terbit sejak 16 agustus 1948 perintis k. nadha
HARGA LANGGANAN Rp 90.000 ECERAN Rp 4.000
8 HALAMAN
NOMOR 224 TAHUN KE 72
Online:http://www.balipost.co.id http://www.balipost.com E-mail: balipost@indo.net.id Iklan/Redaksi/Sirkulasi (0361) 225764, 233801 Faksimile: 227418
Pengemban Pengamal Pancasila
Rabu wage, 8 april 2020
balipost http://facebook.com/balipost
@balipostcom http://twitter.com/balipostcom
@balipost_com http://instagram.com/balipostcom
Rawat Dua Pasien Positif Covid-19
Stok dan Harga Sembako Dipastikan Aman
Karyawan Hotel Dirumahkan
Hingga Selasa (7/4) kemarin, Rumah Sakit (RS) PTN Unud merawat tiga pasien Covid-19. Dari tiga yang positif itu, satu sudah sembuh dan telah pulang, sedangkan dua lainnya masih dirawat.
Petugas Polsek Susut melakukan pemantauan di Pasar Rakyat Kayuambua dan beberapa toko dan kios di wilayah Susut. Dari hasil pantauan itu, harga sembako masih normal.
Sekitar 250 karyawan hotel dan restoran di Kabupaten Jembrana dirumahkan akibat merebaknya virus Corona. Jumlah ini diperkirakan bertambah dalam beberapa waktu ke depan.
BANGLI | HAL. 5
BADUNG | HAL. 3
JEMBRANA | HAL. 4
Puncak Karya Ida Batara Turun Kabeh Di-”puput” 13 Sulinggih Amlapura (Bali Post)Pelaksanaan puncak karya serangkaian Tawur Tabuh Gentuh dan Karya Ida Batara Turun Kabeh di Pura Penataran Agung Besakih berlangsung lancar dan khidmat, Selasa (7/4) kemarin. Pada puncak karya itu, upacara di-puput 13 sulinggih. Berdasarkan pantauan kemarin, umat yang tangkil untuk melakukan persembahyangan sudah mulai datang sejak pagi hari. Hanya saja, jumlah pamedek yang tangkil tidak terlalu banyak. Kondisi ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana saat puncak karya umat yang tangkil selalu membeludak. Hal ini tentunya sangat terkait dengan kondisi tanggap darurat Covid-19 saat ini. Umat yang mengikuti persembahyangan juga terlihat menaati imbauan pemerintah untuk menerapkan physical distancing guna meminimalisasi risiko penyebaran Covid-19. Sebelum tangkil ke Pura Penataran Agung, umat lebih dulu sembahyang ke Pura Padharmaan masing-masing. Setelah itu, mereka baru sembahyang ke Penataran Agung.
Upacara puncak Ida Batara Turun Kabeh mulai dilaksanakan sekitar pukul 11.00 Wita. Upacara diawali dengan melakukan persembahyangan bersama. Ketua Panitia Jro Mangku Widiartha mengatakan, dalam puncak karya dilaksanakan upacara Muspayang Ida Batara Turun Kabeh dan Muspayang Ida Batara Turun ke Peselang. Jro Mangku Widiartha menambahkan, umat yang tangkil untuk melakukan persembahyangan jumlahnya tidak terlalu banyak. Kondisi saat ini jauh berbeda dengan karya tahun-tahun sebelumnya di mana saat puncak karya yang tangkil membeludak. Namun sekarang jumlah terbatas di tengah kondisi pandemi Covid-19. Bagi krama yang hendak tangkil melakukan persembahyangan selama berlangsungnya karya sampai 14 April mendatang, pihaknya mengimbau masyarakat agar mengikuti imbauan yang sudah dikeluarkan. Yakni, membatasi jumlah pamedek yang tangkil. “Rombongan yang tangkil jumlahnya dibatasi, yakni hanya 25 orang,” tegas Jro Widiartha. (kmb41)
PUNCAK – Suasana puncak Karya Ida Batara Turun Kabeh di Pura Penataran Agung Besakih dalam kondisi tanggap darurat Covid-19 tetap berlangsung lancar dan khidmat, Selasa (7/4) kemarin.
