Neokultur 04 des 2017

Page 1

NO. 04 | D E S E M B E R 2 0 1 7

|

• budaya • sains • religi

• PESTA DEMOKRASI PADA ARUS GLOBAL

• PUISI UNGU TIGA PENYAIR

• SOSOK IBU INDONESIA

• PROSES KREATIF PENCIPTAAN No. 4 Desember

2017

•1


CREATIVITY THERE’S NOTHING IMPOSSIBLE

ADVERTISING | TV COMMERCIAL | DESIGN & IN HOUSE MAGAZINE | WRITING BIOGRAPHY PT METAFORMA INTERNUSA Jl. Pam I No. 7A, Cempaka Baru, Jakarta Pusat Mobile: 0813 8371 3210 | e-mail: ekithadan.metaforma@gmail.com http://metaformaint.blogspot.com

2

No. 4 Desember

2017


makmurkan jiwa makmurkan raga

No. 4 Desember

2017

•3


ESTETIKA

4

•

No. 4 Desember

2017


• budaya • sains • religi PENANGGUNG JAWAB/ PEMIMPIN REDAKSI Sugiono MP WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Dr. Agung Pranoto, M. Pd REDAKSI: Prof. Dr. E. Hayatullah al Rasyid Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto Prof. Dr. Dimas Ari Mihardja, M.Pd Ir. Atik Bintaro, MT. APU Yanie Wuryandari Ghouts Misra Agung Pranoto Sugiono MP Desi Oktoriana REDAKTUR PELAKSANA Eki Thadan KONTRIBUTOR Eko Windarto-Batu Malang Roval Alanov-Madura Indra Intisa-Padang Tiyo Ester Sudjari-Tangerang Ika Suryatiningsih-Batam RB Edi Pramono-Yogyakarta Jonson Effendi-Palembang Muklis Puna-Lhokseumawe Lukman Sambongi-Makasar Kusuma Jidarul Iwan-Pekalongan SEKRETARIS REDAKSI Desi Oktoriana PENGEMBANGAN Sudjono AF, Drs Amin Supratman DESAIN KREATIF Metaforma Creative Communications

Kepala Capung, Foto: Erry Amanda

REKENING MAJALAH NEOKULTUR No. 7771719051 Bank BCA an Desi Oktoriana ALAMAT REDAKSI Ciomas Permai B6/9/Bogor 16610 Hp 08811764859 SEKRETARIAT Jl. Cikutra Barat No. 59 Bandung 40123 Hp 082121070076 EMAIL: neokultur2@gmail.com COVER: Sean Hacker Teper. https://i.kinja-img.com

No. 4 Desember

2017

•5


14

24 SOSOK IBU INDONESIA

LELAKU PERTIWI, GEBYAR FAJAR 2018 Warna zaman memberikan angin segar dan membukakan pintu selebarlebarnya untuk aplikasi serta pengoperasioalan tindak disharmoni sosial. Tapi masih ada ruang untuk masing-masing pribadi tidak ‘latah’ mengikuti perilaku simpang norma. Yang paling penting adalah menghindari sejumlah perilaku ephoriatic dan merasa hebat di tengah mukiman yang mulai benarbenar deteritorialism.

6

•

No. 4 Desember

2017

16 PESTA DEMOKRASI PADA ARUS GLOBAL Hiruk-pikuk menyongsong pesta demokrasi serentak di Indonesia tahun depan merupakan bagian dari realitas kehidupan demokrasi era global yang ditandai oleh lompatan realitas, yakni persekutuan antara realitas murni dengan realitas buatan atau rekayasa.

Istri setia. Ibu yang bertanggung jawab. Warga yang sadar dan peduli pada kaumnya, bangsanya. Aktif dalam gerakan kemerdekaan dan mengukuhkan kedirian bangsa. Senantiasa berpikir, bertindak, berkiprah dalam situasai yang bagaimanapun juga. Tiada pernah ada keluh meski hidupnya lukruh, berlumur peluh. Semasa penjajahan ia keluar masuk penjara karena kepeduliannya.


DAFTAR ISI 11

S A L A M B U D AYA

12

DARI DAPUR REDAKSI

33

CERMIN

34

ALAM

36

PROSES KREATIF PENCIPTAAN

20

Sajak selalu bergerak dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup serta kehidupan. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembacanya.

41

42

46

48

28 PUISI UNGU TIGA PENYAIR Ungu warna, cinta dan kasih sayang, menuansakan suasana romantis. Violet poetry menandai warna puisi yang menyajikan nuansa romantis dalam bentuk apa pun. Genre ini sudah melapuk termakan zaman, namun cinta dan kasih-sayang tetap diperlukan. Tanpa cinta kehidupan menggersang, bumi berpecah dalam kemarau abadi, dan kasih-sayang terbenam di liang lahat.

NO. 04 DESEMBER 2017

Kunci

Jangan Sepelekan yang Kecil RELIGI

Hamzah Fansuri Ulama Penyair Tragis SKETSA

Gak Pernah Mimpi Jadi PNS WA RTA

Quo Vadis Sastra Indonesia LINGKUNGAN Keberagaman Pemagar Dominasi Absolut DAERAH

Dampak Modernisasi Ekonomi di Aceh

53

ASAL USIL Etika, Logika, Estetika

56

INSIGHT Balada Ada Dan Tiada

59

60

P OT R E T

Fenomena Antagonis Akhir Jaman CE RP E N

Malam Menjelang Tutup Tahun

64

BUKU

66

A P RE S I A S I

Menulis Resensi Buku Kritikus Sastra Harus Kebal Kritik

No. 4 Desember

2017

•7


SUREL

& KOMEN

Ika Hertika Subhanalloh, walhamdulillah. Setelah saya telaah majalah NEOKULTUR edisi 01 dan 02, ada rasa bahagia, haru dan bangga. Saya seperti memasuki sebuah pintu yang mulai terbuka lebar yang di dalamnya terdapat berbagai ruang Religi, Budaya serta Sains. Sungguh suatu persembahan yang luar biasa buat kemajuan dunia pendidikan saat ini baik bagi usia sekolah maupun bagi masyarakat luas. Dalam majalah NEOKULTUR dikupas secara apik dan bijak menuju masa depan yang gemilang lewat persembahan dan pemikiran para penulisnya terutama Pak Erry Amanda dengan seluruh jajarannya, di antaranya Mas Sugiono MP, Pak Agung Pranoto, Bu Desi Oktoriana, Ghoust Misra, Bu Ikha Djingga, Mas Eko Windarto, dll. Di mana dalam majalah ini melangkah ke depan dengan basis sejarah perjuangan bangsa seperti Sumpah Pemuda dan Sejarah Kebudayaan yang menjadi tonggak sejarah kebangsaan dan itu sendiri. Kesimpulannya saya sangat berterimakasih atas gagasan dan wujud keberadaan majalah NEOKULTUR di tengah masyarakat dengan segala fenomena yang tengah terjadi, semoga menjadi pencerah dan pendorong bangkitnya rasa persatuan NKRI, rasa toleransi di antara budaya dan umat beragama yang berbeda, dan yang terutama adalah semoga dengan kehadiran majalah NEOKULTUR dapat meningkatkan rasa keimanan dan ketakwaan kita kepada ALLAH SWT. Sukses selalau buat majalah NEOKULTUR (Mbak Ika Hertika adalah guru yang penuh dukungan pada semua hal yang positif. Semoga ini sebuah pertanda yang dilakukan adalah menuju kebaikan-Desi). Sami-sami Bu, selalu buat perjuangan Ibu dan kawan-kawan. Lie Alie NEOKULTUR edisi 03, makasih mas Sugiono. Har’tati Selamat dan sukses selalu. Isyhaq Badai Arantya Makasih mas Sugiono Mpp semoga NEOKULTUR tambah cak em…. Saya sudah ngintip-ngintip dikit punya saya, di rubrik Intermezzo dan Asal usil, pokoknya salam huk…eaaa aja. Heni Dwiparyati Hadir… top dah.

8

Riri Angreini Thanks mbakyu. Maya Azezah Terimakasih, sukses ya. Langit Assalamualaikum, aku tertarik di NEOKULTUR adakah kunci untuk membuka pintu NEOKULTUR? Walau tapak tanganku masih berlumur debu. (Waalaikum salam, Alhamdulillah kalau tertarik di NEOKULTUR, pintu selalu terbuka buat siapa saja mas…) Terimakasih ya. Semoga tersambut jiwa publik, bismillah…. Maman Gantra Terimakasih link NEOKULTUR-nya, udah saya baca kog (walau mata agak pedes) salam juga untuk teman-teman lain di NEOKULTUR (Baik, terimakasih banyak). Hymen D’Zombz Rata-rata ulasan artikel-artikelnya bagus, manteb. Kalo gua suka bahasa ringan tapi disusun jadi kalimat yang berbobot. Misal, kata-kata dalam obrolan sehari-hari. Kalo bisa pengen tuh, gabungin artikel tentang perpaduan sains-religi. Tentang satu-dua peribadatan. Gerakan atau sikap dari salah satu ibadah dalam agama. Gua suka Asal Usil tapi kalo boleh usul, ambil sindiran yang paling menggelitik. Yang lucu, ngeselin, kocak, logic, dan yang pasti ngena di kehidupan pembaca (Terimakasih masukannya). Khotimah Zaenudin Makasih… siip Ness Kartamihardja Waalaikum salam mbak Ikha Jingga, terimakasih atas informasinya tentang NEOKULTUR. Yoyok Yoyok Yudhobuwono Sukses dan sukses selalu, NEOKULTUR dengan segala cinta. Indah Patmawati Woow… Isinya komplit…sukses untuk NEOKULTUR.

Gardu Gardu Hadir…top.

Agus Dta Ikut seneng melihat kehadiran NEOKULTUR.

Hadi Paryono Terimakasih atas sapa indahnya… dan tentang informasi majalah NEOKULTUR …siip.

Estiana Arifin. Sukses Neokultur! Makasih telah di-tag.

No. 4 Desember

2017


Perdamaian dan Kelestarian Lingkungan ada karena kita kembali pada kearifan yang hari ini ditanamkan dalam pendidikan.

www.islamaktual.net

No. 4 Desember

2017

•9


NO!

MATERIAL KAPITAL

SPIRITUAL SOSIAL,

YES!

Majalah Digital

• budaya • sains • religi

10

No. 4 Desember

2017


S A L A M B U D A YA

A

BYAR PADANG BANGUN RINO

lahamdulillah kita tak pernah henti saling bersapa. Mempererat tali ikatan persahabatan, merekatkan persaudaraan. Mari kita pupuk terus membina budaya kasih-sayang dalam keadaan bagamanapun jua. Esensi peradaban adalah rasa saling mencintai, menghargai, mengapresiasi. Itulah makna kehidupan, saling mengenali satu sama lain. Dan, itu pulalah yang dilakukan oleh para duta budaya tanahair dalam perhelatan kultural ke Eropa sejak Oktober sampai dengan Januari mendatang. Sementara di dalam negeri kita dihidangi parhelatan budaya antaretnis Nusantara lewat upacara pernikahan putri Presiden Joko Widodo. Rancak budaya itu menandai peradaban bangsa. Meski demikian, kita harus legowo menerima realitas dari sisi lain budaya kita, yang dipertontonkan oleh gending jejogetan antara lembaga antirasuah, KPK, dengan para wakil (sebut: pemimpin, representasi) rakyat yang menduduki kursi Senayan. Bahkan yang sangat memprihatinkan adalah, bahwa Ketua Lembaga Tinggi Negara ditersangkakan sebagai tindak pidana korupsi yang menyangkut hajat kepentingan fital adminstratif warga, yakni kartu tanda penduduk. Sekali lagi: memprihatinkan. Dan, mau tak mau kita harus berani mengakui bahwa

inilah bagian dari wajah bopeng kultur bangsa. Mari kita tanya pada diri sendiri selaku warga bangsa (yang besar ini): seberapa kita turut berandil dalam kebopeng-morengan ini. Jika kita tak merasa memiliki nasion ini, maka sama sekali tak terusik oleh tanda tanya itu. Benarkah? Boleh jadi dengan gelar pilkada serentak tahun depan akan menciptakan iklim elit daerah yang mampu mengayom-pedulikan wong cilik, para jelata. Boleh jadi juga tak. Padahal kita menganut sistem demokrasi. Kekuasaan di tangan rakyat. Benarkah? Sesungguhnya, kekuasaan di tangan siapa pun, tidaklah masalah sepanjang mampu memaslahatkan masyarakat secara umum. Artinya perikedilan berdiri tegak, baik di bidang hukum maupun ekonomi. Dan itu semua adalah bagian dari tubuh budaya kita. Tak apa. Kita bangsa yang sudah terbukti terlatih menghadapi masalah. Persoalannya adalah bagaimana keluar dari masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Dan semoga byar padang bangun rino, menyongsong rekah fajar tahun 2018, kan menatap jawab cahaya masa depan Indonesia. Semoga. Salam juga kepada para perempuan Indonesia yang Desember ini merayakan Hari Ibu

No. 4 Desember

2017

• 11


DAR I DA P U R R EDAK SI

MENGEDEPANKAN SPIRITUAL

SERTA

“SIAPA PENDUKUNG FINANS DI BALIK MAJALAH DIGITAL INI?” TIDAK ADA. ENERGI PIKIR, KREASI, TENAGA, DAN PENDUKUNGNYA, MURNI DARI INFAQ SADAQOH PRIBADIPRIBADI KAMI TERHADAP KEHIDUPAN INI.

T

epat pada hari peringatan pahlawan yang lalu, salah seorang ‘koki’ NEOKULTUR memperingati ulang tahunnya yang ke 83. Dialah Prof. Erry Amanda, yang kami sepuhkan. Sugeng Tanggap Warso. Sebagai kado, majalah Digital ini akan menerbitkan antologi puisi Sekuntum Bunga untuk Erry Amanda. Siapa saja silakan mengirim puisi ke alamat e-mail majalah ini, yang akan diselia oleh penyair dan kritikus Prof. Dr. Dimas Arika Mihardja M.Pd dan Dr. Agung Pranoto M.Pd. Beberapa puisi telah masuk, memang. Semoga untaian ini cepat hadir. Sementara itu dari dapur produksi mengabarkan, bahwa NEOKULTUR bisa dipesan dalam bentuk cetak full color. Karena sistem cetaknya satuan, biayanya pun cukup lumayan. Bagi para pemesan bisa mentransfer ke bank yang nomor rekeningnya tercantum di kolom kerabat kerja majalah ini. Bukti transfer bisa

12

No. 4 Desember

2017

di e-mailkan ke alamat redaksi dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap beserta kode pos, agar kami bisa mengirim cetakan majalahnya ke para pemesan. Oh, ya, karena cetak digital, plus ongkir, per ekslemparnya dikenakan biaya ganti cetak dan kirim Rp250.000. Sebetulnya yang lebih murah dan praktis bisa dicetak sendiri di digital printing yang ada di kota para peminat. Sejujurnya, sejak awal, majalah ini nonkomersial. Tidak diperjualbelikan. Dan bisa dinikmati via internet baik di laptop maupun di android hand phone oleh siapa pun. Kami menerapkan sikap budaya baru yang tidak terikat oleh materi dan kapital uang. Dan lebih mengedepankan spiritual serta kekerabatan sosial. Dengan sikap seperti itu para kerabat kerja menjalankan kegiatannya di dapur keredaksian dan produksi. Alhamdulillah bisa hadir sampai edisi keempat pada triwulan akhir 2017 ini.


KEKERABATAN SOSIAL

NEOKULTUR dalam cetak digital.

“Siapa pendukung finans di balik majalah digital ini?� demikian pertanyaan dari salah seorang sahabat kepada kami. Jawabnya, tidak ada. Energi pikir, kreasi, tenaga, dan pendukungnya, murni dari infaq sadaqoh pribadi-pribadi kami terhadap kehidupan ini. Dan, itu merupakan pembaharuan

sikap. Harus ada yang memulai mempedulikan keadaan tanpa pamrih kecuali demi pembaruan dan kemaslahatan itu sendiri. Kami senantiasa optimis, sebab ada Sang Maha Maecenas. Dengan credo seperti itulah kami membuka pintu lebar bagi parapihak dan pribadi-pribadi

yang ingin bergabung. Masih banyak kursi kosong yang tersedia, antara lain porsi untuk manager belum tampak terisi. Mungkin masih menyelinap di antara jerami kearifan yang ada. Salam untuk mereka. Nah itulah kabar-kabari dari dapur redaksi. Selamat menghirup udara pembaruan.

No. 4 Desember

2017

• 13


UTA M A

LELAKU PERTIWI DAN Oleh: Sugiono MP Seperti lazimnya, setiap tutup tahun pres mengelar evaluasi apa yang telah kita lakukan selama setahun yang telah terlewati dan bagaimana menyongsong tahun depan. Begitu pun kali ini, momentum apa yang erat kaitannya dengan perjalanan budaya, kita ungkap di media ini.

