10 minute read
NUSANTARA
Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19
Oleh Niam K. Asna
Advertisement
Penulis adalah Kru LPM Dimensi
Akhir tahun 2019 dunia gempar dengan ditemukannya penyebaran pandemi Coronavirus Disease-19 (Covid-19). Covid-19 adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia yang muncul pertama kali di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Covid-19 merupakan virus yang menyerang sistem pernapasan dengan gejala demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sesak napas, letih, dan lesu. Pada kasus berat virus ini dapat menyebabkan pneuomonia, sindrom pernapasan akut, hingga kematian. Menurut ahli virologi dari Cina, Covid-19 tergolong virus corona jenis baru dan berbeda dengan virus yang menyebabkan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang juga muncul pertama kali di Cina, sekitar 17 tahun yang lalu.
Beberapa penelitian mengungkapkan kemungkinan virus corona ditemukan pada kelelawar. Analisis urutan genom menunjukkan adanya lebih dari 85% homologi antara virus corona baru dan virus pada kelelawar. Awal penularan virus ini dari hewan ke manusia atau dari manusia ke manusia terutama bergantung pada dua rute: kontak dan lendir (droplet) ketika seseorang batuk atau bersin; dan juga dapat menyebar melalui rute penularan kotoran dan mulut (fecal-oral). Tetesan ini kemudian akan mendarat di permukaan benda dan menempel di tangan orang lain kemudian menyebar lebih jauh. Adapun masa inkubasi virus adalah 1‒14 hari, dan umumnya 3 hingga 7 hari. Pada tanggal 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). WHO memberi langkah-langkah terbaik untuk mencegah penularan virus corona yaitu dengan mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, dianjurkan menggunakan tisu ketika batuk atau bersin, memakai masker jika keluar rumah, menjaga jarak dengan menerapkan physical distancing di mana pun berada, utamanya di ruang publik. Upaya ini disebarluaskan ke masyarakat dan tempat umum, agar masyarakat patuh dan bijak menghindari dan mencegah penularan virus. Di Indonesia kasus virus corona muncul pertama kali ditemukan terhadap dua warga Depok, pada awal Maret 2020. Penyebaran virus kian meluas di berbagai wilayah menjadikan negara repro internet
harus berupaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan secara serius, cepat, dan tanggap. Lalu pertanyaannya, bagaimana tindakan yang diambil oleh pemerintah ketika virus mulai menyebar ke berbagai negara? Dan seberapa siap negara dapat bertindak aktif dan proaktif menangani wabah pandemi ini? Sehubungan dengan ini setelah WHO menetapkan pada tanggal 11 Maret 2020 sebagai pandemi global, pemerintah melakukan langkahlangkah fokus dan sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melakukan refocusing kegiatan, realokasi anggaran, serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Sejak 2 Maret 2020, kasus positif terkonfirmasi dua orang warga Indonesia. Pada saat itu banyak kebijakan dan strategi dibuat pemerintah dalam rangka mencegah transmisi dan kematian signifikan. Namun, di luar kebijakan yang akan dilakukan tersebut pemerintah pada awalnya dinilai kurang serius dalam mengomunikasikan upaya pencegahan dan mitigasi
kepada masyarakat. Terhitung sejak WHO menyatakan Covid-19 sebagai PHEIC, tindakan pemerintah sama sekali tidak mencerminkan upaya maksimal negara untuk melindungi warganya. Beberapa ungkapan kekonyolan terlontarkan dan bertolak belakang cenderung menyepelekan wabah ini.
Terkait hal itu negara memang harus melakukan kesiapsiagaan menghadapi ancaman virus ini yang memang masih belum diketahui prediksi kapan akan berakhir. Kesiapsiagaan yang dilakukan berprinsip pada penanggulangan wabah, yaitu pada fase pencegahan, deteksi, dan respons. Diperlukan kerja sama lintas sektor, baik dengan kementerian/lembaga terkait maupun pemerintah daerah. Dari hal ini, layak disampaikan bahwa tanggung jawab negara adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kesehatan warganya dalam konteks menanggulangi virus.
Pandemi yang tidak hanya membawa masalah kesehatan masyarakat, juga membawa implikasi ekonomi yang luas, sehingga membuat banyak negara menghadapi tantangan berat. Pada akhir Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan telah menekan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang diterbitkan untuk menanggulangi pengaruh virus corona di Indonesia. Menurut Jokowi, Perpu baru ini dapat memberikan pondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah dalam upaya menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan keuangan nasional, serta sistem keuangan.
Selain menerbitkan Perpu, pemerintah juga memberi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan oleh beberapa daerah guna menghindari meluasnya wabah Covid-19. PSBB ini merupakan pembatasan kegiatan dan jumlah orang di tempat atau fasilitas umum, artinya dengan PSBB ini masyarakat masih bisa beraktivitas tapi memang dibatasi. Indonesia tidak menerapkan lockdown seperti negara-negara lainnya, karena Jokowi beserta jajarannya ingin roda ekonomi terus berjalan. Pemberlakuan PSBB ditetapkan pemerintah pada 31 Maret 2020, hampir sebulan sejak kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia.
Data penyebaran virus corona yang meningkat fluktuatif dari hari ke hari menunjukkan penanganan wabah virus corona di Indonesia masih membutuhkan tenaga ekstra. Kebijakan pembatasan fisik (physical distancing) ataupun kasus kematian dan kasus yang terkonfirmasi setiap hari bertambah menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mencermati pelaksanaan PSBB. Meskipun PSBB diberlakukan, namun masih banyak warga yang melanggar aturan PSBB. Masyarakat yang melanggar itu disebabkan karena penerapan yang kurang efektif. Beberapa ruas jalan di wilayah yang menerapkan PSBB masih macet. Masih banyaknya orang yang harus bekerja di luar rumah, atau pun ketidakpahaman masyarakat, selain juga pengawasan yang kurang efektif.
Ketua DPR RI juga mengungkapkan bahwa pemberlakuan PSBB saja juga tidak bisa diandalkan. Kebijakan PSBB harus diikuti dengan semangat gotong royong dan solidaritas di tingkat masyarakat. Gotong royong ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan kepada sesama yang kesulitan. Juga harus bersamasama mematuhi kebijakan pemerintah dan protokol kesehatan untuk bersama-sama menghadapi pandemi.
Pandemi Covid-19 menyebabkan pemerintah juga mempercepat penyaluran bantuan sosial pada April 2020 untuk membantu ekonomi masyarakat. Tujuan bantuan ini adalah agar tetap terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat melalui pemberian bantuan sosial (bansos) saat pandemi ini. Bantuan tersebut meliputi bantuan sosial tunai, bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), kartu sembako, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari dana desa dan pendaftaran peserta kartu prakerja melalui website yang telah dibuka sejak tanggal 11 April. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Abdul Halim Iskandar menjelaskan soal BLT desa yang merupakan program realokasi anggaran dana desa untuk bantuan langsung tunai. Abdul menegaskan bahwa sasaran BLT dana desa akan diberikan kepada masyarakat miskin yang kehilangan pekerjaan karena pandemi dan masyarakat yang keluarganya sedang sakit kronis. Dan yang terpenting masyarakat tersebut belum mendapatkan apapun dari pemerintah.
Namun, penyaluran bansos tunai maupun sembako ini tidak langsung mulus dan tepat begitu saja, karena diketahui bahwa penyaluran bansos masih jauh dari kata sempurna. Disebabkan pemberian bansos banyak yang tak tepat sasaran karena masalah data di sejumlah daerah yang masih menuai konflik. Melansir dari detik.com, potensi kerawanan dalam penyelenggaraan bansos (sembako dan tunai) baik pemerintah pusat dan daerah adalah terkait pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, kartu BLT tidak
merata, serta pengawasannya.
