8 minute read
Traumanya
Kucumbu Tubuh Indahku: Makna Tubuh hingga
Traumanya “ Oleh Siti Nur Khalimah Perjalanan tubuh dengan berbagai trauma yang dialami Rianto sebagai koreografer sekaligus penari lengger Lanang menjadi inspirasi Sineas Garin Nugroho dalam perfilman. Rianto adalah penari lengger lanang. Seni tari tradisional asli Banyumas, Jawa Tengah.
Advertisement
Judul Film Sutradara Produksi Tahun Durasi : Kucumbu Tubuh Indahku : Garin Nugroho : Fourcolours Films : 2018 : 01:46:55
Indonesia merupakan negeri dengan beragam kesenian, salah satunya adalah kesenian tari lengger lanang yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah. Tari lengger lanang merupakan tarian dengan lelaki yang berdandan bak perempuan. Rianto adalah seorang koreografer sekaligus penari lengger lanang. Menjadi sorang penari lengger lanang harus bisa memerankan dirinya bak perempuan. Hal inilah yang membuat Rianto harus meleburkan sisi maskulinitas dan feminitas ke dalam satu tubuh, yaitu tubuhnya. Nama lengger berasal dari bahasa Jawa, yaitu “Leng” dan “Ngger” . Leng artinya bolongan, bolongane urip (lubang kehidupan) atau bisa juga diartikan kelamin perempuan. Sedangkan Ngger berasal dari kata jengger (jengger ayam) yang artinya kejantanan, perlambang lelaki yang menguasai dunia, seperti Arjuna. Sedangkan lanang berarti laki-laki. Garin dengan apik memilih nama Wahyu Juno sebagai tokoh utama. Nama Wahyu Juno dimaknai sebagai wahyunya Arjuna. Perawakan yang tenang seperti air dan kuat seperti gunung. Dalam film ini, ia dipanggil Juno. Juno kecil (Raditya Evandra) tinggal dengan bapaknya. Tanpa kehadiran sosok ibu, menjadikan Juno tumbuh mandiri, mulai dari memasak hingga menghasilkan uang dengan menjual sate jangkrik di pinggiran jalan. Juno hidup dalam keluarga besar yang penuh dengan trauma, trauma badan. Bapak Juno yang melihat langsung keluarganya dibantai di sebuah sungai hingga dituduh menjadi anggota Partai Komunis (1965), karena diundang ndalang di partai itu. Hal ini yang membuat keluarga yang tersisa jadi terasing. Akhirnya, Bapak Juno meninggalkannya dan memilih kerja jauh di pulau seberang, diam, dan sendiri. Karena itu, Juno sering pindah dari satu desa ke desa lain untuk melanjutkan kehidupannya. Dalam perpindahannya, Juno dihadapkan dengan lingkungan yang beragam, lengkap dengan berbagai traumanya. Garin menghadirkan sosok Rianto di setiap perpindahan Juno sebagai narator. Yang mana, ini menjadi penguat kompleksitas makna cerita dalam film. Rianto menarasikan perjalanan tubuhnya dengan
43
berbagai perumpamaan yang dibarengi lakon Juno sebagai perwujudan nyata.
“Rumah saya adalah badan saya. Saya bisa melihat kehidupan dari lubang.”
Sejak kecil Juno tertarik dengan tari lengger. Suatu waktu, Juno ketahuan mengintip penari yang sedang berlatih di sanggar. Kemudian, Juno tepergok oleh Guru Lengger (Sujiwo Tejo) dan ia dinasihati. Dari kejadian itulah, Juno rajin ke sanggar untuk berlatih menari. Hingga suatu hari, Juno tidak sengaja mengintip di balik tembok dapur. Ia melihat Guru Lengger membunuh Joko—pembantu Guru Lengger— dengan penuh amarah di raut mukanya. Pembunuhan itu terjadi karena Joko telah melakukan hubungan intim dengan Arum, pengurus lengger sekaligus perempuan milik Guru Lengger. Darah kocar-kacir di mana-mana. Juno yang mengetahui dari awal rentetan kejadian itu menyimpan segala emosi, ketakutan dalam tubuhnya.
“Tubuh saya itu hasrat. Selalu ingin tahu apa saja. Hasrat itu yang menggerakkan tubuh saya. Tidak ada batasan hasrat dalam tubuh saya. Mata saya, tubuh saya, mengintip dari lubang kecil hingga lubang besar.”