BALI ’’SIPENG’’ MESTI PERHATIKAN DAMPAK SOSIAL
Denpasar (Bali Post)Bali Sipeng, kini menjadi wacana hangat di kalangan krama Bali dan penduduk Bali. Langkah ini banyak diperdebatkan. Bahkan, jajaran Pemerintah Provinsi Bali mengaku belum tahu betul terkait wacana ini.
A
Bali Peringkat Ketujuh Jumlah Pasien Covid-19 JUMLAH pasien positif Covid-19 di Bali terus bertambah. Hal ini menyebabkan Bali secara akumulatif masuk peringkat 10 besar dari 32 provinsi yang dilaporkan terpapar. Dilihat dari Dashboard Pemantauan Covid-19 di Indonesia yang di-update pada Selasa (7/4) pukul 15.45 WIB, Bali berada di peringkat ketujuh. Dari data yang sudah di-update itu, Bali tidak ada penambahan kasus positif. Jumlah akumulatif positif Covid-19 mencapai 43 kasus. Sementara untuk yang sembuh mencapai 18 orang dan meninggal 2 orang. Bali berada di bawah Sulawesi Selatan yang kasus positif akumulatifnya mencapai 127 orang, sembuh 21 orang dan meninggal 6 orang. Sedangkan di bawah Bali adalah Yogyakarta dengan jumlah kasus positif sebanyak 41 pasien. Terdapat pasien sembuh 1 orang dan meninggal 3 orang. Sementara terkait data terbaru penambahan kasus di Indonesia, Juru Bicara Pemerintah dalam Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, dalam video conference streaming-nya mengatakan, ada penambahan kasus terkonfirmasi 247 orang sehingga total kasus 2.738 orang. “Kasus sehat bertambah 12 orang sehingga menjadi 204 orang,” jelasnya. Sementara itu, ada penambahan kasus meninggal 12 orang sehingga menjadi 221 orang. “Masih terjadi penularan di luar RS. Masih ada orang yang mengandung virus tapi tidak menyadari berada di sekitar kita,” ungkapnya. Achmad Yurianto meminta agar semua warga patuh dan disiplin untuk tetap tinggal di rumah dan mematuhi aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). “Mari kita bergandengan tangan melindungi bangsa kita. Saya yakin Indonesia pasti bisa,” ujarnya. (iah)
OPINI
Uji Ketahanan Budaya Bali
genda Bali Sipeng dilontarkan Bendesa Agung Majelis Desa Adat Bali, Ida Panglinsir Agung Putra Sukahet. Nyepi Desa Adat serentak di Bali ditempuh supaya secara sekala untuk memutus penularan Covid-19, secara niskala pada Sasih Kaenem, Kapitu, Kawulu dan Kasanga masih menjadi puncak sasih para bhuta kala. Langkah ini untuk memberikan kesempatan kepada bhuta kala untuk memanfaatkan kesempatan itu selama tiga hari untuk menuju somia dari watak bhuta kala menjadi watak Dewa. Nyepi desa adat serentak ini rencananya dilakukan tiga hari, yaitu 18-20 April 2020, dan Ngembak pada 21 April 2020 mendatang. Rencana Bali “Sipeng” atau Nyepi Desa Adat di Bali yang digagas Majelis Desa Adat dan PHDI Bali akan difinalisasi melalui Paruman PHDI Bali pada Rabu (8/4)
baik secara sekala maupun niskala. “Kalau misalnya, imbauan itu (Bali Sipengred) dibuat jika dihubungkan dengan Covid-19, jangan dikaitkan dengn Nyepi, cukup imbauannya tiga hari karantina wilayah,” tegas Ida Pandita Darmita, Selasa (7/4) kemarin. Apabila rencana Bali “Sipeng” dijalankan, harus dipikirkan dampak sosial dan ekonomi masyarakat Bali. Apalagi, sejauh ini krama Bali sudah cukup taat dan menuruti instruksi pemerintah guna meminimalisasi penyebaran Covid-19 di Bali. “Ini yang aneh, orang Bali super ketat justru non-Bali masih leluasa berseliweran di Bali. Sudah cukup merasakan pahit getirnya mengenai pandemi ini. Niscaya badai ini cepat berlalu dan jangan lupa beryadnya sesuai dengan ucap sastra Veda dan Vedanta,” ujar Ida Pandita.(win)
”Sipeng belum ada dalam sastra agama atau sumbernya. Sehingga, jika dilaksanakan tanpa berdasarkan sumber, maka akan berdampak tidak baik secara sekala maupun niskala. Kalau misalnya, imbauan itu (Bali Sipeng-red) dibuat jika dihubungkan dengan Covid-19, jangan dikaitkan dengan Nyepi, cukup imbauannya tiga hari karantina wilayah.” Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita
MERESPONS cuplikan berita di Program Seputar Bali di Bali TV tentang rencana Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali menggelar sipeng desa, Bendesa Agung MDA Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet menganggap pro dan kontra itu dengan ringan. “Oh, itu baru sebatas rencana. Tanggal 8 April baru akan kita rapat dengan PHDI. Itu tidak sama dengan Hari Raya Nyepi, sipeng desa namanya dan ada sipeng carik, sipeng subak, sipeng segara, begitu,” terangnya melalui sambungan telepon. Ia menyebutkan, sipeng desa ini bisa diistilahkan sebagai lockdown (menutup wilayah) ala Bali. Sebab, kebijakan lockdown yang sesungguhnya adalah wewenang pemerintah pusat. Ia menjelaskan, sipeng desa bukan saja mengirim pesan bahwa masyarakat tidak beraktivitas di luar rumah, namun juga mengandung unsur niskala, karena desa adat akan melakukan upacara skala kecil. Terhadap kecemasan warga dengan rencana ini, ia menilai sikap itu kurang relevan lantaran saat ini Pemprov Bali juga mengim-
bau agar masyarakat tidak keluar rumah, untuk kepentingan mencegah penyebaran Covid-19. Hal. 7 Patuhi Protokol
”Kalau Cuma tiga hari, sekarang saja sudah bisa beli bekal sedikit demi sedikit. Lain kalau lockdownnya sebulan atau dua minggu. Ini (sipeng desa) supaya sekala dan niskala berjalan. Cuma tidak keluar rumah saja, bandara buka, akses jalan pun buka.” Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet
Ajaran Leluhur Bali dalam Menyapa Wabah
Oleh Agung Kresna
MANAKALA pandemi Covid-19 melanda wilayah Nusantara, manusia Indonesia seakan diuji ketahanan dan kemandirian sosial, ekonomi dan budayanya. Covid-19 memang telah menjungkirbalikkan segala prediksi dan rencana para ahli dan pemegang kebijakan negara di seluruh penjuru dunia. Covid-19 memang tidak pernah masuk sebagai variabel perencanaan dan perhitungan akan berbagai kebijakan. Para pemegang kebijakan dan para ahli bagai dihadapkan pada situasi dan kondisi yang mungkin tidak ada dalam teori perencanaan. Selama ini pandemi suatu penyakit memang tidak pernah menjadi salah satu variabel dari unsur bencana dalam suatu proses perencanaan. Selama ini hanya variabel bencana alam yang dimasukkan dalam unsur perhitungan dan perencanaan. Pandemi Covid-19 awalnya memang hanya terasa imbasnya pada sektor ekonomi akibat ditutupnya jaringan transportasi udara, laut dan darat, sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19 yang lebih luas. Distribusi sebagai salah satu unsur ekonomi selain produksi dan konsumsi, menjadi tulang punggung dalam menjaga kestabilan perekonomian suatu kawasan. Ketika penyebaran Covid-19 semakin meningkat serta tidak jelas sumber dan saat penularannya, muncul cara memutus rantai pemularan Covid-19 melalui social distancing yang kemudian lebih dikenal sebagai physical distancing. Hal. 7 Muncul Krisis
hari ini. Meskipun rencana Bali Sipeng ini hanya akan menerapkan satu brata panyepian, yaitu Amati Lelanguan (tidak boleh berpergian, red), namun telah tersebar di tengah masyarakat Bali, bahkan menjadi perdebatan. Secara sekala dan niskala, Bali Sipeng untuk mempercepat memutus rantai penyebaran virus Corona di Bali. Sebab, secara niskala sangat berkaitan dengan menghormati bhuta kala sebelum Tilem Kadasa (22 April 2020), yang disertai dengan upacara bhuta yadnya berskala kecil. Kendati demikian, Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati mengatakan, kegiatan yang berhubungan dengan hari suci agama harus ada acuannya. Sedangkan Sipeng belum ada dalam sastra agama atau sumbernya. Sehingga, jika dilaksanakan tanpa berdasarkan sumber, maka akan berdampak tidak
”Sipeng Desa” Tak Sama dengan Nyepi
Oleh Sugi Lanus “Wabah (gering-mrana) tidak boleh diumpat —ten dados pisuh. Kalau diumpat mereka datang berlipat —yening pisuh medal ngeliuanang”, demikian pesan para tetua Bali yang secara turun-temurun. Pesan ini mengajari kita untuk menjauhkan pikiran dari rasa benci terhadap wabah. Sebaliknya wabah dimaknai sebagai peluang belajar menahan diri. Leluhur Bali memang mewariskan berbagai ajaran tertulis dan lisan untuk menghormati alam dan isinya.
