6 minute read
Rakyat Miskin Kian Miskin
“Sebagian besar rakyat negeri ini adalah kaum miskin, lalu mengapa kebijakan pemerintah tak pernah memihak pada kaum ini? Maka sudah saatnya menuntut: subsidi untuk rakyat miskin!
Oleh Kharisma Alfimufidah
Advertisement
Penulis adalah Kru LPM Dimёnsi Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tahun Terbit
Jumlah Halaman
ISBN : Orang Miskin Tanpa Subsidi : Eko Prasetyo : Resist Book
: 2005
: 163 halaman
: 979372346-7
“Buku ini untuk mereka yang hingga hari ini percaya kalau subsidi itu penting bagi keadilan rakyat”, begitulah kutipan yang ditulis oleh Eko Prasetyo di halaman depan buku ini. Kritikan ini diajukan kepada pemerintah yang tak pernah adil dalam memperlakukan rakyat, terlebih lagi rakyat miskin. Rakyat miskin yang sulit memperjuangkan kata “makmur” bagi kehidupan mereka menjadi lebih sengsara karena tak adanya subsidi yang semestinya dapat membantu. Anggarananggaran subsidi perlahan dipangkas demi menambal kebocoran akibat kelalaian pemerintah dalam mengalokasikan uang negara.
Seperti buku-buku yang ia tulis sebelumnya dalam seri “Dilarang Miskin”, tulisan Eko Prasetyo tak luput dari nada kritis dan provokatif. Ia menghadirkan buku “Orang Miskin Tanpa Subsidi” ini untuk membukakan kesadaran akan penyelewengan kebijakan pencabutan subsidi dari pemerintah yang tidak masuk akal dan selama ini meresahkan rakyat. Keresahan ini bermula ketika negara dikuasai oleh para koruptor yang berusaha meraup keuntungan sebanyakbanyaknya dari uang rakyat.
Di tengah carut-marutnya perpolitikan di Indonesia, uang bisa menjadi benda kejam bagi perekonomian rakyat, di mana uang dipermainkan oleh penguasa negara. Banyak orang merebutkan jabatanjabatan yang menguntungkan di kursi pemerintahan. Selain karena mendapatkan gaji yang amat besar, mereka juga dapat menyelundupkan dana untuk memupuk pundi-pundi kekayaannya. Berbagai bukti penyelundupan secara nyata terpampang menunjukkan tindakan korupsi menjadi data-data yang tidak ada gunanya. Meski telah jelas menjadi terdakwa, koruptor negeri ini tetap bisa dengan mudahnya lolos dari jeratan hukum. Jaringan yang mereka miliki berhasil membungkam hukum di negeri ini. Rakyat miskin yang tidak memiliki perlindungan hanya bisa menyaksikan mereka berfoya-foya. Nikmatnya sebagai penjarah uang rakyat, dilakukan karena hukum yang lumpuh dan pengetahuan ekonomi rakyat tidak bisa menyentuh sisisisi kerugian. Hitung-hitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya menjadi deretan angka yang menumpuk tanpa pernah mengupas pada efek kerugian yang lagi-lagi berimbas pada rakyat.
Buku ini mengupas betapa buruknya sistem perekonomian negeri ini. Negeri ini telah mengikuti arus ekonomi liberal yang meyakini bahwa kemakmuran bisa terwujud jika ada: perdagangan, investasi, dan bantuan asing. Maka pemerintah dengan senang hati menyambut perusahaan asing untuk berinvestasi dan campur tangan. Regulasi yang dijalankan pemerintah didasari oleh keinginan untuk beradaptasi dengan situasi pasar. Berkat sistem pasar maka semua sektor selain perdagangan dapat dijadikan sebagai kegiatan perdagangan.
Sistem pasar ini berawal pada konsep kepemilikan atau privatisasi yang dapat menghilangkan fungsi publik pada aset-aset publik yang diperdagangkan. Dengan hal ini kepemilikan bukan hanya makin tidak merata tetapi juga mengerucut hanya pada sejumlah orang yang menjadi karakteristik dalam sistem pasar. Jika kepemilikan sudah menjadi milik perorangan, maka disusunlah landasan hukum untuk mengesahkan kepemilikan privat mereka. Seperti yang mereka sebut dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Maka tak segan HAKI ini dapat memberikan sanksi kepada negara manapun yang melanggarnya. Praktik perlindungan hukum memang cenderung lebih melindungi negara-negara kaya daripada masyarakat miskin. “Bangsa ini sejak zaman kemerdekaan tidak pernah tegakkan hukum. Semuanya hanya bagibagi duit,” (hlm. 118). Kondisi negara ini cocok untuk menggambarkan apa yang dikatakan oleh Abdul Hamid, warga Kelurahan Tunggu Rono yang tanahnya dirampas oleh negara.
Semenjak negara menganut sistem pasar, pemerintah sepertinya lupa akan hak-hak rakyat miskin. Segala regulasi telah dibuat
berasaskan kepentingankepentingan kaum kaya. Bahkan bahan kebutuhan pokok seperti beras dan gula pun diliberalisasi hingga membuat industri rakyat bangkrut. Pemerintah lebih memilih mengimpor dari luar negeri karena terpikat pada bea masuk yang amat kecil. Semua bahan kebutuhan pokok kini menjadi bahan untuk transaksi perdagangan. Subsidi untuk pupuk yang dikurangi menjadi bagian dari keberpihakan kekuasaan bukan pada rakyat melainkan pada bagaimana mendapat pujian atau dukungan dari lembaga keuangan internasional. Kepatuhan pada badan-badan keuangan internasional ditunjukkan dari bagaimana kenikmatan bangsa ini untuk menimbun hutang luar negeri. Semua itu menunjukkan bahwa pemerintah selama ini telah salah arah dalam membuat kebijakan.
Negeri ini tidak melatih penduduknya untuk berproduksi, melainkan untuk berkonsumsi. Budaya konsumtif telah dikembangkan oleh pemerintah melalui pesatnya pembangunan mal dan swalayan di manamana. Bangunan tinggi megah yang diperuntukkan untuk usaha besar telah didirikan dengan legal atas izin dari pemerintah, sementara ribuan hektar lahan produktif rakyat rela dilepaskan begitu saja.
Tak hanya itu tingginya nilai konsumtif juga disebabkan oleh sektor perbankan yang berlomba untuk memberikan kredit konsumsi, seperti kredit kepemilikan. Semakin banyak masyarakat tanpa ragu membeli kendaraan pribadi. Hal itu membuat membeludaknya pengguna kendaraan pribadi tanpa diiringi dengan angkutan publik yang nyaman. Terus menerusnya pelebaran jalan raya tanpa adanya pelebaran trotoar membuat pejalan kaki tersingkirkan. Hal ini dapat meningkatkan angka kecelakaan jalan raya. Apalagi pembangunan jalan tol lebih dipacu daripada pembangunan jalanan umum yang dapat digunakan untuk semua kendaraan. Betapa mirisnya jika penyaluran dana subsidi ternyata untuk pembangunan seperti ini. Karena metode penyaluran tak akan mudah jika pipanya berlubang di mana-mana.
Satu lagi hal sudah menjadi pemandangan yang lumrah di perkotaan yakni penertiban jalan raya. Penertiban tersebut telah menggusur usaha para pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar.
Penggusuran oleh aparat kepolisian ini didalihkan dengan kepentingan estetika dan ketertiban kota tanpa pernah sedikitpun memikirkan bagaimana nasib para pedagang kaki lima dan keluarganya untuk melangsungkan hidup. Padahal ada beberapa kajian yang mulai melihat sektor pedagang kaki lima dalam memberikan sumbangan bagi pendapatan nasional.
“Sudah waktunya untuk menatap pedagang kaki lima sebagai bagian estetika kota sekaligus wajah perekonomian rakyat. Tapi penguasa bukan elemen yang selalu arif memandang apa yang sedang dilakukan oleh rakyatnya. Apalagi kekuasaan yang
berada dalam tikaman rezim pasar tetap memberikan wewenang mutlak pada berkuasanya ekonomi liberal. Mereka tetap percaya bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengikuti semua kemauan pasar,” (hlm. 112). Hal yang serupa pun dialami oleh buruh dan pekerja migran yang semakin dicerca legalitas keberadaannya. Sangat berbanding terbalik dengan sumbangan yang diberikan pendapatan nasional. Rakyat selalu terlantar di negaranya sendiri tanpa adanya perlindungan.
Seperti yang buku ini sampaikan, pemerintah berusaha menghadirkan opini-opini yang mewajarkan pengurangan subsidi dengan dalih bahwa subsidi telah mengganggu anggaran lain. Deretan argumentasi terus dipompakan untuk percaya akan kebenaran dalil bahwa subsidi secara berangsur-angsur harus dikurangi. Bukti yang diajukan pemerintah selalu saja anggaran yang diperuntukkan untuk membayar hutang atau dialokasikan untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Padahal rakyat seringkali dikejutkan dengan kenaikan harga BBM karena sangat berdampak pada harga kebutuhan pokok lainnya. Mau tidak mau rakyat harus bersiap menghadapi kemelut yang tak berkesudahan ini.
Telah beredar di berbagai media, iklan-iklan yang ditayangkan untuk memberikan pemahaman akan pencabutan subsidi BBM. Selain itu, pemerintah juga meyakinkan publik bahwa saluran untuk menyalurkan subsidi itu bersih dari korupsi. Rakyat yang tak berdaya menolak keputusan pemerintah berusaha mempercayainya. Pemerintah menebar janji kalau subsidi akan dialihkan untuk biaya gratis pendidikan dan kesehatan. Padahal sektor-sektor tersebut telah berhasil dikomersialisasi. Di sektor pendidikan, berbagai lembaga pendidikan berlomba menyiapkan kurikulum yang membekali keterampilan praktis para siswa untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal yang serupa juga berlaku di sektor kesehatan di mana layanan rumah sakit kian menjadi mirip perseroan. Sejumlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) disulap menjadi rumah sakit swasta. Rakyat miskin yang membutuhkan akses kesehatan yang layak pun disisihkan.
Tak bisa dipungkiri bahwa rasa kemanusiaan juga harus mengiringi setiap pembuatan kebijakan baik ekonomi maupun politik, untuk diorientasikan pada mereka yang miskin. Kalau masih banyak rakyat miskin maka seharusnya pemerintah mengiringinya dengan kebijakan yang dapat menyejahterakan rakyat. Subsidi bagi penulis adalah langkah yang membuat rakyat percaya akan keberadaan pemerintah. Subsidi adalah program pemerintah yang menghidupkan kembali apa arti pelayanan, perlindungan, dan politik kesejahteraan. Berbagai problematika ekonomi yang negeri kita hadapi tak akan terselesaikan jika kita terus terbungkam oleh sistem ekonomi pasar yang liberal.
Buku ini tidak hanya asal mengkritik kebijakankebijakan tak logis pemerintah, tetapi juga menyertakan dengan data-data konkret dan berita-berita nyata beserta sumbernya. Selain itu, juga dilengkapi ilustrasi karikatur yang menarik. Buku ini layak dijadikan referensi sebagai bahan renungan agar pemerintah negeri ini dapat dengan bijak mengambil keputusan dalam mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita membuka mata dan sadar bahwa subsidi itu penting bagi rakyat miskin.