M

aka silakan membaca rubrik Salam Budaya di halaman depan yang mengurai tonggak peristiwa negeri ini secara nasional dan internasional. Sedangkan ritus keibuan pada peringatan Hari Ibu kami sajikan sosok SK Trimurti, istri soleha, ibu yang bertanggungjawab, wanita karier yang mengemban kesadaran serta kepedulian terhadap nasib bangsanya. Peristiwa yang mendapat sorotan publik cukup besar pada akhir tahun ini adalah korupsi. Puncaknya, ketika Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI, Setya Novanto, dijemput oleh KPK untuk dimintai keterangan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dalam kasus E-KTP, yang ternyata tidak membuahkan hasil karena yang bersangkutan tidak diketahui keberdaannya, dan tiba-tiba muncul dalam kecelakaan kendaraan yang

14

•

No. 4 Desember

2017

membuatnya dirawat di rumah sakit. Terlepas dari hasil persidangan yang akan berlangsung dengan menjunjung azas praduga tak bersalah, namun yang memprihatinkan bahwa pucuk pimpinan lembaga wakil rakyat, terindikasi pidana kerah putih. Kita menyaksikan logika, etika, dan estetika budaya yang berakrobat, tak mampu difahami oleh kelugu-lugasan pemikiran rakyat kecil. Media ini pun menyajikannya dalam dialog di rubrik Asal Usil. Korupsi selalu berkaitan dengan dana siluman. Pelicin alias suap. Jika korupsi dan suap secara sederhana dirumuskan sebagai mengambil atau memberi yang bukan hak (sehinga merugikan orang banyak) maka adakah yang sama sekali steril dari tindakan tersebut? Keterusiran Adam dan Hawa dari tanah surga lantaran mengambil yang bukan hak, yakni buah pohon larangan. Bagaimana hal itu mungkin, konon penghuni surga disebutkan sebagai tiada keinginan, nafsu, ambisi, birahi? Ini menunjukkan goda manusia yang ditiupkan oleh Iblis seperti dalam janjinya, begitu signifikan. Artinya, begitu melekatnya rasa ingin yang nonproporsional (nafsu) itu pada diri manusia dan inilah yang memberikan peluang besar terhadap hadirnya potensi disteril. Dengan kata lain kecenderungan korup itu selalu ada pada diri manusia normal. Oleh karenannya perlu rambu-rambu penjaga bisa


GEBYAR FAJAR 2018

Disharmoni sosial itu lebih disebabkan sikap disintegritas di seluruh aspek makna hidup yang sudah mengalami kompleksitas. Bukan hanya angle, desire, pacu kompetitif, namun sudah saling kait-berkait, himpit-menghimpit, bagai labirin kusut. Apakah bahasa (verba dan qolbu) memungkinkan mengemban fitrahnya sebagai pencair disintergritas seluruh aspek makna kehidupan ini? “Qolbu itu bahasa sublim. Terlalu rumit dipergunakan sebagai postulat dasar untuk mengatasi mesin hasrat manusia yang sering meletup melebihi kapasitas kemampuan. Pada era postmo ini sudah tak kenal sakralitas dan semua bersifat propanis. Nurani hanya semacam terma filsafat, juga ruang keyakinan. Sementara agama sudah menjadi ‘poster iklan kebenaran nonimplementasi’. Lantas? Jika kita bicara soal ‘sadar dan peduli’, maka perlu kita tanya, sadar dan

peduli yang seperti apa demensinya, ruang kajiannya? “Densitas dan velositas perubahan jauh lebih tinggi mendorong manusia bergerak nyaris sejajar dan aturan keyakinan mulai termarjinalkan. Kecerdasan menangkap realitas sosial seputar yang dipengaruhi oleh sejumlah perubahan-perubahan sosial dan norma masyarakat yang bergerak sangat cepat dan halus, nyaris tak tersadari. Kantor atau perusahaan manufaktur berkantor hanya sebesar genggaman ha-pe, on line, dalam satu sisi juga akan menggerus man power. Pertikaian ruang human recorse atas ruang gerak oportunitas juga akan mendorong perilaku sosial menjadi miring. “Intinya, semua tampak makin krusial dan kian tak terjangkau oleh akal dan pikiran. Semua seperti naif. Semua seperti dagelan. Berbuat jahat, lalim, dibela mati-matian. Budaya perilaku dan kepribadian model apa dan dalil ‘qolbu’ yang mana yang bisa dipakai membuat tol normatif untuk melindas

pacuan moral hyperreality? Tak mudah memang. Namun di tengah ketakmudahan itu masih ada ruang untuk masing-masing pribadi tidak ‘latah’ mengikuti perilaku simpang norma. Yang paling penting adalah menghindari sejumlah perilaku ephoriatic dan merasa hebat di tengah mukiman yang mulai benar-benar deteritorialism,” demikian Prof. Dr. Erry Amanda mengurai disharmoni sosial dan alternatif bahasa qolbu sebagai penyelarasnya, yang ternyata juga tiada membuka celah ruang kemungkinan. Dan, itukah gebyar fajar tahun 2018? Setidaknya ada titik cahaya, bahwa menghadapi perubahan yang terjadi, janganlah latah asal mengikut tren, dan jangan pernah berbusung dada. Selamat datang 2018.

www.mediametafisika.com

berupa etika, moral, agama, dan tentunya peraturan alias hukum. Akan tetapi lantaran baik pembuat, pelaksana, pengawas, penghukum pelanggaran hukum itu juga manusia yang tidak steril dari korup, maka beranekavarian kemungkinan sangat dimungkinkan. Apalagi warna zaman memberikan angin segar dan membukakan pintu yang selebar-lebarnya untuk aplikasi serta pengoperasionalan tindak pidana korup itu. Dan merebaklah disharmoni sosial.

No. 4 Desember

2017

• 15


S OS I AL

PESTA DEMOKRASI Oleh: Sugiono MP dan Eko Windarto

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah Indonesia akan berlangsung secara serentak pada tahun depan. Pesta demokrasi itu jelas berlangsung pada era globalisasi. Ada dua hal yang perlu dimaknai. Pertama tentang roh dari demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan yang sedang berlaku di sebagian terbesar belahan dunia ini. Yang kedua tentang arus globalisasi dewasa ini yang tengah berlangsung. Pemahaman kedua hal itu perlu dan penting mengingat publik hanya melihat realitas kasat mata, tanpa mampu menelusur kondisi realitas zaman yang tengah bergelora. Hal itu ditandai misalnya, oleh persepsi penulis Eko Windarto yang kami tengarai dengan subjudul Menyongsong Pilkada Serentak di bawah ini.

16

•

No. 4 Desember

2017

MENYONGSONG PILKADA SERENTAK

S

epertinya kita memasuki era kebebasan dan keterbukaan tanpa batas. Media sosial menjadi kanal menyampaikan aspirasi perseorangan. Aspirasi politik yang santun, yang damai, jenaka, sampai yang keras dan berisi ungkapan kebencian, serta sumpah serapah bisa kita temukan di media sosial. Media sosial bisa untuk memuja seseorang, juga bisa menghancurkan otoritas seseorang. Media sosial juga berperan sebagai pembangunan citra, juga bisa menjadi pembunuh karakter. Dalam situasi seperti itu, gelanggang pertarungan

DI


TENGAH ARUS GLOBALISASI

Artinya, proses pilkada yang akan dilalui tahun depan menjadi ukuran daya tahan demokrasi kita di tengah banyaknya kepentingan. Di antaranya kepentingan para pemodal. Dalam kenyataan penyelenggara pilkada kerap menghadirkan wajah ganda. Satu wajah memesona, penuh harapan, dan menunjukkan

gairah demokrasi elektoral yang sejatinya penting dalam proses konsolidasi demokrasi. Wajah lain menunjukkan sisi gelap yang menampilkan pilkada ibarat pasar taruhan yang dikendalikan para bandar. Saat ini sangat kelihatan jika para pemodal memainkan peran. Watak pemodal yang kapitalis itu sangat kelihatan takan mendiamkan situasi pilkada yang sangat basah. Rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihan dapat dijelaskan melalui model kesamaan dan ketertarikan. Pemilihan mencari seseorang yang memiliki karakteristik, nilai, dan keyakinan yang sama. Kesamaan akan meningkatkan ketertarikan kandidat di mata pemilih. Sayang sekali bila para kandidat hanya terjebak pada hal-hal artifisial di permukaan. Untuk menutupi kelemahan diri sendiri, kandidat terjebak mengasosiasikan diri

https://pilkada.okezone.com

pilkada penuh hiruk-pikuk opini. Beragam mantra persuasi dalam proses pemasaran pun membanjiri ruang publik hingga ke ruang pribadi dan keluarga. Dalam hal ini, dibutuhkan kecerdasan komunikasi baik dalam memproduksi dan mendistribusikan, maupun mengonsumsi informasi selama pilkada, sehingga kita bisa memahami, memaknai, dan mengkritisi.

dengan apa yang disukai publik. Namun, hal-hal substantifnya justru tidak terlihat. Apa gunanya profiling calon pemimpin dengan permasalahan hidup sehari-hari masyarakatnya. Apa lagi masyarakat cenderung terbuka pada informasi dan pengetahuan karena punya akses luas terhadap internet. Kondisi sosial pemilih pun lebih kritis dan tidak mudah terjebak isu-isu primordial dan tidak substansial. Maka, sosialisasi program dan gagasan menjadi lebih krusial dari pada pencitraan dan slogan politik. Kemenangan kandidat calon Kepala Daerah dalam pilkada mendatang sudah sepantasnya didasarkan pada janji program dan gagasan, bukan semangat hura-hura yang tidak substantif. Lebih dari itu pilkada adalah proses pematangan demokrasi dan perwujudan cita-cita kesejahteraan rakyat. DEMOKRASI BUKAN TUJUAN Untuk menyeimbangkan pemikiran yang tertuang di atas, maka terlebih dahulu perlu diurai tentang makna demokrasi atau kekuasaan rakyat. Kenapa demikian? Karena pilkada merupakan implementasi dari demokrasi rakyat yang tertuang

No. 4 Desember

2017

• 17


s o s ial

dalam salah satu sila dari way of life bangsa ini. Demokrasi yang mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi lahir sebagai kritik atas aristokrasi atau otokrasi (kekuasaan elit), monarki, oligarki, namun dalam praktik pelaksanaan penyelengaraan di negera demokrasi pun dilakukan oleh elit politik. Sistem politik Athena Klasik misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Dalam perkembanannya terjadi ambigunitas karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Barulah agak membumi ketika

18

•

No. 4 Desember

2017

Karl Popper mendefinisikan bahwa demokrasi berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi. Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, Revolusi Amerika Serikat dan Perancis. Namun demikian yang perlu disatabilo adalah bahwa demokrasi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai kemakmuran rakyat di suatu negera. Begitu pun demokrasi di Indonesia. Maka pertanyaannya bukan lagi masalah tata demokrasi, akan tetapi sudahkah kemaslahatan rakyat seperti yang diamanahkan dalam pembukaan

Undang Undang Dasar kita telah tercapai? PENCITRAAN ERA GLOBAL Globalisasi dunia yang lahir atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi menggiring zaman pada era yang populer disebut sebagai hyperreality. Lompatan kenyataan. Bahwa kenyataan yang ada merupakan penyatuan antara kenyataan riil dan kenyataan semu (simulacra simulacrum) yang ditandai oleh pembauran antara realitas murni dengan realitas hasil rekayasa. Media massa berandil besar untuk hal ini. Dalam kasus pilkada, para caleg berkampanye dengan memasang sapandk, baliho, stiker, pamlet, juga berita dan opini media sosial maupun media massa meanstreem. Penemu istilah hyperreality, Baudrillard, menyatakan bahwa media, simulasi, dan cyberblitz telah mengonstruksi dan mengonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan sejarah, dan tipe masyarakat yang baru merupakan penjelasan tentang fenomena pada dunia kita sekarang di mana terjadi homogenitas dalam menilai kemapanan (baca: kepemimpinan) seseorang yang bisa direkayasa lewat kemungkinan-kemungkinan the power of sign, simbol, dan teknologi. Uraian Baudrilard tersebut telah tampil di majalah NEOKULTUR ini berturut-turut di edisi 1, 2, 3. Menurut Baudrilard, keadaan yang terjadi saat ini sudah


Media massa dan informasi sekarang ini, yakni media massa dalam masyarakat yang disebut oleh Baudrillard dengan consumer society, tidak lagi menjadi sarana komunikasi utuh tetapi menjadi sarana representasi makna dari

simbol-simbol (signs) yang merupakan produk kapitalis dengan tujuan menggiring publik kepada hiper-realita dalam sebuah simulacrum. Dalam ilmu public relation, pencitraan memiliki tujuan salah satunya agar publik mengubah perilakunya sesuai dengan yang diharapkan oleh pencitra. Dengan kata lain mengubah perilaku publik menjadi favorable. Lewat pencitraan diharapkan publik bersimpati, menyukali, dan memilih sosok yang dicitrakan sebagai calon pemimpin yang amanah (walau kenyataannya bertolak belakang). Dengan pemujaan (fetish) publik yang menggemari sosok citraan akan menyebabkan apa yang disebut sebagai alienasi total atau keterasingan total. Sekali mereka suka dan tersihir dengan citra kepemimpinan

yang bersangkutan, selanjutnya akan memujanya dan memilikir rasa keingintahuan yang besar seputar apa yang akan dilakukan. Fetish terhadap hasil pencitraan akan menimbulkan reifikasi, pematerian, maksudnya jika ada penilaian untuk sebuah kesuksesan, maka kesusksesan itu diukur dari apa yang dimiliki objek tersebut. KESIMPULAN Dengan uraian di atas jelas bahwa hiruk-pikuk dalam menyongsong pesta demokrasi serentak di Indonesia tahun depan merupakan bagian dari realitas kehidupan demokrasi era global yang ditandai oleh lompatan realitas, yakni persekutuan antara realitas murni dengan reaitas buatan atau rekayasa. Tragisnya publik tak bisa membedakan mana yang ori dan mana yang ka-we dalam kapabelitas kepemimpinan

sidimpuantabagselta.blogspot.co.id

tidak memungkinkan lagi untuk masyarakat keluar dari kapitalisme. Dunia sudah dipenuhi konsumsi dan simbolsimbol. Konsumsi kini disadari dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan dan kegiatan. Diproduksi bukan sematamata untuk menghasilkan kebutuhan dasar namun salah satunya untuk meningkatkan kebanggaan simbolik. Misalnya orang akan merasa bangga saat bercerita kalau dirinya telah menonton konser Super Junior live di Singapura daripada bercerita telah menonton lewat internet. Terjadi transformasi dari mode of production ke mode of consumption. Transformasi tersebut adalah bentuk pergeseran dari use value dan exchange value ke arah dominasi nilai tanda dan nilai simbol.

No. 4 Desember

2017

• 19


S AS T R A

MANIFESTO: PROSES Oleh: Dimas Arika Mihardja SAJAK ATAU PUISI ialah gelegak riak jiwa, kesankesan perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan.

/qubicle.id

20

No. 4 Desember

2017

S

ajak yang kutulis kadang serupa kaca jerning begitu bening hingga kita dengan mudah bercermin melihat aneka bayang wajah sendiri, orang lain, semesta, dan bisa jadi wajah Tuhan yang secara mimesis tampil dalam aneka rupa. Sajak serupa ini kunamakan sebagai sajak “Sederhana untukmu”: kutulis sebuah sajak sederhana untukmu dan untuk-Mu. Sebuah sajak mengelopak di dada, kupersembahkan untukmu dan untuk-Mu. Inilah sajakku, suara sukma yang terpadu melagukan nama-nama mesra menyentuh kalbu”.


KREATIF PENCIPTAAN PUISI Sebuah sajak, dalam konteks tertentu serupa dengan hidangan yang siap untuk disantap: “Santaplah sajakku. Anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh dengan kecintaan, sebab di sana ada desah sederhana untuk keselamatan perhelatan”. Penggubah sajak, dalam kaitan ini serupa koki yang meracik hidangan buat persembahan. Sajak yang hakikatnya sebuah masakan itu lalu terhidang untuk keselamatan perhelatan. Ya, perhelatan, sebab hidup ini senyatanya merupakan serangkaian ritual peribadatan yang disebut perhelatan. Hidangan berupa sajak yang tersaji memang harus dinikmati dengan kegairahan tersendiri: Santaplah sajakku, anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh gairah, sebab di sana ada desah sederhana untukmu. Tugas penggubah sajak telah selesai begitu telah menyajikan puisi di atas meja hidangan. Selama menekuni karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi saya, puisi sematamata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy? Ya, keseksian

menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah keseksian secara batiniah. Nah, “apa pula keseksian yang bersifat batiniah ini?”, mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy. Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya. Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar

beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi. Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan

No. 4 Desember

2017

• 21


s as t ra

keelokan makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang sexy, dengan demikian merupakan puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.

Puisi yang sexy mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi.

bangwinconsulting.com

22

•

No. 4 Desember

2017

Namun, demikian harus buruburu ditambahkan bahwa fenomena keindahan bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca, terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang “komunikatif � (komunikatif dalam tanda petik).

Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara jelas memberikan kesaksian terhadap fenomena zaman. Puisi kamar, yakni puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium, yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium (panggung) juga berisi kesaksian penyair terhadap gejolak zaman. Demikian, salam budaya. -----------------------

Prof. Dr. Dimas Arika Mihardja M.Pd. (Sudaryono), penyair Indonesia Angkatan 2000, guru besar Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jambi.


Kisa(h) Pedi(h) kilatan samurai air mata perempuan berderai petikan dawai sukma memburai bogor, 261017

dari puisi Sugiono Mpp: PUISIKU. Foto-foto: Erry Amanda

No. 4 Desember

2017

• 23


S OS O K

Seorang perempuan. Istri setia. Ibu yang bertanggung jawab. Warga yang sadar dan peduli pada kaumnya, bangsanya.

buku.kompas.com

24

•

WAJAH SEORANG No. 4 Desember

2017


http://siaga.co/files/2013/05/SK-Trimurti-berdiri-di-samping-Bung-Karno.

