TOKOH DALAM CERITA Tokoh Utama Sookie Stackhouse
Dead Until Dark by Charlaine Harris Copyright Š 2001 by Charlaine Harris Schulz Judul asli Dead Until Dark karya Charlaine Harris Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Hak cipta terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada Penerbit Kantera PK 005-09 Buku ini adalah sebuah karya fiksi, sebuah produk dari imajinasi sang penulis. Jika ada persamaan atau kemiripan nama, karakter seseorang (baik yang masih hidup ataupun telah meninggal), organisasi, tempat, kejadian ataupun peristiwa, seluruhnya hanya sebuah kebetulan belaka. Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Kantera Diterjemahkan oleh Pujia Pernami Disunting oleh Alika Chandra & Ary Nilandari Ilustrasi Cover oleh Arief Pewajah isi oleh Basandid & team Penerbit Kantera
Tokoh utama dalam cerita, seorang gadis ceria yang bekerja sebagai pramusaji di bar Merlotte. Sookie memiliki kemampuan untuk mendengar pikiran orang lain. Bill Compton Vampir tokoh utama kekasih Sookie Stackhouse. Jason Stackhouse Kakak kandung Sookie Stackhouse. Grandma Hale / GranNenek Sookie & Jason Stackhouse. Sam Merlotte Arlene Rene Lenier Mack dan Dennise Rattray Sherif Bud Dearborn: Detektif Andi Bellefleur Terry Bellefleur
www.PenerbitKantera.com Cetakan Pertama 2009
Lafayette Reynold:
Pemilik bar Merlotte. Pramusaji di bar Merlotte. Rekan kerja Jason Stackhouse sekaligus kekasih Arlene. Suami-istri pemburu darah vampire. Sherif kota Bon Temps. Polisi detektif di Bon Temps. Seorang veteran tentara perang Vietnam. Sekarang bekerja sebagai bartender di bar Merlotte. Terry adalah sepupu Andi Bellefleur. Koki di bar Merlotte.
TOKOH DALAM CERITA Tokoh Utama Sookie Stackhouse
Dead Until Dark by Charlaine Harris Copyright Š 2001 by Charlaine Harris Schulz Judul asli Dead Until Dark karya Charlaine Harris Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Hak cipta terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada Penerbit Kantera PK 005-09 Buku ini adalah sebuah karya fiksi, sebuah produk dari imajinasi sang penulis. Jika ada persamaan atau kemiripan nama, karakter seseorang (baik yang masih hidup ataupun telah meninggal), organisasi, tempat, kejadian ataupun peristiwa, seluruhnya hanya sebuah kebetulan belaka. Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Kantera Diterjemahkan oleh Pujia Pernami Disunting oleh Alika Chandra & Ary Nilandari Ilustrasi Cover oleh Arief Pewajah isi oleh Basandid & team Penerbit Kantera
Tokoh utama dalam cerita, seorang gadis ceria yang bekerja sebagai pramusaji di bar Merlotte. Sookie memiliki kemampuan untuk mendengar pikiran orang lain. Bill Compton Vampir tokoh utama kekasih Sookie Stackhouse. Jason Stackhouse Kakak kandung Sookie Stackhouse. Grandma Hale / GranNenek Sookie & Jason Stackhouse. Sam Merlotte Arlene Rene Lenier Mack dan Dennise Rattray Sherif Bud Dearborn: Detektif Andi Bellefleur Terry Bellefleur
www.PenerbitKantera.com Cetakan Pertama 2009
Lafayette Reynold:
Pemilik bar Merlotte. Pramusaji di bar Merlotte. Rekan kerja Jason Stackhouse sekaligus kekasih Arlene. Suami-istri pemburu darah vampire. Sherif kota Bon Temps. Polisi detektif di Bon Temps. Seorang veteran tentara perang Vietnam. Sekarang bekerja sebagai bartender di bar Merlotte. Terry adalah sepupu Andi Bellefleur. Koki di bar Merlotte.
