7 minute read

Pola Asuh dan Pendidikan Karakter untuk Menghindari Perundungan terhadap ABK

Next Article
Traumanya

Traumanya

Pola Asuh dan Pendidikan Karakter untuk Menghindari Perundungan

Sejatinya kasus bullying akan terus terjadi tanpa adanya preventif yang tepat. Pentingnya pola asuh dari orang tua mengenai self-acceptance memberikan dampak yang sangat besar terhadap penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, penanaman pendidikan karakter kepada anak-anak sejak dini mulai dari lingkungan keluarga, sekolah bahkan lingkungan kerja juga akan memberikan pengaruh serta dorongan terhadap penyandang disabilitas.

Advertisement

terhadap ABK

Oleh Yunita Sulistiawati

Penulis adalah Kru LPM Dimensi

Kasus bullying saat ini semakin marak terjadi. Pelakunya sendiri mulai dari kalangan anak-anak, remaja hingga dewasa. Salah satu contoh kasus bullying oleh dan terhadap remaja pada Februari 2020 lalu. Salah seorang siswi SMP Purworejo yang menjadi korban bullying oleh ketiga teman lelakinya. Siswi tersebut merupakan penyandang disabilitas, meskipun saat ini kasusnya telah ditangani oleh aparat kepolisian, Namun, hal semacam ini sangat memprihatinkan. Sebab meskipun dalam hukum pelaku perundungan akan mendapatkan denda yang sangat berat. Namun, tidak bisa dipungkiri akan terjadi kasus serupa di kemudian hari.

Bila kita menelisik dalam ranah psikologi, dapat kita ketahui bahwa bullying menurut Olweus adalah tindakan yang bersifat negatif yang dimunculkan seseorang atau lebih, dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya. Krahe (2005), hampir setiap anak mungkin pernah mengalami suatu bentuk perlakuan tidak menyenangkan dari anak lain yang lebih tua atau kuat (dalam Mawardah, 2009: 14).

Dalam faktanya sendiri, perilaku bullying merupakan learned behavior karena manusia terlahir tidak sebagai penggertak dan penganggu yang lemah. Bullying merupakan perilaku yang tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele pun apabila dilakukan secara berulang kali pada akhirnya juga dapat menjadi hal yang sangat fatal.

Salah satu kasus yang menyita perhatian di dunia pendidikan adalah kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan siswa terhadap siswa, guru terhadap siswa, maupun oleh siswa terhadap guru. Lagi-lagi dalam dunia pendidikan kita dikejutkan oleh tersebarnya video bullying terhadap siswa yang menyandang disabilitas di SMP Purworejo tersebut. Video yang tersebar di media sosial itu mendapat respons yang cepat dari pengguna media sosial di Indonesia.

Lalu mengapa kasus bullying tersebut bisa terjadi kepada anak penyandang disabilitas? Lalu bagaimanakah repro internet kondisi psikologis korban? Menanggapi hal tersebut tentu saja kita tidak boleh memberikan keterangan atau informasi berdasarkan apa yang kita lihat saja. Perlu adanya analisis kasus dengan menggunakan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh beberapa ilmuwan. Sementara itu, perlu terciptanya kemandirian dalam diri siswa tersebut. Kemandirian merupakan modal hidup setiap manusia yang telah ada dalam dirinya. Semua manusia tentunya tidak menginginkan kehidupan mandirinya terganggu karena memiliki keterbatasan secara fisik. Cacat fisik “disabilitas” merupakan hal yang tak pernah diinginkan oleh setiap manusia. Namun, pada kenyataannya kecacatan bisa datang tanpa disadari baik karena kecelakaan, pada saat dilahirkan, ataupun pada masa pertumbuhan.

Pola Asuh terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Pola asuh orang tua atau yang biasa kita kenal dengan good parenting sangat penting bagi penyandang disabilitas. Pengasuh sendiri memiliki arti

dasar asuh yang artinya mengurus, mendidik, melatih, dan memelihara. Tenaga pengasuh adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan dan perawatan kepada anak untuk menggantikan peran orang tua yang sedang bekerja/mencari nafkah. Parent dalam parenting memiliki beberapa definisi, yakni ibu, ayah, seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga maupun seorang pelindung. Parent adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahap perkembangannya (Brooks, 2012).

Prinsip pengasuhan menurut Hoghungh tidak menekankan kepada siapa (pelaku) namun, lebih menekankan pada aktivitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Sehingga pengasuhan tidak cukup pada hal fisik, akan tetapi juga butuh pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Pengasuhan fisik mencakup semua aktivitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik dan tetap menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan, kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya.

