9 minute read

SUSASTRA

Next Article
KIPRAH

KIPRAH

Elegi Hak Asasi

Oleh M. Saifudin Zuhri

Advertisement

Matahari mulai bergeser ke barat. Semilir angin berhembus melewati lubang-lubang ventilasi pintu dan jendela. Cuaca yang begitu panas menambah sesak ruangan. Sepertinya akan turun hujan di sore hari. Siang hari yang selalu diiringi musik keroncong khas masyarakat kecil memperindah suasana, membuat lupa keadaan dunia sebenarnya. Sekumpulan manusia tengah berkerumun dalam sebuah ruangan kecil yang berventilasi mini. Mereka nampaknya sedang beradu argumen satu sama lain dengan begitu sengit.

“Bukankah kita juga punya hak?” tanya Pandir.

“Iya, bukannya kita punya hak?” sambung kawan sebelahnya.

“Memang kita punya hak, tapi kita tidak bisa langsung menggugat seperti itu. Semua ada prosesnya, ada prosedur yang harus dilewati. Harus dipikir masak-masak. Supaya nantinya kita tidak dianggap grusa-grusu.” jawab salah seorang lainnya dengan begitu tenang. Nampaknya dia seorang terpelajar dengan keadaan fisik yang berbeda dengan lainnya. Akhirnya perdebatan berhenti dengan sendirinya setelah mendapat jawaban yang dianggap paling logis. Keakraban mereka begitu kental hingga setelah melakukan perdebatan pun mereka masih berbincang dengan santai. Seakan-akan tidak baru saja melakukan adu pendapat dengan nada tinggi.

Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka berkeinginan memperjuangkan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, sarana prasarana yang memadai, dan mendapatkan pekerjaan yang sepadan di masyarakat serta tidak adanya diskriminasi terhadap kelompoknya. Dalam proses perjuangan yang dilakukan kelompok ini tidak sendiri, mereka dibantu salah satu kawan yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Namanya Lutfi, pemuda yang memiliki rasa simpati kepada sesama. Dia orang yang berpendidikan dan berpengetahuan luas. Dia diajak oleh Pandir yang memiliki kelainan pada kakinya. Pandir seorang penyandang disabilitas sejak lahir, harus dibantu oleh kursi roda untuk berpindah tempat. Pandir adalah salah satu penggagas berdirinya paguyuban untuk orang berkebutuhan khusus.

Semburat cahaya mentari menerobos masuk melalui ventilasi udara membuat Lutfi terbangun dari tidurnya. Ia segera mencari ponselnya untuk mengecek pukul berapa sekarang. Pukul tujuh pagi dan dia tibatiba teringat jadwal dengan Dewan Perlindungan Disabilitas. Dia akan mempresentasikan tentang hakhak yang harusnya didapatkan oleh teman-teman berkebutuhan khusus.

“Sial, kenapa bangunku kesiangan. Manalagi ada janji sama orang-orang brengsek itu!” maki Lutfi pada dirinya sendiri. Ia segera mengaktifkan data ponselnya untuk melihat pesan yang telah dikirimkan padanya. Sembari menunggu pesan masuk, Lutfi bergegas menuju kamar mandi untuk melakukan bersih diri.

“Nikmat sekali mandi di pagi hari,” celetuk Lutfi.

Dia langsung menyaut ponselnya setelah keluar kamar mandi.

Pesan berantai terus beriringan datang dari teman karibnya, Pandir. Dia mengingatkan Lutfi tentang acaranya pada hari ini.

“Hoe Lutfi... Bangun kau!”

“Jangan tidur mulu!”

“Jangan sampai lupa, kau hari ini pukul delapan tepat ada janji sama orang bedebah itu di gedung tengah kota lantai 5!”

“Bawa juga laptop dan kartu namamu, supaya kau bisa mudah mencari ruangan yang telah dijanjikan!”

Rentetan semacam itu terus berdatangan. Tak hanya dari Pandir, tapi juga dari beberapa orang yang memiliki pengaruh di paguyuban itu. Tak lupa Lutfi membalas pesan itu supaya Pandir dan yang lainnya tidak khawatir.

“Ok, ini aku sudah mau berangkat,” jawabnya singkat tanpa basa-basi ataupun mencoba membalas cemooh yang mereka lakukan.

