7 minute read

Profesional Kerja

Penyandang Disabilitas Berhak Atas Keterbukaan Pendidikan dan Profesional Kerja

Oleh Farahdilla Asmara

Advertisement

The International Classification of Impairent, Disability, and Handicap (WHO, 1980) menyatakan bahwa ada tiga definisi berkaitan dengan orang berkebutuhan khusus, yaitu impairment, disability, dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis, atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang dipandang normal bagi seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai akibat dari impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal. Penyandang disabilitas merupakan istilah untuk merujuk kepada mereka yang memiliki kelainan fisik atau nonfisik.

Sering kali pemahaman klise masyarakat terhadap agama atau budaya tertentu menganggap bahwa disabilitas sebagai bentuk hukuman. Mereka yang kekurangan dianggap memiliki dosa besar, kotor, dan tercela. Sementara itu, pandangan medis beranggapan bahwa mereka yang cacat dianggap sebagai abnormal, yang perlu dikoreksi, diluruskan, dan disembuhkan. Pandangan-pandangan seperti ini cenderung menganggap masalah disabilitas sebagai masalah pribadi masing-masing, tanpa dikaitkan dengan keseluruhan kehidupan sosial kemasyarakatannya. Tidak hanya kelompok disabilitas yang secara individu diberdayakan agar dapat berkontribusi dengan baik. Tak cukup itu, ruang publik pun juga harus didesain menyesuaikan keadaan mereka, sehingga memungkinkan bagi para penyandang disabilitas untuk mengaksesnya dengan mudah, termasuk di dalamnya adalah pendidikan.

Disabilitas di Sektor Pendidikan

Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan setinggitingginya tanpa memandang latar belakang dan kondisi fisik. Tentu seharusnya kesempatan yang sama juga dapat dimiliki oleh penyandang disabilitas. Penanganan sumber daya manusia penyandang disabilitas masih menjadi problem besar bagi dunia pendidikan. Meskipun pemerintah Indonesia telah mendorong pendidikan bagi penyandang kebutuhan khusus melalui berbagai kebijakan. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan UndangUndang (UU) Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Adanya UU ini diharapkan bisa memenuhi hak dan repro internet memberikan kesempatan lebih baik bagi para penyandang disabilitas di Indonesia. Mulai dari hak hidup, mendapatkan pekerjaan, pendidikan, hingga kemudahan mengakses fasilitas umum.

Namun UU tersebut belum sepenuhnya mengakomodir harapan para penyandang disabilitas. Terutama hak belajar inklusi, belum banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang mau memfasilitasi penyandang disabilitas. “Perguruan Tinggi dengan standar fasilitas lengkap untuk penyandang disabilitas belum banyak, sebab juga membutuhkan biaya yang spesifik,” ungkap Paulin Panen ahli bidang Akademik Kemenristekdikti pada wawancaranya oleh medcom.id.

Inklusi sendiri memiliki pengertian cara berpikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasa diterima dan dihargai. Prinsip inklusif mendorong setiap unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran. Salah satunya mengusahakan lingkungan belajar siswa secara efektif dan bersama-sama. Dengan demikian, tidak ada siswa yang ditolak atau dikeluarkan karena alasan tidak memenuhi standar akademis yang ditetapkan.

Pendidikan inklusif memiliki beberapa filosofi. Pertama, inklusi adalah isu hak asasi dan kesetaraan, bukan semata-mata isu pendidikan. Kedua, inklusi

adalah menghargai bahkan merayakan perbedaan dalam keragaman identitas dan kebutuhan belajar. Ketiga, inklusi bertujuan bukan untuk menjerumuskan peserta didik ke dalam sistem yang tidak bisa diubah. Sebaliknya, inklusi bertujuan mengubah sistem agar bisa memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Keempat, inklusi harus berbasis masyarakat. Artinya, sebuah institusi pendidikan yang inklusif mereflekesikan bagaimana keadaan di sekitarnya. Sebuah sistem inklusif terwujud hanya melalui masyarakat yang berbentuk inklusi dan demokratis.

Pendidikan Tinggi inklusif sudah diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 46 tahun 2017 tentang Layanan Khusus di Perguruan Tinggi. Pasal 5 menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi harus menyediakan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus. Namun pada kenyataannya, diskriminasi perbedaan fisik ini masih berlangsung di kalangan akademisi. Padahal seharusnya Perguruan Tinggi sebagai pencetak akademisi, dapat mengembangkan pemahaman melawan diskriminasi dan intoleransi yang berdampak ketakutan serta eksploitasi dalam dunia pendidikan.

Sementara pemerintah sedang gencar mengampanyekan bahwa pendidikan adalah dasar bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas. Terdapat beberapa kampus yang meskipun sudah menerima mahasiswa penyandang disabilitas, namun tidak dapat memenuhi sarana dan prasarana yang mereka butuhkan. Ada juga penolakan calon mahasiswa yang ingin masuk Fakultas Tarbiyah (pendidikan) karena alasan untuk menjadi guru seseorang tidak boleh buta, dan lain sebagainya.

Beberapa Perguruan Tinggi menggunakan instrumen tertentu sebagai cara untuk menolak calon mahasiswa dari kalangan penyandang disabilitas. Seperti melalui brosur penerimaan, di dalam brosur tersebut tercantum persyaratan “tidak cacat tubuh atau ketunaan lain” bagi calon mahasiswa baru. Dalam brosur juga mensyaratkan calon mahasiswa penyandang disabilitas untuk memilih jurusan yang telah ditentukan, misalnya Jurusan Keagamaan. Dengan demikian calon mahasiswa penyandang disabilitas tidak bebas memilih jurusan yang mereka inginkan sesuai bakat minatnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi dalam dunia Pendidikan Tinggi di Indonesia.

Meskipun kasus diskriminasi terkadang diakhiri dengan permintaan maaf dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Lagi-lagi peraturan yang sudah dibuat pun tidak berjalan semestinya. Haruskah dunia pendidikan di Indonesia terus-menerus mengabaikan keberadaan kaum penyandang disabilitas? Akankah ini menjadi kemunduran dari sistem pendidikan Indonesia?

Menelaah kebijakan yang ada di suatu Perguruan Tinggi mulai dari visi, misi, dan tujuan pendidikan, belum ditemukan kebijakan yang mencerminkan kebutuhan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Semua hanya berbentuk peraturan akademik yang mengacu pada undang-undang nasional maupun internasional yang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Juga tidak terdapat pasal bab yang mengatur kebutuhan aksesibilitas pendidikan bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Di dalam struktur organisasi akademik pun tidak semua kampus yang terdapat pusat layanan menangani kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas. Tidak terdapat program yang mengakomodir kebutuhan aksesibilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas, sehingga keberadaan mereka di sana tidak terdata oleh pihak administrasi akademik kampus. Hal tersebut tentu memengaruhi aktivitas mahasiswa penyandang disabilitas, meliputi proses pembelajaran, pelaksanaan ujian, urusan akademik, penggunaan gedung, dan fasilitas lain di lingkungan kampus. Faktor ini mengakibatkan mahasiswa penyandang disabilitas mengalami ketidaknyamanan dalam kegiatan pendidikannya.

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai Perguruan Tinggi telah menjadi contoh model Perguruan Tinggi yang akomodatif. Ditunjukkan dengan adanya peraturan yang berkaitan dengan kepentingan akademik (peraturan akademik) penyandang disabilitas. Terdapat juga unit layanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas, yaitu Pusat Layanan Difabel. Ada juga program “Akses Membaca” dan “Advokasi” bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Di UIN Sunan Kalijaga juga terdapat buku pedoman desain pembelajaran yang sensitif bagi penyandang disabilitas, meskipun belum terlaksana secara maksimal. Serta adanya usaha dan komitmen untuk melakukan penataan dan pengondisian sarana prasarana kampus sesuai kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas. Halhal tersebut menunjukkan bahwa UIN Sunan Kalijaga telah menuju pada sistem inklusif.

Pemerintah juga mendorong pendidikan yang lebih inklusif dengan mendorong semua pengajar harus belajar tentang didaktik dan metodik pembelajaran

untuk anak berkebutuhan khusus. Paling tidak hal ini untuk menutupi kurangnya tenaga pengajar khusus, juga stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas.

Disabilitas di Sektor Pekerjaan

Pemerintah memberikan solusi bahwa penyandang disabilitas punya kesempatan sekolah setinggi-tingginya dengan berbagai cara, tidak harus melalui pendidikan formal. Para penyandang disabilitas bisa mengikuti pendidikan informal, seperti paket A, B, dan C. Sehingga mereka mempunyai sertifikat yang membuktikan keterampilan dan kemampuannya untuk bisa bekerja di sektor formal.

Pemerintah menyebutkan adanya UU Nomor 8 Tahun 2016 merupakan salah satu solusi untuk menuntaskan permasalahan hak yang didapatkan penyandang disabilitas. UU ini dibuat secara lebih rinci, tidak hanya kondisi individu, tetapi juga memandang kesulitan akses dan masalah di lingkungan sosial sebagai hambatan besar untuk memenuhi hak-hak dasar. Dalam UU tersebut juga disebutkan tugas pokok dan fungsi untuk mengutamakan isu disabillitas dalam kebijakan dan program kerja sesuai bidang masing-masing. Pemerintah juga mengajak berbagai pihak, misalnya swasta, media massa, dan lembaga pendidikan untuk melakukan advokasi bersama untuk menyosialisasikan pemahaman hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia.

Di sisi lain, dengan telah diresmikannya UU Nomor 8 Tahun 2016, mendorong pihak swata dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membukakan pintu yang seluasluasnnya bagi penyandang disabilitas. Berdasarkan UU tersebut diamanatkan bahwa perusahaan swasta untuk memperkejakan 1% penyandang disabilitas dari total pekerjanya, sedangkan BUMN sebanyak 2%.

Ratnawati Sutejo dalam wirausahawan Preciouse One yang mempekerjakan penyandang disabilitas dalam cnbcindonesia.com, mengatakan para penyandang disabilitas sangat butuh kesempatan untuk berkarya dan kesempatan untuk membuktikan hasil kerjanya. Dia meyakini bahwa di balik keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas ada kemampuan yang bisa diolah sebagai kelebihan mereka. Oleh karena itu, ia menegaskan jangan sampai masyarakat meremehkan penyandang disabilitas karena keterbatasannya tersebut. Sebaliknya, para penyandang disabilitas pun harus bangkit dan menunjukkan kelebihannya melalui karya-karyanya.

Faktor lain adalah pandangan penyandang disabilitas menjadi beban bagi sebuah perusahaan. Kurangnya kesiapan dalam merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas dan stigma masyarakat terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas. Ini karena mereka dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya dan dianggap menjadi beban bagi perusahaan.

Kondisi lain menyebutkan bahwa praktik inklusi dalam dunia profesional menyatakan rendahnya penyerapan tenaga kerja bagi penyandang disabilitas, karena kesadaran yang rendah terhadap potensi penyandang disabilitas. Kondisi ini menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia mengingat di tingkat internasional upaya melakukan inklusi terhadap penyandang disabilitas di tempat kerja selalu mengemukakan agenda usaha. Inklusi disabilitas bahkan ditampilkan dengan cara cepat meraih momentum dalam strategi bisnis. Melibatkan penyandang disabilitas dan menyesuaikan kebutuhan mereka merupakan langkah penting bagi sebuah perusahaan dalam hal mencari SDM dan pelaksanaan tanggung jawab kepada masyarakat, serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Pemerintah memang sudah memberikan solusi lewat regulasi, tinggal bagaimana solusi tersebut akan berjalan sesuai yang diharapkan. Sebagai warga negara, kita adalah kunci penting kesuksesan rencana pemerintahan. Keterlibatan lembaga-lembaga swasta juga sangat memengaruhi proses sensitivitas terhadap orang-orang berkebutuhan khusus. Diharapkan tidak ada lagi pandangan negatif terhadap orang-orang disabilitas, sehingga tidak ada kesenjangan hak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas.

This article is from: