No. 229 tahun IV
8 Halaman
Rabu, 8 Desember 2010
Free Daily Newspaper www.bisnis-jakarta.com
Redaksi/Sirkulasi/Iklan: GEDUNG PERS PANCASILA Jl. Gelora VII No. 32 Palmerah Selatan Jakarta Pusat. Tlp: 021 - 5357602 (Hunting) Fax: 021 - 53670771
Maksimalkan Pajak Online Bukan Warteg JAKARTA - Anggota DPD dari daerah pemilihan DKI Jakarta Djan Faridz berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih memaksimalkan pajak online, bukan pajak Warteg. “Potensi pertambahan penerimaan pajak dari warteg Rp 50 miliar jelas tidak signifikan dibandingkan potensi kehilangan akibat tidak jalannya sistem ‘online’,” kata Djan Faridz dalam siaran persnya, kemarin. Dia mengungkapkan sejak sistem online diperkenalkan kurang lebih dua tahun untuk penerimaan pajak daerah, baru terdapat 240 wajib pajak yang ikut berpartisipasi dalam sistem tersebut. Sementara itu Pemda DKI berencana mengenakan pajak atas usaha warteg setelah melakukan intensifikasi penerimaan pajak atas usaha warteg ternyata tidak signifikan. Potensi pajak warteg berdasarkan informasi Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arif Susilo akan bertambah Rp 50 miliar (dengan catatan ada sekitar 2.000 unit warteg di Jakarta). Namun, penerapan pajak terhadap warteg ternyata telah menimbulkan polemik yang memaksa Gubernur DKI Jakarta menunda penetapannya. “Pajak warteg ini ibarat pepatah; kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak dilihat dari sisi potensi penerimaan pajak daerah,” kata Djan Faridz. Menurut dia, penerimaan pajak akan mencapai tiga kali lipat apabila sistem “online” dijalankan maka target penerimaan pajak daerah atas hotel, restoran dan hiburan tahun 2010 yang total Rp 1,690 triliun seharusnya dapat terealisasi hingga mencapai angka Rp 5,070 triliun. “Coba kita bandingkan antara potensi penerimaan pajak warteg dibandingkan pajak online apabila diterapkan, yaitu masing-masing Rp 50 miliar dan Rp 3,380 triliun (potensi kehilangan penerimaan), itu hanya sebesar 1,48 persen,” katanya menambahkan. Djan Faridz setuju atas UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah yang mengatakan bahwa bagi usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun atau sekitar Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167 ribu per hari akan dikenakan pajak sebesar 10 persen bagi pengunjung rumah makan tersebut, termasuk warteg. “Yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah siapa yang menjadi konsumen atas warteg. Janganlah berbicara tentang keadilan,” tegasnya. Kebijakan tersebut justru menyengsarakan rakyat, karena yang membayar pajak 10 persen tersebut bukan pedagang melainkan si pembeli. “Sebesar 95 persen konsumen warteg adalah rakyat kecil yang mempunyai penghasilan rendah atau kalangan menengah ke bawah,” ungkap Djan Faridz. (ant)
Bisnis Jakarta/ant
PEMBATASAN BBM - Kepala BPH Migas Tubagus Haryono (2 kanan) memaparkan rencana pengendalian penggunaan BBM bersubsidi saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin kemarin.
