MAJALAH EDISI 44 LPM DIMeNSI IAIN TULUNGAGUNG (LAPIS KEMAS DISABILITAS)

Page 1

E DI S I XL I VJ UL I 2 0 2 0

E DI S I XL I I I NOVE MBE R2019

Kewenanganpemer i nt ahdal am membuatr egul asit er kai t di sabi l i t as,sekal i gusdi j adi kan al atunt ukmembangun kesadar anmasyar akat . Ket er bat asandi pandang sebagaikeni scayaanyang har usdi makl umi .Sel amai ni i nf r ar ukt urdanaksesi bi l i t as yangadadimasyar akat di bangundandi bent ukt anpa memper hi t ungkankebut uhan penyandangdi sabi l i t as.



SALAM PERSMA! Diterbitkan Oleh: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMëNSI IAIN Tulungagung Pelindung Rektor IAIN Tulungagung (Prof. Dr. H. Maftukhin, M.Ag) Penasehat Wakil Rektor III (Dr. Abad Badruzzaman, Lc., M.Ag) Pimpinan Umum Hendrick Nur Cholis Sekretaris Umum Qurotul Aini Bendahara Umum Aprilia Trianingsih Pemimpin Redaksi Nifa K. Fahmi Divisi Pelaksana Online Rifqi Ihza F., Irfanda Eka A., M. Yusuf Bachtiar Divisi Litbank Muhammad F. Rohman, Helin Kusuma W., Hamim Musthofa, Titan N. S., Niam K. Asna, Siti N. Halimah, Kharisma A. Divisi Pengembangan SDM Irsyad Umam M. Minkhatul Choiriyah, Miftakhul Ulum A., Umi Ulfatus S., Dita N., Maratus S., Syafiatus Zahro, Natasya Pasha D., Indah Fiqrotun M. Divisi Jaringan Kerja M. Khozin, Roro A. N. Fitaloka, Syamsul Maarif, Aris Wahyudin Divisi Perusahaan Sholahudin N. A., Silfi Roihanah, Nur Azizah, Yunita S., Nur Laila M. S., Nisfaturrohmah, Arum Prabawati, Firdaus P. I. E. Nurin Aini F. Bayu Setiawan, Shintya A. N. A., Siti Sa’diyah Layouter Rifqi Ihza F. Desain Grafis Irfanda Andy E. A., Irsyad Umam M. Fotografer M. Khozin, Maratus S. Reporter Amel, Laila, Nurul, Bayu, Bayu P., Eli, Farida, Ferdian, Ferdina, Fitria, Fiska, Alifiya, Lukman, Ozi, Dina, Tyas, Magta, Nila, Uswa, Warid, Mifta, Ardi, Maslinda, Natul, Nicolas, Zuhri, Rekha, Amin, Syahwa, Gilang, Ria, Ilham, dan Riska. Alamat Redaksi Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung, kode pos 66221 email/website: lpmdimensita@gmail.com/dimensipers.com

P

uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya penggarapan majalah Dimёnsi edisi XLIV. Setelah terlampauinya proses panjang penggarapan, mulai dari pembacaan isu mula dari pelbagai kanal media (prasidang tema), sampai dengan gelaran sidang tema, akhirnya ditetapkan tema majalah XLIV yang mengangkat isu disabilitas. Penggarapan majalah kali ini merupakan pengalaman baru bagi Kru Dimёnsi, sebab proses reportase yang dituntaskan di tengah pandemi Covid-19. Adanya kebijakan untuk mematuhi protokol kesehatan, mengharuskan kami untuk jaga jarak dan memilih media sosial sebagai alternatif peliputan. Liputan yang biasanya dilakukan secara turun langsung di lapangan, realitasnya, sebagian kegiatan liputan dilaksanakan secara dalam jaringan (daring) dengan mengandalkan media sosial. Namun, hal ini tak mengurangi kiat kami untuk terus mengusut berbagai isu disabilitas di wilayah lokal Tulungagung, hingga mencuatnya berbagai rubrik yang terbalut dalam “Lapis Kemas Disabilitas”. Disabilitas sendiri merupakan istilah yang menjadi pilihan bahasa undang-undang paling baru yang dikemas pemerintah. Sebelumnya, diksi ini bermula dari penderita cacat yang kemudian menjadi penyandang cacat. Hingga muncul istilah difabel. Difabel merupakan eufemisme untuk menyebutkan seseorang yang berbeda kemampuan. Diksi ini disinyalir lebih tepat dan ramah, namun ditenggelamkan dalam “Diskusi Pakar untuk Memilih Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pada 19–20 Maret 2010 di Jakarta. Padahal sebelumnya, awal tahun 2009, Semiloka Komnas HAM secara khusus membahas istilah apa yang paling tepat untuk menerjemahkan kata ‘disability’ dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities, namun tanpa mencapai kata sepakat dan hanya menghasilkan istilah-istilah alternatifnya. Ada sembilan istilah dan tidak satu pun yang mengusulkan “penyandang disabilitas”


e

SALAM REDAKSI

(Aris: 2016). Disabilitas dalam hal ini merupakan suatu keadaan seseorang dalam suatu keterbatasan. Menurut data dari Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas (SIMPD), jumlah penyandang disabilitas yang telah terdata sebanyak 140 ribu hingga tahun 2019. Kendati banyak penyandang disabilitas telah berintegrasi secara penuh ke dalam lingkungan masyarakat, mereka masih menghadapi masalah di sektor publik, seperti minimnya akses atas pendidikan, layanan fasilitas umum, terbatasnya peluang kerja dan pelatihan, hingga kehidupan sosial. Hambatan terhadap partisipasi dan kehidupan mereka mencakup stigma dan diskriminasi, kurang memadainya layanan atas akses transportasi, gedung serta teknologi informasi dan komunikasi. Akibatnya, penyandang disabilitas mengalami tingkat pendidikan yang lebih rendah, peluang ekonomi yang lebih kecil serta kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang nondisabilitas.

Atas dasar sepenggal problematik tersebut, pada majalah edisi XLIV ini, Dimënsi berusaha mengumpulkan data untuk dibangun sebagai wacana yang layak baca bagi kalangan mahasiswa secara khusus, serta bagi masyarakat secara umum. Kami saling bersinergi untuk mengangkat berbagai problematik yang terjadi dari kehidupan para penyandang disabilitas, hingga kebijakan dan fasilitas yang selaras dengan hak mereka. Pengakuan terhadap penyandang disabilitas perlu dimasukkan sebagai bagian dari liputan berita utama, sebagai upaya membantu memastikan bahwa semua orang dipertimbangkan dalam program, kebijakan atau layanan yang disediakan untuk semua masyarakat.

Reportase ini tentunya berlandaskan pada “Panduan Peliputan Disabilitas di Indonesia” yang diterbitkan oleh Dewan Pers. Data yang terkumpul dalam kesatuan majalah ini, semoga memperluas khazanah pengetahuan kita. Paling tidak meningkatkan penghormatan bagi penyandang disabilitas Utamanya dalam sektor pendidikan sebagai masyarakat produktif, sekaligus bagi penyandang disabilitas. Kami berusaha mempromosikan masyarakat Indonesia yang mengusut kondisi sebenarnya yang dialami lebih inklusif dan toleran. oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Tuntasnya majalah ini, meskipun jauh baik di Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun dari kata sempurna, telah melibatkan banyak di sekolah inklusi yang baru-baru ini marak pihak dan berbagai lembaga yang sukarela kami dengan label “Sekolah Ramah Anak”. Hingga mintai informasi dan data. Oleh karenanya bagaimana nasib mereka diperhitungkan di ucapan terima kasih tak kurang-kurang kami Dinas Pendidikan maupun lembaga terkait. Di sampaikan. samping itu, kami juga menoleh pada kondisi kampus, sudahkah IAIN Tulungagung ramah disabilitas?

Selamat membaca! Redaksi

2

DIMeNSI 44 | Juli 2020


DAFTAR ISI

e

DIMUT

Akomodasi Minimalis Pendidikan Inklusif....... 5 SLB Sebagai Penghubung Alternatif Anak Berkebutuhan Khusus.............................. 10 LIPSUS Sekolah Inklusi: Minim Dukungan dan Kuantitas Tenaga Pengajar................................. 13 Menilik Pemenuhan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas di Tulungagung................................ 16 NUSANTARA Omnibus Law: Catatan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.19 Indonesia di Tengan Pandemi Covid-19.......... 21 TERAS

Pelayanan Disabilitas IAIN Tulungagung Masih Samar-samar........................................................ 25 Pergolakan IAIN Tulungagung Menjadi BLU.26

EDITORIAL Lapis Kemas Disabilitas...................................... 31 KARIKATUR....................................................... 33 KLIK...................................................................... 34 INFOGRAFIK..................................................... 36

BUDAYA Napak Tilas Jejak Leluhur Sentono................... 53 SUPLEMEN Kampus Merdeka: Merdeka Bagi Mahasiswa, Itu Cuma Delusi......................................................... 55 Pola Asuh dan Pendidikan Karakter untuk Menghindari Perundungan terhadap ABK...... 57 KIPRAH

Percatu: Support Disabilitas Tulungagung....... 60

RESENSI Rakyat Miskin Kian Miskin............................... 37 Perbedaan Bukanlah Sebuah Penghalang........ 40 Kucumbu Tubuh Indahku: Makna Tubuh hingga Traumanya............................................................ 43 SWARA

Penyandang Disabilitas Berhak Atas Keterbukaan Pendidikan dan Profesional Kerja................................................. 46 Tuntaskan Diferensiasi Pendidikan Disabilitas, Karena Terbatas Bukan Batasan........................ 49

WAWANCARA

Pertuni, Memandang Dunia dengan Mata Hati........ 63

SUSASTRA Elegi Hak Asasi.................................................... 64 PUISI

Hidup dalam Suratan.................................................... 68 Diskriminasi Disabilitas............................................... 68

DIMeNSI 44 |Juli 2020

3


e

SUARA PEMBACA

Suara Pembaca Wildan ES Semester 5 To all people Yah gua enggak terlalu dalam tahu sih masalah disabilitas, tapi hal itu memang menjadikan kesenjangan di masyarakat individualis. Gua enggak nyalahin mereka kok, toh kebenaran tergantung dari sudut pandang seseorang. Perhatian khalayak seperti itu memang dipertemukan, yang mana para penyandang disabilitas di Indonesia sendiri bisa dibilang masih dipandang sebelah mata. Tapi jika hal ini masih ada kesenjangan maka yang bermasalah itu masyarakat sendiri. Cuma mungkinkah ada cara lainnya untuk menyelesaikan bukan hanya mengatasi masalah tersebut? Coba ditanggapi mungkin. Wah… setujunih, nih,memang memangadanya adanyabenar benardan dan salah salah itu itu relatif, relatif, tergantung tergantung sudut pendapat Wah… setuju sudut pandang pandangmasing-masing masing-masingsaja. saja.Seperti Seperti pendapat masyarakat terkait teman-teman penyandang disabilitas, ada yang beranggapan disabilitas adalah sebuah kekurangan, masyarakat terkait teman-teman disabilitas, ada yang beranggapan disabilitas adalah sebuah kekurangan, ada ada pulapula yang yang beranggapan itu kelebihan. suatu kelebihan. Tak jarang juga, teman-teman disabilitas mampu berprestasi di bidang beranggapan hal itu hal suatu Tak jarang juga, teman-teman disabilitas lebihlebih mampu dan dan prestasi di bidang tertentu tertentu kan… untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan ya harus dimulai dari diri sendiri. Konsep dan arah berpikir, kan… untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan ya harus dimulai dari diri sendiri. Konsep dan arah berpikir, maupun menyikapi teman-teman disabilitas adalah cara untuk menyelesaikan kesenjangan. maupun menyikapi teman-teman disabilitas adalah cara untuk menyelesaikan kesenjangan.

Diya’ MD Semester 4 Hay Dims, Rahayu Sampai sekarang aku belum menjumpai fasilitas kampus untuk penyandang disabilitas. Seperti jalan khusus untuk pemakai kursi roda, tangga khusus yang didesain rata untuk jalur evakuasi. Lift yang digunakan untuk penyandang disabilitas. Karena yang kulihat banyak kekurangan pada lift sekarang ini, kalau lift yang biasa digunakan selalu penuh, dan penyandang disabilitas yang memakai kursi roda akan kesulitan untuk mendapat tempat bila tak ada lift khusus untuk mereka. Oh ya, ada juga yang belum ketemukan yaitu pegangan atau tanda khusus untuk tunaaksara untuk menuju gedung atau pun kelas. Kukira fasilitas seperti itu diperlukan untuk penyadang disabilitas. Terimah kasih. Rahayu… wah, padahal kampuskita kitasudah sudahdibangun dibangun jalur jalur untuk Zuhri, di sana Rahayu… wah, padahal didikampus untuk disabilitas. disabilitas.Seperti Sepertididigedung gedungSyaifuddin Syaifuddin Zuhri, di sana telah tersedia jalur untuk kursi roda. Tak hanya di gedung itu saja, pada gedung perpustakaan baru juga sama. Memang benar, telah tersedia jalur untuk kursi roda. Tak hanya di gedung itu saja, pada gedung perpustakaan baru juga sama. Memang benar, lift untuk teman-teman disabilitas belum ada, akan tetapi kita bisa membagi lift tersebut dengan mereka. Bagaimana kita lift untuk teman-teman disabilitas belum ada, akan tetapi kita bisa membagi lift tersebut dengan mereka. Baaimana kita menghargai teman-teman penyandang disabilitas agar tidak merasa berbeda dengan yang lain. menghargai teman-teman disabil agar tidak merasa berbeda dengan yang lain.

Zakiyah BKI Semester 4 Rahayu keluarga Dims… Lama tak bersua di kampus kita tercinta karena wabah di negeri ini. Banyak hal yang belum terlaksana nih. Salah satunya tentang program kerja HMJ. Banyak dari rencana yang terhambat, seperti penyelenggaraan seminar, pelatihan, dll yang seharusnya bisa menjadi wadah untuk mahasiswa dalam mendapatkan wawasan yang luas. Lalu bagaimana kebijakan dari petinggi mengenai hari ini? Lalu tak jarang pula kegiatan ini tetap dilakukan meski harus menghabiskan kuota mahasiswa, apakah ini bisa disebut dengan fasilitas yang baik dalam menyelenggarakan pendidikan jika mahasiswa tidak diberi keringanan? Apakah masih dikatakan hak mahasiswa telah terpenuhi jika seluruh beban kampus ditanggung mahasiswa? Lalu bagimana dengan hak dana HMJ yang tidak turun karena keadaan seperti ini? Bukankah seharusnya tetap diberlakukan keadilan. Rahayu… datangnyawabah wabahmemang memangmembuat membuat resah resah banyak banyak manusia, terhambat, Rahayu… datangnya manusia, tidak tidakhanya hanyamahasiswa. mahasiswa.Banyak Banyakaktivitas aktivitas terhambat, termasuk programyang yangtelah telahdirancang dirancang di di masing-masing masing-masing Ormawa. telah dibuat di tingkat fakultas termasuk program Ormawa.Sebenarnya Sebenarnyakebijakan kebijakan telah dibuat ditingkat fakultas maupun institut untuk menanggulangi program-program yang terhambat. Yah, tinggal dikonsultasikan saja pada fakultas maupun institut untuk menanggulangi program-program yang terhambat. Yah, tinggal dikonsultasikan saja pada fakultas masing-masing. Atau mungkin, kurangnya sosialisasi pihak fakultas ke mahasiswa. Bukankah di semester ada kuota gratis bagi masing-masing. Atau mungkin, kurangnya sosialisasi pihak fakultas ke mahasiswa. Bukankah di semester ada kuota gratis bagi pengguna Indosat ya? Memang sih, belum maksimal. Keringanan itu belum merata ke seluruh mahasiswa. Kemarin kampus juga membuka keringatan UKT bagi teman-teman yang membutuhkan. Kita berdoa bersamalah agar wabah ini cepat hilang dan kembali seperti sedia kala.

4

DIMeNSI 44 | Juli 2020


DIMUT

“

e

Akomodasi Minimalis Pendidikan Inklusif

Ketimpangan angka partisipasi ABK dan non-ABK yang bersekolah, merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam menjamin mutu pendidikan inklusif.

S

edikitnya persentase peserta didik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang bersekolah menandakan belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi ABK. Adanya penolakan calon peserta didik ABK di sekolah reguler, merupakan bentuk ketidakmampuan sekolah memberikan layanan khusus. Hal tersebut menjadi tamparan bagi pemerintah di bidang pendidikan dalam menyediakan akses pendidikan yang setara. Aken Wahyu Prapaska adalah salah satu siswa penyandang tunadaksa yang bersekolah di SMA Katolik Santo Thomas Aquino. Berbagai kendala harus Aken lalui ketika memilih masuk di sekolah reguler. Misalnya, ia menerima perundungan dari teman-temannya selama lima tahun, sejak SD sampai SMP. Teman-temannya menganggap bahwa Aken sama seperti pengemis-pengemis di jalan yang memiliki keterbatasan fisik sepertinya. Stigma masyarakat terhadap ABK masih sering terlontar. Masyarakat menganggap ABK atau penyandang disabilitas adalah kelompok yang perlu dikasihani. Sejak TK, SD hingga SMP Aken mempunyai alat bantu sepeda roda tiga untuk melakukan perjalanan. Aken pergi bermain menggunakan sepeda tersebut, masyarakat sekitar merasa iba saat bertemu Aken sehingga memberinya uang. Akan tetapi, Aken menolak pemberian masyarakat. Karena ia bukan pengemis yang perlu dikasihani. Saat bersekolah di SMA, ia beralih menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi roda tiga dikarenakan jarak yang ditempuh semakin jauh. Tidak cukup di situ, Aken harus berusaha mengikuti siswa non-ABK dalam menjalankan aktivitasnya di sekolah. “Lek teng mriko fasilitase sing khusus kula mboten wonten, tapi kula perjuangan,

DIMeNSI 44 |Juli 2020

mengikuti lare-lare (kalau di sana fasilitas khusus saya tidak ada, tapi saya berjuang, mengikuti teman-teman, red),� ujar Aken. Gedung s e k o l a h

dok.dim

yang belum ramah disabilitas, mengharuskan Aken merangkak untuk sampai ke lantai 2 atau lantai 3 dengan menggunakan tangga manual. Ayub, selaku ayah Aken menuturkan, meskipun temannya menawarkan bantuan untuk menggotong Aken ke lantai 2 atau lantai 3, Aken harus berusaha mandiri tanpa bantuan orang lain. Sampai hari ini Aken mampu menaiki tangga manual tanpa bantuan orang lain. Menurut Kusnadi selaku Wakil Kepala Kesiswaan SMA Katolik, tidak adanya fasilitas memang dimaksudkan untuk ABK agar memiliki semangat dan daya juang. Namun demikian, sekolah sepatutnya menyediakan lift untuk akses ABK menuju lantai 2 atau lantai 3. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2018 Pasal (6) poin c, pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan inklusif bertanggung jawab menyediakan infrastruktur dan sarana prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Indah selaku guru SMA Katolik Santo Thomas Aquino, mengaku bahwa

5


e

DIMUT

semua fasilitas yang didapatkan ABK sama dengan siswa lainnya.

bersaudara, adiknya berusia 3 tahun. Dalam hal belajar April kurang beruntung lantaran tidak ada dukungan keluarga, ayahnya sibuk bekerja dan ibunya buta huruf, selain itu ibunya juga harus mengurus adiknya. Di dalam kelas ia hanya duduk diam dan tidak berkeinginan untuk mengikuti pembelajaran. Penampilannya yang tampak tidak terawat dan berbau tidak sedap membuat ia dikucilkan temannya.

Tak hanya di SMA Katolik Santo Thomas Aquino, fasilitas ABK yang tidak memadai juga terdapat di SMPN 1 Karangrejo. Espris selaku guru Bimbingan Konseling (BK) SMPN 1 Karangrejo Aken Wahyu P., siswa penyandang tunadaksa/dok.dim menuturkan bahwa belum ada fasilitas khusus yang diberikan untuk siswa ABK di sekolahnya. Rajin Ahmad Romadhona, salah “Tidak tahu sama sekali. Anaknya (Aprilia, red) satu siswa di sekolah tersebut, mengalami gangguan lo diam. Tidak pernah bilang,” papar Supriatin, selaku penglihatan bawaan dari ibunya. Keterlambatan guru wali kelas 3 saat ditanya Kru Dimensi mengenai penanganan yang semestinya dioperasi sejak dini hobi April. Di dalam kelas, segala aktivitas belajar tidak mengakibatkan penglihatan Rajin semakin mengabur pernah dilakoni. April pendiam dan tidak memiliki teman dan tidak memungkinkan untuk disembuhkan. Setiap di sekolahnya. Sekolah juga tidak memiliki pelayanan hari orang tuanya harus meluangkan waktu untuk psikoterapi untuk memberikan solusi. Dengan begitu, mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Selama layanan terapis ABK harus tersedia di sekolah inklusi. bersekolah, Rajin hanya menerima layanan pribadi Kerja sama antara sekolah dengan psikoterapis untuk meningkatkan motivasi belajar saja dari guru- merupakan upaya penanganan ABK di sekolah agar gurunya. Sedangkan, fasilitas untuk penunjang belajar tidak mengalami stagnasi. belum pernah Rajin dapatkan. Desi Susanti selaku psikoterapis di Sekolah Syaifudin Juhri dari Dinas Pendidikan Cabang Alam Mutiara Umat menjelaskan, layanan untuk siswa SMP Tulungagung mengatakan bahwa sarana dan berkebutuhan khusus harus sesuai Standard Operating prasarana merupakan kebutuhan yang nilainya besar. Procedure (SOP)/Prosedur Operasional Standar Sehingga untuk sementara sarana dan prasarana pendidikan ABK. Ada ruang khusus untuk mereka terapi, ABK dan non-ABK di Tulungagung masih sama. ada shadow teacher atau Guru Pembimbing Khusus Realitas tersebut bertolak belakang dengan Peraturan (GPK) untuk SMP, ada terapis untuk SD sama TK. Ada Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi juga pendamping anak. Jika belum ada GPK, sekolah yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas, meminta orang tua menjadi pendamping ABK saat yang mana setiap peserta didik penyandang disabilitas pembelajaran berlangsung. Serta, dalam menjalankan atau ABK berhak mendapatkan layanan dan akomodasi pendidikan inklusif, sekolah reguler perlu bekerja sama yang memadai. Meskipun, setiap ada permasalahan, dengan lembaga SLB terdekat. pihak Dinas Pendidikan hanya melakukan supervisi ke Desi menyebutkan di Sekolah Alam Mutiara lembaga pendidikan yang terkait untuk melihat proses pembelajaran dalam kelas. “Itu kami lakukan dan kami Umat terdapat banyak kebijakan istimewa yang jadwalkan (supervisi, red). Kami dengan pengawas diberikan kepada ABK, “Misalnya kayak ada kekhususan sering datang ke sekolah untuk melihat proses kapan mereka bisa pulang sekolah itu enggak harus sama dengan yang lain. Atau juga perlakuan khusus pembelajaran yang ada di sekolah,” jelas Syaifudin. di makanannya (sesuai kondisi ABK).” Dengan begitu Layanan Khusus Pendidikan Inklusif setiap sekolah harusnya menyediakan layanan khusus bagi mereka. Seperti bimbingan belajar khusus, Sudah jatuh tertimpa tangga seperti itu kisah penyediaan terapi khusus, atau kebijakan lain sesuai Aprilia. Tidak ada dukungan keluarga dan temannya. kebutuhan ABK di sekolah tersebut. Setiap ada Aprilia, ABK kelas 3 di SDN 1 Bangoan yang berasal kesempatan, ABK dibimbing secara mandiri untuk dari keluarga kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai belajar membaca, menulis, dan berhitung. buruh tani dan ibunya berjualan es keliling. Ia dua

6

DIMeNSI 44 | Juli 2020


DIMUT M i n i m n y a Kuantitas dan Kualitas GPK

e

masih buram. Belum ada k e j e l a s a n mengenai cara menjalankan pendidikan inklusif. Seperti alokasi anggaran, pelatihan GPK, dan penanganan ABK di sekolah.

Minimnya k u a n t i t a s GPK sebagai pendamping, menyebabkan ABK tidak memiliki kesempatan dalam mengembangkan bakat dan minat. “GPK untuk Demikian yang Tulungagung dialami Ahmad dibekali dari Ahmad Fauzi, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)/dok.dim Fauzi sebagai workshop, yang siswa ABK di SDN 1 Bangoan. Sejak umur 3 tahun, dilakukan maksimal setahun hanya beberapa kali,” jelas Fauzi hobi menggambar. Setelah pulang sekolah, ia Suroto. Padahal workshop tersebut, Suroto melanjutkan, menggambar sesuatu yang diamati dari sekitarnya. kurang maksimal dalam penguasaan pengetahuan dan Seperti anime, polisi, hewan. Meski demikian, belum keterampilan GPK lantaran hanya ditempuh beberapa ada guru yang secara khusus mendampingi Fauzi minggu. Sedangkan, guru lulusan S1 pendidikan luar untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Guru di biasa menempuh pendidikan selama 4 tahun. sekolahnya memilih untuk mengajarinya membaca, Sejak 2015 Kabupaten Tulungagung kekurangan menulis, dan berhitung. GPK. Pelatihan GPK secara berkala merupakan jalan Peran GPK penting dalam lembaga pendidikan alternatif dalam menjaga mutu pendidikan inklusif untuk memberikan layanan kepada peserta didik ABK sebab minimnya lulusan linier S1 pendidikan khusus. guna mengembangkan bakat dan minatnya. GPK Belum jelasnya alokasi anggaran pendidikan inklusif adalah pendidik yang mendapat tugas mendidik dan menjadikan Tulungagung lamban dalam meningkatkan membimbing peserta didik berkebutuhan khusus mutu pendidikan inklusif. pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Kurikulum Pendidikan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, seharusnya Setiap ABK memiliki potensi masing-masing pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling yang dapat dikembangkan. Di SDN 1 Pucungkidul sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada terdapat berbagai siswa ABK. Baik disabilitas setiap satuan pendidikan. intelektual ataupun disabilitas fisik. Seperti Selina Menurut Suroto, selaku perwakilan Kepala yang menyandang down sindrom, Kevin dan Bima Sekolah Pendidikan Khusus sekaligus perwakilan menyandang autis, Dimas menyandang kelainan fisik Cabang Dinas Pendidikan Tulungagung, tidak semua dan kelambatan intelektual. sekolah reguler di Tulungagung memiliki GPK. Sehingga, Meskipun Selina mengalami down sindrom, ia layanan yang diberikan bersifat klasikal. Alhasil guru memiki daya ingat yang bagus. Ia tidak bisa membaca, merasa kewalahan dan keberatan jika menerima ABK. tetapi ia mampu menghafal surat pendek dengan Hal tersebut juga dikeluhkan oleh Ayuningtyas Candra mendengarkan bacaan dari gurunya setiap hari. Bima Dewi, selaku Wakil Kepala Sekolah SMP Katolik Santa memiliki hobi dalam bidang menggambar, Kevin memiliki Maria, “Untuk sekarang kami belum menuju ke sana hobi menyanyi. Sedangkan, Dimas mengalami masalah (kelas inklusi, red), karena untuk menuju ke sana kan dalam kegiatan belajar di kelas. Ia akan menangis bila kami perlu guru khusus ya untuk shadow teacher-nya tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru itu, jadi sementara dari yayasan sih belum. Belum ada kelas. Sebab itu, seorang guru semestinya mampu kelas inklusi di sini, tapi kurang tahu nanti ke depannya.” memodifikasi kurikulum pembelajaran yang berlaku di Imam Turmudzi selaku Kepala Seksi Kurikulum sekolah dengan menyesuaikan kekhususan, bakat, dan SD Dinas Kabupaten Tulungagung, mengibaratkan minat ABK. sekolah inklusi seperti pohon yang tumbuh di atas Sesuai yang tertera dalam Peraturan Menteri kayu. Saat ditemui Kru Dimёnsi sekitar pukul 11.46 WIB Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, kurikulum pada hari Senin, (23/03/2020), dengan jengkel Imam dalam pendidikan inklusif ialah kurikulum modifikasi menuturkan bahwa pendidikan inklusif di Tulungagung dengan melihat masing-masing kekhususan anak.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

7


e

DIMUT

Beberapa lembaga pendidikan di Tulungagung yang sudah melaksanakannya adalah sekolah Al-Azhar dan SD Nobel National Academy. Sedangkan beberapa lembaga pendidikan lain belum melaksanakan dengan beberapa alasan. Bini, selaku Kepala Sekolah SDN 1 Podorejo menyampaikan bahwa seharusnya sekolah menggunakan kurikulum khusus. Tetapi belum adanya sosialisasi tentang kurikulum khusus tersebut mengakibatkan sekolah reguler masih menggunakan Kurikulum 2013 untuk ABK. Hal serupa diungkapkan Sodik selaku guru BK SMPN 1 Kalidawir, “Kurikulumnya masih kurikulum umum, kita mengikuti kurikulum (Kurikulum 2013, red) itu.” Walau demikian, dalam proses penilaian, guru diberikan kebebasan dalam mengelola standar penilaian dan pemberian nilai. Ini menjadi tanggung jawab guru kelas. “Guru kelas diberi kebebasan untuk menilai khusus anak-anak sesuai dengan tingkat kecerdasan anak-anak itu,” terang Bini. Setiap anak memiliki minat yang berbeda. Baik akademik atau nonakademik. Sehingga guru memiliki hak untuk mempertimbangkan standar penilaian dan pemberian nilai. Peraturan Pendidikan Inklusif Tahun 2013, Tulungagung telah menetapkan Keputusan Bupati Tulungagung Nomor: 188.45/746/2013 tentang Penyelenggara Pendidikan Inklusif Tingkat TK/ RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK di Kabupaten Tulungagung. Berdasarkan keputusan Bupati tersebut, terdapat 31 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, meliputi: 24 sekolah jenjang SD/MI, 4 sekolah jenjang SMP/MTs, dan 3 sekolah jenjang SMA/MA dan SMK. Pada Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Tulungagung Tahun 2017 tentang Penetapan Sekolah Ramah Anak Jenjang SD dan SMP, terdapat 14 sekolah yang ditunjuk sebagai Sekolah Ramah Anak. Masing-masing 7 untuk jenjang SD dan 7 untuk jenjang SMP. Sedangkan menurut data Dinas Pendidikan Tulungagung tahun 2020, terdapat 83 sekolah jenjang SD dan 30 sekolah jenjang SMP yang memiliki ABK. Berdasarkan data tersebut, beberapa sekolah di antaranya adalah Sekolah Alam Mutiara Umat (TK, SD, SMP) yang menerima 16 ABK, pada jenjang TK (satu siswa), SD (dua belas siswa), dan SMP (tiga siswa); SDN 1 Bangoan terdapat tiga ABK; SDN 1 Podorejo terdapat lima ABK; SDN 1 Pucungkidul terdapat 5 ABK SMPN 1 Kalidawir terdapat empat ABK; SMP Muhammadiyah 1 terdapat empat ABK; SMPN 1 Karangrejo terdapat satu ABK; SMP Katolik Santa Maria terdapat dua ABK; dan SMA Katolik Santo Thomas Aquino Tulungagung terdapat satu ABK. Terdapat banyak regulasi dalam penerimaan ABK di sekolah reguler Tulungagung. Pada tahun 2017, SDN 1 Podorejo dan SMPN 1 Karangrejo menerima ABK

8

setelah ada keputusan Disdikpora, pada tahun 2013 terdapat Peraturan Bupati, sekolah yang menerima ABK di antaranya: SMA Katolik Santo Thomas Aquino pada tahun 2013 dan SMP Muhammadiyah 1 pada tahun 2016. Akan tetapi, terdapat beberapa sekolah yang telah menerima ABK sebelum ada regulasi baik dari kabupaten atau provinsi di antaranya: SDN 1 Pucungkidul sejak tahun 2012 dan SMP Katolik sejak tahun 2004. Pendataan perlu dilakukan guna mengetahui berapa jumlah ABK di Kabupaten Tulungagung. Regulasi yang jelas untuk pengklasifikasian tersebut belum ada. Sebagian orang tua juga tidak mau kalau anaknya disebut ABK. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana regulasi untuk menentukan inklusi? Sebab selama ini belum ada pihak yang secara khusus ditunjuk oleh Dinas Pendidikan atau sekolah guna mendiagnosis calon siswa saat masa pendaftaran. Imam Turmuji mengungkapkan bahwa seharusnya regulasi untuk menentukan inklusi dilakukan oleh profesional seperti psikolog. Orang tua turut memiliki andil besar guna menyukseskan pendidikan inklusif bagi ABK. Meski demikian, tak jarang orang tua memiliki keraguan untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah reguler. Timbul berbagai kekhawatiran jika anak mereka tak akan mendapat layanan yang maksimal atau akan dikucilkan dan dirundung teman-temannya. Seperti yang diutarakan Suroto, “Kelihatannya orang tua kalau anaknya dimasukkan ke reguler, dijadikan satu sama anak-anak seusia yang normal, pasti dia kan terisolasi ya, tersisih, ya itulah kadang-kadang. Harapan orang tua yang terlalu tinggi (agar anaknya bisa seperti anak-anak lainnya, red), akhirnya anak merasa jadi korban, dalam arti perkembangannya tidak bisa maksimal dan malah semakin minder.” Tahun 2018 muncul kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada satuan pendidikan di setiap jenjang yang menjadikan setiap sekolah reguler wajib menerima ABK. Kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru merupakan upaya pemerintah dalam menyetarakan pendidikan. Tertulis pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, Pasal 16 Ayat (1),

DIMeNSI 44 | Juli 2020

repro internet


DIMUT sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Artinya, murid-murid yang berdomisili dekat dengan sekolah yang diminati akan mendapat peluang lebih besar untuk diterima. Jumlah 90% tersebut juga termasuk calon siswa yang mendaftar lewat jalur keluarga tidak mampu dan disabilitas. Siswa yang menggunakan jalur prestasi akademik dan nonakademik mendapatkan jatah kuota 5% dari Kemendikbud di tiaptiap sekolah. Sedangkan 5% sisanya digunakan untuk calon siswa yang mendaftar di sekolah yang terletak di luar zona rumahnya (Indonesia.go.id). Sodik menuturkan bahwa setiap siswa baik ABK atau non-ABK yang berada di wilayah zonasi wajib diterima. Hal tersebut juga disetujui Espris selaku Guru BK SMPN 1 Karangrejo, “Kalau aturannya harus diterima, ya diterima.� Walau begitu, realitasnya sekolah reguler akan menerima ABK dengan kategori tertentu dalam PPDB. Belum tersedianya aksesibilitas ABK di sekolah reguler menjadi pertimbangan sekolah agar bisa membantu ABK dalam proses belajar di kelas. Ayuningtyas menjelaskan bahwa akan menerima ABK dengan melihat kebutuhan khusus siswa tersebut. Selama ini, di sekolahnya memang terdapat dua siswa yang berbeda dengan anak lain dalam hal fisik.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

Menurut Desi, dalam penerimaan calon peserta didik ABK di Sekolah Alam Mutiara Umat sendiri terdapat pembatasan kuota di setiap kelas. Guru melakukan observasi untuk melihat jenis kebutuhan khusus calon siswa. Dari hasil tersebut, guru baru bisa menentukan berapa jumlah ABK dalam satu kelas. “Selama ini hanya terdapat satu ABK di setiap kelas. Sementara itu, jika ABK tidak terlalu aktif, dua ABK bisa (ditempatkan) dalam satu kelas,� tambah Desi. Terjadi ketimpangan angka partisipasi antara ABK dan bukan ABK dalam dunia pendidikan di Indonesia. Berdasarkan statistik pendidikan 2018 di Indonesia, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas dengan notabene berkebutuhan khusus yang masih sekolah hanya 5,84%. Persentase tersebut jauh dari penduduk yang tidak berkebutuhan khusus, yaitu mencapai 25,83% (Kompas, 3/12/2019). Artinya, masih terdapat 94,16% penduduk ABK usia 5 tahun ke atas yang belum mendapatkan akses pendidikan. Sedangkan, persentase penduduk yang tidak berkebutuhan khusus mencapai 74,175%. Sedikitnya 80 kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah pendidikan inklusif. Padahal terdapat 514 kabupaten/kota di Indonesia. Untuk itu, semua pihak harus bekerja sama dalam mendeklarasikan pendidikan ABK di sekolah reguler. Tulungagung merupakan salah satu daerah yang belum mendeklarasikan pendidikan inklusif. Meskipun, sudah terdapat beberapa regulasi tentang pendidikan inklusif. Semua pihak yang terkait pendidikan inklusif belum sepenuh hati dalam menjamin mutu pendidikan ABK. Pendidikan inklusif di Tulungagung masih banyak permasalahan, demikianlah Imam Turmudzi mengungkapkan. [] (Roh, Pril, Fan, Rum)

9


e

DIMUT

SLB sebagai Penghubung Alternatif Anak Berkebutuhan Untuk menjembatani Anak Berkebutuhan Khusus, Khusus “ Sekolah Luar Biasa sebagai wadah guna mengetahui kemampuan atau bahkan potensi yang dimiliki.

(SLB).

P

e n d i d i k a n sebagai salah satu elemen penting dalam membangun peradaban m a n u s i a . Pendidikan yang telah dikais dapat mambantu seseorang memahami ilmu dan pengetahuan. Terlebih lagi pada zaman ini, kualitas manusia sangat diperhitungkan, agar mampu bersaing dengan masyarakat lokal maupun masyarakat global. Kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan sepatutnya terbuka lebar tanpa adanya diskriminasi kelompok maupun individu, termasuk pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK merupakan anak yang memiliki keterbatasan atau bahkan keluarbiasaan mentalemosional, maupun sosial. Hal ini tentu tidak dapat digunakan sebagai alasan bagi ABK untuk tidak mendapatkan pendidikan seperti siswa lain. Seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat (1) menegaskan, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.� Sementara itu, terkait masalah pendidikan pemerintah telah menyediakan fasilitas khusus untuk ABK, salah satunya adalah Sekolah Luar Biasa

10

SLB merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mengakses pendidikan. Siswa SLB diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang secara khusus telah dirancang guna membantu mencapai potensi maksimal yang dimiliki. Hal tersebut diharapkan agar ABK mampu mengembangkan sikap dan kemampuannya.

Dilansir dari laman Kemendikbud.go.id., pada tahun 2017 Badan dok.dim Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jika jumlah ABK di Indonesia mencapai 1,6 juta anak dan baru 18% yang mendapatkan pelayanan inklusi. Dari 18% tersebut, baru 115 ribu anak yang bersekolah di SLB. Sementara itu data dari jatim.bps.go.id., jumlah total ABK di Jawa Timur 30.522 sementara yang telah mengenyam pendidikan baru 17.416 siswa dengan total 437 SLB yang tersebar di seluruh kota/kabupaten di Jawa Timur. Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya tingkat pendidikan ABK, seperti kurangnya pengetahuan orang tua untuk mengoptimalkan kemampuan ABK. Sehingga anakanak yang tinggal di daerah terpencil belum bisa ikut mengenyam pendidikan yang tersedia. Adapun satuan pendidikan bagi ABK dimulai dari beberapa jenjang pendidikan, seperti yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 157 Tahun 2014 Pasal 5 Ayat 2 yakni Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) atau Raudatul Anfal Luar Biasa (RALB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) atau Madrasah Ibtidaiyah Luar Biasa (MILB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) atau Madrasah Tsanawiyah Luar Biasa (MTSLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa

DIMeNSI 44 | Juli 2020


DIMUT (SMALB) atau Madrasah Aliyah Luar Biasa (MALB), Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa (SMKLB) atau Madrasah Aliyah Kejuruan Luar Biasa (MAKLB). Pada SLB terdapat beberapa penggolongan di antaranya adalah SLB-A, yang merupakan SLB khusus untuk penyandang tunanetra, SLB-B khusus ditunjukkan untuk penyandang tunarungu, SLB-C untuk penyandang tunagrahita, selanjutnya SLB-D khusus untuk penyandang tunadaksa, lalu SLB-E ditunjukkan untuk penyandang tunalaras, dan yang terakhir SLB-F untuk penyandang tunaganda (kompas.com). Ada juga SLB yang dikhususkan untuk penyandang autis namun, kebanyakan di Indonesia, SLB terdiri dari pelbagai kebutuhan yang telah diatur sesuai dengan kebutuhan ABK. Regulasi SLB di Tulungagung Di Kabupaten Tulungagung sendiri, SLB menjadi salah satu alternatif yang cukup efektif bagi ABK untuk mengenyam pendidikan. “Sekabupaten Tulungagung hanya (ada) 12 lembaga (SLB, red) negerinya 3, swastanya 9,” ungkap Suroto selaku selaku Perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Tulungagung. Hanya saja tidak semua SLB di Tulungagung menerima ABK dengan kebutuhan yang sama. Menurut Suroto hal ini dikarenakan sebelum merombak menjadi SLB, sekolah tersebut dulunya hanya berupa yayasan. Salah satunya SLB yang memiliki siswa dengan kebutuhan berbeda adalah SLB Gondang. “Ya campuran, ada yang tunarungu, tunanetra, tunagrahita juga ada, tunadaksa, semua diterima karena kita kan SLB, di sini kan hanya ada satu. Apa pun ketunaannya kita terima. Hampir semua guru di sini punya sarjana Pendidikan Luar Biasa. Jadi bisa menguasai,” tutur Arinda Ariyanti selaku Kepala SLB Gondang. Ketika pertama masuk sekolah setiap siswa melaksanakan tes yang diadakan SLB. Tes ini bertujuan mengetahui potensi yang dimiliki siswa. Selain itu sekolah juga menganjurkan setiap orang tua untuk membawa surat keterangan tes psikologi siswa. Tes tersebut digunakan untuk mengukur kecerdasan dan bakat istimewa ABK. anjuran belum

Namun, tersebut bisa

dok.dim

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

terlaksana secara maksimal di SLB Tulungagung. Menurut Arinda hal tersebut karena terkendala faktor ekonomi para wali siswa. “Ada asesmen di awal masuk, kita observasi paling tidak seminggu dua minggu, soalnya kadang gitu kan enggak kelihatan. Masuk dulu gurunya siapa. Harusnya anak-anak yang masuk di SLB itu pertama kali masuk harus ke psikotes jadi anakanak itu bawa surat. Hal itu pernah kita ajukan seperti itu, tapi wali siswa tidak mampu, keberatan,” tukas Arinda. Menangani hal tersebut SLB-C Tulungagung memiliki cara tersendiri untuk menentukan tingkat kemampuan calon siswanya. Menurut Sudaryanto, salah satu guru SLB menyatakan bahwa cara menentukannya seperti golongan grahita ringan, sedang, dan berat pada setiap calon siswa yakni dengan mengacu pada akademik siswa tersebut. Selain itu juga bisa dengan kemampuan bagaimana siswa merawat diri masingmasing, seperti menggunakan sepatu atau berpakaian, meskipun akademik lebih diutamakan. Minim Tenaga Pengajar Jadi Kendala ABK Sementara itu, untuk ABK sendiri ketika berada di sekolah tidak hanya membutuhkan pengetahuan, tetapi juga interaksi dan komunikasi langsung dengan guru yang mengajar. Oleh karena itu kurangnya guru di SLB menjadi masalah yang cukup serius. “Kalau bicara soal ideal, tentu belum ideal. Karena kalau menurut ketentuan di sekolah khusus itu 1 guru maksimal 5 anak. Itu kalau anaknya tidak autis. Kalau anaknya autis satu guru pegang 2 anak. Untuk mengatasi itu ya semampu kita manangani anak-anak kita sebanyak 31 itu,” ungkap Ardi Artitiana, selaku Seksi Kurikulum SLB Kopri Kauman. Akibat dari kekurangan tenaga pengajar tersebut, guru yang seharusnya hanya mendidik ABK tidak kurang dari 5 siswa agar pembelajaran lebih maksimal, akhirnya terpaksa setiap guru harus menangani satu rombongan belajar. Sehingga kurang optimalnya pembelajaran tidak bisa dihindari. Senada dengan hal ini, Arinda juga mengeluhkan hal yang sama terkait kurangnya tenaga pengajar. Arinda menambahkan jika di SLB Gondang hanya menerima guru-guru dengan latar pendidikan kebutuhan khusus. Menurutnya Guru

11


e

DIMUT

SLB bukan hanya tenaga pengajar, namun juga menjadi pengasuh, pesuruh, dan orang tua. Sehingga jika guru tersebut sudah memiliki bekal sebelumnya, mereka cenderung lebih mudah menangani dan beradaptasi dengan ABK. Lebih lanjut menurut Sudaryanto, terkait SLB-C di Tulungagung, pihak guru sudah mengupayakan pengajuan penambahan tenaga pengajar. Akan tetapi rencana tersebut pupus di tengah jalan karena terkendala biaya. “Setiap tahun melalui Application Generator Toolkit sekolah mengajukan penambahan jumlah guru khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun untuk menambah jumlah Guru Tidak Tetap (GTT), sekolah diperbolehkan sementara oleh Cabang Dinas Pendidikan wilayah Tulungagung, tapi terkait anggaran masih perlu dipertimbangkan. Kita tetap minta, tapi kan kalau ASN yang menentukan pusat. Kalau kita ya paling tidak hanya mencari tenaga GTT. Sampai sekarang belum dapat karena mungkin terkait juga dengan anggaran.” Menanggapi keluhan tersebut, Suroto selaku Perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Tulungagung menyampaikan bahwa hal tersebut disebabkan karena kurangnya lulusan pendidikan khusus sementara guru yang sudah masuk masa pensiun semakin bertambah. “Kalau ingin mengangkat guru swasta, dananya yang bingung. Kalau ingin mengangkat guru baru, uangnya bulanan kurang ya kasihan,” tambahnya. Sebenarnya bukan hanya masalah tentang kurangnya tenaga pengajar saja yang hilir mudik terjadi di SLB. Contoh yang tak dapat dimungkiri yakni sampai saat ini masih banyak orang beranggapan bahwa SLB memiliki keterbelakangan pendidikan dan metode serta sistem yang tertinggal. Padahal realitasnya sistem pembelajaran dan metode yang digunakan SLB dapat dikatakan maju. Para guru memiliki metode khusus untuk menyampaikan pembelajaran kepada siswa. Oleh karena itu tak jarang jika para siswa ABK justru banyak yang memiliki kreativitas yang tinggi dibanding dengan siswa reguler. Karena ekstra guru dalam mendidik sangat ditumpukan kepada peserta didiknya sehingga lebih pada pendekatan saintifik dan student centered learning. Sudaryanto menjelaskan, guru di SLB memiliki metode khusus untuk bisa menyalurkan materi pembelajaran. Suroto juga mengatakan bahwa metode pembelajaran menggunakan pendekatan individual dan pembelajaran aktif (pendekatan saintifik) yang disesuaikan dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing siswa. SLB memiliki kurikulum khusus yang digunakan, yakni kurikulum pendidikan khusus. Kurikulum pendidikan khusus lebih fleksibel dibanding dengan kurikulum yang terdapat pada sekolah reguler. Suroto menjelaskan bahwa kurikulum tersebut tidak mutlak

12

dipakai seluruhnya sehingga guru bisa mengaturnya sesuai kebutuhan ABK. Selain itu kurikulum pendidikan khusus juga dikembangkan sebagai penguat bagi ABK untuk bekal hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain dan untuk bekal persiapan kerja. Tak heran jika pembelajaran di SLB lebih dominan fokus pada praktik ketimbang teori. Seperti halnya yang disampaikan oleh Yayuk selaku tenaga pengajar di SLB-B. Bahwa hanya soal saja tidak sama dengan kurikulum Pendidikan Khusus (PK). Untuk PK jenjang SMP dan SMA mata pelajaran keterampilannya 60%, karena mereka disiapkan lulus SMA sudah mandiri dan mempunyai modal untuk bekerja. Kegelisahan lain juga ditemui pada sarana dan prasarana penunjang pembelajaran bagi ABK di SLB. Mengingat penunjang yang digunakan SLB memang lebih banyak ketimbang sekolah reguler. Kendati demikian pemerintah telah memberikan standar dari sarana dan prasarana di SLB seluruhnya, yakni telah tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 33 Tahun 2008. Menyikapi hal tersebut, Ardi menyampaikan bahwa pemerintah memberikan banyak bantuan pada SLB untuk memenuhi kebutuhan ABK. “Kalau pemerintah itu menjamin, kalau fasilitas apapun untuk memenuhi anak disabilitas akan diberi, asal memenuhi kriteria. Seperti gedung harus memiliki lahan terlebih dahulu. Seperti alat-alat harus ada ruangannya dulu. Kalau enggak ada, mau ditempatkan di mana. Yang penting kita ada kriterianya terlebih dahulu,” tuturnya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan internal lainnya seperti ekstrakurikuler dan kegiatan pengembangan lainnya. Sudaryanto menuturkan jika pemerintah telah memberikan bantuan operasional. Seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kemudian dari provinsi berupa Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP), Bantuan Belajar (Banbel), dan bantuan pendidikan sekolah yang besarnya disesuaikan dengan status negeri atau swasta. Pada dasarnya SLB menjadi salah satu tempat bagi siswa berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan seperti siswa pada umumnya. ABK memerlukan perhatian lebih dengan alasan keterbatasan atau bahkan keluarbiasaan yang ada pada dirinya. Dengan adanya hal ini, sehendaknya SLB di Tulungagung diimbangi dengan tenaga pengajar yang kompeten. [] (An, Um, Tit, As, Ris, Mar)

DIMeNSI 44 | Juli 2020


LIPSUS

e

Sekolah Inklusi: Minim Dukungan dan Kuantitas Tenaga Pengajar

Taraf pendidikan akan stagnan jika tidak disertai upaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik, fasilitas yang memadai, dan regulasi yang mendukung. Seperti minimnya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh hak dalam proses belajar, sebab kurangnya dukungan penuh dari pihak yang berwewenang.

P

endidikan adalah aspek penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu semua warga Indonesia memiliki hak mendapatkan pendidikan, tanpa terkecuali. Namun, fasilitas yang serba terbatas, membuat akses pendidikan belum merata dan ramah, terutama terhadap penyandang disabilitas. Selain itu konstruksi lingkungan pendidikan masih ada yang menganggap rendah penyandang disabilitas, sehingga berimbas pada perlakuan diskriminasi. Masyarakat menganggap penyandang disabilitas adalah orang yang memerlukan rasa belas kasih dan empati. Stigma tersebut masih terbawa oleh masyarakat hingga ranah pendidikan. Padahal, setiap warga negara memilik kesamaan hak. Hal ini diperjelas oleh Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 1 Ayat 2 berbunyi, “Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

Selain itu, Negara Indonesia juga telah meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabillities, pada 2011 lalu. Ini tertuang dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (ham.go.id).

DIMeNSI 44 |Juli 2020

dok.dim/rifqi

Dukungan nasional dan internasional telah diperoleh oleh negara, namun belum menyebutkan adanya perubahan yang signifikan dari regulasi tersebut. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menyebutkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia berjumlah 1,6 juta orang. Artinya, 1 juta lebih ABK belum memperoleh pendidikan layak sesuai hak yang dimilikinya. ABK yang sudah memperoleh pendidikan hanya 30%, dengan 18% di antaranya menerima pendidikan inklusif, baik dari Sekolah Luar Biasa (SLB), maupun sekolah pelaksana pendidikan inklusif (bisnis.com). Dinamika Pendidikan Inklusif Dilansir dari kompas.com, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sedikit menyinggung tentang permasalahan pendidikan inklusif. “Menurut saya secara pribadi, hampir semua guru harus mengetahui prinsip-prinsip dasar pendidikan berkebutuhan khusus,” ungkapnya seusai Upacara Hari Guru Nasional 2019 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (25/11/2019).

13


e

LIPSUS

Menurutnya, guru-guru di sekolah manapun harus bisa menangani siswa berkebutuhan khusus dan mengetahui terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan kebutuhan khusus. “Ini yang harus jadi bagian kurikulum. Di semua kurikulum guru, keluar prinsip pendidikan khusus,” tambah Nadiem. Mengacu pada pernyataan Menteri Pendidikan tersebut, ini menjadi PR bagi negara untuk meratakan masalah pendidikan di Indonesia. Pun negara harus responsif menerima pernyataan tersebut. Salah satunya dengan memberikan perhatian khusus bagi sekolah yang memiliki basis pendidikan inklusif dan memberikan pelatihan secara masif bagi para tenaga pendidik. Agar ke depannya menimbulkan perubahan yang berkomitmen untuk memajukan pendidikan nasional. Menurut Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2018, data jumlah siswa berkebutuhan khusus di Indonesia tercatat sebanyak 993 ribu siswa, dengan ragam disabilitas meliputi penglihatan, pendengaran, motorik kasar dan halus, intelektual, emosi dan lain sebagainya. Dengan persentase 25% partisipasi siswa pada tahun 2018 dan 49% lainnya merupakan target pertumbuhan partisipasi siswa penyandang disabilitas di sekolah tahun 2024 ke depan. Semakin tingginya angka pertumbuhan ABK, berarti juga harus diiringi dengan upaya meningkatkan tenaga profesional dalam mengajar. Menurut Nadiem sendiri, salah satu masalah dari pendidikan inklusif adalah minimnya keterampilan guru untuk mengajar ABK. Sehingga hal itu perlu ditanggapi dengan serius jika ingin meningkatkan taraf pendidikan. Sekolah Inklusi Lembaga Pendidikan Islam AlAzhaar Salah satu sekolah inklusi di Tulungagung adalah Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Al-Azhaar. Yayasan ini berawal dari Taman Pendidikan Al-Quran pada tahun 1990-an. Yayasan yang didirikan oleh Amir Tampa ini kemudian diresmikan menjadi salah satu yayasan pendidikan formal berbasis Islam pada tahun 1995. LPI Al-Azhaar sendiri terdiri dari berbagai jenjang: PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Farmasi. Meskipun terdapat peraturan baru mengenai latar pendidikan bagi guru ABK yang harus memiliki kualifikasi Pendidikan Luar Biasa atau minimal mendapatkan pelatihan penyelenggaraan sekolah inklusi. Kenyataannya, masih banyak sekali Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Seperti halnya profesi guru ABK di sekolah Al-Azhaar, satusatunya sekolah inklusi tingkat SLTP di Tulungagung. ”Kami semua pendidik tidak punya background ke-PLBan atau pendidikan luar biasa. Semua bidangnya adalah

14

pendidikan (non-PLB), tetapi kita tetap ikut pelatihan dan sharing mengenai pendidikan inklusif. Bahkan pernah bekerja sama dengan SLB karena bagaimanapun SLB lebih berkompeten dalam bidangnya,” ungkap Tuti, salah satu staf GPK di Al-Azhaar. Terdapat dua kategori guru yang menangani siswa ABK di LPI Al-Azhaar, yakni GPK dan shadow teacher. GPK ini mangampu seluruh siswa termasuk ABK untuk seluruh mata pelajaran. GPK tersebut selain memiliki kemampuan mengajar secara umum, juga harus memiliki keterampilan khusus dalam mengajar ABK. Sedangkan, shadow teacher khusus mendampingi ABK ketika berada di dalam kelas. Keterampilan dalam mendidik ABK harus diprioritaskan oleh seorang GPK. Sekolah inklusi Al-Azhaar mengupayakan agar guru mengajar maksimum 3 ABK dalam kurun waktu yang sama, meskipun idealnya adalah satu banding satu. Hal ini disebabkan kurangnya ketenagakerjaan pendidikan khusus yang tersedia. “Orang-orang lihat ABK itu kan macem-macem, ada yang (melihat) dari segi kemanusiaan ada juga yang gengsi. Jarang yang cari kerja di GPK, semua lebih ke alasan nurani atau kemanusiaan, jadi sulit,” ujar Suroto, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kabupaten Tulungagung. Selain itu, di sekolah inklusi AlAzhaar juga t e r d a p a t kategori kelas khusus, yakni kelas terapi dan kelas nonterapi. Kelas terapi diperuntukkan bagi ABK yang belum bisa bersosialisasi dengan siswa kelas reguler. Sedangkan untuk kelas nonterapi diperuntukkan bagi ABK yang sudah bisa bersosialisasi d e n g a n siswa reguler, s e h i n g g a ia dapat menempati dok.dim/rifqi

DIMeNSI 44 | Juli 2020


LIPSUS kelas regular. Tetapi untuk pelajaran yang berbasis Ujian Nasional, pelajarannya juga disesuaikan dengan standarisasi khusus ABK, hal ini karena sudah adanya jadwal sendiri-sendiri. Untuk kriteria penilaian bagi ABK sendiri tergantung pada kebijakan GPK-nya. Mengingat adanya ketidakseimbangan jika menyamaratakan nilai ABK dengan siswa reguler lainnya. Tugas GPK adalah menyesuaikan apakah siswa siap menerima mata pelajaran atau tidak. Semua faktor harus menyesuaikan dengan kemampuan ABK dengan menggunakan referensi standar tertentu. Kemudian standarisasi tersebut dimodifikasi agar ABK bisa berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya terfokus pada GPK saja. Kolaborasi antara GPK dan orang tua siswa jauh lebih penting untuk memantau perkembangan ABK baik di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan setempat. Bahkan, setiap gerak ABK perlu dipantau agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. “Dulu, sama orang tuanya mbok kapakne, intine sekolah. Padahal kita masih belum tahu kelebihan dan kekurangan anandanya seperti apa,” ungkap Siti selaku GPK ketika diwawancarai Kru Dimёnsi. Minimnya edukasi pada orang tua ABK, menyebabkan ketidaktahuan mereka dengan adanya perlakuan khusus terhadap ABK. Seyogianya GPK juga harus memberi tahu mengenai apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang untuk ABK. Mulai dari pola makan, cara bermain, dan kegiatan sehari-hari tidak boleh lepas dari pantauan orang tua di rumah. Maka dari itu, kerja sama antara GPK dan orang tua selalu ditekankan untuk memonitor perkembangan ABK.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

Tuti berharap agar pendidikan mengenai kePLB-an ini lebih dikenali masyarakat luas, khususnya bagi masyarakat Tulungagung. “Bagaimana Tulungagung harus siap deklarasi tentang pendidikan inklusif.” Maksudnya adalah kesiapan Tulungagung dalam menghadapi problematika seputar pendidikan luar biasa. Tuti juga mengungkapkan, “Saya menawarkan diri seandainya di IAIN Tulungagung tidak ada guru atau dosen yang mampu dalam hal itu. Saya siap menyebarkan (prosedur) bagaimana kelas inklusi harus dijalankan. Bagaimana kita mengolah siswa sesuai kebutuhannya. Apa yang disampaikan untuk anak reguler itu disampaikan juga untuk anakanak berkebutuhan (khusus). Jadi, tidak ada pelayanan administratif yang berbeda, hanya pada kebutuhan atau kompetensi yang dimiliki. Kita tidak bisa memaksa kompetensi anak regular dengan ABK.” Hal ini sesuai dalam Pasal 19 Nomor 8 Tahun 2016, UU tentang Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas, yakni meliputi hak pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya. Salah satu hak pendampingan itu adalah GPK. GPK harus mengetahui bakat dan minat kemampuan siswa disabilitas, agar mereka ke depannya bisa ditempatkan kerja sesuai dengan kemampuan. GPK harus tahu mengenai macam-macam ABK, karena metode pembelajaran pastinya berbeda, tergantung kemampuan anak tersebut. Maka, perlu dipertimbangkan pola pembelajaran, metode pembelajaran, dan bagaimana kesesuaian metode pembelajaran dengan kemampuan ABK. (Irs, Ind, Hmm, Hld, Snt)

15


e

LIPSUS

Menilik Pemenuhan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas di Tulungagung

“

Penyandang disabilitas memiliki hak-hak aksesibilitas yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Hak-hak tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas. Lalu bagaimana dengan Tulungagung?

