroperasi efektif dan Walikota, Sekda, dan BPBD berani mengambil keputusan dalam waktu yang genting tanpa menyalahi aturan termasuk berkoordinasi efektif dengan stakeholder lainnya (misal Satpol PP, TNI, dll –jelas pembagian tanggung jawab dan tugasnya pada saat bencana). Akan lebih baik jika Walikota mendorong Kota Semarang untuk mengadopsi Open Street Map agar kebutuhan logistic saat bencana dan kerugian terhadap asset bisa diketahui cepat. Pendataan soal bencana selama ini juga cukup buruk, sehingga perlu dibuat system yang bisa merekam ini secara jangka panjang. Belum. Upaya dan startegi sudah saya jelaskan cukup banyak diatas.
Gender tidak hanya terbatas pada jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), tapi juga kelompok umur dll, seperti anak laki-laki, anak perempuan, orang tua/jompo, kaum difabel. Setuju. Hal ini karena kebutuhan setiap kelompok dalam merespon resiko bencana bisa berbeda. Misal ketersediaan flood shelter; untuk ibu menyusui, mungkin akan perlu ruang tertutup (breast feeding room), untuk orang difabel dan orangtua akan membutuhkan bidang miring dan pegangan/pagar agar memudahkan evakuasi, untuk anak misal harus ada pagar sebagai pengaman jika shelter bertingkat, anak
160
12
13
Jika jawaban no, 4 adalah setuju, bagaimana kebijakan dan strategi pemkot Semarang untuk membangkitkan dan mengorganisasikan partisipasi kaum perempuan dalam upaya membangun ketahanan kota?
Upaya mewujudkan kota tangguh Semarang dapat dicapai dengan menggunakan dua model pendekatan yaitu: (1) model stabilitas atau keseimbangan/ekuilibrium yang dapat dievaluasi setiap lima tahun sekali dengan menggunakan basis data yang terukur; dan (2) model non ekuilibrium yang tepat digunakan untuk kondisi bencana yang membutuhkan respon cepat seperti banjir bandang. (5) Bagaimanakah kebijakan, strategi dan perencanaan pemerintah kota Semarang dalam membangun ketahanan kota yang berkelanjutan? (jangka pendek, menengah dan panjang). (6) Bagaimana strategi mengintegrasikan dua model pendekatan tersebut di dalam suatu perencanaan kota? (7) Siapa saja stakeholder terkait yang bertanggungjawab dalam upaya memba-ngun ketahanan kota yang berkelanjutan? (8) Bagaimanakah strategi melibatkan partisipa-si kalangan bisnis/sektor privat dan masyarakat dalam upaya membangun ketahanan kota?
perempuan/remaja akan membutuhan persediaan pembalut, dsb (ini maksudnya mungkin no 11 ya bu?) Sosialisasi melalui PKK atau Dharma Wanita, Karang Taruna atau sejenis. Sosialisasi public melalui PIP dan website, bekerjasama dengan KPPPA (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), komunitas-komunitas perempuan dll 1. Diukur dengan model 1, tapi dengan evaluasi/pembelajaran/review kemajuan setiap 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Adanya insiden (seperti bencana) harus tetap diukur sebagai catatan proses. 2. Sebaiknya keduanya tetap dilakukan sperti yang sampaikan di poin 1. Model 2 harus tetap dilakukan secara incidental sesuai kejadian agar bisa memvalidasi hal-hal yang sudah terekam di model 1. 3. Seluruh pelaku kota, dengan peran sesuai keahlian dan sumber daya masingmasing. Peran walikota menjadi penting sebagai motivator-role model. 4. Mengartikulasikan kebutuhan/pesan dengan spesifik. Kalangan bisnis biasanya butuh informasi yang jelas tentang apa hal-hal yang dibutuhkan, dan bagaimana sumber daya yang dikontribusikan dari mereka bisa memberikan manfaat bagi operaisonal mereka. Untuk itu Pemkot sebetulnya perlu membuat strategy komunikasi yang jelas, termasuk pendekatan shared value statement untuk menarik minat kalangan bisnis dan manfaat (quick wins) langsung untuk masyarakat.
161
5)
Hari/Tanggal Instansi Peneliti Narasumber
: : ITS : Dr. Lilin Budiati, SH., MM. : Prof. Dr. Ir. Johan Silas
Tema : Model Kepemimpinan Lokal Konsentrasi: ITS Konteks: Kepemimpinan efektif dan kreatif dalam membangun “ketahanan kota� untuk mewujudkan Semarang Resilient City No. Pertanyaan Jawaban 1 Kapasitas lokal merupakan fungsi dasar Setiap kota perlu mengenal kapasitasnya dari penguatan ketahanan kota. Fungsi (kapasitas sosial, ekonomi, budaya, tersebut mengarah pada empat dimensi lingkungan, dll), penataan ruang perkotaan yaitu: (1) mengembangkan/meningkatkan kapasitas Inklusi; (2) Produktivitas; (3).Identitas yang masih kurang dan menjaga kapasitas Lokal; dan (4) Keberlanjutan. Kebijakan yang sudah baik. apa yang dapat dirumuskan dan Strategi yang benar adalah yang sifatnya bagaimana strategi untuk membangun pendampingan karena memberi subsidi sangat kapasitas lokal agar dapat memberikan jarang bisa membangun kapasitas. perlindungan kepada warga kota? Pendampingan masyarakat lebih baik dilakukan oleh orang yang berpengalaman, bukan orang yang pintar karena masalah di lapangan bersifat sangat praktis yang mampu ditangani dengan baik oleh orang yang berpengalaman. 4
Apakah isu ketahanan kota ini sudah menjadi isu dan kepentingan bagi seluruh warga kota khususnya Surabaya? Jika belum, bagaimana strategi untuk mensosialisasikan agar isu ketahanan kota ini dapat dipahami oleh seluruh masyarakat?
