8 minute read

SLB Sebagai Penghubung Alternatif Anak Berkebutuhan Khusus

Next Article
SUSASTRA

SUSASTRA

SLB sebagai Penghubung Alternatif Anak Berkebutuhan

Khusus “ Untuk menjembatani Anak Berkebutuhan Khusus, Sekolah Luar Biasa sebagai wadah guna mengetahui kemampuan atau bahkan potensi yang dimiliki.

Advertisement

Pendidikan sebagai salah satu elemen penting dalam membangun peradaban manusia. Pendidikan yang telah dikais dapat mambantu seseorang memahami ilmu dan pengetahuan. Terlebih lagi pada zaman ini, kualitas manusia sangat diperhitungkan, agar mampu bersaing dengan masyarakat lokal maupun masyarakat global. Kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan sepatutnya terbuka lebar tanpa adanya diskriminasi kelompok maupun individu, termasuk pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

ABK merupakan anak yang memiliki keterbatasan atau bahkan keluarbiasaan mentalemosional, maupun sosial. Hal ini tentu tidak dapat digunakan sebagai alasan bagi ABK untuk tidak mendapatkan pendidikan seperti siswa lain. Seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat (1) menegaskan, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.”

Sementara itu, terkait masalah pendidikan pemerintah telah menyediakan fasilitas khusus untuk ABK, salah satunya adalah Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mengakses pendidikan. Siswa SLB diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang secara khusus telah dirancang guna membantu mencapai potensi maksimal yang dimiliki. Hal tersebut diharapkan agar ABK mampu mengembangkan sikap dan kemampuannya.

Dilansir dari laman Kemendikbud.go . id., pada tahun 2017 Badan dok.dim Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jika jumlah ABK di Indonesia mencapai 1,6 juta anak dan baru 18% yang mendapatkan pelayanan inklusi. Dari 18% tersebut, baru 115 ribu anak yang bersekolah di SLB. Sementara itu data dari jatim.bps.go.id., jumlah total ABK di Jawa Timur 30.522 sementara yang telah mengenyam pendidikan baru 17.416 siswa dengan total 437 SLB yang tersebar di seluruh kota/kabupaten di Jawa Timur. Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya tingkat pendidikan ABK, seperti kurangnya pengetahuan orang tua untuk mengoptimalkan kemampuan ABK. Sehingga anakanak yang tinggal di daerah terpencil belum bisa ikut mengenyam pendidikan yang tersedia.

Adapun satuan pendidikan bagi ABK dimulai dari beberapa jenjang pendidikan, seperti yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 157 Tahun 2014 Pasal 5 Ayat 2 yakni Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) atau Raudatul Anfal Luar Biasa (RALB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) atau Madrasah Ibtidaiyah Luar Biasa (MILB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) atau Madrasah Tsanawiyah Luar Biasa (MTSLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa

(SMALB) atau Madrasah Aliyah Luar Biasa (MALB), Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa (SMKLB) atau Madrasah Aliyah Kejuruan Luar Biasa (MAKLB).

Pada SLB terdapat beberapa penggolongan di antaranya adalah SLB-A, yang merupakan SLB khusus untuk penyandang tunanetra, SLB-B khusus ditunjukkan untuk penyandang tunarungu, SLB-C untuk penyandang tunagrahita, selanjutnya SLB-D khusus untuk penyandang tunadaksa, lalu SLB-E ditunjukkan untuk penyandang tunalaras, dan yang terakhir SLB-F untuk penyandang tunaganda (kompas.com). Ada juga SLB yang dikhususkan untuk penyandang autis namun, kebanyakan di Indonesia, SLB terdiri dari pelbagai kebutuhan yang telah diatur sesuai dengan kebutuhan ABK.

Regulasi SLB di Tulungagung

Di Kabupaten Tulungagung sendiri, SLB menjadi salah satu alternatif yang cukup efektif bagi ABK untuk mengenyam pendidikan. “Sekabupaten Tulungagung hanya (ada) 12 lembaga (SLB, red) negerinya 3, swastanya 9,” ungkap Suroto selaku selaku Perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Tulungagung. Hanya saja tidak semua SLB di Tulungagung menerima ABK dengan kebutuhan yang sama. Menurut Suroto hal ini dikarenakan sebelum merombak menjadi SLB, sekolah tersebut dulunya hanya berupa yayasan.