D

Guiding Block di daerah Jogging Track Kalingrowo/dok.dim/irfanda

alam rangka menciptakan pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di tempat umum, pemerintah daerah tentu berkewajiban memfasilitasi tempat umum tersebut. Pemenuhan fasilitas tidak lain ditujukan untuk memenuhi hak atas kebutuhan masyarakat penyandang disabilitas, keamanan, keselamatan, dan kesehatan, serta kemudahan memasuki dan memanfaatkan fasilitas umum. Namun demikian, pemenuhannya masih saja sering terabaikan. Tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 mengenai penyandang disabilitas, bagian Empat Belas, Pasal 18, hak aksesibilitas untuk penyandang disabilitas meliputi hak: a. mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; b. mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu. Maka sudah jelas bahwasanya para penyandang disabilitas memiliki hak atas fasilitas publik yang disediakan pemerintah. Misalnya, fasilitas berupa trotoar dengan kemiringan tertentu ataupun bentuk bangunan tertentu untuk menjadi ramah disabilitas. Hak Aksebilitas Penyandang Disabilitas Menurut Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum (PU) Nomor 30 Tahun 2006 mengenai pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung

16

dan lingkungan, sudah dijelaskan bagaimana ketentuan yang tepat untuk pembangunan tempat umum ramah disabilitas. Salah satunya berupa penggunaan guiding block pada trotoar. Guiding block merupakan sebuah jalur khusus penyandang tunanetra berupa ubin pemandu yang didesain secara khusus. Biasanya, desain jalan berwarna kuning dengan permukaan timbul untuk memudahkan bagi tunanetra mengakses jalan. Kemudian, fasilitas lain yang juga diperlukan yaitu seperti akses jalan pada jembatan penyeberangan orang yang bisa dilalui pengguna kursi roda. Semisal berupa tanda zebra crossing dengan garis berhenti kendaraan yang tidak terlalu dekat. Dengan begitu, ini ditujukan agar pengendara memiliki jarak yang cukup untuk berhenti dan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas menyeberang jalan. Selain itu, dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 dijelaskan mengenai hak pekerjaan penyandang disabilitas, yakni pada Bagian Empat, Pasal 45, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang disabilitas.� Kemudian diperjelas lagi pada Pasal 46 yang berbunyi, (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk mengikuti pelatihan keterampilan kerja di lembaga pelatihan kerja pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau swasta. (2) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bersifat inklusif dan mudah diakses.

DIMeNSI 44 | Juli 2020


LIPSUS

Guiding Block di daerah Jogging Track Kalingrowo/dok.dim/irfanda

Melalui pasal-pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sepadan dengan masyarakat nondisabilitas lainnya. Namun, dalam kesepadanan tersebut mereka juga memiliki hak untuk aksesibilitas yang menunjang dan mempermudah kinerja mereka. Lalu pertanyaannya, apakah Tulungagung sudah bisa dikatakan ramah disabilitas? Tempat umum ramah disabilitas dapat kita jumpai pada trotoar yang berada di daerah Kutoanyar─pinggir Kali Ngrowo dan alun-alun. Di trotoar 2 tempat tersebut dapat kita temui guiding block. Juga ditemui desain jalan dengan kemiringan yang tepat di ujung trotoar, sehingga memudahkan pengguna kursi roda untuk mengaksesnya. Kemudian, bagaimana menjawab mengenai hak pekerjaan yang terdapat dalam Pasal 46? Ketenagakerjaan Disabilitas Merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 46 Ayat (1), Ridwan selaku Kepala Subbidang (Kasubbid) Pemerintahan dan Pendidikan sekaligus rangkap Pelaksana Tugas Kabid, menjelaskan mengenai kuota atau jumlah penyandang disabilitas dalam suatu pelatihan, yang tergantung pada jumlah dana berdasarkan pengajuan proposal. “Di komunitas itu ada berapa orang, usulannya katakanlah untuk ‘pelatihan ini’ dan peralatan yang dibutuhkan 50 juta. Dia merekomendasikan, katakanlah dinas terkait ke sana, jumlahnya segitu, layak dapat segitu, diusulkan oleh tim anggaran. Tim anggaran melihat, oh ini butuhnya

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

segini, yang direkomendasikan ke kepala dinasnya. Kita uangnya berapa untuk mengover, banyak sekali, tapi dibagi. Kita kan anggarannya 1 M, ukurannya ada 5 M, jadi kita potong segini-gini biar sesuai kebutuhannya. Bukan hanya dari Badan Pemerintah Daerah (Bappeda) saja, tetapi ada tim setelah ada rekomendasi dari dinasdinas,” papar Ridwan. Ridwan juga menjelaskan untuk bantuan sosial Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan Persatuan Cacat Tubuh (Percatu) berada di Dinas Sosial (Dinsos). Akan tetapi pelatihan keterampilan berada di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans), karena memang Disnakertans tidak hanya menangani penyandang disabilitas. Ridwan menjelaskan hanya sebagian kecil yang dapat mengikuti pelatihan yang lagilagi disesuaikan kembali pada anggaran yang dimiliki Disnakertrans. “Di Disnakertrans sebenarnya (punya) kemampuan anggaran, jadi ia katakanlah dalam satu tahun hanya mampu (menampung) 40 orang. 40 orang itu dibagi, disabilitasnya berapa, untuk yang pemuda, kepemudaannya berapa. Itu berdasarkan kemampuan anggarannya ya, itu kan sangat terbatas,” jelas Ridwan. Untuk bantuan dana operasional organisasi yang terdapat dalam suatu daerah, termasuk Pertuni dan Percatu, Ridwan menjelaskan bahwa proposal yang diajukan oleh organisasi atau komunitas memiliki syarat dan aturan tersendiri dengan ketentuan Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 Tahun 2011 mengenai Hibah Bantuan Sosial (Bansos). Di mana hibah bansos ini bisa dijadikan suntikan dana oleh organisasi-organisasi, termasuk Pertuni. Hibahan

17


e

LIPSUS

dana bansos tersebut di dinas tenaga kerja juga ada yang berupa pelatihan. Bisa pula berupa bantuan kursi roda yang diberikan Dinsos. Dana hibah bansos yang didapat Pertuni tidak bisa didapat setiap tahun. Sebab, dana tersebut dibagikan merata pada setiap organisasi atau komunitas daerah secara bergantian, yang dapat digunakan sesuai dengan pengajuan proposal. Fasilitas Umum bagi Penyandang Disabilitas Mengenai fasilitas umum, Ridwan menjelaskan bahwa untuk infrastruktur penunjang seperti jalan, jembatan, dan trotoar, PU berkoordinasi dengan Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (IPW). Tetapi dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas umum bagi disabilitas diperlukan suatu kajian terlebih dahulu. Kajian yang dilakukan Bidang Penelitian dan Pengembangan IPW digunakan sebagai dasar apakah pembangunan tersebut benar-benar diperlukan atau tidak. Untuk fasilitas umum seperti lampu penerangan sudah menjadi ranah Dinas Perhubungan. Sejalur dengan itu, Ririn selaku Kasubid Pengembangan Wilayah Bidang IPW mengatakan bahwa secara tugas pokok dan fungsi bekerja dalam rangka perencanaan pembangunan dan penganggaran. Mengenai akses jalan ramah disabilitas yang hanya terletak pada trotoar daerah Kutoanyar dan alunalun, Ririn menjelaskan, bahwa trotoar model tersebut rincian kegiatannya berada di dinas bagian teknik. Sedangkan, perencanaan pembangunan didiskusikan di Dinas Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia (Punas), termasuk di dalamnya program responsif gender, seperti perlindungan anak dan lansia. Ririn juga menerangkankan bahwa bangunan ramah disabilitas itu penting, tapi tidak semerta-merta bisa digunakan sebagai alasan pembangunan. Dalam

18

pelaksanaanya, perancangan pembangunan tersebut melalui suatu proses perundingan. Apakah bangunan itu sangat penting atau hanya penting saja? Jika pembangunan dilaksanakan atas dasar kepentingan sepihak saja, ditakutkan pembangunan tersebut tidak tepat sasaran, atau pun tidak ada pertanggungjawaban berupa perawatan yang memadai. Selain karena kekhawatiran tersebut, juga memikirkan anggaran yang dimiliki, apakah memadai atau tidak. Pembangunan fasilitas ramah disabilitas ditekankan pada bangunanbangunan yang sekiranya banyak didatangi masyarakat umum tak terkecuali penyandang disabilitas, misalnya pada bangunan rumah sakit dan tempat umum lainnya, seperti terminal atau stasiun. Mengenai standar trotoar ramah disabilitas Ririn menjabarkan bahwa, “Kita tetap menekankan semua kegiatan yang dilaksanakan itu harus memenuhi standar teknis yang diterapkan oleh pemerintah, itu bukan pemerintah daerah yang menetapkan loh ya. Jadi standar teknis bangunan, standar teknis jalan, dan trotoar itu sudah dari kementerian masing-masing. Jadi penetapannya tidak bisa setiap Pemda membuat aturan terkait standar teknis bangunan, itu sudah standar bangunan SNI (Standar Nasional Indonesia, red) itu ya kan sudah ditetapkan oleh kementerian seperti itu.� Ririn menegaskan bahwa tidak hanya bangunan baru yang memiliki standarisasi pembangunan yang ramah disabilitas, bangunan lama pun tetap ada penyesuaian. Tulungagung sendiri sudah menyediakan beberapa fasilitas umum bagi penyandang disabilitas. Namun, fasilitas yang ada belum bisa menjadikan Tulungagung sebagai kota ramah disabilitas. Walaupun begitu bukan berarti tidak mungkin jika kemudian Tulungagung menjadi Kota Inklusi, kota ramah disabilitas. (Dit, Shol, Rif, Kzn)

DIMeNSI 44 | Juli 2020


NUSANTARA

e

Omnibus Law: Catatan Proses Pembentukan Peraturan Perundangundangan di Indonesia Oleh Satrio Wibowo

K

onstitusi merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan negara hukum. Konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa negara harus mengatur menurut aturan-aturan tersebut (Azhary, 1995: 21). Indonesia sebagai negara hukum mengemban kewajiban untuk melaksanakan segala sesuatunya berdasarkan hukum yang berlaku. Hingga pada saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memiliki pengaturan dalam berbagai bentuk produk hukum. Tentu dengan jumlah yang demikian banyak sangat mungkin terjadi tumpang tindih aturan. Di sisi lain pemerintah berpendapat bahwa dengan banyaknya tumpang tindih peraturan perundang-undangan ini dinilai menghambat investasi di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo selesai pidato Pelantikan Presiden Indonesia 2019‒2024 untuk menaikkan angka pertumbuhan ekonomi yang hingga saat ini telah masuk di Prolegnas Prioritas 2020 antara lain RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Perpajakan dan RUU Ibu Kota Baru. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dalam menyelesaikan hal tersebut adalah dengan Omnibus Law. Dalam Black Law Dictionary Ninth Edition karya Bryan A. Garner menyebutkan “Omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having varius purpose.� yang diartikan secara harfiah yaitu berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Dalam pemahaman yang lain, omnibus law atau yang juga dikenal dengan istilah omnibus bill dalam pembuatan regulasi, yaitu membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus sehingga tidak perlu mengubah, mencabut, dan/atau mengganti satu per satu peraturan perundang-undangan serta memangkas waktu dan biaya yang diperlukan (Suhayati dan Kartika, 2019: 141).

DIMeNSI 44 |Juli 2020

dok.dim/rifqi

Omnibus Law bukanlah sesuatu hal yang baru, secara teoritik sudah dikenal sejak 1888 dan secara implementatif baru digunakan di Amerika Serikat dengan The Omnibus Appropriations Act tahun 1950. Beberapa negara lain yang menganut sistem common law telah menerapkannya di antara lain adalah Irlandia yang menghapus total 3.225 UU; Filipina dengan The Omnibus Investment Code yang kurang lebih sama konteksnya dengan Indonesia; Kanada yang memodifikasi 23 UU yang lama agar sama dengan aturan WTO; Turki mengamandemen mengenai pajak penghasilan, pajak pendapatan, belanja pajak, tabungan pensiun, jaminan sosial serta asuransi kesehatan; dan Selandia Baru juga mengamandemen Taxation Act pada 2019. Menggunakan opsi Omnibus Law ini memiliki manfaat di antaranya yaitu yang pertama, mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien; kedua, menyeragamkan kebijakan

19


e

NUSANTARA

pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; ketiga pengurusan izin lebih terpadu, efisien dan efektif; keempat, mampu memutus mata rantai birokrasi yang berlama-lama; kelima, meningkatnya hubungan koordinasi antarinstansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan Omnibus regulation yang terpadu; dan keenam, adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan (Firman F. Busroh, 2017: 247). Selain dari manfaat yang didapat, tidak sedikit yang menilai bahwa omnibus law juga berpotensi menimbulkan masalah jika dilaksanakan secara serampangan. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pertama, adanya pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, dan partisipasi masyakarat. Jika ini tidak dilaksanakan maka tidak menutup kemungkinan bagi pemangku kepentingan untuk disalahgunakan mengingat pada saat ini semakin tinggi distrust masyarakat terhadap kinerja pemerintah; k e d u a , diperlukan sosialisasi yang lebih luas terutama untuk pejabat dan pihak terkait substansi RUU, profesi hukum dan akademisi. Hal ini juga perlu menjadi p e r h a t i a n agar secara Penulis adalah Dosen FASIH IAIN Tulungagung substansi dan

20

juga pada pelaksanaannya tidak membuat pejabat pelaksana dan pihak terkait tidak kesulitan dalam menjalankan kewenangannya; ketiga, pembahasan di DPR harus transparan dan memperhatikan masukan dari pihak terkait RUU dan tidak tergesagesa. Hal ini dianggap sangat memicu reaksi berupa ketidaksetujuan masyarakat khususnya kalangan pekerja dengan RUU Cipta Lapangan Kerja yang sebagian dinilai mengabaikan hak pekerja dan juga pada proses penyusunan RUU ini terkesan tergesagesa dengan jumlah pasal yang lebih dari seribu pasal dengan waktu yang kurang dari 100 hari sangat di luar perkiraan; keempat, mempertimbangkan jangka waktu yang efektif berlakunya UU, tentunya tidak hanya semata untuk kepentingan investasi dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi sesaat namun juga diperlukan keberjenjangannya artinya RUU dapat menjangkau hingga beberapa waktu ke depan yang cukup lama jika angka perekonomian telah tumbuh, negara hanya perlu membuat angka tersebut berada dalam keadaan yang relatif stabil; kelima, mempertimbangkan keberlakuan UU yang terdampak yang mana RUU yang baru memiliki kemungkinan untuk mengubah atau bahkan mengganti secara keseluruhan UU yang lama yang secara substantif pasti berdampak. Secara umum, Omnibus Law ini merupakan salah bentuk progresif dalam proses perancangan peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa dalam prosesnya masyarakat perlu dilibatkan dalam berbagai bentuk termasuk suara dari berbagai kalangan, baik pemangku kepentingan yaitu pemerintah, DPR, para ahli dan juga masyarakat secara umum pun juga untuk kepentingan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dalam jangka waktu mendatang.

DIMeNSI 44 | Juli 2020


NUSANTARA

e

Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh Niam K. Asna Penulis adalah Kru LPM Dimensi

A

khir tahun 2019 dunia gempar dengan ditemukannya penyebaran pandemi Coronavirus Disease-19 (Covid-19). Covid-19 adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia yang muncul pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Covid-19 merupakan virus yang menyerang sistem pernapasan dengan gejala demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sesak napas, letih, dan lesu. Pada kasus berat virus ini dapat menyebabkan pneuomonia, sindrom pernapasan akut, hingga kematian. Menurut ahli virologi dari Cina, Covid-19 tergolong virus corona jenis baru dan berbeda dengan virus yang menyebabkan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang juga muncul pertama kali di Cina, sekitar 17 tahun yang lalu. Beberapa penelitian mengungkapkan kemungkinan virus corona ditemukan pada kelelawar. Analisis urutan genom menunjukkan adanya lebih dari 85% homologi antara virus corona baru dan virus pada kelelawar. Awal penularan virus ini dari hewan ke manusia atau dari manusia ke manusia terutama bergantung pada dua rute: kontak dan lendir (droplet) ketika seseorang batuk atau bersin; dan juga dapat menyebar melalui rute penularan kotoran dan mulut (fecal-oral). Tetesan ini kemudian akan mendarat di permukaan benda dan menempel di tangan orang lain kemudian menyebar lebih jauh. Adapun masa inkubasi virus adalah 1‒14 hari, dan umumnya 3 hingga 7 hari. Pada tanggal 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). WHO memberi langkah-langkah terbaik untuk mencegah penularan virus corona yaitu dengan mencuci tangan

DIMeNSI 44 |Juli 2020

dengan sabun dan air yang mengalir, dianjurkan menggunakan tisu ketika batuk atau bersin, memakai masker jika keluar rumah, menjaga jarak dengan menerapkan physical distancing di mana pun berada, utamanya di ruang publik. Upaya ini disebarluaskan ke masyarakat dan tempat umum, agar masyarakat patuh dan bijak menghindari dan mencegah penularan virus. Di Indonesia kasus virus corona muncul pertama kali ditemukan terhadap dua warga Depok, pada awal Maret 2020. Penyebaran virus kian meluas di berbagai wilayah menjadikan negara repro internet

harus berupaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan secara serius, cepat, dan tanggap. Lalu pertanyaannya, bagaimana tindakan yang diambil oleh pemerintah ketika virus mulai menyebar ke berbagai negara? Dan seberapa siap negara dapat bertindak aktif dan proaktif menangani wabah pandemi ini? Sehubungan dengan ini setelah WHO menetapkan pada tanggal 11 Maret 2020 sebagai pandemi global, pemerintah melakukan langkahlangkah fokus dan sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melakukan refocusing kegiatan, realokasi anggaran, serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Sejak 2 Maret 2020, kasus positif terkonfirmasi dua orang warga Indonesia. Pada saat itu banyak kebijakan dan strategi dibuat pemerintah dalam rangka mencegah transmisi dan kematian signifikan. Namun, di luar kebijakan yang akan dilakukan tersebut pemerintah pada awalnya dinilai kurang serius dalam mengomunikasikan upaya pencegahan dan mitigasi

21


e

NUSANTARA

kepada masyarakat. Terhitung sejak WHO menyatakan Covid-19 sebagai PHEIC, tindakan pemerintah sama sekali tidak mencerminkan upaya maksimal negara untuk melindungi warganya. Beberapa ungkapan kekonyolan terlontarkan dan bertolak belakang cenderung menyepelekan wabah ini. Terkait hal itu negara memang harus melakukan kesiapsiagaan menghadapi ancaman virus ini yang memang masih belum diketahui prediksi kapan akan berakhir. Kesiapsiagaan yang dilakukan berprinsip pada penanggulangan wabah, yaitu pada fase pencegahan, deteksi, dan respons. Diperlukan kerja sama lintas sektor, baik dengan kementerian/lembaga terkait maupun pemerintah daerah. Dari hal ini, layak disampaikan bahwa tanggung jawab negara adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kesehatan warganya dalam konteks menanggulangi virus. Pandemi yang tidak hanya membawa masalah kesehatan masyarakat, juga membawa implikasi ekonomi yang luas, sehingga membuat banyak negara menghadapi tantangan berat. Pada akhir Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan telah menekan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang diterbitkan untuk menanggulangi pengaruh virus corona di Indonesia. Menurut Jokowi, Perpu baru ini dapat memberikan pondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah dalam upaya menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan keuangan nasional, serta sistem keuangan. Selain menerbitkan Perpu, pemerintah juga memberi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan oleh beberapa daerah guna menghindari meluasnya wabah Covid-19. PSBB ini merupakan pembatasan kegiatan dan jumlah orang di tempat atau fasilitas umum, artinya dengan PSBB ini masyarakat masih bisa beraktivitas tapi memang dibatasi. Indonesia tidak menerapkan lockdown seperti negara-negara lainnya, karena Jokowi beserta jajarannya ingin roda ekonomi terus berjalan. Pemberlakuan PSBB ditetapkan pemerintah pada 31 Maret 2020, hampir sebulan sejak kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia. Data penyebaran virus corona yang meningkat fluktuatif dari hari ke hari menunjukkan penanganan wabah virus corona di Indonesia masih membutuhkan tenaga ekstra. Kebijakan pembatasan fisik (physical distancing) ataupun kasus kematian dan kasus yang terkonfirmasi setiap hari bertambah menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mencermati pelaksanaan PSBB. Meskipun PSBB diberlakukan, namun masih banyak warga yang melanggar aturan PSBB. Masyarakat yang melanggar itu disebabkan karena penerapan yang kurang efektif. Beberapa ruas jalan di wilayah yang

22

menerapkan PSBB masih macet. Masih banyaknya orang yang harus bekerja di luar rumah, atau pun ketidakpahaman masyarakat, selain juga pengawasan yang kurang efektif. Ketua DPR RI juga mengungkapkan bahwa pemberlakuan PSBB saja juga tidak bisa diandalkan. Kebijakan PSBB harus diikuti dengan semangat gotong royong dan solidaritas di tingkat masyarakat. Gotong royong ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan kepada sesama yang kesulitan. Juga harus bersamasama mematuhi kebijakan pemerintah dan protokol kesehatan untuk bersama-sama menghadapi pandemi. Pandemi Covid-19 menyebabkan pemerintah juga mempercepat penyaluran bantuan sosial pada April 2020 untuk membantu ekonomi masyarakat. Tujuan bantuan ini adalah agar tetap terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat melalui pemberian bantuan sosial (bansos) saat pandemi ini. Bantuan tersebut meliputi bantuan sosial tunai, bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), kartu sembako, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari dana desa dan pendaftaran peserta kartu prakerja melalui website yang telah dibuka sejak tanggal 11 April. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Abdul Halim Iskandar menjelaskan soal BLT desa yang merupakan program realokasi anggaran dana desa untuk bantuan langsung tunai. Abdul menegaskan bahwa sasaran BLT dana desa akan diberikan kepada masyarakat miskin yang kehilangan pekerjaan karena pandemi dan masyarakat yang keluarganya sedang sakit kronis. Dan yang terpenting masyarakat tersebut belum mendapatkan apapun dari pemerintah. Namun, penyaluran bansos tunai maupun sembako ini tidak langsung mulus dan tepat begitu saja, karena diketahui bahwa penyaluran bansos masih jauh dari kata sempurna. Disebabkan pemberian bansos banyak yang tak tepat sasaran karena masalah data di sejumlah daerah yang masih menuai konflik. Melansir dari detik.com, potensi kerawanan dalam penyelenggaraan bansos (sembako dan tunai) baik pemerintah pusat dan daerah adalah terkait pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, kartu BLT tidak

DIMeNSI 44 | Juli 2020

repro internet


NUSANTARA merata, serta pengawasannya. Bahkan Jokowi meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta kejaksaan dilibatkan dalam mengawasi penyaluran bantuan sosial di lapangan. Selain itu menginstruksikan penyederhanaan aturan tanpa mengurangi akuntabilitas, sehingga pelaksanaan di lapangan bisa fleksibel. Terutama pemerintah daerah diminta melakukan penyaluran bansos berdasarkan rekomendasi KPK, termasuk meminta transparansi terkait data penerima bansos. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ipi Maryati menilai penyaluran bansos jadi salah satu titik rawan terjadinya k o r u p s i . Hingga KPK menerbitkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data non-STKS dalam pemberian bantuan sosial ke masyarakat. Permasalahan bansos yang begitu banyak, salah satunya banyak pemerintah daerah belum memperbarui DKTS warga-warganya. Padahal, DKTS ini digunakan sebagai rujukan untuk penyaluran bansos terkait corona. Dampak Negatif Covid-19 Kasus Covid-19 yang tersebar di seluruh negara mengakibatkan negara harus merasakan berbagai dampak negatifnya. Dampak tersebut menyasar sektor ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Pandemi ini telah mengancam manusia, mematahkan seluruh pondasi ekonomi di seluruh negara. Sebab pemerintah telah mengimbau masyarakat untuk melakukan segala aktivitas dari rumah, mulai dari bekerja, sekolah, dan ibadah untuk menekan penyebaran virus menurun. Hampir semua industri sudah terpukul akibat menyebarnya virus yang tidak terkendali di Indonesia. Berbagai pusat perbelanjaan pun memutuskan untuk menutup sementara operasionalnya, sehingga pendapatan manajemen dan berbagai tenant pun otomatis menurun. Kinerja pada sektor ekonomi pun telah menurun 30‒100% dibandingkan sebelum pandemi. Sejumlah perusahaan juga tidak sedikit yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan dan buruhnya. Melansir katadata.co.id., Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebutkan, ada 1,65 juta

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

warga yang tidak bekerja akibat pandemi corona. Dampak ekonomi yang kian merosot dan kasus PHK pekerja sektor formal dan sektor informal mengakibatkan krisis pangan dalam beberapa bulan ketika pandemi melanda dan setelahnya. Kementerian Ketanagakerjaan Republik Indonesia mencatat ada 538.385 orang yang kehilangan pekerjaan dari 31.444 perusahaan atau Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terdampak Covid-19. Melansir dari kompas. com., Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley menyebut bahwa konflik resesi ekonomi, penurunan bantuan, dan jatuhnya harga minyak dunia sebagai faktor yang mungkin menyebabkan krisis pangan. Sehingga, membutuhkan tindakan cepat untuk mencegah bencana itu. Sementara Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar, juga menyampaikan peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) soal ancaman krisis pangan akibat virus corona. Peringatan ini dinilai sangat relevan karena pandemi belum pasti akan berakhir. Menanggapi krisis ini, Halim bersama pihaknya dan kementerian lembaga terkait terus mendorong UMKM dan pertanian untuk melakukan upaya pemenuhan pangan dalam negeri. Termasuk melakukan ekstensifikasi pertanian di pedesaan dan transmigrasi dengan melakukan cetak sawah baru. Ekstensifikasi ini dilakukan untuk meggenjot percepatan dan ketahanan pangan nasional guna mengantisipasi terjadinya krisis pangan global yang mungkin juga akan dihadapi Indonesia akibat pandemi Covid-19. Dampak negatif lain dari pandemi yang melanda dunia tidak hanya mengubah sendi kehidupan masyarakat dalam ancaman sektor ekonomi dan pangan, namun juga mengancam sektor pendidikan. Berbagai aktivitas rutin pembelajaran yang biasanya dilakukan dengan banyak aktivitas fisik ikut terhambat. Untuk menekan penyebaran Covid-19, sejak 16 Maret 2020 pemerintah memutuskan agar siswa-siswi belajar dari rumah. Pemerintah juga memutuskan untuk membatalkan Ujian Nasional 2020. Melihat fenomena ini, maka penerapan metode electronic learning (e-learning) menjadi suatu keniscayaan dan pilihan terbaik bagi dunia pendidikan. Sebagaimana diketahui bersama, untuk mencegah penyebaran Covid-19, sekolah hingga universitas mengubah proses pembelajaran tatap muka menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau remote learning. Walau begitu inovasi tak mesti berjalan mulus karena ada saja kendala, mulai guru maupun orang tua yang gagap teknologi sampai kesenjangan akses internet dan terbatasnya media belajar. Melansir dari tirto.id., Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim meluncurkan inovasi dan memberikan berbagai perbaikan sistem pembelajaran, di antaranya, kebijakan penggunaan dana Bantuan Operasional

23


e

NUSANTARA

Sekolah dan penayangan program belajar dari rumah yang disiarkan di TVRI bagi guru dan murid dengan keterbatasan internet. Selain hambatan PJJ, kenaikan angka putus sekolah pun meningkat. PSBB menjadi akibat bagi pekerja informal karena tetap tidak bekerja sehingga dapat berdampak pada tidak tersedianya biaya pendidikan anak. Melihat ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menjamin keberlanjutan pendidikan bagi pelajar di Indonesia. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah mencairkan bantuan pada program Bidik Misi dan Kartu Indonesia Pintar, April lalu. Bantuan ini diberikan kepada pelajar yang termasuk pada kategori penduduk miskin atau rentan miskin. Selain itu, Nadiem Makarim mengizinkan penggunaan dana BOS untuk membeli paket internet bagi guru dan pelajar. Hal ini merupakan kebijakan penting mengingat tidak semua pelajar memiliki akses internet yang leluasa ketika di rumah. Dalam kehidupan sosial masyarakat juga berdampak, karena protokol kesehatan mengimbau untuk menjaga jarak terhadap orang sekitar minimal 1 meter, tidak berjabat tangan, dan physical distancing. Sayangnya kebijakan tersebut belum disosialisasikan dengan baik, sehingga menimbulkan kesalahpahaman pada masing-masing individu. Akibatnya kebijakan yang diterapkan menimbulkan rasa curiga dan hilangnya kepercayaan terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita. Termasuk kebijakan aktivitas pengguna jalan yang dibatasi, hanya kendaraan tertentu yang boleh melintas dari dan menuju luar kota. Misalnya, kendaraan barang, kendaraan pengangkut bahan pokok, ambulans, mobil jenazah, dan pengangkut tenaga medis. Larangan ini berlaku sejak 24 April, sedangkan penerapan sanksi yang sudah disiapkan efektif ditegakkan mulai 7 Mei 2020. Hidup Berdamai dengan Covid-19 Perlawanan terhadap pandemi Covid-19 yang begitu panjang mengakibatkan penambahan kasus

24

baru di seluruh negara di dunia, karena vaksin untuk menghentikan penyebaran virus ini pun juga masih dalam tahap pengembangan. Masyarakat di ruang publik wajib menggunakan masker, pelaku usaha dan karyawan tetap menerapkan jaga jarak dan menggunakan masker, dan pengecekan suhu di tiap kantor, sekolah, dan mal. Kondisi seperti ini kemudian memunculkan skenario baru yaitu new normal life atau kondisi normal yang baru. Kondisi manusia pada akhirnya harus hidup berdampingan dengan ancaman virus corona. Masyarakat harus berdamai atau hidup bersama dengan virus corona, seperti yang diungkapkan Jokowi dan mengizinkan warga berusia kurang dari 45 tahun kembali beraktivitas karena dinilai tahan terhadap dampak kesehatan Covid-19. New Normal Life ini adalah bagian dari exit strategy setiap negara dalam mengadapi pandemi. Sebab perjalanan pandemi yang lama dan masalah ekonomi menjadi alasan utama pemerintah untuk merancang kondisi new normal. Dengan new normal life ini seluruh masyarakat dipersilakan beraktivitas secara terbatas dan diminta untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan. Namun, jika intervensi melemah dan pelaksanaan kebijakan new normal tidak disertai aturan yang jelas maka potensi bertambahnya jumlah kasus infeksi dan kematian bisa semakin bertambah. Strategi nasional dan daerah yang komprehensif dan jelas berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan pemberlakuan pola hidup baru. Dalam membangun sistem pengawasan yang efektif, sangat perlu membangun kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Juga harus memberi edukasi yang tepat kepada masyarakat agar mereka paham atas apa yang harus dilakukan selama pandemi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Keterlibatan dan kepatuhan warga juga sangat menentukan keberhasilan pembatasan sosial dalam menekan laju persebaran Covid-19.

DIMeNSI 44 | Juli 2020


TERAS

e

Pelayanan Disabilitas IAIN Tulungagung Masih Samar-Samar Impian IAIN Tulungagung untuk menjadi kampus inklusi masih belum sepenuhnya terwujud. Meskipun PLD mulai dibentuk dan akan dikembangkan oleh LP2M guna memberikan konsultasi dan pendampingan. Walaupun begitu, sarana, dan prasarana yang mendukung juga diperlukan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi mahasiswa disabilitas.

S

etiap kampus memiliki visi dan misi menjadi pusat ilmu pengetahuan dan layanan pendidikan, satu di antaranya adalah terciptanya kampus inklusi, kampus ramah disabilitas. Dengan itu, terwujudnya l a y a n a n aksesibilitas untuk penyandang disabilitas menjadi suatu hal yang penting. Hal tersebut hendaknya harus dimiliki dan dirasakan oleh setiap mahasiswa, mengingat pendidikan memiliki tujuan untuk meraih kehidupan yang lebih baik, tak terkecuali mahasiswa disabilitas. Menurut Panduan Layanan Mahasiswa Disabilitas di Perguruan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Ti n g g i (Kemenristekdikti), mahasiswa disabilitas adalah mereka yang mengalami kesulitan, hambatan, atau ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas/fungsi tertentu sehingga mereka membutuhkan alat bantu khusus, modifikasi lingkungan atau teknik-teknik alternatif tertentu supaya mereka dapat belajar dan berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kehidupan masyarakat. Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti mahasiswa nondisabilitas lainnya untuk memperoleh pendidikan pada berbagai jenjang. Hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dan bermutu tersebut telah tercantum pada UUD 1945 khususnya pada Pasal 31 Ayat (1): “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan Ayat (2): “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Perhatian pemerintah pada Perguruan Tinggi inklusi yaitu jaminan dan pengakuan negara terhadap mahasiswa disabilitas, tertuang pada Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 46 Tahun 2017 dalam bentuk buku panduan yang berisi arahan layanan

DIMeNSI 44 |Juli 2020

pendidikan standar bagi mahasiswa disabilitas di perguruan tinggi. Berikut di antaranya penerimaan mahasiswa baru, kompetensi kelulusan, standar isi, proses belajar mengajar, penilaian, dosen dan tenaga

repro internet

kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. IAIN Tulungagung merupakan salah satu kampus yang mendukung program pemerintah yaitu program kampus inklusi meskipun belum terlaksana dengan baik. Wit Tutur merupakan salah satu mahasiswa Jurusan Psikologi Islam yang dilahirkan tanpa sepasang tangan, menyebabkan ia mengalami disabilitas sejak lahir. Menurut Wit Tutur selama kuliah, ia tidak pernah merasa kesulitan untuk mengakses jalan dari gedung satu ke gedung lainnya. Padahal jaraknya cukup jauh dengan kondisi jalan sekitar gedung tidak rata. “Kalau sekarang sih mungkin saya lebih nyaman ya, saya kan enggak terlalu membutuhkan sesuatu hal yang sangat penting. Ya semuanya bisa, maksudnya kalau tidak ada yang terlalu dibutuhkan saya bisa sendiri,” ujar Wit Tutur. Begitu juga dengan Faris Al Ghifari mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah dengan gangguan mobilitas atau tunadaksa. Faris tidak mengeluhkan adanya kekurangan dalam hal pelayanan kampus, tetapi ia terkadang merasa kesulitan dengan langkah

25


e

TERAS

kakinya. Sehingga sangat diperlukan fasilitas yang bisa membantu, misal dengan adanya kruk/penyangga kaki atau kursi roda dan diperbanyak jalur ramp, ‘tangga landai’. “Ya untuk pelayanan dan sarana prasarana di IAIN Tulungagung saya rasa sudah sesuai. Pegawaipegawainya ramah, sopan, terus ya peduli dan penuh perhatian,” ujar Faris. Berdasarkan Permenristekdikti Nomor 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi, sesuai peraturan tersebut IAIN Tulungagung sudah menyediakan fasilitas yang mengarah kepada kampus ramah disabilitas. Misalnya di Gedung Arief Mustaqiem dan Syaifuddin Zuhri pada bagian pintu masuk dibuat jalur ramp untuk memudahkan pengguna kruk atau pun kursi roda. “Sebenarnya keinginan kampus untuk punya fasilitas disabilitas itu sudah kita canangkan dan sudah kita lakukan. Terus terang kalau bangunan-bangunan yang lama memang belum, tetapi bisa dilihat mulai Gedung Syaifuddin Zuhri kemudian Arief Mustaqiem bahkan perpustakaan baru, ini sudah mengarah ke sana. Nah, sebenarnya untuk bangunan lama pun juga mencanangkan untuk ke arah sana, eh untuk masjid baru (ramah) disabilitas sudah ada,” ujar Imam Mutholib selaku Kabag (Kepala Bagian) Umum Bagian Perencanaan. Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru Disabilitas Mengenai penerimaan mahasiswa baru disabilitas, IAIN Tulungagung menyediakan ruang khusus untuk para penyandang disabilitas, lengkap dengan pendamping untuk membantu mereka. Sebab, pada waktu tes biasanya mereka menjadi pusat perhatian. Adapun dalam pemilihan jurusan, mereka diarahkan ke nonpendidikan, tetapi mahasiswa baru disabilitas juga diberikan kebebasan untuk memilih jurusan sesuai keinginannya. Mereka dianjurkan untuk menghubungi Pusat Layanan Difabel (PLD) terlebih dahulu agar mendapat pendampingan. Di seluruh Perguruan Tinggi Islam baik negeri atau swasta khususnya IAIN Tulungagung, terdapat tiga jalur pendaftaran yaitu Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPANPTKIN), Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM-PTKIN), dan jalur Mandiri. Pada jalur SPAN-PTKIN dan UM-PTKIN mengalami kesulitan dalam mendeteksi kondisi mahasiswa, sebab pada jalur ini tidak ada seleksi khusus untuk mahasiswa baru disabilitas. Semua pendaftaran dilakukan secara dalam jaringan (daring) dan pengumpulan berkas dilakukan secara luar jaringan (luring). “Biasanya kalau lewat SPAN atau UM-PTKIN itu daftarnya online ya. Jadi, kita tidak tahu kondisi mahasiswa seperti apa,” ujar Muhammad Asrori selaku Kabag Akademik dan Kemahasiswaan.

26

Masjid Baru IAIN Tulungagung/kozin/dok.dim

Pelayanan Inklusif IAIN Tulungagung Dalam rangka mengoptimalkan pelayanan mahasiswa disabilitas di Perguruan Tinggi, maka perlu dibentuk unit layanan disabilitas. Unit layanan disabilitas bertugas untuk merencanakan, mengoordinasi, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan layanan khusus bagi mahasiswa disabilitas. Unit disabilitas juga berfungsi untuk menyediakan tutor relawan yang dapat membimbing pendalaman subjek materi tertentu, melalui metode yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. IAIN Tulungagung memiliki unit pelayanan inklusif yaitu PLD. PLD dirancang pada bulan Juni 2019 oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M). Kemudian pada bulan Juli 2019, profil PLD ditemui di website LP2M (https://lp2m. iain-tulungagung.ac.id/profil-pld/). PLD merupakan lembaga semi independen inisiatif yang berfungsi memberikan layanan konsultasi dan layanan akademik serta nonakademik kepada mahasiswa penyandang disabilitas. Adapun program PLD adalah mengenalkan pentingnya kampus inklusi, pembentukan komunitas khusus untuk mahasiswa disabilitas, dan membentuk relawan peduli disabilitas. Relawan ini berasal dari mahasiswa nondisabilitas yang dapat dan mampu

DIMeNSI 44 | Juli 2020


TERAS

e

anggota tubuh lainnya. Sehingga diperlukan fasilitas yang memadai untuk mereka. Ia juga mendukung program kampus inklusi, sebab pada dasarnya setiap mahasiswa memiliki hak untuk pelayanan dan fasilitas yang sama, baik sarana prasarana yang memadai dan proses pembelajaran yang harus disesuaikan. “Jadi gini, maksudnya sarana dan prasarana itu penting. Kalau suatu saat kita punya mahasiswa yang menggunakan kursi roda, enggak bisa akses tangga, seharusnya pihak kampus membuatkan jalur khusus di seluruh area kampus. Misalnya, kita punya mahasiswa tunanetra dan tunarungu nanti dampaknya ke proses pembelajaran. Makanya kalau sudah ada mahasiswa disabilitas sistem pembelajaran dan sarana prasarana untuk menghadapinya harus siap,” tukas Rizky.

melakukan pendampingan. “Kita sangat terbuka, seperti di website bisa dibaca. Silakan jika mahasiswa melakukan pendampingan kepada teman yang berkebutuhan khusus. Kita akan senang hati untuk membuat komunitas itu. Komunitas yang berkonsentrasi terhadap disabilitas akan kita fasilitasi,” ujar Syaifuddin Zuhri selaku pegawai LP2M. Menanggapi pelayanan terhadap mahasiswa disabilitas, dosen dan mahasiswa berharap IAIN Tulungagung bisa menjadi kampus ramah disabilitas agar semua pihak bisa mengakses pelayanan dengan baik, aman, dan nyaman. “Harapan saya agar IAIN Tulungagung menjadi kampus inklusi, yaitu: pertama, ketika melakukan pendaftaran ulang diberikan tempat khusus atau pun pelayanan khusus, agar data mahasiswa disabilitas tidak tercampur; kedua, menyediakan form khusus seperti meja, tempattempat pegangan, sandaran atau bidang landai; ketiga, dibuatnya peraturan tambahan untuk disabilitas,” ungkap Said selaku mahasiswa Psikologi Islam.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor 30/PRT/M/2006, setiap penyelenggara publik wajib menyediakan sarana fisik yang aksesibilitas bagi lansia dan penyandang disabilitas. Perguruan Tinggi khususnya IAIN Tulungagung perlu mengacu peraturan tersebut dalam merancang dan mengembangkan lingkungan fisik kampus agar bisa dikatakan kampus inklusi, seperti yang telah dijelaskan pada buku Panduan Layanan Mahasiswa Disabilitas di Perguruan Tinggi. Fasilitas yang diperlukan seperti penyediaan guiding block, ‘jalur pemandu’, yang memungkinkan tunanetra berjalan lurus ke arah yang diinginkan. Jalur pemandu biasanya berupa bagian permukaan jalan/lantai dengan warna dan tekstur berbeda. Kampus juga harus menyediakan toilet khusus yang bisa diakses pengguna kruk dan kursi roda, dengan mempertimbangkan gerak kursi roda di dalam ruangan toilet. Spesifikasi toilet dirancang dengan ketinggian 40‒50 cm, serta dilengkapi pegangan tangan (handle) di samping closet dan lebar pintu diusahakan lebih dari 80 cm. Sehingga, pengguna kruk atau kursi roda bisa masuk dengan leluasa. Kampus sebaiknya juga memiliki simbol-simbol disabilitas di setiap gedung dan menyediakan tempat parkir khusus bertanda disabilitas. Dari temuan data tersebut, IAIN Tulungagung belum bisa dikatakan kampus ramah disabilitas atau inklusi. Ini ditunjukkan karena beberapa fasilitas kampus yang belum memenuhi kriteria ramah disabilitas, serta masih samar-samar dalam memberikan pelayanan. Asn, Nur, Far, Rin, Nil, Ard, Bay G, Ely, Fin, Ann, Evi, Ilh, Mas, Riz, Iza, Tsa, War, Mif, Alf, Dew, Ris, Ami)

Ni Putu Rizky Arnani, dosen Jurusan Psikologi Islam menanggapi layanan kampus terhadap mahasiswa disabilitas. Menurutnya secara kognitif mahasiswa disabilitas memiliki kemampuan yang sama dengan mahasiswa nondisabilitas lainnya, hanya saja mereka memiliki keterbatasan pada tangan atau

DIMeNSI 44 |Juli 2020

27


e

TERAS

Pergolakan IAIN Tulungagung Menjadi BLU

IAIN Tulungagung menuju Kampus BLU. Di samping sebagai salah satu prasyarat menjadi UIN, BLU dinilai mengancam UKT mahasiswa.

I

nstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung berencana mengubah status dari Satuan Kerja Penerimaan Negara Bukan Pajak (Satker PNBP) menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Menurut UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.05/2011 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah pusat yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatan berdasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Namun, sudah siapkah IAIN Tulungagung dengan segala perubahan itu? “BLU, Badan Layanan kampus itu punya semacam yang notabenenya itu yang memiliki sasaran mungkin seperti itu. kampus bisa seperti bagus” ucap Mambaul mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab semester 4.

Umum, jadi layanan diarahkan, masyarakat K a l a u itu ya U l u m ,

nunggu aja Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Keuangan dan sudah kita lalui proses sejak awal. Terakhir itu munakosah di Kementerian Keuangan. Insyaallah kita (IAIN Tulungagung, red) sudah disetujui dan semua sudah memenuhi syarat.” Senada dengan pernyataan Saifudin Zuhri sebagai Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, bahwa persiapan menjadi BLU yang dirancang sejak tahun 2017 itu, kini sudah terpenuhi. “Sekarang tinggal menunggu SK dari Menteri Keuangan. (Syarat-syaratnya) harus ada SBM (Standar Biaya Masukan, red) itu. Dari Menteri Agama memutuskan bahwa IAIN di sini (Tulungagung) sudah layak menjadi BLU. Dulu pernah diberi syarat minimal, misal BNBP-nya Rp11 miliar dan kita sudah melampaui.” Perubahan Satker PNBP menjadi BLU dapat dikatakan bersamaan dengan alih status IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Sebab, menurut Isno, “UIN wajib BLU.” Artinya, peralihan tingkatan dari Satker PNBP ke BLU merupakan prasyarat atau bisa menjadi faktor penguat alih status dari IAIN menjadi UIN. Namun demikian, secara administratif alih status menjadi UIN berbeda dengan alih status menjadi BLU. Hal tersebut juga dijelaskan Saifudin, bahwa UIN berbeda dengan BLU. BLU merupakan pengelolaan

Ta n g g a p a n lain berasal dari Bayu, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, “ A p a k a h perubahan IAIN menjadi BLU sudah memenuhi kriteria tersebut?” Dalam hal ini, Kru Dimёnsi mencoba menggali informasi lebih lanjut mengenai kesiapan kampus atas alih status menjadi BLU. Isno, selaku Kepala Bagian (Kabag) Perencanaan dan Keuangan menyampaikan, “Insyaallah kita tinggal

28

dok.dim/rifqi

DIMeNSI 44 | Juli 2020


TERAS keuangan yang jalurnya dari Menteri Agama menuju Kementerian Keuangan. Sedangkan UIN adalah alih status dari kampus institut menuju universitas, jalurnya dari Menteri Agama menuju Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan RB). “Jadi, kita sudah melalui dua tahap, dari Kementerian Agama sudah lulus. Kemudian dibawa ke Kemenpan RB dan dari sana nanti akan melahirkan Ortaker (Organisasi dan Tata Kerja). Jika tidak ada Ortaker, maka kita tidak bisa menempatkan pejabat (kampus). Kalau ada Ortaker, tunjangan bisa dibayar,” tambah Saifudin. Sudah semestinya perpindahan status IAIN menjadi UIN ini berdampak pada perubahan fasilitas atau pun sistem. Kemajuan yang ditunjukkan tentu tidak berdasar pada alih nama ini. Jika tidak, itu hanya akan memunculkan eksistensi tanpa isi. Isno mengatakan, “Ya semua sistem kampus itu menjadi semakin bagus dan semakin online semua. Jadi, semua pengajaran itu arahnya pada karakter, 40% di kelas, 60% di luar atau sebaliknya.” Perubahan menjadi kampus BLU itu akan banyak berdampak pada sektor internal maupun eksternal kampus. Seperti peminjaman gedung yang akan dikenai tarif tertentu. “Ketentuan peminjaman ya enggak ada ketentuan, yang penting bayar tarif. Tarif itu juga yang menentukan Menteri Keuangan,” ungkap Isno. Perubahan alih status kampus menjadi BLU akan mengakibatkan pengelolaan keuangan menjadi mandiri. Pendanaan kampus tidak lagi bertumpu pada Kementerian Keuangan. Oleh karenanya, permasalahan kampus yang berhubungan dengan keuangan seperti fasilitas kampus dan perkembangannya, mestinya direspons cepat. Berhubungan dengan hal tersebut, Saifudin menerangkan jika kampus menjadi BLU, maka kampus akan melaksanakan bisnis dengan profit untuk kepentingan akademik. Sehingga, lama kelamaan kampus tidak bergantung kepada negara, tidak membebani masyarakat serta mahasiswa. Prasyarat BLU pada kesempatan ini harus terpenuhi dahulu, salah satunya seperti pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum (syncore:2017:BLUD.co.id). Apabila pengelolaan wilayah menjadi prasyarat, otomatis memerlukan wilayah baru yang lebih luas agar prasyarat itu terpenuhi. Menurut Isno perluasan lahan untuk menjadi UIN adalah wajib, dengan prasyarat berkisar 25 hektar. Jadi, sesudah beralih menjadi BLU, IAIN Tulungagung akan mulai memperluas lahan sebagaimana inti dari tujuan, yakni perubahan menjadi UIN.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

Prasyarat tersebut jauh dari luas lahan IAIN Tulungagung sekarang ini. Seperti pernyataan Isno, bahwa luas wilayah IAIN Tulungagung sekarang masih sekitar 12 hektar. Artinya, untuk mencapai syarat menjadi UIN masih memerlukan 13 hektar lagi. Di samping itu permasalahan ruang kelas juga perlu diperhatikan. “Untuk ruang kelas terkadang masih perlu mencari ruang kosong,” ujar Bayu. Pembangunan kampus memang semestinya tidak terjadi pengeluaran dana yang sia-sia, apalagi untuk mengejar status UIN hingga melupakan fokus untuk memperbaiki internal kampus, baik fasilitas mahasiswa, karyawan, dan lain-lain. Mengingat alih status IAIN menjadi UIN akan berfokus pada pembangunan. Hal ini juga dinyatakan Isno bahwa kampus menjadi BLU nanti akan diadakan pusat bisnis dan usaha–usaha. Namun, di samping itu tetap tidak melupakan kebutuhan lokal. Mengenai pusat bisnis dan usaha-usaha sebagai wacana perkembangan perubahan kampus BLU, Isno menerangkan, “Ya banyak nanti, pokok yang menghasilkan uang boleh. Yang penting bisnis itu untuk meningkatkan pelayanan, mendirikan pom bisa, mendirikan hotel bisa, mendirikan mal bisa, rumah sakit bisa. Seperti UINSA (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, red).” Kampus dalam hal ini telah berupaya untuk mencapai target guna menjadi UIN. Namun, permasalahan sebenarnya adalah bagaimana cita-cita tersebut berjalan selaras dengan permasalahan yang lain, seperti ruang gedung mahasiswa yang masih kurang, perluasan tempat parkir, dan lain-lain. Isno mengatakan bahwa fakultas–fakultas umum terlepas dan tidak boleh meninggalkan permasalahan prodi keagamaan. Nantinya akan lebih bagus lagi di teknologi dan kesehatan. Oleh karenanya, BLU bukanlah wacana semata-mata agar kampus menjadi mandiri. Di lain sisi harus ada potensi untuk memberikan produk dan pelayanan kepada masyarakat. Kampus yang berstatus BLU berupaya dalam menunjang kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan praktik bisnis yang baik tanpa mengutamakan keuntungan semata.

Kampus BLU Mahasiswa

Dinilai

Mengancam

UKT

Kekhawatiran alih status kampus menjadi BLU diungkapkan salah satu mahasiswa jurusan AFI yang tidak mau disebutkan namanya, “Kalau perubahan menjadi BLU berarti memberikan layanan umum, semisal gedung itu harus membayar, untuk itu tidak masalah. Namun, apakah benar kalau perpindahan menjadi BLU ini UKT mahasiswa menjadi naik?” Berdasarkan data Keputusan Rektor IAIN Tulungagung Nomor 166 Tahun 2020 tentang Tarif Layanan Pendidikan dan Uang Kuliah Tunggal pada

29


e

TERAS

Institut Agama Islam Negeri Tulungagung Tahun Akademik 2020–2021, dipaparkan mengenai besaran UKT dari tahun ke tahun. Pada angkatan tahun 2014 UKT kelompok 1 berkisar Rp0–400 ribu, kelompok 2 sebesar Rp610 ribu, dan kelompok 3 sejumlah Rp927.500. Sedangkan pada tahun 2015 besaran UKT kelompok 1 tetap, kelompok 2 naik menjadi Rp700 ribu, dan kelompok 3 mulai dari Rp1 juta–Rp1,35 juta. Pada angkatan tahun 2016 besaran UKT kelompok 1 tetap, kelompok 2 pun tetap, kelompok 3 mulai dari Rp800–Rp1,2 juta, terdapat penambahan dua kelompok: 4 dan Bidikmisi. Besaran kelompok 4 mulai dari Rp1 juta–Rp1,5 juta dan Bidikmisi berkisar Rp2,4 juta. Pada angkatan 2017 UKT kelompok 1 tetap, kelompok 2 tetap, kelompok 3 mulai dari Rp900–Rp1 juta, kelompok 4 tetap Rp1 juta–Rp1,5 juta, dan untuk UKT Bidikmisi pun demikian tetap. Sedangkan, pada angkatan tahun 2018 dan 2019 UKT kelompok 1 tetap, kelompok 2 berubah menjadi Rp500 ribu–Rp750 ribu, kelompok 3 mulai dari Rp700 ribu–Rp1 juta, kelompok 4 tetap, terdapat tambahan pada kelompok 5 mulai dari Rp1,25 juta–2 juta, dan untuk UKT Bidikmisi tetap. Pada angkatan tahun 2020

UKT kelompok 1 tetap, kelompok 2 berganti menjadi Rp700 ribu–Rp850 ribu, kelompok 3 naik menjadi Rp1 juta–Rp1,3 juta, kelompok 4 pun naik menjadi Rp1,35 juta–Rp2 juta, kelompok 5 juga naik menjadi Rp1,8 juta–Rp2,6 juta, dan untuk UKT Bidikmisi berganti nama Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dengan besaran tetap. Data yang tertulis di atas menunjukkan kenaikan UKT yang signifikan dari tahun ke tahun. Oleh karenanya potensi kenaikan UKT untuk tahun selanjutnya juga dimungkinkan, mengingat ketegangan mencapai posisi BLU sangat masif. Kampus BLU akan terlaksana dengan baik jika kebijakan yang diambil saling berimbang dengan banyaknya permasalahan kampus, baik permasalahan internal maupun eksternal. Oleh karenanya, penting untuk menjalin kerja sama antara dosen dengan mahasiswa, sebagai upaya bersama mengantarkan kampus pada keselarasan dan kemajuan. [] (Dna, Aml, Shw, Alf, Ftr, Mgt, Lai, Ntl, Nco, Syai, Usw, Nat, Sdy)

Gerbang IAIN Tulungagung tampak depan/dok.dim

30

DIMeNSI 44 | Juli 2020


EDITORIAL

e

Lapis Kemas Disabilitas Sesak Regulasi, Minim Akomodasi

H

ak asasi manusia merupakan prinsip dasar bagi setiap individu untuk memperoleh keadilan dan kesetaraan. Pendekatan berbasis hak ini bertujuan untuk memberdayakan penyandang disabilitas agar mereka turut berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Oleh karenanya, dibutuhkan perubahan-perubahan di tengah masyarakat untuk memastikan tercapainya tujuan ini.

Sejumlah peraturan perundang-undangan mengenai penyandang disabilitas telah disahkan baik oleh pemerintah sebagai pengampu kebijakan. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 Ayat 2, yang menjamin hak setiap laki-laki dan perempuan di Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan hidup secara bermartabat; Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang melindungi hak warga negara; serta UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas. Di samping itu, pada November 2011, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Artinya, Indonesia telah memberikan perhatian lebih dalam mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas. Namun demikian, pelbagai kebijakan tersebut mestinya harus diimbangi dengan langkah praktis untuk mewujudkan “Indonesia Ramah Disabilitas” dari berbagai sisi kehidupan. Namun di balik regulasi tersebut, dengan penyebutan diksi ‘disabilitas’ pada setiap pasalnya, terdapat proses panjang dalam penggunaannya. Sebelumnya, diksi ‘disabilitas’ ini bermula dari penderita cacat yang kemudian menjadi penyandang cacat. Hingga muncul istilah difabel. Difabel merupakan eufemisme untuk menyebutkan seseorang yang berbeda kemampuan. Diksi ini disinyalir lebih tepat dan ramah, namun malah diksi ‘disabilitas’lah yang disahkan. Hal ini tidak dapat terlepas dari “Semiloka Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) di awal tahun 2009” dan “Diskusi Pakar untuk Memilih Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat”. Semiloka dalam hal tersebut secara khusus membahas istilah apa yang paling tepat untuk menerjemahkan kata ‘disability’ dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities, namun tidak sampai pada suatu keputusan dan hanya menghasilkan istilah-istilah alternatifnya.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

31


e

EDITORIAL

Sedangkan dalam acara “Diskusi Pakar untuk Memilih Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pada 19–20 Maret 2010 di Jakarta, diputuskan diksi ‘disabilitas’. Padahal ‘disabilitas’ sendiri tidak termasuk dalam istilah alternatif yang sebelumnya dibahas pada “Semiloka Komnas HAM”. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah secara sepihak memutuskan penggunaan diksi ‘disabilitas’. Hingga secara otoritas pemerintah menggunakan ‘disabilitas’ dalam berbagai regulasi untuk selanjutnya dipakai dalam berbagai kesempatan, hingga seolah terdengar “lebih ramah” oleh masyarakat. Perlakuan masyarakat terhadap penyandang disabilitas dalam “Buku Panduan Aksesibilitas Layanan Universitas Brawijaya”, tidak dapat terlepas dari cara pandang masyarakat yang lebih kepada charity model atau medical model dibandingkan social model. Charity model inilah yang pada akhirnya memberikan stigma kepada penyandang disabilitas. Cara pandang ini menjadikan penyandang disabilitas sebagai objek untuk santunan atau amal. Sedangkan medical model memandang disabilitas adalah sebuah penyakit, yang kemudian menempatkan penyandang disabilitas sebagai pasien yang harus disembuhkan, sehingga terapi atau rehabilitasi menjadi cara jitu dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Kedua cara pandang ini membuat penyandang disabilitas seakan tersisih, dipandang sebelah mata, dan hanya dilirik karena belas kasihan di tengah masyarakat. Berbeda dengan social model yang melihat disabilitas sebagai dampak dari lingkungan dan sistem sosial yang tidak mampu mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Cara pandang ini melihat hambatan partisipasi penyandang disabilitas muncul dari cara pemerintah membangun kesadaran masyarakat. Bagaimana masyarakat dibangun dan dikelola, sehingga memunculkan sikap dan asumsi yang salah tentang penyandang disabilitas, termasuk bagi penyandang disabilitas sendiri. Mereka menganggap kondisinya sebagai keniscayaan, sehingga peran pemerintah dalam menjamin hidup mereka tak begitu diperhitungkan. Selama ini infrastruktur dan aksesibilitas memang sudah tersedia di berbagai tempat umum, namun masih minim dan jauh dari optimal. Padahal, jumlah penyandang disabilitas selalu bertambah setiap tahunnya, baik kondisi yang disebabkan oleh penyakit kronis, kecelakaan, atau bencana alam. Masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk memastikan pelaksanaan peraturan perundangan dan kebijakan yang ada secara efektif, agar para penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dalam kegiatan di tengah masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah kemudahan mengakses pendidikan.

32

Pun pendidikan terhadap penyandang disabilitas, pemerintah telah mengusung peraturan dalam mendukung pengembangan pendidikan inklusif di Indonesia. Kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut. Pemerintah Pusat: 1. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif 3. PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan 4. UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas 5. Permendiknas Nomor 40 Tahun 2014 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas Luar Biasa 6. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Hak Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas Provinsi Jawa Timur: 1. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pelayanan bagi Disabilitas 2. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 23 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru pada Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Luar Biasa di Provinsi Jawa Timur 3. Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Pendidikan di semua jenjang adalah hak seluruh masyarakat, tanpa membedakan kondisi dan golongan. Setiap masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan akses pendidikan pada jenjang yang mereka inginkan tanpa adanya diskriminasi. Pendidikan inklusif merupakan salah satu perwujudan nyata pemenuhan hak asasi manusia, khususnya bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang sama, rata, dan adil. Namun pada kenyataannya, penyandang disabilitas masih termarginalkan dan terdiskriminasi dalam hal akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pekerjaan.

DIMeNSI 44 | Juli 2020


e KARIKATUR

e

Karikatur: Irfanda A.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

33


e

34

DIMeNSI 44 | Juli 2020


e

DIMeNSI 44 |Juli 2020

35


eeINFOGRAFIK

36

36

DIMeNSI 44 | Juli 2020


RESENSI

e

Rakyat Miskin Kian Miskin

Sebagian besar rakyat negeri ini adalah kaum miskin, lalu mengapa kebijakan pemerintah tak pernah memihak pada kaum ini? Maka sudah saatnya menuntut: subsidi untuk rakyat miskin! Oleh Kharisma Alfimufidah

Judul Buku

: Orang Miskin Tanpa Subsidi

Penulis

: Eko Prasetyo

Penerbit

: Resist Book

Tahun Terbit

: 2005

Jumlah Halaman

: 163 halaman

ISBN

: 979372346-7

Penulis adalah Kru LPM Dimёnsi

“Buku ini untuk mereka yang hingga hari ini percaya kalau subsidi itu penting bagi keadilan rakyat”, begitulah kutipan yang ditulis oleh Eko Prasetyo di halaman depan buku ini. Kritikan ini diajukan kepada pemerintah yang tak pernah adil dalam memperlakukan rakyat, terlebih lagi rakyat miskin. Rakyat miskin yang sulit memperjuangkan kata “makmur” bagi kehidupan mereka menjadi lebih sengsara karena tak adanya subsidi yang semestinya dapat membantu. Anggarananggaran subsidi perlahan dipangkas demi menambal kebocoran akibat kelalaian pemerintah dalam mengalokasikan uang negara. Seperti buku-buku yang ia tulis sebelumnya dalam seri “Dilarang Miskin”, tulisan Eko Prasetyo tak luput dari nada kritis dan provokatif. Ia menghadirkan buku “Orang Miskin Tanpa Subsidi” ini untuk membukakan kesadaran akan penyelewengan kebijakan pencabutan subsidi dari pemerintah yang tidak masuk akal dan selama ini meresahkan rakyat. Keresahan ini bermula ketika negara dikuasai oleh para koruptor yang berusaha meraup keuntungan sebanyakbanyaknya dari uang rakyat. Di tengah carut-marutnya perpolitikan di Indonesia, uang bisa menjadi benda kejam bagi perekonomian rakyat, di mana uang dipermainkan oleh penguasa negara. Banyak orang merebutkan jabatanjabatan yang menguntungkan di kursi pemerintahan. Selain karena mendapatkan gaji yang amat besar, mereka juga dapat menyelundupkan dana untuk memupuk pundi-pundi kekayaannya. Berbagai bukti penyelundupan secara nyata terpampang menunjukkan tindakan korupsi menjadi data-data yang tidak ada gunanya. Meski telah jelas menjadi terdakwa, koruptor negeri ini tetap bisa dengan mudahnya lolos dari jeratan hukum. Jaringan yang mereka miliki berhasil

DIMeNSI 44 |Juli 2020

membungkam hukum di negeri ini. Rakyat miskin yang tidak memiliki perlindungan hanya bisa menyaksikan mereka berfoya-foya. Nikmatnya sebagai penjarah uang rakyat, dilakukan karena hukum yang lumpuh dan pengetahuan ekonomi rakyat tidak bisa menyentuh sisisisi kerugian. Hitung-hitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya menjadi deretan angka yang menumpuk tanpa pernah mengupas pada efek kerugian yang lagi-lagi berimbas pada rakyat.

37


e

RESENSI

Buku ini mengupas betapa buruknya sistem perekonomian negeri ini. Negeri ini telah mengikuti arus ekonomi liberal yang meyakini bahwa kemakmuran bisa terwujud jika ada: perdagangan, investasi, dan bantuan asing. Maka pemerintah dengan senang hati menyambut perusahaan asing untuk berinvestasi dan campur tangan. Regulasi yang dijalankan pemerintah didasari oleh keinginan untuk beradaptasi dengan situasi pasar. Berkat sistem pasar maka semua sektor selain perdagangan dapat dijadikan sebagai kegiatan perdagangan. Sistem pasar ini berawal pada konsep kepemilikan atau privatisasi yang dapat menghilangkan fungsi publik pada aset-aset publik yang diperdagangkan. Dengan hal ini kepemilikan bukan hanya makin tidak merata tetapi juga mengerucut hanya pada sejumlah orang yang menjadi karakteristik dalam sistem pasar. Jika kepemilikan sudah menjadi milik perorangan, maka disusunlah landasan hukum untuk mengesahkan kepemilikan privat mereka. Seperti yang mereka sebut dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Maka tak segan HAKI ini dapat memberikan sanksi kepada negara manapun yang melanggarnya. Praktik perlindungan hukum memang cenderung lebih melindungi negara-negara kaya daripada masyarakat miskin. “Bangsa ini sejak zaman kemerdekaan tidak pernah tegakkan hukum. Semuanya hanya bagibagi duit,� (hlm. 118). Kondisi negara ini cocok untuk menggambarkan apa yang dikatakan oleh Abdul Hamid, warga Kelurahan Tunggu Rono yang tanahnya dirampas oleh negara. Semenjak negara m e n g a n u t sistem pasar, pemerintah sepertinya lupa akan h a k - h a k rakyat miskin. S e g a l a regulasi telah dibuat

berasaskan kepentingankepentingan kaum kaya. Bahkan bahan kebutuhan pokok seperti beras dan gula pun diliberalisasi hingga

38

repro internet

membuat industri rakyat bangkrut. Pemerintah lebih memilih mengimpor dari luar negeri karena terpikat pada bea masuk yang amat kecil. Semua bahan kebutuhan pokok kini menjadi bahan untuk transaksi perdagangan. Subsidi untuk pupuk yang dikurangi menjadi bagian dari keberpihakan kekuasaan bukan pada rakyat melainkan pada bagaimana mendapat pujian atau dukungan dari lembaga keuangan internasional. Kepatuhan pada badan-badan keuangan internasional ditunjukkan dari bagaimana kenikmatan bangsa ini untuk menimbun hutang luar negeri. Semua itu menunjukkan bahwa pemerintah selama ini telah salah arah dalam membuat kebijakan. Negeri ini tidak melatih penduduknya untuk berproduksi, melainkan untuk berkonsumsi. Budaya konsumtif telah dikembangkan oleh pemerintah melalui pesatnya pembangunan mal dan swalayan di manamana. Bangunan tinggi megah yang diperuntukkan untuk usaha besar telah didirikan dengan legal atas izin dari pemerintah, sementara ribuan hektar lahan produktif rakyat rela dilepaskan begitu saja. Tak hanya itu tingginya nilai konsumtif juga disebabkan oleh sektor perbankan yang berlomba untuk memberikan kredit konsumsi, seperti kredit kepemilikan. Semakin banyak masyarakat tanpa ragu membeli kendaraan pribadi. Hal itu membuat membeludaknya pengguna kendaraan pribadi tanpa diiringi dengan angkutan publik yang nyaman. Terus menerusnya pelebaran jalan raya tanpa adanya pelebaran trotoar membuat pejalan kaki tersingkirkan. Hal ini dapat meningkatkan angka kecelakaan jalan raya. Apalagi pembangunan jalan tol lebih dipacu daripada pembangunan jalanan umum yang dapat digunakan untuk semua kendaraan. Betapa mirisnya jika penyaluran dana subsidi ternyata untuk pembangunan seperti ini. Karena metode penyaluran tak akan mudah jika pipanya berlubang di mana-mana. Satu lagi hal sudah menjadi pemandangan yang lumrah di perkotaan yakni penertiban jalan raya. Penertiban tersebut telah menggusur usaha para pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar. Penggusuran oleh aparat kepolisian ini didalihkan dengan kepentingan estetika dan ketertiban kota tanpa pernah sedikitpun memikirkan bagaimana nasib para pedagang kaki lima dan keluarganya untuk melangsungkan hidup. Padahal ada beberapa kajian yang mulai melihat sektor pedagang kaki lima dalam memberikan sumbangan bagi pendapatan nasional. “Sudah waktunya untuk menatap pedagang kaki lima sebagai bagian estetika kota sekaligus wajah perekonomian rakyat. Tapi penguasa bukan elemen yang selalu arif memandang apa yang sedang dilakukan oleh rakyatnya. Apalagi kekuasaan yang

DIMeNSI 44 | Juli 2020


RESENSI berada dalam tikaman rezim pasar tetap memberikan wewenang mutlak pada berkuasanya ekonomi liberal. Mereka tetap percaya bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengikuti semua kemauan pasar,� (hlm. 112). Hal yang serupa pun dialami oleh buruh dan pekerja migran yang semakin dicerca legalitas keberadaannya. Sangat berbanding terbalik dengan sumbangan yang diberikan pendapatan nasional. Rakyat selalu terlantar di negaranya sendiri tanpa adanya perlindungan. Seperti yang buku ini sampaikan, pemerintah berusaha menghadirkan opini-opini yang mewajarkan pengurangan subsidi dengan dalih bahwa subsidi telah mengganggu anggaran lain. Deretan argumentasi terus dipompakan untuk percaya akan kebenaran dalil bahwa subsidi secara berangsur-angsur harus dikurangi. Bukti yang diajukan pemerintah selalu saja anggaran yang diperuntukkan untuk membayar hutang atau dialokasikan untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Padahal rakyat seringkali dikejutkan dengan kenaikan harga BBM karena sangat berdampak pada harga kebutuhan pokok lainnya. Mau tidak mau rakyat harus bersiap menghadapi kemelut yang tak berkesudahan ini. Telah beredar di berbagai media, iklan-iklan yang ditayangkan untuk memberikan pemahaman akan pencabutan subsidi BBM. Selain itu, pemerintah juga meyakinkan publik bahwa saluran untuk menyalurkan subsidi itu bersih dari korupsi. Rakyat yang tak berdaya menolak keputusan pemerintah berusaha mempercayainya. Pemerintah menebar janji kalau subsidi akan dialihkan untuk biaya gratis pendidikan dan kesehatan. Padahal sektor-sektor tersebut telah berhasil dikomersialisasi.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

Di sektor pendidikan, berbagai lembaga pendidikan berlomba menyiapkan kurikulum yang membekali keterampilan praktis para siswa untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal yang serupa juga berlaku di sektor kesehatan di mana layanan rumah sakit kian menjadi mirip perseroan. Sejumlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) disulap menjadi rumah sakit swasta. Rakyat miskin yang membutuhkan akses kesehatan yang layak pun disisihkan. Tak bisa dipungkiri bahwa rasa kemanusiaan juga harus mengiringi setiap pembuatan kebijakan baik ekonomi maupun politik, untuk diorientasikan pada mereka yang miskin. Kalau masih banyak rakyat miskin maka seharusnya pemerintah mengiringinya dengan kebijakan yang dapat menyejahterakan rakyat. Subsidi bagi penulis adalah langkah yang membuat rakyat percaya akan keberadaan pemerintah. Subsidi adalah program pemerintah yang menghidupkan kembali apa arti pelayanan, perlindungan, dan politik kesejahteraan. Berbagai problematika ekonomi yang negeri kita hadapi tak akan terselesaikan jika kita terus terbungkam oleh sistem ekonomi pasar yang liberal. Buku ini tidak hanya asal mengkritik kebijakankebijakan tak logis pemerintah, tetapi juga menyertakan dengan data-data konkret dan berita-berita nyata beserta sumbernya. Selain itu, juga dilengkapi ilustrasi karikatur yang menarik. Buku ini layak dijadikan referensi sebagai bahan renungan agar pemerintah negeri ini dapat dengan bijak mengambil keputusan dalam mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita membuka mata dan sadar bahwa subsidi itu penting bagi rakyat miskin.

39


e

RESENSI

“

Perbedaan Bukanlah Sebuah Penghalang

“Ketika orang memandang remeh diri kita, saat itulah waktu yang tepat untuk menunjukkan kepada dunia akan kemampuan kita. Bukan karena kesombongan, tetapi karena setiap orang, siapapun itu diciptakan dengan kelebihannya masing-masing. Setiap orang dapat menjadi luar biasa. Kisah-kisah dalam buku ini adalah buktinya. Kisah yang full inspiration, full motivation.� -Tika Bisono-

K

arya Pelangi merupakan buku hasil kumpulan kisah inspiratif mengenai dunia disabilitas yang merupakan hasil dari sayembara menulis yang diadakan oleh para pengurus Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI)-Special Need Therapy Service (SNETS) Solo. Buku ini terdiri dari 31 kisah yang ditulis oleh sahabat penyandang disabilitas, keluarga penyandang disabilitas, volunteer, serta masyarakat umum. Buku ini terdiri dari empat bagian dan pada setiap bagiannya, kita akan disuguhkan dengan kisahkisah inspiratif mengenai dunia disabilitas. Bagian pertama buku ini berjudul “Sahabat Penyandang Disabilitas�. Pada bagian pertama, kita akan dibawa untuk menyelami kisah-kisah dari sahabat penyandang disabilitas, yakni menceritakan asal mula mereka menjadi penyandang disabilitas, perjuangan untuk tetap menempuh pendidikan meskipun memiliki keterbatasan, berusaha untuk tetap kuat saat mendapat hinaan. Penyandang Disabilitas sendiri menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Nila Angria Fitri atau yang memiliki nama pena Nila Gustian sebagai salah satu penulis di dalam buku Karya Pelangi ini menceritakan awal mula ia menjadi penyandang disabilitas, yakni pada saat ia menginjak usia dua belas tahun, ia merasakan ada yang salah dengan tubuhnya, yakni tangan dan

40

Oleh Nurlaila Mullenia Siregar Judul buku : Karya Pelangi Penulis : Nila Gustian, dkk. Tahun terbit : 2013 Penerbit : Selaksa Publishing Jumlah halaman: x+382 halaman ISBN : 978-602-1697-04-7

kakinya melemah. Akibatnya ia merasa kesulitan untuk melangkah, menaiki anak tangga, menggosok gigi, menyisir rambut, memasang kancing baju, menulis bahkan memegang sendok dan garpu, serta kesulitan dalam mengunyah makanan. Hal tersebut membuat ibunya khawatir dan memutuskan untuk memeriksakan kondisinya pada beberapa dokter. Namun, mereka tak menemukan penyebabnya. Ia pun rutin melakukan pengobatan medis maupun alternatif, tapi itu semua tak menunjukkan perubahan. Setelah empat tahun berlalu, seorang dokter ahli saraf berhasil menemukan penyebab dari melemahnya kondisi fisiknya, yakni ia mengidap Myasthenia Gravis, kelainan autoimun di mana antibodi yang diproduksi justru berbalik menyerang otot-otot tubuh penderitanya. Otot-otot tubuh yang diserang akan mengalami kelemahan, mulai dari mata, wajah, leher, tangan, kaki, bahkan otot pernapasan. Myasthenia Gravis sendiri termasuk ke dalam kategori penyakit langka karena kasusnya jarang terjadi,

DIMeNSI 44 | Juli 2020


RESENSI serta tak semua dokter mengetahui dan memahami penyakit tersebut. Akibatnya, tak banyak teman yang mau berteman dengannya. Bahkan tak sedikit pula yang meledek dan mencaci kondisi Nila. Namun, saat menginjak bangku SMA ia mulai menemukan pencerahan dalam hidupnya, yakni ia banyak mendapat dukungan dari guru dan teman-temannya. Tak jarang mereka membantu mencatatkan materi pelajaran ketika ia mulai tak kuat untuk menulis, membukakan bungkus makanan bila tangannya tak kuat untuk membukanya, mengikatkan tali sepatu, meminjamkan buku-buku perpustakaan, mengetikkan tugas makalah olahraga sebab ia tak bisa berolahraga, membantu mencari bahan-bahan yang ia perlukan untuk menyusun tugas sekolah, bahkan mereka menggendongnya beramai-ramai menuju laboratorium di lantai dua bila sedang ada praktikum karena ia tak bisa menaiki anak tangga. Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan di universitas terbuka dan mengambil jurusan matematika. Saat di bangku kuliah ia juga bergabung dengan komunitas sesama pengidap Myasthenia Gravis. Ia cukup aktif dalam komunitas tersebut dan pada April 2011 ia terlibat sebagai salah satu pendiri sekaligus pengurus yayasan Myasthenia Gravis Indonesia. Namun, pada awal tahun 2013, ia terpaksa mengundurkan diri dari kepengurusan yayasan karena kondisi fisiknya semakin menurun. Tak hanya Nila, banyak sahabat yang menjadi penyandang disabilitas seperti tunarungu saat menginjak bangku Sekolah Dasar, terjangkit polio saat berusia 6 bulan, mengalami kecelakaan sehingga ia tak bisa berjalan, memiliki posisi leher yang sedikit miring, tunanetra, serta mengalami kelainan motorik. Namun semua itu tak membuat mereka menyerah dengan keadaan, bahkan ada di antara mereka yang menamatkan sekolah maupun kuliahnya dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

e

kemampuan otak di bawah rata-rata dan usia mental bahkan kejiwaan yang tidak sesuai dengan usia fisiknya. Sebelum memutuskan untuk menikahinya, ia butuh waktu untuk mempertimbangkan, menghimpun nalar, akal sehat serta keikhlasan untuk memperkuat niatnya untuk menikahi perempuan tersebut. Setelah menikah, ia baru mengetahui bahwa istrinya sering mengantuk bila dibonceng, kebiasaannya kembali tidur ketika ditinggal bekerja dengan alasan tidak ada yang dikerjakan, suka beralasan jika disuruh melakukan sesuatu dan memiliki rasa malas yang berlebihan. Selain itu, ia pernah tidak mau salat dikarenakan komputer di Warnet rusak atau jaringannya tidak bagus, sehingga ia tidak bisa mengunduh lagu dan ia juga sering lupa mengerjakan tugas-tugas rumah. Dalam pernikahannya, beban kehidupan semakin berat, tapi ia masih diberi kekuatan menjadi koordinator sebuah pameran yaitu pameran karya anak-anak berkebutuhan khusus seperti autis, down syndrome, dan sebagainya. Sebenarnya ia telah lama mengajukan proposal acara tersebut sebelum ia mengenal istrinya, tapi baru terwujud setelah satu tahun menikah. Acara tersebut diliput oleh media lokal maupun nasional. Tanpa sepengetahuannya ada seorang teman yang menuliskan sedikit kisah hidupnya di jejaring sosial dan melalui jalan itulah ia diundang di acara Kick Andy dalam episode “Kesempurnaan Cinta”. Ketika ia mendapatkan pertanyaan perihal kenapa ia memilihnya sebagai seorang istri, ia pun menjawab bahwa semua yang terlahir ke dunia berhak bahagia, begitu juga dengan istrinya, Putri Meyrinawati. Sedangkan pada bagian ketiga berjudul “Volunteer”. Bab ini berisi kisah Ciptono yang

Pada bagian kedua berjudul “Keluarga Penyandang Disabilitas”, kita disuguhkan dengan kisah-kisah dari anggota keluarga yang menjadi penyandang disabilitas. Seperti yang dialami oleh Mujadi Tani, yakni seorang Guru Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebelumnya ia tak pernah menduga akan menjadi Guru SLB. Menurutnya mengajar merupakan sebuah kebutuhan, apalagi mengajar anak berkebutuhan khusus yang ia maknai sebagai sebuah panggilan. Di sanalah awal perkenalannya dengan perempuan yang akhirnya menjadi istrinya. Akan tetapi, istrinya mengalami Mental Retardation (MR), yakni keterbelakangan mental atau suatu keadaan di mana

DIMeNSI 44 |Juli 2020

repro internet

41


e

RESENSI

mengabdikan dirinya selama dua puluh lima tahun sebagai seorang Guru SLB dengan keberanian dan dedikasi tinggi, maka ia akan menjadi guru anak spesial dengan sukses. Ia pun berjanji akan menghadiahkan hidupnya untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Menurutnya, menjadi Guru SLB harus memiliki kelebihan, harus lima kali lebih santun, lebih sabar, dan lebih kreatif dari guru lain. Mereka bukan produk Tuhan yang gagal, karena Tuhan tidak pernah gagal. Mereka juga tak perlu dikasihani tetapi perlu diberi kesempatan. Selain itu ada juga Nadhira Aini yang menjadi pekerja sosial Freiwilliges Soziales Jahr (FSJ) di Jerman. Selama satu tahun ia bekerja di bagian asrama untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Serta Novelia Ngaripin yang membantu keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, mengunjungi, membantu sekolah yang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, serta membentuk yayasan non-profit dan mengajarkan masyarakat umum tentang kondisi anakanak berkebutuhan khusus. Pada bagian terakhir buku ini, yakni bagian keempat berjudul “Masyarakat Umum�. Berkisah tentang seorang anak bernama Sasa, anak yang mengidap Cerebral Palsy, yakni keadaan di mana kakinya melemah. Namun dengan keadaan tersebut, ia mampu berjalan sendiri dan akan merasa malu jika harus dibantu untuk berjalan. Meskipun harus tertatihtatih, ia selalu berusaha untuk melakukan semua hal sendiri. Jika seseorang ingin membantu sebaiknya meminta izin terlebih dulu dengan bertanya “Boleh

42

saya bantu?� jika ia mengangguk berarti ia bersedia untuk dibantu. Sasa sendiri telah mengikuti terapi neuro structure dan massage fisioterapi. Suatu ketika, ia menangis histeris karena saat ia berwudu, ada adik kelas yang memerhatikannya, akibatnya ia merasa tersinggung dan merasa tidak berharga. Dia pun meluapkan emosinya kepada Bu Nita, guru pendamping yang memegangi lengannya ketika Sasa hampir terjatuh. Lantas, ia berjalan keluar kelas menuju anak tangga dan membenturkan kepalanya ke dinding. Menurut guru pendamping Sasa di kelas 1, Sasa memiliki gangguan psikologis yang cukup parah. Sehingga pikirannya selalu dipenuhi kecurigaan, waswas, dan negatif terhadap teman sebaya. Buku ini sangat menarik dan bagus untuk dibaca karena menyajikan berbagai kisah inspiratif yang membuat pembaca mampu mengetahui lebih jauh mengenai dunia disabilitas, seperti asal mula mereka menjadi penyandang disabilitas, usaha mereka untuk tetap semangat dalam keterbatasan, tetap tegar walaupun mendapat hinaan, serta tetap semangat untuk melanjutkan sekolah walaupun banyak orang yang mencemooh dan memandang mereka sebelah mata. Selain itu, buku ini juga mampu merubah mindset orang-orang dalam memandang penyandang disabilitas. Sejatinya mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang-orang normal pada umumnya.

DIMeNSI 44 | Juli 2020


RESENSI

e

Kucumbu Tubuh Indahku: Makna Tubuh hingga Traumanya

Oleh Siti Nur Khalimah

Perjalanan tubuh dengan berbagai trauma yang dialami Rianto sebagai koreografer sekaligus penari lengger Lanang menjadi inspirasi Sineas Garin Nugroho dalam perfilman. Rianto adalah penari lengger lanang. Seni tari tradisional asli Banyumas, Jawa Tengah.

Judul Film Sutradara Produksi Tahun Durasi

: Kucumbu Tubuh Indahku : Garin Nugroho : Fourcolours Films : 2018 : 01:46:55

I

ndonesia merupakan negeri dengan beragam kesenian, salah satunya adalah kesenian tari lengger lanang yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah. Tari lengger lanang merupakan tarian dengan lelaki yang berdandan bak perempuan. Rianto adalah seorang koreografer sekaligus penari lengger lanang. Menjadi sorang penari lengger lanang harus bisa memerankan dirinya bak perempuan. Hal inilah yang membuat Rianto harus meleburkan sisi maskulinitas dan feminitas ke dalam satu tubuh, yaitu tubuhnya. Nama lengger berasal dari bahasa Jawa, yaitu “Leng” dan “Ngger”. Leng artinya bolongan, bolongane urip (lubang kehidupan) atau bisa juga diartikan kelamin perempuan. Sedangkan Ngger berasal dari kata jengger (jengger ayam) yang artinya kejantanan, perlambang lelaki yang menguasai dunia, seperti Arjuna. Sedangkan lanang berarti laki-laki. Garin dengan apik memilih nama Wahyu Juno sebagai tokoh utama. Nama Wahyu Juno dimaknai sebagai wahyunya Arjuna. Perawakan yang tenang seperti air dan kuat seperti gunung. Dalam film ini, ia dipanggil Juno. Juno kecil (Raditya Evandra) tinggal dengan bapaknya. Tanpa kehadiran sosok ibu, menjadikan Juno tumbuh mandiri, mulai dari memasak hingga menghasilkan uang dengan menjual sate jangkrik di pinggiran jalan. Juno hidup dalam keluarga besar yang

DIMeNSI 44 |Juli 2020

penuh dengan trauma, trauma badan. Bapak Juno yang melihat langsung keluarganya dibantai di sebuah sungai hingga dituduh menjadi anggota Partai Komunis (1965), karena diundang ndalang di partai itu. Hal ini yang membuat keluarga yang tersisa jadi terasing. Akhirnya, Bapak Juno meninggalkannya dan memilih kerja jauh di pulau seberang, diam, dan sendiri. Karena itu, Juno sering pindah dari satu desa ke desa lain untuk melanjutkan kehidupannya. Dalam perpindahannya, Juno dihadapkan dengan lingkungan yang beragam, lengkap dengan berbagai traumanya. Garin menghadirkan sosok Rianto di setiap perpindahan Juno sebagai narator. Yang mana, ini menjadi penguat kompleksitas makna cerita dalam film. Rianto menarasikan perjalanan tubuhnya dengan

43


e

RESENSI

berbagai perumpamaan yang dibarengi lakon Juno sebagai perwujudan nyata. “Rumah saya adalah badan saya. Saya bisa melihat kehidupan dari lubang.” Sejak kecil Juno tertarik dengan tari lengger. Suatu waktu, Juno ketahuan mengintip penari yang sedang berlatih di sanggar. Kemudian, Juno tepergok oleh Guru Lengger (Sujiwo Tejo) dan ia dinasihati. Dari kejadian itulah, Juno rajin ke sanggar untuk berlatih menari. Hingga suatu hari, Juno tidak sengaja mengintip di balik tembok dapur. Ia melihat Guru Lengger membunuh Joko—pembantu Guru Lengger— dengan penuh amarah di raut mukanya. Pembunuhan itu terjadi karena Joko telah melakukan hubungan intim dengan Arum, pengurus lengger sekaligus perempuan milik Guru Lengger. Darah kocar-kacir di mana-mana. Juno yang mengetahui dari awal rentetan kejadian itu menyimpan segala emosi, ketakutan dalam tubuhnya. “Tubuh saya itu hasrat. Selalu ingin tahu apa saja. Hasrat itu yang menggerakkan tubuh saya. Tidak ada batasan hasrat dalam tubuh saya. Mata saya, tubuh saya, mengintip dari lubang kecil hingga lubang besar.” “Kamu tidak usah takut, yang namanya hidup itu cuma numpang ngintip. Pisah, pindah, mati itu biasa! Jadi anak jangan penakut”, ucap Bulik (Endah Laras) saat menjemput Juno untuk diajak pindah ke rumahnya. Selain sekolah, Juno juga membantu mengecek ayam yang akan bertelur. Bulik sampai mengatakan bahwa jari Juno itu jari tuyul. Sebagai siswa, Juno tidak malah rajin belajar, melainkan ia sibuk mengecek ayam tetangga. Mereka sampai rela mengantre panjang agar ayamnya dicek oleh Juno. Bulik yang mengetahui hal tersebut, tidak segan-segan memarahi Juno. Bulik menghukum Juno dengan menusukkan jarum di tangannya. Sehingga membuat darah segar Juno keluar dari jari mungilnya. Hal ini dilakukan tidak hanya sekali, sebab Juno tidak ada kapoknya. Ia mengulangi kejadian itu kembali. Juno yang kelelahan, akhirnya tertidur di kelas. Teman sekelas Juno terganggu karena bau ayam di tangan Juno. Tak lama kemudian, Juno terbangun, alhasil teman sekelas pun menertawakannya. Tawa itu terhenti seketika Guru (Iman Rimansyah) datang dengan memarahi Juno. Juno disuruh maju, dipukul kakinya, lalu disuruh menuliskan sebuah kata dengan mulutnya di papan tulis. Sebelum Juno selesai menulis, tidak ada yang boleh keluar. Juno menuliskan “IBU”. Guru Tari (Dwi Windarti) yang saat itu melihat langsung menghampiri Juno dan memeluknya dengan kasih sayang. Malam harinya, Juno mengikuti latihan menari. Karena Juno datang terlambat, ia tidak boleh pulang

44

dulu seperti teman-teman lainnya. Juno disuruh mengulangi gerakan tari yang telah diajarkan Guru Tari kemarin. Di tengah latihan, Juno tiba-tiba berjalan mundur menjauhi Guru Tari dengan raut muka penuh ketakutan. Guru Tari pun mendekati Juno dan mengatakan bahwa, “Nasibmu itu ada di lembutnya tubuhmu. Itu jalan hidupmu”. Juno saat itu mulai merasa tenang, tak lama kemudian kerusuhan terjadi. Kerumunan massa datang, berteriak-teriak, dan menyeret Guru Tari itu ke kantor polisi. “Waktu saya kecil, saya sudah ditinggal bapak saya. Jadi apa-apa saya lakukan sendiri. Saya menyimpan pengalaman itu di tubuh saya. Kalau dipikir-pikir, semua pengalaman itu bisa jadi pelajaran untuk saya. Seperti memetik daun centhongan, memetik daun bayam, dicincang. Semua itu sudah menjadi satu di tubuh saya. Tubuh saya belajar dari alam.” Banyaknya kejadian yang dialaminya, membuat Juno pindah lagi. Juno kecil pindah ke rumah Pakde hingga ia remaja. Pakde (Fajar Suharno) adalah penjahit. Juno remaja (Muhammad Khan) membantu Pakde untuk mengukur badan seseorang tanpa menggunakan alat ukur, hanya bermodalkan percaya diri. Saat itu, ada seorang petinju (Randy Pangalila) mau menjahit pakaian pengantin. Dari sinilah, Juno semakin dekat dengan petinju itu. Setiap hari Juno selalu datang untuk menemani petinju itu latihan. Tidak hanya itu, mereka juga saling bercerita tentang pahit manis kehidupan yang pernah dialaminya. Kedekatan ini, membuat Juno jatuh hati dengan petinju itu karena kasih sayang dan kebersamaannya. Pakde sudah menganggap Juno layaknya anak sendiri. Di akhir hayatnya, Pakde menitipkan pesan pada Juno. “Semua trauma adalah bagian dari hidup. Tapi kamu harus cintai badanmu itu, karena itu yang membawa hidupmu.” “Tubuh saya adalah alam. Kata ibu saya, saya itu seperti senja. Senja ya senjakala. Yang hidupnya di antara sore dan malam. Malam menjelang pagi. Mistis, tapi indah. Melebur. Tubuh saya itu alam. Tapi saya salah. Saya tidak bisa mengurusnya. Sehingga menyebabkan bencana. Bencana, di dalam tubuhku. Tubuh saya jadi medan perang, seperti Padang Kurushetra. Dengan berbagai karakter yang berbedabeda. Satu. Satu dan lainnya! Di tubuhku ada perang.” Setelah Pakde meninggal, Juno pindah lagi. Seperti biasa, Juno naik mobil bak dengan berbekal

DIMeNSI 44 | Juli 2020


RESENSI tas selempang, wayang, radio, dan mesin jahit milik Pakde. Di atas mobil bak itu, Juno bertemu dengan sekelompok tari lengger dan reog yang juga mau pindah ke desa lain. Pengurus Tari (Mbok Tun) menawarkan agar Juno ikut dengan kelompoknya untuk menjahit pakaian para penari lengger. Juno pun ikut dengan mereka. Di desa baru itu, Juno dan temanteman lenggernya menghasilkan uang. Kerap tampil di acara-acara. Sampai pada suatu saat, ada kabar bahwa pilkada akan segera dilaksanakan. Calon Bupati (Teuku Rifnu Wikana) mempercayakan hal tersebut pada dukun. Dukun memerintahkan Calon Bupati untuk mencari pasangan dari orang yang rumahnya diukur 20 kali bambu kuning dari tugu desa ke gunung. Itu adalah syarat untuk menang pilkada bulan depan. Mereka pun menemukannya. Orang itu adalah Juno. Juno dibawa ke rumah Calon Bupati untuk melaksanakan ritualnya. Ritual diiringi dengan nyanyian tembang dari Pak Dukun sambil mengoleskan serbuk ke tubuh Calon Bupati. Juno menolak. Istri Bupati (Queen Darotea) mengancam Juno dan teman-teman lenggernya. Jika ia tak mau melaksanakan ritual itu, maka mereka akan diusir dari desa dengan tuduhan mereka adalah PKI baru. “Ini zaman Reformasi! Zaman bebas!” ungkap Juno. Namun, di balik kepentingan politik tersebut ternyata Calon Bupati itu diam-diam terpesona pada Juno. Dalam perjalanannya dengan kelompok tari lengger dan reog itu, Juno juga sering menyakiti tubuhnya. Seringkali Juno menusukkan jarum jahit di jarinya. Darah! Dengan raut muka penuh emosi sambil memejamkan matanya. Suatu hari, perbuatan itu dihentikan oleh Warok (Whani Dharmawan). “Kamu tidak boleh menyakiti tubuh alusmu,” ujar Warok. Dalam tradisi reog, gemblak adalah laki-laki yang “dipelihara” warok atau penari reog tunggal sebagai sumber kekuatan supranatural. Konon, ketika sedang “puasa perempuan”, warok tidur dengan gemblaknya sebagai bagian dari ritual (medcom.id). Warok pasti memiliki gemblak. Warok itu pun memilih Juno untuk menjadi pasangannya atau gemblaknya. Ini karena ia memiliki spirit jika bersama Juno. Setelah Warok resmi mengumumkan bahwa Juno adalah gemblaknya, perseteruan malah terjadi. Para Warok merebutkan Juno menjadi gemblaknya. Akhirnya, diadakanlah pertempuran dalam sarung dengan menggunakan arit sebagai pedangnya. Juno yang tak sengaja melihat

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

pertumpahan darah di tengah ladang jagung itupun langsung lari meninggalkan area itu. Juno melihat darah, darah, dan darah. Warok Juno melihat tindakan Juno itu. Ia pun mengakhiri pertempuran itu dan berlari mengejar Juno. Juno menangis, berteriak, meluapkan emosi, dan segala ketakutannya di pemandian umum. “Darah! Darah! Darah! Di mana-mana ada darah! Darah di manamana!” teriak Juno berulang kali. Sang Warok yang mengetahuinya langsung turun ke air dan mencoba menenangkan Juno. Juno yang tak terkendalikan itu akhirnya bisa direda oleh Sang Warok. Sang Warok memeluk erat-erat tubuh Juno dengan mengatakan “Tidak akan ada darah lagi!” secara berulang-ulang. “Setiap saya berjalan di atas panggung, saya seperti mengintip hidupku sendiri. Saya seperti melihat ibu, berjalan membawa tas belanja. Belanja macammacam yang akan dimasak. Seperti saya waktu kecil, menyusuri hutan mencari lubang. Lubang itu satu-satu saya tengok setiap hari. Sambil menunggu kehidupan yang akan muncul.” Juno pindah lagi dan lagi. Namun, pindahnya kali ini dengan kelegaan hati. Di atas mobil bak itu, Juno yang biasanya tak berekspresi kini mulai bisa tersenyum kembali. Senyumnya merekah dibarengi suara nyanyian dari radio usang yang syahdu. Juno siap melanjutkan hidupnya lagi. Seolah, Juno sudah menemukan hidupnya. Senyum Juno inilah yang mengakhiri alur cerita film ini. Melalui film ini, penonton dapat menyaksikan bagaimana perjalanan tubuh seorang penari lengger dan setiap trauma yang dialami pada tubuhnya. Kita akan mengetahui apa makna dari tubuh. Setiap tubuh pasti memiliki trauma. Trauma harus diselesaikan secara sempurna agar tidak menghantui di kehidupan selanjutnya—seperti trauma PKI yang tidak diusut tuntas oleh negeri ini. Film ini juga selalu mengulang kata “mengintip” karena sejatinya hidup itu cuma numpang ngintip kehidupan dari sebuah lubang. Pisah, pindah, mati itu biasa. Selain itu, film ini juga menceritakan kebudayaan asli Indonesia yang seharusnya dilestarikan tetapi malah dimarginalkan. Tari lengger lanang. Kelompok penari marginal ini juga seringkali ditunggangi kepentingan kelompok mayoritas tertentu, seperti yang digambarkan dalam film. Ini merupakan realitas wajah Indonesia. Dengan diangkatnya film ini, diharapkan Indonesia tidak lupa akan kebudayaan aslinya dengan melestarikan budaya tersebut dan mengusut tuntas segala trauma yang ada, agar bisa terus melanjutkan hidup dan menemukan sejatinya hidup itu. Seseorang hanya bisa hidup ketika dirinya menghormati dan mencintai tubuhnya.

45


e

SWARA

Penyandang Disabilitas Berhak Atas Keterbukaan Pendidikan dan Profesional Kerja Oleh Farahdilla Asmara

T

he International Classification of Impairent, Disability, and Handicap (WHO, 1980) menyatakan bahwa ada tiga definisi berkaitan dengan orang berkebutuhan khusus, yaitu impairment, disability, dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis, atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang dipandang normal bagi seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai akibat dari impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal. Penyandang disabilitas merupakan istilah untuk merujuk kepada mereka yang memiliki kelainan fisik atau nonfisik. Sering kali pemahaman klise masyarakat terhadap agama atau budaya tertentu menganggap bahwa disabilitas sebagai bentuk hukuman. Mereka yang kekurangan dianggap memiliki dosa besar, kotor, dan tercela. Sementara itu, pandangan medis beranggapan bahwa mereka yang cacat dianggap sebagai abnormal, yang perlu dikoreksi, diluruskan, dan disembuhkan. Pandangan-pandangan seperti ini cenderung menganggap masalah disabilitas sebagai masalah pribadi masing-masing, tanpa dikaitkan dengan keseluruhan kehidupan sosial kemasyarakatannya. Tidak hanya kelompok disabilitas yang secara individu diberdayakan agar dapat berkontribusi dengan baik. Tak cukup itu, ruang publik pun juga harus didesain menyesuaikan keadaan mereka, sehingga memungkinkan bagi para penyandang disabilitas untuk mengaksesnya dengan mudah, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Disabilitas di Sektor Pendidikan Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan setinggitingginya tanpa memandang latar belakang dan kondisi fisik. Tentu seharusnya kesempatan yang sama juga dapat dimiliki oleh penyandang disabilitas.

46

Penanganan sumber daya manusia penyandang disabilitas masih menjadi problem besar bagi dunia pendidikan. Meskipun pemerintah Indonesia telah mendorong pendidikan bagi penyandang kebutuhan khusus melalui berbagai kebijakan. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan UndangUndang (UU) Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Adanya UU ini repro internet diharapkan bisa memenuhi hak dan memberikan kesempatan lebih baik bagi para penyandang disabilitas di Indonesia. Mulai dari hak hidup, mendapatkan pekerjaan, pendidikan, hingga kemudahan mengakses fasilitas umum. Namun UU tersebut belum sepenuhnya mengakomodir harapan para penyandang disabilitas. Terutama hak belajar inklusi, belum banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang mau memfasilitasi penyandang disabilitas. “Perguruan Tinggi dengan standar fasilitas lengkap untuk penyandang disabilitas belum banyak, sebab juga membutuhkan biaya yang spesifik,� ungkap Paulin Panen ahli bidang Akademik Kemenristekdikti pada wawancaranya oleh medcom.id. Inklusi sendiri memiliki pengertian cara berpikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasa diterima dan dihargai. Prinsip inklusif mendorong setiap unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran. Salah satunya mengusahakan lingkungan belajar siswa secara efektif dan bersama-sama. Dengan demikian, tidak ada siswa yang ditolak atau dikeluarkan karena alasan tidak memenuhi standar akademis yang ditetapkan. Pendidikan inklusif memiliki beberapa filosofi. Pertama, inklusi adalah isu hak asasi dan kesetaraan, bukan semata-mata isu pendidikan. Kedua, inklusi

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SWARA adalah menghargai bahkan merayakan perbedaan dalam keragaman identitas dan kebutuhan belajar. Ketiga, inklusi bertujuan bukan untuk menjerumuskan peserta didik ke dalam sistem yang tidak bisa diubah. Sebaliknya, inklusi bertujuan mengubah sistem agar bisa memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Keempat, inklusi harus berbasis masyarakat. Artinya, sebuah institusi pendidikan yang inklusif mereflekesikan bagaimana keadaan di sekitarnya. Sebuah sistem inklusif terwujud hanya melalui masyarakat yang berbentuk inklusi dan demokratis. Pendidikan Tinggi inklusif sudah diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 46 tahun 2017 tentang Layanan Khusus di Perguruan Tinggi. Pasal 5 menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi harus menyediakan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus. Namun pada kenyataannya, diskriminasi perbedaan fisik ini masih berlangsung di kalangan akademisi. Padahal seharusnya Perguruan Tinggi sebagai pencetak akademisi, dapat mengembangkan pemahaman melawan diskriminasi dan intoleransi yang berdampak ketakutan serta eksploitasi dalam dunia pendidikan. Sementara pemerintah sedang gencar mengampanyekan bahwa pendidikan adalah dasar bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas. Terdapat beberapa kampus yang meskipun sudah menerima mahasiswa penyandang disabilitas, namun tidak dapat memenuhi sarana dan prasarana yang mereka butuhkan. Ada juga penolakan calon mahasiswa yang ingin masuk Fakultas Tarbiyah (pendidikan) karena alasan untuk menjadi guru seseorang tidak boleh buta, dan lain sebagainya. Beberapa Perguruan Tinggi menggunakan instrumen tertentu sebagai cara untuk menolak calon mahasiswa dari kalangan penyandang disabilitas. Seperti melalui brosur penerimaan, di dalam brosur tersebut tercantum persyaratan “tidak cacat tubuh atau ketunaan lain” bagi calon mahasiswa baru. Dalam brosur juga mensyaratkan calon mahasiswa penyandang disabilitas untuk memilih jurusan yang telah ditentukan, misalnya Jurusan Keagamaan. Dengan demikian calon mahasiswa penyandang disabilitas tidak bebas memilih jurusan yang mereka inginkan sesuai bakat minatnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam dunia Pendidikan Tinggi di Indonesia. Meskipun kasus diskriminasi terkadang diakhiri dengan permintaan maaf dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Lagi-lagi peraturan yang sudah dibuat pun tidak berjalan semestinya. Haruskah dunia pendidikan di Indonesia terus-menerus mengabaikan keberadaan kaum penyandang disabilitas? Akankah ini

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

menjadi kemunduran dari sistem pendidikan Indonesia? Menelaah kebijakan yang ada di suatu Perguruan Tinggi mulai dari visi, misi, dan tujuan pendidikan, belum ditemukan kebijakan yang mencerminkan kebutuhan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Semua hanya berbentuk peraturan akademik yang mengacu pada undang-undang nasional maupun internasional yang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Juga tidak terdapat pasal bab yang mengatur kebutuhan aksesibilitas pendidikan bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Di dalam struktur organisasi akademik pun tidak semua kampus yang terdapat pusat layanan menangani kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas. Tidak terdapat program yang mengakomodir kebutuhan aksesibilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas, sehingga keberadaan mereka di sana tidak terdata oleh pihak administrasi akademik kampus. Hal tersebut tentu memengaruhi aktivitas mahasiswa penyandang disabilitas, meliputi proses pembelajaran, pelaksanaan ujian, urusan akademik, penggunaan gedung, dan fasilitas lain di lingkungan kampus. Faktor ini mengakibatkan mahasiswa penyandang disabilitas mengalami ketidaknyamanan dalam kegiatan pendidikannya. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai Perguruan Tinggi telah menjadi contoh model Perguruan Tinggi yang akomodatif. Ditunjukkan dengan adanya peraturan yang berkaitan dengan kepentingan akademik (peraturan akademik) penyandang disabilitas. Terdapat juga unit layanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas, yaitu Pusat Layanan Difabel. Ada juga program “Akses Membaca” dan “Advokasi” bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Di UIN Sunan Kalijaga juga terdapat buku pedoman desain pembelajaran yang sensitif bagi penyandang disabilitas, meskipun belum terlaksana secara maksimal. Serta adanya usaha dan komitmen untuk melakukan penataan dan p e n g o n d i s i a n sarana prasarana kampus sesuai kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas. Halhal tersebut menunjukkan bahwa UIN Sunan Kalijaga telah menuju pada sistem inklusif. Pemerintah juga mendorong pendidikan yang lebih inklusif dengan mendorong semua pengajar harus belajar tentang didaktik dan metodik pembelajaran Penulis adalah mahasiswa jurusan IPII dan bergiat di LPM Aksara FUAD IAIN Tulungagung.

47


e

SWARA

untuk anak berkebutuhan khusus. Paling tidak hal ini untuk menutupi kurangnya tenaga pengajar khusus, juga stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Disabilitas di Sektor Pekerjaan Pemerintah memberikan solusi bahwa penyandang disabilitas punya kesempatan sekolah setinggi-tingginya dengan berbagai cara, tidak harus melalui pendidikan formal. Para penyandang disabilitas bisa mengikuti pendidikan informal, seperti paket A, B, dan C. Sehingga mereka mempunyai sertifikat yang membuktikan keterampilan dan kemampuannya untuk bisa bekerja di sektor formal. Pemerintah menyebutkan adanya UU Nomor 8 Tahun 2016 merupakan salah satu solusi untuk menuntaskan permasalahan hak yang didapatkan penyandang disabilitas. UU ini dibuat secara lebih rinci, tidak hanya kondisi individu, tetapi juga memandang kesulitan akses dan masalah di lingkungan sosial sebagai hambatan besar untuk memenuhi hak-hak dasar. Dalam UU tersebut juga disebutkan tugas pokok dan fungsi untuk mengutamakan isu disabillitas dalam kebijakan dan program kerja sesuai bidang masing-masing. Pemerintah juga mengajak berbagai pihak, misalnya swasta, media massa, dan lembaga pendidikan untuk melakukan advokasi bersama untuk menyosialisasikan pemahaman hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Di sisi lain, dengan telah diresmikannya UU Nomor 8 Tahun 2016, mendorong pihak swata dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membukakan pintu yang seluasluasnnya bagi penyandang disabilitas. Berdasarkan UU tersebut diamanatkan bahwa perusahaan swasta untuk memperkejakan 1% penyandang disabilitas dari total pekerjanya, sedangkan BUMN sebanyak 2%. Ratnawati Sutejo dalam wirausahawan Preciouse One yang mempekerjakan penyandang disabilitas dalam cnbcindonesia.com, mengatakan para penyandang disabilitas sangat butuh kesempatan untuk berkarya dan kesempatan untuk membuktikan hasil kerjanya.

48

Dia meyakini bahwa di balik keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas ada kemampuan yang bisa diolah sebagai kelebihan mereka. Oleh karena itu, ia menegaskan jangan sampai masyarakat meremehkan penyandang disabilitas karena keterbatasannya tersebut. Sebaliknya, para penyandang disabilitas pun harus bangkit dan menunjukkan kelebihannya melalui karya-karyanya. Faktor lain adalah pandangan penyandang disabilitas menjadi beban bagi sebuah perusahaan. Kurangnya kesiapan dalam merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas dan stigma masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas. Ini karena mereka dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya dan dianggap menjadi beban bagi perusahaan. Kondisi lain menyebutkan bahwa praktik inklusi dalam dunia profesional menyatakan rendahnya penyerapan tenaga kerja bagi penyandang disabilitas, karena kesadaran yang rendah terhadap potensi penyandang disabilitas. Kondisi ini menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia mengingat di tingkat internasional upaya melakukan inklusi terhadap penyandang disabilitas di tempat kerja selalu mengemukakan agenda usaha. Inklusi disabilitas bahkan ditampilkan dengan cara cepat meraih momentum dalam strategi bisnis. Melibatkan penyandang disabilitas dan menyesuaikan kebutuhan mereka merupakan langkah penting bagi sebuah perusahaan dalam hal mencari SDM dan pelaksanaan tanggung jawab kepada masyarakat, serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Pemerintah memang sudah memberikan solusi lewat regulasi, tinggal bagaimana solusi tersebut akan berjalan sesuai yang diharapkan. Sebagai warga negara, kita adalah kunci penting kesuksesan rencana pemerintahan. Keterlibatan lembaga-lembaga swasta juga sangat memengaruhi proses sensitivitas terhadap orang-orang berkebutuhan khusus. Diharapkan tidak ada lagi pandangan negatif terhadap orang-orang disabilitas, sehingga tidak ada kesenjangan hak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas.

dok.dim/dina

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SWARA

e

Tuntaskan Diferensiasi Pendidikan Disabilitas, Karena Terbatas Bukan Batasan Oleh Nuzuli Rohmah

I

stilah disabilitas dan difabel sudah tidak asing lagi didengar dalam setiap berita dan kontestasi. Disabilitas sendiri berasal dari dua kata yakni dis yang berarti tidak dan ability yang berarti kemampuan. Disabilitas dalam KBBI adalah suatu keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. Sedangkan difabel berasal dari kata different ability, berarti kemampuan yang berbeda, hanya saja dalam opini masyarakat difabel erat dikaitkan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Berbeda dengan disabilitas yang merujuk pada istilah yang lebih netral dan tidak mengandung diskriminasi. Menurut International Classification of Functioning, Disability and Health yang kemudian disepakati oleh World Health Assembly dan digunakan secara internasional oleh World Health Organization (WHO), “Disability serves as an umbrella term for impairments, activity limitation or participant restrictions� (Disabilitas itu seperti payung terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi). Menurut WHO penyandang disabilitas diklasifikasikan menjadi tiga kategori.

Pertama, impairment, yaitu orang yang tidak berdaya secara fisik sebagai konsekuensi dari ketidaknormalan psikis atau karena kelainan pada struktur organ tubuhnya. Tingkat kelemahan itu menjadi penghambat yang mengakibatkan tidak berfungsinya anggota tubuh lainnya seperti pada fungsi mental. Contoh dari kategori impairment ini adalah kebutaan, tuli, kelumpuhan, amputasi pada anggota tubuh, gangguan mental, dan penglihatan yang tidak normal. Kedua, disability, yaitu ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas pada tataran aktivitas manusia normal, sebagai akibat dari kondisi impairment tadi. Akibat dari kerusakan pada sebagian atau semua anggota tubuh tertentu, menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya untuk melakukan aktivitas pada umumnya, seperti mandi, makan, minum, naik tangga

DIMeNSI 44 |Juli 2020

atau ke toilet sendirian tanpa harus dibantu orang lain. Ketiga, handicap, yaitu ketidakmampuan seseorang di dalam menjalankan peran sosialekonominya sebagai akibat dari dok.dim/ria kerusakan fisiologis dan psikologis baik karena sebab abnormalitas fungsi (impairment), atau karena disabilitas (disability) sebagaimana di atas. Disabilitas dalam kategori ketiga lebih dipengaruhi faktor eksternal si individu penyandang disabilitas. Hal ini seperti terisolasi oleh lingkungan sosialnya atau karena stigma budaya, dalam arti penyandang disabilitas adalah orang yang harus dibelaskasihani, atau bergantung bantuan orang lain. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap individu yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangan waktu lama. Yang dimaksud dengan “dalam jangka waktu lama� adalah jangka waktu paling singkat 6 bulan dan/atau bersifat permanen. Mereka mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Lalu bagaimana dengan layanan pendidikan penyandang disabilitas atau yang sering kita kenal Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)? Sebelum adanya UU Nomor 8 Tahun 2016 hal ihwal tentang disabilitas diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, ini dinilai lebih bersifat belas kasihan (charity based) dan pemenuhan hak penyandang disabilitas masih sebatas pemenuhan

49


e

SWARA

jaminan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, dan peningkatan kesejahteraan sosial. Padahal menganut pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di mana pemenuhan hak asas/dasar manusia tanpa membedakan hal apapun, artinya memandang kedudukan manusia itu sama. Tentu saja hal ini akan mencederai hak para penyandang disabilitas, yang seharusnya dipandang sama dengan yang lain. Termasuk dengan pendidikan penyandang disabilitas. Sebelumnya Indonesia menganut model pendidikan segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Dari segi pengelolaan siswa, model segregasi memang menguntungkan, lantaran mudah bagi guru dan administrator dalam menangani siswa disabilitas. Hanya saja pertimbangannya adalah saat ini kita tahu bahwa tidak semua disabilitas memiliki keterbatasan yang sama satu sama lain. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 ada 4 ragam disabilitas, yakni disabilitas fisik, disabilitas mental, disabilitas intelektual, dan disabilitas sensorik. Dari banyaknya klasifikasi tersebut, apakah semua siswa disabilitas bisa dikatakan layak untuk masuk Sekolah Luar Biasa (SLB)? Jawabannya belum tentu sempurna jika hal tersebut dipandang sama. Misal ada siswa disabilitas fisik yang memiliki potensi intelektual yang tinggi dengan IQ di atas normal. Ini tentu tidak adil jika siswa tersebut harus masuk SLB yang pada dasarnya menggunakan sistem kurikulum berbeda dengan standar reguler. Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Model segregasi tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, dari perspektif wali peserta didik beberapa dari mereka belum bisa menerima kenyataan bahwa anak mereka memiliki kemampuan berbeda, sebab menganggap model segresi sebagai wujud diferensiasi dan ketidakadilan pendidikan. Terlebih lagi para wali peserta didik menganggap biaya di sekolah model segregasi ini mahal dan tidak setiap desa memiliki sekolah model segregasi atau biasa dikenal SLB. Dari berbagai problematika yang ada, sebelumnya pemerintah mewujudkan model pendidikan mainstream, model

50

ini memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi ABK. Model mainstream adalah salah satu cara yang mendukung proses pengaplikasian gerakan Indonesia Inklusi 2030. Model inilah juga yang kemudian dinamai istilah pendidikan inklusif. Konsep yang ditawarkan yakni dengan menempatkan ABK secara penuh di kelas reguler. Melalui pendidikan inklusif, ABK dididik lainnya untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Pendidikan inklusif menyediakan sekolah yang diperuntukkan bagi semua siswa tanpa melihat kondisi fisiknya. Pendidikan inklusif bukan sekadar metode atau pendekatan pendidikan, melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebinekaan antarmanusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menyatukan hak semua orang tanpa terkecuali dalam memperoleh pendidikan (education for all). Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima kelebihan dari program pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non-ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada ABK akibat sering berinteraksi dengan ABK; anak non-ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK; banyak anak non-ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah; anak non-ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika; anak non-ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK. Meskipun demikian, kehidupan tak akan lepas dari problem. Dari problem solving yang kian diwujudkan justru dalam pengaplikasiannya masih saja memunculkan problematika baru. Bukan karena problem solving yang tidak tepat, tapi keseriusan dan komitmen dalam mengentaskan diskriminasi disabilitas bisa dibilang cukup miris. Dari tahun ke tahun, janji-janji pemeritah belum juga terekspos optimal. Sehingga tidak dapat dimungkiri atau bahkan tidak dapat disalahkan bila kemudian melahirkankan wajahwajah stereotip baru di masyarakat. Mengutip dari penelitian yang dilakukan oleh Olifia Rombot, salah satu Dosen Asisten Ahli di Universitas Bina Nusantara Jakarta, mengungkapkan,

repro internet

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SWARA “Sistem pendidikan inklusif di negara kita menunjukkan belum benar-benar dipersiapkan dengan baik. Dan sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang belum mengakomodasi keberadaan anakanak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusif hanya terkesan eksperimental saja.� Alhasil sistem kurikulum yang diterapkan untuk sekolah inklusi pun masih mengambang. Tentang bagaimana merancang kurikulum yang fleksibel selaras dengan zaman dan kontekstual berbasis teknologi kemudian dibaurkan dengan kurikulum untuk ABK. Menyamaratakan dan mengembangkan mengenai kurikulum yang sesuai untuk kedua potensi yang berbeda, namun dimaksudkan untuk dapat menghasilkan produk mutu pendidikan yang optimal untuk siswa secara keseluruhan bukan suatu hal yang mudah. Hal ini perlu melibatkan kesungguhan para tenaga pendidik dan warga sekolah serta lembaga pendidikan dan pemerintah. Jika kita telusuri lebih lanjut dalam pelaksanaannya di lapangan, banyak sekolah yang telah ditunjuk oleh Dinas Pendidikan belum memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Mulai dari fasilitas yang belum terkontribusi akan aksesibilitasnya. Padahal seorang penyandang disabilitas berbeda dengan nondisabilitas sehingga titik poinnya tidak melulu soal fasilitasnya saja, tetapi juga lebih merujuk pada aksesibilitasnya. Mulai dari kemudahan menjangkau akses kelas dan pos-pos penting dalam gedung sekolah (seperti: perpustakan, kantin, dan kamar mandi) serta kemudahan akses di luar gedung sekolah (seperti: jalan, gerbang sekolah, dan aksesakses lainnya). Juga kesiapan sekolah inklusi dalam memberikan pelayanan pendidikan yang lebih intensif, sarana pembelajaran yang mudah dan fleksibel, kesiapan literatur untuk pengguna disabilitas, dan masih banyak lagi. Guru yang mengajar peserta didik pun diharuskan benarbenar

e

serius untuk belajar memahami karakteristik peserta didik, karena yang menjadi beban bukan hanya peserta didik secara general, tapi juga ABK sehingga nantinya mampu dalam mengajar, mendidik, bahkan menangani segala kemungkinan yang akan terjadi pada peserta didiknya. Namun, pada fakta di lapangan menunjukkan guru justru mengabaikan atau bahkan bisa dibilang tak acuh kepada ABK, karena menganggap sudah tersedianya Guru Pendamping Khusus (GPK). Padahal gurulah penanggung jawab di segala sudut letak tepat di mana ia mengajar. Di sinilah terjadi kesalahpahaman, guru kelas bukan melepaskan tanggung jawab peserta didik begitu saja karena merasa tugas telah dilimpahkan kepada GPK, tetapi guru harus lebih proaktif untuk menjalin kerja sama dengan GPK. Akibat fenomena tersebut banyak peserta didik yang tidak terjangkau bahkan tidak terkontrol. Masalahnya tepat pada mutu guru. Dalam perguruan tinggi khususnya Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di IAIN Tulungagung misalnya, tidak semua menerapkan mata kuliah rencana, kurikulum, dan proses pembelajaran untuk penyandang disabilitas yang seharusnya disematkan pada setiap jurusan kependidikan yang ada. Ratarata hanya penanganan realitas saja dan itu pun belum secara mendalam. Jika problematika tersebut diarahkan solusinya, maka ini akan menambah potensi dan kualitas mutu tenaga pendidik Indonesia yang ada sehingga bermanfaat dalam pengaplikasian sosialnya. Tenaga pendidik tidak hanya pandai dalam bidang keahliannya, tetapi juga paham bagaimana cara mengajar dan sistem proses pembelajaran untuk peserta didik yang multitalenta. Guru seharusnya juga mahir dalam mutu karakter, sebelum pada akhirnya mengolah karakter peserta didiknya serta handal dalam menangani setiap fleksibilitas kondisi dan segala kemungkinan yang akan terjadi pada peserta didiknya, baik dari segi penanganan psikis maupun sosialnya. Guru kelas memiliki tanggung jawab lebih dari 10 peserta didik yang beragam sifat, karakter, dan kemampuannya. Maka dari itu, adanya GPK juga tetap sangat dibutuhkan. Namun faktanya kesediaan GPK yang berpotensi bahkan mahir di bidangnya belum terpenuhi. Seperti minimnya lulusan yang berlatar belakang relevan, yang jika ditarik benang kesimpulan menunjukkan bahwa minat pemuda kita begitu miris untuk berperan aktif dalam kesadaran akan kesetaraan penyandang disabilitas, khususnya di bidang pendidikan. ABK memiliki tempat dan perhatian tersendiri oleh pemerintah. Namun mereka lupa memperhatikan dan melibatkan tenaga pendidik penyandang disabilitas. Menurut Freire dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas�, pendidikan yang efektif adalah pendidikan

Penulis adalah mahasiswa Jurusan TBIn IAIN Tulungagung

DIMeNSI 44 |Juli 2020

51


e

SWARA

yang diajar, dibimbing, dan dikontrol langsung oleh tenaga pendidik yang sama atau pernah merasakan hal yang sama yang dirasakan oleh peserta didiknya, sehingga problem nyata yang ada pada peserta didik ini mendapat solusi yang tepat berdasar pada pengalaman guru dan bukan sekadar bayangan saja. Termasuk dalam komposisi pembangunan pendidikan inklusif, tenaga pendidik penyandang disabilitas seharusnya juga dilibatkan dan diberikan ruang tersendiri dalam upaya menggerakkan sekolah inklusi. Setidaknya, minimal 20% dari jumlah guru keseluruhan dalam satu sekolah. Apa manfaat lainnya? Selain hal di atas salah satunya memberikan pandangan kepada peserta didik bahwa tidak hanya proses belajar tapi ada bukti-bukti masa depan yang baik yang dapat dijadikan contoh, arah, ataupun motivasi oleh peserta didik penyandang disabilitas. Penciptaan lapangan pendidikan yang setara dan tanpa termarginalkan memang menguntungkan dan menjadi dambaan setiap orang tua anak disabilitas, akan tetapi biaya atau sumbangan untuk bersekolah inklusi dikategorikan relatif mahal untuk sebagian masyarakat Indonesia yang rata-rata memiliki taraf ekonomi rendah. Tidak menutup kemungkinan jika terdapat wali peserta

52

didik mengeluh kesulitan mengenai hal tersebut. Karena siswa disabilitas membutuhkan biaya tambahan sebagai bentuk apresiasi terhadap GPK. Maka dari itu, pemerintah sebagai penggalang cita-cita pembangunan Indonesia Inklusi 2030 akan dipandang totalitas jika berani untuk membantu bahkan menanggung seluruh biaya pendidikan khususnya wajib belajar 12 tahun untuk seluruh peserta didik, termasuk penyandang disabilitas. Dengan begitu diharapkan mutu pendidikan dasar dan menengah meningkat dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. Serta dengan begitu secara gradual dapat menghapus diferensiasi dan stratifikasi sosial khususnya dalam pendidikan. Dari beberapa sampel masalah yang ada masih diperlukan terus adanya perbaikan, pembaharuan, dan modifikasi serta evaluasi mengenai program apakah yang tepat dalam menangani disabilitas khususnya di bidang pendidikan dalam rangka mewujudkan pembangunan Indonesia Inklusi 2030. Apakah sudah tepat dengan sekolah inklusi atau ada cara yang lainnya. Kiranya pemerintah perlu adanya kontrol ganda dan lebih peka serta peduli terhadap kelompok penyandang disabilitas.

DIMeNSI 44 | Juli 2020


BUDAYA

e

Napak Tilas Jejak Leluhur Sentono

Abu Mansur merupakan penyebar Islam di wilayah Tulungagung, sekaligus sebagai pendiri Desa Tawangsari. Desa ini kental dengan tradisi yang bernapaskan Islam, salah satu agenda besarnya adalah Hadeging sebagai peringatan Hari Jadi Desa Tawangsari.

Tawangsari, Muhammad Abdillah. Ia merupakan Ketua Yayasan Pondok Pesantren Zumrotus Salamah, sekaligus keturunan ke-6 dari Abu Mansur. Abdillah pun menceritakan kronologis asal-usul Desa Tawangsari.

S

Gerbang Masjid tertua di Tulungagung/dok.dim/lukman

ejarah adalah bukti tanda adanya perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menginginkan suatu kemajuan, keberhasilan, atau kesejahteraan. Tak terkecuali sejarah Desa Tawangsari, yang berada di Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung ini menjadi saksi keluhuran Keluarga Sentono, keturunan Abu Mansur. Ialah Raden Qasim, seorang sufi keturunan dari Raja Kartasura, yakni Mangkurat Jawi ke-4 dari istrinya yang seorang sufi. Keturunan dari Mangkurat Jawi ke-4 ini termasuk Hamengkubuwono dan Pakubuwono. Dari silsilah inilah yang menyebabkan Desa Tawangsari berhubungan erat dengan Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta. Raden Qasim dengan nama semasa kecilnya Raden Mas Tolo ini kemudian dikenal dengan Abu Mansur. Abu Mansur adalah gelar yang ia peroleh dari Turki, sebab kesenangannya untuk keluar dan mengambil jalur penyucian jiwa guna menyiarkan agama Islam. Abu Mansur kemudian bergelar Kiai Kanjeng Abu Mansur yang disematkan setelah ia berhaji. Abu Mansur menikah dengan Nyai Lidah Hitam, putri dari Bagus Harun Basyariah, seorang syekh di Madiun. Sejarah Desa Tawangsari Ada beberapa pandangan mengenai sejarah Tawangsari. Kru Dimёnsi berupaya menggali sejarah Tawangsari dengan mendatangi tokoh masyarakat Desa

DIMeNSI 44 |Juli 2020

Abdillah menjelaskan bahwa Desa Tawangsari masih mempunyai hubungan erat dengan Kerajaan Mataram. Sebagai keluarga kerajaan, Abu Mansur mendapatkan sebidang tanah di wilayah Jawa Timur yang sekarang disebut sebagai Desa Tawangsari. Di wilayah kekuasaan inilah, Abu Mansur mempunyai kewenangan untuk mengelola, mengatur kemudian menjadi pemimpin rakyat di Tawangsari. Daerah kekuasaan ini diberikan kepada Abu Mansur sekitar tahun 1750-an. “Diawali dengan Perang Suksesi ke-3. Di zamannya, Amangkurat IV dimusuhi oleh saudarasaudaranya seperti Pangeran Blitar, dsb. Ketika Mataram mengalami gejolak besar, Raja Kartasura dibunuh dan beberapa pusakanya itu dicuri orang-orang. Sehingga untuk menyelamatkan pusaka lainnya dititipkan di sini (Desa Tawangsari, red), total ada sebelas pusaka. Hal ini sudah jelas, kalau Raden Qasim adalah pewaris Mataram,” terang Abdillah. Di Tawangsari ini Abu Mansur mewarisi daerah kekuasaan bukan dari sisi tahta, melainkan mewarisi secara tradisi, budaya, keilmuan, ideologi, terlebih di agama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdillah. “Tawangsari ini memang punya kekuasaan sendiri, punya otonom sendiri, tapi nuansa lebih kepada agama. Seperti tonggak awal munculnya peradaban di wilayah timur Mataram pada abad ke-17. Tawangsari itu ‘Tawang’ yang berarti langit, ‘Sari’ artinya inti. Berartikan memang daerah sini kental dengan sufi, sebab tasawuf itu sebagai ‘ilmu langit’. Semua ajaranajaran di sini (Tawangsari, red) itu baik yang berbasis

53


e

BUDAYA

fiqih, tasawuf, dsb. Itu diramu dan dijadikan sebagai budaya atau tradisi yang positif. Yang jelas di daerah sini itu semuanya bernuansa agama dan agamanya berbasis tasawuf.� Pada saat itu, masih banyak kerajaan yang berdiri di Indonesia. Desa Tawangsari dikatakan sebagai desa perdikan. Desa perdikan merupakan desa atau daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak pada penjajahan Belanda saat itu. Selain itu, Perdikan Tawangsari memiliki beberapa hak istimewa lainnya, seperti warga perdikan itu bebas kerja rodi semasa penjajahan, penguasa perdikan bebas dalam menggunakan pakaian kebesarannya, hingga terlepas dari kekuasaan Kabupaten Tulungagung. Pemerintah Perdikan Tawangsari mempunyai wewenang untuk menghukum warganya yang melanggar peraturan perdikan. Di tanah perdikan ini setiap warganya juga mempunyai tanggung jawab sendiri, seperti bertanggung jawab atas keamanan, keuangan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya roda pemerintahan. Perdikan ini juga harus memberikan laporan satu tahun sekali pada Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1965, perekonomian Perdikan Tawangsari melemah. Salah satu penyebabnya adalah banjir yang merendam persawahan warga. Tentunya hal ini sangat berdampak merugikan masyarakat, karena mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Maka, tulang punggung perekonomian Tawangsari pun merosot. Jika biasanya sawah dapat dipanen dua kali dalam setahun, di tahun itu hanya bisa sekali panen, belum lagi jika hasil pertanian diserang hama. Setelah ada beberapa masalah yang datang, akhirnya Perdikan di Tawangsari ini diubah dari status desa perdikan menjadi desa biasa. Tepatnya pada tanggal 18 Juni 1979, Pemerintah Tingkat II Tulungagung mengeluarkan surat keputusan yang berisikan tentang penetapan dan pemberhentian pejabat dan pamong desa disertai dengan pemberian tunjangan atau ganti rugi sebesar Rp11.500 bagi pejabat yang bersangkutan. Sedangkan untuk permasalahan tanah, penyelesaiannya ada pada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Tanah Perdikan Tawangsari masing-masing dibuatkan sertifikat tanah oleh Gubernur Tingkat II Jawa Timur dan Menteri Dalam Negeri secara simbolis, di mana serfikat itu telah diserahkan oleh Gubernur kepada para pemegang haknya (Imam Bukhori: 1990).

54

Masjid tertua di Tulungagung/dok.dim/lukman

Tradisi Desa Tawangsari Tawangsari kental dengan tradisi bernuansa agama dan sudah dilakukan secara turun-temurun, seperti pembacaan tahlil, peringatan hari besar Islam seperti Suroan, dsb. Uniknya, tahlil dan doa yang digunakan di Tawangsari ini masih kental dengan Jawa, yakni lafaz yang ada di dalam tahlil yang biasanya menggunakan bahasa Arab diganti dengan menggunakan langgam jawa, yaitu Tahlil Tegal Saren. Selain itu juga berkembang Tarekat Syattariyyah, tarekat yang dinisbahkan kepada tokoh agama bernama Abdullah asy-Syattar. Tarekat ini muncul sekitar abad ke-15. Isu yang beredar di masyarakat ialah bahwa tarekat ini dibawa ke Indonesia oleh Abu Mansur. Selain itu, terdapat suatu tradisi yang dilaksanakan satu tahun sekali oleh warga Tawangsari, yakni Hadeging atau Kirab Budaya. Acara ini digelar selama delapan hari. Hadeging didatangi tamu dari berbagai kalangan, seperti pejabat pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten. Acara kirab budaya juga dikunjungi prajurit dari Keraton Yogyakarta beserta abdi dalem. “Kalau tiap bulan Safar, itu diadakan hari jadi Desa Tawangsari. Ditandai dengan kirap dan gunungan (tumpeng) yang dibawa keliling desa dan berakhir di masjid dan dibacakan doa,� ucap Siti Fatimah selaku ibu dari Abdillah, keturunan Abu Mansur. Kirab budaya yang diadakan ini dikonsep dengan modern dan lebih meriah dengan tujuan agar masyarakat juga ikut andil dalam acara tersebut. Budaya yang ditunjukkan tetap pada aturan agama yang berlaku dan tidak menyalahi syariat, yang artinya tidak menyimpang dari pijakan Islam. Hadeging biasanya diawali dengan tahlilan, lalu menyekar ke makam leluhur beserta tokoh masyarakat, dan malamnya digelar pengajian oleh masyarakat desa. Di akhir acaranya akan ditutup dengan pameran dan bazar Usaha Mikro Kecil Menengah. Kirap budaya rutin digelar tiap tahunnya, agar masyarakat Desa Tawangsari memiliki semangat dalam syiar Islam dengan tetap mempertahankan nuansa Jawanya. Sebagai bagian dari kerajaan pula, tradisi yang dimiliki Tawangsari pun tidak jauh-jauh dari nuansa Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta. (Bay, Nis, Luk)

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SUPLEMEN

“

e

Kampus Merdeka: Merdeka Bagi Mahasiswa, Itu Cuma Delusi Kehidupan yang menyejahterakan bagi seluruh industri, mungkin itu kata yang tepat untuk menanggapi kebijakan Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Kampus seharusnya sebagai media pendidikan yang mampu menciptakan generasi intelektual telah mengalami distorsi peran yang hanya sebagai budak kapitalis.

M

enteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, pada 24 Januari 2020, mengusung kebijakan baru mengenai perguruan tinggi, yaitu Kampus Merdeka. Kampus Merdeka merupakan episode kedua setelah Merdeka Belajar yang berisi: ujian sekolah berstandar nasional diganti asesmen, penghapusan ujian nasional, rancangan pelaksanaan pembelajaran yang dipersingkat, dan peraturan zonasi penerimaan peserta didik baru. Kampus Merdeka merupakan sebuah gebrakan baru yang diusung Kemendikbud untuk membuka seluasluasnya mimbar kebebasan akademik. Kebijakan Kampus Merdeka yang diluncurkan Kemendikbud ini berisi empat poin. Pertama, kampus punya otonomi membuka program studi baru. Syaratnya Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta (PTN dan PTS) harus memiliki akreditasi A atau B. Sebelumnya yang bisa membuka prodi baru hanya Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang berjumlah 11, per April tahun lalu.

Syarat tambahannya, prodi tersebut baru dapat dibentuk jika kampus telah menjalin kerja sama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, dan universitas peringkat Top 100 Quacquarelli Symonds (QS), serta bukan bidang kesehatan dan pendidikan. Kerja sama yang dilakukan di luar negeri bermitra dengan universitas peringkat Top 100 QS. Kemudian kampus harus membuktikan bentuk kerja samanya kepada pemerintah. Ada tiga kriteria yang menunjukkan kerja sama dengan pihak ketiga, yaitu penyusunan kurikulum, program magang, dan kerja sama dari sisi rekrutmen. Kedua, sistem akreditasi perguruan tinggi bersifat sukarela. Proses akreditasi ini mengutamakan peran industri dan asosiasi profesi untuk melaksanakan akreditasi, serta bukan mengutamakan pemerintah. Sementara saat ini, proses akreditasi dilaksanakan

DIMeNSI 44 |Juli 2020

Oleh Hendrick Nur C. Penulis adalah Kru LPM Dimensi

setiap lima tahun sekali yang dilakukan oleh Badan Akreditasi N a s i o n a l Perguruan Tinggi. Ketiga, kebijakan mengenai status PTN yang dipermudah. Ada tiga jenis status PTN, yaitu Satuan Kerja (Satker) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum (BH). dok.dim/rifqi Hingga saat ini yang mempunyai status PTN-BH adalah PTN yang berakreditasi A. Keempat, hak belajar tiga semester di luar prodi. Perguruan Tinggi wajib memberikan dua semester atau setara 40 sistem kredit semester di luar perguruan tinggi yang digunakan untuk magang. Magang bisa dilakukan di industri, mengajar, melakukan riset, pertukaran pelajar, dan wirausaha. Sedangkan untuk satu semester belajar di luar prodi yang diambil. Senja Kala Mahasiswa Kebijakan Kampus Merdeka yang diusung Direktur Gojek ini dinilai dapat mengatasi permasalahan dalam dunia pendidikan tinggi. Namun jika kita selisik lebih dalam, semua poin yang ditawarkan hanya menjawab kebutuhan industri. Kampus seakan hanya dijadikan wadah penyedia tenaga kerja, bukan sebagai pencetak tenaga ahli, berdaya pikir kritis, dan agen intelektual.

55


e

SUPLEMEN

Dalih kampus yang bersifat lebih otonom sebenarnya menggambarkan negara yang ingin meninggalkan kewajibannya dalam dunia pendidikan. Pertama, kebijakan pembukaan prodi baru yang otonom. Kampus yang menjadi otonom dituntut bermitra dengan industri. Negara dalam hal ini berperan sebagai penjamin kualitas pendidikan malah mendukung industri terkait pemenuhan kebutuhan industri itu sendiri. Kampus seakan hanya menjawab kebutuhan pasar, apa yang sebenarnya dibutuhkan industri, bukan menjawab permasalahan umat. Kedua, kebijakan mengenai akreditasi yang bersifat sukarela. Akreditasi sebagai bahan evaluasi bersama lembaga pendidikan yang sebelumnya dilakukan lima tahun sekali, sekarang menjadi sukarela dan lebih mengutamakan industri daripada pemerintah. Proses akreditasi yang bersifat sukarela ini saya kira masih sangat tabu. Akreditasi yang lebih mementingkan industri daripada pemerintah, berarti kita hanya menjawab kebutuhan pasar yang ada, bukan malah mengembangkan kualitas pendidikan. Akreditasi yang bersifat sukarela saya kira sangat abstrak. Bayangkan jika akreditasinya sudah A, maka besar kemungkinan tidak akan mengajukan proses akreditasi lagi. Pertanyaannya, bagaimana cara kita mengevaluasi itu kembali jika sistem yang ada masih seperti ini? Serta untuk yang belum mendapatkan akreditasi A, mereka akan disibukkan dengan masalah administrasi. Ketiga, kebijakan mengenai status PTN yang dipermudah. Kalau kita melihat dari pandangan hak asasi manusia, negara wajib menjamin pendidikan dalam negeri. Dalam hal ini pemerintah seakan melepaskan tanggung jawabnya untuk menjamin pendidikan dalam negeri dengan dipermudahnya status perguruan tinggi. Ketika kampus semakin otonom, maka subsidi yang dilakukan negara pasti akan dikurangi atau bahkan dicabut. Perubahan status juga akan berdampak pada regulasi kampus. Dampak dari PTN-BH yang jelas adalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Hal ini karena subsidi yang diberikan pemerintah perlahan dikurangi atau bahkan dicabut. Kenaikan UKT berdampak sangat besar, seakan yang bisa menempuh pendidikan tinggi hanya mereka yang mempunyai uang dan

56

dok.dim/rifqi

orang miskin dilarang kuliah. Kalaupun ada beasiswa untuk orang miskin, mengapa harus bersyarat pintar atau berprestasi? Pendidikan yang mahal merupakan salah satu bentuk komersialisasi pendidikan. Selain perubahan status perguruan tinggi yang dipermudah, kampus yang masih berstatus Satker maupun BLU pasti akan disibukkan dengan masalah administrasi, bukan masalah akademik. Penilaian pun dilakukan lebih mengutamakan industri daripada pemerintah. Dalam hal ini seakan-akan pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam hal memperbaiki kualitas pendidikan dalam negeri dan hanya menjawab kebutuhan pasar. Keempat, adalah kebijakan magang tiga semester, yakni dua semester magang dan satu semester di luar prodi yang diambil. Program magang dua semester di luar kampus atau industri ini, diklaim berdampak pada mahasiswa yang hanya dijadikan robot industri. Kebijakan ini perlu dikritisi dalam proses magang di industri, apakah dibayar atau tidak? Kalaupun dibayar apakah itu layak dan sesuai dengan keringat yang mereka keluarkan untuk magang selama dua semester? Jika ketimpangan ini terjadi, mahasiswa hanya dijadikan budak yang sangat menyejahterakan kaum kapitalis. Bukankah proses magang yang lama sudah disediakan di sekolah-sekolah vokasi yang jelas setelah mereka lulus langsung bekerja. Program magang yang dilakukan mahasiswa selama dua semester di industri membuat mahasiswa hanya dijadikan budak industri yang tak berdaya. Pendidikan jenis ini bukan malah semakin membebaskan, malah semakin menindas. Menurut Paulo Freire, suatu penindasan, apapun namanya dan alasannya adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat manusiawi (dehumanisasi). Lebih baik program magang selama dua semester itu ditiadakan saja, ketimbang malah semakin menindas. Kebijakan dilakukan

Kampus Merdeka yang oleh Mas Menteri berusaha memperbaiki kualitas pendidikan kita ini patut diapresiasi, meskipun banyak yang perlu dikoreksi— tanpa melihat latar belakangnya dari pengusaha. Para ahli perlu dipertemukan untuk memberikan evaluasi, pertukaran gagasan, dan memberikan sebuah alternatif baru untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SUPLEMEN

“

e

Pola Asuh dan Pendidikan Karakter untuk Menghindari Perundungan terhadap ABK

Sejatinya kasus bullying akan terus terjadi tanpa adanya preventif yang tepat. Pentingnya pola asuh dari orang tua mengenai self-acceptance memberikan dampak yang sangat besar terhadap penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, penanaman pendidikan karakter kepada anak-anak sejak dini mulai dari lingkungan keluarga, sekolah bahkan lingkungan kerja juga akan memberikan pengaruh serta dorongan terhadap penyandang disabilitas.

K

Oleh Yunita Sulistiawati Penulis adalah Kru LPM Dimensi

asus bullying saat ini semakin marak terjadi. Pelakunya sendiri mulai dari kalangan anak-anak, remaja hingga dewasa. Salah satu contoh kasus bullying oleh dan terhadap remaja pada Februari 2020 lalu. Salah seorang siswi SMP Purworejo yang menjadi korban bullying oleh ketiga teman lelakinya. Siswi tersebut merupakan penyandang disabilitas, meskipun saat ini kasusnya telah ditangani oleh aparat kepolisian, Namun, hal semacam ini sangat memprihatinkan. Sebab meskipun dalam hukum pelaku perundungan akan mendapatkan denda yang sangat berat. Namun, tidak bisa dipungkiri akan terjadi kasus serupa di kemudian hari.

pendidikan kita dikejutkan oleh tersebarnya video bullying terhadap siswa yang menyandang disabilitas di SMP Purworejo tersebut. Video yang tersebar di media sosial itu mendapat respons yang cepat dari pengguna media sosial di Indonesia.

Bila kita menelisik dalam ranah psikologi, dapat kita ketahui bahwa bullying menurut Olweus adalah tindakan yang bersifat negatif yang dimunculkan seseorang atau lebih, dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya. Krahe (2005), hampir setiap anak mungkin pernah mengalami suatu bentuk perlakuan tidak menyenangkan dari anak lain yang lebih tua atau kuat (dalam Mawardah, 2009: 14).

Lalu mengapa kasus bullying tersebut bisa terjadi kepada anak penyandang repro internet disabilitas? Lalu bagaimanakah kondisi psikologis korban? Menanggapi hal tersebut tentu saja kita tidak boleh memberikan keterangan atau informasi berdasarkan apa yang kita lihat saja. Perlu adanya analisis kasus dengan menggunakan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh beberapa ilmuwan. Sementara itu, perlu terciptanya kemandirian dalam diri siswa tersebut. Kemandirian merupakan modal hidup setiap manusia yang telah ada dalam dirinya. Semua manusia tentunya tidak menginginkan kehidupan mandirinya terganggu karena memiliki keterbatasan secara fisik. Cacat fisik “disabilitas� merupakan hal yang tak pernah diinginkan oleh setiap manusia. Namun, pada kenyataannya kecacatan bisa datang tanpa disadari baik karena kecelakaan, pada saat dilahirkan, ataupun pada masa pertumbuhan.

Dalam faktanya sendiri, perilaku bullying merupakan learned behavior karena manusia terlahir tidak sebagai penggertak dan penganggu yang lemah. Bullying merupakan perilaku yang tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele pun apabila dilakukan secara berulang kali pada akhirnya juga dapat menjadi hal yang sangat fatal. Salah satu kasus yang menyita perhatian di dunia pendidikan adalah kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan siswa terhadap siswa, guru terhadap siswa, maupun oleh siswa terhadap guru. Lagi-lagi dalam dunia

DIMeNSI 44 |Juli 2020

Pola Asuh terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Pola asuh orang tua atau yang biasa kita kenal dengan good parenting sangat penting bagi penyandang disabilitas. Pengasuh sendiri memiliki arti

57


e

SUPLEMEN

dasar asuh yang artinya mengurus, mendidik, melatih, dan memelihara. Tenaga pengasuh adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan dan perawatan kepada anak untuk menggantikan peran orang tua yang sedang bekerja/mencari nafkah. Parent dalam parenting memiliki beberapa definisi, yakni ibu, ayah, seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga maupun seorang pelindung. Parent adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahap perkembangannya (Brooks, 2012). Prinsip pengasuhan menurut Hoghungh tidak menekankan kepada siapa (pelaku) namun, lebih menekankan pada aktivitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Sehingga pengasuhan tidak cukup pada hal fisik, akan tetapi juga butuh pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Pengasuhan fisik mencakup semua aktivitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik dan tetap menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan, kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya. Sementara itu, pengasuhan emosi mencakup pendampingan ketika anak mengalami kejadiankejadian yang tidak menyenangkan, seperti merasa terasingkan dari teman-temannya, takut atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai individu, mengetahui rasa dicintai serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan untuk mengetahui risikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman serta rasa optimistis atas halhal baru yang akan ditemui oleh anak. Oleh karena itu, pola asuh orang tua sangat penting bagi perkembangan anak penyandang disabilitas. Orang tua perlu melakukan bimbingan yang tepat kepada sang anak. Sehingga apabila anak berada di lingkungan luar, mereka akan memiliki kepercayaan yang tinggi. Dukungan serta penerimaan anak penyandang disabilitas dalam keluarga juga akan memengaruhi bagaimana pola pergaulannya. Anak yang dalam keluarganya memiliki kelekatan

58

repro internet

yang kuat, maka ia akan terhindar dari bullying atau perundungan. Karena sejatinya ia telah merasa diterima dan telah mendapatkan support yang besar dari keluarganya, sehingga ia tidak mudah merendah dan merasa berbeda dengan yang lain. Pendidikan Karakter terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Lalu bagaimana dengan anak-anak normal yang melakukan perundungan terhadap penyandang disabilitas? Hal ini perlu adanya pendidikan karakter sejak dini. Pembentukan karakter sendiri tidak dapat terbentuk dengan sendirinya. Namun, juga ada peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin serta peran guru di dalam kelas. Pendidikan karakter merupakan pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati orang lain, kerja keras dan sebagainya. Salah satu penelitian Erikson membuktikan bahwa masa remaja sebagai periode hiruk pikuk, penuh kekacauan, dan kebimbangan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan hormonal dan krisis-krisis identitas. Mesti demikian, penting untuk mengetahui bahwa anak-anak yang mengalami masa emosional di masa remaja biasanya memiliki masalah emosional yang sudah terjadi sebelumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja perlu mendapatkan beberapa hal. Pertama, satu-satunya cara untuk membangun kehidupan bermoral adalah dengan menciptakan manusia yang lebih bermoral. Kedua, sekolah memiliki peranan dan pengaruh yang kuat dan ekstensif terhadap kaum muda karena mereka menghabiskan sebagian besar waktunya bertahun-tahun sejak masih anak-anak sampai dewasa di sekolah. Nilai dalam pendidikan karakter juga akan memengaruhi terbentuknya karakter anak. Menurut Rokeach dan Bank (dalam Toha, 1996), nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu objek. Dalam hal pembentukan karakter di sekolah, peran kepala sekolah sangat penting. Sebab dalam hal ini kepala

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SUPLEMEN sekolah memiliki tiga fungsi. Kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer dalam bidang pendidikan di sekolah yang dipimpinnya, menjadikan siswa-siswa berprestasi dan berbudi pekerti baik, serta sebagai pengayom semua warga sekolah secara bersama bahu membahu memajukan pendidikan di sekolah. Tak hanya kepala sekolah saja namun, guru juga memegang peranan yang sangat strategis, terutama dalam membentuk karakter serta mengembangkan potensi siswa. Keberadaan guru yang handal di sekolah, baik secara perilaku maupun akademis pada saat pembelajaran maupun di luar pembelajaran akan memosisikan guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Di sinilah guru sebagai role model dalam sumber pengetahuan dan pembangunan karakter bagi siswa. Penanaman karakter dalam hali ini tidak hanya sebatas kebiasaan menasihati siswa. Karakter hanya terbentuk dengan persentuhan kualitas kepribadian dalam proses belajar bersama. Pada tataran kelas, guru merupakan faktor penting dan yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pendidikan karakter di sekolah, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam mengembangkan kepribadiannya secara utuh (Mulyasa, 2011: 63). Dikatakan demikian, karena guru merupakan figur utama serta contoh dan teladan bagi siswa. Oleh karena itu, dalam pendidikan karakter, guru harus memulai dari dirinya sendiri agar apa-apa yang dilakukannya berdampak baik terhadap siswa. Pendidikan karakter mengedepankan keterlibatan semua guru, melibatkan warga sekolah, melibatkan ahli pendidikan dalam rangka merencanakan

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

kurikulum pendidikan karakter yang sejalan dengan situasi dan kondisi sekolah, yakni perencanaan yang mengedepankan “experience and concept learning�. Experience and concept learning merupakan sebuah sistem pembelajaran yang dirancang berdasarkan usia anak-anak yang dipadukan dengan pengalaman anak dan pengalaman guru yang disesuaikan dengan tahapan umur anak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menghindari adanya kasus bullying di sekolah, maka guru dan kepala sekolah harus bekerja sama dan menyelaraskan tujuan dari pendidikan karakter tersebut. Tidak hanya itu, guru pula harus memberikan contoh yang baik serta mudah dipahami agar siswa tidak salah tangkap serta tidak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Sekolah serta keluarga merupakan dua elemen penting dalam pembentukan karakter serta pengembangan potensi anak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, sekolah serta keluarga harus memberikan hasil yang maksimal untuk mengurangi kasus perundungan di Indonesia. Pentingnya pola pengasuhan serta pendidikan karakter akan memberikan dampak yang lebih baik untuk mengurangi kasus perundungan terhadap disabilitas. Karena pada hakikatnya perbedaan bukan menjadi dasar untuk direndahkan dan dilecehkan, karena manusia memiliki keinginan yang sama yaitu sama-sama ingin mendapatkan pengakuan dari yang lain. Oleh karenanya penting kesadaran untuk saling menghargai.

59


e

KIPRAH

Percatu: Support Disabilitas Tulungagung

“

“Jika saya melihat teman-teman yang istilahnya terkurung di rumah dan minimnya sarana prasarana itu kasihan sekali, sehingga tidak ada perkembangan bisa dilakukan. Dengan kegiatan ini mereka juga bisa berkembang, ada kemampuan, dan ada keberanian yaitu mengalami sesuatu hal tidak sendiri tetapi ada kawannya,� tutur Didik Prayitno Kulmanadi (Ketua Percatu).

M

anusia adalah makhluk sosial sekaligus individual. Menurut Max Weber, Sosiolog asal Jerman, m e n y e b u t manusia sebagai Homo Duplex. Apabila diartikan, merujuk pada manusia yang Didik Prayitno K./dok.dim dapat bekerja sama dan membutuhkan orang lain sekaligus dapat mandiri dalam kegiatan tertentu. Namun, manusia tetaplah condong kepada makhluk sosial. Mereka cenderung lebih membutuhkan orang lain hampir dalam segala aktivitasnya. Itulah mengapa manusia perlu saling peduli, tidak terkecuali pada orang-orang yang terlahir berbeda, misalnya saja penyandang disabilitas. Menurut KBBI V offline, disabilitas merupakan keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. Menurut data dari Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabillitas (SIMPD), jumlah penyandang disabilitas yang telah terdata sebanyak 140 ribu hingga tahun 2019. Penyandang disabilitas biasanya memiliki kesejahteraan hidup yang masih rendah. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya lapangan pekerjaan dan sulitnya mereka mendapat bantuan dari pemerintah, karena memang terkadang ada pihak keluarga yang masih malu memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas. Akhirnya sulit untuk terdata mendapatkan bantuan.

