6 minute read
Kuantitas Tenaga Pengajar
Sekolah Inklusi: Minim
Dukungan dan Kuantitas Tenaga Pengajar
Advertisement
Taraf pendidikan akan stagnan jika tidak disertai upaya “ meningkatkan kualitas tenaga pendidik, fasilitas yang memadai, dan regulasi yang mendukung. Seperti minimnya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh hak dalam proses belajar, sebab kurangnya dukungan penuh dari pihak yang berwewenang.
Pendidikan adalah aspek penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu semua warga Indonesia memiliki hak mendapatkan pendidikan, tanpa terkecuali. Namun, fasilitas yang serba terbatas, membuat akses pendidikan belum merata dan ramah, terutama terhadap penyandang disabilitas. Selain itu konstruksi lingkungan pendidikan masih ada yang menganggap rendah penyandang disabilitas, sehingga berimbas pada perlakuan diskriminasi.
Masyarakat menganggap penyandang disabilitas adalah orang yang memerlukan rasa belas kasih dan empati. Stigma tersebut masih terbawa oleh masyarakat hingga ranah pendidikan. Padahal, setiap warga negara memilik kesamaan hak. Hal ini diperjelas oleh Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 1 Ayat 2 berbunyi, “Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”
Selain itu, Negara Indonesia juga telah meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabillities, pada 2011 lalu. Ini tertuang dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (ham.go.id).
dok.dim/rifqi
Dukungan nasional dan internasional telah diperoleh oleh negara, namun belum menyebutkan adanya perubahan yang signifikan dari regulasi tersebut. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menyebutkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia berjumlah 1,6 juta orang. Artinya, 1 juta lebih ABK belum memperoleh pendidikan layak sesuai hak yang dimilikinya. ABK yang sudah memperoleh pendidikan hanya 30%, dengan 18% di antaranya menerima pendidikan inklusif, baik dari Sekolah Luar Biasa (SLB), maupun sekolah pelaksana pendidikan inklusif (bisnis.com).
Dinamika Pendidikan Inklusif
Dilansir dari kompas.com, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sedikit menyinggung tentang permasalahan pendidikan inklusif. “Menurut saya secara pribadi, hampir semua guru harus mengetahui prinsip-prinsip dasar pendidikan berkebutuhan khusus,” ungkapnya seusai Upacara Hari Guru Nasional 2019 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (25/11/2019).
Menurutnya, guru-guru di sekolah manapun harus bisa menangani siswa berkebutuhan khusus dan mengetahui terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan kebutuhan khusus. “Ini yang harus jadi bagian kurikulum. Di semua kurikulum guru, keluar prinsip pendidikan khusus,” tambah Nadiem.
Mengacu pada pernyataan Menteri Pendidikan tersebut, ini menjadi PR bagi negara untuk meratakan masalah pendidikan di Indonesia. Pun negara harus responsif menerima pernyataan tersebut. Salah satunya dengan memberikan perhatian khusus bagi sekolah yang memiliki basis pendidikan inklusif dan memberikan pelatihan secara masif bagi para tenaga pendidik. Agar ke depannya menimbulkan perubahan yang berkomitmen untuk memajukan pendidikan nasional. Menurut Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2018, data jumlah siswa berkebutuhan khusus di Indonesia tercatat sebanyak 993 ribu siswa, dengan ragam disabilitas meliputi penglihatan, pendengaran, motorik kasar dan halus, intelektual, emosi dan lain sebagainya. Dengan persentase 25% partisipasi siswa pada tahun 2018 dan 49% lainnya merupakan target pertumbuhan partisipasi siswa penyandang disabilitas di sekolah tahun 2024 ke depan.
Semakin tingginya angka pertumbuhan ABK, berarti juga harus diiringi dengan upaya meningkatkan tenaga profesional dalam mengajar. Menurut Nadiem sendiri, salah satu masalah dari pendidikan inklusif adalah minimnya keterampilan guru untuk mengajar ABK. Sehingga hal itu perlu ditanggapi dengan serius jika ingin meningkatkan taraf pendidikan.
Sekolah Inklusi Lembaga Pendidikan Islam AlAzhaar
Salah satu sekolah inklusi di Tulungagung adalah Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Al-Azhaar. Yayasan ini berawal dari Taman Pendidikan Al-Quran pada tahun 1990-an. Yayasan yang didirikan oleh Amir Tampa ini kemudian diresmikan menjadi salah satu yayasan pendidikan formal berbasis Islam pada tahun 1995. LPI Al-Azhaar sendiri terdiri dari berbagai jenjang: PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Farmasi.
