6 minute read
Perbedaan Bukanlah Sebuah Penghalang
Perbedaan Bukanlah Sebuah Penghalang
“Ketika orang memandang remeh diri kita, saat itulah waktu yang tepat untuk menunjukkan kepada dunia akan “ Oleh Nurlaila Mullenia Siregar kemampuan kita. Bukan karena kesombongan, tetapi karena setiap orang, siapapun itu diciptakan dengan kelebihannya Judul buku : Karya Pelangi masing-masing. Setiap orang dapat menjadi luar biasa. Penulis : Nila Gustian, dkk.
Advertisement
Kisah-kisah dalam buku ini adalah buktinya. Kisah yang full Tahun terbit : 2013 inspiration, full motivation.” Penerbit : Selaksa Publishing -Tika Bisono- Jumlah halaman: x+382 halaman ISBN : 978-602-1697-04-7
Karya Pelangi merupakan buku hasil kumpulan kisah inspiratif mengenai dunia disabilitas yang merupakan hasil dari sayembara menulis yang diadakan oleh para pengurus Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI)-Special Need Therapy Service (SNETS) Solo. Buku ini terdiri dari 31 kisah yang ditulis oleh sahabat penyandang disabilitas, keluarga penyandang disabilitas, volunteer, serta masyarakat umum. Buku ini terdiri dari empat bagian dan pada setiap bagiannya, kita akan disuguhkan dengan kisahkisah inspiratif mengenai dunia disabilitas. Bagian pertama buku ini berjudul “Sahabat Penyandang Disabilitas”. Pada bagian pertama, kita akan dibawa untuk menyelami kisah-kisah dari sahabat penyandang disabilitas, yakni menceritakan asal mula mereka menjadi penyandang disabilitas, perjuangan untuk tetap menempuh pendidikan meskipun memiliki keterbatasan, berusaha untuk tetap kuat saat mendapat hinaan.
Penyandang Disabilitas sendiri menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Nila Angria Fitri atau yang memiliki nama pena Nila Gustian sebagai salah satu penulis di dalam buku Karya Pelangi ini menceritakan awal mula ia menjadi penyandang disabilitas, yakni pada saat ia menginjak usia dua belas tahun, ia merasakan ada yang salah dengan tubuhnya, yakni tangan dan kakinya melemah. Akibatnya ia merasa kesulitan untuk melangkah, menaiki anak tangga, menggosok gigi, menyisir rambut, memasang kancing baju, menulis bahkan memegang sendok dan garpu, serta kesulitan dalam mengunyah makanan. Hal tersebut membuat ibunya khawatir dan memutuskan untuk memeriksakan kondisinya pada beberapa dokter. Namun, mereka tak menemukan penyebabnya. Ia pun rutin melakukan pengobatan medis maupun alternatif, tapi itu semua tak menunjukkan perubahan.
Setelah empat tahun berlalu, seorang dokter ahli saraf berhasil menemukan penyebab dari melemahnya kondisi fisiknya, yakni ia mengidap Myasthenia Gravis, kelainan autoimun di mana antibodi yang diproduksi justru berbalik menyerang otot-otot tubuh penderitanya. Otot-otot tubuh yang diserang akan mengalami kelemahan, mulai dari mata, wajah, leher, tangan, kaki, bahkan otot pernapasan. Myasthenia Gravis sendiri termasuk ke dalam kategori penyakit langka karena kasusnya jarang terjadi,
serta tak semua dokter mengetahui dan memahami penyakit tersebut. Akibatnya, tak banyak teman yang mau berteman dengannya. Bahkan tak sedikit pula yang meledek dan mencaci kondisi Nila.
Namun, saat menginjak bangku SMA ia mulai menemukan pencerahan dalam hidupnya, yakni ia banyak mendapat dukungan dari guru dan teman-temannya. Tak jarang mereka membantu mencatatkan materi pelajaran ketika ia mulai tak kuat untuk menulis, membukakan bungkus makanan bila tangannya tak kuat untuk membukanya, mengikatkan tali sepatu, meminjamkan buku-buku perpustakaan, mengetikkan tugas makalah olahraga sebab ia tak bisa berolahraga, membantu mencari bahan-bahan yang ia perlukan untuk menyusun tugas sekolah, bahkan mereka menggendongnya beramai-ramai menuju laboratorium di lantai dua bila sedang ada praktikum karena ia tak bisa menaiki anak tangga. Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan di universitas terbuka dan mengambil jurusan matematika. Saat di bangku kuliah ia juga bergabung dengan komunitas sesama pengidap Myasthenia Gravis. Ia cukup aktif dalam komunitas tersebut dan pada April 2011 ia terlibat sebagai salah satu pendiri sekaligus pengurus yayasan Myasthenia Gravis Indonesia. Namun, pada awal tahun 2013, ia terpaksa mengundurkan diri dari kepengurusan yayasan karena kondisi fisiknya semakin menurun.
Tak hanya Nila, banyak sahabat yang menjadi penyandang disabilitas seperti tunarungu saat menginjak bangku Sekolah Dasar, terjangkit polio saat berusia 6 bulan, mengalami kecelakaan sehingga ia tak bisa berjalan, memiliki posisi leher yang sedikit miring, tunanetra, serta mengalami kelainan motorik. Namun semua itu tak membuat mereka menyerah dengan keadaan, bahkan ada di antara mereka yang menamatkan sekolah maupun kuliahnya dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Pada bagian kedua berjudul “Keluarga Penyandang Disabilitas”, kita disuguhkan dengan kisah-kisah dari anggota keluarga yang menjadi penyandang disabilitas. Seperti yang dialami oleh Mujadi Tani, yakni seorang Guru Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebelumnya ia tak pernah menduga akan menjadi Guru SLB. Menurutnya mengajar merupakan sebuah kebutuhan, apalagi mengajar anak berkebutuhan khusus yang ia maknai sebagai sebuah panggilan. Di sanalah awal perkenalannya dengan perempuan yang akhirnya menjadi istrinya. Akan tetapi, istrinya mengalami Mental Retardation (MR), yakni keterbelakangan mental atau suatu keadaan di mana kemampuan otak di bawah rata-rata dan usia mental bahkan kejiwaan yang tidak sesuai dengan usia fisiknya.