A

ktif dalam gerakan kemerdekaan dan mengukuhkan kedirian bangsa. Senantiasa berpikir, bertindak, berkiprah dalam situasai yang bagaimanapun juga. Tiada pernah ada keluh meski hidupnya susah lepuh. Semasa penjajahan ia keluar masuk penjara karena kepeduliannya. Ketika merdeka ia turut mengisinya. Ia salah seoang perempuan yang menjadi saksi langsung proklamasi. Tak pelak ia pun diminta oleh presiden mengemban jabatan sebagai menteri. Sesungguhnya, ia enggan menerima, karena apa yang dilakukan adalah perwujudan dari rasa syukur dan jalan keibadahan. Maka setelahnya, biar mantan pejabat tinggi, ia tetap menyulam kesederhanaan hidup. Bahkan saat menghembuskan nafas, pada usia 96 tahun, ia mendiami rumah kontrakan mungil, sederhana, di tengah mukiman rakyat biasa. Itulah SK Trimurti, seorang guru dan pendidik, tokoh pergerakan, wartawan tiga zaman, yang mengabadikan hidupnya untuk kemaslahatan bangsa. Dalam memperingati Hari Ibu 22 Desember ini kita tampilkan sosok ibu Indonesia ini. Surastri Karma Trimurti lebih

dikenal sebagai SK Trimuti, lahir di Desa Sawahan, Boyolali, Surakarta. Ayahnya R.Ng. Salim Banjaransari Mangunsuromo dan ibunya adalah R.A. Saparinten Mangunbisomo. Suami-istri itu abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Sikap kepedulian terhadap masyarakat begitu kencang muncul dalam diri SK Trimurti karena sering ikut ayahnya berkeliling dari satu desa ke desa lain menjalankan tugas sebagai ndoro seten alias juru tulis desa (yang kemudian diangkat menjadi Asisten Wedana alias Camat). Trimurti menempuh pendidikan Noormal School dan AMS di Surakarta. Pada usia 41 tahun ia kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan ekonomi. Memulai kariernya sebagai guru yang mengajar di sekolah-sekolah dasar di Bandung, Surakarta dan Banyumas pada 1930-an. Namun, dia ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936 karena mendistribusikan selebaran

IBU INDONESIA

antikolonial. Selama sembilan bulan harus meringkuk di Penjara Bulu, Semarang. Perempuan lincah ini pun bergabung sebagai anggota Partindo (Partai Indonesia) di Bandung. Di Bandunglah pergulatan karier Trimurti dimulai. Dia jadi kader Partindo dan anak didik Sukarno bersama Wikana, Sukarni, dan Asmara Hadi. Dia juga menjalin relasi yang sangat akrab dengan istri Sukarno, yaitu Inggit Ganarsih. Bandung adalah kota di mana SK Trimurti mengawali karirnya sebagai seorang jurnalis. Suatu kali, dia diminta langsung oleh Sukarno untuk menulis pada harian Fikiran Ra’jat, salah satu harian yang digarap oleh kelompok Partindo. “Saya tidak bisa,” kata SK Trimurti. Namun apa daya, Sukarno mendesak. “Harus bisa,” kata Sukarno. Pilihan SK Trimurti bergabung di Partindo dan menjadi penulis

Oleh: Suco No. 4 Desember

2017

• 25


s o s o k

ditentang keluarga. Menurut ayah dan ibunya, kegiatan SK Trimurti akan membahayakan seluruh anggota keluarga. Oleh sebab itu, perempuan yang lahir pada tanggal 11 Mei 1912 ini memutuskan pergi dari rumah keluarganya di Klaten, dan memulai hidup sebagai seorang muhajir. Di Yogyakarta bersama kerabatnya Sri Panggihan mereka mendirikan Pengurus Besar Persatuan Marhaen Indonesia dan menerbitkan majalah Suara Marhaeni, berisi kritik terhadap pemerintah Belanda yang justru mengincarnya. Trimurti pun kerap kali berpindah tempat untuk menghindari penangkapan. Tapi tak selalu berhasil dan ia pun terjeblos di penjara. Sekeluarnya bukan jera, justru makin giat dan gigih. Ia pun bergabung di majalah Suluh Kita. Semasa Jepang Tri sering menulis di majalah Sinar Selatan, milik Jepang.

Setelah keluar penjara ia mengajar karier jurnalistik dan menuangkan gagasan-gagasannya dalam tulisan yang kritis. Ia bekerja silih beganti di surat kabar Indonesia, di antaranya Pesat, Genderang, Bedung, Pikiran Rakyat. Dengan suaminya, Sayuti Melik, ia

26

•

No. 4 Desember

2017

menerbitkan Pesat yang dilarang oleh pemerintah militer Jepang dan SK Trimurti ditangkap serta disiksa. Meskipun kerap bolak-balik masuk penjara dan mengalami siksa sampai harus melahirkan anak pertamanya di balik jeruji besi, tangan Trimurti tidak pernah berhenti untuk menulis. Hal lain yang istimewa pada diri Trimurti adalah kedudukannya sebagai satu dari sedikit orang yang hadir langsung saat Presiden Sukarno membacakan naskah Proklamasi, 17 Agustus 1945. Ia juga dikenal sebagai advokat yang gigih memperjuangkan hakhak pekerja sehingga diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja, 1947-1948. Posisi sebagai menteri dijalani Trimurti dengan penuh pengabdian meskipun kondisi bangsa yang semrawut dalam bidang politik dan ekonomi akibat rongrongan Belanda. Baginya jabatan adalah harus bisa dipertanggungjawabkan, tidak bisa asal diambil karena menjanjikan kedudukan. Tawaran sebagai Menteri Sosial, 1959, ia tolak karena harus menyelesaikan gelar sarjana. Ia ikut mendirikan Gerwis (1950) sebuah organisasi perempuan Indonesia yang kemudian jadi Gerwani, tapi pada 1965 ia tanggalkan. Suaminya, Sayuti Melik, menulis di koran Suluh Indonesia tentang pemahaman Nasionalisme Soekarno atau Soekarnoisme yang berbeda

dengan komunisme. Sayuti Melik menegaskan paham Marhaenisme menitikberatkan pada Nasionalis, Agama, dan Sosialis. Bukan Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tulisan itu berujung perselisihan antara kaum Soekarnoisme dengan golongan komunis. SK Trimurti menjauhkan diri dari Gerwani karena organisasi tersebut menajdi underbow PKI, pun memutuskan keluar dari Gerwani. Dia merasa Gerwani saat itu mulai sangat bertolak belakang dengan visinya. Dia memilih ikut dengan suaminya, Sayuti Melik. Tahun 1975 Trimurti bersama dengan teman-temannya mendirikan majalah bertemakan filsafat dan mental spiritual bernama Mawas Diri. SK Trimurti tertarik falsafah Serat Dewa Ruci, ajaran pengenalan diri lewat pemawasan. Dari sinilah lahir nama majalah Mawas Diri yang konsisten mengangkat masalah perlindungan perempuan dan anak. Di sini juga disuarkan ajaran Kantong Bolong, menjauhkan diri dari materialistis dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, yang mampu mengikis egoisme dan menanamkan jiwa penolong. Pergeseran iklim sosial politik membuat Trimurti banting setir mengenai tema penulisan di majalahnya. Dalam karyanya, ia tak melulu menulis masalah politik, namun juga menulis tentang sosial ekonomi, wanita, dan perburuhan di Kedaulatan Rakyat, majalah Gema


Angkatan 45, majalah Suara Perwari, majalah Pradjoerit, Harian Nasional, dan majalah Revolusioner. Ia beranggapan bahwa majalah politik tak lagi sesuai karena keadaan negara tidak lagi dijajah walaupun negara demokratis seperti yang ia dan teman-teman seperjuangannya impikan belum sepenuhnya terwujud.

Trimurti turut menandatangani Petisi 50 (1980) yang memrotes Soeharto penyalahgunaan Pancasila terhadap lawan politiknya.

SK Trimurti adalah lentera yang memberi harapan bagi perempuan Indonesia dan perempuan di seluruh dunia, perempuan harus berdiri bagi sesama perempuan. Perempuan dan laki-laki adalah partner kerjasama untuk kehidupan yang lebih baik. Trimurti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di Istana Negara digelar upacara penghormatannya sebagai pahlawan bangsa. Selama sisa hidupnya ia terang-terangan menolak semua pemberian dan

fasilitas negara. Padahal itu adalah haknya. Jika ada mantan menteri yang merasakan berbagai macam penderitaan demi kemajuan bangsa dan negaranya, salah satunya adalah SK Trimurti. Suka duka silih berganti, keluar masuk penjara, hidup melarat, dikejar-kejar musuh, berpisah dengan keluarga kian menebalkan semangat pengabdian SK Trimurti pada bangsa dan negaranya.

SK Trimurti wafat 20 Mei 2008 pada usia 82 tahun. Sang inspirasi perempuan Indonesia ini terbukti terus memperjuangkan kesetaraan hak dan akses dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan pilihan politik antara perempuan dan laki-laki. Dia adalah api yang harus terus menyala di dalam hati perempuan Indonesia.

No. 4 Desember

2017

• 27


PUISI UNGU

PU I S I

Warna ungu dikenal sebagai amour color. Warna yang menuansakan suasana romantis. Warna cinta dan kasih sayang. Maka penamaan violet poetry atau puisi ungu kami pilih untuk menandai warna puisi yang menyajikan nuansa romantis dalam bentuk apa pun.

S

ungguh pun genre romantisme itu sudah melapuk termakan zaman, dan kini dominasi instans verbalis lebih mengemuka seirama dengan gemuruh peradaban global yang melompati realita (hyper reality), namun cinta dan kasihsayang tetap diperlukan. Tanpa cinta kehidupan menggersang, bumi berpecah dalam kemarau abadi, dan kasih-sayang terbenam di liang lahat. Betapa mengharubirunya.

Tidak. Kita tak ingin kehidupan digantikan dengan daging besi dan kulit kaleng yang melindungi mesin jiwa rekayasa. Kita ingin manusia dan kemanusiaan tetap tegak di planet kasih-sayang. Maka, kami lentunkan kembali puisi-puisi ungu karya tiga penyair NEOKULTUR, yakni Agung Pranoto, Ghouts Misra dan Sugiono MP (Mpp) sebagai berikut.

Agung Pranoto

ANGGUR MALAM cahaya kamar memucat terkurung sunyi “kubawakan anggur malam, hadiah terindah�, katamu sel-sel nadi berdegup -- malam pun sempurna

2017

PERHELATAN SEMUSIM ranum pipi mengulum liur lelaki seperti rekah semangka di bulan purnama menunggu sapa pujangga kata membius dengus nadi menjunt ai hasrat merindu bulat laga di atas singgasana tak perlu menunggu senja tak terasa berjuta-juta riang-ria pergulatan menembus nirwana. malam pun terkapar dari jengah semusim perhelatan purna.

2017

GENRE PUISI (1) maya, tak kutemukan indah tubuhmu

28

•

No. 4 Desember

2017


TIGA PENYAIR ketika siang tadi bajumu membasah oleh derasnya hujan.

dengan jelas kutangmu berwarna hitam. (2) maya, dalam samar kubaca warna kutangmu berkalikali. baru kuketahui kutangmu berwarna pelangi (3) maya, dalam gelap malam aku pasrah berjuta kali kubaca warna kutangmu, mata dan hatiku buta. 2017

TAK PURNAMA sudah kumulai dengan nawaitu saat di atas tubuh diksi ranjangku berkali-kali kupompa metafora hanya detak mengoyak dada tanpa ejakulasi hingga purna kuketuk bunyi dan aspek retorika nafiri pun telah menggema lagi-lagi puisiku tak purnama 2017

IMAJIKU

dalam remang, imajiku menggelegar hingga di bibir semak lalu, kupungut kata-kata berserak kusaring dan kucampur rasa anggur kenikmatan bersajak hingga puncak imajiku lahirkan sajak menggelegak : bayi-bayi sajak kian tanak Surabaya, 10 April 2017

MALAM JUMAT malam jumat penuh geliat ranjang bulan di kerlip bintang memainkan puting-puting hingga pusat azimat lalu lebah menyengat menghujam pelan-pelan hingga tandas sepenggalah napas-napas tuntaskan jengat pertarungan bukanlah perkelahian meski ada menang dan kalah

10082017

SAJAK MALAM Bulan pesta Di puncak sunyi 28082017

Ghouts Misra ADUH ADUH “aduh...! aduh...! lengkung alis memayung teduh dalam tatap nan sendu instan verbalis aduh...! aduh...! desah bibir delima mengobarkan api tungku dada bergolak dicengkram rindu aduh...! aduh...! gaun berkibar menggoyah kaki langkah kepayang aduh...! aduh...! dokterku buat aku bertambah sakit..!”, majnun mengigau di siang bolong, g

G, Jakarta, 211017

CIUM AKU “majnun..! buatkan aku puisi, aku tengah jatuh cinta..!”, pinta gadis genit “ beri aku satu ciuman dahulu..!”, jawab majnun “wew..! majnun genit..!”, tukasnya “ loh..! seluruh aspekaspekmu tengah bergenit-genit..! aku minta dicium agar napasmu sendiri yang mengalirkan katakata..!, majnun berkata pada laila bergaun gadis genit, g

G, Jakarta, 301017

No. 4 Desember

2017

• 29


p u is i

MENDENGKUR

NYALA GAIRAH

Sugiono MP

lapar garang aroma sate tajam kaki lincah bertandang potongan kambing menerjang perut kenyang mendengkur di sarang malam tak tahu jalan pulang, g

hasrat mencetus tubuh bangkit berayun menari berputar ‘bak debu ditiup angin mengalir terbentang pemandangan ke segala sudut debudebu menabur suara bising ke telinga, mata, dan dada mengubur indera yang terjaga mereguk pesan dalam semilir angin menatap nyala gairah dalam gerakan tubuh, g

DESAH MALAM

G, Jakarta, 011117

Bogor, 101117

G, Jakarta, 301017

MAJNUN (AIR KEHIDUPAN) sejak laila melenggang, lalu menghilang di tikungan akal majnun kalangkabut kabur ngebut angin prahara melanda demam berkuasa panas ke negri syam dingin ke negri yaman jika tidak, majnun gosong dibakar siang, meleleh dipeluk dingin malam berlari ke sana kemari bibir keringkerontang perlu air hangat, dan sejuk diputar selendang safakeagungan, dan marwahkeindahan laila-air kehidupan jika tidak majnun mati kehausan, g

G, Jakarta, 041117

30

•

No. 4 Desember

2017

***

ketika kau cengkeram kerah leher bajuku dengn nafas yang terhunus dan getar bibirmu mendenyut dawai merekahkan mawarmawar di taman hati serta pejam matamu yang sayu mendayu aku pun kehilangan rasa sadar diri melayang ke tujuh angkasa mengembara ke seribu dunia dan sepuluh ribu kehidupan menari di atas megamega cinta mencumbu bulan yang telanjang menyetubuhinya sampai akhir desah mengaliri sungaisungai firdaus


KEMARILAH

PUISI ADALAH

kemari, kemarilah sayang kan kukecuplumati ranum bibirmu kumembusbelai bulubulu di sekujur tubuhmu dan kuhirup keharuman lekuklikumu terutama pada lubanglubang kehidupan yang mendesahkan nafasnafas cinta surgawi

keindahan yang tertata bagai nafas alam cipta Kekasih atau degup tubuh irama jiwa gelombang cinta di bintikbintik renik pada fatamorgana yang nyata

kemari, kemarilah sayangku kan kuhunjam batang tubuh ke pelukmu menusuk denyut nadi kapundan kawahmu menggemuruhkan syahwat hayati di semesta raya ini

Bogor, 031117

Bogor, 221017

KREDO terkuras sudah sumsumku pada desah malam yang mesum di pembaringan semu dalam pergulatan jasad dan jiwa yang syahdu adakah tetes tetes peluh birahi kita membasuh tubuh membasah ranjang ranjang Cinta kekasihku, kosa kosa kata yang merangsang kejantanan menghisap habis pesonamu menggerayangi sekujur kebugilan tubuhmu dalam gemuruh nafas syair syair Nya

Bogor, 111117

ASMARADHAHANA harihariku terlewati sudah mentari esok membakar ranjang pada goyangan malam yang menabur gelinjang memuncratkan syahwat Illahi seraya menyanggit tembang asmaradhana Mu

Bogor, 171117

MENYULAM WAKTU sayangku, bait-bait puisi di wajahmu kueja dalam tembang ungu melayang membelai bintang dan kita pun bercumbu memadu liur mengulum puputan rindu kau dan aku membasuh denyut nadi cinta mengembara ke langit tujuh menyusur padang estacado menuruni lembah tubuh mendesah alun nafas kehidupan kasihku, mari kita berpelukan pada posisi lukar busana menyatu padu menyulam waktu

Bogor, 181117

No. 4 Desember

2017

• 31


TELAH TERBIT

Buku Seputar TEORI SASTRA, dari sosiologi sastra hingga ekologi sastra Penerbit APM Publishing, Jakarta Cet 1, November 2017 Tebal buku hampir 200 halaman.

Pengganti biaya cetak

Rp 60.000,

belum termasuk ongkos kirim

Yang berminat silakan hubungi melalui Inbox Hairul Haq atau WA

085211794917

32

•

No. 4 Desember

2017


C E R MI N

KUNCI

Oleh: Yanie Wuryandari

R

ilustrasi : Libris

on terbangun dengan nafas sesak. Ini mimpi yang sama. Raket rotan raksasa mengejar dan memukuli kepalanya. ke mana pun sembunyi, raket misterius itu selalu mampu menjangkaunya. Dinyalakannya lampu. dan sesegera mungkin matanya menangkap kunci karatan yang tergantung berayun-ayun di sudut atap kamar. Kepalanya berdenyutdenyut. Ia tak tahu itu kunci apa dan mengapa ada di sana. Ia tak tahan lagi kini. ia harus memusnahkan kunci itu. Sepertinya ada hubungan erat antara mimpi dan kunci itu. Jam 2 tengah malam itu, Ron menyeret kursi kerja ke dekat kunci itu tergantung. Kurang tinggi. Diseretnya satu kursi plastik tanpa sandaran dan ditaruhnya di atasnya. Belum juga terjangkau. ia menaruh satu lagi kursi yang sama di atasnya. Dengan hati-hati, ia mulai naik di kursi 3 susun itu. Kini jemarinya hanya kurang 4 cm dari kunci itu. Diraihnya, diraihnya. Mendadak‌braaak, dunia oleng. Ron melayang dalam gerak slow motion. ia terjungkal dengan kepala lebih dulu menyentuh bumi. Gelap. Ia ingin tidur, tetapi seperti ada bunyi-bunyi aneh terasa di kepalanya. Lalu mendadak seperti terbangun dari tidur panjang, Ron ingat segalagalanya. Ingatannya yang dibilang dokter telah rusak karena pukulan benda tumpul bertubi-tubi yang membuatnya amnesia mendadak terang benderang. Ia ingat, ini kunci gudang bawah tanah gua Jepang di pinggiran desanya. Ayah tirinya selalu

marah-marah melarangnya main ke tempat itu. Angker, katanya. Tapi Ron menikmati menemukan barangbarang ajaib di dalamnya. sangkur, makanan kaleng, sepatu, jaket dan barang-barang militer lainnya. Suatu sore ia masuk ke gudang bawah tanah itu. Ia bergidik mendengar suara-suara aneh dalam keremangan. Ketika ia tersandung bekas kaleng makanan yang bergelondangan, seseorang tinggi besar muncul dari balik keremangan. “Bajingan cilik, ngapain kelayapan di sini! Mati kau di sini!� Ron kaget setengah mati. Raket rotan yang biasa dibawa-bawa ayah tirinya sebagai centeng pabrik bata itu diayunkan dengan buas ke kepalanya. Ron terjerembab. Pukulan itu membabi buta. Pandangannya kabur. Tetapi ia mampu berdiri setelah terjatuh lagi dua kali. Ia lari ke tangga. Ayah tirinya mengejar. Ada suara perempuan di antara sumpah serapah ayahnya. Kakinya gemetaran. Ia terus naik tangga. Mendengar ayahnya terus mengejar. Tiba di atas, Ron menjatuhkan pintu gudang bawah tanah itu di kakinya. Menguncinya rapat-rapat. Ia lari. Jatuh. Gelap. Kini ia ingat. Dia bernama Ron Garing. Peristiwa mengerikan itu terjadi ketika dia kelas 4 SD. Ketika orang-orang sedesanya bertanya-tanya ke mana ayah tirinya dan janda kembang tetangga desanya tak pernah pulang. Mungkin keduanya minggat berdua, begitu kata warga desa. Ron gemetaran. Ia satu-satunya yang tahu di mana kedua mahluk itu. Tetapi itu sudah berapa puluh tahun silam? Ia sudah bukan anak-anak lagi, kini Jakarta, 05 November 2017

No. 4 Desember

2017

• 33


AL A M

FLARE DI B Oleh: Handrawan Nadesul

setitik embun terbelai cercah mentari memantul suar berenam bucu tujuh menyatu bayang puisi salam alam bacaan nyata ejaan rasa pesona Cinta

P

uisi di atas karya Sugiono MP merupakan respons dari status Prof Erry Amanda di face book tertanggal 24 Oktober 2017. Judul aslinya, tanpa menggunakan huruf kapital, lengkap dengan data foto flare embun hasil sinar pantul matahari, adalah: semakin banyak yang ingin diketahui semakin banyak pula yang hilang dari yang sudah diketahui. Selengkapnya sebagai berikut: Flare segi enam di belakang titik air (embun) yang dihasilkan dari sinar pantul matahari di belakang obyek (embun) akan menghasilkan refleksi isometrik -- dan garis pencar -- semua bisa dijelaskan -- pada titik akhir -KENAPA BISA BEGITU? -- yaa itu sudah hukum, hukum alam - hukum fisika - hukum dari sononya. SELESAI dan manusia kembali TAK TAHU APA-APA. MAU BUSUNG DADA? Erry Amanda, 82 tahun, dikenal oleh beberapa sahabat-sahabatnya seagai seniman multitalenta, itu memang senang berburu hal-hal yang terlewatkan oleh orang biasa. Dengan kamera prof yang sudah jadul

34

No. 4 Desember

2017

ia senang mengabadikan hal-hal yang oleh awam dianggap ‘bisa’ menjadi sesuatu yang tidak biasa lagi. Misalnya seekor serangga supermini yang biasa hinggap di kulit hewan, mini unggas yang sedang berjalan di sebatang tangkai daun, bunga-bunga liar yang tumbuh di lingkungan lereng bukit, arakan bo. Ia mantacah berobor menyambut tahun baru Islam, atau pun suasana lam yang memesonai jiwanya. Ia memang mantan fotografer prof. Minatnya pada sains dan spirirual demikian menggebunya dan karenanya ia memilh tinggal di tepi hutan pinus lereng gunung Manglayang, Bandung, Jawa Barat, untuk menemukan ‘sesuatu’ yang disimulacrakan melalui natural spiritualis, sehingga mampu menjawab kemaha agungan Sang Pencipta ini. Hal itu ia lakukan sebagai jawaban kepada kaum indeterminan yang tidak mempercayai bahwa tuhan adalah ilmu pegetahaun. Erry Amanda justeru menentangnya, dan berhasil menarik beberapa ilmuwan indeterminan ke dalam pelukan religiusitas.


BALIK EMBUN ERRY AMANDA Salah seorang sahabat yang mengenalnya adalah dokter Handrawan Nadesul, yang juga seorang penyair Indonesia masa kini yang puisi-puisinya dikenal sebagai genre puisi romantis. Inilah sekelumit catatan kecil dokter Hans, berjudul Catatan Kecil Buat Sahabat Erry Amanda. Catatan ini sedianya ditulis sebagai kesan dalam rancang buku biografi Prof. Erry Amanda, namun kami turunkan sebagai keutuhan litersai ini. CATATAN KECIL BUAT SAHABAT Menempuh perjalanan jurnalistik yang panjang, seorang Erry Amanda, sebagaimana layaknya sejawatnya, punya muatan wawasan yang bukan saja penuh, terlebih beraneka. Wawasan yang lengkap bukan saja dari literasi, mungkin dari kerja permenungan, atau dari olah pergumulan dengan keuletan panjang dalam berprofesi, selain teranyam dari kehidupan pribadi. Membaca seorang Erry Amanda, saya duga, membaca perjalanan seorang pemikir, barangkali sudah menempuh sebuah perjalanan seorang yang menjunjung tinggi sikap berbudaya. Kita menyimaknya dari ungkapan, dari buah karya, selain keprigelannya melukis, dan menuangkan kata. Pelataran Facebook, saya kira, sudah menjadi lahan baru tempatnya “bermain� yang membuatnya nyaman, dan kita banyak membaca juga ihwal siapa dia, di situ. Pernah suatu kali ia berujar di

ruang FB, lebih kurang begini. Kendati apa-apa yang dituangkan, yang diungkapkannya di ruang FB mungkin saja tidak diindahkan orang, ia akan terus tetap berkicau, dan itu kenapa kita masih melihat buah pikir buah rasanya hingga hari ini. Bahwa apa-apa yang diucapkan akan terbang dilupakan orang, namun segala apa yang dituliskan, dicatat, dan pernah dibaca orang, akan abadi sepanjang masa. Barangkali pula itu maka ia terus saja berkicau tentang banyak hal apa saja. Lebih dari itu ada semacam tinjauan, barangkali ada sesuatu yang sama sekali baru. Boleh jadi itu sebagai sebuah inovasi dalam pemikiran, membongkar rahasia ilmu, misteri semesta, dan mengupas tabir fenomena. Ada saja yang kita sendiri sukar, dan merasa pelik bisa dengan sederhana menjangkaunya. Kerja mengupas misteri dan rahasia alam semesta itu sebuah kepelikan tersendiri, dan itu menjadi dunia lain keunikan seorang Erry Amanda. Tak cukup melek huruf, masyarakat perlu mengunyah literasi lebih banyak dan lengkap supaya juga melek budaya, supaya menjadi lebih manusia, lebih menjadi seorang insan. Kita harus mengakui bahwa kekurangan sumbangan pendidikan kita bagi anak bangsa, barangkali lantaran kita kurang penuh bagaimana menciptakan manusia berbudaya, insan yang punya adab yang seharusnya kita adopsi karena menjadi misi pedagogik bangsa di

mana pun di dunia. Kita belajar menjadi beradab tidak hanya dari tradisi, dari ujaran lisan dalam keluarga, melainkan dari sepenuh-penuh muatan literasi. Untuk menjadikan kita semakin manusia, kita butuh dan perlu banyak membaca. Barang tentu juga membaca ujaran dan keteladanan orang-orang yang lebih bijak, dan penuh panutan memberi manfaat kehidupan yang dibawa muatan kepalanya. Saya kira untuk menjadi insan kamil, kita perlu tetap bersikap bahwa kita tetap seorang murid, bahkan selama sepanjang hayat, kita tetap seorang murid kehidupan. Erry Amanda saya duga, tetap melakukan peran itu, bahwa hanya karena kita merasa masih tetap seorang murid, maka hidup dan kehidupan kita akan terus semakin diperkaya. Bahwa nilai kekayaan kita sesungguhnyalah ada pada isi kepala, selain seberapa elok kita berintegritas yang sepatutnya tertanam sejak kita kecil. Sikap pikir laku kita ialah buah dari pohon pembelajaran sepanjang hayat. Erry Amanda saya kira sudah meraihnya dengan cara yang benar. Jakarta, 15 September 2017 ______________ Handrawan Nadesul adalah dokter, penyair, pembicara kesehatan dalam seminar-seminar.

No. 4 Desember

2017

• 35


R E L I G I

HAMZAH FA ULA http://ukonpurkonudin.blogspot.co.id/

H Oleh: Muklis Puna

Hamzah Al-Fansuri seorang sastrawan dan ulama terkenal pada abad ke 16. Tokoh fenomenal ini dilahirkan di daerah selatan Aceh atau lebih dikenal dengan daerah Fansur tepat di kampung Oboh. Sastrawan pertama Indonesia ini versi Profesor Dr. A.Teuw berkebangsaan Eropa.

36

•

No. 4 Desember

2017

al ini dibuktikan dengan getolnya A.Teuw meneliti tentang sastrawan melayu pada saat Belanda menjajah Indonesia. Tulisan ini tidak mengupas tentang wafat dan lahirnya tokoh Hamzah Al-Fansuri yang mengundang sejumlah tanda tanya besar sampai hari ini. Penulis membagi tulisan ini dalam dua bahagian besar yaitu Hamzah-Fansuri sebagai sastrawan besar yang terkenal se-Asia Tenggara dan ulama besar pertama di Aceh masa kerajaan Sultan Alaidin Riayatsyah. Sebagai penyair pertama Indonesia Hamzah Al-Fanzuri telah menghasilkan syair-syair yang bersumber dari pemahamannya secara konprehensif terhadap Islam secara kaffah. Salah satu ajaran yang digeluti beliau terkenal di Nusantara adalah aliran tasauf. Ajaran tasawuf yang dipopulerkan oleh beliau dikenal dengan aliran


ANSURI AMA PENYAIR TRAGIS Wujudiyah. Dalam aliran ini jelas adanya pengaruh Ibn Arabi. Ajaran ini pula yang kemudian dilanjutkan oleh Syamsuddin Al-Sumatrani yang seterusnya dikembangkan dan dinamakan dengan martabat tujoh (seven grades). Dalam kapasitasnya sebagai alim sufilah Hamzah Al-Fansuri. Syair-syairnya telah memengaruhi perkembangan sastra Melayu abad ke 17 dan 18. Selain itu banyak tokoh-tokoh sastra yang memberikan label bahwa syair-syair beliau adalah beliau merupakan cikal bakal dunia perpuisian Indonesia. Setiap syair beliau selalu mengedepankan aspek ketuhanan sebagai sumber utama keindahan. Inilah yang dipandang sebagai aspek mistikal atau dimensi esoterik dari Islam. Hal inilah termasuk salah satu aspek Islam yang paling indah. Syair Perahu adalah salah satu karya Hamzah AlFanzuri yang fenomenal. Syair Perahu dikenal baik oleh pelajar, mahasiswa, para peneliti sastra Indonesia berabad-abad setelah zamannya. Padahal sebelumnya, karya-karya Hamzah Fansuri tidak boleh dibaca atau dipelajari, bahkan diberangus oleh ulama kerajaan yang berkuasa pada masa kesultanan Iskandar Muda. Perseteruan bathin dengan dengan ulama dari Agra (Nuruddin Ar-Raniry) telah membawa dampak negatif terhadap kumpulan karya sastra bernuansa sufi. Dalam sebuah artikel disebutkan bahwa ratusan kitab–kitab Hamzah Al-Fanzuri dibakar di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada masa kesultanan Iskandar Muda. Dengan kata lain, Nuruddin Ar-

Raniry berhasil memengaruhi pihak kerajaaan tentang keberadaan isi dari kitab-kitab Syaikh Hamzah Al-Fanzuri. Penyair sufi yang banyak mengadopsi petikan ayat Al-Qur’an, Hadis, pepatah dalam bahasa Arab dijadikan metafor hingga memunculkan ritme syair yang bernuansa nilai-nilai ketuhanan. Menurut Abdul Hadi W.M. (2001: 219-27) ada citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab Persia seperti Bayazid al-Bisthami, Mansur al-Hallaj, Junaid alBaghdadi, Imam al-Ghazali, Ibn`Arabi, Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi, Fakhrudin `Iraqi dan lain-lain. Terdapat kurang lebih 1200 kata-kata Arab dijumpai dalam 32 syair Hamzah Al-Fansuri. Ini sungguh luar biasa untuk penyair sekaliber beliau. Derasnya proses Islamisasi untuk pertama kalinya dalam sejarah menimpa bahasa, budaya dan sastra Melayu pada abad ke-16 . Ditinjau dari pergolakan Islamisasi dalam sejarah panjang dalam sistem kesultanan Alaidin Riayatsyah dan Sultan Iskandar Muda. Wajarlah Aceh mendapat julukan sebagai Negeri Serambi Mekkah. Ketika sang penyair sufi sudah meninggal, maka bermunculan orang-orang yang baru bangun dari selimut membuka tabir keistimewaan beliau. Pencaraian syair-syair peninggalan beliau terutama yang berhubungan dengan proses mencari tuhan diburu dalam literasi dunia dan nasional. Dari sekian banyak pemikiran tawasauf beliau dilumat si jago merah. Hal ini telah meninggalkan bara dalam dada pengikut setianya. Terlepas dari kontrovesi

No. 4 Desember

2017

• 37


r e li g i

masa hidup beliau pada masa kesultanan Sultan Alaidin Riayatsyah dan Sultan Iskandar Muda. Beliau pernah menempuh pendidikan di Arab Saudi dan menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Penulis produktif ini telah menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain menulis tentang karyakarya bernuasa tasawuf beliau juga menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, dan menguasai bahasa Urdu. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaannya lewat karya-karyanya yang monumental. Paham dan pemikiran tasawuf Hamzah Al-Fansuri yang dibawanya bersama seorang muridnya bernama Syamsuddin Al-Sumatrani. Mereka memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktek keagamaan kaum muslim Nusantara pada paruh pertama abad ke-17. Ajaran-ajaran mereka sangat dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu Arabi dan Al-Jilli. Misalnya, bahwa alam raya merupakan serangkaian emanasi neo-platonisme, dan menganggap setiap emanasi adalah aspek Tuhan. Tuhan sebagai wujud tunggal yang tiada bandingan dan sekutu menampakkan sifat-sifat kreatif-Nya melalui ciptaan-Nya. Pendapatnya ini merujuk pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 151 yang artinya “Kemanapun kamu memandang akan tampak wajah Allah.� Paham ini menyebabkan Hamzah Fansuri

38

•

No. 4 Desember

2017

dan Syamsuddin dituduh sesat dan menyimpang. Pemikiran mareka akhirnya ditentang oleh ulamaulama besar Aceh yang datang belakangan. Semua karya dan kitab Hamzah Fanzuri mengangkat tema tentang ketuhanan. Ini sesuai dengan bidang yang digelutinya selama bertahun-tahun. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hamzah Al-Fansuri merupakan ulama dan sastrawan yang fenomenal hanya dikenali oleh sebagian masyarakat kecil di Aceh sampai hari ini. Di kancah kesusastraan Melayu beliau dikenal sebagai pelopor utama dan ulama besar yang pernah mengeluarkan fatwa demi Aceh bermartabat. Karena pemahamannya terhadap proses bergelut dengan tuhan dianggap berlawanan dengan umum telah membuat nama dan karyanya teraniaya. Pengaruh ulama besar yang datang belakangan seperti Nuruddin Ar-raniry dan Syaih Abdul Rauf Al Singkili telah menggusur nama pujangga dunia ini di mata masyarakat Islam Nusantara khusunya sebagai penyair sufi yang menganut aliran wahdatul wujud yang belum ada tandingannya di negeri ini. Sebagai penutup penulis menyajikan satu penggalan syair Hamzal Al-Fanzuri:


Sidang Fakir Empunya Kata Tuhanmu zhâhir terlalu nyata Jika sungguh engkau bermata Lihatlah dirimu rata-rata Kenal dirimu hai anak jamu Jangan kau lupa akan diri kamu Ilmu hakikat yogya kau ramu Supaya terkenal akan dirimu Jika kau kenal dirimu bapai Elokmu itu tiada berbagai Hamba dan Tuhan dâ‘im berdamai Memandang dirimu jangan kau lalai Kenal dirimu hai anak dagang Menafikan dirimu jangan kau sayang Suluh itsbât yogya kau pasang Maka sampai engkau anak hulu balang Kenal dirimu hai anak ratu Ombak dan air asalnya satu Seperti manikam much îth dan batu Inilah tamtsil engkau dan ratu Jika kau dengar dalam firman Pada kitab Taurat, Injil, Zabur, dan Furqân Wa Huwa ma‘akum fayak ûnu pada ayat Qur‘an Wa huwa bi kulli syai‘in muchîth terlalu ‘iyân Syariat Muhammad ambil akan suluh Ilmu hakikat yogya kau pertubuh Nafsumu itu yogya kau bunuh Maka dapat dua sama luruh Mencari dunia berkawan-kawan Oleh nafsu khabî ts badan tertawan Nafsumu itu yogya kau lawan Maka sampai engkau bangsawan

No. 4 Desember

2017

• 39


40

•

No. 4 Desember

2017

IDE: jadiberita.com

NEOKULTUR adalah neoself di ruang hyperneo. Berorientasi kepada kualitas pribadi, terutama terhadap person yang mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan masyarakat. Caranya dengan terlebih dahulu melakukan orietasi pemikiran baru yang disertai sikap dan tindak, terutama terhadap diri sendiri yang kemudian tergelombang ke lingkungan sekeliling serta komunitas dan ruang lingkup cakupan kegiatan.