“Kamu tidak usah takut, yang namanya hidup itu cuma numpang ngintip. Pisah, pindah, mati itu biasa! Jadi anak jangan penakut”, ucap Bulik (Endah Laras) saat menjemput Juno untuk diajak pindah ke rumahnya. Selain sekolah, Juno juga membantu mengecek ayam yang akan bertelur. Bulik sampai mengatakan bahwa jari Juno itu jari tuyul. Sebagai siswa, Juno tidak malah rajin belajar, melainkan ia sibuk mengecek ayam tetangga. Mereka sampai rela mengantre panjang agar ayamnya dicek oleh Juno. Bulik yang mengetahui hal tersebut, tidak segan-segan memarahi Juno. Bulik menghukum Juno dengan menusukkan jarum di tangannya. Sehingga membuat darah segar Juno keluar dari jari mungilnya. Hal ini dilakukan tidak hanya sekali, sebab Juno tidak ada kapoknya. Ia mengulangi kejadian itu kembali. Juno yang kelelahan, akhirnya tertidur di kelas. Teman sekelas Juno terganggu karena bau ayam di tangan Juno. Tak lama kemudian, Juno terbangun, alhasil teman sekelas pun menertawakannya. Tawa itu terhenti seketika Guru (Iman Rimansyah) datang dengan memarahi Juno. Juno disuruh maju, dipukul kakinya, lalu disuruh menuliskan sebuah kata dengan mulutnya di papan tulis. Sebelum Juno selesai menulis, tidak ada yang boleh keluar. Juno menuliskan “IBU”. Guru Tari (Dwi Windarti) yang saat itu melihat langsung menghampiri Juno dan memeluknya dengan kasih sayang. Malam harinya, Juno mengikuti latihan menari. Karena Juno datang terlambat, ia tidak boleh pulang dulu seperti teman-teman lainnya. Juno disuruh mengulangi gerakan tari yang telah diajarkan Guru Tari kemarin. Di tengah latihan, Juno tiba-tiba berjalan mundur menjauhi Guru Tari dengan raut muka penuh ketakutan. Guru Tari pun mendekati Juno dan mengatakan bahwa, “Nasibmu itu ada di lembutnya tubuhmu. Itu jalan hidupmu”. Juno saat itu mulai merasa tenang, tak lama kemudian kerusuhan terjadi. Kerumunan massa datang, berteriak-teriak, dan menyeret Guru Tari itu ke kantor polisi. “Waktu saya kecil, saya sudah ditinggal bapak saya. Jadi apa-apa saya lakukan sendiri. Saya menyimpan pengalaman itu di tubuh saya. Kalau dipikir-pikir, semua pengalaman itu bisa jadi pelajaran untuk saya. Seperti memetik daun centhongan, memetik daun bayam, dicincang. Semua itu sudah menjadi satu di tubuh saya. Tubuh saya belajar dari alam.” Banyaknya kejadian yang dialaminya, membuat Juno pindah lagi. Juno kecil pindah ke rumah Pakde hingga ia remaja. Pakde (Fajar Suharno) adalah penjahit. Juno remaja (Muhammad Khan) membantu Pakde untuk mengukur badan seseorang tanpa menggunakan alat ukur, hanya bermodalkan percaya diri. Saat itu, ada seorang petinju (Randy Pangalila) mau menjahit pakaian pengantin. Dari sinilah, Juno semakin dekat dengan petinju itu. Setiap hari Juno selalu datang untuk menemani petinju itu latihan. Tidak hanya itu, mereka juga saling bercerita tentang pahit manis kehidupan yang pernah dialaminya. Kedekatan ini, membuat Juno jatuh hati dengan petinju itu karena kasih sayang dan kebersamaannya. Pakde sudah menganggap Juno layaknya anak sendiri. Di akhir hayatnya, Pakde menitipkan pesan pada Juno. “Semua trauma adalah bagian dari hidup. Tapi kamu harus cintai badanmu itu, karena itu yang membawa hidupmu.”
“Tubuh saya adalah alam. Kata ibu saya, saya itu seperti senja. Senja ya senjakala. Yang hidupnya di antara sore dan malam. Malam menjelang pagi. Mistis, tapi indah. Melebur. Tubuh saya itu alam. Tapi saya salah. Saya tidak bisa mengurusnya. Sehingga menyebabkan bencana. Bencana, di dalam tubuhku.
Tubuh saya jadi medan perang, seperti Padang Kurushetra. Dengan berbagai karakter yang berbedabeda. Satu. Satu dan lainnya! Di tubuhku ada perang.”
Setelah Pakde meninggal, Juno pindah lagi. Seperti biasa, Juno naik mobil bak dengan berbekal
tas selempang, wayang, radio, dan mesin jahit milik Pakde. Di atas mobil bak itu, Juno bertemu dengan sekelompok tari lengger dan reog yang juga mau pindah ke desa lain. Pengurus Tari (Mbok Tun) menawarkan agar Juno ikut dengan kelompoknya untuk menjahit pakaian para penari lengger. Juno pun ikut dengan mereka. Di desa baru itu, Juno dan temanteman lenggernya menghasilkan uang. Kerap tampil di acara-acara. Sampai pada suatu saat, ada kabar bahwa pilkada akan segera dilaksanakan. Calon Bupati (Teuku Rifnu Wikana) mempercayakan hal tersebut pada dukun. Dukun memerintahkan Calon Bupati untuk mencari pasangan dari orang yang rumahnya diukur 20 kali bambu kuning dari tugu desa ke gunung. Itu adalah syarat untuk menang pilkada bulan depan. Mereka pun menemukannya. Orang itu adalah Juno. Juno dibawa ke rumah Calon Bupati untuk melaksanakan ritualnya. Ritual diiringi dengan nyanyian tembang dari Pak Dukun sambil mengoleskan serbuk ke tubuh Calon Bupati. Juno menolak. Istri Bupati (Queen Darotea) mengancam Juno dan teman-teman lenggernya. Jika ia tak mau melaksanakan ritual itu, maka mereka akan diusir dari desa dengan tuduhan mereka adalah PKI baru. “Ini zaman Reformasi! Zaman bebas!” ungkap Juno. Namun, di balik kepentingan politik tersebut ternyata Calon Bupati itu diam-diam terpesona pada Juno.