Sebelum memutuskan untuk menikahinya, ia butuh waktu untuk mempertimbangkan, menghimpun nalar, akal sehat serta keikhlasan untuk memperkuat niatnya untuk menikahi perempuan tersebut. Setelah menikah, ia baru mengetahui bahwa istrinya sering mengantuk bila dibonceng, kebiasaannya kembali tidur ketika ditinggal bekerja dengan alasan tidak ada yang dikerjakan, suka beralasan jika disuruh melakukan sesuatu dan memiliki rasa malas yang berlebihan. Selain itu, ia pernah tidak mau salat dikarenakan komputer di Warnet rusak atau jaringannya tidak bagus, sehingga ia tidak bisa mengunduh lagu dan ia juga sering lupa mengerjakan tugas-tugas rumah.
Dalam pernikahannya, beban kehidupan semakin berat, tapi ia masih diberi kekuatan menjadi koordinator sebuah pameran yaitu pameran karya anak-anak berkebutuhan khusus seperti autis, down syndrome, dan sebagainya. Sebenarnya ia telah lama mengajukan proposal acara tersebut sebelum ia mengenal istrinya, tapi baru terwujud setelah satu tahun menikah. Acara tersebut diliput oleh media lokal maupun nasional. Tanpa sepengetahuannya ada seorang teman yang menuliskan sedikit kisah hidupnya di jejaring sosial dan melalui jalan itulah ia diundang di acara Kick Andy dalam episode “Kesempurnaan Cinta”. Ketika ia mendapatkan pertanyaan perihal kenapa ia memilihnya sebagai seorang istri, ia pun menjawab bahwa semua yang terlahir ke dunia berhak bahagia, begitu juga dengan istrinya, Putri Meyrinawati.
Sedangkan pada bagian ketiga berjudul “Volunteer”. Bab ini
berisi kisah Ciptono yang
mengabdikan dirinya selama dua puluh lima tahun sebagai seorang Guru SLB dengan keberanian dan dedikasi tinggi, maka ia akan menjadi guru anak spesial dengan sukses. Ia pun berjanji akan menghadiahkan hidupnya untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Menurutnya, menjadi Guru SLB harus memiliki kelebihan, harus lima kali lebih santun, lebih sabar, dan lebih kreatif dari guru lain. Mereka bukan produk Tuhan yang gagal, karena Tuhan tidak pernah gagal. Mereka juga tak perlu dikasihani tetapi perlu diberi kesempatan.
Selain itu ada juga Nadhira Aini yang menjadi pekerja sosial Freiwilliges Soziales Jahr (FSJ) di Jerman. Selama satu tahun ia bekerja di bagian asrama untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Serta Novelia Ngaripin yang membantu keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, mengunjungi, membantu sekolah yang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, serta membentuk yayasan non-profit dan mengajarkan masyarakat umum tentang kondisi anakanak berkebutuhan khusus.
Pada bagian terakhir buku ini, yakni bagian keempat berjudul “Masyarakat Umum”. Berkisah tentang seorang anak bernama Sasa, anak yang mengidap Cerebral Palsy, yakni keadaan di mana kakinya melemah. Namun dengan keadaan tersebut, ia mampu berjalan sendiri dan akan merasa malu jika harus dibantu untuk berjalan. Meskipun harus tertatihtatih, ia selalu berusaha untuk melakukan semua hal sendiri. Jika seseorang ingin membantu sebaiknya meminta izin terlebih dulu dengan bertanya “Boleh saya bantu?” jika ia mengangguk berarti ia bersedia untuk dibantu. Sasa sendiri telah mengikuti terapi neuro structure dan massage fisioterapi.
Suatu ketika, ia menangis histeris karena saat ia berwudu, ada adik kelas yang memerhatikannya, akibatnya ia merasa tersinggung dan merasa tidak berharga. Dia pun meluapkan emosinya kepada Bu Nita, guru pendamping yang memegangi lengannya ketika Sasa hampir terjatuh. Lantas, ia berjalan keluar kelas menuju anak tangga dan membenturkan kepalanya ke dinding. Menurut guru pendamping Sasa di kelas 1, Sasa memiliki gangguan psikologis yang cukup parah. Sehingga pikirannya selalu dipenuhi kecurigaan, waswas, dan negatif terhadap teman sebaya.
Buku ini sangat menarik dan bagus untuk dibaca karena menyajikan berbagai kisah inspiratif yang membuat pembaca mampu mengetahui lebih jauh mengenai dunia disabilitas, seperti asal mula mereka menjadi penyandang disabilitas, usaha mereka untuk tetap semangat dalam keterbatasan, tetap tegar walaupun mendapat hinaan, serta tetap semangat untuk melanjutkan sekolah walaupun banyak orang yang mencemooh dan memandang mereka sebelah mata. Selain itu, buku ini juga mampu merubah mindset orang-orang dalam memandang penyandang disabilitas. Sejatinya mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang-orang normal pada umumnya.