SK ET SA

GAK PERNAH MIMPI JADI PNS ujur saja, kalau ditanya mengapa Mas Karyo mau jadi PNS maka jawabnya adalah: ”Sungguh mati, saya tidak pernah mimpi jadi pegawai negeri. Sejak dalam kandungan banyak orang sudah tahu kalau pegawai negeri itu nggak enak, gajinya kecil. Karena itu saya nggak pernah bercita-cita jadi pegawai negeri.” ”Mengapa sekarang kamu jadi pegawai negeri?” ”Mungkin terpaksa. Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah di negeri ini… Mungkin juga karena ingin menyenangkan hati orang tua … dari pada nganggur… atau mau tahu bagaimana caranya korupsi… atau… entahlah. Yang pasti pada saat itu cari kerja memang susah. “Mumpung ada banyak formasi kosong, dik Karyo,” kata Pak Tulus tetangga sebelah rumah. “Ini kesempatan emas lho, dik. Kalau kamu berminat besok datang saja menemui saya di kantor.” Keesokan harinya ketika Mas Karyo datang menghadap Pak Tulus di kantornya, ia langsung disuruh kerja. Padahal belum membawa surat lamaran. Tentu saja Mas Karyo kaget, sampai terbengong-bengong. Hari ini mulai kerja? “Ya ampun, begitu mudahnya aku mendapat pekerjaan, menjadi orang kantoran,” desisnya. Tanpa sadar Mas Karyo menggigit bibir untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Seminggu kemudian Mas Karyo diminta untuk membuat Surat Lamaran oleh Kepala Bagian Kepegawaian. Sebulan kemudian langsung diangkat menjadi Capeg, Calon Pegawai Negeri, tanpa test, tanpa wawancara, tanpa uang sogokan, tanpa prosedur yang berbelit-belit. Mungkin

ilustrasi : Libris

J

Oleh: Abah Yoyok

nasib Mas Karyo memang lagi mujur. Dan ternyata, baik Pak Tulus maupun Bapak Kepala Bagian Kepegawaian, tidak minta imbalan apa-apa. Mas Karyo merasa malu sendiri dengan pikiran-pikiran negatif yang sempat terlintas di benaknya. Cerita tentang sogokmenyogok dalam penerimaan pegawai ternyata bohong belaka. Buktinya aku tanpa mengeluarkan uang sepeser pun bisa diterima menjadi pegawai negeri. Bahkan dengan begitu mudahnya. Ketika pada suatu kesempatan Mas Karyo menanyakan mengapa proses penerimaannya menjadi pegawai koq begitu mudah, Pak

Tulus hanya terseyum. “Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa bahwa kamu telah diberi kemudahan.” Mas Karyo manggutmanggut. Tapi di dalam hatinya ia tidak puas dengan jawaban tersebut. Pasti ada alasan lain yang mendasar mengapa ia bisa diterima jadi pegawai tanpa harus melalui prosedur yang bertele-tele dan berbelit-belit seperti apa yang pernah ia dengar. Mas Karyo ingin bertanya lagi tapi tak punya kalimat yang baik. Pak Tulus seperti dapat membaca perasaan Mas Karyo. Beliau berdiri, melangkah mendekati Mas Karyo, memegang pundaknya dan berkata. “Dulu, ketika ayahmu masih bekerja di sini beliau adalah seorang pegawai yang jujur, rajin dan loyal kepada pimpinan. Beliau orang yang ringan tangan. Menolong siapa saja tanpa pilih kasih. Banyak orang merasa kehilangan ketika beliau pensiun.” Ketika Pak Tulus kembali ke tempat duduknya, Mas Karyo sempat berpikir. Berat kalau begini urusannya. Berat! Cisauk, 10.06.09

No. 4 Desember

2017

• 41


WA RTA

QUO

http://clarkhouse.info/

42

•

No. 4 Desember

2017


VADIS SASTRA INDONESIA Oleh Weni Suryandari

Setiap major literature man akan melihat zamannya terjatuh dalam dekadensi. Pram melihat dunia sastra Indonesia di masanya mengalami dekadensi, tetapi dekadensi dalam sastra Indonesia hari ini sudah berada dalam titik paling mengerikan.

S

ehingga kita tak bisa lagi menyatakan adanya sastra, literature, namun litterature, sasvaratra. Litterature berakar dari kata litter (sampah) dan mendapat akhiran ature (system yang tersusun atas) sebagai satu dekonstruksi terhadap kata Inggris literature. Sama dan sebangun dengan sasvaratra (bahasa Sanskrit). Dua kata itu menggambarkan secara tepat dekadensi sastra kita hari ini, demikian dituturkan Nuruddin Asyhadie sebagai pembuka. Kerusakan sastra yang terjadi pada saat ini nampak dengan begitu marak dan tak terkontrolnya produk-produk tulisan yang kemudian disebut “sampah” (menurut Nuruddin) yang membanjiri dunia cyber dan media cetak dan penerbitan. Jika dicermati kembali perjalanan kegiatan kesusastraan pada zaman sebelum revolusi hingga akhir tahun 1980an, karya sastra diberi wadah oleh ruang-ruang yang sangat terbatas, misalnya jurnal atau koran dengan jumlah terbatas pula. Kegiatan literasi tersebut digerakkan oleh para sastrawan yang melewati masamasa itu dengan berkeringat dan “berdarah-darah”, berproses ketat untuk mencipta sebuah karya (bukan secara instan yang kemudian bebas diklaim sebagai puisi).

Saat ini, era media sosial cukup ampuh untuk menjadi wadah dalam menuliskan apa pun, berinteraksi dengan siapa pun, baik sastrawan maupun bukan sastrawan. Dengan semakin mudahnya akses cyber memfasilitasi pengguna melalui sistemnya di sosial media, maka para pengguna bisa dengan mudah menulis curahan hati atau apa pun yang kadangkadang disebut “puisi” dalam bentuk sebebas-bebasnya. Maka ribuan pengguna sosial media, tanpa melalui proses dan kurasi yang ketat, baik oleh diri sendiri (penulisnya) maupun oleh publik pembaca dunia maya segera mendapat tempat. Maraknya perkembangan munculnya koran nasional dan lokal yang juga memberi ruang bagi sastra, juga disikapi secara massal sebagai pintu masuk menuju pengakuan sebagai sastrawan atau orang yang menulis karya sastra. Akan tetapi persoalan muncul ketika karya-karya yang terbit di media cetak sangat tergantung kepada selera redaktur, bahkan dicermati kemudian bahwa pemegang pintu sastra di koran belum tentu memiliki pengetahuan mumpuni tentang teks sastra yang baik, demikian menurut Nurudin. Maka ribuan penulis-penulis baru seakan-akan kehilangan daya kritis dan kegigihan untuk

No. 4 Desember

2017

• 43


w ar t a

menggali secara intens tentang teknik dan teori menulis sastra. Belum lagi dalam hal menciptakan karakter puisinya dalam jajaran karya sastra di media cetak. Apakah dengan demikian karya sastra yang terbit di media cetak akan secara otomatis memenuhi standar estetika dan memiliki nilai kepatutan sebagai karya yang patut diperhitungkan dalam menoreh jejak pada kesusasteraan Indonesia di masa-masa selanjutnya? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Tergantung pada keseriusan redaktur untuk dengan tepat memilih naskah yang sesuai standar ilmu sastra.

Persoalan menjadi kian mengerikan ketika sastrawan/kritikus sastra yang “merasa” memiliki pengetahuan mumpuni dalam ilmu sastra menjadi begitu bersemangat secara membabi buta mengukuhkan dirinya menjadi seorang kritikus sastra.

www.finance-monthly.com

44

No. 4 Desember

2017

Melalui media digital, mereka dengan semena-mena merusak tatanan standar kesusastraan melalui tulisan-tulisan kritiknya dengan argumen yang salah, tidak logis serta sembarang kutip teori sastra dan tidak memiliki ketepatan penafsiran yang baik. Parahnya lagi mereka yang ingin segera diorbitkan dan dikukuhkan menjadi sastrawan secara buta menjadi pengikut-pengikutnya. Maka bukankah pengikutnya sama tersesatnya dengan yang diikutinya? Hal demikian tidak akan terjadi jika warga sastra secara bersama-sama ikut mengkritisi dan mencari tahu dari sumber aslinya atau mencari dan meneliti literature-literatur otentik yang tersedia baik melalui internet maupun buku cetak. Apakah ini berbahaya? Ya. Melalui Nurudin Asyhadie lewat diskusi ringan Group Milis Apresiasi Sastra dan Litera. co, di Balai Budaya Jakarta, 3 Desember 2017 (yang penulis hadiri) bertajuk Quo Vadis Sastra Indonesia mau tidak mau kita disadarkan pada keharusan untuk mendudukkan sastra pada rel

yang benar, dalam arti: secara detil para penulis sastra perlu menguasai teknik dan teori menulis sastra dengan baik dan benar. Sebab menurut Saut, sastra adalah ilmu tersendiri, teorinya bisa dipelajari, tekniknya bisa dilatih, bukan sekadar wahyu yang “ujug-ujug” datang dari langit sekadar mengikuti “rasa”. Padahal rasa muncul beyond the technique, jika secara teknis telah sadar dalam menulisnya, maka “rasa” akan muncul dan menjadi pertimbangan untuk menilai tulisannya, apakah sudah baik dan benar. Menurut penuturan kedua sastrawan tersebut, sastra Indonesia saat ini sedang menuju gerbang kehancuran manakala terjadi pembiaran pada kultus diri kritikus dadakan yang menciptakan argumen-argumen yang tidak logis dan sesat pikir dalam kritiknya diikuti secara berjamaah oleh publiK. Pembicaraan tentang sastra Indonesia bagi Saut Situmorang selalu tak pernah lepas dari sejarah kanonisasi sastra yang selalu berulang-ulang bentuknya dari periode ke periode. Politik


kanon(isasi) Sastra yang sangat digemari kaum Manikebuis Humanis Universal itu (mulai dari Balai Pustaka ke HB Jassin ke Goenawan Mohamad-TUKSalihara dan memuncak pada Skandal Denny JA) adalah ciri dari ideologi Politik adalah Panglima, demikian menurut Saut Situmorang dalam makalah pengantar diskusinya. Kanonisasi sastra disetir oleh kepentingan kultus individu dengan alat uang, lalu menyodorkan tawaran sejumlah uang kepada “penyair” untuk membuat puisi esai sebagai bentuk pengokohan JA sebagai satu dari 33 Sastrawan Paling Berpengaruh, hal mana menimbulkan kegaduhan dunia sastra dan serentak mendapat banyak sorotan, protes, demo dan kriminalisasi atas Saut Situmorang dan Iwan Soekri. Kejahatan dunia teks dibelokkan menjadi kasus kriminal akibat skandal yang memalukan sastra Indonesia, demikian menurut Saut. Maka kanonisasi berubah dari ideologi Politik adalah Panglima, ke bentuk Uang adalah Panglima. Alangkah mengerikan!

Mencermati dasar pemikiran kedua sastrawan ini di dalam forum tersebut, Nuruddin lebih mengulas tentang dunia sastra dalam perspektif teori sastra sebagai asal-muasal kekacauan yang diistilahkan sebagai dekadensi sastra. Sedangkan Saut Situmorang lebih mengulas pandangannya tentang dunia sastra secara makro, seperti kebijakan pemerintah dalam perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya, kanonisasi sastra tentang LEKRA yang dihancurkan oleh Manikebuis dan seterusnya hingga Denny JA di masa kini dengan klaim “puisi esai” yang terdengar mentereng (demikian kutipan makalah Saut). Pembodohan massal dalam sastra ini, baik secara politik maupun ilmu teori sastra menurut

Nuruddin harus dihentikan dengan kembali secara bersamasama mengikis habis gerakan menciptakan kultus diri melalui klaim-klaim kosong kebodohan yang dilakukan oleh “warga sastra” prabayar dan antek-anteknya (meminjam istilah Saut). Menurut Nuruddin, ia telah mencoba masuk pelan-pelan melalui pelatihan-pelatihan di sejumlah daerah, dan melalui diskusidiskusi kecil semacam ini sekadar membuat warga sastra sadar, alangkah mengerikannya jika pembodohan massal itu berlanjut ke generasi berikutnya. Sejalan dengan keinginan Nuruddin Asyhadie, Saut Situmorang dalam penutup makalahnya, mengajak warga sastra untuk membongkar mitos kosong dalam Sastra Indonesia biar sastra kita bersih dari dusta dan manipulasi politik kanon sastra!

Beberapa penyair paserta diskusi berphose. Dari kanan ke kiri: Sihar Ramses Simatupang, penulis, Mega Vristian Sambodo, Anya Rompas, Ita Siregar, Ilenk Rembulan, Iwan Sukri, Rukmi Wisnu Wardhani (duduk). Foto: Edy Pramduane.

No. 4 Desember

2017

• 45


LI N G KU N G A N

KEBERAGAMAN PEMAGAR DOMINASI ABSOLUT Oleh: Titik Kartitiani

T

adi malam di sela-sela packing, saya ngobrol dengan seseorang. Dia menyebut dirinya penulis idiot. Apa pun ia menyebut dirinya tak penting bagi saya. Itu hanya nama. Yang jelas saya menikmati tulisan di blognya, tapi tidak tulisan resminya, mungkin karena tidak terjangkau otak saya yang memang pemalas. Di blognya dia menuliskan makan apa saja, daging apa saja, mulai yang biasa sampai kelelawar dan tikus. Omnivora macam ini yang akan survive kalau bumi sekarat Ketika saya bercerita bucket list saya ingin hadir (bukan hanya sebagai turis) di Korowai, suku di Papua yang tinggal di pucuk pohon, ia cerita, ia pernah melakukannya, penelitian etnografi di sana. “Beberapa waktu lalu aku solo-camping, empat hari di Papua. Sendiri. Rasanya lega,” katanya. Batin saya ngakak, oke, saya sedang ngobrol dengan mamalia genus sinting. Ia cerita, suku Korowai beberapa meninggal karena malnutrisi ketika dipaksa pemerintah daerah untuk turun, hidup di bawah dan

46

No. 4 Desember

2017

‘tidak primitif ’. Dipaksa makan beras yang bukan makanannya. Culture shock.

makan buah kesemek di meja makan. Belum lagi farmasi dan kekayaan lainnya.

Tiba-tiba saya ingat Jared Diamond, profesor etnografi itu menulis panjang lebar soal suku tradisional. Jangankan kepunahan suku, hilangnya salah satu bahasa saja akan melenyapkan ilmu pengetahuan yang terangkum dalam bahasa itu. Nah, jika suku ini musnah, maka pengetahuan itu akan musnah bersama mereka. Dalam hal kemampuan untuk ‘membaca’ hutan Papua, merekalah profesornya.

Bayangkan ketika semua seragam, makanannya beras dan sayuranya kol bulet serta wortel tanpa daun, mudah sekali dikendalikan dalam kekuasaan absolut. Sempatkan nonton film Geostorm, seperti itu jika mamalia darat diberi kekuasaan mutlak mengatur Semesta.

Ya, kita yang tinggal di ‘peradababan’ seolah terpisah dari mereka. Hanya sadarkah ketika satu serangga penyerbuk musnah di hutan sana, efeknya akan berantai sampai kita tak bisa

Pointnya adalah keberagaman itu dibutuhkan untuk menghindari dominasi absolut. Saya pragmatis mikirnya, bukan lagi keberagaman menghadirkan keindahan seperti pelangi. Hal macam ini bisa didebat. Nah, jika keberagaman menghardirkan kehidupan yang berkelanjutan sampai sangkakala itu ditiup, apakah masih didebat? Maka hormati orang yang menyembah dan mengimami sawo kecik, atau ada yang menyembah batu bertuah, lengkap dengan jenis makanan dan cara hidup yang sesuai lingkungannya. Jika kita memaksa semua seiman, sangkakala itu akan ditiup lebih cepat sebab bisa jadi Tuhan bosan melihat ciptaan-Nya yang sok tahu.


A PA P U N AC A R A BU DAYA & S AT R A DI JAWA T I M U R KA M I DU K U NG PE L A K S A NA A N N YA

ALIFAH AC

Jl. Bendulmerisi Gang Besar Selatan 77 Surabaya, Jawa Timur Contact Person: Agung Pranoto 0858 0655 7220, Riduan 0819 0948 1126 No. 4 Desember

2017

• 47


DAE RAH

DAMPAK MODERNISASI EKONOMI PADA SISTEM SOSIAL DI ACEH (2) Nazamuddin, Agus Sabti, Syamsuddin Mahmud Filosofi Adat Bak Po Teumeuruhom, Hukum Bak Syiah Kuala merupakan pondasi utama pandangan hidup, nilai-nilai pembentuk, perilaku dan tradisi, dalam masyarakat Aceh. Berdasarkan filosofi ini, agama dan adat samasama berlaku efektif zat ngon sifeuet atau intisari dengan atribut khusus. Tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur dari hukum Islam (syariat) dan adat bersatu dalam satu tatanan Islam.

D

engan demikian, adat tidak menentang hukum agama Islam. Karena konsepsi nilai (misalnya tindakan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan) dalam masyarakat Aceh selalu terkait dengan baik adat maupun hukum Islam. Sistem nilai yang berhubungan dengan adat membentuk dan menentukan pola-pola hubungan sosial dalam masyarakat Aceh untuk bersinergi dengan nilai-nilai yang ditegakkan oleh Islam. Karena pengaruh nilainilai Islam yang kuat di masyarakat Aceh, daerah ini diberi julukan Serambi Mekah. TRANSFORMASI SISTEM SOSIAL Modernisasi ekonomi di masyarakat Aceh merupakan konsekuensi kekuatan intervensi pemerintah dalam perkembangan ekonomi. Pengaruh globalisasi juga turut berkontribusi pada perubahan nilai-nilai, perilaku, dan institusi. Proses modernisasi ekonomi di Aceh mulai sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap II di tahun 1970-an. Dalam rencana ini, modernisasi mencakup bidang pertanian secara

48

No. 4 Desember

2017

umum, dan tanaman pangan secara khusus. Tanaman pangan mencapai puncaknya pada saat “Revolusi Hijau”, yang secara nasional dikenal sebagai Bimbingan Massa (BIMAS). Selain itu, proses modernisasi juga mencakup sektor-sektor industri, perdagangan, dan jasa. Indikasiindikasi ini dapat dilihat pada pembangunan industri-industri skala besar (multinasional) di Aceh—seperti PT. Arun, Exxon Mobil, pabrik-pabrik pupuk PIM dan AAF di distrik Aceh Utara, dan ASAMERA (yang aktif dalam bisnis pengeboran minyak)—juga kayu (misalnya kayu lapis) dan pabrikpabrik pengolah minyak kopra di Aceh Timur. Di bidang perdagangan, modernisasi ekonomi ditandai dengan membuka pelabuhan bebas Sabang di tahun 1978, yang memberikan sumbangan besar pada kemajuan ekonomi di Aceh (walaupun kemudian ditutup, dan baru dibuka kembali di era kepresidenan Megawati di masa reformasi). Di industri jasa, modernisasi ditunjukkan dengan pembangunan sistem transportasi dan layanan listrik dan telekomunikasi yang pesat, juga pembangunan layanan pendidikan


PERTANIAN DAN EKONOMI Modernisasi sektor pertanian secara umum, dan tanaman pangan pada khususnya, awalnya diperkenalkan melalui intervensi pemerintah pusat yang semakin meningkat selama era Orde Baru, yang menekankan pertumbuhan ekonomi dengan memenuhi target produksi. Selama masa ini, sejumlah inovasi dan teknologi baru diperkenalkan kepada masyarakat Aceh. Penerapan metode penanaman modern selain metode tradisional juga mempengaruhi perubahan sosial di masyarakat Aceh. Beragam unsur sistem sosial yang sudah ada bertransformasi sebagai akibat modernisasi ekonomi di bidang

pertanian. Pertama, terjadi perubahan orientasi, dari pertanian untuk penghidupan semata, di mana produksi makanan untuk konsumsi pribadi adalah tujuan utamanya, menjadi prospek komersil (pasar). 10 Petani lokal dan produsen beralih untuk memenuhi kebutuhan sistem ekonomi global, memilih komoditas yang dibutuhkan secara internasional, seperti minyak kelapa, kakao dan kopi, juga barangbarang non-pertanian. Bergesernya produksi dari pertanian orientasi penghidupan ke pertanian berorientasi pasar, mempengaruhi keputusan atas apa yang harus ditanam, dan kapan. Harga menjadi faktor penentu. Sebagai hasilnya, produksi pertanian bergerak dari intensif-tenaga kerja, mempekerjakan hanya sedikit orang atau tanpa teknologi, menjadi agrobisnis yang sangat

termekanisasi. Di masa lalu, petani membajak tanah dengan tenaga manusia atau hewan, menanam bibit tradisional. Sekarang, orang-orang di Aceh terbiasa menggunakan traktor, pupuk, dan bibit unggul. Alih-alih mengupas gabah dengan cheumuelo, kini mesin yang digunakan; juga, penggunaan jeungki untuk menggiling beras menjadi tepung kini telah digantikan dengan mesin penggiling beras. Hal ini diiringi dengan pergeseran fokus dari tanaman pangan ke hortikultura (misalnya durian Bangkok) dan perkebunan tanaman komersial seperti kelapa dan kakao. Pengaruh pergeseran ini, dari pertanian orientasi penghidupan ke pertanian berorientasi pasar, termasuk penurunan drastis jumlah

pakaiantradisionalindo.blogspot.co.id

di seluruh wilayah Aceh. Aspekaspek modernisasi terebut telah mempengaruhi perubahan pada masyarakat Aceh di banyak cara.

No. 4 Desember

2017

• 49


dae rah

sawah milik keluarga di desadesa di seluruh Aceh. Produksi dari panen padi tunggal yang sebelumnya merupakan persediaan makanan keluarga sampai masa panen berikutnya sekarang hanya dilakukan berdasarkan jumlah, dan lebih sering lagi, dijual langsung ke distributor lokal.

maa.acehprov.go.id

Kedua, tuntutan modernisasi juga berarti kepentingan lembaga adat tradisional memberi jalan bagi lembaga nasional. Beberapa lembaga tradisional Aceh yang pernah berfungsi berkaitan dengan administrasi desa yaitu kejruenblang, yang menangani pertanian padi basah, petua seuneubok untuk masalah perladangan (berkebun), panglima laot untuk masalah perdagangan ikan (kelautan), pawing uteun untuk masalah kehutanan, dan mugee atau tokĂŠ untuk urusan keuangan dan pemasaran. Setelah modernisasi ekonomi pertanian, lembaga-lembaga adat tersebut terpinggirkan, menjadi tidak berfungsi, dan akhirnya digantikandengan

50

•

No. 4 Desember

2017

lembaga-lembaga yang diinisiasi oleh negara, misalnya Kelompok Tani Pemakai Air (P3A), Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Asosiasi Nelayan Karang, Koperasi Tani (KOPERTA), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

dengan menempatkan efisiensi yang membuat individualisme menjadi lebih tampak. Dengan demikian, menghilangnya budaya tradisional Aceh mempunyai dampak mengasingkan interaksi dan hubungan sosial.

Ketiga, perubahan struktural pada pola-pola hubungan sosial telah terjadi di lingkaran tradisi budaya. Contohnya, secara tradisional, sajian ritual blang dan peusijeuk biasanya dilakukan sebelum dimulainya penanaman padi basah (sawah) dan sebelum memulai proyek-proyek bersama. Pelaksanaan ritual tersebut mempunyai pengaruh positif karena mereka berfungsi memperkuat interaksi sosial di antara anggota masyarakat dengan mendorong hubungan saling membantu dan saling mendukung, bekerja sama, dan hubungan timbal balik. Aspekaspek budaya tradisional tersebut perlahan menghilang di bawah tekanan modernisasi pertanian. Interaksi dan ikatan sosial digantikan oleh prinsip-prinsip monetisasi dan komersialisasi,

Keempat, prioritas yang diberikan pada kebutuhan komunal dan bersama telah bergeser, dan kini menekankan pada kebutuhan individu. Konsep pangulee’ hareukat meugoe (pertanian merupakan sumber utama kehidupan) tidak lagi berlaku, karena sumber-sumber pencaharian kini semakin beragam dan terpolarisasi. Kepercayaan agama-tradisional bahwa semua memiliki kekuatan tersembunyi (kosmik), apakah gunung, lautan, atau sawah, telah berubah menjadi kepercayaan religi yang lebih rasional. Perilaku penghidupan dan ekonomi pra-kapitalis saling ketergantungan telah memberikan jalan pada komersialisme dan ketergantungan atas sistem ekonomi modern. Hal ini telah menyebabkan penurunan


tajam pada nilai tradisi lama juga nilai harmoni dan tanggung jawab kolektif. Kelima, terjadi transformasi pada proses pengambilan keputusan oleh pemilik lahan dan pada struktur masyarakat, dari sistem yang berdasarkan kendali kekeluargaan dan pemerintah menjadi kendali oleh pasar. Dominasi pemerintah atas perkembangan pertanian perlahan-lahan digantikan oleh kekuatan pasar. Dasar tradisional kekuasaan, seperti kepemilikan lahan, bergeser pada bentukbentuk baru kekayaan, di samping pertanian, dan dengan demikian status sosial tidak lagi bergantung pada kepemilikan sejumlah besar lahan. DI LUAR RANAH PERTANIAN Di luar bidang pertanian, pengenalan industri berskala besar ke wilayah tersebut mengawali modernisasi ekonomi di Aceh selama tahun-tahun pertama Orba di bawah pemerintahan Soeharto. Modernisasi industri memiliki dua dampak utama. Pertama, terjadi transformasi pada metode produksi dan kebutuhan masyarakat. Produksi kini berdasarkan pasar dan kompetisi. Pertanian tidak lagi menjadi upaya utama mendapatkan penghasilan. Pilihan mata pencaharian bagi masyarakat Aceh telah sangat berkembang ke sektorsektor selain pertanian, seperti usaha kecil, industri, dan jasa. Ada yang menjadi pegawai negeri, pekerja pabrik, pedagang, dan

banyak lagi. Urbanisasi mengiringi diversifikasi ini; orang-orang tidak hanya berpindah dari desa-desa mereka ke kota, desa juga telah berkembang menjadi kota (misalnya wilayah Banda Aceh, atau kota Banda Aceh). Pada gilirannya, hal ini berarti mengganti kebutuhan sosial yang membutuhkan lembaga modern seperti bank dan perusahaan asuransi. PENDIDIKAN Pengaruh modernisasi ekonomi pada pendidikan dapat dilihat dalam pembangunan infrastruktur dan bahan-bahan untuk pendidikan umum, seperti pendirian sekolahsekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas, sekolah kejuruan, dan sekolah-sekolah tinggi. Ini berarti gerak maju dari sistem pendidikan sosio-religi ke pendidikan yang berfokus pada masa depan ekonomi, dengan demikian berpengaruh pada peran sekolah-sekolah agama seperti pesantren (sekolah Islam tradisional). Ragam pendidikan tradisional dalam pesantren, yang awalnya terjalin di masyarakat Aceh secara alami, sekarang mulai tergantikan oleh sistem pendidikan modern. Penurunan dalam peran dominan yang dimainkan oleh sistem pendidikan agama tradisional dan pergeseran terkait dalam institusi pendidikan modern telah mempengaruhi nilai-nilai, perilaku, dan tradisi di masyarakat Aceh. Perilaku berorientasi sosial yang

diajarkan di pesantren berubah, dan tindakan-tindakan sangat diinformasikan oleh ekonomi modern dan pendidikan dasar. Saat ini, pendidikan modern pada umumnya dianggap lebih bernilai ketimbang pendidikan agama. Orang tua yang kaya enggan mengirim anak-anak mereka ke pesantren karena pendidikan dilihat sebagai sarana untuk meningkatkan kesempatan di masa depan seseorang dalam pasar pekerjaan dan sebagai investasi ekonomi di masa depan. Pada saat yang sama, kebanyakan mereka yang mendaftarkan anak-anaknya ke pesantren biasanya orang miskin dan terbelakang. Dengan demikian, ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin terkait siapa yang mempunyai akses ke, dan jenis pendidikan, sangat besar sehingga nilai-nilai sosial yang mendasari perilaku di masyarakat Aceh menjadi sangat meluas. Saat ini, hubungan guru-murid tidak sedekat dahulu atau menjadi terbatas. Secara tradisional, instruktur (guru) dianggap sebagai rujukan tunggal dan sumber pengetahuan bagi murid-murid mereka. Rujukan dan sumber daya kini lebih beragam. Perubahan pada institusi pendidikan diiringi oleh transformasi pada konsep dan pandangan tertahan oleh masyarakat, yang berakibat pada polarisasi konseptual baik dalam ranah pengetahuan agama maupun sekuler.

No. 4 Desember

2017

• 51


• budaya • sains • religi

EDISI

05JAN 2018

52

No. 4 Desember

2017


news.liputan6.com

A SAL USI L

KORUPSI: ETIKA, LOGIKA, ESTETIKA Oleh: Erry Amanda PENGANTAR: Korupsi di mana pun, kapan pun, memang tidak etik. Tetapi karena perkembangan zaman yang telah melompati dimensi lama, maka sekiranya korupsi disahkan sebagai suatu profesi, selaiknya ada ‘kode etik perkorupsian’. Setuju? Gak apa-apa. Logika toh bisa dipelintir. Dan pemelintiran logika hukum menjadi viral dalam penegakan hukum. Maka korupsi pun bisa menjadi kesenian yang penuh estetika. Begitukah? Ini bincang koplak. Asal usil. Dan, kekoplakan itu berlanjut dalam diskusi maya ketika terposting pamflet di wall fb 20 November 2017 (Erry Amanda) dan mendapatkan tanggapan yang kami sajikan di bawah ini:

INGIN BEBAS DEMO? BUBARKAN KPK LEGALKAN KORUPSI SELESAI

Erry Amanda yang setuju KPK dibubarkan siap-siap jadi budak di negeri sendiri. Prabu Ganef Setiawan Berangkat dari keinginan CARI MUDAHNYA yang makin membudaya dan makin bisa bergeser jadi Budaya. Erry Amanda menurut saya ini bukan masalah MUDAH atau PRAKTIS mas Prabu Ganef ISetiawan. Ini adalah gelombang pasang POSTREALITY yang mendekonstruksi sejumlah MORAL SOASIAL

No. 4 Desember

2017

• 53


as al u si l

yang melahirkan THE ORPHAN SOCIETY – masing-masing pribadi merasa mampu dan berhak melakukan apa saja tanpa harus tunduk ATURAN NORMATIF. Martha Sinaga Negeri koruptor yang haus darah. Lamto Widodo Ya .... ini baru salah satu ranting saja dari pohon Orphanic Society, sebuah episode dekonstruksi sosial yang membadai, dan melibas hampir setiap ruang-ruang perhelatan. Miris. Sugeng enjang eyang. Erry Amanda Tujuh tahun silam - 2010 di Hotel Kemang saya salah tempat membawakan (semacam terma saja) --AGAINTS THE ORPHANIC SOCIETY-- yang menurut saya kondisi itu merupakan perjalanan BOROK MORAL di seluruh jagad manusia --bukan hanya di Barat saja-ternyata sinyal keras itu malah nampak menjadi SANGAT ASING --kesan yang saya tangkapsaat itu-- seharusnya tema yang harus saya bawakan adalah soal SORGA DAN NERAKA saja -- saat itu saya benar-benar merasa melakukan KESALAHAN BESAR nanda Lamto Widodo, bahwa RUANG BINCANG saya hanyalah RUANG BINCANG TRITISAN saja. Lamto Widodo Wah masih sangat diingat, seperti baru kemarin saja nggih. Kalau diingat kelihatanya waktu itu beliau-beliau menganggap pengajian entertaint... lha kok pengajian tritisan kelas Begawan Ismaya. Jadinya goro-goro tenan. Riri Tirtonegoro Vadim Vadim Saya kok jadi bingung, negara lain makin maju dan makin teratur segi perundangan dan peraturan di mana celah untuk korupsi dan pelanggaran peraturan dan UU sangat sempit. Negara kita bertambah tua kok bertambah uncivilized, Prof. Semua negara maju mempunyai Badan Pencegah Korupsi. Negara ini sangat besar, segi perundangan HARUS betul-betul disiasati dengan teliti, jangan sampai tumpang tindih. Sudah waktunya Persatuan Ahli Undang-Undang bersama

54

No. 4 Desember

2017

kementerian yang bersangkutan mengkaji kembali sistim perundangan di negara ini. Berlakunya Street Law adalah tanda-tanda kemunculan Orphan Society. Balik lagi ke jaman barbariab dong Prof. Ini pun bukan dijadikan bahan kajian, tapi malah seperti diagungkan. This nation can be ended to the drain, Prof. Tyang DhoLim BANGGALAH JADI NEGARA KORUP... atau MALU MENGAKUI KENYATAAN... salam wedangan mbah. Sugiono Mpp Selayaknya realitas yang ada di perut bangsa besar ini menjadi ulah pikir- pencerahan bagi sastrawan-budayawan, sebab mengait masalah kultur dan spiritual bangsa dalam menyikapi perjalanan zaman. Erry Amanda Non DR. Riri Tirtonegoro Vadim Vadimi , sekian tahun silam saya sempat numpang lewat di suatu negeri yang dikenal (nyaris) 100% tidak kenal agama, tidak kenal Tuhan. Sambil lewat, diam-diam saya bercermin di kaca kehidupan yang selalu saya bawa ke mana saja. Diam-diam juga saya bertanya pada diri sendiri: “Benarkan saya pantas disebut sebagai manusia berwajah santun sosial sesuai dengan wajah berkeyakinan, berTUHAN di antara bangsa yang dianggap berseteru dengan Tuhan?” Saya malu menjawab pertanyaan saya sendiri. Bayangan saya berlari menatap wajah Jaques Derrida alm (1999) –-soal POSTREALITY kemudian ingat bincang badai HYPEREALIT-– dengan inti (indikator) deteriteority POSTMETAPHYCIC yang intinya bahwa manusia


adalah makhluk sosial yang mampu mengatur sejumlah aturan tanpa harus tunduk pada aturan KELANGITAN. Dan selama beberapa waktu saat saya jadi gelandangan di negeri bercap anti Tuhan, saya justru bingung mengenai teori itu. Juntrungannya belum saya temukan. Etika moral sosial mereka masih gelap sungguh. Benar, di beberapa kota besar di mana saya sempat jadi gelandangan di sana melihat bahwa penyakit SOCIOPATH memang mulai menggejela. Gangguan kejiwaan semacam DELUSIA mulai jadi wabah. Terjun dari apartemen serta bunuh diri beramairamai, mulai membadai. Tekanan ekonomi dan terjerak katakberdayaan, seolah waktu tak memberikan kesempatan bernafas dari besaran kompetisi untuk hidup --UNTUK HIDUP, bukan untuk mengindikasi MEWAH—benar-benar terlalu sesak. Negeri ini? Negeri ini di negara-negara maju disebut sebagai NEGERI SORGA. Nah, saya tak ingin meneruskan komentar saya ini non. Semua pun, siapa saja bisa menganalisa, menerjemahkan kondisi NEGERI SORGA DUNIA ini. Salam jawaban komen juga titip untuk nanda Lamto Widodo serta dhimas Sugiono Mpp.

Kang Zay Di negeri tanpa agama, kok ada Surau ya Prof? Eko Windarto Bukan DELUSIA JIWA SAJA TAPI DELUSIA MORAL semakin menjadi dan meningkat. Erry Amanda Delusia itu sendiri sudah TAK NGERTI SOAL MORAL mas Eko Windarto, salam. Eko Windarto Juga tak mengenal Tuhan? Atau memang sudah ditutup hatinya? Erry Amanda Delusia itu nyaris seperti orang kesurupan mas Eko Windarto, maka bisa disebut juga TAK MENGENAL DIRINYA SENDIRI apa lagi Tuhan, babar pisan ya ga ngertilah. Eko Windarto Hahahaha betul sekali telah kerasukan setan. Seperti pemain jaran kepang Malangan ya, prof. Erry Amanda. Desi Oktoriana Singkatan KPK jaman now... Komisi Pelestarian Korupsi? Weleh... Weleh... Sugiono Mpp Kalau KPK dibubarkan apa kata dunia? Kegunaan utama lembaga antirasuah untuk mencitrakan good and cleant government agar masuk investor. Kiye nggak ngerti tataekonomi global kangmas Erry Amanda, dasar cah angon ndesid, hehehe... Erry Amanda indikasi bahkan SUARA KUAT KPK harus dibubarkan kan muncul dari gedung di senayan dhimas Sugiono Mpp, KEKUASAAN DI TANGAN RAKYAT, rakyat Indonesia kan cuma di DPR.

x.detik.com

Sugiono Mpp Ya, kita nonton panggung pertunjukan. Kan Senayan yang melahirkan KPK, komisi pencitraan kebersihan... Hehe. Sejatinya kita ikut berandil terhadap kecarutmarutan ini karena minimnya kepedulian sejak awal. In shaa Allah lewat NEOKULTUR menghilirkan kepedulian pada tembang megatruh Pertiwi

No. 4 Desember

2017

• 55


IN SIGHT

BALADA ADA DAN TIADA Oleh: Sugiono MP

mengenai definisi kata ‘ada’. Ketika menulis puisi itu saya benar-benar gamang merumuskan secara jelas dan tepat tentang kata tersebut. Di KBBI tertulis: 1 hadir; telad sedia; 2 mempunyai; 3 benar; sungguh. Saya kira itu sinonim tapi bukan definisi. Setiap hari dalam percakapan, tulisan, atau pun lamunan, kata ‘ada’ itu sering kita gunakan dan kita faham benar apa arti maupun maknanya. Tetapi setelah kita coba meluangkan pikiran sejenak, mencari untuk menemukan definisinya, tidaklah segampang mengucapkan kata ‘ada’ itu sendiri. Hal tersebut terungkap pada berbagai tanggapan yang menandai puisi posting-an beranda face book di atas. Inilah:

ADA tolong katakan padaku apa sejatinya yang disebut ‘ada’ itu jangan kau balikkan sebab yang tiada ada jua keberadaannya

Dewi Hummairah Hadir nyimak aja untuk kali ini. Sugiono Mpp Puisi itu bersambung ke puisi ADA (2), lalu pamflet (lihat berikutnya-pen) berlanjut pada puisi DIMENSI.

tolong katakan padaku sebab aku gamang merumuskannya

Dewi Hummairah Dimensi susah dijabarkan aku belum pernah ke sana.

tolong

Sugiono Mpp Dimensi = matra = ukuran = parameter.

Bogor, 141117 Puisi sederhana dengan bahasa lugas tanpa ungkapan, simbolisasi, metaforma, itu jujur dimaksud untuk meminta masukkan publik

56

No. 4 Desember

2017

Dewi Hummairah Kupikir dimensi itu antara ruang dan waktu. Agar mendapat tanggapan simpel dan jelas seperti yang saya inginkan,

maka tersusulkan puisi berikutnya di bawah ini, dengan judul sama tetapi tertanda angka dua dalam kurung: ADA (2) ada yang tiada simaklah lambang bilangan nol simbol kekosongan ketiadaan yang mutlak Ada Bogor, 141117 KOMENTAR Defri Andi Pitopang Keyakinan. DIA adalah kosong. Jika DIA tak memperkenalkan diriNya siapa namaNya, maka tak ada daya akal yang mampu menyebutkan siapa nama DIA itu. Tuhan telah mengenalkan nama resmiNya dengan FirmanNya dalam satu-satunya kitab suci yang terjaga dan terpelihara keasliannya dan kesuciannya sepanjang masa. “Yang mengingkari nama-namaNya. Mereka akan diberi balasan menurut apa yang mereka kerjakan” (AlQur’an Surat Al-A’raaf ayat 180). DIA mempunyai 99 nama-nama yang baik (Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 22,23 dan 24).


B

Tidak ada petunjuk yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat, selain petunjuk dalam Kitabullah yang diajarkan oleh RasulNya sesuai tahapan waktu. Ia adalah petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Al-Qur’an surat Al-Qiyaamah ayat 17 dan 18. “bahwa DIA ada” DIA benar-benar ADA DIA ada sebelum kata ada itu ada DIA telah ada dan akan tetap ada, sebuah kata ada tidak ada lagi Adanya tidak memerlukan tempat, tetapi DIA ada di sembarang tempat Dipanggil tak ada jawabannya Dicium tak ada baunya Disentuh tak ada zatnya Namun DIA benar-benar ada DIA amat baik, karena memang DIA yang paling baik DIA sumber segala kebaikan dan segala keindahan, Wassalam. Sugiono Mpp Terlalu jauh. Pertanyaan bermula dari puisi sebelumnya: tolong katakan padaku apa rumusan/definisi “ada” itu. Mestinya jawab: Ada ialah... Ternyata berpanjang-panjang belum menjawab. Salam. Dewi Hummairah Nol adalah kosong yaitu jawabku waktu luang gunakan utk berdzikir. Dia cukup dilihat dalam sifat dua puluh. Agaknya, permintaan tolong yang sederhana dan lugas dalam kedua puisi itu mendapatkan jawab yang

membias ke masalah keimanan dan dari sudut pandang religi dari publik sastra maya face booker. Maka perlu saya pertegas dengan mem-posting pamflet, sederhana, dengan susunan kata yang cukup jelas pada kalmimat pendek sebagai berikut: Tolong katakan definisi dari ADA. Haturnuhun. KOMENTAR Ikha Djingga Ada bisa tiada Ada bisa dirasa, diraba, terlihat namun tak terlihat, nampak namun bisa tak nampak. Ada bisa berbentuk, kasat mata, bisa berupa. Ada bisa berbentuk materi, ilmu, rasa/perasaan. Materi bisa benda, uang, rumah, wujud fisik dsb. Ilmu bisa pengetahuan, budi pekerti, norma, dsb. Rasa/perasaan bisa cinta, kasih sayang, kerinduan, kepedihan, kenangan, kebersamaan, dsb. Itu menurut pemahaman saya mas Gik, santun malam. Kek Atek http://tekro.blogspot. co.id/.../dari-hakekat-menuju... Silakan dikunjungi tentang ada di blog tsb. Itu blog saya yang sudah lama gak apdet, hehe. DARI HAKEKAT MENUJU NIKMAT Telaah singkat atas peran serta Aristoteles dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan Abstrak Telah ditelaah secara singkat perkembangan pe...

Sugiono Mpp Setelah saya baca, belum terjawab, apa definisi “ada” itu. Setidaknya pernyataan Immanuel Kant layak dicatat: Manusia tak pernah mampu menangkap fenomena substansial yang hakiki. Mungkin (?) “ada” termasuk dari pernyataan tersebut, dan dari situlah kita beranjak untuk menjawab berbagai pertanyaan: adakah rasa kebangsaan, kemanusiaan, keadilan, keukuwahan, pemberantasan korupsi di dunia ini? Kalau ada indikatornya apa? Oleh karena itu kejelastegasan definisi “ada” itu harus ada. Salam. Kek Atek Untuk memahami “ada” bisa dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui : 1. Keimanan 2. Ilmu pengetahuan 3. Filsafat Sampai saat ini, setahu saya hampir belum ada kesepatan universal tentang definisi ada. Tergantung pada aplikasi masing masing kebutuhan. Ada kebutuhan pragtis pragmatis, ada juga iman agamis maupun filisofis. Ada = Hadir. Tidak ada = Fana. Ghoib = Belum ada. Hm... Sugiono Mpp Saya setuju Kek Atek, justru itu perlu kita buat buku tentang itu. Berkenan joint? Sejak Protagoras (490-420 SM) sampai Descartes yang beraliran modern (1596--1650) tidak/belum mendifinisikannya. Padahal untuk mengeja dan memahami ke’ada’an sangat erat kaitannya dengan pengertian (definitif) kata ‘ada’ itu sendiri. Saya sedang menyiapkan

No. 4 Desember

2017

• 57


IN SIGHT

Ada bisa diraba tapi tak terasa. Ada bisa dilihat tapi tak dapat dipegang. Ada tercium tapi tak nampak dan tak teraba. Karena ADA hanya dapat dirasa tempatnya di hati. ADA. Sugiono Mpp Itu bagian deskriptif sifat “ada”, tapi tidak mendefinisikan mahluk “ada” itu sendiri. Chie Setiawati Masih kurang ADA sepertinya saya harus semedi dulu opa. Mungkin si ADA ini adalah sesuatu yg bisa kita ajak bicara meski tak merespon. Selalu setia mendengar meski tak nampak. Sesuatu yang akan menepuk pundak ketika kita lupa, atau yang cepat meraih ketika kita terjatuh. Si ADA yang setia. buku tentang ini. Mohon doa dan support, syukur kalau berkenan joint. Suwun dan salam. YH Rōka Menurut saya sih, ada itu kehadiran yang diakui seseorang, bisa dilihat dengan kasat mata saja atau pun bisa juga dirasakan mata batin (pengakuan keberadaan dengan jasmani atau pun rohani). Ashint Mewujud. Sugiono Mpp Mewujud=menjadi nyata. Apa si nyata itu? Yang terukur. Padahal ada juga yang tidak/belum terukur. Roh misalnya. Ada naluri kesenian pada diri Ashint. Apa nalurinya mewujud? Yang mewujud kreasinya, bukan nalurinya. Salam. Chie Setiawati Ada belum tentu terlihat tapi bisa dirasa.

58

No. 4 Desember

2017

Sugiono Mpp Emmanuel Kant bilang, manusia tak pernah mampu menangkap fenomena substansial dari yang hakiki. Boleh jadi tiga huruf itu termasuk bagian darinya. Chie Setiawati Ada dan keadaan... Mulai paham opa. Apa “ada” bisa juga diartikan “fana” opa? “Rasa” itu sifatnya gak abadi. Sugiono Mpp Ini menunjukkan, kita suka berucap (juga bertulis, bersastra) tanpa berusaha memahami ucap/tulis kita. Bagaimana publik seperti ini bisa memakmurkan keadaan bumi, kalau tak pernah mampu memahami kata “ada” itu sendiri? Dan, banyak yang ada sejatinya tiada, atau ada yang sudah tiada tapi tetap mengada... Salam pendewasaan.

Maya Azeezah Mungkin ada datang dari ketiadaan, Maha Ada menghadirkan yang Dia kehendaki, maka hadirlah saya di sini dan mas Sugiono Mpp di sana, heheh salam. Sugiono Mpp Artinya, ada dari ketiadaan. Mungkin. Bisa juga dari ada ke tiada. Tapi apa itu sebenarnya yang disebut “ada”?. Jadi bukan dari mana ke mana. Tapi ADA itu apa sih? Salam manis. Eki Metaforma Sugiono Mpp onoono wae... opo opo ono Sugiono Mpp Ya, mbak Maya Azeezah benar, sinonim ada=hadir. Orang yang gak hadir di satu tempat bukan berarti gak ada, karena ia ada di tempat lain. Artinya gak hadir=ada. Mas Eki Metaforma, kuis lugas sederhana ini perlu, penting, dan utama untuk mencirikan suatu keadaan, baik wilayah bangsa maupun umat zaman. Bagaimana mengindikasi ke”ada”an dunia baru (pembaruan) kalau gak tahu definisi “ada” itu? Erbee Pramono Ada adalah persepsi seseorang atas kedirian sesuatu dan mewujud dalam pengakuan terhadap diri sesuatu tersebut. Sugiono Mpp Kalau ada=persepsi seseorang, yang satu sama lain beda, bahkan bisa bertolak belakang, maka bisa berarti ada=tiada. Sejatinya persepsi itu ada di luar realitas wujudan yang sebenarnya ada.


POTRET

FENOMENA ANTAGONIS

AKHIR JAMAN Banyak rumah semakin besar, tapi keluarganya semakin kecil. Gelar semakin tinggi, akal sehat semakin rendah Pengobatan semakin canggih, kesehatan semakin buruk. Travelling keliling dunia, tapi tidak kenal dengan tetangga sendiri. Penghasilan semakin meningkat, ketenteraman jiwa semakin berkurang. Kualitas Ilmu semakin tinggi, kualitas emosi semakin rendah. Jumlah Manusia semakin banyak, rasa kemanusiaan semakin menipis. Pengetahuan semakin bagus, kearifan semakin berkurang. Perselingkuhan semakin marak, kesetiaan semakin punah. Semakin banyak teman di dunia maya, tapi tidak punya sahabat yang sejati. Minuman semakin banyak jenisnya, air bersih semakin berkurang jumlahnya. Pakai jam tangan mahal, tapi tak pernah tepat waktu. Ilmu semakin tersebar, adab dan akhlak semakin lenyap Belajar semakin mudah, guru semakin tidak dihargai Teknologi Informasi semakin canggih, fitnah dan aib semakin tersebar. Orang yang rendah ilmu banyak bicara, orang yang tinggi ilmu banyak terdiam. Tontonan semakin banyak, tuntunan semakin berkurang. Akhirnya tontonan jadi tuntunan Kayaknya sekarang sudah marak terjadi, semoga kita termasuk orang yang tetap eling lan waspada.

Fenomena Antagonis Akhir Jaman _ 59

No. 4 Desember

2017

Vemale.com

(Gus Mus Rembang)

• 59


CE RPE N

Oleh: Sugiono MP

A

da suara tangis pada malam-malam menjelang tutup tahun. Tangis seorang perempuan dalam kamar. Di atas ranjang memeluk guling, sesenggukan. Sesekali terdengar getar istigfar. Pilu bergumul sendu. Haru menebar ruangan. Dalam keremangan. Tangis di malam buta itu adalah juga keluh yang membuat pendengarnya luluh dan terenyuh. Keterenyuhan yang menyembilu pada hati seorang lelaki yang tidur di sampingnya. Lelaki itu adalah aku. Dan, perempuan dalam gelimang air mata itu adalah istriku. ”Kenapa?” ingin kutanyakan penyebab tangis yang datang tiba-tiba pada kelarutan malam seperti ini, tapi niat itu kuurungkan. Sungguh, tak ada nyali secuil pun dalam diriku untuk mengusik keasyikannya bercumbu dengan duka-nestapa yang entah karena apa dan entah bagaimana. Oh, oh, tidak. Tak. Penyangkalan tentang penyebab rasa derita yang dihembuskan dalam tangis dan tetesan air mata wanita itu, adalah sebuah pengingkaran atas kenyataan yang begitu saja tercuat dalam pernyataan pikiranku. Sesungguhnya mata hatiku terjaga dan bisa menyaksikan. Setidaknya kurasakan demikian adanya. Bahwa keluh yang melenguh pada jiwa wanita istriku ini lantaran aniaya yang tak tersengaja olehku jua. Itulah

60

No. 4 Desember

2017

Malam

sebabnya mengapa aku tak memiliki keberanian untuk bertanya kenapa ia tumpahkan rasa duka pada malam menjelang tahun baru di atas ranjang berpeluk guling memunggungi aku yang terbujur di sebelahnya. Oh, sekali lagi maaf atas pernyataan ‘aniaya yang tak tersengaja’. Kini kusangsikan hal itu. Agak kuragukan. Setengah gamang. Ya, benar, aku sangsi akan hal itu. Ketidaksengajaan atau sebaliknyakah? Entahlah, sulit memang menyampaikan pernyataan tanpa kebenaran faktual tentang apa dan bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Sesungguhnya? Sebenarnya. Sejujurnya. Sejatinya. Senyatanya.-- yang kasat mata dan kasat batin. Akan tetapi, hal itu sudah tidak terlalu penting lagi. Kesungguhan, kebenaran, kejujuran, kenyataan, ataukah sebaliknya? Aniaya yang tersengaja atau taktersengaja bukanlah hal utama. Sebab, di antara keduanya hanya ada ari tipis yang lentur dan


Menjelang Tutup Tahun senantiasa mempermudah pembauran. Demikianlah adanya, setelah lelaki sepertiku dan perempuan dalam tangis di sebelahku itu, melakukan akad perkawinan selama tiga puluh tiga kali malam tahun baru yang telah terlewati — terhitung malam ini. Ya, sudah lebih dari tiga dasa warsa kami hidup bersama. Dalam suka, dalam duka. Nestapa dan ceria. Rindu dan pilu. Keheningan dan kesunyian. Derai tangis di malam yang kelam, atau pun canda la-la di siang yang merangsang. Bagaikan garam dan cabai di belanga gulai. Maka, kesengajaan atau ketidaksengajaan dalam rasa aniaya yang menyebabkan cewa dan ketiadaan asa, lalu tertumpah dalam tangis yang menggerimis dan kemudian melebat, menderas, sudah tidak terlalu penting untuk dinyatakan dalam sebuah diskusi. Lantaran pada situasi yang mana pun, jelas bahwa sebab-musabab duka yang menggulana di hati perempuan itu, adalah diriku. Kejelasan macam apakah yang mampu menguak penyebab kenestapaan beban tanggungan perempuan istriku ini? Adakah satu alasan yang cukup rasional untuk menjabarkan impuls-impuls duka yang terlahir oleh aniaya sengaja atau tak sengaja dari diriku? Tak perlu ada jawab yang memuat alasan-alasan reasonable. Sebab, kehidupan sepasang suami istri bukanlah sekedar suatu alasan yang hanya dimainkan oleh logika dan penalaran. Perkawinan sepasang anak manusia, antara lelaki dan perempuan, adalah bangun kehidupan yang tidak hanya cukup ditata oleh takaran matematis, melainkan lebih dari itu. Impuls-impuls yang memuat gejolak perasaan, pergolakan jiwa, pengharu-biru kalbu, gelimang ruhani yang multidimensi, adalah keniscayaan yang tak ternafikan. Perkawinan bukanlah teka-teki meski bermuatan tanda tanya yang besar yang senantiasa memerlukan tanda-tanda seru pada setiap waktu. Pertanyaan yang senantiasa mengelitik dan kemudian menggelembung mengurung diriku adalah, sudahkan aku mampu membahagiakan perempuan yang ada di sampingku

ini pada saat menghadapi tahun baru yang umumnya disambut dengan semacam pesta tahunan. Para ibu tetangga berdandan, berganti busana, bersolek rumah, berhidang kue-kue, dan santapan khusus, serta berhambur uang untuk anak-anak berpakansi, atau melepas kerutinan lewat rekreasi. Entahlah. Aku sendiri lebih tertaruik memaknai pergantian tahun sebagai pembangunan jiwa dan semangat baru dalam mejjalankan dan melaksanakan tatakehidupan. Akan tetapi, demikianlah yang teronggok dalam benak dan hati wanita yang sesenggukan di sampingku, di atas ranajang, pada malam menjelang tutup tahun ini? Iastri yang menerima janji hidup berdampingan dalam kesetiaan abadi lebiuh dari tiga dasa warsa yang lalu itu, adalah perempuan yang kunikahi bukan lantaran sebab sebagai pendamping dalam diskusidiskusi panjang tentang anekagelar dan anekagebyar kehidupan serta kontradiksi-kontradiksi sosial atau pun benturan-benturan gejala alam. Tidak. Bukan lantaran itu aku memilihnya. Kehadirannya dalam jantera hidupku lantaran satu nisbah yang mau tak mau aku harus mengusungnya sebagai bagian dari pemenuh kebutuhan dalam kehidupan ini. Sebab, seperti yang kunyatakan, bahwa hidup bukanlah sekedar kenyataan alam pikiran, melainkan juga perasaan dan keindahan. Kepiluan dan keceriaan. Kerinduan dan kejemuan. Impian-impian dan petaka. Bianglala dan realita dalam menembus lorong waktu sampai usia tertentu. Sampai ambang batas meretas tali keberadaan seorang anak manusia. Lalu, kenapa tidak juga kutanyakan sebab tangis yang dideranya? Ah, tidak. Pernah pada ketika malam seperti ini sekian tahun yang lalu --dalam suasana perekonomian kami yang runtuh seperti saat ini-- tatkala tangis dan kepiluan tertumpah di haribaannya, kubuka suara gerangan apa penyebabnya? Tak ada kata jawab. Yang tercuat adalah derai air mata yang kian mengucur bagaikan

No. 4 Desember

2017

• 61


ce r p e n

hujan yang tumpah, kian lepas menderas. Memang, perempuan adalah segumpal hati yang senantiasa berkeluh atau bermimpi. Gelembung rasa adalah senjata mereka. Sedang penalaran bisa diletakkan pada deret kemudian. Selama tiga puluh tiga tahun usia perkawinan, kukenal benar hati perempuan ini, seperti halnya hati perempuan manapun juga, istriku punya impian-impian dan kerinduan-kerinduan akan kemapanan duniawi. Lalu, salahkah dia bila memang wanita dikodratkan lebih menyimpan hati daripada pemikiran-pemikiran seperti yang disandang lelaki?