Dalam perjalanannya dengan kelompok tari lengger dan reog itu, Juno juga sering menyakiti tubuhnya. Seringkali Juno menusukkan jarum jahit di jarinya. Darah! Dengan raut muka penuh emosi sambil memejamkan matanya. Suatu hari, perbuatan itu dihentikan oleh Warok (Whani Dharmawan). “Kamu tidak boleh menyakiti tubuh alusmu,” ujar Warok. Dalam tradisi reog, gemblak adalah laki-laki yang “dipelihara” warok atau penari reog tunggal sebagai sumber kekuatan supranatural. Konon, ketika sedang “puasa perempuan”, warok tidur dengan gemblaknya sebagai bagian dari ritual (medcom.id). Warok pasti memiliki gemblak. Warok itu pun memilih Juno untuk menjadi pasangannya atau gemblaknya. Ini karena ia memiliki spirit jika bersama Juno. Setelah Warok resmi mengumumkan bahwa Juno adalah gemblaknya, perseteruan malah terjadi. Para Warok merebutkan Juno menjadi gemblaknya. Akhirnya, diadakanlah pertempuran dalam sarung dengan menggunakan arit sebagai pedangnya. Juno yang tak sengaja melihat pertumpahan darah di tengah ladang jagung itupun langsung lari meninggalkan area itu. Juno melihat darah, darah, dan darah. Warok Juno melihat tindakan Juno itu. Ia pun mengakhiri pertempuran itu dan berlari mengejar Juno. Juno menangis, berteriak, meluapkan emosi, dan segala ketakutannya di pemandian umum. “Darah! Darah! Darah! Di mana-mana ada darah! Darah di manamana!” teriak Juno berulang kali. Sang Warok yang mengetahuinya langsung turun ke air dan mencoba menenangkan Juno. Juno yang tak terkendalikan itu akhirnya bisa direda oleh Sang Warok. Sang Warok memeluk erat-erat tubuh Juno dengan mengatakan “Tidak akan ada darah lagi!” secara berulang-ulang.
“Setiap saya berjalan di atas panggung, saya seperti mengintip hidupku sendiri. Saya seperti melihat ibu, berjalan membawa tas belanja. Belanja macammacam yang akan dimasak. Seperti saya waktu kecil, menyusuri hutan mencari lubang. Lubang itu satu-satu saya tengok setiap hari. Sambil menunggu kehidupan yang akan muncul.” Juno pindah lagi dan lagi. Namun, pindahnya kali ini dengan kelegaan hati. Di atas mobil bak itu, Juno yang biasanya tak berekspresi kini mulai bisa tersenyum kembali. Senyumnya merekah dibarengi suara nyanyian dari radio usang yang syahdu. Juno siap melanjutkan hidupnya lagi. Seolah, Juno sudah menemukan hidupnya. Senyum Juno inilah yang mengakhiri alur cerita film ini. Melalui film ini, penonton dapat menyaksikan bagaimana perjalanan tubuh seorang penari lengger dan setiap trauma yang dialami pada tubuhnya. Kita akan mengetahui apa makna dari tubuh. Setiap tubuh pasti memiliki trauma. Trauma harus diselesaikan secara sempurna agar tidak menghantui di kehidupan selanjutnya—seperti trauma PKI yang tidak diusut tuntas oleh negeri ini. Film ini juga selalu mengulang kata “mengintip” karena sejatinya hidup itu cuma numpang ngintip kehidupan dari sebuah lubang. Pisah, pindah, mati itu biasa. Selain itu, film ini juga menceritakan kebudayaan asli Indonesia yang seharusnya dilestarikan tetapi malah dimarginalkan. Tari lengger lanang. Kelompok penari marginal ini juga seringkali ditunggangi kepentingan kelompok mayoritas tertentu, seperti yang digambarkan dalam film. Ini merupakan realitas wajah Indonesia. Dengan diangkatnya film ini, diharapkan Indonesia tidak lupa akan kebudayaan aslinya dengan melestarikan budaya tersebut dan mengusut tuntas segala trauma yang ada, agar bisa terus melanjutkan hidup dan menemukan sejatinya hidup itu. Seseorang hanya bisa hidup ketika dirinya menghormati dan mencintai tubuhnya.