e e
SUSASTRA CERPEN
Elegi Hak Asasi Oleh M. Saifudin Zuhri
M
atahari mulai bergeser ke barat. Semilir angin berhembus melewati lubang-lubang ventilasi pintu dan jendela. Cuaca yang begitu panas menambah sesak ruangan. Sepertinya akan turun hujan di sore hari. Siang hari yang selalu diiringi musik keroncong khas masyarakat kecil memperindah suasana, membuat lupa keadaan dunia sebenarnya. Sekumpulan manusia tengah berkerumun dalam sebuah ruangan kecil yang berventilasi mini. Mereka nampaknya sedang beradu argumen satu sama lain dengan begitu sengit. “Bukankah kita juga punya hak?” tanya Pandir. “Iya, bukannya kita punya hak?” sambung kawan sebelahnya.
“Memang kita punya hak, tapi kita tidak bisa langsung menggugat seperti itu. Semua ada prosesnya, ada prosedur yang harus dilewati. Harus dipikir masak-masak. Supaya nantinya kita tidak dianggap grusa-grusu.” jawab salah seorang lainnya dengan begitu tenang. Nampaknya dia seorang terpelajar dengan keadaan fisik yang berbeda dengan lainnya. Akhirnya perdebatan berhenti dengan sendirinya setelah mendapat jawaban yang dianggap paling logis. Keakraban mereka begitu kental hingga setelah melakukan perdebatan pun mereka masih berbincang dengan santai. Seakan-akan tidak baru saja melakukan adu pendapat dengan nada tinggi. Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka berkeinginan memperjuangkan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, sarana prasarana yang memadai, dan mendapatkan pekerjaan yang sepadan di masyarakat serta tidak adanya diskriminasi terhadap kelompoknya. Dalam proses
64
perjuangan yang dilakukan kelompok ini tidak sendiri, mereka dibantu salah satu kawan yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Namanya Lutfi, pemuda yang memiliki rasa simpati kepada sesama. Dia orang yang berpendidikan dan berpengetahuan luas. Dia diajak oleh Pandir yang memiliki kelainan pada kakinya. Pandir seorang penyandang disabilitas sejak lahir, harus dibantu oleh kursi roda untuk berpindah tempat. Pandir adalah salah satu penggagas berdirinya paguyuban untuk orang berkebutuhan khusus. *** Semburat cahaya mentari menerobos masuk melalui ventilasi udara membuat Lutfi terbangun dari tidurnya. Ia segera mencari ponselnya untuk mengecek pukul berapa sekarang. Pukul tujuh pagi dan dia tibatiba teringat jadwal dengan Dewan Perlindungan Disabilitas. Dia akan mempresentasikan tentang hakhak yang harusnya didapatkan oleh teman-teman berkebutuhan khusus. “Sial, kenapa bangunku kesiangan. Manalagi ada janji sama orang-orang brengsek itu!” maki Lutfi pada dirinya sendiri. Ia segera mengaktifkan data ponselnya untuk melihat pesan yang telah dikirimkan padanya. Sembari menunggu pesan masuk, Lutfi bergegas menuju kamar mandi untuk melakukan bersih diri. “Nikmat sekali mandi di pagi hari,” celetuk Lutfi. Dia langsung menyaut ponselnya setelah keluar kamar mandi. Pesan berantai terus beriringan datang dari teman karibnya, Pandir. Dia mengingatkan Lutfi tentang acaranya pada hari ini. “Hoe Lutfi... Bangun kau!”
DIMeNSI 44 | Juli 2020