Pikiran tanpa hati menjadikan hidup tak berarti. Akan tetapi hati tanpa pikir adalah bianglala yang hanya memancarkan kmayaan anekawarna keindahan, meskipun tiada dalam kenyataan. Ya, boleh jadi, bahkan teramat sangat pasti, memang akulah penyebab tangis perempuan di malam menjelang tahun baru ini. Selaku lelaki yang terbaiat sebagai suami sudah selaiknya menjadi amil rumah tangga yang menanggung jawab beban kehidupan keluarga terutama pada saat diperlukan. Akan tetapi, dalam kenyataan sudah berkala lama aku tergapai-gapai untuk memenuhi kebutuhan standar pada keberadaan kehidupan keluarga Bertahun sudah aku tidak bekerja karena terPHK. Uang pesangon yang semula menjanjikan,

62

•

No. 4 Desember

2017

ternyata hanya mampu bertahan belasan bulan, lantaran aku tak biasa memutarkannya. Kebiasaan sebagai pekerja rupanya agak susah untuk terjun ke dunia wirausaha. Apalagi pengalaman sebagai wiraswasta sama sekali tak kupunya. Yang ada cuma impian akan besarnya selisih nilai antara pembelian dan penjualan. Aku pun tergoda tanpa menyadari biaya lainnya. Ternyata, yang kuperoleh justru bukannya keuntungan, melainkan kebuntungan. Maka mulailah istriku membantu berjualan kue kecil-kecilan. Itu pun tak berjalan lama. Terlalu lelah dan penat dibuatnya. Di samping itu, banyak pesaing industri makanan kecil yang mampu menjual dengan harga yang jauh lebih miring. Kini aku tak lagi memiliki modal untuk berniaga. Yang kupunya hanyalah tenaga yang kuberdayakan untuk kerja apa saja sepanjang ada peluang yang memungkinkan. Tentu saja tak pernah ada kepastian hasil dalam bentuk keuangan atau pun nafkah lahir yang menjadi kelaziman. Hal itu terasa mencekik tatkala ada kenaikan BBM yang disertai lonjakan harga barang-barang kebutuhan harian. Sembako tak lagi kukuh dan tak hendak bertahan pada kesetiaan harga pasar seperti sebelum ada kenaikan minyak tanah. Begitu pun ongkos kendaraan angkutan kota yang tak mau kalah, berlomba menaikkan tariff—membuat kian sempit ruang gerakku untuk menjajakan tenaga. Ah, hidup semakin susah saja yang kurasakan. Sudah beberapa bulan ini tarif listrik dan air minum pun ikut-ikutan melakukan pembaruan. Kabut ekonomi keluarga kami kian menebal. Tahun baru yang mestinya menyemai harapan untuk hidup baru yang lebih baik dari tahun sebelumnya, justru berbalik jadi bumerang yang menguatirkan. Terutama terhadap diriku. Aku telah berjanji pada perempuan istriku itu bahwa akan terjadi pembaruan pada suatu waktu nanti. Pasti pada menjelang tutup tahun tembok rumah akan kupoles putih bersih, begitu pun pagar halaman depan. Soalnya pada tahun lalu dan tahun sebel;imnya, juga tahun sebelum tahun sebelumnya, tak ada pupur dan gincu yang melumuri rumah


kami sebagaimana laiknya hunian para tetangga pada umumnya. Pada malam tahun-tahun baru yang lalu —dan ternyata juga pada tahun ini—hunian kami terlihat kelu dan beku. Dinding-dinding rumah tetap mengusam tak tersentuh oleh cat. Pasai bagaikan wajah yang tak berdarah. Tak sepeser uang pun kuserahkan pada perempuan istriku itu. Tapi alhamdulillah, ia tetap tegar dan tanpa keluh. Ada kue dan hidangan tahun baru sebagai sajian kawan-kawan yang berkunjung. Semua tersaji di meja. Entahlah dari mana istriku memperoleh dana untuk itu semua. Padahal kutahu, hutang di toko dan tempat perbelanjaan sudah melimpah ruah. Situasi itu terjadi tiga kali tahun baru berturut-turut. “Ah, sudahlah, kamu tenang saja. Pada tahun baru mendatang akan terjadi perubahan yang berarti. Apa pun yang kau mau aku kan merestu. Pasti setuju. Sebab akan datang penghasilan yang mungkin menyenangkan,� hiburku padanya pada suatu ketika. Ia pun berbesar hati dan bergeming dalam imingan janji yang kuhamburkan. Untuk beberapa lama hidup kami berjalan dalam kedamaian yang dipurakan. Padahal hatiku gelisah karena aku tahu pasti bahwa ucapanku itu sekedar pelipur hati seperti gula-gula yang sengaja kubeli untuk menenangkan tangis anak kecil yang entah karena apa, entah bagaimana. Dan, aku pun merasa bergelayut dalam dosa lantaran menistakannya sebagai balita, sedangkan ia adalah wanita baja yang telah lebih dari tiga dasa warsa mendampingiku dalam suka ceria dan duka nestapa. Jadi, terjawablah sudah, kebungkaman yang aku lakukan dan kepengecutan untuk tidak menanyakan kenapa ada tangis yang mengiris, pada tengah malam yang remang, di kamar kami berdua. Ketiadaan nyali untuk menjadi tempayan

tumpahan perasaan atau pun berlazim sebagai panutan yang menegukkan kepercayaan seorang perempuan kurasakan sebagai pelarian yang diam. Aku merasa sebagai pesakitan yang tak mampu mengelak dari ketukan palu hakim bertoga di ruang pengadilan kehidupan rumah tangga sepasang suami istri. Maka aku pun merasa sangat tidak berarti dan tersiksa oleh rasa dosa karena tak sanggup membahagiakan seorang perempuan lugu yang telah mengorbankan dirinya sebagai pendampingku. Ada terenyuh yang menyentuh. Ada sayat yang menjekat. Ada keluh yang melenguh pada jiwa seorang pria ynag hanya bisa merangkai kata tanpa makna namun jiwanya mati dalam kehidupan yang suri. Akukah itu? Entahlah. Mungkin, ya. Ya, pasti itu adalah diriku. Tangis masih menggigit. Aku tak bercuit. Tidak sama sekali. Sampai malam membenamkan pikiran dan lamunan. Terlelap kami dalam pelukan kelam yang menggigil. Esok pagi ketika bangun tidur kudengar suara terompet yang ditiup anak-anak, menyambut kehadiran tahun yang baru dimulai. Tengara waktu yang telah berlalu. Hidup baru dengan impian baru. Harapan-harapan baru. Dan barulah kusadari setelah kubuka mata, istriku pergi entah ke mana. Tak juga kutemukan walau aku mencarinya. Maka, kuambil pensil. Kuterohkan di atas kertas. Jadilah nukilan ini. Hatiku senantiasa tergetar oleh dawai tangis di tengah keremangan malam menjelang tutup tahun. Tangis seorang perempuan yang adalah istriku Bogor, akhir Desember 2017

No. 4 Desember

2017

• 63


B UKU

Oleh: Agung Pranoto

D

i dalam ruang-ruang yang ada pada media massa Indonesia, kita sering melihat dan membaca rubric yang isinya membicarakan suatu buku. Misalnya kita melihat rubric Informasi Buku (Surya), Resensi Buku (Pelita), Rehal (wawasan), Buku dan Ahlinya (Kompas), Tinjauan Buku (Basis), dan sebagainya. Dari beberapa rubric itu pada intinya sama yaitu suatu rubric yang memuat tulisan/tinjauan yang berkenaan dengan bentuk maupun isi buku. Kupasan, pembahasan mengenai buku itu orang sering menyebutnya Resensi Buku. Resensi termasuk dalam ragam karangan faktawi, jenis karangan informative, rumpun ulasan. Resensi membahas sebuah buku (dan, dalam arti yang luas, juga sebuah film, sandiwara). Yang akan kita perhatikan di sini ialah resensi buku. Pertanyaan kita sekarang : apakah resensi buku itu? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dijelaskan bahwa resensi buku adalah “pertimbangan atau pembicaraan buku dsb.; ulasan buku”. Batasan ini rasanya kurang menyodorkan gambaran yang jelas kepada kita tentang resensi buku. Meresensi berarti bertanya apakah pembaca akan memetik manfaat ataukah tidak dari buku yang diresensi bagi perkembangan pribadinya (Widyamartaya,1990: 84). Sementara Garys Keraf (1980: 274) mengatakan bahwa “resensi adalah suatu tulisan atau ulasan

64

No. 4 Desember

2017

mengenai nilai hasil karya atau buku.” Sedangkan Natawidjaja (1986: 110) mendefinisikan ulasan atau resensi buku sebagai suatu pertimbangan kualitas buku, yang di dalamnya (pembicaraan) lebih ditekankan pada evaluasi ilmiah dengan mengemukakan argumentasi yang cendekia. Dari batasan di atas, kiranya memberikan gambaran yang jelas, bahwa resensi pada hakikatnya berupa (1) ulasan atau tinjauan buku (2) evaluasi berkualitas dan tidaknya isi buku, dan (3) argumentasi yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Ketiga hal itulah suatu hal yang mendasar ada pada suatu resensi. Sudah jelas bahwa peresensi merupakan mediator bagi pembacanya. Ia mediator antara pengarang/penulis buku dan pembaca. Oleh karena itu, peresensi/ peninjau buku haruslah lebih dahulu menjadi pembaca yang baik. Ia harus mampu menceritakan kepada pembaca isi buku yang dibicarakannya, artinya ia berbicara tentang isi buku itu sendiri. Ia dapat mengemukakan apa sebenarnya tujuan pengarang buku ketika ia menulis buku itu. Kecermatan di bidang ini amat diperlukan. Peninjauan buku juga harus dapat mengikuti gaya pengarang bagaimana dia berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu, bagaimana

Menulis baiknya dia mencapai tujuan itu, apakah penulis buku menulis dengan lancar dan “enak” sehingga tujuan tercapai dengan baik? Sebab tidak jarang ada pengarang yang menulis tersendat-sendat sehingga tujuan yang “baik” tidak dapt dicapai dengan sempurna. Ketika pengarang menulis naskahnya, dia melakukan banyak hal antara lain menggumuli kata, kalimat, merevisi, memperbaiki dan menulis kembali. Mengapa? Ia ingin berkomunikasi dengan pembacanya melalui katakata agar pembaca yang ditujunya memahami dan menghargai ide-ide yang dimaksudnya. Oleh karena itu, peresensi harus waspada, menilai apakah para pembaca umumnya setuju, menyenanginya, ataukah ternyata buku itu ditujukan kepada kelompok tertentu saja? Sikap kritis bagi peresensi amat perl. Seorang peresensi harus mampu menilai apakah pengarangnya memang ahli di bidang masalah yang dipersoalkan di dalam buku itu, bagaimana pandangan pengarang apakah mewakili pandangan umum (tentu ahli di bidang masalah yang dibicarakan dalam buku) ataukah pandangannya radikal? Untuk itu, peresensi harus akrab dengan masalah yang dibahas. Ia harus mampu memberikan kritik yang berdasarkan pengetahuan, logika dan pandangan pribadi (Nadeak,1983: 115). Pendapat-pendapat orang lain tidak boleh diremehkan, karena perbedaan pendapat sekalipun akan memperkaya perbendaharaan pengetahuan


Resensi Buku resensi, maka resensi itu bukanlah resensi yang baik, meski hasil resensinya dimuat di media massa.

Sikap apriori harus dihindarkan sebisa-bisanya. Peresensi harus berusaha menaruh simpati terhadap apa yang hendak dipermasalahkan pengarang dalam bukunya sebelum dia menjatuhkan penilaian baik atau buruk. Ini menuntut seperangkat pengetahuan, metode, teori, dan analisis.

Pada saat membaca, yang berarti memahami isi buku, dipertanyakan juga (1) apakah tesis yang diungkap terlebih dahulu pada kata pengantar atau terlihat dalam isi buku?, (2) apakah tesisnya cukup berhasil pengembangannya? Pertanyaan itu didukung dengan argument yang meyakinkan?, (3) apakah komposisi buku itu menunjukkan teknik penyusunan buku yang baik? Misalnya tersusun logis, beralur, dan sistematik?; (4) apakah penyajian bahannya dangkal (datar) atau lebih mendalam?; (5) apakah buku itu bisa dibaca oleh pembaca sebagaimana yang diharapkan penulis; (6) apakah susunan/tata letak, berikut jenis hurufnya mempermudah orang membaca?; (7) terbitnya buku itu sesuai dengan kondisi zaman yang ada, sesuai dengan kebutuhan pembaca; (8) apakah penulis buku mempergunakan bahasa yang

Nama pengarang buku yang sudah terkenal hendaknya tidak mempengaruhi peresensi. Sebab meresensi itu yang dihadapi bukan pengarang, tetapi buku. Resensi buku lazimnya terkait dengan informasi buku kepada siding pembaca. Oleh sebab itu, paling awal dikenali dalam tulisan resensi adalah (1) judul buku, (2) penulis/pengarang, (3) tahun terbit, merupakan informasi mendasar mengenai identitas buku. Setelah mengetahui hal tersebut, barulah peresensi mulai membuat ulasan/tinjauan. Untuk mewujudkan suatu tinjauan yang baik dan menarik, yang paling awal peresensi harus membaca dengan cermat dan teliti seluruh isi buku. Jadi, kalau misalnya peresensi hanya membaca kata pengantar, pendahuluan, isi, dan penutup dalam suatu buku secara serampangan, dan kemudia membuat

ilmiah atau populer?; (9) dapatkah isi buku itu memberikan manfaat positif kepada pembacanya?; (10) bagaimana kualitas isi buku itu jika dibandingkan dengan buku karangan orang lain yang juga membicarakan persoalan yang sama? Hal tersebut merupakan garis besar di dalam memenuhi tuntutan wujud resensi sebagaimana disarankan Parera (1987: 50-51). Jawaban pertanyaan itu yang digali setelah membaca buku, merupakan bahan ramuan di dalam menyusun resensi. Memang begitulah bahwa sebuah resensi itu mengungkap dua hal besar, yakni segi internal buku itu dan segi grafis (wujud) buku itu sendiri. -------------Agung Pranoto adalah penyair, eseis, kritikus sastra, dosen bahasa dan sastra Indonesia

timorensis.wordpress.com

pembaca. Peresensi buku sekali-kali perlu memperhatikan karya orang lain walaupun sepintas lalu saja.

No. 4 Desember

2017

• 65


A PRE S I A S I

KRITIKUS SASTRA HARUS KEBAL KRITIK Oleh: Agung Pranoto

Kritik sastra yang dilakukan oleh kritikus yang hanya menggunakan satu perspektif semata maka justru hasil kritiknya akan tidak mampu memberikan penilaian yang bijak terhadap karya sastra. Penggunaan satu atau dua teori untuk membedah karya sastra tidak sepantasnya jika telaah tersebut untuk memberikan penilaian baik-buruk atas karya sastra. Sayang sekali jika ada kritikus yang tidak memahami konsep kritik sastra yang sesungguhnya. Penggunaan satu hingga tiga teori sastra untuk membedah karya sastra, cocoknya tidak diarahkan pada suatu kritik terhadap teks sastra. Saya berpendapat bahwa hal tersebut lebih diarahkan pada ranah apresiasi karya sastra saja. Ingat bahwa “apresiasi� dengan “kritik� muatan maknanya tentu berbeda. Apresiasi lebih ditekankan pada sisi pemahaman terhadap teks tanpa digiring pada penilaian kelebihan dan kelemahan karya sastra. Untuk melakukan kritik sastra yang baik, maka kritikus harus memiliki kemampuan apresiasi yang bagus

66

•

No. 4 Desember

2017

terhadap karya sastra, dan tentu atas dasar apresiasi yang menggunakan berbagai sudut pandang. Selanjutnya, jika seseorang ingin menjadi kritikus marilah kita belajar menghargai orang lain. Selain itu juga kritikus harus berjiwa besar, mau menerima masukan atau kritik orang lain. Bukankah ilmu di dunia ini akan selalu berkembang jika kita bisa menerima perbedaan pandangan atas pendapat orang lain? Sebagai kritikus harus berjiwa besar dalam pertarungan keilmuan. Jika kritikus sastra masih memiliki pandangan antikritik atau tidak berjiwa besar maka layaknya dia tidak perlu menempatkan diri sebagai kritikus. Kritikus juga manusia, bukan dewa, apalagi jelas bukan Tuhan, tetaplah memiliki kelemahan. Menyadari hal ini, kritikus sastra, seharusnya juga memiliki lapang dada dan siap untuk menerima masukan dari lainnya dalam rangka menempatkan telaah (kritik) sastra secara objektif. Kritikus harus belajar tentang sikap keteladanan, kebersahajaan, atau belajari filosofi ilmu padi. ---------------------------Agung Pranoto adalah penyair, eseis, kritikus sastra, dosen bahasa dan sastra Indonesia.

liputan6.com

M

enjadi kritikus sastra memang memiliki tugas yang berat. Tugas berat dari kritikus yakni harus mampu memberikan sisi-sisi kelebihan dan kelemahan suatu karya. Pertimbangan sisi kelebihan dan kelemahan suatu karya sastra tentu harus berpijak pada teori dan metode tertentu, atau bahkan menggunakan beberapa teori untuk pisau bedah karya sastra. Penggunaan teori yang bersifat kolaboratif tersebut justru akan melihat (baca: menelaah) karya sastra dari berbagai sudut pandang.


Nenek moyangku seorang pelaut, ia memanfaatkan kekayaan laut dengan bijaksana. Ikan salah satunya. Sudahkah kita mengonsumsi ikan hari ini?

P E S A N I N I D I S A M PA I K A N O L E H N E O K U LT U R S E B A G A I A J A K A N U N T U K M E M A N FA AT S U M B E R D AYA A L A M S E C A R A B I J A K S A N A

No. 4 Desember

2017

• 67


68

•

No. 4 Desember

2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.