Bagaimanapun juga menurut Pandir dan kawankawannya pertemuan ini begitu penting karena terkait masa depan anak cucu mereka.

Setelah dirasa cukup membalas pesan masuk, Lutfi bersiap-siap dan juga sarapan dahulu supaya pemaparannya lancar. “Jika tak lancar, orang-orang bedebah itu pasti ragu dengan apa yang aku utarakan, lebih buruk lagi akan menambah sengsara kaum penyandang disabilitas.”

Pukul delapan lebih dua puluh menit. Lutfi tiba di gedung pertemuan. Dia telat dua puluh menit dari waktu yang dijanjikan.

“Sungguh ironi, di saat-saat penting seperti ini aku malah terlambat. Semoga saja orang-orang itu nggak ngomel-ngomel,” gerutu Lutfi.

Lutfi menyodorkan kartu identitasnya dan sepucuk kertas semacam kartu undangan yang di atasnya tertulis alamat beserta tempat yang akan digunakan. Lutfi segera berjalan menuju tempat yang telah ditunjukkan resepsionis dengan sedikit tergesagesa. Sebelum memasuki ruangan, Lutfi berhenti sejenak di depan pintu untuk mengambil napas dan menata pakaiannya yang sedikit berantakan. Tapi orang-orang yang berkepentingan itu belum juga hadir dalam ruangan. “Jangkrik...” pekik Lutfi dalam hati seketika melihat ruangan tanpa orang.

“Ironi sekali negeri ini memiliki orang-orang seperti mereka untuk mengurus hal-hal penting semacan urusan disabilitas. Hufftt... Ngerti gini aku tadi santai saat berangkat!”

Lutfi segera menarik sebuah kursi menuju arah jendela yang menghadap peradaban kota. Dia duduk dan menyapukan pandangannya ke segala arah penjuru kota sekuat mata memandang. Dari sana Lutfi dapat melihat hiruk pikuk kehidupan. Mulai dari lalu lalang orang mengendarai motor dan mobil menuju tempat kerja.

“Sungguh enak sekali jadi orang berdasi, tiap hari bisa melihat pemandangan begitu indahnya. Segala aktivitas dapat terekam jelas dari sini,” batin Lutfi.

“Tapi, mengapa mereka tetap pura-pura tidak mengerti keadaan kaum kecil? Padahal, aku sendiri dari sini bisa melihat semua aktivitas dan kondisi mereka dengan begitu jelas,” lanjut Lutfi dalam hati.

Pandangan Lutfi selalu berhenti lebih lama ketika melihat aktivitas para kaum proletariat dan juga disabilitas.

“Katanya, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapat pelayanan hidup yang baik. Tapi nyatanya dari sini aku masih bisa melihat mereka hidup begitu nestapa,” kata Lutfi setiap kali melihat rumahrumah pinggiran sungai. Keadaan rumah yang jauh dari kata layak di pinggiran rel kereta api. Irisan kota begitu nampak perbedaanya, antara yang di tengah kota dengan pinggiran kota.

“Wah, ada apa di sana?” tanya Lutfi entah pada siapa dengan nada kaget. Seketika Lutfi berdiri serta memfokuskan pandangannya pada satu titik, di mana terlihat tiga sampai lima orang berkerumun mengangkat barang kecil namun tampak berat. Ternyata yang diangkat adalah kursi roda yang di atasnya masih ada penumpangnya.

“Mengapa orang di atas kursi roda itu harus bersusah payah diangkat menuju bus kota?” gumamnya lagi.

Ssrrrtttt

“Halo, selamat pagi!” terdengar suara dari arah pintu masuk. “Sudah lama menunggu?” pertanyaan yang begitu cepat padahal Lutfi belum sempat menjawab sapaanya.

“Hai, selamat pagi. Belum lama kok, mungkin baru dua puluh menit semenjak saya datang Pak!” jawab Lutfi.

“Maaf, tadi sedikit ada masalah di perjalanan menuju sini,” terang orang itu.

“Tidak apa-apa,” jawab Lutfi singkat.

“Silakan duduk anak muda, siapkan dulu peralatan yang akan kamu gunakan nanti!” perintah orang tersebut.

