Buletin Edisi Juli 2019 "Haji & Ritual Pemujaan Pra Islam"

Page 1

Buletin El-Nilein Suara Mahasiswa untuk Dunia

Haji & Ritual Pemujaan Pra Islam Ahmad Dliya’ul Mubarok, SH Mahasiswa S2 International University of Africa

Source : Google

Setahun sekali umat Islam diseluruh dunia melaksanakan ibadah wajib haji, definisi ibadah merupakan wasilah (perantaraan) bukan ghayah (tujuan), karena itu agama Islam bukan agama rahbanah, bukan pula agama yang berlebihan mengerjakan ibadah.1 Islam adalah agama monotheism yang baru, sebelumnya ada Yahudi atau agama samawi lainnya dan memiliki ritualritual ibadah yang bersifat transenden, misalnya; berkeliling tujuh putaran di ka’bah, berlari-lari kecil ke antara dua bukit shafa dan marwa yang mengibaratkan penderitaan Ibunda nabi Isa untuk mencari air, melempar jumrah sebagai perwujudan perlawanan individu dengan setan, dan ritual totem lainnya. Totemisme seringkali digunakan agama-agama pra Islam sebagai bentuk pemujaan kepada tumbuh-tumbuhan, hewan atau tempat yang dianggap suci, sebagai simbol penjelmaan dari dewa, yang merupakan nenek moyang mereka, mereka menjadikan patung sebagai sesembahan, diantaranya; Uzza, Hubal juga terdapat berhala Manat yang semakin tersebar, termasuk diletakkan diantara dua bukit Shoffa dan Marwa2, Mereka juga mempercayai terhadap mahluk ghaib yang hampir sama dengan kultur masyarakat Indonesia, para orang tua sering mengajarkan anak-anak mereka yang main ditempat sepi untuk mohon izin dengan “penunggupenunggu” disekitar Shoffa dan Marwa, sementara ritus Ka’bah sendiri orang-orang Jahiliyah

‫و‬ Č

1

Baca ayat 77 S. 28 Al Qashash dan baca 10 S. 62 Al Jum’at. Ali Ashobuni Muhammad, Tafsir Ayatul Ahkam minal Qur’an,Dar As shobuni, Mesir, 2007.

Juli 2019


masih mengagungkannya dengan cara memasukkan patung-patung kedalam ka’bah itu sendiri, ada juga dengan cara menguburkannya dengan maksud ketika jamaah haji datang dari berbagai negeri penduduk setempat memberikan kepada mereka sebagai hadiah dari penguasa Makkah saat itu, Amr bin Luhai1. Totemisme berbeda dengan mistik, mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional dan bukan bersifat teologis, keduanya sulit dibuktikan secara empiris misalnya; kekebalan, santet, teluh dipandang sebagai pengalaman mistik karena tidak dapat dijelaskan melalui logika atau sebab akibat. Dalam disiplin filsafat, ranah logika, filsafat hukum dan teori postmodern secara langsung memiliki hubungan, logika berada pada jantung penalaran tentang hukum, termasuk hukum Islam. Logikanya, totemisme dihubungkan dengan

Semiotik

atau

ilmu

ketandaan/simbol, studi tentang tanda-tanda dan

proses

tanda

(semiosis),

indikasi,

penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, dan komunikasi.2 Source : Google

Yang dipandang memiliki dimensi antropologis penting, bahwa setiap fenomena budaya dapat dipelajari sebagai komunikasi. Simbol adalah sebuah instrument pemikir, dengan membuat seseorang mampu memikirkan tentang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya, hal ini membuktikan totemisme jauh dari sisi empiris. Sama halnya dengan ritual ibadah haji yang bersifat jauh dari dunia empiris atau transedental meditasi, individu diantarkan kepada akal untuk bertemu dengan sumber pikiran, sumber dari aktifitas itu sendiri. Jika hal ini dapat tercapai, maka akan terasa suatu kebahagiaan, jauh diatas kebahagiaan pada sebelumnya, disini disebut dengan istilah hikmah. Meminjam istilah dari Al Jarjawi dalam kitabnya yang berjudul Hikmatu Tasyri’ wa Falsafatuhu bahwasanya hikmah berbeda dari falsafah karena athaf yufidul mughayarah, pengarang Nidhamul Islam juga menggunakan kalimat falsafah ketika menerangkan rahasia-rahasia

1 2

2

ibid A. Partanto Pius, Dahlan Al Barry,M, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994

Juli 2019


berbagai macam ibadat.