Bahkan Jokowi meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta kejaksaan dilibatkan dalam mengawasi penyaluran bantuan sosial di lapangan. Selain itu menginstruksikan penyederhanaan aturan tanpa mengurangi akuntabilitas, sehingga pelaksanaan di lapangan bisa fleksibel. Terutama pemerintah daerah diminta melakukan penyaluran bansos berdasarkan rekomendasi KPK, termasuk meminta transparansi terkait data penerima bansos. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ipi Maryati menilai penyaluran bansos jadi salah satu titik rawan terjadinya korupsi. Hingga KPK menerbitkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data non-STKS dalam pemberian bantuan sosial ke masyarakat. Permasalahan bansos yang begitu banyak, salah satunya banyak pemerintah daerah belum memperbarui DKTS warga-warganya. Padahal, DKTS ini digunakan sebagai rujukan untuk penyaluran bansos terkait corona.
Dampak Negatif Covid-19
Kasus Covid-19 yang tersebar di seluruh negara mengakibatkan negara harus merasakan berbagai dampak negatifnya. Dampak tersebut menyasar sektor ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Pandemi ini telah mengancam manusia, mematahkan seluruh pondasi ekonomi di seluruh negara. Sebab pemerintah telah mengimbau masyarakat untuk melakukan segala aktivitas dari rumah, mulai dari bekerja, sekolah, dan ibadah untuk menekan penyebaran virus menurun. Hampir semua industri sudah terpukul akibat menyebarnya virus yang tidak terkendali di Indonesia. Berbagai pusat perbelanjaan pun memutuskan untuk menutup sementara operasionalnya, sehingga pendapatan manajemen dan berbagai tenant pun otomatis menurun.
Kinerja pada sektor ekonomi pun telah menurun 30‒100% dibandingkan sebelum pandemi. Sejumlah perusahaan juga tidak sedikit yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan dan buruhnya. Melansir katadata.co.id., Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebutkan, ada 1,65 juta warga yang tidak bekerja akibat pandemi corona. Dampak ekonomi yang kian merosot dan kasus PHK pekerja sektor formal dan sektor informal mengakibatkan krisis pangan dalam beberapa bulan ketika pandemi melanda dan setelahnya. Kementerian Ketanagakerjaan Republik Indonesia mencatat ada 538.385 orang yang kehilangan pekerjaan dari 31.444 perusahaan atau Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terdampak Covid-19. Melansir dari kompas. com., Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley menyebut bahwa konflik resesi ekonomi, penurunan bantuan, dan jatuhnya harga minyak dunia sebagai faktor yang mungkin menyebabkan krisis pangan. Sehingga, membutuhkan tindakan cepat untuk mencegah bencana itu.
Sementara Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar, juga menyampaikan peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) soal ancaman krisis pangan akibat virus corona. Peringatan ini dinilai sangat relevan karena pandemi belum pasti akan berakhir. Menanggapi krisis ini, Halim bersama pihaknya dan kementerian lembaga terkait terus mendorong UMKM dan pertanian untuk melakukan upaya pemenuhan pangan dalam negeri. Termasuk melakukan ekstensifikasi pertanian di pedesaan dan transmigrasi dengan melakukan cetak sawah baru. Ekstensifikasi ini dilakukan untuk meggenjot percepatan dan ketahanan pangan nasional guna mengantisipasi terjadinya krisis pangan global yang mungkin juga akan dihadapi Indonesia akibat pandemi Covid-19.
Dampak negatif lain dari pandemi yang melanda dunia tidak hanya mengubah sendi kehidupan masyarakat dalam ancaman sektor ekonomi dan pangan, namun juga mengancam sektor pendidikan. Berbagai aktivitas rutin pembelajaran yang biasanya dilakukan dengan banyak aktivitas fisik ikut terhambat. Untuk menekan penyebaran Covid-19, sejak 16 Maret 2020 pemerintah memutuskan agar siswa-siswi belajar dari rumah. Pemerintah juga memutuskan untuk membatalkan Ujian Nasional 2020. Melihat fenomena ini, maka penerapan metode electronic learning (e-learning) menjadi suatu keniscayaan dan pilihan terbaik bagi dunia pendidikan. Sebagaimana diketahui bersama, untuk mencegah penyebaran Covid-19, sekolah hingga universitas mengubah proses pembelajaran tatap muka menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau remote learning.