Tanpa ada jawaban, Lutfi langsung bertindak sesuai perintahya. Dengan cekatan Lutfi mengeluarkan barang-barang yang dibutuhkan. Setelah dirasa cukup, Lutfi segera menaruh tasnya di atas kursi tempat ia duduk dan memulai pembicaraannya.

“Selamat pagi. Sebelum saya mulai pemaparan. Perkenalkan nama saya Lutfi, saya mewakili salah satu kelompok yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab Bapak-Bapak sekalian, yaitu komunitas penyandang disabilitas. Mereka tidak mampu ke sini karena infrastruktur yang seharusnya didapatkan tidak memadai, terima kasih.”

“Saya berdiri di sini atas nama mereka, bukan pribadi. Jadi nantinya akan fokus membicarakan mereka!” terang Lutfi tentang riwayat hidupnya beserta tujuannya berada dalam ruang pertemuan.

Pertemuan itu membahas tentang hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh orang-orang disabilitas. Mulai dari pendidikan hingga ekonominya. Lutfi melakukan ini atas permintaan Pandir dan teman-teman penyandang disabilitas lainnya. Mereka beranggapan bahwa belum menerima hak-hak yang seharusnya didapatkan. Pertemuan yang seharusnya berjalan lancar dan tenang-tenang saja tidak terealisasi. Orangorang pemerintahan selalu membantah setiap data yang Lutfi paparkan. Menurut mereka data itu kurang tepat, terlalu memojokkan pemerintah

“Maaf Mas, data yang Anda paparkan kurang tepat. Data yang Anda sajikan seakan-akan pemerintah tidak ada yang benar menangani orang-orang disabilitas,” sanggah salah seorang dari mereka yang sedikit geram dengan pemaparan Lutfi.

“Datanya bisa langsung dicek secara berkala di lapangan jika menurut Bapak-Bapak kurang tepat. Data yang saya paparkan sudah dikumpulkan oleh temanteman sejak lama,” jelas Lutfi begitu tegas tanpa ada rasa takut sedikitpun pada mereka. Pertemuan berakhir dengan raut wajah masam dari Lutfi.

“Bagaimana Lut hasilnya tadi?” tanya Huda pada Lutfi yang baru datang dengan motor buntutnya. Huda mengenal Lutfi semenjak Lutfi diperkenalkan oleh Pandir di komunitas mereka.

“Ah... Nanti saja kita bicarakan saat semuanya sudah kumpul!” jawab Lutfi dengan suara malasnya.

Huda tak menjawabnya karena melihat raut muka Lutfi yang nampak marah. Lutfi masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan kain-kain perca. Kain perca tersebut diolah menjadi kerajinan dan barangbarang multifungsi oleh paguyuban disabilitas. Barangbarang yang sudah jadi dijual kepada pemborong kenalan mereka. Tujuan mereka hanya untuk menghidupi komunitas dan menyejahterakan keluarga. Mereka mendirikannya secara mandiri tanpa bantuan pemerintah sedikitpun. Sebenarnya, mereka sudah berkali-kali meminta bantuan pada dinas terkait namun tak kunjung ada kabar. Proposal pengajuan yang telah dikirim seperti hilang ditelan bumi saja.

Tak lama setelah Lutfi duduk di ruang tengah, Pandir datang diantar oleh taksi online yang telah menjadi langganannya. Dia memilih naik taksi online daripada taksi biasa karena selain harganya lebih murah, pelayanannya juga lebih baik. Pengemudinya berkenan membantu naik dan juga menurunkan hingga mengantarkan sampai pintu masuk tujuannya.

“Rupanya kau sudah datang Lutfi, bagaiamana pertemuanmu tadi?” tanya Pandir.

“Santai dulu lah.” jawabnya singkat.

“Sepertinya orang-orang berdasi itu hanya akan memperhatikan kalian sebelah mata!” terang Lutfi membuka pembicaraan dengan teman-teman barunya.

Huda yang duduk di samping Lutfi nampak memvisualkan apa yang dibicarakan Lutfi kepada kawan disabilitas tunarungu. Setelah memahami keterangan Lutfi, nampak raut wajah mereka berubah.