Kenya Jones
Salah satu polisi wanita di kepolisian Bon Temps.
Kevin Prior Eric
Polisi rekan kerja Kenya Jones. Kepala Wilayah untuk para vampir di wilayah Shreveport,sekaligus pemilik bar vampir Fangtasia. Vampir asisten Eric di Fangtasia. Putri Gran, adik dari ayah Jason dan Sookie Stackhouse. Putri bibi Linda, sepupu Jason danSookie Stackhouse. Adik laki-laki Gran. Vampir teman Bill Compton.
Pam Bibi Linda Hadley Paman Bartlett Bubba
1 AKU SUDAH MENANTIKAN KEDATANGAN vampir selama bertahun-tahun ketika dia melangkah memasuki bar. Sejak para vampir keluar dari peti-peti mati mereka empat tahun lalu (begitulah mereka mengistilahkannya dengan bercanda), aku selalu berharap ada satu saja vampir yang datang ke Bon Temps. Di kota kami terdapat beberapa kelompok minoritas, jadi kalau makhluk abadi yang baru diakui secara legal ditambahkan ke dalam populasi kota kecil kami, kenapa tidak? Tapi daerah pedesaan di Lousiana Selatan ini tidak terlalu menarik bagi para vampir. Sudah jelas, New Orleans-
Kenya Jones
Salah satu polisi wanita di kepolisian Bon Temps.
Kevin Prior Eric
Polisi rekan kerja Kenya Jones. Kepala Wilayah untuk para vampir di wilayah Shreveport,sekaligus pemilik bar vampir Fangtasia. Vampir asisten Eric di Fangtasia. Putri Gran, adik dari ayah Jason dan Sookie Stackhouse. Putri bibi Linda, sepupu Jason danSookie Stackhouse. Adik laki-laki Gran. Vampir teman Bill Compton.
Pam Bibi Linda Hadley Paman Bartlett Bubba
1 AKU SUDAH MENANTIKAN KEDATANGAN vampir selama bertahun-tahun ketika dia melangkah memasuki bar. Sejak para vampir keluar dari peti-peti mati mereka empat tahun lalu (begitulah mereka mengistilahkannya dengan bercanda), aku selalu berharap ada satu saja vampir yang datang ke Bon Temps. Di kota kami terdapat beberapa kelompok minoritas, jadi kalau makhluk abadi yang baru diakui secara legal ditambahkan ke dalam populasi kota kecil kami, kenapa tidak? Tapi daerah pedesaan di Lousiana Selatan ini tidak terlalu menarik bagi para vampir. Sudah jelas, New Orleans-
Dead Until Dark
Charlaine Harris
lah pusat kehidupan mereka—bukankah dunia gelap Anne Rice dan tetek bengeknya ada di sana? Tak butuh waktu lama untuk bermobil dari Bon Temps ke New Orleans. Dan setiap orang yang datang ke bar ini berseloroh bahwa jika kau melempar batu ke satu pojok jalannya, pasti ada sesosok vampir yang terkena sambitan. Walaupun sebaiknya itu tidak kaulakukan. Tapi aku tengah menunggu vampirku sendiri. Bisa dibilang aku jarang sekali berkencan. Bukan karena aku tidak cantik. Aku cantik. Rambutku pirang, mataku biru, dan usiaku dua puluh lima tahun. Kakiku kuat, dadaku berisi, dan pinggangku ramping. Sebagai pelayan bar, aku tampak lumayan dibalut seragam musim panas yang dipilih Sam: celana pendek hitam, T-shirt putih, kaus kaki putih, dan sepatu Nike hitam. Tapi aku punya kelainan. Setidaknya, kupikir itu kelainan. Sementara pelanggan bar ini menganggapku gila. Kelainan atau kegilaan, hasilnya sama saja: aku nyaris tak pernah mendapatkan teman kencan. Maka, perhatian kecil sangat berarti bagiku.
Dan, dia—vampir itu—duduk di salah satu meja yang menjadi tanggung jawabku. Aku langsung tahu makhluk apa dia. Heran juga aku, tidak ada seorang pun menoleh dan menatapnya. Mereka tidak menyadari perbedaannya! Tapi bagiku, kulitnya berpendar, dan seketika aku tahu. Aku begitu gembira hingga rasanya ingin menarinari. Kakiku bahkan sudah mulai menandak-nandak kecil di dekat bar. Sam Merlotte, bosku, mendongak dari minuman yang sedang diraciknya dan memberiku seulas senyum. Kusambar nampan dan bloknot, lalu kudekati meja vampir itu. Kuharap lipstikku masih penuh dan ekor kudaku masih rapi. Aku sedikit tegang, dan dapat kurasakan senyumku menarik ke atas ujung-ujung bibirku. Dia tampak terserap dalam pikirannya, dan itu memberiku kesempatan untuk mengamatinya secara menyeluruh sebelum akhirnya dia mendongak. Kuperkirakan tingginya hanya sedikit di bawah 180 cm. Rambutnya cokelat dan tebal, disisir lurus ke belakang hingga menyapu kerah kemejanya. Cambangnya panjang dan tampak ketinggalan zaman. Dia sangat pucat, tentu saja; hei, dia kan sudah mati, jika kau percaya dongeng-dongeng itu. Menurut teori yang sudah diakui secara politis dan terang-terangan didukung oleh para vampir sendiri, lelaki ini merupakan korban virus yang membuatnya mati selama beberapa hari dan setelah itu menjadi sangat alergi terhadap matahari, perak, dan bawang putih. Perinciannya akan berbeda, tergantung surat kabar
Anne Rice: penulis Amerika yang terkenal berkat novel pertamanya Interview with the Vampire (1976) yang mengawali seri Vampire Chronicles. Rice membuat vampirnya sangat berbeda dengan vampir klasik Drakula dalam segala hal, terutama kekuatan dan kelemahannya. Sebagai contoh, mereka tidak bisa dibunuh dengan bawang putih, salib, bahkan pasak kayu; mereka memiliki tubuh gemerlap; dan mereka tidak bisa berubah menjadi kelelawar. Versi Rice ini sering dijadikan referensi oleh banyak penulis novel genre sejenis. (peny.)
Dead Until Dark
Charlaine Harris
lah pusat kehidupan mereka—bukankah dunia gelap Anne Rice dan tetek bengeknya ada di sana? Tak butuh waktu lama untuk bermobil dari Bon Temps ke New Orleans. Dan setiap orang yang datang ke bar ini berseloroh bahwa jika kau melempar batu ke satu pojok jalannya, pasti ada sesosok vampir yang terkena sambitan. Walaupun sebaiknya itu tidak kaulakukan. Tapi aku tengah menunggu vampirku sendiri. Bisa dibilang aku jarang sekali berkencan. Bukan karena aku tidak cantik. Aku cantik. Rambutku pirang, mataku biru, dan usiaku dua puluh lima tahun. Kakiku kuat, dadaku berisi, dan pinggangku ramping. Sebagai pelayan bar, aku tampak lumayan dibalut seragam musim panas yang dipilih Sam: celana pendek hitam, T-shirt putih, kaus kaki putih, dan sepatu Nike hitam. Tapi aku punya kelainan. Setidaknya, kupikir itu kelainan. Sementara pelanggan bar ini menganggapku gila. Kelainan atau kegilaan, hasilnya sama saja: aku nyaris tak pernah mendapatkan teman kencan. Maka, perhatian kecil sangat berarti bagiku.