Ketahanan kota menjadi syarat mutlak bagi seluruh kota karena ancaman yang beragam dan lebih banyak. Ketahanan kota Surabaya dibangun secara dinamis karena dari waktu ke waktu ancaman yang dihadapi berbeda-beda. Saat ini Surabaya menghadapi ancaman ketahanan pangan, sehingga Pemkot Surabaya menggalakkan ‗urban farming‘ Warga diajak ikut serta- tidak harus mengerti diawal tentang ketahanan pangan/ketahanan kota- namun dengan pendampingan sampai ke level bawah dan pengalaman terlibat dalam program-program kota, warga akan mengerti.
5
Isu sentral dari kapasitas lokal adalah penetaan kelembagaan, kepemimpinan, pemanfaatan pengetahuan dan akuntabilitas. Terkait dengan konteks ketahanan kota, wadah atau lembaga apakah yang tepat untuk mengakomodasikan dan mengintegrasikan keempat isu tersebut dalam struktur birokrasi pemerintahan kota Surabaya?
6
Pelibatan pemangku kepentingan menyangkut aspek inklusiviitas partisipasi masyarakat dalam penataan ruang perkotaan sebagaimana dimaksud Pasal 65 UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menyatakan: ayat (1) ―penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan
Isu sentral dari kapasitas lokal bukan penataan kelembagaan, kepemimpinan, dst, tapi perencanaan kota yang baik. Penataan kelembagaan, kepemimpinan, dst adalah instrumen. Jika perencanaan baik tapi instrumen buruk, masih ada kemungkinan hasilnya baik, namun jika perencanaan buruk, instrumen tidak dapat menghasilkan hal yang baik. Instrument dikembangkan berdasarkan perencanaan yang baik, yaitu yang tidak ruwet sehingga bisa dijalankan dengan kapasitas kota yang ada dan dilakukan dengan konsisten. Di Surabaya, setiap kali Pemkot membuat perencanaan selalu melakukan public hearing yang berjenjang terkait perencanaan yang hendak dilakukan misalnya dalam merencanakan pengembangan jalan di kawasan timur Surabaya (Kenjeran) Pemkot melakukan program Penataan Kawasan Permukiman Bertumpu pada Masyarakat
162
melibatkan peran masyarakat‖, dan ayat (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui: (a) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Terkait dengan dinamika populasi kota Surabaya, bagaimana kebijakan, strategi dan perencanaan kota untuk memobilisasi dan mengakomodasikan partisipasi pemangku kepentingan guna membangun ketahanan kota? Kepemimpinan lokal merupakan salah satu isu penting dari kapasitas lokal. Kepemimpinan lokal menyangkut tiga ranah yaitu : (1) kepemimpinan politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kota Surabaya; (2) kepemimpinan manajerial/profesional yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi; dan kepemimpinan komunitas yang dilaksanakan oleh organisasi non pemerintah/LSM dan civil society. Kepemimpinan lokal seperti apakah yang diharapkan agar dapat membangun ketahanan kota?
secara efektif. Hal ini menyebabkan waktu untuk menyiapkan perencanaan relatif cukup lama.
8
Terdapat indikasi bahwa organisasiorganisasi non pemerintah dan/atau civil society di kota Surabaya mengalami penguatan dan melakukan mobilisasi horisontal maupun vertikal. Bagaimana kebijakan dan strategi untuk mengarahkan mobilisasi sosial ini guna membangun kapasitas lokal dalam rangka mewujudkan ketahanan kota?
9
Sejauh ini, apakah kebijakan terkait isu kebencanaan dan membangun ketahanan kota mendapat dukungan politik dan dukungan anggaran yang memadai? Jika jawabannya ―Ya‖, dari mana dan apa bentuk dukungan tersebut? Jika Jawabannya ―Tidak atau belum‖, apa upaya dan strategi walikota untuk memperoleh dukungan yang dimaksud?