Salah satunya SLB yang memiliki siswa dengan kebutuhan berbeda adalah SLB Gondang. “Ya campuran, ada yang tunarungu, tunanetra, tunagrahita juga ada, tunadaksa, semua diterima karena kita kan SLB, di sini kan hanya ada satu. Apa pun ketunaannya kita terima. Hampir semua guru di sini punya sarjana Pendidikan Luar Biasa. Jadi bisa menguasai,” tutur Arinda Ariyanti selaku Kepala SLB Gondang.

Ketika pertama masuk sekolah setiap siswa melaksanakan tes yang diadakan SLB. Tes ini bertujuan mengetahui potensi yang dimiliki siswa. Selain itu sekolah juga menganjurkan setiap orang tua untuk membawa surat keterangan tes psikologi siswa. Tes tersebut digunakan untuk mengukur kecerdasan dan bakat istimewa ABK.

Namun, anjuran tersebut belum bisa terlaksana secara maksimal di SLB Tulungagung. Menurut Arinda hal tersebut karena terkendala faktor ekonomi para wali siswa. “Ada asesmen di awal masuk, kita observasi paling tidak seminggu dua minggu, soalnya kadang gitu kan enggak kelihatan. Masuk dulu gurunya siapa. Harusnya anak-anak yang masuk di SLB itu pertama kali masuk harus ke psikotes jadi anakanak itu bawa surat. Hal itu pernah kita ajukan seperti itu, tapi wali siswa tidak mampu, keberatan,” tukas Arinda.

Menangani hal tersebut SLB-C Tulungagung memiliki cara tersendiri untuk menentukan tingkat kemampuan calon siswanya. Menurut Sudaryanto, salah satu guru SLB menyatakan bahwa cara menentukannya seperti golongan grahita ringan, sedang, dan berat pada setiap calon siswa yakni dengan mengacu pada akademik siswa tersebut. Selain itu juga bisa dengan kemampuan bagaimana siswa merawat diri masingmasing, seperti menggunakan sepatu atau berpakaian, meskipun akademik lebih diutamakan.

Minim Tenaga Pengajar Jadi Kendala ABK

Sementara itu, untuk ABK sendiri ketika berada di sekolah tidak hanya membutuhkan pengetahuan, tetapi juga interaksi dan komunikasi langsung dengan guru yang mengajar. Oleh karena itu kurangnya guru di SLB menjadi masalah yang cukup serius. “Kalau bicara soal ideal, tentu belum ideal. Karena kalau menurut ketentuan di sekolah khusus itu 1 guru maksimal 5 anak. Itu kalau anaknya tidak autis. Kalau anaknya autis satu guru pegang 2 anak. Untuk mengatasi itu ya semampu kita manangani anak-anak kita sebanyak 31 itu,” ungkap Ardi Artitiana, selaku Seksi Kurikulum SLB Kopri Kauman. Akibat dari kekurangan tenaga pengajar tersebut, guru yang seharusnya hanya mendidik ABK tidak kurang dari 5 siswa agar pembelajaran lebih maksimal, akhirnya terpaksa setiap guru harus menangani satu rombongan belajar. Sehingga kurang optimalnya pembelajaran tidak bisa dihindari.

Senada dengan hal ini, Arinda juga mengeluhkan hal yang sama terkait kurangnya tenaga pengajar. Arinda menambahkan jika di SLB Gondang hanya menerima guru-guru dengan latar pendidikan kebutuhan khusus. Menurutnya Guru

SLB bukan hanya tenaga pengajar, namun juga menjadi pengasuh, pesuruh, dan orang tua. Sehingga jika guru tersebut sudah memiliki bekal sebelumnya, mereka cenderung lebih mudah menangani dan beradaptasi dengan ABK. Lebih lanjut menurut Sudaryanto, terkait SLB-C di Tulungagung, pihak guru sudah mengupayakan pengajuan penambahan tenaga pengajar. Akan tetapi rencana tersebut pupus di tengah jalan karena terkendala biaya. “Setiap tahun melalui Application Generator Toolkit sekolah mengajukan penambahan jumlah guru khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun untuk menambah jumlah Guru Tidak Tetap (GTT), sekolah diperbolehkan sementara oleh Cabang Dinas Pendidikan wilayah Tulungagung, tapi terkait anggaran masih perlu dipertimbangkan. Kita tetap minta, tapi kan kalau ASN yang menentukan pusat. Kalau kita ya paling tidak hanya mencari tenaga GTT. Sampai sekarang belum dapat karena mungkin terkait juga dengan anggaran.” Menanggapi keluhan tersebut, Suroto selaku Perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Tulungagung menyampaikan bahwa hal tersebut disebabkan karena kurangnya lulusan pendidikan khusus sementara guru yang sudah masuk masa pensiun semakin bertambah. “Kalau ingin mengangkat guru swasta, dananya yang bingung. Kalau ingin mengangkat guru baru, uangnya bulanan kurang ya kasihan,” tambahnya.