Dan, dia—vampir itu—duduk di salah satu meja yang menjadi tanggung jawabku. Aku langsung tahu makhluk apa dia. Heran juga aku, tidak ada seorang pun menoleh dan menatapnya. Mereka tidak menyadari perbedaannya! Tapi bagiku, kulitnya berpendar, dan seketika aku tahu. Aku begitu gembira hingga rasanya ingin menarinari. Kakiku bahkan sudah mulai menandak-nandak kecil di dekat bar. Sam Merlotte, bosku, mendongak dari minuman yang sedang diraciknya dan memberiku seulas senyum. Kusambar nampan dan bloknot, lalu kudekati meja vampir itu. Kuharap lipstikku masih penuh dan ekor kudaku masih rapi. Aku sedikit tegang, dan dapat kurasakan senyumku menarik ke atas ujung-ujung bibirku. Dia tampak terserap dalam pikirannya, dan itu memberiku kesempatan untuk mengamatinya secara menyeluruh sebelum akhirnya dia mendongak. Kuperkirakan tingginya hanya sedikit di bawah 180 cm. Rambutnya cokelat dan tebal, disisir lurus ke belakang hingga menyapu kerah kemejanya. Cambangnya panjang dan tampak ketinggalan zaman. Dia sangat pucat, tentu saja; hei, dia kan sudah mati, jika kau percaya dongeng-dongeng itu. Menurut teori yang sudah diakui secara politis dan terang-terangan didukung oleh para vampir sendiri, lelaki ini merupakan korban virus yang membuatnya mati selama beberapa hari dan setelah itu menjadi sangat alergi terhadap matahari, perak, dan bawang putih. Perinciannya akan berbeda, tergantung surat kabar
Anne Rice: penulis Amerika yang terkenal berkat novel pertamanya Interview with the Vampire (1976) yang mengawali seri Vampire Chronicles. Rice membuat vampirnya sangat berbeda dengan vampir klasik Drakula dalam segala hal, terutama kekuatan dan kelemahannya. Sebagai contoh, mereka tidak bisa dibunuh dengan bawang putih, salib, bahkan pasak kayu; mereka memiliki tubuh gemerlap; dan mereka tidak bisa berubah menjadi kelelawar. Versi Rice ini sering dijadikan referensi oleh banyak penulis novel genre sejenis. (peny.)
Dead Until Dark
Charlaine Harris
apa yang kau baca. Berita tentang vampir begitu marak akhir-akhir ini. Kembali ke vampirku, bibirnya elok, terpahat tajam, dan alisnya hitam melengkung. Hidungnya yang mancung, mencuat langsung dari pertemuan kedua alisnya seperti gambaran pangeran dalam mozaik Byzantium. Ketika akhirnya dia menengadah, kulihat matanya bahkan lebih gelap dari rambutnya, dan bagian putihnya sangat putih. “Siap untuk memesan?” tanyaku, bahagia nyaris tak terkatakan. Dia mengangkat alis. “Ada darah sintetis?” tanyanya. “Sayang sekali tidak ada! Sam sudah memesannya. Baru datang minggu depan.” “Kalau begitu, anggur merah saja, please,” katanya dengan suara yang sejuk dan jernih, seperti aliran air di atas batu-batu yang licin. Aku tergelak. Ini terlalu sempurna. “Jangan hiraukan, Sookie, Tuan, dia memang gila!” terdengar suara yang sangat kukenal dari meja di dekat dinding. Kebahagiaanku seketika memudar, walau aku bisa merasakan senyum masih tersungging di bibirku. Vampir itu menatapku, menyaksikan kehidupan menghilang dari wajahku. “Aku akan segera membawakan anggurmu,” kataku sambil berlalu, tanpa sedikit pun melirik tampang angkuh Mack Rattray. Dia dan istrinya, Denise, ada di sana hampir setiap malam. Aku menyebut mereka pasangan Rat—Tikus. Mereka melakukan apa saja untuk mem-
buatku merana sejak mereka pindah ke trailer sewaan di Four Tracks Corner. Aku berharap pasangan ini terlempar keluar Bon Temps semendadak mereka terlempar masuk. Pertama kali mereka muncul di Merlotte, aku dengan lancangnya mendengarkan pikiran mereka—aku tahu, itu tindakan tidak berkelas. Tapi seperti orang lain, aku juga sering merasa bosan, dan walaupun kuhabiskan sebagian besar waktuku membendung gelombang pikiran orang lain yang mencoba memasuki otakku, kadangkadang aku menyerah juga. Jadi, aku tahu beberapa hal tentang pasangan Rattray yang mungkin tidak diketahui orang lain. Satu contoh, aku tahu mereka pernah dipenjara, meskipun aku tak tahu kenapa. Contoh lainnya, aku mendengar pikiran mesum Mack Rattray. Lalu, aku mendengar pikiran Denise bahwa dia pernah menelantarkan bayi yang dilahirkannya dua tahun lalu, bayi yang bukan anak Mack. Lagi pula mereka berdua tidak pernah memberikan tip. Sam menuangkan anggur merah ke dalam gelas, memandang ke meja vampir itu sambil meletakkan anggur di nampanku. Ketika matanya kembali memandangku, aku tahu bahwa Sam juga tahu tamu baru kami adalah makhluk abadi. Mata Sam sebiru mata Paul Newman, sementara mataku biru keabuan. Rambutnya pirang juga, namun kaku dan warnanya mendekati merah keemasan. Kulitnya selalu tampak seperti terbakar matahari. Meskipun dia tampak ramping dalam pakaiannya, aku pernah me-
Dead Until Dark
Charlaine Harris
apa yang kau baca. Berita tentang vampir begitu marak akhir-akhir ini. Kembali ke vampirku, bibirnya elok, terpahat tajam, dan alisnya hitam melengkung. Hidungnya yang mancung, mencuat langsung dari pertemuan kedua alisnya seperti gambaran pangeran dalam mozaik Byzantium. Ketika akhirnya dia menengadah, kulihat matanya bahkan lebih gelap dari rambutnya, dan bagian putihnya sangat putih. “Siap untuk memesan?” tanyaku, bahagia nyaris tak terkatakan. Dia mengangkat alis. “Ada darah sintetis?” tanyanya. “Sayang sekali tidak ada! Sam sudah memesannya. Baru datang minggu depan.” “Kalau begitu, anggur merah saja, please,” katanya dengan suara yang sejuk dan jernih, seperti aliran air di atas batu-batu yang licin. Aku tergelak. Ini terlalu sempurna. “Jangan hiraukan, Sookie, Tuan, dia memang gila!” terdengar suara yang sangat kukenal dari meja di dekat dinding. Kebahagiaanku seketika memudar, walau aku bisa merasakan senyum masih tersungging di bibirku. Vampir itu menatapku, menyaksikan kehidupan menghilang dari wajahku. “Aku akan segera membawakan anggurmu,” kataku sambil berlalu, tanpa sedikit pun melirik tampang angkuh Mack Rattray. Dia dan istrinya, Denise, ada di sana hampir setiap malam. Aku menyebut mereka pasangan Rat—Tikus. Mereka melakukan apa saja untuk mem-
buatku merana sejak mereka pindah ke trailer sewaan di Four Tracks Corner. Aku berharap pasangan ini terlempar keluar Bon Temps semendadak mereka terlempar masuk. Pertama kali mereka muncul di Merlotte, aku dengan lancangnya mendengarkan pikiran mereka—aku tahu, itu tindakan tidak berkelas. Tapi seperti orang lain, aku juga sering merasa bosan, dan walaupun kuhabiskan sebagian besar waktuku membendung gelombang pikiran orang lain yang mencoba memasuki otakku, kadangkadang aku menyerah juga. Jadi, aku tahu beberapa hal tentang pasangan Rattray yang mungkin tidak diketahui orang lain. Satu contoh, aku tahu mereka pernah dipenjara, meskipun aku tak tahu kenapa. Contoh lainnya, aku mendengar pikiran mesum Mack Rattray. Lalu, aku mendengar pikiran Denise bahwa dia pernah menelantarkan bayi yang dilahirkannya dua tahun lalu, bayi yang bukan anak Mack. Lagi pula mereka berdua tidak pernah memberikan tip. Sam menuangkan anggur merah ke dalam gelas, memandang ke meja vampir itu sambil meletakkan anggur di nampanku. Ketika matanya kembali memandangku, aku tahu bahwa Sam juga tahu tamu baru kami adalah makhluk abadi. Mata Sam sebiru mata Paul Newman, sementara mataku biru keabuan. Rambutnya pirang juga, namun kaku dan warnanya mendekati merah keemasan. Kulitnya selalu tampak seperti terbakar matahari. Meskipun dia tampak ramping dalam pakaiannya, aku pernah me-
Dead Until Dark
Charlaine Harris
lihatnya membongkar muatan truk dengan bertelanjang dada, dan tubuhnya berotot. Aku tak pernah menyadap pikiran Sam karena dia atasanku. Aku berhenti dari pekerjaanku sebelumnya karena mengetahui hal-hal yang tak ingin kuketahui tentang bosku. Sam tidak berkomentar, hanya memberikan anggur pesanan tamu. Aku memastikan gelasnya bersih berkilau dan menyajikan anggur itu di meja si vampir. “Anggur Anda, Tuan.” Aku mengatakannya dengan formal, dan meletakkan gelas anggur itu di mejanya. Dia memandangku sekali lagi, dan aku menatap balik matanya yang indah selagi ada kesempatan. “Silakan,” kataku dengan bangga. Di belakangku, Mack Rattray berteriak, “Hei, Sookie! Bawakan satu pitcher bir lagi ke sini!” Aku menarik napas panjang dan berputar untuk mengambil pitcher kosong dari meja pasangan Tikus. Denise tampil menarik malam ini. Dia mengenakan atasan dengan bahu dan punggung terbuka dan celana sangat pendek. Rambutnya yang cokelat tebal di tata modis. Denise begitu gemerlap dan percaya diri sehingga butuh waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa sebenarnya dia tidak cantik. Sesaat kemudian, dengan sebal kusadari bahwa Mack dan Denise sudah pindah ke meja vampir itu. Mereka mengajaknya mengobrol. Kulihat dia tidak terlalu menanggapi, tapi juga tak beranjak dari tempat duduknya. “Lihat itu!” kataku dengan muak kepada Arlene, temanku sesama pelayan. Arlene berambut merah dan berwajah penuh bintik. Dia sepuluh tahun lebih tua dariku dan pernah menikah empat kali. Arlene memiliki
dua anak, dan terkadang aku berpikir dia menganggapku anaknya yang ketiga. “Orang baru, ya?” tanyanya tidak tertarik. Saat ini Arlene berkencan dengan Rene Lenier. Walaupun aku tak bisa melihat kecocokan di antara mereka, Arlene tampak bahagia dengannya. Kurasa Rene pernah menjadi suaminya, yang kedua. “Oh, dia seorang vampir,” ujarku, ingin sekali berbagi kesenanganku dengan seseorang. “Benarkah? Di Bon Temps? Wah,” katanya, tersenyum sedikit untuk memperlihatkan bahwa dia menghargai antusiasmeku. “Pasti dia tidak pintar, Sayang, jika bersama pasangan Tikus. Dan tampaknya Denise sedang menggodanya.” Aku baru sadar setelah Arlene mengemukakan hal itu. Dia lebih pandai menangkap gelagat seseorang berkat pengalamannya ketimbang aku yang masih hijau. Vampir itu sedang lapar. Kudengar, darah sintetis yang dikembangkan Jepang bisa memenuhi nutrisi, tapi tidak memuaskan rasa lapar mereka. Itulah sebabnya selalu ada “Insiden Sial” dari waktu ke waktu. (Itu eufemisme vampir untuk pembantaian manusia). Dan, di meja itu, Denise Rattray tengah membelai batang tenggorokannya, memamerkan berbagai sisi lehernya … Dasar sundal. Saat itu, Jason kakakku masuk dan memelukku. Dia tahu para wanita menyukai lelaki yang menyayangi keluarga dan peduli pada orang-orang cacat. Jadi, dia mendapatkan kedua nilai itu dengan memelukku. Padahal, dia tak perlu itu untuk mengangkat pamornya. Dia tampan.
Dead Until Dark
Charlaine Harris
lihatnya membongkar muatan truk dengan bertelanjang dada, dan tubuhnya berotot. Aku tak pernah menyadap pikiran Sam karena dia atasanku. Aku berhenti dari pekerjaanku sebelumnya karena mengetahui hal-hal yang tak ingin kuketahui tentang bosku. Sam tidak berkomentar, hanya memberikan anggur pesanan tamu. Aku memastikan gelasnya bersih berkilau dan menyajikan anggur itu di meja si vampir. “Anggur Anda, Tuan.” Aku mengatakannya dengan formal, dan meletakkan gelas anggur itu di mejanya. Dia memandangku sekali lagi, dan aku menatap balik matanya yang indah selagi ada kesempatan. “Silakan,” kataku dengan bangga. Di belakangku, Mack Rattray berteriak, “Hei, Sookie! Bawakan satu pitcher bir lagi ke sini!” Aku menarik napas panjang dan berputar untuk mengambil pitcher kosong dari meja pasangan Tikus. Denise tampil menarik malam ini. Dia mengenakan atasan dengan bahu dan punggung terbuka dan celana sangat pendek. Rambutnya yang cokelat tebal di tata modis. Denise begitu gemerlap dan percaya diri sehingga butuh waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa sebenarnya dia tidak cantik. Sesaat kemudian, dengan sebal kusadari bahwa Mack dan Denise sudah pindah ke meja vampir itu. Mereka mengajaknya mengobrol. Kulihat dia tidak terlalu menanggapi, tapi juga tak beranjak dari tempat duduknya. “Lihat itu!” kataku dengan muak kepada Arlene, temanku sesama pelayan. Arlene berambut merah dan berwajah penuh bintik. Dia sepuluh tahun lebih tua dariku dan pernah menikah empat kali. Arlene memiliki
dua anak, dan terkadang aku berpikir dia menganggapku anaknya yang ketiga. “Orang baru, ya?” tanyanya tidak tertarik. Saat ini Arlene berkencan dengan Rene Lenier. Walaupun aku tak bisa melihat kecocokan di antara mereka, Arlene tampak bahagia dengannya. Kurasa Rene pernah menjadi suaminya, yang kedua. “Oh, dia seorang vampir,” ujarku, ingin sekali berbagi kesenanganku dengan seseorang. “Benarkah? Di Bon Temps? Wah,” katanya, tersenyum sedikit untuk memperlihatkan bahwa dia menghargai antusiasmeku. “Pasti dia tidak pintar, Sayang, jika bersama pasangan Tikus. Dan tampaknya Denise sedang menggodanya.” Aku baru sadar setelah Arlene mengemukakan hal itu. Dia lebih pandai menangkap gelagat seseorang berkat pengalamannya ketimbang aku yang masih hijau. Vampir itu sedang lapar. Kudengar, darah sintetis yang dikembangkan Jepang bisa memenuhi nutrisi, tapi tidak memuaskan rasa lapar mereka. Itulah sebabnya selalu ada “Insiden Sial” dari waktu ke waktu. (Itu eufemisme vampir untuk pembantaian manusia). Dan, di meja itu, Denise Rattray tengah membelai batang tenggorokannya, memamerkan berbagai sisi lehernya … Dasar sundal. Saat itu, Jason kakakku masuk dan memelukku. Dia tahu para wanita menyukai lelaki yang menyayangi keluarga dan peduli pada orang-orang cacat. Jadi, dia mendapatkan kedua nilai itu dengan memelukku. Padahal, dia tak perlu itu untuk mengangkat pamornya. Dia tampan.
Dead Until Dark
Charlaine Harris
Memang dia bisa menyebalkan juga, tapi kebanyakan perempuan memilih mengabaikan hal itu. “Hai, sis, bagaimana kabar Gran?” “Gran baik-baik saja, seperti biasa. Tengoklah.” “Ya, aku akan datang. Siapa yang kosong malam ini?” “Cari saja sendiri.” Kuperhatikan, ketika Jason mulai menebarkan pandangannya, sejumlah tangan perempuan terangkat panik untuk memeriksa rambut, blus, bibir. “Hei, aku melihat DeeAnne. Dia bebas?” “Dia ke sini dengan pengemudi truk dari Hammond. Dia sedang di toilet. Jangan gegabah.” Jason menyeringai, dan aku heran melihat perempuan lain tak dapat menangkap keegoisan dalam senyumnya. Bahkan Arlene merapikan kausnya saat Jason datang. Seharusnya empat pernikahan membuatnya ahli mengevaluasi lelaki. Rekan kerjaku yang lain, Dawn, mengibaskan rambutnya dan menegakkan punggung agar dadanya terlihat membusung. Jason melambaikan tangannya. Dawn pura-pura mencebik. Dia sedang tidak akur dengan Jason, tapi masih ingin mendapatkan perhatiannya. Aku benar-benar disibukkan oleh pekerjaanku. Pengunjung Merlotte pada malam Minggu sangat padat, beberapa saat perhatianku teralihkan dari vampirku. Ketika aku punya waktu untuk memeriksanya, dia sedang mengobrol dengan Denise. Mack menatapnya dengan ekspresi begitu antusias sampai-sampai aku merasa cemas.
Aku berjalan ke dekat mejanya dan mengamati Mack. Akhirnya, aku menurunkan penjagaanku dan mendengarkan. Mack dan Denise dipenjara karena menguras darah vampir. Marah bercampur cemas, otomatis saja aku bergerak membawakan satu pitcher bir dan beberapa gelas ke meja berisi empat orang yang gaduh bukan main. Karena darah vampir dipercaya berkhasiat meringankan gejala penyakit dan meningkatkan gairah, semacam Prednisone dan Viagra diracik menjadi satu, ada pasar gelap untuk darah vampir asli dan murni. Di mana ada pembeli, di situ ada pemasok; dalam hal ini, baru saja kutahu, adalah pasangan Tikus yang brengsek. Mereka pernah menjebak vampir dan menguras darahnya, lalu menjual darah vampir dalam ampul seharga 200 dolar per unit. Darah vampir telah menjadi alternatif pengobatan selama dua tahun terakhir ini. Beberapa konsumen menjadi gila setelah meminum darah vampir murni, tetapi tidak sedikit pun pasar terpengaruh. Umumnya, vampir yang telah terkuras tak akan bertahan hidup. Para drainer atau penguras meninggalkan korban mereka dalam keadaan terpancang atau mem-
Obat yang termasuk dalam kelas kortikosteroid. Digunakan
untuk pasien yang memiliki tingkat kortikosteroid rendah dengan menggantikan steroid yang seharusnya dihasilkan tubuh. Tetapi untuk pasien dengan level kortikosteroid normal, prednisone digunakan sebagai pereda kondisi seperti artritis, reaksi alergi parah, lupus, sklerosis majemuk, dan lain-lain. Efek samping jangka pendeknya antara lain insomnia dan euforia. (peny.)