Pemkot ‗menjadi‘ LSM dengan: Mendengar keluhan dan mencari tahu kebutuhan masyarakat Hasil yang didapat dirumuskan menjadi kebijakan Kebijakan di wujudkan Dengan demikian LSM dapat fokus mendampingi masyarakat dalam mendukung kebijakan dan program yang telah disiapkan berdasarkan masukan dari masyarakat dan tidak terjadi konflik yang tidak diperlukan. Kota Surabaya tidak memiliki Badan Penanggulanagan Bencana Daerah karena pada prinsipnya bencana harus ditangani oleh semua dinas. Penanganan bencana oleh dinas-dinas ini telah terkoordinasi dengan baik. Hal ini dirasa lebih efektif daripada membentuk BPBD, contohnya menghadai bencana kebakaran, Dinas Pemadaman Kebakaran memiliki mobil pemadam kebakaran yang disebar/standby di semua Kecamatan/Kelurahan dalam radius tertentu. Dinas Kebersihan dan Pertamanan akan mengirimkan mobil-mobil tangki air bagian penyiraman yang terdekat dengan lokasi kebakaran sehingga mobil pemadam tidak perlu mondar mandir mengisi air, ambulance dari puskermas terdekat akan datang, termasuk dalam koordinasi ini linmas, polisi, satpol pp dll. Dapat dikatakan membangun sistem yang bekerja dengan baik jauh lebih penting dari
7
163
Kepemimpinan lokal yang tangguh seperti rantai, dimana tiga ranah masing-masing seperti mata rantai. Satu mata rantai yang lemah akan mengakibatkan rantai tidak berfungsi dengan baik, oleh sebab itu masingmasing mata rantai harus kuat. Mata rantai yang kuat harus membantu memperkuat mata rantai yang lemah, dan semua mata rantai harus bekerja sama sehinga menjadi rantai yang utuh/berfungsi, terintegrasi dalam satu sistem yang bagus. Di Surabaya sudah terbangun mutual undestanding yang baik antara mata rantai sehingga LSM dan Pemkot tidak saling curiga, tidak saling menyerang tanpa alasan yang mendukung.
10
11
12
13
Menurut pendapat Bapak/Ibu/Sdr., apakah kapasitas birokrasi pemerintah kota Surabaya saat ini sudah mencukupi atau memadai bagi kepentingan membangun ketahanan kota? Jika jawabannya: ―sudah cukup/memadai‖, bagaimana strategi Bapak dalam memanfaatkan kapasitas itu untuk mengalokasikan sumber daya dan membangkitkan serta menyerap partisipasi publik? Jika Jawabannya ―tidak atau belum cukup/memadai‖, bagaimana upaya dan strategi Bapak untuk meningkatkan kapasitas yang dimaksud? Catatan: Kapasitas birokrasi pemerintah daerah mencakup: (1) Pengembangan SDM; (2) Penguatan organisasi; dan (3) Reformasi kelembagaan Mencermati pengalaman berbagai negara lain dalam membangun kota tangguh, terdapat kecenderungan umum untuk menggunakan perencanaan strategis pembangunan ketahanan kota yang berbasis "gender". Alasannya adalah karena dalam situasi bencana, wanita mempunyai tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada pria. Apakah bpk/Ibu/sdr setuju jika model serupa juga diterapkan? (Berikan alasan apabila jawabannya setuju atau tidak setuju). Jika jawaban no, 11 adalah setuju, bagaimana kebijakan dan strategi pemkot untuk membangkitkan dan mengorganisasikan partisipasi kaum perempuan dalam upaya membangun ketahanan kota? Upaya mewujudkan kota tangguh dapat dicapai dengan menggunakan dua model pendekatan yaitu: (1) model stabilitas atau keseimbangan/ekuilibrium yang dapat dievaluasi setiap lima tahun sekali dengan menggunakan basis data yang terukur; dan (2) model non ekuilibrium yang tepat digunakan untuk kondisi bencana yang membutuhkan respon cepat seperti banjir bandang. (1) Bagaimanakah kebijakan, strategi dan perencanaan pemerintah kota Surabaya dalam membangun ketahanan kota yang berkelanjutan? (jangka pendek, menengah dan panjang). (2) Bagaimana strategi mengintegrasikan dua model pendekatan tersebut di dalam suatu perencanaan kota? (3) Siapa saja stakeholder terkait yang bertanggungjawab dalam upaya memba-ngun ketahanan kota yang berkelanjutan?
164
pada membangun institusi. Secara politik, hal ini didukung oleh DPRD yang bekerjasama dengan Pemkot karena masyarakat juga sangat mendukung Pemkot. Kapasitas birokrasi tidak pernah cukup, karena tantangan selalu berkembang dan bersifat dinamis. Oleh sebab itu yang penting adalah membangun tatakerja yang dinamis dengan keahlian yang tidak terikat pada keahlian formal yang kaku, harus lebih melihat pada track record seseorang (kepemimpinan, etika, dll) karena keahlian yang sifatnya keilmuan dapat dipelajari.
Gender seharusnya tidak menjadi isu dalam membangun ketahanan kota. Menjadi sikap Pemkot Surabaya, sesuai UUD 45, di Kota Surabaya tidak ada bias gender, agama, ras, asal-usul dll. Misalnya Kepala Dinas PMK adalah perempuan, dari Ambon dan tidak memiliki pendidikan pemadam kebakaran. Pemilihan petugas dilakukan berdasarkan merit (keinginan, kemampuan, pengalaman) dan dengan kebijakan yang jelas Dinas PMK berhasil menjalankan program dan tidak korup. Sudah terjawab
(1) tertuang dalam RPJM dan RTRW kota Surabaya (2)Tugas pemkot adalah memberi pelayanan pada masyarakat, biasanya ada kendala keterbatasan dana sedangkan banyak yang harus dilakukan, sehingga menyusun prioritas menjadi penting. Pemkot memberi bantuan yang sifatnya stimulan, bantuan pendukung atau memberi kesempatan yang sifatnya bisa diselesaikan dengan baik, cepat dan bisa menjadi contoh bagi yang lain. (3) Semua stakeholder-lihat no 7 (4) Jika pemerintah kota memiliki komitmen yang jelas bekerja untuk masyarakat dan melakukan ‗good governance‘ pelayan masyarakat, maka bisnis/sektor privat akan dengan sendirinya ingin ikut terlibat.