Walau begitu inovasi tak mesti berjalan mulus karena ada saja kendala, mulai guru maupun orang tua yang gagap teknologi sampai kesenjangan akses internet dan terbatasnya media belajar. Melansir dari tirto.id., Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim meluncurkan inovasi dan memberikan berbagai perbaikan sistem pembelajaran, di antaranya, kebijakan penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah dan penayangan program belajar dari rumah yang disiarkan di TVRI bagi guru dan murid dengan keterbatasan internet.
Selain hambatan PJJ, kenaikan angka putus sekolah pun meningkat. PSBB menjadi akibat bagi pekerja informal karena tetap tidak bekerja sehingga dapat berdampak pada tidak tersedianya biaya pendidikan anak. Melihat ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menjamin keberlanjutan pendidikan bagi pelajar di Indonesia. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah mencairkan bantuan pada program Bidik Misi dan Kartu Indonesia Pintar, April lalu. Bantuan ini diberikan kepada pelajar yang termasuk pada kategori penduduk miskin atau rentan miskin. Selain itu, Nadiem Makarim mengizinkan penggunaan dana BOS untuk membeli paket internet bagi guru dan pelajar. Hal ini merupakan kebijakan penting mengingat tidak semua pelajar memiliki akses internet yang leluasa ketika di rumah.
Dalam kehidupan sosial masyarakat juga berdampak, karena protokol kesehatan mengimbau untuk menjaga jarak terhadap orang sekitar minimal 1 meter, tidak berjabat tangan, dan physical distancing. Sayangnya kebijakan tersebut belum disosialisasikan dengan baik, sehingga menimbulkan kesalahpahaman pada masing-masing individu. Akibatnya kebijakan yang diterapkan menimbulkan rasa curiga dan hilangnya kepercayaan terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita. Termasuk kebijakan aktivitas pengguna jalan yang dibatasi, hanya kendaraan tertentu yang boleh melintas dari dan menuju luar kota. Misalnya, kendaraan barang, kendaraan pengangkut bahan pokok, ambulans, mobil jenazah, dan pengangkut tenaga medis. Larangan ini berlaku sejak 24 April, sedangkan penerapan sanksi yang sudah disiapkan efektif ditegakkan mulai 7 Mei 2020.
Hidup Berdamai dengan Covid-19
Perlawanan terhadap pandemi Covid-19 yang begitu panjang mengakibatkan penambahan kasus baru di seluruh negara di dunia, karena vaksin untuk menghentikan penyebaran virus ini pun juga masih dalam tahap pengembangan. Masyarakat di ruang publik wajib menggunakan masker, pelaku usaha dan karyawan tetap menerapkan jaga jarak dan menggunakan masker, dan pengecekan suhu di tiap kantor, sekolah, dan mal. Kondisi seperti ini kemudian memunculkan skenario baru yaitu new normal life atau kondisi normal yang baru. Kondisi manusia pada akhirnya harus hidup berdampingan dengan ancaman virus corona. Masyarakat harus berdamai atau hidup bersama dengan virus corona, seperti yang diungkapkan Jokowi dan mengizinkan warga berusia kurang dari 45 tahun kembali beraktivitas karena dinilai tahan terhadap dampak kesehatan Covid-19.
New Normal Life ini adalah bagian dari exit strategy setiap negara dalam mengadapi pandemi. Sebab perjalanan pandemi yang lama dan masalah ekonomi menjadi alasan utama pemerintah untuk merancang kondisi new normal. Dengan new normal life ini seluruh masyarakat dipersilakan beraktivitas secara terbatas dan diminta untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan. Namun, jika intervensi melemah dan pelaksanaan kebijakan new normal tidak disertai aturan yang jelas maka potensi bertambahnya jumlah kasus infeksi dan kematian bisa semakin bertambah.
Strategi nasional dan daerah yang komprehensif dan jelas berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan pemberlakuan pola hidup baru. Dalam membangun sistem pengawasan yang efektif, sangat perlu membangun kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Juga harus memberi edukasi yang tepat kepada masyarakat agar mereka paham atas apa yang harus dilakukan selama pandemi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Keterlibatan dan kepatuhan warga juga sangat menentukan keberhasilan pembatasan sosial dalam menekan laju persebaran Covid-19.