OJK akan Jadi Ajang Korupsi JAKARTA - Ikatan Pegawai Bank Indonesia (Ipebi) melihat dari sisi penegakan hukum, pemusatan pengawasan semua lembaga keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpotensi menimbulkan kejahatan pencucian uang, korupsi dan rekayasa keuangan. “Penyatuan pengawasan semua lembaga keuangan di OJK dengan kewenangannya yang sampai penyidikan membuat money laundring, korupsi dan rekayasa keuangan sulit dideteksi,” kata Ketua Ipebi Agus Santoso dalam jumpa pers di
Jakarta, kemarin. Menurutnya, RUU OJK yang saat ini dibahas DPR dan Pemerintah memberikan wewenang yang sangat besar pada OJK dengan memberikan tugas perizinan, pengaturan, pengawasan sampai penyidikan. “Dengan wewenang yang sangat besar dan semua lembaga keuangan berada di dalamnya, masyarakat akan sulit mengawasi OJK,” katanya. Selain itu, Ipebi juga melihat proses penyusunan OJK sangat terburu-buru dan dipaksakan tanpa sosialisasi
dan kajian yang mendalam, juga tidak melihat kebutuhan nyata dari perekonomian nasional serta tidak menghiraukan tren reformasi sistem keuangan internasional. “Kami melihat OJK akan menjadi masalah baru dalam perekonomian nasional dan kami menolak untuk berada di dalamnya karena kami mau menjadi bagian dari penyebab penderitaan rakyat,” katanya. Secara konstitusi, pemindahan tugas pengawasan perbankan ke OJK membuat BI tidak mungkin mengemban amanat konstitusinya untuk
Pemerintah Optimistis
Penyerapan Anggaran 90 Persen JAKARTA - Pemerintah optimistis penyerapan anggaran belanja negara pada 2010 akan mencapai 90 persen, meski data Kementerian Keuangan per 30 November menyebutkan bahwa penyerapan itu baru 72,6 persen atau Rp 817 triliun. “Kita perkirakan sampai akhir tahun realisasi 90 persen untuk belanja negara,” ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, kemarin malam. Menkeu menjelaskan angka penyerapan per 30 November itu terbilang rendah apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 75,8 persen atau Rp 758 triliun. “Sekarang ini sampai 30 November, ternyata belanja pemerintah bisa 72 persen dari anggaran, tahun lalu November 75 persen. Itu ada selisih 3 persen lebih rendah. Nah ten-
tu sudah banyak kemajuan di Kementerian/Lembaga, walau secara fisik mungkin belum ditagihkan,” ujarnya. Sedangkan berdasarkan data Kementerian Keuangan, pendapatan negara yang dibukukan mencapai Rp833 triliun atau 84 persen dari target dalam APBN-P 2010. “Di tahun lalu (periode yang sama) Rp 707 triliun atau 81 persen,” ujarnya. Untuk penyerapan belanja Kementerian/Lembaga (K/L) telah terealisasi 68 persen atau Rp 249 triliun dari APBN-P 2010 dan dibandingkan periode yang sama tahun lalu belanja K/L mencapai 75 persen atau Rp 236 triliun dari target. “Penyerapan masih 7 persen lebih rendah kalau dilihat K/L, penyerapan K/L sampai 68 persen dari pagu,” ujarnya. Ia mengungkapkan, ada sekitar 21 K/L yang telah melaku-
kan penyerapan di atas 68 persen dan sekitar 18 K/L yang penyerapannya di bawah 50 persen. “Kementerian/Lembaga yang telah melakukan penyerapan di atas 50 persen diantaranya Kemendiknas 73 persen, Kemenhan 81 persen, Kementerian PU 66 persen, dan Polri 82 persen. Dan yang terendah diantaranya Kemenkes, Kemenhub, dan Kementan,” ujar Agus Martowardojo. Dengan situasi ini, pemerintah memperkirakan penyerapan hingga akhir tahun ini tidak akan mencapai 100 persen, bahkan lebih rendah dari 2009 yang mencapai 97 persen. “Tetapi kami telah melakukan projection, ke akhir tahun akan memperlihatkan bahwa K/L akan bisa menyerap 90 persen dari anggaran. Dan itu konsisten dengan kondisi tahun yang sekarang ini terjadi,” ujarnya. (ant)
menjaga inflasi dan nilai tukar sesuai pasal 23D UUD 45. “RUU OJK adalah amanat UU BI pasal 34 yang harus dipertanyakan karena tidak ada naskah akademisnya,” katanya. Penolakan Ipebi atas konsep OJK Pemerintah, bukanlah titipan dari Dewan Gubernur BI, karena Ipebi bukan penyambung lidah DG BI dan juga bukan alat kebijakan DG. “Kami menggugat rencana pendirian OJK atas kesadaran dan tanggungjawab konstitusional kami sendiri. Jangan jadikan UU sebagai alat legalitas untuk memaksakan kehendak apalagi
melanggar hak asasi manusia,” katanya. Agus juga menegaskan penolakan Ipebi bukan disebabkan persoalan gaji yang akan diterima jika mereka pindah ke OJK, karena persoalan keberadaan OJK yang tidak siap dan akan merugikan bangsa dan negara justru lebih penting dari hanya sekadar gaji. “Ketergesa-gesaan pendirian OJK hanya akan menjadi masalah baru yang akan merugikan kepentingan ekonomi nasional termasuk inefisiensi biaya dalam pendiriannya,” katanya. (ant)
Tinjau Ulang Pembatasan BBM Subsidi JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha menyatakan, pemerintah perlu mengkaji ulang rencana kebijakan pembatasan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 2011. Hampir seluruh fraksi di DPR tidak menyetujui kedua opsi yang disampaikan pemerintah sehingga rencana tersebut sangat mungkin untuk dibatalkan atau minimal ditunda, katanya di Jakarta, Senin. Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI ini menilai, kedua pilihan itu tidak tepat serta memberatkan masyarakat, termasuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang rata-rata menggunakan kendaraan plat hitam. Ia menambahkan, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan misalnya dengan menggunakan bahan bakar gas.
Meskipun infrastruktur untuk pengisian bahan bakar gas belum mencukupi, menurut dia, Pertamina hanya minta waktu sekitar tujuh atau delapan bulan untuk mempersiapkannya. Satya juga menyayangkan, proposal yang disampaikan pemerintah belum melalui survei sama sekali. “Kami minta angka yang pasti dari pemerintah, berapa angka riil yang dibutuhkan untuk BBM bersubsidi ini. Sebelumnya dalam RAPBN kita sudah sepakati untuk 2011 sebesar 38 juta kilo liter,” tegasnya Sementara itu, anggota Komisi VII lainnya Bobby Adithya Rizaldi menilai hal tersebut merupakan kebijakan prematur. “Untuk tahun 2011 proyeksi kuota BBM itu berapa, kalau hanya terjadi kenaikan 10 persen, masih ada cara lain yang bisa ditempuh,” katanya (ant)
Pemimpin Umum : Satria Naradha, Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab : Suja Adnyana, Redaktur Pelaksana : Nikson, Gde Rahadi, Redaksi : Hardianto, Ade Irawan, Aris Basuki (Bogor), Rina Ratna (Depok). Iklan : Ujang Suheli, Sirkulasi : D. Swantara. Alamat Redaksi : Jalan Gelora VII No 32 Palmerah, Jakarta Pusat. Telpon (021) 5356272, 5357602, Fax (021) 53670771. Website : www.bisnis-jakarta.com, email : info@bisnis-jakarta.com. Tarif Iklan : Iklan Mini minimal 3 baris Rp 6.000 per baris, Iklan Umum/Display BW : Rp 15.000 per mmk, Iklan Warna FC : Rp. 18.000 per mmk Iklan Keluarga/Duka Cita : Rp 7.000 per mmk, Advetorial Mini (maks 400 mmk) Rp 4.500 per mmk, Biasa (lebih dari 400 mmk) Rp 6.000 per mmk. Pembayaran melalui Bank BCA No Rekening 006-304-1944 a/n PT. Bisnis Media Nusantara, Bank BRI No Rekening 0018-01-000580-30-2 a/n PT. Nusantara Media Baliwangi. Bukti transfer di fax ke (021) 53670771, cantumkan nama dan nomor telpon sesuai registrasi.
Penerbit : PT. NUSANTARA MEDIA BALIWANGI Wartawan Bisnis Jakarta membawa tanda pengenal dan tidak dibenarkan meminta/menerima sesuatu dari sumber.