Meskipun terdapat peraturan baru mengenai latar pendidikan bagi guru ABK yang harus memiliki kualifikasi Pendidikan Luar Biasa atau minimal mendapatkan pelatihan penyelenggaraan sekolah inklusi. Kenyataannya, masih banyak sekali Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Seperti halnya profesi guru ABK di sekolah Al-Azhaar, satusatunya sekolah inklusi tingkat SLTP di Tulungagung. ”Kami semua pendidik tidak punya background ke-PLBan atau pendidikan luar biasa. Semua bidangnya adalah pendidikan (non-PLB), tetapi kita tetap ikut pelatihan dan sharing mengenai pendidikan inklusif. Bahkan pernah bekerja sama dengan SLB karena bagaimanapun SLB lebih berkompeten dalam bidangnya,” ungkap Tuti, salah satu staf GPK di Al-Azhaar. Terdapat dua kategori guru yang menangani siswa ABK di LPI Al-Azhaar, yakni GPK dan shadow teacher. GPK ini mangampu seluruh siswa termasuk ABK untuk seluruh mata pelajaran. GPK tersebut selain memiliki kemampuan mengajar secara umum, juga harus memiliki keterampilan khusus dalam mengajar ABK. Sedangkan, shadow teacher khusus mendampingi ABK ketika berada di dalam kelas. Keterampilan dalam mendidik ABK harus diprioritaskan oleh seorang GPK.
Sekolah inklusi Al-Azhaar mengupayakan agar guru mengajar maksimum 3 ABK dalam kurun waktu yang sama, meskipun idealnya adalah satu banding satu. Hal ini disebabkan kurangnya ketenagakerjaan pendidikan khusus yang tersedia. “Orang-orang lihat ABK itu kan macem-macem, ada yang (melihat) dari segi kemanusiaan ada juga yang gengsi. Jarang yang cari kerja di GPK, semua lebih ke alasan nurani atau kemanusiaan, jadi sulit,” ujar Suroto, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kabupaten Tulungagung.
Selain itu, di sekolah inklusi AlAzhaar juga terdapat kategori kelas khusus, yakni kelas terapi dan kelas nonterapi. Kelas terapi diperuntukkan bagi ABK yang belum bisa bersosialisasi dengan siswa kelas reguler. Sedangkan untuk kelas nonterapi diperuntukkan bagi ABK yang sudah bisa bersosialisasi dengan siswa reguler, sehingga ia dapat menempati
kelas regular. Tetapi untuk pelajaran yang berbasis Ujian Nasional, pelajarannya juga disesuaikan dengan standarisasi khusus ABK, hal ini karena sudah adanya jadwal sendiri-sendiri.
Untuk kriteria penilaian bagi ABK sendiri tergantung pada kebijakan GPK-nya. Mengingat adanya ketidakseimbangan jika menyamaratakan nilai ABK dengan siswa reguler lainnya. Tugas GPK adalah menyesuaikan apakah siswa siap menerima mata pelajaran atau tidak. Semua faktor harus menyesuaikan dengan kemampuan ABK dengan menggunakan referensi standar tertentu. Kemudian standarisasi tersebut dimodifikasi agar ABK bisa berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya terfokus pada GPK saja. Kolaborasi antara GPK dan orang tua siswa jauh lebih penting untuk memantau perkembangan ABK baik di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan setempat. Bahkan, setiap gerak ABK perlu dipantau agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. “Dulu, sama orang tuanya mbok kapakne, intine sekolah. Padahal kita masih belum tahu kelebihan dan kekurangan anandanya seperti apa,” ungkap Siti selaku GPK ketika diwawancarai Kru Dimёnsi.
Minimnya edukasi pada orang tua ABK, menyebabkan ketidaktahuan mereka dengan adanya perlakuan khusus terhadap ABK. Seyogianya GPK juga harus memberi tahu mengenai apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang untuk ABK. Mulai dari pola makan, cara bermain, dan kegiatan sehari-hari tidak boleh lepas dari pantauan orang tua di rumah. Maka dari itu, kerja sama antara GPK dan orang tua selalu ditekankan untuk memonitor perkembangan ABK. Tuti berharap agar pendidikan mengenai kePLB-an ini lebih dikenali masyarakat luas, khususnya bagi masyarakat Tulungagung. “Bagaimana Tulungagung harus siap deklarasi tentang pendidikan inklusif.” Maksudnya adalah kesiapan Tulungagung dalam menghadapi problematika seputar pendidikan luar biasa. Tuti juga mengungkapkan, “Saya menawarkan diri seandainya di IAIN Tulungagung tidak ada guru atau dosen yang mampu dalam hal itu. Saya siap menyebarkan (prosedur) bagaimana kelas inklusi harus dijalankan. Bagaimana kita mengolah siswa sesuai kebutuhannya. Apa yang disampaikan untuk anak reguler itu disampaikan juga untuk anakanak berkebutuhan (khusus). Jadi, tidak ada pelayanan administratif yang berbeda, hanya pada kebutuhan atau kompetensi yang dimiliki. Kita tidak bisa memaksa kompetensi anak regular dengan ABK.”
Hal ini sesuai dalam Pasal 19 Nomor 8 Tahun 2016, UU tentang Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas, yakni meliputi hak pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya. Salah satu hak pendampingan itu adalah GPK. GPK harus mengetahui bakat dan minat kemampuan siswa disabilitas, agar mereka ke depannya bisa ditempatkan kerja sesuai dengan kemampuan. GPK harus tahu mengenai macam-macam ABK, karena metode pembelajaran pastinya berbeda, tergantung kemampuan anak tersebut. Maka, perlu dipertimbangkan pola pembelajaran, metode pembelajaran, dan bagaimana kesesuaian metode pembelajaran dengan kemampuan ABK. (Irs, Ind, Hmm, Hld, Snt)