Tiba-tiba di depan Lutfi ada sebuah tulisan dari salah seorang di antaranya. “MENGAPA?” Hanya satu kata saja tidak lebih. Namun kata itu membuat Lutfi bingung, menjawab. Lutfi berpikir keras agar dia bisa mengatasinya tanpa menyinggung perasaan mereka.

“Ya, karena orang disabilitas belum jadi prioritas,” jawabnya singkat.

“Tapi, kita kan tidak minta banyak?” tanya Huda.

“Iya memang, tapi mau bagaimana lagi itulah kenyataannya, mereka....” Belum sempat Lutfi selesai berbicara tapi Pandir sudah memotongnya.

“Kita hanya minta supaya fasilitas dan infrastruktur untuk disabilitas diperbanyak, utamanya untuk pendidikan,” potong Pandir dengan suara meninggi. Tampaknya Pandir sedikit naik darah karena sudah bertahun-tahun mereka meminta keadilan, namun hanya janji saja yang diberikan, tidak realisasinya.

“Iya, tadi juga sudah aku sampaikan begitu!” jelas Lutfi.

“Mereka saat ini sedang fokus membangun infrastruktur jalan layang untuk mengurai kemacetan,”

sambung Lutfi.

“Masa iya setiap tahun hanya orang ‘normal’ yang diperhatikan. Kita juga memerlukan infrastruktur memadai,” celoteh Pandir yang disambut suara riuh oleh teman-teman lainnya.

“Pemerintah sepertinya lupa dengan sila Pancasila yang kelima!” sahut salah seorang dari belakang.

“Katanya mereka kaum intelektual tapi perangainya masih cetek,” sambungnya.

Lutfi hanya terdiam mendengar curhatan mereka yang tanpa sengaja terlontar dari mulut mereka. Akhirnya mereka berhenti bicara setelah Pandir menenangkan suasananya.

“Terima kasih Lut, kamu telah berkenan menyampaikan pendapat kami,” ucap Pandir setelah mereka berhasil ditenangkan.

“Iya sama-sama, semoga pemerintah tidak hanya cuap-cuap dan bergaya saja. Semoga lekas ada realisasi nyata,” jawab Lutfi pada Pandir dan teman temannya.

Mereka kembali ke rumah masing-masing karena matahari sudah mulai tenggelam di arah barat. Jam dinding juga menunjukkan pukul 4.15.

Hampir semua orang disabilitas sudah pulang, tinggal beberapa orang saja termasuk Pandir dan Huda. Lutfi pun juga masih di sana. Tiba-tiba pukul 5 sore ada segerombolan orang bertubuh tinggi besar datang dan masuk tanpa permisi. Mereka mengacakngacak isi ruangan. Mereka mengatakan kalau tempat itu merupakan tempat orang-orang tidak tau diri. Atas dasar yang tidak mendasar itu mereka mengacakngacak ruangan tanpa belas kasihan. Padahal tempat itu hanya tempat orang-orang disabilitas kumpul dan bekerja. Orang-orang yang tersisa di sana tidak bisa berbuat banyak, mereka hanya bisa melihat dan diam saja karena takut dengan senjata yang ditodongkan.

Malam penghabisan datang, sunyinya malam, udara dingin serta angin bergerak cepat, tengah malam saat semua terlelap dalam alunan Dewa Mimpi, dikejutkan oleh lemparan batu mengenai pintu masuk yang diikuti suara gedoran dari luar. Terlihat 3 orang datang dengan wajah sangar masuk ruangan dan memukuli orang yang ada dalam ruangan. Pandir, Huda, serta Lutfi.

“Dasar bocah tak tau diuntung, sudah dikasih hidup nyaman masih cari gara-gara!” teriak salah seorang dari mereka.

Mereka pergi dengan membawa Pandir. Mereka menculik dan membawa paksa Pandir, seorang disabilitas sekaligus Ketua Komunitas Penyandang Disabilitas.

Hari yang menjadi pukulan telak bagi kelompok sosial disabilitas. Hari di mana mereka menyuarakan keadilan, tapi justru mendapati kekerasan. Mereka tak lagi punya pemimpin dengan pemikiran handal. Namun, mereka masih punya tekad yang sama untuk memperjuangkan hak mereka.

This article is from: