10 minute read
Disabilitas di Tulungagung
Penyandang disabilitas memiliki hak-hak aksesibilitas yang sama “ dengan masyarakat pada umumnya. Hak-hak tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas. Lalu bagaimana dengan Tulungagung?
Advertisement
Guiding Block di daerah Jogging Track Kalingrowo/dok.dim/irfanda
Dalam rangka menciptakan pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di tempat umum, pemerintah daerah tentu berkewajiban memfasilitasi tempat umum tersebut. Pemenuhan fasilitas tidak lain ditujukan untuk memenuhi hak atas kebutuhan masyarakat penyandang disabilitas, keamanan, keselamatan, dan kesehatan, serta kemudahan memasuki dan memanfaatkan fasilitas umum. Namun demikian, pemenuhannya masih saja sering terabaikan. Tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 mengenai penyandang disabilitas, bagian Empat Belas, Pasal 18, hak aksesibilitas untuk penyandang disabilitas meliputi hak: a. mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; b. mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu. Maka sudah jelas bahwasanya para penyandang disabilitas memiliki hak atas fasilitas publik yang disediakan pemerintah. Misalnya, fasilitas berupa trotoar dengan kemiringan tertentu ataupun bentuk bangunan tertentu untuk menjadi ramah disabilitas.
Hak Aksebilitas Penyandang Disabilitas
Menurut Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum (PU) Nomor 30 Tahun 2006 mengenai pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan, sudah dijelaskan bagaimana ketentuan yang tepat untuk pembangunan tempat umum ramah disabilitas. Salah satunya berupa penggunaan guiding block pada trotoar. Guiding block merupakan sebuah jalur khusus penyandang tunanetra berupa ubin pemandu yang didesain secara khusus. Biasanya, desain jalan berwarna kuning dengan permukaan timbul untuk memudahkan bagi tunanetra mengakses jalan. Kemudian, fasilitas lain yang juga diperlukan yaitu seperti akses jalan pada jembatan penyeberangan orang yang bisa dilalui pengguna kursi roda. Semisal berupa tanda zebra crossing dengan garis berhenti kendaraan yang tidak terlalu dekat. Dengan begitu, ini ditujukan agar pengendara memiliki jarak yang cukup untuk berhenti dan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas menyeberang jalan.
Selain itu, dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 dijelaskan mengenai hak pekerjaan penyandang disabilitas, yakni pada Bagian Empat, Pasal 45, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang disabilitas.” Kemudian diperjelas lagi pada Pasal 46 yang berbunyi, (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk mengikuti pelatihan keterampilan kerja di lembaga pelatihan kerja pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau swasta. (2) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bersifat inklusif dan mudah diakses.
Guiding Block di daerah Jogging Track Kalingrowo/dok.dim/irfanda Melalui pasal-pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sepadan dengan masyarakat nondisabilitas lainnya. Namun, dalam kesepadanan tersebut mereka juga memiliki hak untuk aksesibilitas yang menunjang dan mempermudah kinerja mereka. Lalu pertanyaannya, apakah Tulungagung sudah bisa dikatakan ramah disabilitas? Tempat umum ramah disabilitas dapat kita jumpai pada trotoar yang berada di daerah Kutoanyar─pinggir Kali Ngrowo dan alun-alun. Di trotoar 2 tempat tersebut dapat kita temui guiding block. Juga ditemui desain jalan dengan kemiringan yang tepat di ujung trotoar, sehingga memudahkan pengguna kursi roda untuk mengaksesnya. Kemudian, bagaimana menjawab mengenai hak pekerjaan yang terdapat dalam Pasal 46?
Ketenagakerjaan Disabilitas
Merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 46 Ayat (1), Ridwan selaku Kepala Subbidang (Kasubbid) Pemerintahan dan Pendidikan sekaligus rangkap Pelaksana Tugas Kabid, menjelaskan mengenai kuota atau jumlah penyandang disabilitas dalam suatu pelatihan, yang tergantung pada jumlah dana berdasarkan pengajuan proposal. “Di komunitas itu ada berapa orang, usulannya katakanlah untuk ‘pelatihan ini’ dan peralatan yang dibutuhkan 50 juta. Dia merekomendasikan, katakanlah dinas terkait ke sana, jumlahnya segitu, layak dapat segitu, diusulkan oleh tim anggaran. Tim anggaran melihat, oh ini butuhnya segini, yang direkomendasikan ke kepala dinasnya. Kita uangnya berapa untuk mengover, banyak sekali, tapi dibagi. Kita kan anggarannya 1 M, ukurannya ada 5 M, jadi kita potong segini-gini biar sesuai kebutuhannya. Bukan hanya dari Badan Pemerintah Daerah (Bappeda) saja, tetapi ada tim setelah ada rekomendasi dari dinasdinas,” papar Ridwan. Ridwan juga menjelaskan untuk bantuan sosial Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan Persatuan Cacat Tubuh (Percatu) berada di Dinas Sosial (Dinsos). Akan tetapi pelatihan keterampilan berada di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans), karena memang Disnakertans tidak hanya menangani penyandang disabilitas. Ridwan menjelaskan hanya sebagian kecil yang dapat mengikuti pelatihan yang lagilagi disesuaikan kembali pada anggaran yang dimiliki Disnakertrans. “Di Disnakertrans sebenarnya (punya) kemampuan anggaran, jadi ia katakanlah dalam satu tahun hanya mampu (menampung) 40 orang. 40 orang itu dibagi, disabilitasnya berapa, untuk yang pemuda, kepemudaannya berapa. Itu berdasarkan kemampuan anggarannya ya, itu kan sangat terbatas,” jelas Ridwan. Untuk bantuan dana operasional organisasi yang terdapat dalam suatu daerah, termasuk Pertuni dan Percatu, Ridwan menjelaskan bahwa proposal yang diajukan oleh organisasi atau komunitas memiliki syarat dan aturan tersendiri dengan ketentuan Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 Tahun 2011 mengenai Hibah Bantuan Sosial (Bansos). Di mana hibah bansos ini bisa dijadikan suntikan dana oleh organisasi-organisasi, termasuk Pertuni. Hibahan
dana bansos tersebut di dinas tenaga kerja juga ada yang berupa pelatihan. Bisa pula berupa bantuan kursi roda yang diberikan Dinsos. Dana hibah bansos yang didapat Pertuni tidak bisa didapat setiap tahun. Sebab, dana tersebut dibagikan merata pada setiap organisasi atau komunitas daerah secara bergantian, yang dapat digunakan sesuai dengan pengajuan proposal.
Fasilitas Umum bagi Penyandang Disabilitas
Mengenai fasilitas umum, Ridwan menjelaskan bahwa untuk infrastruktur penunjang seperti jalan, jembatan, dan trotoar, PU berkoordinasi dengan Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (IPW). Tetapi dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas umum bagi disabilitas diperlukan suatu kajian terlebih dahulu. Kajian yang dilakukan Bidang Penelitian dan Pengembangan IPW digunakan sebagai dasar apakah pembangunan tersebut benar-benar diperlukan atau tidak. Untuk fasilitas umum seperti lampu penerangan sudah menjadi ranah Dinas Perhubungan. Sejalur dengan itu, Ririn selaku Kasubid Pengembangan Wilayah Bidang IPW mengatakan bahwa secara tugas pokok dan fungsi bekerja dalam rangka perencanaan pembangunan dan penganggaran. Mengenai akses jalan ramah disabilitas yang hanya terletak pada trotoar daerah Kutoanyar dan alunalun, Ririn menjelaskan, bahwa trotoar model tersebut rincian kegiatannya berada di dinas bagian teknik. Sedangkan, perencanaan pembangunan didiskusikan di Dinas Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia (Punas), termasuk di dalamnya program responsif gender, seperti perlindungan anak dan lansia.