(4) Bagaimanakah strategi melibatkan partisipa-si kalangan bisnis/sektor privat dan masyarakat dalam upaya membangun ketahanan kota?
165
6)
Hari/Tanggal Instansi Peneliti Narasumber
: 7 April 2016 : ITS : Dr. Lilin Budiati, SH., MM. : Prof. Happy Santosa
Tema : Model Kepemimpinan Lokal Konsentrasi: ITS Konteks: Kepemimpinan efektif dan kreatif dalam membangun “ketahanan kota� untuk mewujudkan Semarang Resilient City No. Pertanyaan Jawaban 1 Kapasitas lokal merupakan fungsi dasar dari Yang terpenting adalah strategi untuk penguatan ketahanan kota. Fungsi tersebut keberlanjutan sebagai kota yang tangguh mengarah pada empat dimensi penataan ruang perkotaan yaitu: (1) Inklusi; (2) Produktivitas; (3).Identitas Lokal; dan (4) Keberlanjutan. Kebijakan apa yang dapat dirumuskan dan bagaimana strategi untuk membangun kapasitas lokal agar dapat memberikan perlindungan kepada warga kota? 4 Apakah isu ketahanan kota ini sudah Sudah, karena sering dikomunikasikan di menjadi isu dan kepentingan bagi seluruh radio, TV, dan website Kota Surabaya warga kota khususnya Surabaya? Jika belum, bagaimana strategi untuk mensosialisasikan agar isu ketahanan kota ini dapat dipahami oleh seluruh masyarakat? 5 Isu sentral dari kapasitas lokal adalah Bapemkot dengan bantuan dinas-dinas penetaan kelembagaan, kepemimpinan, terkait pemanfaatan pengetahuan dan akuntabilitas. Terkait dengan konteks ketahanan kota, wadah atau lembaga apakah yang tepat untuk mengakomodasikan dan mengintegrasikan keempat isu tersebut dalam struktur birokrasi pemerintahan kota Surabaya? 6 Pelibatan pemangku kepentingan Biasanya lewat FGD, forum-forum dengan menyangkut aspek inklusiviitas partisipasi para stakeholder, musrenbang, perguruan masyarakat dalam penataan ruang tinggi dan media elektronik perkotaan sebagaimana dimaksud Pasal 65 UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menyatakan: ayat (1) ―penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat‖, dan ayat (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui: (a) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Terkait dengan dinamika populasi kota Surabaya, bagaimana kebijakan, strategi dan perencanaan kota untuk memobilisasi dan mengakomodasikan partisipasi pemangku kepentingan guna membangun ketahanan kota? 7 Kepemimpinan lokal merupakan salah satu Kepemimpinan dari seluruh stakeholder isu penting dari kapasitas lokal. yang dapat terintegrasi dengan baik Kepemimpinan lokal menyangkut tiga ranah yaitu : (1) kepemimpinan politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kota
166
8
9
10
11
12
Surabaya; (2) kepemimpinan manajerial/profesional yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi; dan kepemimpinan komunitas yang dilaksanakan oleh organisasi non pemerintah/LSM dan civil society. Kepemimpinan lokal seperti apakah yang diharapkan agar dapat membangun ketahanan kota? Terdapat indikasi bahwa organisasiorganisasi non pemerintah dan/atau civil society di kota Surabaya mengalami penguatan dan melakukan mobilisasi horisontal maupun vertikal. Bagaimana kebijakan dan strategi untuk mengarahkan mobilisasi sosial ini guna membangun kapasitas lokal dalam rangka mewujudkan ketahanan kota? Sejauh ini, apakah kebijakan terkait isu kebencanaan dan membangun ketahanan kota mendapat dukungan politik dan dukungan anggaran yang memadai? Jika jawabannya ―Ya‖, dari mana dan apa bentuk dukungan tersebut? Jika Jawabannya ―Tidak atau belum‖, apa upaya dan strategi walikota untuk memperoleh dukungan yang dimaksud? Menurut pendapat Bapak/Ibu/Sdr., apakah kapasitas birokrasi pemerintah kota Surabaya saat ini sudah mencukupi atau memadai bagi kepentingan membangun ketahanan kota? Jika jawabannya: ―sudah cukup/memadai‖, bagaimana strategi Bapak dalam memanfaatkan kapasitas itu untuk mengalokasikan sumber daya dan membangkitkan serta menyerap partisipasi publik? Jika Jawabannya ―tidak atau belum cukup/memadai‖, bagaimana upaya dan strategi Bapak untuk meningkatkan kapasitas yang dimaksud? Catatan: Kapasitas birokrasi pemerintah daerah mencakup: (1) Pengembangan SDM; (2) Penguatan organisasi; dan (3) Reformasi kelembagaan Mencermati pengalaman berbagai negara lain dalam membangun kota tangguh, terdapat kecenderungan umum untuk menggunakan perencanaan strategis pembangunan ketahanan kota yang berbasis "gender". Alasannya adalah karena dalam situasi bencana, wanita mempunyai tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada pria. Apakah bpk/Ibu/sdr setuju jika model serupa juga diterapkan? (Berikan alasan apabila jawabannya setuju atau tidak setuju). Jika jawaban no, 4 adalah setuju, bagaimana kebijakan dan strategi pemkot untuk membangkitkan dan mengorganisasikan partisipasi kaum perempuan dalam upaya membangun ketahanan kota?
167
Semua NGO yang mau berpartisipasi diterima dan diajak bekerjasama
Untuk kebencanaan ada dukungan dari Puslit Kebencanaan ITS dan dari pemkot sendiri
Cukup memadai, partisipasi publik bisa digalang dengan ajakan dari Pemkot. Pengembangan SDM sangat bagus
Setuju. Karena para wanita sangat mengetahui apa yang terjadi dalam rumah dan lingkungannya
Lewat UKM-UKM yang dikerjakan oleh ibu ibu. UKM ini adalah sebagai upaya pemberdayaan wanita dan itu bagus sekali. Disini banyak sekali UKM wanita seperti batik mangrove, aksesoris, kue. Pemkot pun memfasilitasi dengan pelatihan-pelatihan dan juga mengadakan pameran. Dan tanpa disangka, ekspor terbesar Kota Surabaya ini terbesar adalah dari aksesoris-aksesoris dari UKM-UKM tersebut.
13
Upaya mewujudkan kota tangguh dapat dicapai dengan menggunakan dua model pendekatan yaitu: (1) model stabilitas atau keseimbangan/ekuilibrium yang dapat dievaluasi setiap lima tahun sekali dengan menggunakan basis data yang terukur; dan (2) model non ekuilibrium yang tepat digunakan untuk kondisi bencana yang membutuhkan respon cepat seperti banjir bandang. (1) Bagaimanakah kebijakan, strategi dan perencanaan pemerintah kota Surabaya dalam membangun ketahanan kota yang berkelanjutan? (jangka pendek, menengah dan panjang). (2) Bagaimana strategi mengintegrasikan dua model pendekatan tersebut di dalam suatu perencanaan kota? (3) Siapa saja stakeholder terkait yang bertanggungjawab dalam upaya memba-ngun ketahanan kota yang berkelanjutan? (4) Bagaimanakah strategi melibatkan partisipa-si kalangan bisnis/sektor privat dan masyarakat dalam upaya membangun ketahanan kota?
1. 2. 3.
4.
Ada jangka pendek, menengah, dan panjang Biasanya ada evaluasi berkala Pemkot, masyarakat, perguruan tinggi, badan-badan lain, industri, dsb Menggalakkan CSR, CRS ini selain untuk kerjasama tetapi juga untuk mengenalkan kota ke luar negri.
TAMBAHAN 1. Q : Apa yang menyebabkan pembangunan Kota Surabaya berhasil sekarang ini? A: ada banyak faktor kenapa pembangunan di Kota surabaya ini berhasil, selain karena kepemimpinan Bu Risma sendiri. Segala sesuatu terkait kebijakan selalu dikomunikasikan oleh berbagai pihak, baik itu dinas dan masyarakat. Jadi masyarakat ikut diundang dalam Musrenbang dan itu selalu hadir. Jadi, kebutuhan mereka apa disalurkan di kegiatan tersebut. Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi seperti ITS dalam pembangunan Kota Surabaya ini juga membawa pengaruh baik. Contohnya seperti pengolahan air limbah. Pemkot menggandeng Teknik Lingkungan ITS untuk pembuatan alatnya. Sekarang pun lulusan ITS banyak dihire Pemkot Surabaya untuk bekerja di dinas-dinas. Keterlibatan perguruan tinggi didorong untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi pembangunan kota. Lalu, masyarakat kota Surabaya ini tipikalnya mau diajak maju, dan mau berperan serta. Sehingga banyak sekali kemajuan di kampung-kampung Surabaya seperti Wonorejo yang wisata mangrove, Kampung Maspati, dan Jogo Tirto.