60

Mengenai hal tersebut, salah seorang disabilitas di Kabupaten Tulungagung memiliki cara dalam menyatukan perkumpulan orang-orang disabilitas. Perkumpulan ini diberi nama Persatuan Cacat Tubuh (Percatu) yang bergerak di bidang sosial disabilitas cacat fisik dan didirikan pada tahun 2001. Percatu ini berlokasi di Dusun Kalituri, Desa Waung, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung yang diprakarsai oleh Didik Prayitno Kulmanadi. Alasan Didik memprioritaskan komunitasnya bagi penyandang disabilitas adalah, Didik merasakan bahwa penyandang disabilitas di tengah masyarakat seakan tersisih, dipandang sebelah mata dan hanya dilirik karena belas kasihan. Bahkan masyarakat enggan melihat potensi yang dimiliki penyandang disabilitas. Didik ingin mengubah semua stigma tersebut. Ia ingin teman-teman penyandang disabilitas bangkit dan memiliki semangat hidup seperti halnya orang nondisabilitas lainnya. Hal inilah yang kemudian oleh Didik didiskusikan bersama penyandang disabilitas yang lain untuk membahas mengenai pembentukan Percatu, sekaligus menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, seperti halnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan adanya Percatu, Didik ingin menunjukkan bahwa banyak di antara penyandang disabilitas yang mempunyai potensi. Percatu oleh Didik diharapkan mampu mengarahkan dan memberi pelatihan khusus untuk mengembangkan kemampuan para penyandang disabilitas. Misalnya saja seperti menjahit, mereparasi radio dan salon, menyablon, menjual kue, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga diberikan motivasi supaya tidak merasa minder dalam bermasyarakat. Dengan ini, kemudian Didik dan teman-teman Percatu mengupayakan untuk menjalin kerja sama dengan DPR atau lembaga lain, baik pemerintah

DIMeNSI 44 | Juli 2020


KIPRAH maupun swasta. Hal ini dimaksudkan jika nantinya teman-teman Percatu mempunyai acara, maka para lembaga ini akan turut andil dalam menyukseskan acara tersebut. Sehingga, di sini akan terjalin kerja sama antara Percatu dan lembaga yang saling menguntungkan. Semua itu memang perlu diupayakan, mengingat bahwa Percatu telah tumbuh hingga 20 tahun ini. Bahkan Didik mengungkapkan, dulunya Percatu tidak sepesat sekarang ini. Ia pernah kesulitan dalam mengajak penyandang disabilitas. Selain itu, banyak di antara mereka yang ragu atau bahkan khawatir jika nantinya diperlakukan tidak semestinya, seperti meminta-minta. Didik juga berujar bahwa beberapa penyandang disabilitas merasa kurang tertarik dan lebih memilih menekuni kegiatan mereka saat ini, seperti memelihara kambing. Oleh sebab itu, Didik menggunakan trik tertentu dalam mengajak para penyandang disabilitas untuk bergabung dengan Percatu. Pertama, ia mencoba memberikan pengertian melalui lingkungannya dengan bantuan dari Ketua RT setempat. Kedua, Ketua Percatu ini dari dulu sampai sekarang menggunakan sistem door to door (dari rumah ke rumah, red). Selain itu, Didik mendapat bantuan dari anggotanya dan lingkungan terdekat untuk mengajak anggota baru bergabung. Berkat usahanya, anggota Percatu terus mengalami peningkatan. Yang mana dulunya hanya 25 anggota. Namun, sekarang ini jumlah anggota aktif Percatu sudah mencapai 60 orang. Jumlah tersebut berasal dari 19 kecamatan di Tulungagung. Dari 60 anggota yang terdaftar itu, mereka memiliki usia yang beragam. Ada yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang kurang lebih ada tiga orang, sampai usia 45 tahun ke atas. Percatu yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas, memiliki alur pendaftaran anggota yang tidaklah rumit. Seorang disabilitas yang mendaftar hanya perlu menuliskan nama, alamat, membawa fotokopi KTP, dan membayar biaya administrasi sebesar Rp10 ribu. Setelah itu, ia wajib mengikuti setiap pertemuan yang rutin diadakan di Percatu. Mengenai hal tersebut, Darminto, salah satu anggota yang telah tergabung selama kurang lebih satu tahun dalam Percatu, mengungkapkan bahwa mulanya ia diperkenalkan tentang Percatu oleh teman dagangnya. Kemudian, ia diperkenalkan dengan Didik dan masuklah ia sebagai anggota Percatu. Setelah itu, Darminto mulai aktif mengikuti kegiatan rutinnya. Percatu rutin mengadakan pertemuan setiap 3 bulan sekali di rumah Didik. Topik yang dibicarakan memang tidak melulu perihal acara formal. Mereka bertemu untuk sekadar berbincang-bincang. Kalau ada kegiatan besar, seperti Hari Difabel, mereka akan

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

membahasnya bersama-sama. Jadi pertemuan rutin tersebut bersifat fleksibel. Darminto juga menyebutkan bahwa Percatu memiliki beberapa kegiatan, di antaranya adalah kegiatan rutin dan kegiatan sosial. “Biasanya yang dibahas itu kalau di situ, biasanya kalau ada kegiatankegiatan rutin Percatu, kedua kalau ada kegiatan sosial, biasanya santunan anak yatim. Sektas kae, ya pokoknya di bulan Maulid kuwi santunan anak yatim. Pokoknya di kegiatan Percatu dari pemerintah ada bantuan tapi kita selaku anggota Percatu mengadakan, ada dana sosial seikhlasnya, terus itu dikumpulkan kalau ada kegiatan yatiman/santunan. Ngono diberikan kepada anak yatim, biasanya gitu,” terang Darminto. Berbicara mengenai penyandang disabilitas, hal ini telah tercantum dalam undang-undang. Ini dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun di Tulungagung, rupanya undang-undang tersebut belum begitu disoroti. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Didik bahwasannya pelayanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas kurang diperhatikan dan belum terpenuhi. “Misalnya saja, pemakai kursi roda kesulitan masuk ke area alun-alun, trotoar yang memudahkan tunanetra mengakses dengan kehalusan permukaannya, masjid yang terkadang tempat wudunya kesulitan dilewati karena harus menyeberang, dan lain sebagainya,” ungkap Didik. Adanya Percatu ini juga sekaligus ditujukan agar pemerintah sadar akan perbaikan ataupun pemberian pelayanan untuk penyandang disabilitas. Pasalnya, menurut Didik di Tulungagung ini ada sekitar 7 ribu penyandang disabilitas dan hanya 4 ratus orang yang terdaftar. Selain itu, tenaga pendampingnya juga masih kurang jika dibandingkan dengan daerah lain. Sehingga banyak penyandang disabilitas yang tidak bisa terekspos. Di sisi lain, adanya Percatu dapat memberikan dampak positif bagi penyandang disabilitas Tulungagung. “Mereka jadi berani speak up (berbicara, red). Dari yang malu mereka jadi berani komunikasi dengan masyarakat sekitarnya, jadi berani mengikuti beberapa pelatihan di kota lain, atau di daerah kecamatan sekitar. Yang tadinya tidak bisa membiayai hidupnya sendiri, jadi bisa. Mereka sudah bisa mandiri tidak bergantung dengan orang lain,” papar Didik. Hal serupa juga diungkapkan oleh Darminto, bahwa banyak dampak positif yang didapatkan setelah bergabung dengan Percatu. “Ya, Alhamdulillah, itu mendapatkan bantuan, ya karo banyak teman. Setelah ikut pertemuan kan kita malah tahu banyak orang yang ternyata lebih dari yang saya alami. Terus sharing dalam pekerjaan apapun, banyak pengalaman lah di situ,” ujarnya.

61


e

KIPRAH

Selain itu, dengan bergabungnya ia menjadi anggota Percatu juga mendapatkan berbagai bantuan. Melalui kerja sama dengan pihak pemerintah, Didik juga selalu mengusahakan anggotanya untuk mendapatkan bantuan dana, baik untuk usaha maupun kesehatan serta bantuan lainnya bagi anggotanya. Didik tidak pernah menyia-menyiakan bantuan yang ditawarkan oleh pemerintah bagi dirinya, dan utamanya anggotanya sendiri. Hal ini pun telah dirasakan oleh Darminto. Satu tahun ia bergabung, SIM D dan kaki palsu telah didapatkannya. Anaknya pun, Irham, kini tengah diupayakan untuk mendapatkan bantuan lewat Percatu ini. Ia mengungkapkan bahwa Percatu memang benarbenar membawa dampak positif baginya. Selain itu, Darminto juga mendapatkan motivasi kerja di sana. Didik selaku Ketua Percatu juga tidak pernah kurang-kurangnya memberi dukungan kepadanya dan anggota Percatu yang lain. “Iya motivasi,

62

dok.dim/Nova

mendapat motivasi kerja, ada dukungan. Dari Pak Didik mendukung, kalau ada yang apa, yang bisa dilakukan anggota. Yang jelas ada motivasi lah, dari anggota ada, dari ketua ada motivasi kerja,� jelasnya. Siapa sangka, alasan dari berdirinya Percatu sendiri adalah karena rasa ikhlas semata. Didik juga mengungkapkan, bahwa dengan banyaknya hal yang ia lakukan untuk komunitas serta anggotanya pun juga dilandaskan pada keikhlasan. Adapun hal lainnya adalah ia juga memiliki rasa kepedulian yang tinggi karena merasa dirinya juga mengalami hal yang serupa. “Jika saya melihat teman-teman yang istilahnya terkurung di rumah dan minimnya sarana prasarana itu kasihan sekali, sehingga tidak ada perkembangan bisa dilakukan. Dengan kegiatan ini mereka juga bisa berkembang, ada kemampuan, ada keberanian dan menemukan jati dirinya, yaitu mengalami sesuatu hal tidak sendiri tetapi ada kawannya,� tuturnya. [] (Ulm/ Hln/Slf/Frd)

DIMeNSI 44 | Juli 2020


WAWANCARA

e

Pertuni, Memandang Dunia dengan Mata Hati

P

erjuangan individu, aktivis, berbagai lembaga maupun organisasi untuk mengawal pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas hingga kini terus berlangsung. Hal itu dikarenakan agar penyandang disabilitas tidak dipandang sebelah mata dalam menjalani kehidupannya. Salah satu organisasi pro-disabilitas adalah Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Sesuai namanya, Pertuni aktif menyuarakan perjuangan hak-hak para penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra. Pada 5 Maret 2020, Kru DimĂŤnsi berkesempatan melakukan wawancara dengan salah satu pengurus Pertuni, Pintar Retno Winahyu. Perempuan yang akrab disapa Nina tersebut merupakan penyandang tunanetra. Ia mengalami kebutaan sejak usia tujuh tahun. Saat ini, Nina bekerja sebagai juru pijat di kediamannya, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung. Kesehariannya sebagai juru pijat tidak menyurutkan Nina untuk aktif berorganisasi. Dalam wawancaranya dengan Kru DimĂŤnsi, Nina banyak menjelaskan mengenai usaha-usaha yang dilakukannya bersama Pertuni untuk berkontribusi secara sosial kepada masyarakat. Berikut wawancara Kru DimĂŤnsi dengan Nina secara lengkap.

Apa Pertuni itu? Pertuni itu adalah Persatuan Tunanetra Indonesia yang lahirnya pada tanggal 4 Januari 1987 (untuk cabang Tulungagung). (Sedangkan) Pertuni (pusat) sendiri itu 1966, waktu itu di Jawa Tengah, Solo. Siapakah anggota Pertuni? Ya kalau Pertuni itu hanya menangani tunanetra, jadi anggotanya tunanetra semuanya. Rata-rata dari yang berusia 1617 tahun hingga 70 tahun ada. (Sebenarnya) ada lagi organisasi semacam Pertuni, namanya Mitra Bakti. Tapi Mitra Bakti itu orang normal (bukan penyandang tunanetra) yang istilahnya aktif membantu (penyandang) tunanetra itu. Apakah di setiap kota di Indonesia terdapat Pertuni? Kalau di Pulau Jawa, hampir di seluruh kota ada. Kalau di luar Pulau Jawa juga ada, tapi tidak semasif di Pulau Jawa. Di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur atau Papua sepertinya juga ada. Apa saja kegiatan Pertuni? Kalau yang selama ini dilaksanakan Pertuni Tulungagung yang rutinan. Itu diadakan satu bulan sekali. Berbagai macam kegiatannya saat rutinan, kadang baksos (bakti sosial, red) juga ke panti asuhan atau kepada sesama penyandang disabilitas. Yang terpenting, adanya kami bisa berguna. Kita kan sama-sama rakyat kecil, intinya sesama rakyat kita saling bantu. Kadang juga kita mencoba mengawal kasus-kasus yang dialami teman-teman tunanetra. Tahun berapa itu, saya nembusi salah satu kampus swasta di Tulungagung. Kalau bisa (agar) menerima mahasiswa yang tunanetra. (Tapi) katanya tidak ada fasilitas, lah terus nanti yang nuntun-nuntun siapa, padahal kan sekarang kita pakai laptop (bisa untuk) bicara sekarang. Tapi sudah lumayan lama itu.

DIMeNSI 44 |Juli 2020

Masih susah memang, kadang-kadang untuk mengajak orang lain agar tidak meremehkan (penyandang) tunanetra. Tapi ya usaha kita tetap, perlahan-perlahan. Terpenting, seperti yang saya katakan sebelumnya, kita bisa berguna gitu. Bagaimana masyarakat memandang Pertuni selama ini? Dari masyarakat sendiri tentu mendukung kami ya. Dalam beberapa kegiatan kita kadang juga bersama masyarakat. Meskipun begitu, ada pula masyarakat yang kadang, maaf, meremehkan (penyandang tunanetra). Saya berharap, semua masyarakat tidak memandang sebelah mata para penyandang disabilitas, dalam hal ini para (penyandang) tunanetra. Pada dasarnya semua manusia itu sama, jadi dalam menjalani kehidupan, lagi-lagi, bisa saling membantu adalah kebaikan. Bagaimana tanggapan Anda sebagai anggota Pertuni melihat kondisi para penyandang tunanetra di Indonesia? Kalau saya melihatnya di beberapa (teman penyandang disabilitas), kadang membuat saya terharu (terhadap) perjuangan hidup teman-teman. Bagaimana mereka terus menjalani kehidupan, bagaimana mereka terus bertahan dalam lingkungannya. Kadang kala, beberapa masyarakat ada yang meremehkan kami. Keadaan ini tentu membuat Pertuni harus terus ada untuk memperjuangkan bersama hak-hak kaum penyandang disabilitas. Intinya kami akan terus berusaha agar kaum (penyandang) disabilitas tidak diremehkan. Apa harapan Anda sebagai anggota Pertuni pada Pertuni sendiri? Harapan pasti yang baik-baik ya. Baik keberlangsungannya, baik kebermanfaatannya. Pertuni ada untuk mengayomi para penyandang tunanetra. Lagi-lagi, dengan adanya Pertuni saya mengharapkan Pertuni mampu mengawal perjuangan para penyandang disabilitas. Tentunya juga untuk para penyandang tunanetra seluruhnya, mari kita berjuang sama. Begitu pula dengan kaum (penyandang) disabilitas nontunanetra, saya berharap untuk terus bersemangat menjalani kehidupan. (Sam, Sof, Vit, Azz)

63


e e

SUSASTRA CERPEN

Elegi Hak Asasi Oleh M. Saifudin Zuhri

M

atahari mulai bergeser ke barat. Semilir angin berhembus melewati lubang-lubang ventilasi pintu dan jendela. Cuaca yang begitu panas menambah sesak ruangan. Sepertinya akan turun hujan di sore hari. Siang hari yang selalu diiringi musik keroncong khas masyarakat kecil memperindah suasana, membuat lupa keadaan dunia sebenarnya. Sekumpulan manusia tengah berkerumun dalam sebuah ruangan kecil yang berventilasi mini. Mereka nampaknya sedang beradu argumen satu sama lain dengan begitu sengit. “Bukankah kita juga punya hak?” tanya Pandir. “Iya, bukannya kita punya hak?” sambung kawan sebelahnya.

“Memang kita punya hak, tapi kita tidak bisa langsung menggugat seperti itu. Semua ada prosesnya, ada prosedur yang harus dilewati. Harus dipikir masak-masak. Supaya nantinya kita tidak dianggap grusa-grusu.” jawab salah seorang lainnya dengan begitu tenang. Nampaknya dia seorang terpelajar dengan keadaan fisik yang berbeda dengan lainnya. Akhirnya perdebatan berhenti dengan sendirinya setelah mendapat jawaban yang dianggap paling logis. Keakraban mereka begitu kental hingga setelah melakukan perdebatan pun mereka masih berbincang dengan santai. Seakan-akan tidak baru saja melakukan adu pendapat dengan nada tinggi. Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka berkeinginan memperjuangkan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, sarana prasarana yang memadai, dan mendapatkan pekerjaan yang sepadan di masyarakat serta tidak adanya diskriminasi terhadap kelompoknya. Dalam proses

64

perjuangan yang dilakukan kelompok ini tidak sendiri, mereka dibantu salah satu kawan yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Namanya Lutfi, pemuda yang memiliki rasa simpati kepada sesama. Dia orang yang berpendidikan dan berpengetahuan luas. Dia diajak oleh Pandir yang memiliki kelainan pada kakinya. Pandir seorang penyandang disabilitas sejak lahir, harus dibantu oleh kursi roda untuk berpindah tempat. Pandir adalah salah satu penggagas berdirinya paguyuban untuk orang berkebutuhan khusus. *** Semburat cahaya mentari menerobos masuk melalui ventilasi udara membuat Lutfi terbangun dari tidurnya. Ia segera mencari ponselnya untuk mengecek pukul berapa sekarang. Pukul tujuh pagi dan dia tibatiba teringat jadwal dengan Dewan Perlindungan Disabilitas. Dia akan mempresentasikan tentang hakhak yang harusnya didapatkan oleh teman-teman berkebutuhan khusus. “Sial, kenapa bangunku kesiangan. Manalagi ada janji sama orang-orang brengsek itu!” maki Lutfi pada dirinya sendiri. Ia segera mengaktifkan data ponselnya untuk melihat pesan yang telah dikirimkan padanya. Sembari menunggu pesan masuk, Lutfi bergegas menuju kamar mandi untuk melakukan bersih diri. “Nikmat sekali mandi di pagi hari,” celetuk Lutfi. Dia langsung menyaut ponselnya setelah keluar kamar mandi. Pesan berantai terus beriringan datang dari teman karibnya, Pandir. Dia mengingatkan Lutfi tentang acaranya pada hari ini. “Hoe Lutfi... Bangun kau!”

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SUSASTRA “Jangan tidur mulu!” “Jangan sampai lupa, kau hari ini pukul delapan tepat ada janji sama orang bedebah itu di gedung tengah kota lantai 5!” “Bawa juga laptop dan kartu namamu, supaya kau bisa mudah mencari ruangan yang telah dijanjikan!” Rentetan semacam itu terus berdatangan. Tak hanya dari Pandir, tapi juga dari beberapa orang yang memiliki pengaruh di paguyuban itu. Tak lupa Lutfi membalas pesan itu supaya Pandir dan yang lainnya tidak khawatir.

e

dan menyapukan pandangannya ke segala arah penjuru kota sekuat mata memandang. Dari sana Lutfi dapat melihat hiruk pikuk kehidupan. Mulai dari lalu lalang orang mengendarai motor dan mobil menuju tempat kerja. “Sungguh enak sekali jadi orang berdasi, tiap hari bisa melihat pemandangan begitu indahnya. Segala aktivitas dapat terekam jelas dari sini,” batin Lutfi. “Tapi, mengapa mereka tetap pura-pura tidak mengerti keadaan kaum kecil? Padahal, aku sendiri dari sini bisa melihat semua aktivitas dan kondisi mereka dengan begitu jelas,” lanjut Lutfi dalam hati.

“Ok, ini aku sudah mau berangkat,” jawabnya singkat tanpa basa-basi ataupun mencoba membalas cemooh yang mereka lakukan.

Pandangan Lutfi selalu berhenti lebih lama ketika melihat aktivitas para kaum proletariat dan juga disabilitas.

Bagaimanapun juga menurut Pandir dan kawankawannya pertemuan ini begitu penting karena terkait masa depan anak cucu mereka.

“Katanya, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapat pelayanan hidup yang baik. Tapi nyatanya dari sini aku masih bisa melihat mereka hidup begitu nestapa,” kata Lutfi setiap kali melihat rumahrumah pinggiran sungai. Keadaan rumah yang jauh dari kata layak di pinggiran rel kereta api. Irisan kota begitu nampak perbedaanya, antara yang di tengah kota dengan pinggiran kota.

Setelah dirasa cukup membalas pesan masuk, Lutfi bersiap-siap dan juga sarapan dahulu supaya pemaparannya lancar. “Jika tak lancar, orang-orang bedebah itu pasti ragu dengan apa yang aku utarakan, lebih buruk lagi akan menambah sengsara kaum penyandang disabilitas.” *** Pukul delapan lebih dua puluh menit. Lutfi tiba di gedung pertemuan. Dia telat dua puluh menit dari waktu yang dijanjikan. “Sungguh ironi, di saat-saat penting seperti ini aku malah terlambat. Semoga saja orang-orang itu nggak ngomel-ngomel,” gerutu Lutfi. Lutfi menyodorkan kartu identitasnya dan sepucuk kertas semacam kartu undangan yang di atasnya tertulis alamat beserta tempat yang akan digunakan. Lutfi segera berjalan menuju tempat yang telah ditunjukkan resepsionis dengan sedikit tergesagesa. Sebelum memasuki ruangan, Lutfi berhenti sejenak di depan pintu untuk mengambil napas dan menata pakaiannya yang sedikit berantakan. Tapi orang-orang yang berkepentingan itu belum juga hadir dalam ruangan. “Jangkrik...” pekik Lutfi dalam hati seketika melihat ruangan tanpa orang. “Ironi sekali negeri ini memiliki orang-orang seperti mereka untuk mengurus hal-hal penting semacan urusan disabilitas. Hufftt... Ngerti gini aku tadi santai saat berangkat!” Lutfi segera menarik sebuah kursi menuju arah jendela yang menghadap peradaban kota. Dia duduk

DIMeNSI 44 |Juli 2020

“Wah, ada apa di sana?” tanya Lutfi entah pada siapa dengan nada kaget. Seketika Lutfi berdiri serta memfokuskan pandangannya pada satu titik, di mana terlihat tiga sampai lima orang berkerumun mengangkat barang kecil namun tampak berat. Ternyata yang diangkat adalah kursi roda yang di atasnya masih ada penumpangnya. “Mengapa orang di atas kursi roda itu harus bersusah payah diangkat menuju bus kota?” gumamnya lagi. Ssrrrtttt “Halo, selamat pagi!” terdengar suara dari arah pintu masuk. “Sudah lama menunggu?” pertanyaan yang begitu cepat padahal Lutfi belum sempat menjawab sapaanya. “Hai, selamat pagi. Belum lama kok, mungkin baru dua puluh menit semenjak saya datang Pak!” jawab Lutfi. “Maaf, tadi sedikit ada masalah di perjalanan menuju sini,” terang orang itu. “Tidak apa-apa,” jawab Lutfi singkat. “Silakan duduk anak muda, siapkan dulu peralatan yang akan kamu gunakan nanti!” perintah orang tersebut.

65


e

SUSASTRA

Tanpa ada jawaban, Lutfi langsung bertindak sesuai perintahya. Dengan cekatan Lutfi mengeluarkan barang-barang yang dibutuhkan. Setelah dirasa cukup, Lutfi segera menaruh tasnya di atas kursi tempat ia duduk dan memulai pembicaraannya. “Selamat pagi. Sebelum saya mulai pemaparan. Perkenalkan nama saya Lutfi, saya mewakili salah satu kelompok yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab Bapak-Bapak sekalian, yaitu komunitas penyandang disabilitas. Mereka tidak mampu ke sini karena infrastruktur yang seharusnya didapatkan tidak memadai, terima kasih.” “Saya berdiri di sini atas nama mereka, bukan pribadi. Jadi nantinya akan fokus membicarakan mereka!” terang Lutfi tentang riwayat hidupnya beserta tujuannya berada dalam ruang pertemuan. Pertemuan itu membahas tentang hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh orang-orang disabilitas. Mulai dari pendidikan hingga ekonominya. Lutfi melakukan ini atas permintaan Pandir dan teman-teman penyandang disabilitas lainnya. Mereka beranggapan bahwa belum menerima hak-hak yang seharusnya didapatkan. Pertemuan yang seharusnya berjalan lancar dan tenang-tenang saja tidak terealisasi. Orangorang pemerintahan selalu membantah setiap data yang Lutfi paparkan. Menurut mereka data itu kurang tepat, terlalu memojokkan pemerintah “Maaf Mas, data yang Anda paparkan kurang tepat. Data yang Anda sajikan seakan-akan pemerintah tidak ada yang benar menangani orang-orang disabilitas,” sanggah salah seorang dari mereka yang sedikit geram dengan pemaparan Lutfi. “Datanya bisa langsung dicek secara berkala di lapangan jika menurut Bapak-Bapak kurang tepat. Data yang saya paparkan sudah dikumpulkan oleh temanteman sejak lama,” jelas Lutfi begitu tegas tanpa ada rasa takut sedikitpun pada mereka. Pertemuan berakhir dengan raut wajah masam dari Lutfi. *** “Bagaimana Lut hasilnya tadi?” tanya Huda pada Lutfi yang baru datang dengan motor buntutnya. Huda mengenal Lutfi semenjak Lutfi diperkenalkan oleh Pandir di komunitas mereka. “Ah... Nanti saja kita bicarakan saat semuanya sudah kumpul!” jawab Lutfi dengan suara malasnya. Huda tak menjawabnya karena melihat raut muka Lutfi yang nampak marah. Lutfi masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan kain-kain perca. Kain perca tersebut diolah menjadi kerajinan dan barang-

66

barang multifungsi oleh paguyuban disabilitas. Barangbarang yang sudah jadi dijual kepada pemborong kenalan mereka. Tujuan mereka hanya untuk menghidupi komunitas dan menyejahterakan keluarga. Mereka mendirikannya secara mandiri tanpa bantuan pemerintah sedikitpun. Sebenarnya, mereka sudah berkali-kali meminta bantuan pada dinas terkait namun tak kunjung ada kabar. Proposal pengajuan yang telah dikirim seperti hilang ditelan bumi saja. Tak lama setelah Lutfi duduk di ruang tengah, Pandir datang diantar oleh taksi online yang telah menjadi langganannya. Dia memilih naik taksi online daripada taksi biasa karena selain harganya lebih murah, pelayanannya juga lebih baik. Pengemudinya berkenan membantu naik dan juga menurunkan hingga mengantarkan sampai pintu masuk tujuannya. “Rupanya kau sudah datang Lutfi, bagaiamana pertemuanmu tadi?” tanya Pandir. “Santai dulu lah.” jawabnya singkat. “Sepertinya orang-orang berdasi itu hanya akan memperhatikan kalian sebelah mata!” terang Lutfi membuka pembicaraan dengan teman-teman barunya. Huda yang duduk di samping Lutfi nampak memvisualkan apa yang dibicarakan Lutfi kepada kawan disabilitas tunarungu. Setelah memahami keterangan Lutfi, nampak raut wajah mereka berubah. Tiba-tiba di depan Lutfi ada sebuah tulisan dari salah seorang di antaranya. “MENGAPA?” Hanya satu kata saja tidak lebih. Namun kata itu membuat Lutfi bingung, menjawab. Lutfi berpikir keras agar dia bisa mengatasinya tanpa menyinggung perasaan mereka. “Ya, karena orang disabilitas belum jadi prioritas,” jawabnya singkat. “Tapi, kita kan tidak minta banyak?” tanya Huda. “Iya memang, tapi mau bagaimana lagi itulah kenyataannya, mereka....” Belum sempat Lutfi selesai berbicara tapi Pandir sudah memotongnya. “Kita hanya minta supaya fasilitas dan infrastruktur untuk disabilitas diperbanyak, utamanya untuk pendidikan,” potong Pandir dengan suara meninggi. Tampaknya Pandir sedikit naik darah karena sudah bertahun-tahun mereka meminta keadilan, namun hanya janji saja yang diberikan, tidak realisasinya. “Iya, tadi juga sudah aku sampaikan begitu!” jelas Lutfi. “Mereka saat ini sedang fokus membangun infrastruktur jalan layang untuk mengurai kemacetan,”

DIMeNSI 44 | Juli 2020


SUSASTRA sambung Lutfi. “Masa iya setiap tahun hanya orang ‘normal’ yang diperhatikan. Kita juga memerlukan infrastruktur memadai,” celoteh Pandir yang disambut suara riuh oleh teman-teman lainnya. “Pemerintah sepertinya lupa dengan sila Pancasila yang kelima!” sahut salah seorang dari belakang. “Katanya mereka kaum intelektual perangainya masih cetek,” sambungnya.

tapi

Lutfi hanya terdiam mendengar curhatan mereka yang tanpa sengaja terlontar dari mulut mereka. Akhirnya mereka berhenti bicara setelah Pandir menenangkan suasananya. “Terima kasih Lut, kamu telah berkenan menyampaikan pendapat kami,” ucap Pandir setelah mereka berhasil ditenangkan. “Iya sama-sama, semoga pemerintah tidak hanya cuap-cuap dan bergaya saja. Semoga lekas ada realisasi nyata,” jawab Lutfi pada Pandir dan teman temannya. Mereka kembali ke rumah masing-masing karena matahari sudah mulai tenggelam di arah barat. Jam dinding juga menunjukkan pukul 4.15. *** Hampir semua orang disabilitas sudah pulang, tinggal beberapa orang saja termasuk Pandir dan

DIMeNSI 44 |Juli 2020

e

Huda. Lutfi pun juga masih di sana. Tiba-tiba pukul 5 sore ada segerombolan orang bertubuh tinggi besar datang dan masuk tanpa permisi. Mereka mengacakngacak isi ruangan. Mereka mengatakan kalau tempat itu merupakan tempat orang-orang tidak tau diri. Atas dasar yang tidak mendasar itu mereka mengacakngacak ruangan tanpa belas kasihan. Padahal tempat itu hanya tempat orang-orang disabilitas kumpul dan bekerja. Orang-orang yang tersisa di sana tidak bisa berbuat banyak, mereka hanya bisa melihat dan diam saja karena takut dengan senjata yang ditodongkan. Malam penghabisan datang, sunyinya malam, udara dingin serta angin bergerak cepat, tengah malam saat semua terlelap dalam alunan Dewa Mimpi, dikejutkan oleh lemparan batu mengenai pintu masuk yang diikuti suara gedoran dari luar. Terlihat 3 orang datang dengan wajah sangar masuk ruangan dan memukuli orang yang ada dalam ruangan. Pandir, Huda, serta Lutfi. “Dasar bocah tak tau diuntung, sudah dikasih hidup nyaman masih cari gara-gara!” teriak salah seorang dari mereka. Mereka pergi dengan membawa Pandir. Mereka menculik dan membawa paksa Pandir, seorang disabilitas sekaligus Ketua Komunitas Penyandang Disabilitas. Hari yang menjadi pukulan telak bagi kelompok sosial disabilitas. Hari di mana mereka menyuarakan keadilan, tapi justru mendapati kekerasan. Mereka tak lagi punya pemimpin dengan pemikiran handal. Namun, mereka masih punya tekad yang sama untuk memperjuangkan hak mereka.

67


e

PUISI

Hidup dalam Suratan Oleh Riska Dewi Silvia

Diskriminasi Disabilitas

Garis tangan kisah keterbatasan

Di saat kami meraih sebuah mimpi

Samak daku meratapi suratan

Oleh Ria Nur Rahmawati

Langkah terjal berliku harus kami lalui

Silir gemilir cemooh dan hujatan

Keringat mengucur di bawah terik matahari,

Inginku pergi, ke persemayaman nan jauh di

Terseok berjalan dalam fisik, tidak sempurna

Menyendiri meratapi kegundahan hati

Serasa kaumku tersisih di ujung negeri

Marcapada penuh dermaga

Dalam bingkai diskriminasi

Bersat kelesah dalam keterpurukan sana

Atas takdir Tuhan yang tak berpihak pada diri

Di saat orang mencibir kami

Berharap memiki penyelamat di sini

Telah kulewati penuh derana

Dalam doa kuungkapkan isi hati

Bak merpati terbang ke angkasa

Menghapus semua perbedaan ini

Merengkuh sejuta cita-cita

68

tidak peduli

Untuk membuka hati nurani

DIMeNSI 44 | Juli 2020




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.