Ririn juga menerangkankan bahwa bangunan ramah disabilitas itu penting, tapi tidak semerta-merta bisa digunakan sebagai alasan pembangunan. Dalam pelaksanaanya, perancangan pembangunan tersebut melalui suatu proses perundingan. Apakah bangunan itu sangat penting atau hanya penting saja? Jika pembangunan dilaksanakan atas dasar kepentingan sepihak saja, ditakutkan pembangunan tersebut tidak tepat sasaran, atau pun tidak ada pertanggungjawaban berupa perawatan yang memadai. Selain karena kekhawatiran tersebut, juga memikirkan anggaran yang dimiliki, apakah memadai atau tidak. Pembangunan fasilitas ramah disabilitas ditekankan pada bangunanbangunan yang sekiranya banyak didatangi masyarakat umum tak terkecuali penyandang disabilitas, misalnya pada bangunan rumah sakit dan tempat umum lainnya, seperti terminal atau stasiun. Mengenai standar trotoar ramah disabilitas Ririn menjabarkan bahwa, “Kita tetap menekankan semua kegiatan yang dilaksanakan itu harus memenuhi standar teknis yang diterapkan oleh pemerintah, itu bukan pemerintah daerah yang menetapkan loh ya. Jadi standar teknis bangunan, standar teknis jalan, dan trotoar itu sudah dari kementerian masing-masing. Jadi penetapannya tidak bisa setiap Pemda membuat aturan terkait standar teknis bangunan, itu sudah standar bangunan SNI (Standar Nasional Indonesia, red) itu ya kan sudah ditetapkan oleh kementerian seperti itu.” Ririn menegaskan bahwa tidak hanya bangunan baru yang memiliki standarisasi pembangunan yang ramah disabilitas, bangunan lama pun tetap ada penyesuaian.
Tulungagung sendiri sudah menyediakan beberapa fasilitas umum bagi penyandang disabilitas. Namun, fasilitas yang ada belum bisa menjadikan Tulungagung sebagai kota ramah disabilitas. Walaupun begitu bukan berarti tidak mungkin jika kemudian Tulungagung menjadi Kota Inklusi, kota ramah disabilitas. (Dit, Shol, Rif, Kzn)
Omnibus Law: Catatan Proses Pembentukan Peraturan Perundangundangan di Indonesia
Oleh Satrio Wibowo
Konstitusi merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan negara hukum. Konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa negara harus mengatur menurut aturan-aturan tersebut (Azhary, 1995: 21). Indonesia sebagai negara hukum mengemban kewajiban untuk melaksanakan segala sesuatunya berdasarkan hukum yang berlaku. Hingga pada saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memiliki pengaturan dalam berbagai bentuk produk hukum. Tentu dengan jumlah yang demikian banyak sangat mungkin terjadi tumpang tindih aturan. Di sisi lain pemerintah berpendapat bahwa dengan banyaknya tumpang tindih peraturan perundang-undangan ini dinilai menghambat investasi di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo selesai pidato Pelantikan Presiden Indonesia 2019‒2024 untuk menaikkan angka pertumbuhan ekonomi yang hingga saat ini telah masuk di Prolegnas Prioritas 2020 antara lain RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Perpajakan dan RUU Ibu Kota Baru.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dalam menyelesaikan hal tersebut adalah dengan Omnibus Law. Dalam Black Law Dictionary Ninth Edition karya Bryan A. Garner menyebutkan “Omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having varius purpose.” yang diartikan secara harfiah yaitu berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan.
Dalam pemahaman yang lain, omnibus law atau yang juga dikenal dengan istilah omnibus bill dalam pembuatan regulasi, yaitu membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus sehingga tidak perlu mengubah, mencabut, dan/atau mengganti satu per satu peraturan perundang-undangan serta memangkas waktu dan biaya yang diperlukan (Suhayati dan Kartika, 2019: 141).
dok.dim/rifqi Omnibus Law bukanlah sesuatu hal yang baru, secara teoritik sudah dikenal sejak 1888 dan secara implementatif baru digunakan di Amerika Serikat dengan The Omnibus Appropriations Act tahun 1950. Beberapa negara lain yang menganut sistem common law telah menerapkannya di antara lain adalah Irlandia yang menghapus total 3.225 UU; Filipina dengan The Omnibus Investment Code yang kurang lebih sama konteksnya dengan Indonesia; Kanada yang memodifikasi 23 UU yang lama agar sama dengan aturan WTO; Turki mengamandemen mengenai pajak penghasilan, pajak pendapatan, belanja pajak, tabungan pensiun, jaminan sosial serta asuransi kesehatan; dan Selandia Baru juga mengamandemen Taxation Act pada 2019.
Menggunakan opsi Omnibus Law ini memiliki manfaat di antaranya yaitu yang pertama, mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien; kedua, menyeragamkan kebijakan
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; ketiga pengurusan izin lebih terpadu, efisien dan efektif; keempat, mampu memutus mata rantai birokrasi yang berlama-lama; kelima, meningkatnya hubungan koordinasi antarinstansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan Omnibus regulation yang terpadu; dan keenam, adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan (Firman F. Busroh, 2017: 247).
Selain dari manfaat yang didapat, tidak sedikit yang menilai bahwa omnibus law juga berpotensi menimbulkan masalah jika dilaksanakan secara serampangan. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pertama, adanya pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, dan partisipasi masyakarat. Jika ini tidak dilaksanakan maka tidak menutup kemungkinan bagi pemangku kepentingan untuk disalahgunakan mengingat pada saat ini semakin tinggi distrust masyarakat terhadap kinerja pemerintah; k e d u a , diperlukan sosialisasi yang lebih luas terutama untuk pejabat dan pihak terkait substansi RUU, profesi hukum dan akademisi. Hal ini juga perlu menjadi perhatian agar secara Penulis adalah Dosen FASIH IAIN Tulungagung substansi dan juga pada pelaksanaannya tidak membuat pejabat pelaksana dan pihak terkait tidak kesulitan dalam menjalankan kewenangannya; ketiga, pembahasan di DPR harus transparan dan memperhatikan masukan dari pihak terkait RUU dan tidak tergesagesa. Hal ini dianggap sangat memicu reaksi berupa ketidaksetujuan masyarakat khususnya kalangan pekerja dengan RUU Cipta Lapangan Kerja yang sebagian dinilai mengabaikan hak pekerja dan juga pada proses penyusunan RUU ini terkesan tergesagesa dengan jumlah pasal yang lebih dari seribu pasal dengan waktu yang kurang dari 100 hari sangat di luar perkiraan; keempat, mempertimbangkan jangka waktu yang efektif berlakunya UU, tentunya tidak hanya semata untuk kepentingan investasi dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi sesaat namun juga diperlukan keberjenjangannya artinya RUU dapat menjangkau hingga beberapa waktu ke depan yang cukup lama jika angka perekonomian telah tumbuh, negara hanya perlu membuat angka tersebut berada dalam keadaan yang relatif stabil; kelima, mempertimbangkan keberlakuan UU yang terdampak yang mana RUU yang baru memiliki kemungkinan untuk mengubah atau bahkan mengganti secara keseluruhan UU yang lama yang secara substantif pasti berdampak.
Secara umum, Omnibus Law ini merupakan salah bentuk progresif dalam proses perancangan peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa dalam prosesnya masyarakat perlu dilibatkan dalam berbagai bentuk termasuk suara dari berbagai kalangan, baik pemangku kepentingan yaitu pemerintah, DPR, para ahli dan juga masyarakat secara umum pun juga untuk kepentingan bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dalam jangka waktu mendatang.