1

Dengan pengertian khusus, karena filsafat telah mengalami

perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks maka timbul berbagai pendapat tentang arti filsafat dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang fisafat seperti; rasionalisme (mengagungkan akal), matrialisme (mengagungkan materi), idealism (mengagungkan ide), hedonism (mengagungkan kesenangan), stoikisme (mengagungkan tabiat saleh), dan semuanya itu indikator yang dirasakan orang yang sedang menjalankan ibadah haji.

Source : Google

Didalam Al Qur’an seringkali terdapat perkataan ma’ruf atau urf dan kerapkali disangkut pautkan oleh hukum, dari situ kita dapat memahami bahwa ajaran nenek moyang dalam ritualritual totem secara transenden didalam ibadah haji parameternya adalah falsafah hukum atau hikmah, hal ini berkaitan dengan Mukasyafah, Rasulullah sendiri membiarkan ritual-ritual didalam ibadah haji dan mendiamkannya, dan kita memperoleh bukan melalui jalan indera atau rasio seperti yang kita anut di ajaran tasawuf dalam Islam, seperti peristiwa isra’ dan mi’raj, atau Rasulullah menampakkan mukjizat membelah bulan untuk melawan kesombongan orang kafir, ataupun bukti-bukti scientific bahwa ka’bah merupakan pusar bumi, air zam-zam memiliki kandungan mineral tinggi, serta mitologi hajar aswad yang disinyalir dari bebatuan surga. Dari sinilah kita berfikir mengenai khutbah nabi yang menyampaikan wahyu; “pada hari ini telah Ku-sempurnakan agama ini untukmu, dan nikmat-Ku telah Ku-sempurnakan (juga), dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu” 2, pada saat itu minoritas kaum Rasulullah SAW yang bersilang pendapat mengenai ritual-ritual jahiliyah yang disempurnakan, namun mayoritas menerima dengan bahagia Islam sebagai agama yang di ridloi Allah SWT itulah isyarat yang disampaikan

‫و‬ Č

3

Hasbi Ash Shidiqi, M, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm.17 QS; Al Maidah 5:3

Juli 2019


Rasulullah SAW saat di Arafah. Ritus-ritus memang kental kaitannya dengan budaya jahiliyah namun Islam pada prinsipnya adalah agama yang progresif, dalam artian harmonisasi hukum terhadap budaya setempat harus seimbang, mensiratkan hubungan ideal antara agama dan budaya. Al muhafadlotu ala qadimi shalih wal ahdu bil jadidi ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengimplementasikan tradisi baru yang lebih baik), dari hikmah dibalik hukum menjadi dasar bagi hukum bedasarkan fondasi dan keumuman maqosid , al syatibi berpendapat bahwa sifat keumuman (Al kulliyat) dari keniscayaan (dloruriyyat), kebutuhan (hajjiyat) dan kelengkapan (tahsiniyyat) tidak bisa dikalahkan dengan hukum-hukum parsial. Objek ritual ibadah haji dalam pandangan metarasional adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh rasio manusia yang melahirkan eksistensi dan kontradiksi, demikianlah dikotomis analitis-sintesis antara ritual pra Islam dan setelahnya. Wallahua’lam.. ***

Team El-Nilein Direktur: Yahya Ayyash Sekretaris: Annida Nur Aini Bendahara: Ulya Hajar Ufairah Pimpinan Redaksi: Ismail Musyaffa Dewan Redaksi: Ainurrahmah, Nurul Husna, Si Zainab, Mala Himmah, Labudza Adila, Veriza Nurkholiza, Hisan Afifah, Eka Lintang, Ilyas Jundullah, Zaid Abdul, Lukman Al-Hakimi, Ihab Hud, Nashih Faruq Desainer dan Layouter: Hesi Eva, Maria Maulida, Ma’rifat Dzaki Fotografer dan Videografer: Rufaidah, Thiana Silvi

4

Juli 2019


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.