168
LAMPIRAN F: CATATAN UNTUK PROPOSAL KARYA ILMIAH MODEL PENGEMBANGAN KAPASITAS LOKAL UNTUK MEWUJUDKAN SEMARANG RESILIENT CITY DI KOTA SEMARANG Disusun oleh Dr. Lilin Budiati, SH, MM Disampaikan oleh Jawoto Sih Setyono Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Umum Topik ketahanan kota (urban/city resilience) menjadi salah satu tema penting dalam ranah akademis perkotaan dan perencanaan kota dalam dasawarsa terakhir. Diskusi dan debat secara konseptual terus berlangsung sampai dengan saat ini dan telah melahirkan beberapa alur pemikiran (stream) tentang konsep ketahanan itu. Alur pemikiran itu secara umum dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama berpandangan ketahanan adalah sisi lain dari kerentanan (vulnerability), sementara kerentanan itu sendiri sangat spesifik, tergantung dari apa yang menjadikan sesuatu itu rentan. Sebagai contoh, kerentanan manusia terhadap penyakit berbeda dengan kerentanan manusia terhadap bencana alam atau krisis ekonomi. Dengan demikian, kerentanan selalu terkait dengan kondisi tertentu. Karena kerentanan dipersepsi seperti itu, maka ketahanan pun juga dipersepsi sama. Dalam pandangan tersebut, konsep ketahanan selalu besifat khusus, dihubungkan dengan kondisi tertentu, seperti ketahanan terhadap perubahan iklim, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial, dan sebagainya. Pandangan kedua mengatakan bahwa ketahanan adalah sebuah kemampuan sebuah sistem dalam mengatasi permasalahan yang bersifat mendadak atau menerus. Konsep ketahanan ini lebih melihat kepada kemampuan sistem atau entitas itu sendiri, tanpa melihat apa yang menjadi pemicu ketahanan. Ketahanan dilihat sebagai sesuatu yang melekat (inherent) dari sebuah sistem. Berbeda dengan pendapat pertama yang lebih khusus dan parsial, konsep kedua ini bisa dikatakan bersifat komprehensif. Studi mengenai ketahanan kota bisa juga dilihat dalam dua perspektif tersebut. Ketahanan kota bisa saja dilihat dalam persepektif khusus seperti perubahan iklim, bencana, ekonomi, dan sosial atau dilihat dalam sudut pandang menyeluruh. Ini seperti yang pernah dilakukan oleh Kota Semarang. Kota Semarang pernah menyusun sebuah strategi ketahanan kota dalam menghadapi perubahan iklim pada 2010 dan sekarang sedang menyusun strategi ketahanan kota yang lebih komprehensif, yang mempertimbangkan berbagai aspek yang berpotensi menjadi ―pengganggu‖ perkembangan kota di masa mendatang. Karya ilmiah yang disusun oleh Dr Lilin Budiati sepertinya didasarkan pada pemahaman ketahanan secara komprehensif tersebut. Dengan mengambil tema membangun kapasitas untuk mendukung Kota Semarang yang berketahanan, karya ilmiah ini akan memberikan kontribusi penting, khususnya dalam mendukung upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan di Kota Semarang untuk menuju kota yang berketahanan. Khusus Tema yang diangkat dalam karya ilmiah cukup menarik dan penting karena kajian yang mengkaitkan antara konsep ketahanan dengan kapasitas masih jarang dilakukan, khususnya di Indonesia, walaupun salah satu elemen penting – bahkan mungkin paling penting – konsep ketahanan kota adalah kapasitas. Sebagaimana
169
21
dikemukakan oleh Rodin (2014: 3) bahwa ketahanan (resilience) adalah ―the capacity of any entity – an individual, a community, an organization, or a natural system – to prepare for disruptions, to recover from shocks and stresses, and to adapt and grow from disruptive experience.‖Dari konsep tersebutterlihat dengan jelas bahwa ketahanan pada dasarnya adalah kapasitas pada berbagai tingkatan dan skala. Dengan pemikiran tersebut, karya ilmiah Dr Lilin Budiati ini setidaknya akan mengarah kepada munculnya pengetahuan baru yang bermanfaat tidak saja bagi para penentu kebijakan, melainkan juga bagi para pemangku pembangunan lainnya, termasuk kalangan akademisi. Untuk lebih memantapkan karya ilmiah ini, ada beberapa catatan perbaikan yang bisa dilakukan agar karya ilmiah ini lebih solid secara akademis dan lebih aplikatif dalam upaya memberikan sumbangan bagi pengembangan kebijakan di Kota Semarang. Catatan khusus ini akan terdiri dari 3 bagian besar. Yang bertama berkaitan dengan rasional yang mendasari karya ilmiah. Catatan kedua berhubungan dengan kerangka teoritik yang menjadi fondasi bagi tulisan ilmiah ini. Bagian terakhir berhubungan dengan konstruksi metodologis karya ilmiah yang akan disusun. Rasional/latar belakang Di dalam latar belakang, proposal ini telah mengemukakan beberapa perspektif yang cukup beragam. Penyampaian berbagai perspektif sebagai latar belakang ini bagus, tetapi belum mencerminkan apa yang sebenarnya mendasari kajian ini. Untuk itu beberapa saran perbaikan ini bisa dipertimbangkan, yakni: 1. Perlu penjelasan mengenai upaya-upaya yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang khususnya untuk mengarahkan kota ini menuju kota tangguh. Sejak awal akhir 1990an dan awal 2000an Semarang telah menjadi ―laboratorium‖ upaya-upaya ini (misalnya kerjasama dengan Pemerintah Jepang, Program SSUDP, Program ACCCRN, dan terakhir Program 100RC). 2. Perlu ada pernyaataan yang lebih jelas namun didasari pada fakta atau hasil kajian bahwa pada aspek kapasitas lokal ini masih terjadi problematika di Kota Semarang. Beberapa kajian awal Program 100RC bisa ditambahkan sebagai referensi. 3. Perlu juga dipertimbangkan fokus kajian kapasitas. Proposal menyebutkan ada 3 hal yang menjadi fokus penelitian, yaitu pengembangan SDM, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Ketiga fokus ini memang akan menghasilkan kajian yang komprehensif, tetapi juga mengandung risiko kurangnya kedalaman dalam pembahasan. Akan lebih baik jika karya ilmiah ini bisa mengambil satu isu terpenting yang menghubungkan ketiga fokus tersebut, misalnya isu tentang kepemimpinan lokal. Kerangka teoritik Bagian kerangka teoritik pada proposal telah secara sangat baik menyampaikan pokok-pokok pemikiran yang berhubungan dengan pengembangan kapasitas, yang merujuk kepada beberapa sumber kunci yang lazim dipergunakan dalam kajian kapasitas. Namun demikian, karena tema yang diangkat adalah kapasitas dalam hubungannya dengan ketahanan kota, perlu ada penguatan kerangka teoritik yang sudah ada tersebut. Penguatan tersebut bisa dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut: 1. Mengkaitkan konsep kapasitas dan pengembangan kapasitas (capacity development atau capacity building) dengan konsep ketahanan kota. Ini bisa dilakukan dengan melihat elemen-elemen penting yang menjadi dasar dalam 21
Judith Rodin (2014) The Resilience Dividend: Being Strong in a World Where Things Go Wrong. New York: Public Affairs.
170
konsep ketahanan kota. Rujukan yang bisa dipakai di antaranya adalah Tyler and 22 23 24 Moench (2012) , Ouyang (2012) , dan Rodin (2014) . 2. Persilangan antara elemen kapasitas dengan elemen ketahanan tersebut akan menghasilkan sebuah matriks yang setiap sel di dalamnya bisa dikembangkan sebagai kerangka teoritik baru yang akan menjadi dasar bagi penentuan variabel penelitian. Kerangka metodologi Proposal ini menyebutkan penggunaan metode studi kasus sebagai desain utama penelitian. Metode ini memang manawarkan fleksibilitas baik dalam tahapan penentuan obyek, penetapan unit analisis, serta penarikan kesimpulan dari kasus. Namun demikian, dalam hal penyusunan karya ilmiah yang akan dilakukan oleh Dr. Lilin Budiati ini, ada kekhawatiran terhadap efektivitas pelaksanaan metode ini. Mengingat keterbatasan waktu untuk melakukan kajian, maka sebaiknya usulan konstruksi penelitiannya bisa lebih disederhanakan tanpa mengurangi kesolidan kualitas hasil yang diharapkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara: 1. Membatasi sumber data kajian hanya pada dua hal, yaitu informan kunci dan telaah dokumen. 2. Penelitian ini bisa menggunakan hasil-hasil kajian sebelumnya yang pernah dilakukan di antaranya hasil telaah Kelompok Kerja Program 100RC yang tertuang dalam dokumentasi Program pada Fase II. 3. Penggunaan kajian sebelumnya tersebut setidaknya akan mengurangi waktu yang dialokasikan untuk melakukan FGD dan survei yang kurang urgensinya dalam penyusunan karya ilmiah ini. 4. Untuk merangkum konstruksi metodologi ke dalam bentuk yang lebih sederhana, proposal ini bisa mengadopsi apa yang pernah dikembangkan oleh Choguill 25 (2005) , yang cukup baik diaplikasikan untuk penelitian kebijakan dan penelitian evaluatif.
22
Stephen Tyler & Marcus Moench (2012) A framework for urban climate resilience, Climate andDevelopment, 4 (4), 311-326. 23 Min Ouyang, Leonardo Dueùas-Osorio, Xing Min (2012) A three-stage resilience analysis framework for urban infrastructure systems, Structural Safety, 36 (37), 23–31. 24 Judith Rodin (2014) The Resilience Dividend: Being Strong in a World Where Things Go Wrong. New York: Public Affairs. 25 Charles L. Choguill (2005) The research design matrix: A tool for developmentplanning research studies, Habitat International, 29, 615–626.
171
Komentar Umum atas proposal Disampaikan oleh Prof Bakti Setiawan ―Model Pengembangan Kapasitas Lokal Untuk Mewujudkan Semarang Resilient City Di Kota Semarang‖ Diajukan oleh Dr. Lilin Budiati SH., MM.