Sementara itu, pengasuhan emosi mencakup pendampingan ketika anak mengalami kejadiankejadian yang tidak menyenangkan, seperti merasa terasingkan dari teman-temannya, takut atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai individu, mengetahui rasa dicintai serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan untuk mengetahui risikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman serta rasa optimistis atas halhal baru yang akan ditemui oleh anak. Oleh karena itu, pola asuh orang tua sangat penting bagi perkembangan anak penyandang disabilitas. Orang tua perlu melakukan bimbingan yang tepat kepada sang anak. Sehingga apabila anak berada di lingkungan luar, mereka akan memiliki kepercayaan yang tinggi. Dukungan serta penerimaan anak penyandang disabilitas dalam keluarga juga akan memengaruhi bagaimana pola pergaulannya. Anak yang dalam keluarganya memiliki kelekatan yang kuat, maka ia akan terhindar dari bullying atau perundungan. Karena sejatinya ia telah merasa diterima dan telah mendapatkan support yang besar dari keluarganya, sehingga ia tidak mudah merendah dan merasa berbeda dengan yang lain.

Pendidikan Karakter terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Lalu bagaimana dengan anak-anak normal yang melakukan perundungan terhadap penyandang disabilitas? Hal ini perlu adanya pendidikan karakter sejak dini. Pembentukan karakter sendiri tidak dapat terbentuk dengan sendirinya. Namun, juga ada peran kepala sekolah sebagai seorang pemimpin serta peran guru di dalam kelas. Pendidikan karakter merupakan pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati orang lain, kerja keras dan sebagainya.

Salah satu penelitian Erikson membuktikan bahwa masa remaja sebagai periode hiruk pikuk, penuh kekacauan, dan kebimbangan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan hormonal dan krisis-krisis identitas. Mesti demikian, penting untuk mengetahui bahwa anak-anak yang mengalami masa emosional di masa remaja biasanya memiliki masalah emosional yang sudah terjadi sebelumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja perlu mendapatkan beberapa hal. Pertama, satu-satunya cara untuk membangun kehidupan bermoral adalah dengan menciptakan manusia yang lebih bermoral. Kedua, sekolah memiliki peranan dan pengaruh yang kuat dan ekstensif terhadap kaum muda karena mereka menghabiskan sebagian besar waktunya bertahun-tahun sejak masih anak-anak sampai dewasa di sekolah. Nilai dalam pendidikan karakter juga akan memengaruhi terbentuknya karakter anak. Menurut Rokeach dan Bank (dalam Toha, 1996), nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu objek. Dalam hal pembentukan karakter di sekolah, peran kepala sekolah sangat penting. Sebab dalam hal ini kepala

sekolah memiliki tiga fungsi. Kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer dalam bidang pendidikan di sekolah yang dipimpinnya, menjadikan siswa-siswa berprestasi dan berbudi pekerti baik, serta sebagai pengayom semua warga sekolah secara bersama bahu membahu memajukan pendidikan di sekolah.

Tak hanya kepala sekolah saja namun, guru juga memegang peranan yang sangat strategis, terutama dalam membentuk karakter serta mengembangkan potensi siswa. Keberadaan guru yang handal di sekolah, baik secara perilaku maupun akademis pada saat pembelajaran maupun di luar pembelajaran akan memosisikan guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Di sinilah guru sebagai role model dalam sumber pengetahuan dan pembangunan karakter bagi siswa. Penanaman karakter dalam hali ini tidak hanya sebatas kebiasaan menasihati siswa. Karakter hanya terbentuk dengan persentuhan kualitas kepribadian dalam proses belajar bersama.

Pada tataran kelas, guru merupakan faktor penting dan yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pendidikan karakter di sekolah, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam mengembangkan kepribadiannya secara utuh (Mulyasa, 2011: 63). Dikatakan demikian, karena guru merupakan figur utama serta contoh dan teladan bagi siswa. Oleh karena itu, dalam pendidikan karakter, guru harus memulai dari dirinya sendiri agar apa-apa yang dilakukannya berdampak baik terhadap siswa.

Pendidikan karakter mengedepankan keterlibatan semua guru, melibatkan warga sekolah, melibatkan ahli pendidikan dalam rangka merencanakan kurikulum pendidikan karakter yang sejalan dengan situasi dan kondisi sekolah, yakni perencanaan yang mengedepankan “experience and concept learning”. Experience and concept learning merupakan sebuah sistem pembelajaran yang dirancang berdasarkan usia anak-anak yang dipadukan dengan pengalaman anak dan pengalaman guru yang disesuaikan dengan tahapan umur anak.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menghindari adanya kasus bullying di sekolah, maka guru dan kepala sekolah harus bekerja sama dan menyelaraskan tujuan dari pendidikan karakter tersebut. Tidak hanya itu, guru pula harus memberikan contoh yang baik serta mudah dipahami agar siswa tidak salah tangkap serta tidak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Sekolah serta keluarga merupakan dua elemen penting dalam pembentukan karakter serta pengembangan potensi anak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, sekolah serta keluarga harus memberikan hasil yang maksimal untuk mengurangi kasus perundungan di Indonesia.

Pentingnya pola pengasuhan serta pendidikan karakter akan memberikan dampak yang lebih baik untuk mengurangi kasus perundungan terhadap disabilitas. Karena pada hakikatnya perbedaan bukan menjadi dasar untuk direndahkan dan dilecehkan, karena manusia memiliki keinginan yang sama yaitu sama-sama ingin mendapatkan pengakuan dari yang lain. Oleh karenanya penting kesadaran untuk saling menghargai.

This article is from: