MAJALAH EDISI 37 LPM DIMENSI IAIN TULUNGAGUNG (TOLERANSI SETENGAH-SETENGAH)

Page 1


Diterbitkan Oleh: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMëNSI IAIN Tulungagung Pelindung Rektor IAIN Tulungagung (Dr. H. Maftukhin, M.Ag) Penasehat Wakil Rektor III (Dr. H. Nur Effendi, M.Ag) Pimpinan Umum Arif Riza Azizi Sekretaris Umum M. Audi Yuni Mabruri Bendahara Umum Jazilatur Rohmah Pemimpin Redaksi M. Khoirul Fata Dewan Redaksi Imam Basri Ilham Mustova Design Grafis dan Layouter Jordan Eza Bertyan Fotografer Thoyib Sulaiman Reporter Dian Kurnia, Eni Fatatik, Rizal Lukman, Mansur Muin, Audi Mabruri Vima Naila, Rizka Hidayatul, Naharin Anharul Mahfud, Nur Azizah, Salis Mustafa

Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung Kode pos 66221 e-mail: lpmdimensita@gmail.com

“Salam Pembaca” Di tengah hiruk-pikuk banalitas kampus, kami hadir memberi warna. Mencibir rutinitas banalnya adalah ekspresi kegelisahan kami. Berulangulang kami menghadapi situasi ruwet kampus yang tiada habis. Hingga diujung kegelisahan, kami bisa meratapinya dengan sebuah karya. Rutinitas banal tidak serta merta langsung teratasi oleh lembaga kami. Seringnya ucapan sibuk menjadi pembenar keberadaan malas. Hak tersebut sesungguhnya rutinitas banal di antara diri kami. Kami harus membayarnya dengan kemoloran penerbitan majalah. Pada edisi majalah kali ini, kami mengambil tema “Toleransi Setengahsetengah”. Sebagai lembaga yang bermukim di kawasan mayoritas, kami menyadari berucap “toleransi” lebih mudah daripada mempraktekkannya. kami berusaha memberi gambaran atas toleransi yang terus digemborgemborkan di ruang sempit kuliah, di khotbah jum`at hingga pengajian umum. Seruan menjadi manusia toleran tak henti-hentinya mengisi kepala kami. Hingga kami menyadari bahwa toleransi hanya mungkin bila syarat-syaratnya terpenuhi.


Salam Redaksi Syarat sah toleransi ialah penegakan HAM. Sementara Indonesia baru meratifikaasi kovenan pokok ICCPR (International Covenant on Civil and Political Right) di 2005. Sejak saat itu baru Indonesia menjadi negara pihak atas ditegakkannya HAM. Kovenan yang telah membawa angin segar bagi kelompok-kelompok minoritas. Kelompok minoritas kerap dipahami sebagai golongan yang rentan mendapat perlakuan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama, etnis, gender dan orientasi seks. Perlakuan-perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh Negara maupun aktor nonnegara memperlihatkan bahwa toleransi tidak berjalan mulus. Dalam konteks negara misalnya, perlakuan negara terhadap kelompok agama kepercayaan atau penghayat begitu diskriminatif. Undang-undang no. 1/PNPS/1965 menunjukan pengingkaran Negara terhadap pemenuhan hak-hak dalam meyakini suatu kepercayaan tertentu. Undang-undang tersebut telah mendikotomi antara agama dan kepercayaan. Konsekuensinya ialah pengisian kolom agama yang mengharuskan mereka untuk memilih diantara agama resmi. Pemaksaan dalam pengisian agama tersebut merugikan pihak agama tidak resmi. Mereka harus menggadaikan kepercayaan karena aturan negara. Memilih untuk mengosongkan kolom agama sangat berpotensi mendapat stigma dari masyarakat. Belum lagi akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan menambah daftar panjang kerugian yang harus ditanggung. Dalam pelbagai kasus, undang-undang tersebut memberi ruang bagi siapa saja untuk menjustifikasi kepercayaan tertentu dalam kategori sesat maupun dalam penistaan agama. Tak heran, ujaran kebencian yang berdalih penyesatan dan penistaan agama sering dilaporkan ke aparatur negara. Tindak intoleran bermunculan dimana-mana dan dalam pelbagai bentuk, misalnya, pengusiran, pembakaran tempat ibadah dan pelarangan mendirikan tempat ibadah dll. Masalah demikian menjadi kegelisahan bersama di lembaga kami. Kami mencoba meliha bagaimana toleransi yang termanifestasi pada pemenuhan hak-hak minoritas. Selanjutnya bila konten majalah edisi xvii kurang memadai, kami meminta maaf seikhlas-iklhasnya kepada pembaca sekalian. Dan akhir kata selamat bersafari di majalah kami. Salam Persma....!!!!! Pemimpin Redaksi


DAFTAR ISI 4

| DIMeNSI 37 | Desember 2016

Rapor Merah Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan Payung Hukum Penghayat Kepercayaan

4

Menjamurnya Nalar Intoleransi

11

Jam Lebih Dosen Tidak Dibayar

16

Toleransi Setengah-setengah

18

Kuasa Perempuan di Zaman Kolonial

20

Wong Cilik Melawan Reklamasi

23

Realitas Pincang Media dalam Produksi Berita

25

Intoleransi Beragama

29

Komik -Malam Mencekam

33

Kentrong; Ketika Tuntunan Terseok Tontonan

35

Anomali Pendidikan dalam Paradigma Positivistik

40

Cover oleh Jordan Eza Bertian

8


Dimensi Utama Rapor Merah Pemenuhan Hak Pengahayat Kepercayaan di Tulungagung

Rapor Merah

Pemenuhan Hak Pengahayat Kepercayaan di Tulungagung Menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut penghayat kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 28E ayat 2 UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dan hukum administrasi. Putusan mahkamah konstitusi.

M

asyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang religius. Mengakui dan mempercayai adanya penguasa kehidupan, yaitu Tuhan Yang MahaEsa. Masyarakat Indonesia mengaktualiasi kepercayaannya melalui ritus spiritual yang beragam. Salah satunya adalah penganut penghayat kepercayaan. Aliran kepercayaan yang ada di masyarakat Indonesia merupakan sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari khasanah kekayaan spiritual. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung, kelelompok penghayat kepercayaan di Tulungagung berjumlah 23 kelompok. Data tersebut mengonfirmasi bahwa masyarakat Tulungagung mempunyai kepercayaan yang beragam. Namun keberagaman tersebut tidak dibarengi dengan sikap toleransi, akibatnya, negara dan aktor non negara kerap melakukan tindakan diskriminasi kepada kelompok penghayat kepercayaan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kebebasan untuk memilih agama/kepercayaan adalah hak asasi manusia (HAM) yang sudah

diakui secara nasional dan internasional. Norma HAM adalah standar tertinggi untuk mendapatkan kebebasan dan kesetaraan. Kebebasan Beragama/berkeyakinan “Setiap orang bebas memeluk agama dan menurut agamanya...,� pasal 28E ayat (1), “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya,� pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Hak kebebasan beragama/berkeyakinan secara tegas dijamin baik dalam ketentuan nasional maupun ketentuan internasional. Seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (DUHAM), UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No 29 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial, UU No 11 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan UU No 12 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan hak-hak sipil dan politik. Keseluruhan ketentuan tersebut menjamin secara tegas hak kebebasan beragama/berkeyakinan yang harus dipenuhi, dilindungi dan diakui oleh negara.

5

| DIMeNSI 37 | Desember 2016


Hak kebebasan beragama/ berkeyakinan secara tegas dijamin baik dalam ketentuan nasional maupun ketentuan internasional. Seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (DUHAM), UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No 29 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial, UU No 11 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan UU No 12 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan hak-hak sipil dan politik.

6

Kebebasan beragama/ berkeyakinan mengungkapkan bahwa hak-hak kemerdekaan beragama dibagi menjadi dua wilayah, yakni forum internum dan forum eksternum. Forum internum adalah kebebasan internal yang berisi kebebasan hati nurani untuk meyakini, menganut dan berpindah agama dan keyakinan serta hak untuk mempertahankan menganut atau berpindah dari suatu agama atau keyakinan. Hak-hak ini telah diakui secara internasional maupun nasional sebagai salah satu elemen HAM yang tidak dapat dikurangi atau ditangguhkan (non derogable rights), bahkan dalam keadaan perang atau keadaan darurat umum. Negara wajib untuk tidak mengintervensi atau memaksa (coersion). Sebagaimana diatur dalam pasal 281 (ayat 1), pasal 4 (ayat 2) Kovenan sipil dan politik dan pasal 18 ayat 1 Undang-undang No 12 tahun 2005. Forum eksternum adalah kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau di wilayah pribadi untuk memanifestasikan agama dan keyakinan dalam bentuk pengajaran, pengamalan ibadah dan penaatannya. Bahasan mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan memang mengenal pembatasan hak. Pembatasan hak atas kebebasan beragama hanya ditujukan untuk kebebasan beragama yang sifatnya memanifestasi (forum eksternum) sesuai dengan UU No. 12 tahun 2005. Misalnya diatur dalam pasal 18 ayat 3 “kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban,

| DIMeNSI 37 | Desember 2016

kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain�. Logika pembatasan hak kebebasan beragama/berkeyakinan ini hanya berlaku sesuai dengan pasal tersebut. Sementara hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan yang berkaitan mutlak dengan keyakinan tidak dapat dibatasi dengan alasan apapun. Logika pembatasan ini, seringkali disalah pahami oleh negara seperti munculnya peraturan yang bersifat diskriminatif dan politik pembedaan. “Para ahli HAM bersepakat bahwa pembatasan melalui ketentuan hukum harus diterjemahkan sebagai pembatasan yang diambil oleh suatu negara melalui mekanismme legislasi� Policy Paper, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Tulungagung, hal 4. Aktor Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peanggaran hak asasi manusia menurut undang-undang HAM adalah setiap perbuatan seseorang (individu) atau kempok termasuk aparatur negara yang secara hukum dapat mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut hak asasi manusia dan tidak memperoleh penyelesaian hukum adil dan benar sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjelaskan ada tiga kategori pelaku pelangaran hak asasi manusia, negara (state), kelompok (group of person), individu person). Tindakan pelanggaran hak asasi manusia selanjutnya dibagi menjadi dua kategori. Menurut UU HAM tindakan pelanggaran hak asasi manusia meliputi tindakan yang disengaja (commission) dan tindakan tidak disengaja (by ommision). Dalam norma hak asasi manusia negara atau pemerintah adalah subyek utama yang bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan hak asasi manusia. Peraturan ICCPR yang sudah dirativikasi Indonesia menjelaskan kewajiban pertama negara adalah menghormati (to respect), dalam pengertian ini negara tidak boleh ikut campur tangan terhadap


setiap orang yang menikmati kebebasan beragama/berkeyakinan. kewajiban negara yang kedua adalah melindungi (to protect) ancaman dari pihak ke tiga. Perlindungan ini dapat dilakukan dengan hukum dan proses keadilan hukum. Masih mengalami diskriminasi Kelompok penghayat kepercayaan masih mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik dari aktor negara maupun non negara. Tingginya angka pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia merupakan fenomena yang merata di hampir semua wilayah Indonesia, tidak terkecuali Tulungagung. Laporan lembaga-lembaga nasional menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur terindikasi sebagai provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi ke tiga setelah jawa barat dan jawa tengah. Masayrakat tulungagung masih menganggap hanya ada enam agama di Indonesia. Islam, Kristen, Budha, Katolik, Konghucu dan Hindu. Seperti yang dikatakan seorang mahasiswa IAIN Tulungagung yang tidak berkenan disebutkan namanya: “Mereka itu, dukun, tidak memiliki agama”. Politik pembedaan terkait definisi “agama” dan “kepercayaan” yang diatur dalam UU No. 1 PNPS/1965 yang diperkuat dengan TAP MPR No. IV/ MPR/1978 menjadi akar dari perlakuan diskriminatif dan ekslusi sosial kepada kelompok penghayat/ kepercayaan. Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia wilayah Tulungagung, Sukriston, mengatakan, penghayat kepercayaan di Tulungagung masih mengalami diskriminasi, katanya saat ditemui crew Dimënsi di rumahnya. Bentuk diskriminasi yang dialami oleh kelompok penghayat kepercayaan sangat beragam. Yuskunahari (43), seorang warga peganut kepercayaan saptodarmo mengaku pernah mendapatkan

perlakuan diskriminasi ketika mengurusi kartu tanda penduduk (KTP) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil kabupaten Tulungagung. “Emang wonten kendala pas kulo ngosongaken kolom agama, wargo-wargo ngetutne, teng ngajeng puniko dipun sanjangi kalau agama itu ndak boleh dikosongkan, harus diisi dengan agama yang mirip. (memang ada kendala ketika saya mengosongkan kolom agama, warga-warga mengikuti, di tempat (dinas kependudukan dan pencatatan sipil kabupaten Tulungagung) diberikan pemberitahuan bahwa agama itu tidak boleh dikosongkan! Harus diisi dengan agama yang mirip; red)”, ujarnya. Pengosongan kolom agama yang diatur dalam UU No 23 tahun 2006 dan diperkuat dengan peraturan bersama menteri dalam negeri dan menteri kebudayaan dan pariwisata No. 43 dan 41 tahun 2009 bertujuan untuk memenuhi hak bagi kelompok penghayat kepercayaan untuk mengosongkan kolom agama di dalam kartu tanda penduduk (KTP). Namun, munculnya peraturan pengosongan kolom agama tersebut menjadi babak baru praktik diskriminasi dan ekslusi sosial terhadap kelompok penghayat kepercayaan.

Emang w o n t e n kendala pas kulo ngosongaken kolom agama, wargo-wargo ngetutne, teng ngajeng puniko dipun sanjangi kalau agama itu ndak boleh dikosongkan, harus diisi dengan agama yang mirip. Pengosongan kolom agama yang diatur dalam UU No 23 tahun 2006 dan diperkuat dengan peraturan bersama menteri dalam negeri dan menteri kebudayaan dan pariwisata No. 43 dan 41 tahun 2009 bertujuan untuk memenuhi hak bagi kelompok penghayat kepercayaan untuk mengosongkan kolom agama di dalam kartu tanda penduduk ( K T P ) .

“Harus ditarik kebelakang lagi, sebenarnya UU itu untuk memperlancar atau mau menjerat. Ini juga juga harus menjadi analitik yang tajam bagi kita semua. Sebaiknya kolom agama dalam KTP itu hilang” kata Sukriston ketua MLKI dan penganut kepercayaan Tulungagung. Sementara pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kabupaten Tulunggagung belum bisa memberikan keterangan terkait persoalan pengosongan kolom agama di KTP. Ini terbukti dari beberapakali crew Dimënsi berusaha bertemu dengan dinas terkait namun tidak ada respon yang memadai.

7

| DIMeNSI 37 | Desember 2016


Pemerintah kabupaten Tulungagung sebenarnya sudah melakukan upaya pemenuhan hak bagi kelompok penghayat dan kepercayaan melalui sosialisasi tentang peraturan pengosongan kolom agama. Namun, beberapa tindak diskriminasi yang terjadi menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten Tulungagung gagal dalam memenuhi hak penghayat kepercayaan. Focus Group Discusion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Hak Asasi Manusia dan Islam (PusdikHAMI) IAIN Tulungagung pada tanggal 26 September 2014 berhasil menggali informasiinformasi penting terkait pelanggaran hak sipil dan politik terhadap kelompok penghayat/kepercayaan di Tulungagung. Salah satunya diskriminasi pengosongan kolom agama. “beberapa individu mengaku tetap dipaksa berafiliasi dengan enam agama resmi yang diakui oleh negara” hal 11, Policy Papaers, Kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Tulungagung. Dalam wacana HAM, dikenal yang namanya prinsip indivisible (saling terkait) dan interdependent (saling bergantung). “Bila mayoritas kelompok penghayat sulit mendapatkan KTP karena menuntut pengosongan kolom agama, hal ini bisa berdampak pada rangkaian pelanggaran hak lain di ranah sosial, ekonomi, dan budaya” hal, 12, Policy Papers, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Tulungagung. Hal ini seperti diskriminasi yang dialami oleh Yuskunahari ketika melakukan registrasi di rumah sakit (RS) Baptis Kediri. “Riyen niko nate mas, pas ngurusi

ibuk teng rumah sakit baptis Kediri kaleh resepsionis ditangkleti, bapak agamanya di KTP kok kosong? Ini tak isi dengan agama yang ada saja ya, pak!” (ketika mengurus ibu di rumah sakit Baptis Kediri, resepsionis bertanya, bapak agamanya di KTP kosong? Ini saya isi dengan agama yang sudah ada saja ya, pak; red). Selain diskriminasi dalam wilayah pelayanan publik, diskriminasi terhadap penganut penghayat kepercayaan juga terjadi di wilayah pemenuhan hak pernikahan. Seperti yang dikonfirmasi oleh Sukriston “Ada kejadian seorang yang orang tuanya yakin kolom agama akan dikosongkan malah putranya yang mau jadi manten ndak mau dan orang tua akan menyerah jadi agamanya islam, ini kejadian di Rejoagung, padahal orang tuanya sebagai modennya penghayat” katanya ketika crew Dimënsi di rumahnya. Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh kelompok penghayat kepercayaan di Tulungagung telah mencederai hak asasi manusia. Indonesia adalah negara yang sudah mengakui norma hak asasi manusia sebagai standar moral tertinggi untuk mencapai keadilan dan kebebasan. Sudah saatnya negara tegas menyikapi segala bentuk praktik diskriminasi yang dialami kelompok penghayat kepercayaan. Salah satunya dengan melakukan proses hukum bagi pelaku sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Satu kali negara dan masyarakat melakukan pembiaran terhadap praktik diskriminasi maka selamanya, diskriminasi dan sikap intoleran akan dan terus terjadi di bumi gayatri. [] /Muta/Santoy/

AYOK IKUT AGENDA MINGGUAN DIMeNSI TERBUKA BAGI SIAPAPUN YANG INGIN GABUNG ADA DISENSOR (DISKUSI SENIN SORE) JAM 15.00 WIB ADA DISKASOR (DSKUSI KAMIS SORE ) JAM 15.00 WIB ADA YASINAN BUKU TIAP MALAM JUMAT JAM 19.00 WIB

MARI BERDISKUSI, MARI MENTRADISIKAN LITERASI 8

| DIMeNSI 37 | Desember 2016


Dimensi Utama

Payung Hukum Pendidikan Penghayat Kepercayaan

D

alam undang-undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat 1. Dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pun sebagai masyarakat yang mandiri dan sadar akan pendidikan, terdapat hak-hak yang seharusnya didapat oleh semua kalangan. Baik itu dari Suku, Agama, Ras, Adat dan budaya manapun. Mereka mempunyai hak yang sama atas pendidikan, terlebih pada pemenuhan pendidikan agama. Namun, ternyata dalam praktiknya terdapat ketimpangan yang membuat pemenuhan tersebut tidak dilakukan. Adapun diantaranya belum didapatkannya hak atas pendidikan agama di kalangan warga penghayat kepercayaan. Tulungagung sebagai kabupaten dengan kepadatan penduduk yang bisa dibilang heterogen. Terdapat pelbagai macam aliran kepercayaan, salah satunya adalah Penghayat Kepercayaan. Dalam perbincangan yang dilakukan Crew DIMёNSi dengan salah satu narasumber, “kaum pengayat yang ada di Tulungagung itu terbesar di Jawa Timur” kata Sukriston, pengahayat kepercayan Sabto Darma serta sebagai Ketua Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Meskipun pengahayat menyandang status mayoritas dengan perbandingan terhadap agama Hindu dan Budha. Nyatanya, semisal kesejahteraan dalam hal mendapatkan pendidikan masih sangat kurang. Pula pemberian sikap membedakan juga sangat kental dirasa, hal ini didasari karena tidak samanya paham individu satu dengan individu lain. Ambil contoh, pemberian pemenuhan pendidikan

bagi agama islam dengan agama Kristen. Padahal itu masih dalam satu lingkup agama yang di sahkan oleh Negara. Bagaimana jika itu bersinggungan dengan agama yang oleh Negara masih belum disahkan?, Pasti tindakan diskriminasi terhadap mereka (penghayat kepercayan ;red) sering dialami. Implikasi nyata dirasa oleh kaum pengahayat kepercayaan, mulai dari pengesahan agama resmi bagi mereka. Dialanjut dengan persoalan terkait masalah pendidikan. Pendidikan penghayat saat ini, dirasa masih belum bisa dikatakan layak. Karena masih belum terealisasinya pendidikan khusus bagi penghayat, sedang kaum penghayat kepercayaan sendiri tidak sedikit jumlahnya. Dari data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tercatat 16.675 masyarakat penghayat kepercayaan dari 16 aliran penghayat kepercayaan. Sedangkan masih ada 7 aliran penghayat kepercayaan yang masih belum tercatat dengan pasti di bumi Gayatri atau Tulungagung ini. Disisilain dalam Undang-Undang tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat 1 butir a menerangkan bahwa peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Polemik itu hadir bersamaan dengan kebimbangan anakanak penghayat kepercayaan. Term ‘agama’ yang tertulis dalam pasal tersebut membuat masyarakat menginterpretasikan bahwa, keyakinan yang berada diluar term agama itu bukanlah agama. Kesadaran semacam itu ternyata secara sistemik sudah mengakar pada

9

| DIMeNSI 37 | Desember 2016


anak-anak dan bahkan pemudapemuda. Selain itu minimnya guru penghayat yang dapat memberikan pendidikan penghayat karena masih belum adanya kurikulum terkait hal tersebut. Implementasi peraturan tersebut saat ini ternyata dijadikan tunggangan tersendiri bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan. Terlebih lagi bagi orang orang yang intoleran, hal ini bisa menjadi pecut bagi pihak intoleran. Sebagai contoh, karena penghayat kepercayaan tidak dibawah kementerian agama, maka tidak diatur tentang pendidikan agama bagi mereka. Pun demikian dengan kementerian pendidikan yang menyerahkan kurikulum pendidikan agama ke kementerian agama. Secara struktural, penghayat kepercayaan berada di bawah kementrian pariwisata dan kebudayaan, dimana masalah pendidikan formal tidak dibahas di institusi tersebut. Hal serupa ditegaskan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tulungagung, segala sesuatu yang berkenaan penghayat seyogyanya masuk dalam urusan administratif mereka. Akan tetapi, Suprayitno selaku Kepala Bidang Budaya (kabid) menjelaskan; “Kita itu hanya sebatas mendata dan memfasilitasi kegiatan para penghayat itu dalam hal menguri-nguri dan untuk menjembatani kepentingan mereka dengan pemerintah”. Lantas, pertanyaanya siapa yang bertanggungjawab terkait permasalahan pendidikan bagi penghayat kepercayaan?. Sementara dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YangMahaEsa. Mempunyai kuasa dalam membentuk pendidikan agama bagi peserta didik dari kaum pnghayat. Diharapkan secara otomatis, pendidikan bagi

10 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

penghayat seharusnya sudah bisa didapat kaum penghayat sejak diterbitkanya permen tersebut, namun ternyata Negara masih belum bertindak. Sehingga, dapat dikatan Negara selama ini absen dan memperkuat penjabaran di atas, Negara menjadi aktor pelanggaran hak asasi manusia. Implikasi Pengisian Kolom Agama Eksistensi penghayat kepercayaan saat ini kiranya semakin tumbuh kepermukaan. Pasalnya, dahulu mereka enggan untuk disebut sebagai penghayat karena trauma dengan tragedy 65. Penghayat Kepercayaan pada rezim orde baru dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai Tuhan. Seiring berjalannya waktu, kini mereka (penghayat kepercayaan;red) sudah memberanikan diri untuk muncul dengan identitas mereka sebagai penghayat. Adapun permasalah terkait diskriminasi dalam lingkup pendidikan yang ada salah satunya lembaga pendidikan yang salah dalam mendefinisikan agama, “Ada anak SMA, waktu itu kolom agama di kosongkan. karena dari pihak sekolah, kepala sekolah tidak mengerti apa itu MLKI apa itu Penghayat. Akhirnya dia diserang disitu sampai anak itu tidak dinaikan kelas. Dari hasil kordinasi itu, sekarang sudah ada terapan di jawa tengah untuk putra putri penghayat akan disiapkan tenaga tenaga pengajar dari penghyat. Nanti kordinasi dengan disbud dan MLKI. Itu sudah diterapkan di Jawa Tengah, kalau di Tulungagung mungkin masih dalam rintisan”, ungkap Agus(40) salah satu penghayat dari Kapribaden. Sebenarnya regulasi terkait kolom agama, sudah diatur sejak UU 23/2006 berlaku, namun polemik kolom agama seakan tak hilang. Pernah ada wacana penghilangan kolom agama

karena dinilai mendiskriminasi kepercayaan/aliran lain yang belum diakui negara. Hal senada juga di utarakan Sukriston “Sebaiknya kolom agama di KTP semuanya hilang, jadi itu tidak ada diskriminasi, semua kosong”. Senada dengan sukriston, Agus (40) memaparkan :“Kalau di tempat saya sudah diserahkan kepada individu masing masing. Kalau terkait urusan KTP itu berhubungannya terkait pekerjaan administrasi, kalau orang orang kerjanya dilingkup dinas kan ndak mungkin, nanti urusannya malah ruwet semua”. Dari situ dapat dilihat pula bagaimana Implikasi dari dicantum atau tidaknya kolom agama. Serta, yang seharusnya dapat bekerja dijajaran dinas, mendapat hambatan dengan sulitnya tata administrasi instansi pemerintah. Disisilain setelah tulisan ini diterbitkan crew dimensi belum mendapat jawaban dari Dinas kependudukan dan pencatatan sipil Lebih lanjut di jelaskan oleh Sukriston, “sekarang yang namanaya kesiapan guru untuk penghayat itu belum ada, cuma barusan SK KEMENDIKBUD No. 27 itu kan 2016 ini . Nah, setelah di sosialisasikan di Semarang kemarin bulan Oktober/akhir September itu nanti arahnya ada penyuluh penghayat. Itu nanti prinsipnya TOT (Training of Trainer) yang bisa untuk mendidik calon-calon gurunya.” Sukriston juga menambahkan tentang strategi yang dijalankan dalam pendidikan penghayat “Penghayat di sini bukan hanya terbatas pada pendidikan di sekolah, tapi juga di luar sekolah, termasuk bagaimana mengkomunikasikan penghayat itu kepada dunia luar”. Dari pernyataan tadi bisa ditelaah, bahwa saat ini tenaga pegajar bagi guru penghayat masih belum ada. Dan dengan adanya TOT diharap akan terciptabya tenaga guru pengajar


penghayat. Afiliasi dengan Dinas terkait Pendapat lain datang dari Dinas Pendidikan dan kebudayaan, dengan dalih belum adanya pendidikan khusus bagi penghayat, Andriani selaku Kepala Seksi (kasi) bidang penghayat “Kalau agama yang diakui pemrintah itu tetep seperti yang dulu. Jadi gini mas, orang pengahayat itu, belum tentu pengahayat murni berkejawen, ada yang agama islam, nasrani, budha, jadi mereka itu punya keyakinana awalanya”. Hal itulah yang menyebabkan pembuatan kurikulum bagi pendidikan penghayat kepercayaan tidak diadakan selama ini. Sempat disinggung pula mengenai biaya pengembangan bagi penghayat kepercyaan. Selama ini, setelah penghayat sudah memberanikan diri dalam menunjukkan eksistensinya. Alokasi pendanaan terkait pengembangan diri bagi penghayat kepercayaan untuk pendidikan masih belum ada. Saat ini, alokasi dana digunukan untuk menguri-nguri budaya. Hal itu termaktub dalam Peraturan Bersama Menteri dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. 41 dan 43 Tahun 2009. Berisi Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Lebih jelasnya, masyarakat penghayat kepercayaan berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini kepercayaannya. Dinas Pendidikan dan Budaya, Catatan Sipil (CAPIL) serta Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (KESBANGLIMAS) saat ini bersamasama mensengkuyung para penghayat kepercayaan. Jika muncul permasalah semisal sulit melangsungkan pernikahan, ditolaknya

"

"

Selama ini, setelah penghayat sudah memberanikan diri dalam menunjukkan eksistensinya. Alokasi pendanaan terkait pengembangan diri bagi penghayat kepercayaan untuk pendidikan masih belum ada.

"

"

Undang-undang selayaknya sebuah payung yang akan mlindungi dari teriknya mentari dan hujan. Seyogyanya undang-undang yang sudah diedarkan diterapkan secara maksimal. Selamanya akan ada perlakuan diskrimnitif bagi mereka (penghayat)

penghayat ketika hendak dimakamkan, serta mendapat tindak diskrimininatif dari guru akibat pengkosongan kolom agama. Bakesbangpol menjadi tempat aduan bagi para penghayat. Dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan hanya berwenang memberikan surat pengantar bagi penghayat kepercayaan yang belum mempunyai SKT untuk diajukan ke Jakarta. MLKI Menggandeng Dinas Upaya dilakukan MLKI - mereka meminta Pemerintah Daerah (PemDa) serius dalam membackup terkait keberadaan Penghayat Kepercayaan di Tulungagung, dengan cara menguatkan proses hukum yang ada. Misalnya sosialisasi Undangundang No. 23, Peraturan Pemerintah No. 27 serta laporan kementrian pada Surat Keputusan Pemerintah Daerah (SKPD), camat, lurah, RT, RW dan Plintes masyarakat, termasuk Perguruan Tinggi. “Sosialisasi sampai sekarang ini belum dilaksanakan. Dan itupun dilaksanakan, kita diberi tempat untuk membicarakan ini pada rektor-rektor, kan ndak ada artinya” keluh Sukriston. Sukriston juga berharap adanya sosialisasi semacam itu diadakan ditingkat Kabupaten. “Misalnya ada forum konverensi yang didalamnya dihadiri oleh Camat, Sekertaris Daerah (SEKDA), kemudian Undangundang disampaikan.

Bukannya di sampaikan kepada orang orang yang sudah mengerti atau paham terkait hukum. Misalnya lagi, Bupati membuat surat edaran kepada Camat, berisi terkait pemenuhan hak bagi penghayat kepercayaan.” Seperti tahun 2015 kemarin, sempat ada rapat kerja yang dilakukan MLKI dengan mendatangkan beragam narasumber seperti Akhol Firdaus dari akademisi, Pemerintah Kabupaten (PEMKAB), Catatan Sipil, Pemerintah Daerah dan juga dari Provinsi. Sukriston sebagai perwakilan dari MLKI menggelontorkan apa yang sebenarnya diinginkan, setiap event ada namanya semacam Lokal Karya. Kalau pada tingkat desa itu terdapat problem solving. Jadi penghayat, lurah, dan segala macam bicara dalam satu forum dan saling mengeluarkan apa yang sebenarnya menjadi keluhan. “Itu merupakan konsep yang sebenarnya diinginkan oleh pihak MLKI”, imbuh sukriston. Undang-undang selayaknya sebuah payung yang akan mlindungi dari teriknya mentari dan hujan. Seyogyanya undang-undang yang sudah diedarkan diterapkan secara maksimal. Selamanya akan ada perlakuan diskrimnitif bagi mereka (penghayat) ketika tak ada yang mau melindungi dan adil. [] /Audi/

11 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Liputan Khusus Menjalarnya Nalar Intoleran Mahasiswa IAIN

T

oleransi sangat didengung-dengungkan oleh berbagai kalangan, bukan hanya dari kacamata agama saja melainkan berbagai suku, ras dan budaya ikut serta menyuarakan toleransi. Toleransi sendiri memiliki arti menghargai, memberikan kenyamanan dan menghormati pendapat orang lain, tanpa maksud mengintimidasi pendapatnya.

dok.dim

"

Toleransi sendiri memiliki arti menghargai, memberikan kenyamanan dan menghormati pendapat orang lain, tanpa maksud mengintimidasi pendapatnya.

"

12 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

Namun, di sisi lain toleransi kurang dipahami oleh masyarakat. Seperti adanya perusakan rumah ibadah, diskriminasi oleh kelompok-kelompok yang berbeda dari masyarakat mayoritas dan tidak memberikan kenyamanan untuk melaksanakan peribadatan bagi agama minoritas. tindakan seperti itu harus dapat direfleksikan ulang oleh berbagai kalangan masyarakat tak terkecuali oleh mahasiswa IAIN Tulungagung sebagai salah satu institusi pendidikan tertinggi dengan mahasiswa sebanyak kurang lebih sepuluh ribu akan memberikan kontribusi besar terhadap negara yang beragam dan plural ini. Mahasiswa sebanyak itu memungkinkan terkena nalar intoleransi yang sekarang sudah menjalar dari berbagai macam masyarakat. Intoleransi di Indonesia cukup tinggi seperti yang dijelaskan oleh ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat di kompas. com (10/09/16). Menurut Imdadun kebebasan beragama harus di junjung tinggi oleh warga negara Indonesia. Selain itu, Imdadun mengingatkan kepada warga Indonesia sendiri terkait pentingnya Hak Asasi Manusia (HAM) agar dapat diterapkan


di kehidupan sehari-hari guna membangun toleransi. Ada beberapa fakta lain yang menunjukan intoleransi di beberapa sekolah seperti yang di lansir oleh Wahid Institut (23/03/15) ketika melakukan penelitiannya sepanjang bulan Juli-Desember tahun 2014. Data tersebut membuat beberapa fakta masih berkencendrungan intolernsi. Adanya fakta tersebut, Intoleransi beragama sudah merambah dari berbagai kalangan masyarakat, membuat kami tergugah untuk melakukan survei toleransi beragama di kampus IAIN Tulungagung, survei ini dilakukan secara random sampling melibatkan 133 responden dari semua fakultas yang ada di IAIN Tulungagung, Pelaksanaan survei dilakukan pada November 2016. Hasil data survei Saat seseorang terkena masalah pribadi belum tentu setiap orang dapat mepublikasi permasalahannya tersebut. Hal semacam ini mempunyai batasan yang jelas setiap manusia bahwa ada hal-hal yang bersifat privat. Maka dari itu kami ingin mengetahui seberapa privatkah agama bagi mahasiswa. Dari hasil survei tersebut, 62 responden menjawab iya, 59 responden menyatakan tidak, 7 responden mengaku ragu-ragu dan 5 responden memilih tidak menjawab dalam lembar pertanyaan. Dari hasil yang diperoleh dapat di tarik kesimpulan bawasannya agama merupakan sesuatu hal privat yang ada di kampus. NO. 1.

Pertanyaan Apakah agama yang anda anut merupakan ruang privat?

Iya 47%

Tidak 44%

Raguragu 5%

Kosong 4%

Selanjutnya pembahasan ini mengenai anggapan agama yang mulia sebagai anutan setiap mahasiswa di kampus terdapat dua pertanyaan; pertama agama islam paling mulia, kedua agama lain tak semulia agama islam. Survei mebuktikan untuk pertanyaan pertama 126 berpendapat iya, 3 mengaku tidak dan 4 responden telah mengisi kolom ragu-ragu. Pemaparan hasil survei tersebut dapat disimpulkan masih banyak yang beranggapan agama yang dianutnya itu paling mulia. Untuk pertanyaan kedua hasil penelitian menunjukan sebanyak 53 responden menjawab iya, 52 responden menyatakan tidak dan 28 responden ragu-ragu. NO. 2. 3.

Pertanyaan Apakah agama islam itu agama paling mulia? Apakah agama yang lain tidak semulia islam?

95%

2%

Raguragu 3%

40%

39%

21%

Iya

Tidak

Kosong

Setelah itu kami memberikan pertanyaan terkait penistaan agama. Penistaan bersumber dari sebuah komunikasi entah melewati verbal, gambar dan perilaku seorang individu ke individu lain atau malah ke kelompok lain, contoh terhadap agama lain atau ke aliran lainnya. adanya penistaan ini membuat pendapat mereka tak lagi dihargai. terkait dengan ini kami membuat tiga pertanyaan; pertama menjelaskan adakah penistaan agama, Hasil survei di lapangan, kami mendapati 59 responden mencentang iya, 35 responden memilih tidak, 34 responden menjawab ragu-ragu dan yang tidak memilih sebanyak 5 orang. Pertanyaan kedua apakah agama islam pernah dinistakan, survei menyatakan 92 responden memberi jawaban iya, 14 responden telah memilih tidak, ragu-ragu sebanyak 24 responden dan mengosongi kolom pertanyaan 3 responden. Pertanyaan ketiga yaitu apakah islam membenarkan kekerasan atas nama penistaan atau sejenisnya, terdapat 17 responden berkata iya, 98 responden menyatakan tidak, 16 responden ragu-ragu dan mengosongi jawaban 2 responden. Tiga pertanyaan ini dapat menyimpulkan banyak mahasiswa yang beranggapan ada penistaan agama dan islam pernah dinistakan. Tapi di pertanyaan terakhir banyak yang tidak sependapat membenarkan kakerasan atas agama, meskipun masih ada yang menyutujui hal itu.

13 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


NO. 4. 5. 6.

Pertanyaan Apakah ada penistaan atas nama agama? Apakah agama Islam pernah dinistakan? Apakah Islam membenarkan kekerasan atas nama penistaan atau yang sejenisnya?

Iya 44% 69% 13%

Tidak 26% 11% 74%

Raguragu 25% 18% 12%

Kosong 4% 2% 1%

Survei beranjak pada perihal pernikahan beda agama. Banyaknya pemahaman tentang pernikahan beda agama di kalangan akademisi, membuat kami memetakan pertanyaan untuk hal ini menjadi dua; pertama, menanyakan sah atau tidaknya pernikahan beda agama. Dari 133 responden, sebanyak 14 responden memberi jawaban iya, 106 responden mencentang tidak, 12 responden memilih ragu-ragu dan 1 responden tidak menjawab. Kedua, menanyakan kenyamanan responden ketika melihat ada pasangan beda agama. 14 responden telah mengisi iya, 101 responden menyatakan tidak nyaman, 17 responden mencentang ragu-ragu dan 1 responden telah mengosongi pertanyaan. Begitulah jawaban dari para responden yang lebih banyak tidak nyaman dengan adanya nikah beda agama. NO. 7. 8.

Pertanyaan Apakah Pernikahan beda agama sah? Apakah anda nyaman melihat pernikahan pasangan beda agama?

Iya 10% 10%

Tidak 80% 76%

Raguragu 9% 13%

Kosong 1% 1%

Lalu beranjak mengenai Fatwa MUI. Karena, MUI sering kali menjadi ujung tombak dan paling di dengar oleh kaum muslim, mengakibatkan praksis baru yang mudah dipercayai oleh kalangan muslim. Fatwa MUI bukan hanya merambah ke masalah halal dan haram, melainkan tentang penyesatan agamasering kali di fatwakan oleh MUI. Oleh sebab itu kami membuat pertanyaan tentang adanya pelabelan sesat pada agama atau aliran tertentu. Survei membuktikan 42 responden memberi tanda iya, 42 responden mencontreng tidak, 47 responden masih ragu-ragu dan 2 responden tidak memberi jawaban.Adanya hasil itu dapat di tarik kesimpulan bawasannya mahasiswa masih banyak yang ragu-ragu kepada pelabelan sesat kepada agama atau aliran tertentu. NO.

Pertanyaan

Iya

Tidak

Raguragu

Kosong

9.

Setujukah anda ada agama atau aliran dilabeli sesat?

32%

32%

35%

1%

Setelah mengetahui pelabelan yang di anggap sesat terhadap agama atau aliran tertentu, perlu kiranya kami menanyakan setujukah sesuatu agama atau aliran tersebut di hukum pidana. Berdasarkan hasil survei 49 responden mengaku iya, 44 responden memberi tanda tidak, 32 responden menyatakan ragu-ragu dan mengosongi jawaban terdapat 8 responden. Dari hasil perolehan ini dapat di simpulkan banyak responden menyutujui adanya hukuman pidana terhadap aliran atau agama yang dianggap sesat. NO. 10.

Pertanyaan Setujukah anda ada penganut yang dihukum pidana?

Iya 37%

Tidak 33%

Raguragu 24%

Kosong 6%

Setelah mengetahui survei terkait pelabelan sesat kepada agama atau aliran tertentu serta survei adanya hukuman oleh aliran atau agama yang dianggap sesat. Perlu juga mengetahui pendapat adanya penyegelan rumah peribadatan yang dianggap sesat. Hasil dari survei, 78 responden menyatakan iya, 27 responden memberi tanda tidak, 25 responden masih ragu-ragu dan 3 responden tidak menyatakan apapun. Dari hasil tersebut masih banyak responden yang menyatakan iya adanya perusakan rumah ibadah. Di sini dapat disimpulkan pemahaman mengenai perusakan rumah ibadah masih banyak yang menyetujuinya. Dengan adanya temuan tersebut setidaknya menjadi acuan dasar untuk memberikan pemahaman kepada

14 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


mahasiswa ke arah toleransi antar agama. NO. 11.

Pertanyaan Saya sepakat dengan penyegelan rumah peribadatan yang dianggap sesat.

Iya 59%

Tidak 20%

Raguragu 19%

Kosong 2%

Sesudah mengetahu survey tentang perusakan rumah ibadah, selanjutnya kami beranjak ke pemahaman mengenai kepala daerah yang di pimpin oleh beda agama. Pemimpin di negara Indonesia tak harus melulu sama agama, sebab negara ini berkonstitusi secara demokratis. Selain itu di Indonesia sendiri menerapkan toleransi antar umat beragama serta gotong royong. Maka dari itu,apakah agama atau keyakinan beda agama menjadi pertimbangan memilih kepala daerah. Pertanyaan seperti ini kami berikan kepada responden dengan hasil, 77 responden memilih iya, 40 mencontreng tidak, ragu-ragu sebanyak 10 responden dan yang memilih abstain terdapat 6 responden. Jadi dapat dikatakan masih banyak mahasiswa yang menjadikan agama atau aliran menjadi pertimbangan kepala daerah. Survei sebelumnya mempertimbangkan seorang beda agama atau aliran menjadi pemimpin daerah tertentu. Beranjak ke pertanyaan berikutnya masih dalam konteks pemimpin kepala daerah beda agama, namun dengan pertanyaan berbeda yaitu setujukah mahasiswa jika ada daerah yang dikepalai oleh beda agama. Survei membuktikan 26 responden berkata iya, 72 lebih condong ke tidak, ragu-ragu sebanyak 33 responden dan 2 responden telah mengabaikan pertanyaan. Survei membuktikan banyaknya mahasiswa tidak memilih daerah yang di pimpin oleh beda agama. Membuat demokrasi kepada agama lain tak mendapatkan hak untuk memimpin suatu kawasan. NO. 12. 13.

Pertanyaan Apakah agama/keyakinan menjadi pertimbangan anda memilih kepala daerah? Setujukah ada daerah yang dipimpin oleh orang beda agama?

58%

30%

Raguragu 7%

20%

54%

25%

Iya

Tidak

Kosong 5% 1%

Seorang teman maupun keluarga bebas akan memilih agama tertentu seperti yang sudah dijelaskan pada UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Di sini kami tergerak untuk mengetahui juga seberapa biasakah mahasiswa di sini menyikapi keluarga maupun teman meyakini agama atau keyakinan yang dianggap sesat. Setelah penghitungan hasil yang di dapat, 32 responden memilih iya, untuk yang menyatakan tidak lebih banyak yaitu 64 responden sedangkan yang ragu-ragu 33 responden dan yang tidak mau memilih 4 responden. Banyaknya responden memilih tidak, membuat semakin tercepitnya pemahaman toleransi beragama di kampus ini. semoga dengan adanya data ini dapat merefleksikan penerapan-penerapan yang lebih aplikatif untuk memberikan pemahaman toleransi. NO. 14.

Pertanyaan

Iya

Saya merasa biasa ketika ada keluarga/teman 24% meyakini kepercayaan yang dianggap sesat

Tidak 48%

Raguragu 25%

Kosong 3%

Menjenguk teman sakit menjadikan sebuah kekerabatan menjadi lebih harmonis apalagi kita hidup dinegara yang plural ini. Maka dari itu, kami memberikan pertanyaan terkait menjenguk teman sakit walaupun beda agama. Hasil survey membuktikan Sebanyak 120 responden mengaku mau menjenguk teman beda agama sakit, 9 responden tidak mau menjenguk teman beda agama, yang memberikan jawaban ragu-ragu terdapat 3 responden dan 1 responden mengosonginya. Survei ini mendapati kesimpulan bahwa kemauan mahasiswa menjenguk teman walaupun beda agama masih banyak. NO. 15.

Pertanyaan Apakah anda akan menjenguk temanmu meskipun beda agama?

Iya 90%

Tidak 7%

Raguragu 2%

Kosong 1%

15 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Memakai atribut/pakaian/ barang beda agama menunjukan adanya toleransi beragama karena dapat menghormati keberadaan mereka hidup di negara ini. maka dari itu kami juga menyediakan kolom pertanyaan terkait hal tersbut. Dengan hasil hasil survei menunjukan 20 responden mengaku nyaman memakai barang/ pakaian/barang beda agama, 80 menyatakan tidak nyaman, dengan jawaban ragu-ragu 29 responden dan 4 mengosongi jawaban. Di lihat hasil survei tersebut, mayoritas mahasiswa masih tidak nyaman dengan pakaian/barang/atribut beda agama. Di susul oleh jawaban ragu-ragu dan menjawab nyaman masih minoritas di sini. Melihat hasil itu, bisa di ambil kesimpulan bahwa banyak mahasiswa yang tidak nyaman ketika memakai barang/pakaian/atribut beda agama. Ini perlu perhatian bersama untuk meningkatkan konsep toleransi yang lebih tinggi. NO. 16.

Pertanyaan Nyamankan anda ketika memakai barang/ atribut/pakaian beda agama?

Iya 15%

Tidak 60%

Raguragu 22%

Kosong 3%

Setelah melihat survei tentang pakaian/atribut/barang, beranjak ke makanan (soto, sate dan bakso) yang disediakan oleh beda agama menunjukan hasil survei sebagai berikut, 18 responden berpendapat nyaman ketika memakan makanan dari beda agama, 72 responden tidak nyaman, untuk yang ragu-ragu 39 responden dan yang melewati sebanyak 4 responden. NO. 17.

Pertanyaan Nyamankah anda jika anda memakan makanan yang disediakan oleh non muslim?

Iya 14%

Tidak 54%

Raguragu 29%

Kosong 3%

Mengucapkan hari raya beda agama sering kali menjadi perdebatan oleh banyak kalangan. Dalam sistem akademik yang paham mengenai toleransi antar umat ini menjadikan sebuah dilema, disebabkan itu kami mencoba menyuguhkan pertanyaan terkait setuju mengucapkan hari raya beda agama. setelah melihat hasil lapangan survei membuktikan tidak setuju dengan 60 responden, untuk yang menyatakan setuju menempati urutan kedua dengan 48 responden, selanjutnya ragu-ragu 22 responden dan 3 yang mengosongi kolom jawaban. Di sini mahasiswa banyak yang tidak setuju terhadap ucapan selamat hari raya beda agama. Di sisi lain, kenyamanan mengucapkan selamat pada hari raya agama lain juga diperhitungkan. Di lapangan membuktikan sebanyak 61 responden tidak nyaman, menempati posisi selanjutnya menyatakan nyaman dengan perolehan 45 responden, ragu-ragu menempati nomer ketiga sebanyak 25 responden dan mengabaikan jawaban 2 responden. NO. 18. 19.

Pertanyaan Setujukah anda mengucapkan selamat hari raya beda agama? Apakah anda nyaman mengucapkan selamat untuk beda agama?

36%

45%

Raguragu 17%

34%

46%

19%

Iya

Tidak

Kosong 2% 1%

Dapat di tarik kesimpulan ada beberapa pertanyaan yang membuktikan adanya kecenderungan nalar intoleransi di lingkup mahasiswa IAIN Tulungagung seperti menytujui adanya pelabelan sesat terhadap agama lain, sepakatnya dengan adanya penyegelan rumah ibadah, tidak setujunya daerah yang dipimpin oleh beda agama, tidak merasa biasa ketika ada keluarga/teman meyakini kepercayaan yang dilabeli sesat dan ketidak nyamanan ketika memakai barang/atribut/pakaian beda agama. Demikian hasil survei yang kami lakukan tentang toleransi di kampus IAIN Tulungagung. [] /Salis/ dkk/

16 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Teras Jam Lebih Dosen Tidak Dibayar

Persemaian kampus IAIN Tulungagung menjadi kampus besar terus berkembang dan telah bisa dirasakan saat ini. Jumlah mahasiswapun kian hari kian bertambah. Saat ini IAIN Tulungagung memiliki jumlah mahasiswa sebanyak 10.700 yang tersebar ke dalam jurusan-jurusan di empat fakultas yang dimiliki IAIN Tulungagung. Banyaknya jumlah mahasiswa berbanding lurus dengan jumlah dosen yang turut bertambah. Jumlah dosen yang dimiliki saat ini sebanyak 365, yang mana terbagi menjadi tiga jenis dosen. Sebagaimana yang diungkapkan salah satu staf kepegawaian, “Untuk saat ini berdasarkan data yang ada IAIN Tulungagung memiliki Dosen PNS (Pegawai Negeri Sipil, red) sebanyak 150 orang, Dosen Tetap Non PNS sebanyak 85 orang, dan DLB (Dosen Luar Biasa, red) sebanyak 130 orang. Jadi Totalnya 365 orang”. Jumlah dosen yang ada saat ini dinilai cukup sebanding dengan besarnya mahasiswa yang dimiliki IAIN Tulungagung. Namun, masalah kompetensi dan penempatan kurang tertata dengan baik. Berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2009 tentang Dosen, dijelaskan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan

tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hal tersebut menjelaskan bahwa dosenlah yang utamanya berperan dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ada beberapa dosen mengampu mata kuliah tidak sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Terlebih untuk beberapa jurusan baru, seperti Tadris IPS, Akuntansi Syariah dan lain sebagainya yang masih minim dosen kompeten didalamnya. “Dikelasku banyak dosen yang gak kompeten, Seharusnya dosen itu ditempatkan di bidangnya. Misalkan dosen bahasa arab jangan disuruh mengajar hadits”, ungkap Irfan, Mahasiswa semester 3 jurusan Tadris IPS. Hal senada juga diungkapkan salah satu mahasiswa Akuntansi Syariah yang enggan disebutkan namanya bahwa di Akuntansi sendiri tidak semua dosen memahami akuntansi dengan baik. “Ada yang gak kompeten, lawong latar belakangnya bukan Akuntansi murni. Jadi kadang ngajarnya kurang bisa diterima dengan baik oleh mahasiswa”, ungkapnya. Sementara itu, pihak kampus telah mengupayakan dengan baik pemenuhan dosen-

dosen jurusan baru dan jurusanjurusan yang kekurangan dosen dengan mengadakan rekrutmen dosen tiap semesternya. Upaya ini dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas dosen yang dimiliki jurusan agar mampu menghasilkan mahasiswa yang mampu bersaing. “Rekrutmen itu sesuai dengan kebutuhan prodi (jurusan, red). Kalau dosen PNS, kebutuhannya di prodi apa saja, itukan yang tau Prodi. Prodi mengusulkan, kemudian di reng kebutuhan yang paling utama. Ini berarti nanti tidak ada dosen yang betul-betul kurang atau tidak ada tapi ketika jurusannya langka itu biasanya di reng paling tinggi”, ungkap Imam Fuadi, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga. Mekanisme Rekrutmen Dosen Perekrutan dosen ada dua macam, perekrutan dosen PNS dan dosen non PNS yang meliputi dosen tetap dan Dosen Luar Biasa (DLB). Untuk dosen PNS rekrutmen yang dilakukan adalah dalam tingkat Kabupaten Tulungagung yang mana bukan hanya untuk satu macam instansi saja. Proses yang dilakukan sangat ketat, dan tidak sembarang orang bisa lulus. Sementara itu rekrutmen dosen non PNS, baik itu Dosen Tetap maupun DLB, diupayakan mendekati dosen PNS dalam proses dan tata cara rekrutmennya. Seperti yang di tegaskan oleh Imam Fuadi “…

17 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


meskipun itu bukan dosen PNS itu standarnya mendekati dosen PNS. Karena kita sudah besar.” Hal ini dimaksudkan agar kualitas dosen yang ada benar-benar terbukti. Dengan kualitas dosen yang memadai, maka akan memudahkan perguruan tinggi melaksanakan tujuan pokok yang ingin dicapai. Rekrutmen dosen yang dilakukan didasarkan pada kebutuhan dosen masing-masing jurusan. Mekanismenya, tiap jurusan membuat daftar mata kuliah-mata kuliah yang kekurangan tenaga pengajar. Lantas disetorkan ke Wakil Rektor Bagian Akademik dan Pengembangan Lembaga, yang dibantu oleh kepegawaian untuk melakukan rekrutmen secara online. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, “Ya selalu ada perekruitmenan lagi, ikuti aturan mainnya. Bahwa misal belum bisa dipenuhi semuanya itu harus dipahami oleh semua. Karena kita punya standarisasi untuk perekrutan dosen, tidak sembarangan jadi kalau rekrutmen dosen, setalah di share kemudian diupload. Fakultas me-list mana yang sesuai dengan kebutuhan prodi, dibantu kepegawaian. “ Ada beberapa tahap rekrutmen dosen tetap non PNS dan DLB di IAIN Tulungagung, yakni meliputi verifikasi data-data, tes tulis dan tes lisan. Seseorang yang lolos tiga tahap itu berarti dinilai memiliki kualitas pembelajaran yang baik dan diharapkan mampu bersaing dengan perguruan tinggi lain. Keberagaman Nisbah Mengajar Dosen Keberagaman beban mengajar yang diterima dosen itu terjadi karena adanya posisi struktural dalam suatu Perguruan Tinggi. Semakin tinggi kedudukan yang disandang, maka semakin

18 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

sedikit jumlah jam mengajar di dalam kelas. Itu bukan berarti jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang diterima sedikit, namun karena ada tugas lain yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan Perguruan Tinggi. “Beban mengajar dosen, kalau dosen yang menjabat itu ada aturannya. Semakin tinggi jabatannya maka beban mengajarnya sedikit”, ungkap Dede Nurohman, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. “… karena sebenarnya kewajiban mengajar dosen itu hanya 12 SKS, semua itu hanya 12 SKS. Cuman dia itu mengajarnya bisa diganti dengan bekerja, diganti dengan tugas pokok struktural”, tambahnya Dosen Tetap dan Dosen Luar Biasa memiliki kewajiban mengajar minimal 12 SKS dan maksimal 16 SKS, namun banyak dari mereka yang mengampu lebih dari 16 SKS, yakni rata-rata sekitar 20 SKS. Kelebihan SKS yang diterima dosen itu juga mempunyai pemaknaan yang berbeda. Pada Dosen Tetap Non PNS, kelebihan SKS yang diterimanya tidak mendapatkan gaji. Pembayaran yang diterima hanya sampai dengan 16 SKS, selebihnya adalah ikhlas beramal. Disini terjadi kesenjangan antar dosen, ada dosen yang mengampu lebih dari 30 SKS, ada juga dosen tetap yang hanya mengampu 16 SKS. Keberagaman SKS yang diterima ini terjadi karena kebutuhan dosen yang kompeten dibidangnya terbatas. Jadi, mau tidak mau satu dosen harus mengampu keseluruhan tingkatan kelas dalam sebuah jurusan. Perlakuan serupa tidak berlaku bagi Dosen Luar Biasa, besarnya gaji yang diterima disesuaikan dengan banyaknya SKS yang diampunya. Semakin banyak SKS yang diterima tentu semakin tinggi besaran gaji yang diterima. “Untuk yang DLB dibatasi

sampai 20 SKS, DLB. Dan itu kalau DLB itu 20 SKS itu dibayar semua itu kalau DLB, kalau pegawai negeri kan enggak dibayar. Kalau DOSTAP(dosen tetap, red) ini hanya dibayar sampai sampai SKS ke-16 SKS-nya, 14 SKSnya kalau dia ngajar 20, 14 SKSnya (4 SKSnya¸ red) nggak dibayar itu”, ungkap Dede Nurohman. “Dosen tetap non-PNS itu masih diusahakan. Yang jelas dibayar 16 SKS, kemudian kelebihannya belum ada instruksi dari atas apakah dibayar atau tidak. Mestinya kita maunya dibayar”, tambahnya. Keberagaman beban mengajar yang diterima dosen diharapkan bukan menjadi alasan ketidakseriusan dosen dalam melakukan pembelajaran didalam kelas. Banyaknya beban mengajar yang diterima dosen dengan alasan kompetensi yang dimiliki seorang dosen itu baik, artinya tidak ada tenaga pengajar lain yang benarbenar menguasai bidang itu tentu harus diapresiasi. Ketika kampus membutuhkan tenaga pengajar yang kompeten dibidangnya tentunya harus melakukan rekrutmen secara ketat, sesuai dengan kepentingan jurusan dan bukan karena alasan lain. Mengingat peran krusial yang dimiliki dosen untuk mecapai Tri Dharma perguruan tinggi, keberagaman beban mengajar dosen dan teknis-teknis didalamnya diharapkan tidak menjadi ajang kesewenang-wenangan pemberlakuan dosen terhadap mahasiswa. Ketika hal tersebut terjadi pada Perguruan Tinggi, maka itu akan menjadi boomerang bagi perguruan tinggi itu sendiri karena output yang akan dihasilkan kurang mampu bersaing di ranah global. Apapun kebijakan yang diambil, semoga tidak berpengaruh bagi keberlangsungan kegiatan akademik di perguruan tinggi. Semoga. [] /Jijah/Salis/


Editorial Toleransi Setengah-setengah

K Kalau kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian wilayah Indonesia, tidak ingin menjadi bagian Republik Ir. Soekarno

eragaman harus disiasati dengan sikap toleran. Sikap ini akan memberi hak dan penghargaan yang sama pada manusia yang berbeda agama maupun keyakinan. Perbedaan muncul sebagai bentuk kehidupan yang majemuk atau beraneka ragam. Indonesia sendiri telah menegaskan sebagai bangsa yang memiliki ragam agama dan keyakinan. Hal tersebut tertuang dalam konsepsi “Bhineka Tunggal Ika�. Bhineka Tunggal Ika konsepsi yang meneguhkan paradigma toleran atas perbedaan yang berlangsung. Tidak terkecuali terhadap kelompok minoritas yang rentan mendapat perlakuan diskriminasi dan intoleransi. Kita sering menjumpai seruan-seruan dalam melakukan toleransi terjadi dimana-mana. Institusi pendidikan, agama dan media yang lalu lalang juga mendemonstrasikan toleransi bagi masyarakat pada umumnya. Namun demonstrasi tersebut tidak disertai dengan pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM). HAM menjadi ukuran satu-satunya dalam laku toleran. HAM pada gilirannya dijadikan ukuran toleransi bagi masyarakat maupun pemerintah kita. Karena HAM memiliki instrumen-instrumen yang mendukung ditegakkannya HAM. Pemahaman HAM yang minim

19 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

dalam mendemontrasikan toleransi akan berbuntut kesia-siaan. Karena secara serampangan toleransi disimplifikasi untuk kepentingan tertentu. Hal ini sering dijumpai pada khotbah, ceramah atau pidato agama yang biasa menggembor-gemborkan toleransi. Kepentingan apa yang diusung oleh para pengkhotbah atau penceramah? Menjaga “otoritas kharismatik�. Otoritas tersebut dimiliki oleh mereka yang mempunyai pemahaman agama yang lebih unggul dan dijadikan panutan oleh masyarakatnya. Sehingga bila paham toleransi juga dibumbui dengan HAM maka akan kelimpungan pemegang otoritas itu. HAM juga kerap dipahami sebagai produk barat dan liberalisme. Stigmatisasi ini terus gencar dilakukan untuk menakut-nakuti bahaya HAM bila diberlakukan secara kaffah. Alasan ini sesungguhnya tidak mendasar. Karena faktanya HAM tidak bisa terteritorialkan oleh kawasan ataupun negara dan ideologi tertentu. Konteks kelahirannya pun melibatkan pelbagai negara-negara yang ada di dunia saat itu. Sehingga tuduhan negatif atas HAM yang seperti itu tidak bisa diterima oleh akal sehat. Indonesia baru 2005 meratifikasi kovenan international hak sipil dan politik oleh pemerintah Indonesia. Peratifikasian memang tergolong baru memberi penjelasan; kenapa

19 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


toleransi yang menyuguhkan ukuran HAM itu sulit diberlakukan di Indonesia. Pemakluman atas sulitnya HAM sebagai ukuran toleran bukan menjadi pembenar terhadap simplifikasi toleransi. Karena Indonesia dengan demikian menjadi negara pihak. Negara pihak mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab memenuhi, menghormati dan melindungi hak-hak individu. Jauh sebelum Indonesia meratifikasi kovenan international itu, Indonesia sendiri sudah mempunyai undang-undang yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Undang-undang tersebut mengatur toleransi dan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Misalnya dalam pasal 28 e ayat 1 undang-undang tahun 1945 yang menjamin kebebasan memilih agama dan keyakinan. Namun undang-undang itu kemudian dijegal dengan undang-undang selanjutnya yakni pada pasal 28 j ayat 1 dan 2, yang berbunyi pelaksaan hak beragama dan berkeyakinan wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Kemudian disusul dengan undang-undang penyalahgunaan dan penistaan agama no.1/PNPS/1965 yang ditetapkan oleh presiden. Semakin terjerat kaum minoritas dan toleransi semakin menjauh karena undang undang tersebut. Human Right Watch(HRW) mencatat undang-undang tersebut sudah melahirkan sejumlah kasus pemidanaan dengan dalih penistaan atau penyesatan. Kasus-kasus kepercayaan yang diberi label sesat, menyimpang dan juga penistaan agama bermunculan. Dan HRW menggaris bawahi sejak 2005 hingga 2013 kasus-kasus intoleransi yang berdalih penistaan agama terjadi lebih dari selusin. Artinya undang-undang tersebut potensial sekali dijadikan alat untuk melakukan laku intoleransi maupun diskriminasi. Salah satu kasusnya ialah fatwa sesat yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur atas ajaran Ustad Tajul Muluk telah menyulut laku intoleransi dan diskriminasi. Dalih atas penistaan agama juga dijumpai oleh kelompok Ahmadiyah. Parahnya terjadi upaya penghilangan secara sistemik melalui keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri no.3 tahun 2008 yang mengatur Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran

20 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

penafsiran dan kegiatan keagamaan. Upaya untuk menguji materi atas undangundang tersebut sudah pernah dilakukan. Pada tahun 2009, pemikir Islam di Indonesia seperti Dawan Rahardjo, Musdah Mulia dan Gusdur mengusulkan untuk judicial review atas UU no.1/PNPS/1965. Undang-undang tersebut dinilai kelompok tersebut telah inkonstitusi. Secara tidak langsung undangundang tersebut sudah mengerangkeng kebebasan beragama dan berkeyakinan. Aparatur negara punya tanggapan menyedihkan atas undang tersebut. Mereka menganggap bahwa peraturan tersebut bukan bertujuan untuk mengerangkeng agama lain. Namun lebih memberi hak istimewa apabila terjadi penistaan terhadap agama yang diakui negara (Human Right Watch; Atas Nama Agama, 2013). Undang-undang tersebut adalah salah satu dari sekian undang-undang yang saling bertabrakan dengan komitmen menegakkan HAM dan membangun toleransi di Indonesia. Seperti UU/no.1/1979 yang mengatur soal pelaksanaan penyiaran dan bantuan luar negri bagi lembaga keagamaan di Indonesia. Kemudian keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri UU/no.8/2006 dan UU/no.9/2006 yang mengatur pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Undang-undang semacam itu menurut HRW memfasilitasi tindak intoleransi dan diskriminasi di Indonesia. Sehingga perlu ditinjau kembali dan dihapuskan keberadaannya. Bila kita bersetia pada toleransi sudah selayaknya undang-undang itu dihilangkan. Kadar toleransi kita masih tergolong artifisial. Karena payung hukum yang memayungi dipasung oleh perunda-undangan. Kemudian kelompok minoritas dibayangi oleh tindak kekerasan dan intoleransi setiap saat. Negara setengah hati dalam menjalankan kewajiban untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak individu dalam beragama dan berkeyakinan. Toleransi kita tidak pernah utuh dihadirkan. Toleransi hadir hanya setengah-setengah. Tentu toleransi setengah-setengah berpotensi menjadi ancaman serius bagi kebhinekaan dan keutuhan bangsa ini. []

20 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Resensi

Kuasa Perempuan di Zaman Kolonial Data Buku Judul Buku

: Spirited Srikandhis and Sly Sumbadras; the Social, political, and Economic Role or Women at the central Javanese Courts in the 18th and Early 19th Centuries (Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX)

Penulis

: Peter Carey dan Vincent Houben

Penerjemah

: Peter Carey

Penerbit

: Kepustakaan Gramendia Populer (KPG)

Terbit

: Maret, 2016

Halaman

: XIV + 114

Buku kecil perempuanperempuan perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, karya sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben, banyak memberikan informasi peran perempuan sebelum era Raden Ajeng Kartini (18791904). Karya kedua sejarawan senior ini melacak kuasa perempuan dalam bidang politik, militer, pendidikan, sastra, dan perdagangan. Domain peran perempuan Jawa di ruang publik dan privat tidak luput dari amatan penulis buku ini. Tahun sebelum meletusnya perang Diponegoro (1825-1830), peran perempuan elit atau priayi keluarga keraton Jawa Tengah selatan, tidak

melulu berkutat pada urusan privat. Mereka menikmati kesempatan bertindak dan mengambil inisiatif yang lebih luas di sektor publik. Lebih jauh, jejak mereka kerap kali menembus ruang yang kelak didominasi kaum laki-laki, seperti politik, militer, dan perekonomian/perdagangan. Belanda, tentu sangat bias, merepresentasikan orang Jawa sebagai “bangsa yang paling lembut di dunia”. Suatu masyarakat yang dianggap “sangat halus dan penurut”. Kaum perempuan Jawa tidak luput dari representasi yang “bias” itu. Raden Ayu (perempuan elit Jawa) selalu digambarkan sebagai “boneka” berparas cantik dan kepalanya

"

Raden Ayu (perempuan elit Jawa) selalu digambarkan sebagai “boneka” berparas cantik dan kepalanya kosong (bodoh). Ia hanyalah budak seks raja (laki-laki), tidak mempunyai otonomi dan inisiatif bertindak di ruang publik.

"

21 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


kosong (bodoh). Ia hanyalah budak seks raja (laki-laki), tidak mempunyai otonomi dan inisiatif bertindak di ruang publik. Cerminan realitas kolonial Hindia Belanda yang di dominasi kaum laki-laki (male chauvinist), sangat umum dijumpai dalam arsip Belanda. Arsip paling jelas dapat ditemukan pada zaman Daendels (18081811). Salah satu surat Sang Jendral pada Residen Yogya, terselip tulisan “perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya urusan pribadi!� (hal. xii). Catatan itu secara eksplisit menggambarkan betapa perempuan Jawa tidak mempunyai tempat penghormatan sama sekali. Dan ketika berurusan dengan perempuan, diharuskan lebih bersifat pribadi (seks).

"

Pengawal raja -paspampres di zaman sekarang- pada masa pada abad 18 dan 19, lebih banyak mengunakan tenaga perempuan. Mereka inilah yang dikenal sebagai prajurit estri. teruji ketika Inggris menyerang Yogyakarta pada 20 Juni 1812.

"

22 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

Klaim di atas justru bertolak belakang ketika melihat posisi perempuan Jawa abad 18 dan 19. Informasi buku ini, setidaknya perempuan elit jawa mempunyai kuasa yang tidak kalah dengan laki-laki. Sektor yang kerap didominasi laki-laki (politik, militer, dan perdagangan), sangat canggih dan sukses dimainkan oleh perempuan. Mereka tidak memunyai hambatan berarti ketika berkontribusi di bidangbidang itu. Raden Ayu Serang, buyut Pangeran Diponegoro, bahkan tidak canggung memimpin pasukan untuk perang melawan Belanda. “Setelah pecah Perang Jawa, Raden Ayu Serang angkat senjata untuk membantu putranya, Pangeran Serang II, yang disebut-sebut militer

Belanda telah memimpin pasukan berkekuatan 500 orang di kawasan SerangDemak pada bulan-bulan pertama perang itu� (hal. 32). Keberanian, penguasaan taktik perang, dan keahlian menunggang kuda, tidak bisa membuat perempuan jawa ini dikesampingkan begitu saja, terutama bidang militer. Pengawal raja -paspampres di zaman sekarang- pada masa pada abad 18 dan 19, lebih banyak mengunakan tenaga perempuan. Mereka inilah yang dikenal sebagai prajurit estri. Sebagai prajurit, mereka mempunyai perbagai keahlian di dunia militer, seperti menembak, menunggang kuda, dan bela diri. Kemampuan tempur mereka teruji ketika Inggris menyerang Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Letnan Hector Maclean, pasukan resimen infanteri Inggris, tewas menghadapi keganasan prajurit estri. Koneksi antara keraton dengan pedesaan juga kerap kali dijembatani oleh perempuan. Ini bermula dari prajurit estri yang banyak berlatar belakang sebagai anak kyai desa. Perempuanperempuan itu dengan sendirinya memelihara jaringan yang amat penting antara keraton dan pedesaan. Peristiwa kejatuhan Yogyakarta ke tangan Inggris telah menguji kekuatan jaringan itu. Para pembesar istana banyak diselamatkan ke desa tempat mereka berasal. Dalam buku ini, Carey dan Houben juga menjabarkan kedudukan perempuan dalam sistem kewarisan. Sisa pengaruh masyarakat polinesia kuno, yang mengedepankan garis keturunan perempuan


"

Sisa pengaruh masyarakat polinesia kuno, yang mengedepankan garis keturunan perempuan dalam sistem waris, pada awal abad 19 masih dapat ditemukan. Perempuan yang memiliki kekerabatan erat dengan keraton, memiliki hak adat yang kuat atas warisan.

"

dalam sistem waris, pada awal abad 19 masih dapat ditemukan. Perempuan yang memiliki kekerabatan erat dengan keraton, memiliki hak adat yang kuat atas warisan. “Anakanak perempuan dari para penguasa yang menyandang gelar ‘Bendoro Raden Ayu’ (putri raja) bisa mewariskan tiga generasi keturunan mereka” (hal. 42). Sisa adat polinesia pasca abad 19 sudah sulit dijumpai. Ini kemudian membuat penulis buku menyisakan pertanyaan, “apakah memudarnya sistem matriarki Polinesia dalam garis keturunan perempuan dipengaruhi secara serentak oleh kolonialisme dan Islam?” (hal. 80). Keahlian-keahlian perempuan Jawa tidak hanya berhenti di bidang militer saja. Di bidang pendidikan, perempuan jawa mempunyai tempat yang lebih unggul disbanding dengan laki-laki. Anak-anak pembesar kerajaan tidak luput dari sentuhan mereka. Pangeran Diponegoro salah satu contohnya. Bimbingan nyi Ageng telah menghantarkan cucu Mangkubumi sebagai pemimpin perang jawa yang masyhur itu. Selain pendidik calon pembesar kerajaan, perempuan elit Jawa juga aktif di dunia sastra. Pengumpul dan penyalin teks Islam Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran mereka. Salah satu yang paling menonjol adalah Raden Ayu Srenggono. Ia merupakan ibunda dari Pakualam I. “Terkernal mahir aksara pegon – bahasa Jawa dalam aksara Arab tidak bervokal (Jawi gundul)- dan memiliki koleksi versi Jawa karya sastra Islam Arab” (hal. 70). Selain raden Ayu Srenggono, setidaknya ada Raden Ayu Purboyoso dan Raden Ayu Danukusumo. Nama terakhir disebut Peter Carey sebagai teman diskusi teologis tentang sastra Islam dan Arab Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Perempuan elit Jawa yang telah diceritakan Peter Carey dan Vincent Houben dalam buku ini, setidaknya telah memberikan informasi penting. Perempuan Jawa yang diidentikkan berlindung di bawah ketiak laki-laki, patut dipertanyakan kembali. Bahkan, Carey dan Houben berkesimpulan bahwa citra Raden Ayu (perempuan elit Jawa) yang lembut patut direvisi radikal. Setidaknya pemahaman itu lahir dari kolonial Belanda ketika mencitrakan perempuan Jawa. Meski buku ini masih sebatas pengantar, setidaknya bisa merangsang kegelisahan intelektual untuk melakukan penelitian lanjutan. Tentunya, citra tentang perempuan Jawa, selama ini digambarkan negatif (bias), dapat direvisi dengan pemahaman yang lebih utuh. []

"

Keahlian-keahlian perempuan Jawa tidak hanya berhenti di bidang militer saja. Di bidang pendidikan, perempuan jawa mempunyai tempat yang lebih unggul disbanding dengan laki-laki. Selain pendidik calon pembesar kerajaan, perempuan elit Jawa juga aktif di dunia sastra. Pengumpul dan penyalin teks Islam Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran mereka.

"

23 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Resensi

Wong Cilik Melawan Reklamasi

repro internet

Teringat ketika Joko Widodo menyampaikan manisan mulut setelah resmi terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke tujuh. Berdampingan dengan Jusuf Kalla, 22 Juli 2014 di atas kapal Pinisi “Hati Buana Setia”, menjadi saksi tuli tekad Jokowi membangun sisi maritim Indonesia. Tiga bulan kemudian, dalam pidato pelantikan sebagai presiden di Gedung MPR, Jokowi lagi-lagi menyinggung pentingnya posisi Iaut bagi Indonesia. Faktanya, lewat setahun kepemimpinannya, laut Indonesia terluka. Film dokumenter garapan Watch Doc Rayuan Pulau Palsu memaparkan detail reklamasi dan permasalahannya. Salah satunya adalah proyek reklamasi Muara Angke atau pulau “G”. yang terjadi justru bertolak belakang dengan pidato yang dipaparkan presiden terpilih kita. Salah satu dari 17 pulau reklamasi di kawasan Jakarta Utara yang dinamai dengan Project

24 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

Garuda Island. Pulau ini dikelola dan dikembangkan oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land. Pengelolaan ini berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama No. 2238 tahun 2014. Reklamasi teluk Jakarta turut menyajikan kisah lain. Masyarakat teluk Jakarta, kebanyakan nelayan Muara Angke, sekarang mau tak mau harus berhadapan dengan kekuatan pemodal yang melakukan ekspansi properti lewat reklamasi. Janji-janji disebarkan, mulai dari lingkungan yang lestari hingga kesejahteraan nelayan. Benarkah? Dan, apakah dengan cara reklamasi cita-cita menjadi porors maritime dunia akan tercapai? Menukil apa yang ditulis Daniel Stephanus di Facebooknya,“Negara maritim menguruk laut.

Negara kepulauan membuat pulau palsu. Ada yang salah dengan logika penguasa dan pemodal.” Pemberian judul “Rayuan Pulau Palsu” sebenarnya adalah plesetan dari Rayuan Pulau Kelapa, sebuah judul lagu yang ditulis Ismail Marzuki. Dalam lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa menggambarkan betapa indahnya pesona alam Indonesia, sedangkan Rayuan Pulau Palsu menggambarkan betapa indahnya janji-janji terkait reklamasi teluk Jakarta yang hanya manis terdengar di telinga. Dua tokoh utama, yaitu Ilyas dan Sali, nelayan asli Muara Angke yang setidaknya bisa memotret kegundahan seluruh nelayan lain Muara Angke. Film dokumenter dibuka dengan suasana pelelangan ikan di Muara Angke, pasar olahan ikan, hingga kehidupan nelayan. Digambarkan juga kondisi masyarakat Muara Angke sebelum adanya reklamasi. Setiap kali melaut sehari-semalam,


Data Film

Judul : Rayuan Pulau Palsu Sutradara : Rudi Purwo Saputro Produksi : Watchdoc Tahun : 2015 Durasi : 00 : 59 :03

Ilyas dulu membawa 20 kilogram ikan. Namun, ia kini hanya mendapat dua ekor ikan gabus, beratnya sekitar 2 kilogram. Ilyas juga mengeluhkan air laut juga tak sebening dulu, kini kecoklatan bercampur lumpur.

April 2016. Masyarakat nelayan Muara Angke secara masal mampu menguasai Pulau “G”. Penyegelan ini membuahkan hasil, karena dari pihak pengembang menghentikan proyek reklamasi di Pulau “G”.

Film ini juga membeberkan rancangan hunian ala Pluit City yang diiklankan di YouTube, dengan pulau ”G” sebagai iklan utamanya. Dengan iringan jingle versi mandarin, iklan tersebut memaparkan secara lengkap dan mewah bentuk-bentuk bangunan megah yang akan dibuat, dan juga memperlihatkan betapa nyamannya masyarakat yang akan tinggal di hunian tersebut. Dan takdir hidup mewah mungkin tidak akan melirik seorang Ilyas dan para nelayan lain.

Memang dari awal proyek reklamasi teluk Jakarta tersebut telah menumbuhkan banyak masalah. Bahkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai proyek reklamasi di Teluk Jakarta sebagai proyek yang koruptif. Proyek reklamasi yang koruptif dapat dinilai dari dua hal. Selain adanya kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI M. Sanusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KNTI juga melihat dasar hukum yang menjadi rujukan proyek dinilai bermasalah. Seperti yang kita tahu, Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantura Jakarta yang diterbitkan pemerintahan Soeharto dinilai hanya menguntungkan para pengembang. Sementara, Ahok yang kini merujuk Kepres tersebut dinilai telah melanggengkan produk hukum yang dibuat rezim Orde Baru tersebut.

Dari film ini juga terungkap, adanya praktik pembohongan publik oleh pengembang. Mereka yang pro reklamasi diberi uang hingga ratusan juta rupiah, untuk menggelar aksi mendukung reklamasi. Mereka mengatasnamakan organisasi nelayan tradisional. Padahal, itu adalah aksi pasukan nasi bungkus (sebutan bagi orang-orang pro reklamasi yang mau disuap). Belum lagi pengakuan salah satu pengurus Masjid yang mengakui bahwa ada jamaahnya yang dikasih fasilitas mewah untuk berumroh ke tanah suci oleh para pengembang. Salah satu warga dalam film itu juga mengaku ditipu. Ia yang menolak reklamasi dibohongi dan diajak untuk berdemo menolak reklamasi.

"

Setiap kali melaut sehari-semalam, Ilyas dulu membawa 20 kilogram ikan. Namun, ia kini hanya mendapat dua ekor ikan gabus, beratnya sekitar 2 kilogram. Ilyas juga mengeluhkan air laut juga tak sebening dulu, kini kecoklatan bercampur lumpur.

"

Klimaks ceritanya saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi dan bos Agung Podomoro Land sebagai tersangka dugaan suap peraturan reklamasi. Saat ditangkap, ketua komisi DPRD DKI itu tengah menerima uang suap senilai Rp 1,14 miliar. Cacatnya proses legal reklamasi Teluk Jakarta ini kemudian dimanfaatkan oleh komunitas nelayan Muara Angke untuk menggugat. Salah satunya dengan menyegel pulau “G” pada pertengahan

Selain bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa ada ketidakberesan dalam proyek reklamasi, .Watch Doc dengan film Rayuan Pulau Palsu ini ingin mengkampanyekan bahwa reklamasi bukan hanya masalah Jakarta, tetapi Indonesia. Sebab, ada banyak reklamasi yang sedang dikerjakan dan direncanakan di Indonesia. Diantaranya reklamasi di Mamuju, Manado, Lombok, dan Teluk Makassar, serta bali. Dan seluruh proyek reklamasi yang ada di Indonesia dinilai hanya menguntungkan para pengembang. Salah satu buktinya telah dipaparkan semua dalam film rayuan pulau palsu ini. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan mulai dari pencemaran lingkungan, kemudian kondisi perekonomian masyarakat terutama nelayan. Pendapatan mereka berkurang derastis karena ikan-ikan yang dulunya melimpah setelah adanya proyek reklamasi banyak ikan-ikan yang mati. []

25 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Swara

Realitas Pincang Media Dalam Produksi Berita

Oleh : M. Anharul Mahfudz repro internet

Masyarakat pada umumnya mengetahui hanya ada enam agama (Islam, Protestan, Katolok, Hindu, Budha, dan terakhir Konghucu) di Indonesia, sebab hanya enam agama tersebut yang resmi diakui Indonesia. Padahal diluar itu masih banyak agama yang ada di Indonesia, yakni agama lokal atau yang lebih dikenal dengan aliran kepercayaan. Aliran kepercayaan adalah agama-agama yang lahir dan berkembang jauh sebelum adanya enam agama resmi yang diakui Indonesia. Menurut sensus penduduk pada tahun 2010 jumlah orang yang mengaku menganut agama selain enam agama resmi negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) mencapai sejumlah 299.617 jiwa di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut mencapai 0,12 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang saat ini mencapai angka 237,64 juta jiwa. Jumlah terbanyak berada di provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 138.419 jiwa. (Selayar.com, 13/11/14).

26 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

Meskipun jumlah mereka mencapai jutaan jiwa, sampai saat ini banyak dijumpai diskriminasi terhadap aliran kepercayaan. Mulai dari lingkungan tempat mereka tinggal, sampai pemerintah yang seharusnya mempunyai tugas mengayomi dan melindungi, ikut andil dalam memarjinalkan aliran kepercayaan. Akhir-akhir ini aliran kepercayaan sudah mulai mendapat legitimasi hukum, namun tetap saja tidak setimpal dengan banyaknya diskriminasi yang mereka terima. Media dalam produksi berita juga ikut melanggengkan diskriminasi terhadap aliran kepercayaan. Tidak sedikit media yang membenarkan tindakan oknum atau kelompok lain yang mendiskriminasi aliran kepercayaan. Salah satunya adalah wacana pemberitaan bulan Juli lalu di salah satu situs pemberitaan online Detiknews. com. Yaitu kasus terkait seorang siswi anak penghayat berinisial Zlk, yang tidak naik kelas karena memilih untuk


tidak mengikuti ujian praktik agama, sehingga nilai agamanya kosong. Dalam memberitakan kasus tersebut, Detiknews.com lebih membenarkan tindakan pihak sekolah daripada anak penghayat, meskupun fakta sebenarnya dia adalah korban dari tindakan sekolah. Hal ini membuktikan bahwa, media tidak menuliskan realitas yang seharusnya dalam beritanya. Saya mencoba untuk mengurai pemberitaan Detiknews.com dalam pemarjinalan posisi Zlk dalam pemberitaannya. Kita akan menganalisis pihak sekolah sebagai kelompok dominan akan memegang kendali dalam menampilkan peristiwa dan pemaknaan dalam kasus Zlk. Sedangkan pihak Zlk yang posisinya lebih rendah cenderung terus-menerus ditempatkan sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk oleh pihak sekolah (kelompok dominan). Representasi Berat Sebelah Ada empat teks berita Detiknews.com terkait kasus ZLk yang akan saya analisis. Bahan analisisnya kita ambil secara terurut berdasarkan tanggal terbitnya. Judul masing-masing teks berita tersebut yaitu,“Siswa SMK di Semarang Tak Naik Kelas karena Nilai Agama Kosong”, Rabu 27 Jul 2016(berita 1), “Nilai Agama Kosong Siswa Tak Naik Kelas, SMK N 7 Semarang: Harus Ikut Aturan”, Rabu 27 Jul 2016(berita 2),“Ortu Beri Penjelasan Pilihan Anaknya Hingga Nilai Agama Kosong dan Tak Naik Kelas”, Rabu 27 Jul 2016 (berita 3), “Siswa SMK di Semarang Tak Naik Kelas karena Nilai Agama Kosong, ini Kata Anies” Rabu 27 Jul 2016 (berita 4). Dalam berita satu representasi pasivasi ditemukan di paragraf 3 pada kalimat “Sebenarnya ZLk sudah diberikan pilihan agar mengikuti prosedur”. Pada kalimat tersebut tampak ungkapan berbentuk pasif, yaitu “diberikan”. Pemberian pilihan kepada Zlk ini mungkin memang benar, tetapi dengan pembentukan teks berpola pasif seperti ini, membuat teks menjadi rancu. Hal ini akan menghilangkan subyek karena tidak

jelas, siapakah yang memberi pilihan kepada ZLk agar mengikutu prosedur? pihak sekolah kah, orang tua ZLk atau yang lain. penggunaan pola pasivasi pada kalimat tersebut akan menghilangkan subyek atau aktor. Selain itu pembaca akan mempunyai stereotype kepada ZLk. Dalam kalimat tersebut, pembaca akan menganggap ZLk merupakan murid yang tidak mematuhi aturan, karena sudah di berikan pilihan, namun tetap saja menolak. Masyarakat akan menilai bahwa, pihak sekolah tidaklah salah seutuhnya. Representasi pasivasi juga ditemukan dalam berita ke-2 di paragraf 4 pada kalimat “Diskusi dan mediasi sudah dilakukan dengan pihak keluarga dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI). Namun tak ada titik temu”. Lebih parah lagi pada berita tiga, strategi pasivasi direpresentasikan penulis pada paragraf 7 sampai 10. Ini artinya dari empat berita detiknews. con terkait kasus ZLk tiga diantaranya menggunakan strategi pasivasi, yakni pengubahan bentuk kata atau kalimat aktif menjadi pasif. Secara umum, proses ini tidak akan menggambarkan secara jelas tentang siapa subjek atau pelaku di dalam kasus ZLk. Pemberitaan pada detiknews. com ditemukan bentuk strategi nominalisasi. Singkatnya, strategi ini merupakan proses pengubahan kata kerja (verba) menjadi bentuk kata benda (nomina). Hal ini umumnya dapat dilakukan dengan pemberian imbuhan “pe-an” sehingga tidak membutuhkan subjek atas suatu tindakan ZLk. Kurang lebih empat berita Detiknews. com yang merepresentasikan strategi nominalisasi ada di berita ke-1 pada lead berita dengan kalimat “siswa SMK N 7 Semarang tengah menjadi perbincangan hangat. Banyak yang membicarakan perihal kasus yang menimpanya. ZL tak naik kelas karena nilai agamanya kosong”. Pada kalimat tersebut strategi Nominalisasi digunakan penulis dalam lead berita,yaitu pada kata

27 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


“perbincangan”. Nominalisasi tersebut akan menampilkan stigma negatif pada subyek yang dibincangkan, dalam hal ini adalah ZLk. Bentuk nominalisasi ini juga menghilangkan subjek/pelaku dalam peristiwa tersebut, yakni siapa sebenarnya orang yang membicarakan ZLk tidak tergambar jelas dalam teks berita tersebut. Strategi abstraksi digunakan untuk melihat informasi mengenai suatu peristiwa/aktor sosial ditampilkan secara konkrit ataukah abstrak. Pada Berita ke-1 paragraf 6, abstraksi diaplikasikan dikalimat “Pihak sekolahan beberapa kali memanggil orang tua ZL (dalam pemberitaan selanjutnya inisial ZLk diganti ZL, red) dan mengatakan kalau tidak mengikuti praktik pelajaran agama maka tidak bisa naik kelas. Maka sesuai dengan kriteria tersebut, maka ZL tidak naik kelas”. Numeralia (kata bilangan, red) abstrak pada kalimat diatas ada di kalimat “beberapa kali”. Kata tersebut tidak memberikan keterangan yang pasti seberapa persis pihak sekolah memenggil orang tua ZLk. Apakah dua kali, tiga kali, atau mungkin lebih. Kata “beberapa kali” dapat menggambarkan frekuensi yang sangat banyak atau bahkan tak terhingga jumlahnya. Semakin banyak frekuensi pemanggilan orang tu ZLk, maka pemahaman khalayak akan diarahkan pada kesimpulan berikut. Pertama, dapat memberikan pembelaan terhadap pihak sekolah karena banyak kali meyakinkan kepada orang tua bahwa, jika tidak mengikuti praktik pelajaran agama maka tidak bisa naik kelas. Kedua, dapat menampilkan penggambaran buruk terhadap orang tua ZLk, karena merekalah yang dianggap mengintervensi anaknya untuk tidak mengikuti ujian praktik. Bahkan detiknews.com mengulangi pengaplikasian strategi abstraksi pada paragraf 8, dengan kata “beberapa langkah”. Dari empat berita terkait kasus Zlk, selain pada berita satu strategi abstraksi juga di representasikan pada Berita ke-3 paragraf 5. “Guru agama ZL sering memberikan nasihat dan memintanya agar salat. Namun sesuai keyakinannya, ZL tidak melakukannya karena memang menurutnya hal itu tidak bisa dipaksakan. Nilai Pendidikan Agama dan Budi Pekerti

28 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

ZL pun kosong pada semester pertama”. Pengaplikasian strategi diferensiasi juga saya temui dipemberitaan ini. Strategi diferensiasi akan sangat berdampak pada salah satu pihak, karena strategi penulisan ini akan membandingkan dua’ kelompok dan akan memarjinalkan salah satu. Pada Berita ke-1 paragraf 8 di kalimat, “Beberapa langkah sudah diambil sekolahan salah satunya melakukan mediasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI). Tapi ZL bergeming, dia tetap tak ikut aturan sekolah.” Perhatikan kalimat tersebut yang menerangkan upaya sekolah dalam memediasi dan penggambaran penolakan ZLk. Jelas dikatakan, pada kalimat diatas pihak sekolah sudah melakukan mediasi, sementara pihak kedua ditampilkan fakta bahwa ZLk tetap bergeming, tidak mau mengikuti aturan sekolah. Kalimat kedua ini secara implisit bertolak belakang dengan pihak sekolah. Kalimat ini memarjinalkan posisi ZLk dengan menampikannya sebagai seseorang yang tetap bersikukuh tidak mau menaati peraturan sekolah, meskipun pihak sekolah telah mencari solusi dengan melakukan mediasi. Pembaca akan menilai ZLk sebagai seorang yang keras kepala. meski sudah ada mediasi dia tetap bersekukuh menolak tidak mau mengikuti aturan. Strategi diferensiasi pun juga di temukan pada berita ke-2 paragraf 4 di kalimat “Diskusi dan mediasi sudah dilakukan dengan pihak keluarga dan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI). Namun tak ada titik temu”, dan berita 4 paragraf 2 di kalimat “Pihak sekolah memberi saran agar dia


ikut pelajaran agama Islam, sesuai yang ditulis di kartu keluarga dan saat dia mendaftar. Karena ZL tetap bersikukuh dia tak naik kelas dan tak hadir lagi di sekolah. Sekolah bersandar pada aturan”. Pada berita ke-1 strategi determinasi ditemukan di paragraf 3 di kalimat, “Pihak sekolah memberikan penjelasan. Sebenarnya ZLk sudah diberikan pilihan agar mengikuti prosedur.” Dalam kalimat tersebut, strategi determinasi ada pada kata “pihak sekolah”. Strategi determinasi digunakan untuk mengkaburkan pelaku. Mungkin dalam penulisan teks diatas, penulis belum tau jelas siapa nama pihak sekolah yang memberi penjelasan. Untuk itu pengeneralisian dengan kata “pihak sekolah” digunakan penulis untuk merepresentasikan subyek. Namun apapun alasannya, penggantian subyek dengan generalisasi, berdampak pengkaburan subyek dalam suatu peristiwa. Strategi determinasi dalam empat berita ini diulangi sebanyak tiga kali. Pertama, pada berita ke-2 paragraf 2 di kalimat “Pihak SMK N 7 Semarang sudah memberikan keterangan”. Kedua, berita ke-3 paragraf 7 yakni kalimat “Sehari sebelumnya SW diminta bertemu bagian Bimbingan Konseling dan Kepala Sekolah.” Ketiga, di berita 4 paragraf 2 di kalimat “Pihak sekolah memberi saran agar dia ikut pelajaran agama Islam, sesuai yang ditulis di kartu keluarga dan saat dia mendaftar”. Empat berita terkait kasus Zlk detiknews.com merepresentasikan strategi asimilasi pada berita ke-3 paragraf 5 di kalimat “Guru agama ZL sering memberikan nasihat dan memintanya agar salat.”. Strategi asimilasi digunakan penulis ketika menggambarkan guru agama

ZLk yang sering memberikan nasihat dan memintanya agar shalat. Namun penulis hanya menggunakan identitas profesi untuk menyebutkan nama dari guru ZLk. Penggantian subyek dengan anonim seperti ini sangat besar efeknya, karena akan menghilangkan siapa nama guru agama ZLk yang sering memberikan nasihat dan memintanya agar shalat. Secara implisit, ini akan mengalihkan pandangan pembaca terhadap sikap guru agama ZLk yang mencoba memaksa untuk mengikuti praktik sholat. Hasil analisis dari empat beita kasus ZLk yakni, pertama pihak media menyembunyikan beberapa aktor yang terlibat di dalam peristiwa sehingga melindungi tindakan mereka dalam pemberitaan. Kedua, pihak media juga mengedepankan dan membenarkan tindakan pihak sekolah yang membuat ZLk tidak naik kelas. Padahal fakta yang sesungguhnya ZLk adalah pihak yang didiskriminasikan oleh pihak sekolah namun media memberitakan sebaliknya. Paradigma kritis memandang berita yang diproduksi suatu media akan mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, atau politik tertentu. Berita yang dihasilkan akan tidak objektif, karena wartawan adalah bagian dari suatu kelompok tertentu yang lebih dominan. Bahasa yang digunakan dalam penulisan tidak akan netral, karena bahasa menunjukkan bagaimana kelompok sendiri (kelompok peliput/wartawan) diunggulkan dan memarjinalkan kelompok lain. Sekali lagi ini disebabkan karena wartawan akan membawa ideologinya dalam proses peliputan dan begitu nampak representasi dalam pemberitaan tidak proporsional. []

Paradigma k r i t i s memandang berita yang diproduksi suatu media akan mencerminkan ideologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi, atau politik tertentu. Berita yang dihasilkan akan tidak objektif, karena wartawan adalah bagian dari suatu kelompok tertentu yang lebih dominan. . Sekali lagi ini disebabkan karena wartawan akan membawa ideologinya dalam proses peliputan dan begitu nampak representasi dalam pemberitaan tidak proporsional.

29 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


INTOLERANSI BERAGAMA;

Pelanggaran Atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Oleh : Rizka Hidayatul Umami* “Para Pendiri bangsa memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi setiap kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya dan tradisi bangsa Indonesia.� (Wahid Institute, 2009)

I

ndonesia adalah negara majemuk yang mengganggu kebebasan orang lain dalam di dalamnya bermukim berbagai agama berpikir, maupun berpendapat. Kebebasan dan keyakinan. Perbedaan agama dan beragama dan toleransi tentu menjadi keyakinan adalah suatu keniscayaan yang perpaduan yang tidak dapat lagi dipisahkan tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya. satu dengan yang lain. Melalui toleransi, Setidaknya sampai saat ini terhitung ada enam seseorang dapat dengan bebas melakukan agama besar yang telah menjadi agama resmi dan peribadatan sesuai dengan agama 236 aliran kepercayaan di Indonesia.1 dan kepercayaan yang di anutnya, Dari enam agama besar tersebut tanpa harus merasa terancam. Toleransi sendiri dan ratusan aliran kepercayaan Dalam Undang-undang oleh WJS. Purwodarminto terdapat banyak perbedaan Dasar 1945 pasal 28 E ayat 2 baik dari segi pemikiran, cara dan pasal 28 I ayat 1, hukum dimaknai sebagai suatu bentuk peribadatan, maupun hukum menjamin hak kebebasan kelapangan dada, dalam artian yang diberlakukan. Sikap untuk berkeyakinan dan menyukai kerukunan pada siapapun, toleransi kemudian diambil beragama selain hak untuk sebagai jalan tengah untuk dapat tidak mengganggu kebebasan orang tidak diperbudak. Melalui lain dalam berpikir, maupun hidup berdampingan meski berbeda pasal-pasal tersebut, telah jelas agama maupun kepercayaan. Pada bahwa kebebasan beragama dan berpendapat. hakikatnya kebebasan beragama berkeyakinan bukan sesuatu yang adalah dasar dari tujuan manusia agar nihil, dan bukan suatu bentuk kejahatan dapat menciptakan kerukunan antar umat. jika seseorang memiliki keyakinan yang Toleransi sendiri oleh WJS. berbeda dengan yang lain, karena hukum Purwodarminto dimaknai sebagai suatu telah menjaminnya. Deklarasi Universal Hak bentuk kelapangan dada, dalam artian Asasi Manusia (DUHAM) juga menjamin menyukai kerukunan pada siapapun, tidak kebebasan beragama dalam pasal 18, yang berbunyi: 1 http://www.kompasiana.com/giostanov/kembalinya“Setiap orang berhak atas kebebasan agama-nusantara-ke-pangkuan-ibu-pertiwi_54f9143ea3 pikiran, hati nurani dan agama,

"

"

3311ba028b4603 diakses 14-9-2016 pkl. 21.18

30 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


"

Intoleransi adalah suatu bentuk tindakan yang tidak kondusif bagi penguatan demokrasi dan hak asasi manusia. Besarnya tindakan intoleransi yang direpresentasikan dengan pernyataan-pernyataan dan tindakan intoleran bahkan sampai menebar kebencian (hate crimes) dan mendorong terjadinya kekerasan (condoning) adalah modal buruk bagi demokrasi dan hak asasi manusia

"

dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agamasss atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.� Meskipun Indonesia telah memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan juga telah menyediakan sanksi bagi para pelanggarnya, dewasa ini kebebasan beragama di Indonesia menemui masalah yang pelik. Bahkan sikap saling menghargai atau biasa disebut toleransi yang banyak di dengungdengungkan oleh sekelompok orang, berubah menjadi sikap intoleransi yang justru merugikan banyak pihak. Intoleransi adalah suatu bentuk tindakan yang tidak kondusif bagi penguatan demokrasi dan hak asasi manusia. Besarnya tindakan intoleransi yang direpresentasikan dengan pernyataan-pernyataan dan tindakan intoleran bahkan sampai menebar kebencian (hate crimes) dan mendorong terjadinya kekerasan (condoning) adalah modal buruk bagi demokrasi dan hak asasi manusia (Hasani: 2008, 73). Dalam laporan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2008, setidaknya ada 91 kasus atau tindakan intoleransi yang berhubungan langsung dengan agama, baik itu masalah internal (dalam lingkup satu agama), maupun eksternal yakni antar agama. Sementara pada tahun 2013, Setara Institute memantau dan mengumpulkan berkas sekitar 220 kasus serangan terhadap kaum minoritas. Kemudian di susul di tahun 2015 yang ditemukan sekitar 14 kasus intoleransi beragama. Beberapa contoh kasus yang terjadi terkait intoleransi beragama antara lain sebagai berikut: 1. Tanggal 3 Januari 2008, kurang lebih terdapat 30 orang dari beberapa ormas Islam

2.

3.

4.

5.

dan tokoh masyarakat dari Bukit tinggi, medesak Pemerintah kota Bukit tinggi untuk bersikap tegas terhadap para aktivis Gereja Bethel yang dianggap menyalahi aturan (Hasani: 2008, 73). Agustus 2012, warga muslim Syi’ah di Madura harus mengungsi karena serangan dari militan Sunni yang berhasil membakar sekitar 50 rumah. (Tempo.co) Pada tanggal 7 Agustus 2013, sebuah bom meledak dalam sebuah kuil Budha di daerah pusat Jakarta, dengan jatuh korban 3 orang. Tanggal 17 Juli 2015, Pembakaran masjid menjelang shalat ied di Tolikara oleh beberapa umat Nasrani. Menurut Kapolri Jendral Badrodin Haiti, umat Nasrani saat itu merasa terganggu akibat speaker masjid yang di pasang sesaat sebelum shalat ied dimulai. (Republika. co.id) Desember 2015, Jemaah Ahmadiyah dilarang berbicara dalam sebuah acara seminar

repro internet

31 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


"

Salah satu ciri suatu negara menganut prinsip negara hukum adalah dengan memberikan jaminan konstitusional terhadap setiap warganya. Contohnya dalam beberapa kasus seperti intoleransi tersebut negara yang diwakili oleh perangkat-perangkatnya cenderung mendiamkan terjadinya aksi perusakan rumah ibadah. Negara yang seharusnya tampil untuk memastikan bahwa hak setiap pemeluk agama dilindungi dan diamankan, justru bersiap pasif dan cenderung membiarkan kekerasan, intimidasi, dan segala bentuk intoleransi terjadi.

"

32 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

oleh kelompok tertentu dan justru dipolisikan. Beberapa waktu kemudian, tempat ibadah milik Penghayat Kepercayaan Sapta Dharma di Kabupaten Rembang, juga mengalami perusakan. Selain itu, pada bulan yang sama pula, di daerah Pemalang dan daerah Karanganyar terjadi penolakan pembangunan Gereja. (Tempo.co, Semarang) Di Tulungagung sendiri pada tahun 2013 di daerah Pakel, tepatnya pada 16 Mei, terjadi kasus pengerusakan masjid Ahmadiyah yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan tanpa tindak lanjut dari pihak kepolisian (Tempo.co, Tulungagung). Perusakan itu –meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa-, setidaknya telah menjadi bukti konkret dari adanya bias, antara hukum penjaminan HAM, dengan fakta sosial masyarakat yang melanggengkan adanya ketidakadilan. Kemudian siapa yang menjadi korban dalam pemberitaan? Jelas, bahwa yang menyandang predikat korban seharusnya adalah Jemaah Ahmadiyah, karena ada intimidasi dari pihak pembuat keputusan dan masyarakat lain di luar Jemaah. Namun dalam kasus perusakan masjid ini, kesalahan sepenuhnya ditimpakan pada Ahmadiyah, dengan berbagai alasan yang menguatkan pihak lain, terutama berdasarkan pada keputusan MUI. Kasus-kasus intoleransi, baik dalam aspek intern maupun ekstern, sebenarnya tidak hanya merugikan pihak yang di jadikan korban, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih tumpul. Dari beberapa contoh kejadian di atas, telah jelas bahwa intoleransi yang sempat dianggap bukan masalah serius, justru sangat urgen dan perlu untuk ditangani serta dicarikan jalan keluar secepatnya, karena berhubungan dengan hak hidup orang banyak. Kerukunan yang mulai pudar akibat gesekan perbedaan dan permasalahan yang semakin kompleks, ternyata membawa dampak yang cukup signifikan bagi kebebasan beragama di Indonesia. Konflikkonflik yang pada mulanya hanya timbul akibat doktrin dari masing-masing agama, bercampur dengan kepentingan kekuasaan, politik serta ekonomi, sedikit demi sedikit


dalam melindungi hak beragama dan berkeyakinan setiap warganya? Salah satu ciri suatu negara menganut prinsip negara hukum adalah dengan memberikan jaminan konstitusional terhadap setiap warganya. Contohnya dalam beberapa kasus seperti intoleransi tersebut negara yang diwakili oleh perangkatperangkatnya cenderung mendiamkan terjadinya aksi perusakan rumah ibadah. Negara yang seharusnya tampil untuk memastikan bahwa hak setiap pemeluk agama dilindungi dan diamankan, justru bersiap pasif dan cenderung membiarkan kekerasan, intimidasi, dan segala bentuk intoleransi terjadi. Padahal telah jelas bahwa negara memiliki tanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hakhak asasi manusia (Crishbiantoro, 2014). Hak memeroleh rasa aman, damai, tenteram dan bebas dari diskriminasi adalah hak warga yang harus dijamin oleh negara. Peran negara yang sangat penting sebaiknya bukan hanya sebagai sebuah konstitusi yang tertulis, namun diimplementasikan kedalam setiap kebijakan yang dibuatnya agar tidak ada dakwaan negara gagal memerankan fungsinya.[]

"

Agamamu bukan agama yang paling benar jika agamamu membawa kebencian bagi orang lain. Agama yang benar seharusnya mampu menjadikan penganutnya mendahulukan toleransinya daripada keegoisannya. Lalu, sejauh mana kita menyadari kepentingan kita sebagai bangsa yang satu? Sudahkah kita mampu beragama dengan mewujudkan kedamaian dan menumbuhkan nasionalisme bangsa?

"

menumbuhkan benih-benih disintegrasi di tubuh Indonesia. (Lampos.co) Tentunya intoleransi yang terus menerus berlanjut, tidak diinginkan oleh berbagai macam lapisan masyarakat. Pemerintah semestinya mengambil langkah yang lebih bijak dalam menangani intoleransi beragama yang terjadi. Umat beragama dimanapun juga seharusnya selalu menjunjung dan memahami Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip pemersatu bangsa yang majemuk. Mengingat banyak konflik yang terjadi di Indonesia dalam beberapa periode, yang bahkan menelan banyak korban terjadi atas nama perbedaan agama. Perlu diingat bahwa Indonesia memiliki Pancasila, yang dapat merefleksikan semua pesan yang terkandung dalam berbagai agama. Tidak ada pengkhususan untuk suatu agama tertentu. Semua agama adalah sama dan saling menghargai satu dengan yang lain. Seperti yang pernah di katakana Gus Dur dalam pengantar sebuah buku Ilusi Negara Islam, bahwa Pancasila menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi setiap makhluk-Nya. Lewat pengamalan Pancasila, segala aspek kesenjangan, perbedaan, dan ketidakadilan, dan yang semacamnya dapat di minimalisir atau bahkan dibumi hanguskan. Tujuannya adalah satu, yakni demi tetap terciptanya rasa nasionalisme dalam diri setiap warga negara, dengan apapun agama yang menjadi keyakinannya. Dari titik ini, seharusnya ada kesadaran personal bahwa tidak ada lagi ruang dalam kelompok tertentu untuk menjadikan agama sebagai wajah yang garang dan penuh dengan intoleransi. Lantas bagaimana peran negara

Kami tak putus-putus mengajak pembaca semua untuk mendtradisikan menulis. Kami akan selalu menerima sumbangan tulisan dari semua dengan tangan terbuka. Kirim ke surel redaksi.dimensi@gmail.com/lpmdimensita@gmail.com - Menulis adalah pekerjaan untuk keabadian -

33 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Komik

MALAM MENCEKAM Oleh : Jordan E. Bertian

34 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


35 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Budaya

Kentrung; Ketika Tuntunan Terseok Tontonan

Gimah takut sisi spiritualitas dari kentrungnya akan hilang tatkala salah dalam mengkolaborasikan. ketika kentrung disandingkan dengan kesenian yang mengandung humor atau dolanan, maka tuntunan dan nilai luhur yang ingin disampaikan dalang, hanya mampu sampai setengah jalan. Tahun 1962 menjadi awal yang penting bagi perjalanan hidup seorang Gimah. Saat itu, usianya baru genap 10 tahun. Ia harus keluar rumah dan mengekor Giran, ayahnya, untuk Ngentrung. Gimah kecil hanya punya ayah, karena sang ibu telah meninggal saat usia Gimah 36 hari. Gadis kecil yang lahir di kota Kediri itu pun belajar dari sang ayah, tentang bagaimana bertahan di padang kehidupan yang nista. Ia juga belajar mengamen ‘ngentrung’- ala Giran. Giran

36 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

bukan tokoh dalang kentrung yang masyhur, tapi ia menurunkan bakat ngentrung yang luar biasa kepada anak semata wayangnya itu. Ketika Giran meninggal, ia mewariskan kendang berwarna merah kepada Gimah. Kendang itulah yang digunakan Gimah untuk ngentrung. Kemahiran Gimah membawakan kisah-kisah tokoh Islam, sejarah kota-kota besar di Jawa, dan cara tuturnya yang menuntun, membuat berbagai kalangan tertarik

untuk menyaksikan kesenian Kentrung. Kabar Kentrung Gimah pun sampai tersiar di beberapa kabupaten, termasuk di kabupaten Tulungagung. Kejayaan Gimah dan kentrungnya di kabupaten Ngrawa pun dimulai. Tahun 1970, Gimah –yang saat itu sudah menikahbertemu dengan Sumiran, pemilik pabrik rokok Retjo Pentung Tulungagung. Lewat pertemuan itulah, Sumiran kemudian menawarkan kepada Gimah untuk mengisi sponsor rokok pada saat itu. Gimah juga mengiyakan ketika diminta untuk menetap di Tulungagung, sehingga ia pun mengurus surat pindahnya ke Tulungagung bersama sang suami. “Jaman mbiyen, sek sekitar


tahun kepalane 7 tasikan, tahun 70 pinten ngoten lo, kulo ngamen ngoten. Lajeng sajake kok remen priyayi Tulungagung niku kaleh sejarah Kentrung. Kulo ditanggap kaleh pabrik Retjo Pentung pak Sumiran, akhire kulo kon ngisi sponsor rokoke Retjo Pentung, pabrike tulungagung. Akhire kulo diken mendet surat pindah mriki. Akhire kulo pindah mriki. Ya niku ngantos sakniki (zaman dulu, sekitar tahun 70 berapa gitu lo, saya mengamen gitu. Kemudian sepertinya priyayi Tulungagung suka dengan sejarah kentrung, saya diminta tampil oleh pabrik retjo pentung milik pak Sumiran. Akhirnya saya diminta mengisi sponsor rokoknya Retjo Pentung, pabriknya Tulungagung. Akhirnya saya disuruh mengurus surat pindah ke Tulungagung, akhirnya saya pindah kesini, ya sampai sekarang; red),” Cerita Gimah kepada kami (Crew Dimensi) saat bersanjang ke kediamannya. Sejarah Kentrung dan Pitutur Luhur Sejarah Kentrung di Tulungagung memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sosok perempuan bernama Gimah. Gimah adalah satu-satunya seniman kentrung perempuan yang mampu bertahan. Melawan pemojokan dari publik, kemudian mencoba eksis ditengah pasang-surut Kentrung. Usia yang tidak lagi muda, membuat geraknya terbatas. Namun dengan keterbatasan itu, dia bersama rekannya, mbah Bibit –seorang tukang becak, yang menjadi rekan pentas Gimah setelah suaminys meninggal–, mengupayakan untuk tetap menekuni kentrung. Menurut penuturan Gimah, Kentrung sendiri bukanlah kesenian asli Indonesia, utamanya Jawa. Kentrung berasal dari negara Timur Tengah tepatnya Arab. Kesenian ini sampai di Indonesia lewat perantara para wali. Kemudian oleh para wali, kentrung yang awalnya hanya memakai alat musik berupa terbang, dimodifikasi dengan penambahan alat musik lain seperti kendang, ketipung, dan kempling. “Lek sejarahe kentrung ki asline, kentrung ki kan wiwitane

saka negara Mekah to nak. Tasik gusti kanjeng nabi Ibrahim, dereng gusti kanjeng nabi Muhammad. dugine Indonesia digowo wali. Terus berkembang diimbuhi kendang, tipung, diimbuhi kempling to (Kalau sejarahnya kentrung itu aslinya, kentrung itu kan mulainya dari negara Mekah (Arab) nak. Masih Nabi Ibrahim, belum ke masanya Nabi Muhammad. Sampai ke Indonesia dibawa wali. Terus berkembang ditambahi kendang, tipung, ditambahi kempling; red),” Ujar Gimah. Cara bermain kesenian ini pun cukup unik. Dimana ada dua orang yang masing-masing memainkan peran berbeda. Satu orang menabuh kendang kemudian bercerita sebagaimana dalang dalam kesenian wayang, sementara yang lain menyanyikan syair-syair atau tembang Jawa sembari menabuh terbang atau ketipung. Gimah, selaku dalang Kentrung begitu lihai menyampaikan tiap-tiap cerita sejarah utamanya babat tanah Jawa. Sementara Bibit menyanyikan tembang-tembang dan kadang pantun untuk mengiringi Gimah. Ada beberapa hal yang membedakan kesenian Kentrung dengan wayang, yakni pada cerita atau lakon yang dibawakannya. Kentrung sangat kental dengan nuansa cerita-cerita Islam, seperti tentang para Nabi, dan para wali. Tidak hanya itu, kesenian ini mengajak penontonnya untuk kembali ke masa lalu, mengenalkan kembali kisah perjuangan bangsa Indonesia, sejarah babat tanah jawa, kisah kerajaankerajaan besar di Nusantara, sampai pada cerita para tokoh pembesar di masa lampau. “Kentrung niku tasek enek ngoten niku, soale sing dicritakne sejarah, anune piye? awale piye? Koyok Surabaya, babat Tulungagung. Lek wayang kan nggeh mboten wonten. Kentrung niku, coro sing dricritakne niku pomo ditapak tilas ngoten kan wonten (Kentrung itu, masih ada seperti itu (lokasi-lokasi yang masih ada barang gaibnya). Soalnya yang diceritakan sejarah, awalnya bagaimana? Seperti

"

Kentrung itu, masih ada seperti itu (lokasi-lokasi yang masih ada barang gaibnya). Soalnya yang diceritakan sejarah, awalnya bagaimana? Seperti Surabaya, Babat Tulungagung, kalau wayang kan ya tidak ada. Kentrung itu seperti yang diceritakan itu. Seumpama di tapak tilas gitu kan ada

"

37 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Isine Kentrung kui kebak pitutur nak. Nek disawang kentrunge ya mek sederhana. Nanging siraman jati diri, bubute luhur, saandahane, ngerti ya wes puji sukur alhamdulillah. Selain penuh dengan pesan moral dan nilai-nilai luhur, Kentrung juga menyajikan kolaborasi cerita antara Jawa dengan Islam.

38 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

Surabaya, Babat Tulungagung, kalau wayang kan ya tidak ada. Kentrung itu seperti yang diceritakan itu. Seumpama di tapak tilas gitu kan ada; red),” Ujar Gimah. Dalam pertunjukan kentrung Tulungagung, penonton juga tidak akan menemukan kemegahan panggung sebagaimana saat pementasan wayang, juga sindensindennya. Tapi terlepas dari segala bentuk perbedaaan, tentu dalam setiap pagelaran kesenian memiliki pesan moral yang ingin disampaikan kepada para penikmatnya, dalam hal ini tidak terkecuali Kentrung. Pendalang Kentrung tidak hanya memberian wejangan moril kepada para penonton, akan tetapi juga berusaha menyuguhkan pesan spriritual dan menuntun masyarakat untuk nguri-nguri (menjaga atau melestarikan, red) sejarah. Mengenal lebih dalam seluk beluk sejarah dengan kacamata yang lebih luas, tidak karena unsur-unsur politik atau unsur kepentingan lainnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan Gimah, “Isine Kentrung kui kebak pitutur nak. Nek disawang kentrunge ya mek sederhana. Nanging siraman jati diri, bubute luhur, saandahane, ngerti ya wes puji sukur alhamdulillah (isinya kentrung itu penuh dengan pitutur nak, kalau dilihat kentrungnya memang sederhana, tapi siraman jati diri, sejarahnya leluhur, dan sebagainya, mengerti itu ya jarang bersyukur alhamdulillah; red).” Selain penuh dengan pesan moral dan nilai-nilai luhur, Kentrung juga menyajikan kolaborasi cerita antara Jawa dengan Islam. Sebagaimana Gimah yang membawakan kisah babat tanah Jawa oleh Syeh Subakir dengan tidak memasukkan unsur-unsur kepentingan seperti politik ke dalam cerita yang dibawakannya. Gimah ingin menunjukkan fokus tujuan dari alur ceritanya, yakni pada kesadaran masing-masing orang tentang nilai-nilai sejarah yang dapat dijadikan tuntunan hidup. Sukriston yang merupakan

salah satu pembesar di Majelis Luhur dan Kepercayaan Indonesia (MLKI) Tulungagung, memandang bahwa terdapat akulturasi budaya yang apik antara Jawa dan Islam dalam kesenian kentrung, sehingga terjadi proses saling menerima tanpa menghilangkan salah satu budaya di tanah Jawa. “Ada akulturasi budaya antara islam jawa, jawa islam, itu disitu. Itu saling mengangkasa, saling menghormati. persis seperti apa, pulau jawa menerima konsep apapun yang terkait dengan kebohongan masa. Disitu poinnya. Disitu sangat luar biasa. Ya itu saya mendengar cerita dari mbah Gimah.” Namun seiring merebaknya berbagai media elektronik, utamanya televisi, membuat minat masyarakat terhadap kesenian Kentrung berkurang. Masyarakat Tulungagung, saat ini– justru banyak yang tidak mengetahui bahwa masih ada kesenian Kentrung yang terkenal di Tulungagung. Ketidaktahuan mereka ini tentu beralasan, mengingat kentrung mulai meredup setelah tahun 2000. Sebagaimana yang diungkapkan Gimah, “Sepine kentrung niku pun taun 2000 munggah. Surut. Jaman 2000 medun, Suro ngaten niko pun mboten leren, sampek entek sasi suro ngoten biasane dereng entek. Niki nggeh pun mboten enten (sepinya kentrung itu sudah tahun 2000 ke atas. Surut. Zaman 2000 ke bawah, bulan Sura begitu sudah tidak berhenti, sampai habis bulan sura gitu biasanya belum habis (pertunjukannya). Ini ya juga sudah tidak ada; red).” Kegagalan Melawan Modernisasi Sebagaimana wayang, yang juga sempat ditinggalkan oleh penikmatnya karena dianggap monoton, tidak menarik, dan membosankan, kemudian orangorang yang menggeluti bidang seni mencoba mencarikan inovasi. Sehingga terbentuklah sebuah kolaborasi yang menarik antara pagelaran wayang, dengan


dok. dims Foto Gimah saat ditemui di kediamannya

Sebenarnya kita sudah mengantisipasi, kita sudah melakukan inventarisasi agar kentrung yang sdah kita miliki ada jejak. Kita hanya memfasilitasi, hampir setiap tahun mbah gimah selalu dapat bantuan. Masalah hidup dan matinya suatu seni itu tergantung dari daya serap dan daya minat masyarakatnya sendiri.

serangkaian humor dan penambahan lagu-lagu masa kini. Hal-hal semacam itulah yang kemudian menarik dan mampu mengembalikan kecintaan masyarakat terhadap kesenian wayang. Sedikit berbeda dengan kesenian Kentrung, menurut Fathoni, Direktur Pasca Sarjana IAIN Tulungagung, dari sisi penampilan atau pertunjukan, Kentrung sudah kalah telak dengan media dan panggung hiburan yang lain. “Secara umum itu ya kalah dengan media eletronik. Ribet ngunu lo kira-kira masyarakat itu. Lawong sekarang panggung hiburan itu kalo nggak bagus yaa ndak menarik. Koyok wayang, kan saiki yo oleh dagelane, nyanyine, wayangane,” Ujar Fathoni. Gimah selaku satu-satunya dalang Kentrung Tulungagung, belum siap mengkolaborasikan kesenian yang dibawakannya dengan kesenian lain. Gimah takut sisi spiritualitas dari kentrungnya akan hilang tatkala salah dalam mengkolaborasikan. Kentrung ala Gimah, bahkan sampai sekarang, masih memakai pakem murni, yakni hanya mempertunjukkan kesenian kentrung sebagaimana mestinya, tanpa embel-embel yang lain. Seperti yang pernah disampaikan Gimah, “Kutha Blitar ya enek kentrunge, pak Suhar, nanging ceritane niku cerita rakyat humor. Lek nyeritakne niku mung disampar, ndak menjiwai (kota Blitar ya ada kentrungnya, pak Suhar, tapi ceritanya itu cerita rakyat humor, menceritakannya hanya sekenanya, tidak menjiwai; red).” Bagi mbah yang sekarang berusia 64 tahun ini, ketika Kentrung disandingkan dengan kesenian yang mengandung humor atau dolanan, maka tuntunan dan nilai luhur yang ingin disampaikan dalang, hanya mampu sampai separoh jalan. Sukriston mengakui, bahwa di zaman ini, ketika kentrung hanya dimainkan sesuai pakemnya tanpa ada kolaborasi atau inovasi baru, maka terasa sangat monoton. Namun, ia juga mengakui bahwa tidak sembarang genre musik bisa dipadu-padankan dengan kesenian Kentrung. Hal tersebut –sebagaimana yang dikatakan

di awal– akan mengurangi nilai dan tuntunan yang ada dalam setiap lakon kentrung. “Kalau memang kentrung itu sendiri ditampilkan semalam, dari pagi atau sore sampai jam 3 pagi dengan alunan yang demikian tadi, saiki kuping ki yo monoton lo. Koyok krungu pentungan, suwe-suwe yo bengeng ngunu lo. Iku yo kritikan bagi kita. Itu pernah dipadu dengan kerocong. Terus dengan mocopat. Bagus. Lebih hidup.” Peran Budayawan dan Akademisi Keinginan untuk melestarikan kesenian kentrung Tulungagung, tentu tidak hanya harapan satu atau dua orang saja. Bukan hanya harapan dari seorang Gimah atau bibit, juga pecinta kentrung. Di beberapa media online mulai dari blog, website, dan sebagainya, banyak kalangan mulai dari budayawan hingga guru kesenian yang mengungkapkan keprihatinan atas potensi kepunahan Kentrung Tulungagung. Namun realitasnya, kebanyakan kalangan yang mengaku prihatin atas kepunahan Kentrung tersebut, hanya sebatas mengungkapkan keprihatinan mereka. Hampir 10 tahun terakhir, seperti tidak ada tindak lanjut baik dari kalangan budayawan maupun akademisi memberi bukti nyata mengusahakan kelestarian Kentrung. Sebagaimana yang sempat diceritakan oleh Fajar, budayawan sekaligus Ketua Dewan Kesenian Tuungagung: “Aku ya berpikirnya gini lo, sudah 10 atau 15 tahun ini uwong ki ngomongne Kentrung. Tapi ya hanya dibicarakan. Tidak ada tindak lanjut, siapa yang menindak-lanjuti itu tidak ada. Seniman yang lain juga gitu. Seniman-seniman iku ya mung ngusung mbah Gimah rona rene (kesana-kemari; red). Fajar melanjutkan, “Mbah Gimah sendiri sudah jengah ngunu. Seng nulis kuwi wis ndak karu-karuan, sing mendokumentasikan yo ndk karukaruan. Sing menyatakan keprihatinan kuwi yo wis ndiak karu-karuan. Kabeh wong seolah-olah peduli.” Kegeraman Fajar cukup beralasan. Kepedulian dan

39 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


keprihatinan yang diwartakan orang-orang dengan menemui Gimah, kemudian menuliskan berita lewat media online, tidaklah sedikit. Tapi hanya segelintir orang yang benar-benar mau belajar kemudian melestarikannya lewat generasi muda. Sebagaimana yang dilakukan oleh siswa-siswi salah satu SMP di Campurdarat dan juga SMK di Tulungagung, yang mengkolaborasikan kentrung dengan teatrikal, keroncong, dan beberapa kesenian lain. Meskipun nilai spiritual dari pertunjukan itu tertinggal, namun ada apresiasi tersendiri karena telah memberi warna baru pada pelestarian kesenian Kentrung. Bagi Fathoni, kampus sebagai institusi pembelajaran dan pengembangan, telah menyediakan wadah untuk menyalurkan jiwa seni dan melestarikan budaya. Dari golongan mahasiswa yakni dengan mengikuti unit-unit kegiatan mahasiswa, utamanya di bidang kesenian. Dengan kata lain, adalah mahasiswa itu sendiri yang harusnya mampu membuat prototype kesenian Kentrung. Tidak hanya berkutat pada kesenian yang sudah menjamur dan besar seperti Reog Kendang, teater, tari, atau yang lainnya. “Sebenarnya kentrung itu sepanjang yang saya tau, lakon atau ceritanya sebagian besar kan religious, ceritane sunan-sunan. jadi disini kemudian, terakumulasi, kesenian dan dakwah. Lha kenapa mahasiswa yang tidak melestarikan kentrung? Mestinya mahasiswa bikin saja sebagai prototype,” Ungkap Fathoni. Tanggungjawab Dinas Kebudayaan Beberapa orang pengamat budaya seperti Fajar, berharap ada kebijakan dari dinas setempat untuk menanggulangi potensi kepunahan Kentrung Tulungagung. “Semua orang bisa melakukan, mergo sudah ada kebijakan. Misalnya Kentrung kuwi kalau dijadikan khazanah kesenian Tulungagung, dinas terkait kuwi mestine ada

40 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

kebijakan, minimal di kecamatan ada satu alat.” Ujar Fajar. Gimah sendiri menyayangkan ketidakpedulian dan ketidakseriusan pemerintah daerah dalam melestarikan kesenian Kentrung Tulungagung. Mengingat kentrung Gimah pernah mendapat penghargaan langsung dari pemerintah provinsi Jawa Timur dan mengharumkan nama Tulungagung ketika mengikuti festival kentrung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan festival kentrung di Institut Seni Indonesia (ISI). Crew Dimensi kemudian berusaha mencari titik temu dari masalah Kentrung Tulungagung dengan menemui Prayit, selaku ketua bidang kebudayaan Kabupaten Tulungagung. Menurut penuturan Prayit, dinas pendidikan dan kebudayaan telah melakukan sosialisasi dan inventarisasi budaya terhadap kesenian Kentrung. Dinas Kebudayaan juga telah memberikan nomor induk kesenian untuk Kentrung. “Sebenarnya kita sudah mengantisipasi, kita sudah melakukan inventarisasi agar kentrung yang sdah kita miliki ada jejak. Kita hanya memfasilitasi, hampir setiap tahun mbah gimah selalu dapat bantuan. Masalah hidup dan matinya suatu seni itu tergantung dari daya serap dan daya minat masyarakatnya sendiri.” Lagi-lagi minat masyarakat menjadi hal urgen yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah pertujukan kesenian. Dengan tidak menyalahkan adanya modernisasi, masyarakat di era ini memang terlalu banyak disuguhkan dengan kesenian-kesenian dan budaya dari luar Indonesia. Hal tersebut kemudian menimbulkan minat masyarakat terhadap kesenian lokal menurun, sehingga daya serap atas nilai luhur dalam sebuah pertunjukan juga berkurang. Yang terakhir, jadilah sebuah pertunjukan seni terkesan tidak menarik dan membosankan. Kemudian, proses sosialisasi yang dilakukan oleh dinas terkait, nyatanya tidak

diimbangi dengan pemutusan kebijakan atau penyediaan alat sebagaimana yang sempat diharapkan oleh Fajar dan Gimah. Tidak ada sosialisasi lebih lanjut terkait masih adanya Kentrung Tulungagung kepada masyarakat. Sehingga beberapa masyarakat, utamanya yang jauh dari pusat kabupaten tidak mengetahui produk budaya yang dimilikinya. Terlepas dari bagaimana peran para akademisi dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam menyikapi kepunahan Kentrung Tulungagung, menurut Fathoni semua pihak bertanggungjawab dalam urusan pelestarian budaya. Tidak hanya mahasiwa, akademisi, budayawan atau bahkan pemerintah daerah saja, akan tetapi masyarakat sebagai penikmat kesenian pun harus turut serta mengembangkan dan melestarikan kesenian. Tuntunan-tuntunan dan pesan moral dari kentrung utamanya, harus bisa dilestarikan karena mengandung nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan. “Unek-unek kulo nggeh cita-cita kulo, kapan aku duwe jiwo penerus. Senajan gak enek mbah Gimah ki, kentrunge ojo sampek mati, niku cita-cita kulo. Jane pomo ditekati, diniati, bakal dadi kemulyaan. Kesenian niki kesenian paling langka. Gone Kentrung nek jarene warisane nenek moyang biyen, ngilmu kui bareng nyenyel ning ngarepmu. Nek ngadoh-adoho lek ngarap yo mandar ora teko ning ratu jiwone (unek-unek saya ya citacita saya, kapan saya punya jiwa penerus. Meskipun tidak ada mbah Gimah, kentrungnya jangan sampai mati. Itu cita-cita saya. Sebenarnya seumpama ada tekad, diniati, akan menjadi kemuliaan. Kesenian ini kesenian paling langka. Di dalam kentrung kalau katanya warisannya nenek moyang, dulu, ilmu itu sekali datang di depanmu. Sejauh apapun mengerjakannya, justru tidak akan sampai pada palung jiwa; red).” Tutur Gimah. [] /Umami/ Vima/


Suplemen

ANOMALI PENDIDIKAN DALAM PARADIGMA POSITIVISTIK

Nurul Istiqomah *Pemimpin Redaksi periode 2014/2015

Dewasa ini, pendidikan berada pada fase yang memprihatinkan. Pendidikan memang telah mencetak alumnus yang cakap dalam sains dan teknologi melalui pendidikan formal yang ditempuhnya, namun oleh banyak orang, pendidikan justru dijadikan sebagai jalan menuju sebuah hidup yang layak. Gelar dan angka dijadikan sebagai tujuan utama. Dianggap sebuah prestasi yang gemilang ketika seseorang mendapat gelar yang tinggi kemudian menduduki posisi pekerjaan dengan gaji tinggi pula karena pendidikan semacam ini berorientasi penuh pada dunia pekerjaan. Hal ini sedikit banyak merupakan pengaruh paradigma pemikiran positivistik.

satu contohnya, bahwa kuatnya pengaruh positivisme berpengaruh pada cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Adapun metode yang dikembangkan masih terpengaruh oleh paham positivisme seperti objektivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas nilai. Pendidikan dalam positivistik bersifat fabrikasi dan mekanisasi dimana menekankan pada produksi keluaran pendidikan yang sesuai keinginan “pasar kerja”. Dengan terus setia melestarikan budaya semacam ini, akan menghantar Indonesia pada ketidaknormalan yang semakin menumpuk. Berbagai macam anomali dalam dunia pendidikan pun sering kita jumpai.

Positivisme telah menjadi semacam dogma dalam dunia pendidikan. Keberadaannya sangat mempengaruhi pemikiran para praktisi pendidikan. Doktrindoktrinnya telah menancap kuat dan diyakini sebagai jalan yang benar. Bagaimanapun teori ini berusaha untuk ditinggalkan, akar yang telah menancap sulit untuk dipangkas habis.

Pertama, Siswa diperlakukan sebagai robot yang hanya menerima instruksi tanpa diberi kesempatan untuk bertanya “why” karena teori ini hanya menjawab pertanyaan “how”. Hal ini akan membuat siswa menjadi informan ilmu yang hanya mendengar curhatan materi dari guru. Adapun pengaruh dominasi postivisme dalam dunia pendidikan menjadikan proses pengajaran tidak lebih dari “aku” sebagai pengajar dan “kamu” sebagai

Potret pendidikan Indonesia menjadi salah

41 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


yang diajar. Hal ini yang kemudian akan membunuh daya kreativitas. Pendekatan paedagogik sebagai “seni mendidik anak” yang menempatkan siswa dalam posisi “anak-anak” meskipun secara biologis usianya sudah termasuk dalam kategori “dewasa” menjadi pendekatan yang paling banyak digunakan. Konsekuensi logisnya adalah siswa menjadi objek pasif. Merupakan suatu hal yang lumrah ketika dalam perdiskusian masih saja ditemui mahasiswa yang kesulitan mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran sebagai akibat dari sekolah yang masih menggunakan metode pembelajaran satu arah. Kedua, Materi berkutat pada apa yang sudah ada pada masa lampau, pun pemecahan masalah yang terjadi di masa kini berkaca pada masa lampau. Paradigma semacam ini akan mengajak siswa berjalan di tempat, dipaksa puas atas apa yang telah disuapkan oleh guru. Siswa menjadi objek pasif yang mendengar curhatan materi dari guru. Dengan demikian siswa sulit untuk berkembang yang kemudian akan berimbas pula pada mandegnya perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, titik tekan berada pada kematangan intelektualitas dengan mengesampingkan sisi moral, sebagaimana positivistik yang bebas nilai. Baginya, problematika kehidupan bukan tanggung jawab ilmu karena tugas ilmu hanya sebagai pengidentifikasi dan penyelesai masalah. Para praktisi pendidikan lebih berorientasi pada IQ (Intellectual Quotient) ketimbang mementingkan SQ (Spiritual Quotient) dan EQ (Emotional Quotient), sehingga yang tercetak adalah generasi-generasi cakap secara intelektual namun kurang mampu menginterpretasikan ilmunya serta membangun relasi dengan Sang Pencipta dan sesama. Maka tidak heran jika lantas kita jumpai seorang pengacara yang lebih membela si pemilik kuasa, guru yang tidak bergetar hatinya saat melihat anak putus sekolah, dokter yang tidak segera menindak pasien kurang mampu, dan masih banyak kasus lainnya. Ini merupakan akibat dari pendidikan yang yang hanya berorientasi pada ketuntasan pencapaian materi sedangkan program

42 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

pengajaran yang menekankan pada pembentukan kepribadian dirasa kurang. Pendidikan yang mendewasakan akan membantu siswa mampu lebih dewasa dalam membaca keadaan. Ditengah situasi yang menantang ia mampu bertahan dan tidak terperosok dalam kesulitan itu. Keempat, positivisme oleh Auguste Comte mengajarkan bahwa semua kebenaran adalah yang logis, yang dapat terukur. “Terukur” berakhir pada nilai yang berupa angka. Ujian Nasional merupakan salah satu contoh yang menetapkan angka sebagai tolak ukur yang wajib dicapai untuk sebuah ketuntasan. Ini yang kemudian mendorong para aktivis pendidikan (guru dan dosen) berlomba untuk mencetak generasi yang bernilai tinggi tanpa mempedulikan seberapa buruk cara yang ditempuh. Tingkatan ilmu dilihat dari seberapa besar nilai yang ia peroleh. Anggapan bahwa semakin tinggi ilmu semakin tinggi pula nilai jual menjadi sebuah prinsip yang kemudian oleh masyarakat luas dipegang sebagai sebuah kepercayaan. Dalam dunia kerja, masih banyak yang menjadikan nilai sebagai syarat pertama dan utama yang dijadikan pertimbangan. Dalam hal ini siswa dicetak menjadi manusia yang menggunakan ilmunya untuk mendapatkan sebuah posisi dalam pekerjaan. Begitu banyak anomali pendidikan yang terjadi di sekitar kita dan bahkan bisa saja kita masuk mengambil bagian di dalamnya. Jika hal ini dibiarkan berlarutlarut bukan tidak mungkin pendidikan yang selama ini oleh sebagian orang diangggap sebagai sebuah kebajikan justru dapat menjadi ajang penindasan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pula tindakan kita demi meyelamatkan kualitas sumber daya manusia sebagai hasil dari sebuah pendidikan? Untuk melakukan sebuah perubahan maka terlebih dahulu kau harus merubah dirimu sendiri. Itulah kiranya yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Ideologi baru kiranya perlu ditancapkan dalam pemikiran yakni mencintai ilmu lebih dari sekedar gelar dan angka dalam rapor. Dengan demikian, diharapkan akan musnah praktek jual beli ijazah, mencontek, ataupun kejahatan pendidikan lainnya. []


Kiprah

Meneropong Pejuang Perempuan di Kota Pahlawan

Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu KH. Husein Muhammad

Di Surabaya siang itu, panas matahari membakar kulit kami. Kami berada di salah satu gang perumahan yang terletak di jalan Bentul. Perumahan yang terletak tidak jauh dari stasiun wonokromo Surabaya. Siang itu, tak terlihat satu kendaraan pun yang melewati gang itu. Mungkin karena hari itu adalah hari jumat, sehingga orangorang sedang berada di masjid untuk melaksanakan solat jumat. Di kejauhan sana terdengar samarsamar suara khotbah jumat. Kami membuka pintu gerbang besi salah satu rumah di gang tersebut. Rumah yang di dindingnya terdapat sebuah lambang berwarna ungu yang di sampingnya terdapat tulisan Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Timur�. Papan bertuliskan Koalisi Perempuan Indonesia itu telah mengukir namanya di sejarah Indonesia. Di bawah atap rumah itu didiami sejumlah aktivis perempuan yang giat untuk terus menegakkan keadilan bagi perempuan. Mereka menyuarakan keadilan bagi perempuan. Masih lekat diingatakan para pegiat itu, usaha orde baru dalam mendisiplinkan perempuan di rumah melalui PKK. Tak heran, KPI pernah mencatatkan diri sebagai lembaga yang turut menggulingkan rezim otoriter itu.

Meilinda, salah satu divisi advokasi di KPI menuturkan bahwa KPI ialah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak pada isu-isu perempuan dan anak. Ia dengan gaya khasnya menunjukkan kinerja LSM-nya dengan pelbagai lembaga lain. Ia juga sadar bahwa selama ini kiprah perempuan kurang mendapat apresiasi. Sehingga organisasi ini bertujuan untuk menjadi agen perubahan yang membela hak-hak perempuan, menjadi kelompok pendukung sesama perempuan, menjadi kelompok pengkaji, pengusul dan penekan untuk perubahan kebijakan, pemberdaya hak politik perempuan dan menjadi motivator, kelompok dan individu yang peduli pada masalah perempuan. Dalam pelaksanaan program kerjanya KPI bekerjasama dengan pemerintah. Selain itu, KPI Jatim juga berjejaring dengan LBH Surabaya, SCCC (Surabaya Children Crisis Center), Pusat Studi Ham (PUSHAM) Surabaya, dan beberapa LSM lainnya. “kita juga bekerjasama dengan lembagalembaga yang fokus studinya tentang ekonomi, lembaga hukum kita juga bekerjasama�. Ungkap Meilinda. Setiap perempuan Indonesia dapat menjadi anggota Koalisi

43 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Perempuan Indonesia, asalkan tidak tergabung dalam partai politik. KPI membagi model anggota menjadi dua, yaitu: model anggota pertama disebut anggota biasa, keanggotaan ini diperuntukkan bagi perempuan yang berumur 18 tahun ke atas. Sementara yang kedua disebut anggota persiapan, yakni anggota perempuan Indonesia yang berumur antara 15-18 tahun. Secara nasional terdapat 18 kelompok kepentingan. Namun, di Jawa Timur terdapat 13 kelompok kepentingan yaitu: kelompok buruh migran/TKW, kelompok petani, kelompok nelayan, kelompok ibu rumah tangga, kelompok profesional, kelompok pelajar/mahasiswa/ pemuda, kelompok lanjut usia dan jompo, kelompok janda, perempuan kepala rumah tangga dan lajang, kelompok anak perempuan yang marjinal (anak jalanan, anak yang dilacurkan), kelompok perempuan yang dilacurkan (PEDILA), kelompok pekerja rumah tangga (PRT), kelompok pekerja informal dan kelompok miskin kota.

Sedangkan model perekrutannya tidak memberi batas waktu tertentu. Kapan pun bisa mendaftar menjadi anggota. Namun berbeda untuk menjadi staf, KPI akan membuka perekrutan staf berdasarkan kebutuhan tenaga kerja. Jika staf yang dimiliki dirasa kurang maka KPI akan membuka perekrutan anggota. “Kalau untuk staff, karena ini berdasarkan program, jadi harus menunggu program yang membutuhkan tenaga, kalau tenaganya masih cukup ya kita tidak membuka perekrutan”, Jelas Meilinda. KPI Jatim tersebar ke dalam beberapa daerah yaitu Surabaya, Tuban, Banyuwangi, Jombang, Malang, Bojonegoro, Bangkalan, Sumenep, Pacitan, Pasuruan, Blitar, Bondowoso, Jember, Trenggalek, dan Tulungagung. Dalam penyebarannya, terdapat daerah yang disebut “vocal point”. Daerah yang disebut vocal point adalah daerah-daerah yang belum memenuhi kriteria sebagai cabang dari Koalisi Perempuan Indonesia. Syarat yang mesti dipenuhi harus memiliki tiga balai perempuan dan masing-masing balai terdiri 30 orang. Bisa dibilang, vocal point ialah tahap awal menuju cabang kota. Segmentasi dan Gerakan KPI Betapapun KPI mendasarkan pada kelompok perempuan, namun ia juga memberi segmen tertentu dalam pengambilan isu yang diperjuangkan. Untuk mengambil isu-isu tertentu, KPI mempunyai

44 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

kebijakan yang diberi nama “kelompok kepentingan”. Kelompok kepentingan dibedakan dalam isu dan jenis pekerjaan. Secara nasional terdapat 18 kelompok kepentingan. Namun, di Jawa Timur terdapat 13 kelompok kepentingan yaitu: kelompok buruh migran/TKW, kelompok petani, kelompok nelayan, kelompok ibu rumah tangga, kelompok profesional, kelompok pelajar/mahasiswa/ pemuda, kelompok lanjut usia dan jompo, kelompok janda, perempuan kepala rumah tangga dan lajang, kelompok anak perempuan yang marjinal (anak jalanan, anak yang dilacurkan), kelompok perempuan yang dilacurkan (PEDILA), kelompok pekerja rumah tangga (PRT), kelompok pekerja informal dan kelompok miskin kota. Salah santuk bentuk menguatkan kapasitas dan peranan perempuan, KPI sering mengadakan sosialisasi, pelatihan dan dialog publik. Sosialisasi yang sering dilaksanakan oleh KPI ialah kesehatan reproduksi, jaminan kesehatan nasional dan pencegahan perdagangan anak. Sementara pelatihan yang dilaksanakan bertajuk kesetaran dan keadilan gender, pelatihan advokasi dan masih banyak lagi. Untuk dialog publik sendiri, untuk mendiskusikan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perempuan. KPI dengan begitu terus memantau kebijakan pemerintah yang punya keterkaitan dengan perempuan. selama tahun 2016 KPI menerima laporan sekitar 12 kasus yang dialami perempuan. Misalnya, kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hak asuh anak dan kasus pemerkosaan. Laporan yang diperoleh melalui pengaduan dan penemuan dilapangan. “Kita ada dua sistem, yang satu kita menerima pengaduan, yang kedua kita juga on trip istilahnya kita terjun ke lapangan kita punya relawan khusus


Berdasarkan data yang didapat dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dipublikasikan oleh tirto.id dari 2011 hingga 2015 kekerasan terhadap perempuan selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2011 tercatat 119.000 kasus, tahun 2012 sebanyak 216.000 kasus, tahun 2013 sebanyak 273.000 kasus, tahun 2014 sebanyak 293.000 kasus, dan pada tahun 2015 sebanyak 321.000 kasus.

Meilinda, anggota divisi akvokasi KPI

di masing-masing wilayah itu untuk terjun ke lapangan minimal 4 kali dalam seminggu untuk mendapatkan update informasi kondisi lapangan bagaimana.�Tutur divisi advokasi KPI wilayah Jawa Timur. KPI sendiri dalam praktik pendampingannya sebagai katalisator bagi instansi pemerintahan. Secara tidak langsung, gerakan-gerakan KPI turut membantu pemerintah dan memberi pemahaman terhadap masyarakat. Meilinda kembali menjelaskan, bahwa “kita bukan lembaga penanganan, jadi kita tidak memiliki fasilitas seperti dokter, seperti pengacara, tapi kita membantu merujuk, karena kebanyakan masyarakat masih minim pengetahuan mengenai instansiinstansi yang dapat memberikan penanganan.� KDRT menjadi kasus yang sering didampingi oleh KPI. Hemat Meilinda, KDRT ialah wujud mengakarnya budaya patriarki. Faktor ekonomi juga turut mempengaruhi kekerasan tersebut. Perempuan merupakan kelompok rentan atas tindak kekerasan. Bahkan selama beraba-abad, perempuan

mengalami penindasan yang paling purba diantara penindasan yang lain (Mansur Faqih:1995). Ia selalu didudukkan pada posisi subordinat di dalam masyarakat patriarkis. Perempuan di Indonesia pada gilirannya terus terancam mendapat kekerasan setiap harinya. Berdasarkan data yang didapat dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dipublikasikan oleh tirto.id dari 2011 hingga 2015 kekerasan terhadap perempuan selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2011 tercatat 119.000 kasus, tahun 2012 sebanyak 216.000 kasus, tahun 2013 sebanyak 273.000 kasus, tahun 2014 sebanyak 293.000 kasus, dan pada tahun 2015 sebanyak 321.000 kasus. Gerakan yang dipelopori oleh KPI ini terselenggara untuk menumpas kekerasan terhadap perempuan. KPI menyadari bahwa budaya patriarki harus dilawan dengan pelbagai Lembaga seperti LSM dan instansi pemerintah. Keberadaannya turut memutus satu persatu mata rantai ketidakadilan bagi perempuan di Indonesia. [] / Tatik/Nah/

45 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Susastra

PEREMPUAN DAN SASTRA Oleh: Misana

Islam. Dari sinilah dijadikan awal organisasi-organisasi perempuan memprotes praktik-praktik tersebut.

Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia Jika menengok sejarah gerakan perempuan di Indonesia, tidak akan lepas dari perjuangan kaum perempuan untuk keluar dari berbagai bentuk penindasan. Beberapa gerakan dan organisasiorganisasi perempuan banyak ikut andil dalam pengentasan derajat perempuan. Dalam bukunya Eman Hermawan mulai dari awal abad ke20, meluasnya Islam justru menjadi titik awal praktik-praktik organisasi yang mulai kritis terhadap perempuan. Salah satunya adalah kebebasan seksual yang waktu itu menjadi permasalahan awal. Perempuan di Indonesia menanggung penderitaan dari hubungan-hubungan seksual yang tidak sederajat. Kebebasan seksual dari kaum laki-laki seperti perceraian sepihak, poligami, pergundikan dan perkawinan terhadap anak-anak perempuan yang mendapat pembenaran baik dari hukum adat maupun hukum

46 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

Sesudah Kartini sosok pejuang penting yang melawan Feodalisme dan penindasan kolonial belanda. Beserta yang diungkapkan dalam buku dan surat-suratnya bahwa perempuan memerlukan kesamaan kesempatan dengan laki-laki ternyata telah memberikan inspirasi penting bagi generasi dari berbagai periode mulai dari organisasi pertama yaitu Putri Madika yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912. Kemudian disusul organisasiorganisasi gerakan perempuan dan sosial lainnya di berbagai daerah. Sejumlah organisasiorganisasi juga menuntut agar kesamaan hak perempuan dan lakilaki dicantumkan dalam konstitusi Republik. Agar semua warga Negara mempunyai hak atas pekerjaan, agar UUD perburuhan melindungi buruh perempuan, juga UUD perkawinan disusun sesuai aturan berbagai Negara. Seperti yang dirumuskan Kongres Wanita Indonesia atau yang disebut Kowani. KOWANI adalah salah satu dari organisasi perempuan yang mendukung revolusi nasional. Ada tiga butir

masalah yang ingin diwujudkan kowani sesudah tercapainya kemerdekaan nasional sepenuhnya yaitu komisi perundang-undangan untuk mempelajari masalah hukum warisan dan perkawinan, komisi perburuhan perempuan, dan komisi kesehatan masyarakat. Namun peranan perempuan dalam sejumlah organisasi kebangsaan umumnya dipandang remeh oleh rekan lakilaki mereka. Terkecuali sukarno. Sementara gerakan perempuan pasca kolonial terhadap penekanan kesamaan perempuan dan laki-laki pun juga masih lemah. Meskipun menurut Eman Hermawan kemerdekaan nasional memberi hakhak politik dan hukum tertentu pada perempuan Indonesia, tetapi tidak menghapuskan struktur patriarki, “mentalitas bapak�. Dimana disini saya katakan meskipun gerakangerakan perempuan pasca kolonial sudah merata, namun kepentingankepentingan mereka disini tidak lain hanyalah sebagai perluasan soal-soal kerumahtanggaan saja. Yakni pemberantasan buta huruf, kesusilaan masyarakat dan semacamnya. Meskipun begitu dewasa ini perempuan masih memiliki persoalan serius dalam hal keadilan dan kemerdekaan dalam menentukan sikap serta hak-hak penghormatan atas kemanusiaannya. Perempuan dan Kapitalisme


Sejak zaman feodalisme sampai pada era modernisasi ini perempuan adalah bentuk penindasan yang tak berujung. Dulu kerajaan dan adatlah yang menekan kaum perempuan sebagai rakyat lemah dan tidak berdaya. Sementara di era globalisasi ini kehidupan sosial-ekonomi dan kapitalis lah yang menekankan semakin turunnya derajat perempuan. Sekarang ini, perempuan sangat mudah menjadi sasaran eksploitasi industri kapitalis. Perempuan utamanya remaja adalah mayoritas populasi Indonesia yang sangat mudah menjadi target pasar. Maka dari itu segala bentuk ideologi kapitalis diarahkan secara terstruktur untuk menjadikan perempuan sebagai konsumen, baik material maupun gaya hidup. Memang ranah kesenian tak ubahnya menempatkan perempuan sebagai sasaran untuk memaksimalkan keuntungan. Menurut Nurani seni hedonis yang berpilar pada logika pasar mendapatkan banyak dukungan dari kaum perempuan yang bekerja pada sektor entertainment (model, artis, dan lain-lain). Dan estetika yang dimunculkan pun bukannya meningkatkan kepekaan terhadap kemanusiaan yang sebenarnya kita butuhkan. Namun semakin menguak luka-luka sejarah ketertindasan perempuan Indonesia. Dalam hal yang sama tanpa kita sadari perempuan juga erat kaitannya dengan segala bentuk kepelacuran (saya katakan kepelacuran disini adalah bentuk ketertindasan yang dapat mereka rasakan secara sengaja maupun tidak sengaja). Pelacur bukanlah

mereka yang menjual tubuh-tubuh mereka kepada lelaki hidung belang. Pelacur bukan saja yang identik dengan payudara dan vagina. Namun, tangan, kaki, rambut, dan segala bentuk lekuk tubuh perempuan yang dapat menghasilkan uang adalah bentuk kepelacuran terpandang yang tidak lepas dari penindasan. Dan inilah area kapitalis untuk memanfaatkannya. Hampir semua iklan di dunia pertelevisian menyuguhkan pemandangan dari sosok perempuan. Perempuan juga menjadi ajang yang luar biasa menarik produk perfilm an. Banyak kita dapati disetiap film masih perempuanlah yang dijadikan oleh para penikmat sebagai pemandangan yang menarik dan menggiyurkan. Bahkan hampir semua perempuan di dunia perfilm an sebagai penyambung nafsu birahi. Bagaimana tidak, ratusan film berbau horror misalnya, sekarang ini maksimal hanya 10 % saja pesan yang dapat diserap. Selebihnya perempuanlah yang mendominasi film dengan segala aksi ketidak karukaruannya. Namun perempuan seperti halnya artis-selebritis yang merangsang potensi pasar dan mendapatkan gaji yang layak bisa saya katakan perempuan yang masih diuntungkan, dari pada mayoritas kaum perempuan lainnya yang masih banyak tertindas secara cuma-cuma di berbagai ruang. Perempuan dan Peran Sastra di Masyarakat Kondisi lingkungan sosial erat kaitannya dengan motivasi seseorang. Begitu juga dengan peminat dan pekerja seni. Mungkin di seminar-seminar, diskusidiskusi seakan mampu menerapkan taktik demi tercapainya masyarakat berkesenian dan berkesusastraan. Namun banyak tantangan yang menyebabkan mereka kurang mencintai seni dan sastra. Padahal kebutuhan

47 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


repro internet

estetik dalam diri manusia sangatlah penting. Ya, jika kita sadar, karyakarya seni masyarakat saat ini sedang tidak berjalan sebagai mana kita tengok pada zaman orde baru. Waktu itu seniman dan sastrawan lebih bersuara dan aktif dalam pemihakan terhadap demokrasi dan keadilan. Karya-karyanya berpengaruh besar bagi masyarakat. Utamanya kesadaran yang terus meningkat terhadap penindasan yang dilakukan oleh soeharto beserta para wakil rakyat. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Harry Roesly, Iwan Fals dan seniman-seniman lainnya. Sajaksajak rendra misalnya, menggugat ketidak adilan, kesewenangwenangan, ketimpangan, bahkan mengkritik seniman yang hanya bicara tentang keindahan namun buta terhadap keadaan sekitar. Disusul Pramoedya Ananta Toer, kemudian Widji Tukul yang telah diculik oleh rezim dan belum ditemukan keberadaannya hingga saat ini. Karena sajak-sajaknya pada waktu itu membuat semakin banyak rakyat menggugat kondisi sosial. Serta syairsyair iwan fals yang masih dapat dinikmati oleh masyarakat hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk merangsang kebutuhan estetika di kalangan masyarakat justru lebih cepat dan meluas jika para seniman dan satrawan mempelopori komitmen sosial yang kuat dan utamanya berpihak kepada hati rakyat. Meskipun masih banyak tantangan dan kelemahan di setiap perkembangannya, mereka bahkan lebih baik dari pada seniman yang hanya bermodalkan tubuh dan tampang semata. Jika bicara mengenai tantangan tersumbatnya karya-karya bangsa kita, sebenarnya budaya pasar bebas lah yang mendominasi

48 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

dampak mundurnya kreativitas sastrawan dan seniman saat ini menjadi tak bersuara. Jelas saat ini manusia lebih banyak bermainmain dan dipermainkan oleh gaya hidup modern. Tak heran jika saat ini berbagai potensi seni manusia dan peran watak sosialnya hampir samar-samar. Mereka enggan bersinggungan dengan dunia politik dibandingkan dengan kesenian yang dianggapnya lebih berpotensi mentenarkan diri mereka secara aman dan menyuguhkan kesenangan. Begitu juga dengan perempuan, jika bicara tentang perempuan adalah hal rumit dan masih banyak yang harus dipertegas. Utamanya dari keberadaan perempuan sebagai sosok tertindas. Seperti yang banyak saya ungkapkan di atas bahwa seniman di dunia pertelevisian pun tanpa disadari mayoritas adalah sosok perempuan dalam berbagai bentuk penindasan. Meskipun bentuk penindasannya dapat saya katakan lebih terpandang dan terhormat. Iklan shampo, sabun, lotion, dan masih banyak lagi iklan yang memanfaatkan tampang dan tubuh perempuan sebagai tempat terdangkal untuk memasarkan produk-produknya. Begitu halnya dengan dunia perfilm an dan semacamnya. Lalu jika para kaum laki-laki seperti Pram, Iwan Fals, Rendra, dan sebagainya saja mampu


mendobrak ranah sosial bahkan mampu memberikan pengaruh besar dengan karya-karyanya. Lalu dimana seniman dan sastrawan perempuan saat ini? Padahal dalam hal kondisi sosial politik saat ini pun tidak lebih baik dari pada zaman orde baru. Apalagi jika berbicara mengenai perempuan adalah menyangkut penindasan yang lebih dari sekedar menguak luka masyarakat. Sebenarnya apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan mampu menjadi bahan karya mereka. Dengan melihat, merasakan dan berpikir tidak menutup kemungkinan mereka akan lebih dalam belajar tentang realitas sosial. Cukup berkaca pada sastrawan dan seniman masa lalu dengan menyuguhkan karyakarya yang luar biasa bermanfaat akan lebih baik dibandingkan banyak bicara tapi tak menghasilkan apa-apa. Akan lebih baik pula dibandingkan balutan make up tebal serta paha tanpa penutup untuk dihidangkan kepada masyarakat. Menurut George Luckacs dalam bukunya Nurani, seniman dan sastrawan terbesar adalah mereka yang menangkap kembali dan mencipta ulang keseluruhan harmoni kehidupan manusia. Jika hampir mayoritas perempuan bergelut dalam kesenian mengeksplorasi tubuh-tubuh mereka, sebenarnya akhir-akhir ini ada segelintir artis-selebritis yang sekaligus menghasilkan karya sastra sebagai pendobrak kebudayaan lama. Mereka turut membuka kebekuan paham lama dengan melanjutkan upaya yang dirintis oleh Kartini. Siapa yang tak kenal Dewi “Dee� Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Jenar Maesa Ayu, serta Ayu Utami. Karya-karya mereka turut mendampingi gerakan sosial untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Dan dari sini seharusnya dapat dijadikan motivasi kepada perempuan-perempuan yang sadar kaum dan penindasan.

gender pun terjadi. Sebenarnya apabila mau menengok sejarah kebangsaan kita, sebutan perang pena dan perang sastra adalah serangan terhadap feodalisme dan kapitalisme-kolonialisme sebelum muncul berbagai gerakan kebangkitan. Dari sini muncullah nama besar R.A. Kartini, beliau adalah sosok yang begitu mencintai tulis-menulis, surat-menyurat, untuk membongkar selubung ideologis kebangsawanan yang menindas kaum perempuan. Begitu halnya saat ini, perjuangan perempuan menuntut keadilan dan kesetaraan seharusnya dapat masuk dalam karya sastra. Dari karya satra akan memiliki pengaruh besar bagi masyarakat, menegaskan komitmen sosial yang kuat dan berpihak secara tegas kepada suara-suara rakyat. Dengan karya satra pula kita dapat menguak ideologi yang berbasis kapitalisme, menyuarakan ketidak adilan, penindasan serta menggagas ide-ide baru yang lebih maju. Merangsang Sastra dengan

Potensi Organisasi

Jika bicara organisasi, di atas sudah saya singgung bagaimana perempuan-perempuan di eranya berjuang mendirikan organisasi dan memanfaatkannya sebagai ajang memperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh keadilan. Namun jika melihat berbagai tantangan demi tantangan yang ada pada saat ini, khususnya untuk berkarya pasti tidak lepas dari dampak modernisasi. Seperti yang kerapa saya katakan di atas bahwa budaya modern lah yang telah menyerap potensi manusia kedalam budaya barunya.

Perempuan memang merupakan obyek menarik dalam berbagai hal. Jika kita lihat masih sangat sedikit perempuan-perempuan yang berkecimpung di bidang sastra dari pada laki-laki. Tak heran jika kemampuan Memang era modernisasi ini perempuan masih banyak dipertanyakan. di samping menjanjikan kenikmatan Tak heran pula jika cara pandang bias juga mengandung ancaman

kerusakan bagi masyarakat. Bagaimana tidak, ketika mereka dihadapkan pada area yang berlembagakan ekonomi modern, gaya hidup modern, banyak kelompok masyarakat mengalami proses kotanisasi. Menurut Abdul Aziz proses semacam ini biasanya mendorong masyarakat setempat secara berangsur-angsur mengalami deferensiasi kerja dan peran yang menempatkan struktur masyarakat terpilah-pilah sesuai peran serta fungsi barunya. Namun permasalahannya disini ialah proses modernisasi yang diyakini bakal menyediakan kemakmuran ternyata harus dibayar mahal dengan kesengsaraan sebagian anggota masyarakat itu sendiri. Inilah yang menjadi bagian dari tantangan perkembangan seni dan sastra. “Yang susah semakin susah, yang senang semakin tak punya arah� dan mungkin kata inilah yang pantas saya katakan jika mengintip tatanan ekonomi sosial, dimana hal semacam ini semakin menghambat potensi dan karakter manusia Indonesia untuk maju. Masyarakat yang merasa lebih beruntung, lebih senang, lebih mengagumi era modernisasi ini semakin terbuai dengan keindahan budaya dan gaya hidupnya. Hingga kesadaran akan kontradiksi sosial dalam masyarakat seakan kabur, dan tak tampak dalam pengamatan mereka. Sementara masyarakat yang merasa dirugikan di era modernisasi ini enggan bicara

49 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


tentang estetika. Dimana kita sadari bahwa bagian dari penyebab kurangnya peran seni dan sastra dalam masyarakat adalah kondisi kebutuhan dasar masyarakat yang belum terpenuhi. Mayoritas orang akan berangkat menuju kebutuhan estetik saat kebutuhan pokok terpenuhi. Meskipun pada kenyataannya kebutuhan akan seni sangatlah penting di sela-sela kebutuhan lainnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat yang sama pula orang akan berani berangkat ketika ada alat yang dapat menjangkaunya. Katakanlah mahasiswa, dan katakanlah saya, satu tahun yang lalu saya enggan bersinggungan dengan dunia aktivis. Karena bagi saya itu akan semakin mempersulit perkuliahan saya dengan membagi waktu yang saya kira tidak akan banyak memberikan manfaat. Sementara saya bukanlah orang yang mempunyai keistimewaan. Maksud saya, saya tidak pandai membagi waktu dan menyerap ilmu. Bagi saya, orang awam seperti halnya saya akan berpikir berkali-kali sebelum terjun ke dunia mereka. Mungkin tidak hanya saya saja, seseorang yang sudah terbiasa bergelut di ranah akademis misalnya, akan sulit menerima dunia mereka sebagai bagian

dari dunianya. Dan ini pun atas pertimbangan beberapa faktor. Dengan membawa berbagai faktor, sebagian mahasiswa akan berpikir untuk memprioritaskan perkuliahan murni, karena mereka beranggapan nilai merupakan tuntutan yang mendasar atau tuntutan pokok, dibandingkan harus bersinggungan dengan dunia yang dirasa bukan tujuan mereka ke depan. Padahal saat ia hanya berkecimpung dalam satu ruangan, ia harus kembali beradaptasi dari titik nol ketika ia harus dihadapkan pada situasi dan kondisi panas lapangan. Bahkan ia tidak akan mengerti ruangan seperti apa yang akan ia masuki untuk berteduh setelah berpanas-panasan di lapangan. Bersama siapa ia di suatu ruangan itu, dan ia harus kembali beradaptasi dan terus beradaptasi di berbagai ruangan. Artinya, belajar membudi dan mendayakan diri kita di ruangan lain, ruang yang lebih terbuka, berventilasi, bisa menghirup berbagai udara yang masuk akan lebih baik dari pada hanya berkecimpung dalam ruangan sejuk ber AC namun tertutup. Berorganisasi adalah cara-cara kecil orang menghadapi alam dalam upayanya merengkuh perkembangan hidupnya. Karena organisasi adalah alat untuk beradaptasi, alat untuk melihat, alat untuk merasakan, dan alat untuk menghasilkan. Tidak hanya organisasi dalam, namun juga masih banyak organisasi luar untuk meningkatkan partisipasi aktif dan intelektualitas. Sama halnya dengan budaya menulis di masyarakat. Sebut saja saya, saya tidak akan mengenal budaya menulis, bahkan sebelumnya saya engggan untuk mengenal

50 | DIMeNSI 37 | Desember 2016

dunia luar. Namun saat saya mencoba bergaul dengan lingkungan organisasi di kampus saya, saya harus memaksakan diri untuk menulis, dan sebelum menulis, saya harus mengakrabkan diri dengan lingkungan sosial. Sama halnya juga dengan sastra. Tokoh-tokoh sastrawan dan seniman yang saya sebutkan di atas mampu menghasilkan karya-karya yang luar biasa berpengaruh dalam masyarakat karena mereka mau mengamati, mau merasakan, dan mau menulis. Menulis adalah memproduksi. Membiasakan diri kuat menghadapi kontradiksi sosial dan alam. Sementara tulisan adalah alat tercanggih untuk menghadapi kontradiksi. Mengubah sejarah dan mengendalikan kondisi sesuai dengan hati. Namun, perlu diingat, menulis tidak hanya sekedar menorehkan kata-kata. Dan saya sadar tulisan tidak akan merubah, tulisan tidak akan berarti apa-apa jika tanpa pesan di dalamnya. Demikian halnya dengan seniman, sastrawan dan karya-karyanya. Sajak demi sajak, syair demi syair, hanya mampu bicara tentang kebohongan dan melanggengkan penindasan jika bicara keindahan semata tanpa kritis terhadap realitas yang ada. Dengan berbasis pada sastrawansastrawan yang menegaskan komitmen sosial, menguak luka masyarakat, mengontrol kebijakan politik adalah motivasi untuk kaum perempuan. Motivasi untuk berkarya, motivasi untuk memerdekakan jiwa-jiwa yang telah lama berada di balik telapak punggung laki-laki, jiwa-jiwa yang terpasung area kapitalis. Selama ada alat untuk menjangkau dan membawa kaum perempuan untuk bersuara dan berkaya itu bukan hal yang sulit. Dan saya rasa di sela-sela tulisan ini organisasi merupakan salah satu tempat yang mampu mendorong komunitas untuk berkarya. Tempat pembelajaran menyuarakan hak-hak mereka melalui tulisan. Utamanya perempuan yang ingin mencerahkan diri dengan sastra. Namun, organisasi disini bukan sekedar organisasi, memilih organisasi sama halnya dengan memilih tempat berjalan dan suatu saat akan membawa kemana jalan tersebut. Yang terpenting pilihlah organisasi yang mampu menjadi ajang belajar bersuara dan berkarya. Karena kita bukanlah siapa-siapa tanpa karya.[]


Susastra

Kecoak Bunting kendaraan atau harta apapun. Sekedar makanan. Ayolah ini adalah kebutuhan pokok semua makhluk hidup.

A

ku adalah serangga, kecoak, coro, dan beberapa istilah lain yang bermakna Aku. Berkulit coklat kehitaman, bersungut panjang, sayap di punggungku lurus, dan kadang bisa terbang. Rumahku adalah rumah , kotor, bau dan sungguh menjijikan. Maksudku bukan kantor Wakilmu Rakyat Indonesia, maksudku seperti kakus. Aku ingin menulis cerita, syukur-syukur terbaca oleh manusia. Aku kelaparan. Jangankan mengenal Aku, mendengar namaku saja mengapa sudah berkonotasi jelek, jorok, sampai penyebab penyakit kulit? Kami sebenarnya tidak ingin berjumpa denganmu, Manusia. Aku takut terinjak dengan kakimu yang aduhai sempurna itu. Makanan yang aku cari, bukan hinaanmu. Kau sendiri pasti butuh makan. Bukan sesuatu yang mewah kan? Bukan

Di kamar mandi, muat untuk dua ratus serangga sebangsaku tanpa berdesakan, cukup luas. Aku tinggal. Di bawah bathub tepatnya. Berbeda dengan makhluk sebangsaku lainnya, Aku mencari makan, bahkan buang kotoran selalu bersama kawanku, sesama kecoak. Sama-sama jorok, sama-sama menjijikan. Setidaknya itu yang berada di pikiran manusia. Namaku Kacov, kecoak betina yang perkasa. Sudah sejak dahulu sebelum Kartini lahir. Semasa buyutnya buyutku hidup, bangsa kami sudah mengenal kesetaraan gender. Tidak ada patriarki atau diskriminasi bentuk apapun kepada betina. Kadang Aku berpikir, spesies homo sapien harus belajar dari bangsaku, Kecoak. Kawanku seekor jantan, Corov namanya. Memiliki bentuk dan bagian tubuh mirip denganku. Hanya kelamin dan Corov lebih kecil, tak buncit dan berisi. Kemarin kami jalanjalan, cukup jauh, keluar kamar mandi sampai keluar pintu depan. Waktu itu tak sekedar mencari makan. Kami lihat sekeliling, wah.. Aku benar-benar yakin pemilik rumah ini, yang kakinya aduhai mulus itu pastilah orang berada. Rumahnya bersih, keramik disana sini. Penyokong rumah yang sebesar tiga pohon kelapa itupun dari marmer. Kami bukannya tak suka berada di tempat se-megah ini, hanya saja tau diri. Tiba-tiba Corov berkata padaku “Apakah engkau aduhai sesama bangsaku, kecoak, mencintai kebenaran seperti Multatuli?” kau dengan

“Apakah tak terlalu sombong, Corov, membandingkanku spesies dewa itu?”

“…” Dia tak berkata, hanya sungutnya goyang kekanan dan kiri. Aku tau menyakiti perasaan Corov, kecoak tak lebih buncit dariku itu. “Atau engkau mengikuti humanisme Soe hok gie?” “

B

u

a

t

51 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


apa?

Kita

bukan

manusia,

ayolah

Corov.”

Corov tak pernah mengeluh. Dia kecoak yang aktif berlarian kesana kemari. Memang semua kecoak adalah pekerja keras. Setidak-tidaknya tak hanya diam jadi pengangguran. Apalagi mengemis. Oleh sebab itu bangsa kami tidak membutuhkan Satpol PP, tak ada aparat penegak hukum pula, bisa engkau banyangkan, manusia? Seberapa damainya kehidupan kecoak? Yakin kau manusia, tidak ingin menjadi Kecoak? Seharian kami berkeliling, adalah waktu lama jika mengingat hidup kami yang

yang cukup tak panjang.

“Engkau sudah mendengar? Si Rocov mati tadi sore. Tergencet sapu dapur karena penasaran dengan apa yang dilakukan manusia. Naasnya sebelum mati, Ia sempat di teriaki, dimaki, dikutuk-kutuk.” “Innalillahi…….” Kemarin kami berkeliling, kemarinya lagi kami juga berkeliling, besok dan lusa kita akan berkeliling, mencari makan. Menuju kesempurnaan, mati. Aku kadang bingung kepada manusia yang mengeluh hidupnya membosankan. Setidak-tidaknya Aku dan Corov tak pernah bosan dengan sesuatu yang begitu monoton itu. Engkau sebenarnya dianugerahi atau diuji dengan akal kalian itu? Sedikit dan sangat jarang sadar. Sadar yang kami anggap kesadaran adalah penting. Ayolah, kalian ber-Tuhan, bukan ateis. Atau se-ateis apapun seperti kata corov, kalian pastilah memiliki sesuatu yang lebih berkuasa dari diri kalian. Itu Tuhan kalian. Hari ini adalah pemakaman Rocov, kecoak naas yang tergencet sapu dapur pemiik rumah yang kakinya aduhai itu. Jelas-jelas jasad Rocov naas itu sudah tak berada di tempat hancurnya. Sudah pasti terbuang, ke tempat sampah, atau ke dalam WC, atau tersapu oleh sapu dapur yang sempat membunuhnya. Tidak ada paksaan menghadiri pemakamannya, semua bangsa kecoak sadar, mereka satu persatu datang ke tempat matinya Rocov. Mengenang sebentar, kemudian melupakan. Rocov sudah berada pada tingkat kesempurnaan itu. Aku datang bersama Corov, saat ini juga Aku lihat Corov tak seaktif dan selincah biasanya, hanya saat sesama bangsanya mati. Kita semua seperti itu. Perutku semakin buncit saja, entah anak Corov atau anak Rocov naas itu. Entah anak siapa. Tak ada peraturan engkau harus tidur bersama siapa, kami adalah binatang. Sebentar lagi Aku

52 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


menjadi induk, memperpanjang keturunan dan berkembang biak. Sebentar lagi mungkin saja Aku akan hancur tergencet pula, mungkin bukan dengan sapu. Syukur-syukur terinjak kaki pemilik rumah yang aduhai mulus itu. Malam ini Aku dan Corov berkeliling, sampai ke lantai dua, terus naik hingga ke atas atap. Kulihat tak ada bintang, sama sekali. “Kita harus kembali ke bawah bathub Aku mau bertelur” Tanpa mendengar pintaku lagi, Corov sudah mengajak turun. Beberapa waktu kemudian Aku bertelur, melihatnya sejenak. “Ini akan menjadi kecoak hebat, setidak-tidaknya kalau mau mati, jangan mati karena dihina, dikutuk-kutuk seperti Corov, jangan jadi kecoak naas.” Bisikku pada belasan bundaran mirip kotoran berlendir di depanku. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, rasa yang tak bisa dijelaskan. Tetap di bawah tempat mandi raksasa itu Corov menemaniku. Kupandangi Corov. “Corov, bangsaku, temanku, kekasihku. Sekarang Aku tak akan malu dibandingkan dengan manusia. Spesies homo sapien itu!” “Kenapa engkau tiba-tiba?” “Lihatlah, kau tak akan tau rasanya, kau tak akan menjadi induk” Kulihati Corov, dia hanya melihat-lihat telur-telurku yang berbentuk abstrak, masih tersisa sedikit lendir disitu. manusia”.

“Ayolah Corov, kita memilik sesuatu yang sama, yang bisa dibandingkan dengan

Raut muka Corov bertanya-tanya. “Manusia menyebutnya cinta, kasih sayang” Perasaan itu kurasai juga, setidaknya Aku tak akan melihat anakku mati, dan harus datang ke tempat matinya. Aku pastilah mati duluan.

SELAMAT BERPROSES BAGI TEMAN-TEMAN PJTD ANGKATAN 2016. SEMOGA KALIAN BISA TEGUH DENGAN TUJUAN KALIAN, KONSISTEN DENGAN PILIHAN KALIAN, DAN KOMITMEN BELAJAR BERSAMA DI DIMeNSI. SELAMAT BELAJAR 53 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


54 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


55 | DIMeNSI 37 | Desember 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.