1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
Secara umum tema riset menarik dan sangat penting atau relevan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada; Secara khusus tema riset mempunyai peluang untuk mengisi atau memperkaya khasanah teoritik/akademik tentang disaster management, resilient city, dan kapasitas lokal. Yang perlu mendapat ketagasan adalah Tujuan Utama riset, sebagaimana tercermin dalam Judul Proposal, khususnya kata kunci ‗Model‘ – kata kunci Model menjadi penting karena mempunyai makna dan implikasi yang penting baik dari sisi teori dan metodologi risetnya. Apabila yang dimaksudkan adalah riset ini untuk membangun model, maka perlu ketegasan bagaimana model itu akandibangun, apabila model eksisting sudah ada, maka perlu pula ketegasan apakah riset ini berupaya untuk ‗menyempurnakan‘ model yang sudah ada? Dalam pamahaman yang umum, makna Model adalah ‗pola‘ atau ‗pattern‘ yang merupakan abstraksi dari realitas yang kompleks. Model berarti pola umum yang bisa dipakai di berbagai kasus. Model dapat dibedakan atas: 1) model diskriptif, menjelaskan fenomena yang ada saat ini; dan 2) model preskriptif, model yang memberikan resep/solusi atau arah tindakan tertentu ke masa depan/perbaikan. Proposal ini sepertinya bermaksud untuk menyusun atau membangun model pengembangan kapasitas local untuk resiliency. Kalau memang demikian riset ini termasuk dalam model preskriptif yang berusaha mengusulkan satu Pola Pengembangan kapasitas local untuk resiliency, berbasis apa yang ada di Kota Semarang – kalau memang demikian maksudnya, harus lebih eksplisit tertuang dalam proposal ini. Apabila tujuanya memang membangun satu Model, maka implikasinya adalah pada Metodenya. Membangun satu model, biasanya membutuhkan tahapan-tahapan tertentu, mulai dari model awal, diskusi, penyempurnaan, kesepakatan, dan bahkan kalau dimunkinkan ujicoba. Dalam konteks ini, diperlukan satu seriloka-karya dengan pemangku kepentingan, sapai model yang diusulkan diterima oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait. Proses Lokakarya ini belum eksplisit muncul dalam proposal ini. Isu lain terkait dengan kapasitas local dankepemimpinan – kalau focus riset ini pada kepemimpinan, persoalan mendsarnya adalah apakah kepemimpinan/leadership bisa dilatihkan? Isu ini memang terus mengemuka, apapun riset ini harus mempunyai basis teori yang kuat bahwa kepemimpinan memanglah suatu yang bisa dilatihkan atau dibentuk. Ini kunci dalam riset ini. Kalau landasan teori pembentukan kepemimpinan tidak kuat, maka preposisi riset ini juga tidak kuat.
Sementara itu dulu komentar umum proposal ini.
172
Komentar Umum atas proposal Disampaikan oleh
Dr.-Ing. Wiwandari Handayani, ST, MT, MPS 1.
2.
3.
Kajian yang sangat menarik dan penuh tantangan, terutama untuk orang2 dengan latar belakang teknik yang lebih banyak memahami fenomena2 yang tangible dan cenderung lebih terukur. Dalam konteks 100RC, ketahanan kota sebenarnya tidak hanya dibatasi pada ketahanan kota terkait aspek ekologi, namun ketahanan dalam menghadapi guncangan dan tekanan yang dihadapi dari berbagai aspek. Mungkin perlu diklarifikasi saja, bahwa dalam kajian ini, fokus ketahanan walaupun inspiring dr keterlibatan kota semarang di 100RC , namun fokusnya lebih kepada ketahanan kota terkait fenomena ekologi. Karena di bagian latar belakang, sudah di arahkan pada konteks ekologi. Mungkin, perlu penjelasan yg lebih dalam untuk mencapai tujuan yang kedua, i.e. Mengetahui dan menganalisis model pengembangan kapasitas lokal‌. Di bab 3 tidak banyak disinggung bagaiamana milestone yg akan dilalui sampai pada akhir kajian dapat tersusun model pengembangan kapasitas lokal.
173
RIWAYAT HIDUP Dr.
Lilin
Surakarta,
10
Budiati, Februari
S.H.,M.M. 1961.
Lahir
di
Menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar Negeri II Glenmore, Banyuwangi, Glenmore,
tahun
1972;
Banyuwangi,
SMP
1975;
Don SMA
Bosco Negeri
Genteng, Banyuwangi, 1979; Fakultas Hukum Universitas
Negeri
Jember,
1985;
Magister
Management Universitas Diponegoro Semarang, 2000; dan Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2006. Saat ini menjadi Widyaiswara Ahli Madya Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Tengah, sejak 2009. Sebelumnya, menjabat sebagai Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan BAPPEDA Kota Semarang. Pengalaman mengajar, ditetapkan dengan Keputusan Rektor Universitas Diponegoro sebagai Dosen Luar Biasa di Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota (2010); Magister Ilmu Politik FISIP (2013); Magister Ilmu Lingkungan (2014). Disamping itu menjadi fasilitator penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis di PPLH Universitas Sebelas Maret. Sebagai Widyaiswara, materi ajar yang menjadi „passion‟ adalah Integritas, Diagnostic Reading, Berpikir Kreatif dan Inovatif, Membangun Tim Efektif dan Kolaborasi dan Networking. Penulis aktif mengikuti berbagai diklat, kursus, seminar dan lokakarya, baik regional, nasional maupun internasional, terutama bidang perencanaan, manajemen
dan
pembicara/narasumber.
lingkungan, Kursus
baik
yang
sebagai
pernah
diikuti,
peserta
maupun
seperti:
Partisipasi
Masyarakat & Pembangunan Berkelanjutan diselengarakan KITA – JAPAN di Kitakyushu Japan; Penilaian Strategi Lingkungan diselenggarakan World Bank, di Los Banos Filipina; Manajemen Lingkungan industri dan perkotaan, diselenggarakan EDI, World Bank, dan FASID, di Penang, Malaysia dan Kitakyushu Japan.; The Opacity Training Programme yang diselenggarakan Zenon Laboratories, Burnaby, British Colombia, di Vancouver, Canada. Tahun 2015 mengikuti The World Town Planning Day 2015 ‗Making Cities Resilient‟ 3rd November 2015, Jw Marriott KualaLumpur, Malaysia.
174