Sebenarnya bukan hanya masalah tentang kurangnya tenaga pengajar saja yang hilir mudik terjadi di SLB. Contoh yang tak dapat dimungkiri yakni sampai saat ini masih banyak orang beranggapan bahwa SLB memiliki keterbelakangan pendidikan dan metode serta sistem yang tertinggal. Padahal realitasnya sistem pembelajaran dan metode yang digunakan SLB dapat dikatakan maju. Para guru memiliki metode khusus untuk menyampaikan pembelajaran kepada siswa. Oleh karena itu tak jarang jika para siswa ABK justru banyak yang memiliki kreativitas yang tinggi dibanding dengan siswa reguler. Karena ekstra guru dalam mendidik sangat ditumpukan kepada peserta didiknya sehingga lebih pada pendekatan saintifik dan student centered learning. Sudaryanto menjelaskan, guru di SLB memiliki metode khusus untuk bisa menyalurkan materi pembelajaran. Suroto juga mengatakan bahwa metode pembelajaran menggunakan pendekatan individual dan pembelajaran aktif (pendekatan saintifik) yang disesuaikan dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing siswa. SLB memiliki kurikulum khusus yang digunakan, yakni kurikulum pendidikan khusus. Kurikulum pendidikan khusus lebih fleksibel dibanding dengan kurikulum yang terdapat pada sekolah reguler. Suroto menjelaskan bahwa kurikulum tersebut tidak mutlak dipakai seluruhnya sehingga guru bisa mengaturnya sesuai kebutuhan ABK. Selain itu kurikulum pendidikan khusus juga dikembangkan sebagai penguat bagi ABK untuk bekal hidup mandiri, tidak tergantung pada orang lain dan untuk bekal persiapan kerja. Tak heran jika pembelajaran di SLB lebih dominan fokus pada praktik ketimbang teori. Seperti halnya yang disampaikan oleh Yayuk selaku tenaga pengajar di SLB-B. Bahwa hanya soal saja tidak sama dengan kurikulum Pendidikan Khusus (PK). Untuk PK jenjang SMP dan SMA mata pelajaran keterampilannya 60%, karena mereka disiapkan lulus SMA sudah mandiri dan mempunyai modal untuk bekerja.

Kegelisahan lain juga ditemui pada sarana dan prasarana penunjang pembelajaran bagi ABK di SLB. Mengingat penunjang yang digunakan SLB memang lebih banyak ketimbang sekolah reguler. Kendati demikian pemerintah telah memberikan standar dari sarana dan prasarana di SLB seluruhnya, yakni telah tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 33 Tahun 2008.

Menyikapi hal tersebut, Ardi menyampaikan bahwa pemerintah memberikan banyak bantuan pada SLB untuk memenuhi kebutuhan ABK. “Kalau pemerintah itu menjamin, kalau fasilitas apapun untuk memenuhi anak disabilitas akan diberi, asal memenuhi kriteria. Seperti gedung harus memiliki lahan terlebih dahulu. Seperti alat-alat harus ada ruangannya dulu. Kalau enggak ada, mau ditempatkan di mana. Yang penting kita ada kriterianya terlebih dahulu,” tuturnya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan internal lainnya seperti ekstrakurikuler dan kegiatan pengembangan lainnya. Sudaryanto menuturkan jika pemerintah telah memberikan bantuan operasional. Seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kemudian dari provinsi berupa Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP), Bantuan Belajar (Banbel), dan bantuan pendidikan sekolah yang besarnya disesuaikan dengan status negeri atau swasta.

Pada dasarnya SLB menjadi salah satu tempat bagi siswa berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan seperti siswa pada umumnya. ABK memerlukan perhatian lebih dengan alasan keterbatasan atau bahkan keluarbiasaan yang ada pada dirinya. Dengan adanya hal ini, sehendaknya SLB di Tulungagung diimbangi dengan tenaga pengajar yang kompeten. [] (An, Um, Tit, As, Ris, Mar)

This article is from: