No. 154 tahun III
8 Halaman
Rabu, 19 Agustus 2009
Free Daily Newspaper www.bisnis-jakarta.com
Redaksi/Sirkulasi/Iklan: GEDUNG PERS PANCASILA Jl. Gelora VII No. 32 Palmerah Selatan Jakarta Pusat. Tlp: 021 - 5357602 (Hunting) Fax: 021 - 53670771
Online Trading Diatur
Bisnis Jakarta/ant
AFTA – Pemerintah mensinyalir ada tiga sektor industri terancam mati suri karena belum siap menghadapi pelaksanaan persetujuan perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) ASEAN-China pada 2010.
JAKARTA - Otoritas pasar modal dan bursa sedang menggodok aturan yang memuat panduan transaksi elekronik (online trading). Selain melindungi jaringan secara keseluruhan, panduan itu juga memberikan perlindungan untuk pelaku pasar. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Wan Wei Yiong di Jakarta kemarin mengatakan, meskipun dalam regulasi ada poin-poin yang mengatur, tetapi hanya bersifat umum. Pengembangan produk, lanjut dia, perusahaan efek tergantung pada kepentingan bisnis. Namun, sistem perusahaan efek harus melalui uji coba agar tidak merugikan sistem keseluruhan. “Kami dukung agar jaringan mereka siap. Kalau belum siap akan mengganggu sistem keseluruhan, karena itu broker harus memiliki sistem manajemen risiko yang baik,” ujarnya. Terkait inovasi produk, Yiong mengatakan, perlindungan nasabah dilakukan dengan uji coba produk sebelum resmi diluncurkan. “Semua produk baru harus diteliti lebih dulu,” katanya. Peraturan umum transaksi elektronik itu saat ini dalam proses persetujuan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Panduan transaksi elektronik akan menjadi bagian peraturan baru. (ant)
Bunga Makin Sulit Turun
UU Pajak Daerah Disahkan JAKARTA - Pemerintah dan DPR mengesahkan Undangundang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dari UU tersebut, diatur lima jenis pajak yang akan diberlakukan pada 2010 mendatang. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, RUU ini paling tidak akan memperbaiki tiga hal, yaitu penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar pada daerah di bidang perpajakan, dan peningkatan efektivitas pengawasan. “Ketiga hal tersebut berjalan secara bersamaan sehingga upaya peningkatan PAD (pendapatan asli daerah-red) dilakukan dengan tetap sesuai dan konsisten terhadap prinsip-prinsip perpajakan yang baik dan tepat. Dan diperkenankan sanksi apabila terjadi pelanggaran,” paparnya di Jakarta, kemarin. Menkeu melanjutkan, penguatan perpajakan di daerah dengan cara menambah jenis PDRD, mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, dan memberikan diskresi pada daerah untuk menetapkan tarif. Pemerintah menambah empat jenis pajak baru, yaitu Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). “Dengan penambahan empat jenis pajak ini secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu lima jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kab/kota,” ujarnya. Dalam UU PDRD ini, Pajak Rokok ditetapkan sebesar 70 rokok dibagihasilkan kepada kab/kota di provinsi yang bersangkutan. Menurut Menkeu, pengenaan Pajak Rokok ini tidak akan membebani masyarakat. Pasalnya, rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan di tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. (fel)
JAKARTA - Anggota DPR RI, Harry Azhar Azis, mengatakan, bunga kredit ke depan semakin sulit turun karena adanya ancaman inflasi yang meningkat seiring perbaikan ekonomi di 2010. “Potensi itu ada (bunga perbankan akan sulit turun), BI (Bank Indonesia) kan juga sudah memberikan sinyal Inflasi ke depan yang menguat,” katanya di Jakarta, kemarin. Ia menjelaskan, ancaman inflasi yang meningkat akan direspon oleh otoritas moneter yaitu Bank Indonesia agar tetap terkendali. Diantaranya dengan kebijakan penyesuaian suku bunga acuan BI Rate. Ia mengkhawatirkan, bila kemudian respon terhadap inflasi yang meningkat tersebut adalah menaikan suku bunga acuan BI Rate dengan cepat. Hal ini,
menurut dia, justru bisa menjadi kontraproduktif, karena perbankanpun segera menaikan suku bunganya menyesuaikan suku bunga acuan tersebut. Berdasarkan data BI, reaksi penyesuaian terhadap peningkatan BI Rate sangat cepat. Menurut data BI, respon perbankan terhadap peningkatan BI Rate sangat cepat. Pada Juni 2008, BI rate tercatat sebesar 8,5 persen. Sementara suku bunga kredit untuk modal kerja sebesar 12,9 persen, bunga kredit investasi sebesar 12,23 persen dan konsumsi sebesar 15,14 persen. Namun ketika BI Rate terus melonjak dan puncaknya pada November 2008 yang meningkat 1,25 menjadi 9,75 persen, perbankan pun menyesuaikan suku bunganya rata-rata diatas peningkatan BI Rate.
Bila BI Rate hanya meningkat 1,25 persen, kredit modal kerja dinaikan sebesar 1,75 persen menjadi 14,65 persen, kredit investasi melonjak 1,62 persen menjadi 13,85 sedangkan konsumsi meningkat o,55 persen menjadi 15,69 persen. Untuk itu, ia berharap, agar BI ke depan tetap bisa menjaga suku bunga acuannya, setidaknya untuk beberapa waktu agar menahan suku bunga kredit tidak ikut melejit. Sebab hal ini bisa membuat sektor riil yang belum benar-benar sembuh kembali terancam. Sementara itu, untuk mendorong bunga perbankan segera turun, menurut dia, koordinasi sisi fiskal dan moneter perlu segera diperbaiki. Menurut dia, kegagalan pemangkasan BI Rate untuk mengerek bunga
perbankan turun karena tidak adanya kesatuan pemahaman antara sektor fiskal dan moneter. Untuk itu, menurut dia, sebaiknya Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan Pemerintah di sisi fiskal segera berkoordinasi mendorong penurunan suku bunga perbankan tersebut. Ia mengatakan, Bank BUMN
yang dimiliki pemerintah bisa menjadi salah satu penyeimbang pasar. “Artinya, bila pasar tidak segera merespon kebijakan penurunan BI Rate, maka bank-bank tersebut dapat mempelopori penurunan bunga. Kalau keempat bank itu secara bersama-sama menurunkan bunganya, tentu yang lain akan ikut,” katanya. (ant)
KURS RUPIAH 9.500
9.950 10.000
9.955
9.990
10.500 13/8
14/8
18/8
Tiga Sektor Industri Belum Siap JAKARTA - Tiga sektor industri terancam mati suri karena belum siap menghadapi pelaksanaan persetujuan perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) ASEAN-China pada 2010. Ketiga sektor industri itu adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), peralatan dan mesin, serta baja. Menteri Perindustrian (Menperin) Fahmi Idris mengusulkan penundaan pelaksanaan persetujuan perdagangan bebas (Free Trade Agreement) ASEAN-China. “Harus ada penundaan,” ujar Fahmi Idris di Jakarta, kemarin. Fahmi menuturkan, daya saing industri ketiga sektor tersebut dengan China sangat tertinggal. Mengingat pihak China sangat kompetitif dengan kemampuan memiliki penguasaan industri hulu-hilir di tiga sektor tersebut. Kendati begitu, dia mengakui, persaingan dengan pro-
duk-produk China disektor mana pun sangat berat, karena selama ini negeri tirai bambu itu sangat maju diberbagai bidang industri. Ia mencontohkan produk China yang sangat mengancam dalam perdagangan bebas nanti di 2010 adalah TPT. China selama ini sangat menguasai sektor hulu-hilir di TPT karena memiliki industri terintegrasi dari bahan baku sampai produk jadi. “Kalau China dari hulu dan hilir punya. Tingkat persaingan sangat tergantung dari rangkaian hulu dan hilirnya. Kita kapasnya saja masih impor. Nanti, kita minta masukan asosiasi misal API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia). Mereka kan yang lebih tahu, penundaan sampai kita siap,” tuturnya. Disamping itu, sambung Menperin, industri yang akan terpukul yaitu industri mesin dan industri baja juga berpotensi terkena imbasnya. “FTA bukan untuk mematikan industri
tetapi untuk mengembangkan industri, kalau belum siap harus ditunda,” ujar Fahmi. Karenanya, Fahmi mengharapkan, semua proses kesepakatan perdagangan bebas dengan China sebaiknya ditunda. ”Kalau dengan China kita inferior, terutama untuk tekstil,” terangnya. Kesempatan berbeda, permintaan penundaan penerapan FTA yang berlaku awal 2010 ini juga disampaikan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia M.S Hidayat. Menurutnya, dalam situasi perdagangan global saat ini, masalah kerangka kerjasama FTA menjadi salah satu syarat. Kendati demikian, semestinya pemerintah tetap memperhitungkan kepada kepentingan nasional. ”FTA itu tujuannya selain interaksi global tetapi juga bisa menguntungkan kepentingan nasional,” tegasnya. (ind)
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi : Satria Naradha, Wakil Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab : Nariana Redaktur Pelaksana : Nikson, Gde Rahadi, Redaksi : Ahmadi Supriyanto (Koordinator Liputan), Suharto Olii, Indu P Adi, Achmad Nasrudin, Hardianto, Darmawan S Sumardjo, Heru B Arifin, Asep Djamaluddin, Ade Irawan, Ipik Tanoyo, Bambang Hermawan, Fellicca, Aris Basuki (Bogor), Rina Ratna (Depok). Iklan : Ujang Suheli, Sirkulasi : D.Swantara. Alamat Redaksi : Jalan Gelora VII No 32 Palmerah, Jakarta Pusat. Telpon (021) 5356272, 5357602 Fax (021) 53670771. Website : www.bisnis-jakarta.com, email : info@bisnis-jakarta.com. Tarif Iklan : Iklan Mini minimal 3 baris Rp 6.000 per baris, Iklan Umum/Display BW : Rp 15.000 per mmk, Iklan Warna FC : Rp. 18.000 per mmk Iklan Keluarga/Duka Cita : Rp 7.000 per mmk, Advetorial Mini (maks 400 mmk) Rp 4.500 per mmk, Biasa (lebih dari 400 mmk) Rp 6.000 per mmk. Pembayaran melalui Bank BCA No Rekening 006-304-1944 a/n PT. Bisnis Media Nusantara, Bank BRI No Rekening 0018-01-000580-30-2 a/n PT. Nusantara Media Baliwangi. Bukti transfer di fax ke (021) 53670771, cantumkan nama dan nomor telpon sesuai registrasi.
Penerbit : PT. NUSANTARA MEDIA BALIWANGI Wartawan Bisnis Jakarta membawa tanda pengenal dan tidak dibenarkan meminta/menerima sesuatu dari sumber.