Secara konsisten ajaran ini teguh dipegang ketika wabah datang menghampiri. Para tetua memaknai datangnya wabah sebagai pembawa pesan dari niskala: “Mangda nenten merkak dados jadma” (Agar tidak congkak sebagai manusia). Datangnya wabah pun menjadi momentum kesadaran, “mulat sarira” (memasuki dan memahami diri). Memeriksa ke dalam, bukan menyalahkan keluar. Wabah bisa menyerang lahan pertanian, ternak dan manusia. Para petani punya berbagai kisah kegagalan panen. Biasanya disebabkan oleh hama walang sangit, ulat, wereng dan tikus. Hidup petani yang sahaja dibuat morat-marit. Walang sangit, ulat, wereng dan tikus seperti mengikat janji, bergilir menyerang sawah dan lumbung petani. Alih-alih mengumpatnya, para petani malah memberi gelar kehormatan “jro” kepada wereng dan tikus. Hama diajak ngomong dan disapa dalam upakara: “Mekaon mekaon jro, mekaon jrone mekaon.” (Pergi pergilah tuan dan puan, pergi pergilah tuan dan puan). Diucapkan tanpa nada benci. Jauh dari perasaan
bermusuhan atau dimusuhi. Diucapkan dalam suasana ritus suci penaklukan hama, Nangkluk Mrana. Tikus diberi gelar kehormatan sebagai “Jro Ketut”. Jika petani sudah habishabisan berdoa, dan tetap saja subak dilalap tikus, untuk kesekian kali panen, barulah tikus diburu. Ini harus dilakukan lewat prosesi permohonan maaf pinuning. Perburuan dihayati sebagai ritus suci. Ditutup dengan upakara penyucian somya: Ngaben Tikus. Baik Nangluk Mrana dan Ngaben Tikus dilandasi permintaan maaf dan doa suci ke hadapan Batara Bedugul — berakar kata dari “Bedogol” (arca penjaga) yang tidak lain dari personifikasi Batara Hyang Ganapati (Ganeśa), beliau yang menguasai segala kekuatan alam bawah dan penghubung ke alam atas. Kawanan kera —yang sering mengganggu pertanian yang berbatasan dengan hutan— juga disebut sebagai “Jro Ketut”. Mungkin karena tikus dan kera makhluk berekor (maikut atau maikuh) maka keduanya diberi gelar “Jro Berekor” (?). Jika ditelisik kenapa gelar
“jro” diberikan kepada tikus dan kera, serta warga hama, tampaknya didasari oleh sikap hormat yang mendalam pada alam yang menjadi pedoman hidup leluhur Bali. Leluhur Bali mengajari bahwa pikiran baik dan tidak membenci akan mendatangkan energi kekuatan penyembuh dan energi kasih perlindungan dari semesta alam. Secara umumnya, kata “jro” adalah gelar kehormatan untuk Pemangku atau seseorang yang dianggap telah mengalami transformasi kehidupan, meninggalkan keduniawian dan masuk ke kehidupan spiritual. “Jro” juga merupakan panggilan kehormatan untuk para tetua prajuru desa adat di Bali. Mungkin hanya beberapa tetua Desa Pedawa, Buleleng, yang risih dipanggil “jro”. Sebutan “jro” berasosiasi dengan penguasa mrana (wabah). Di desa ini “jro” adalah spesifik ditujukan untuk makhluk yang bisa membawa kabrebehan (aura kebencanaan). Pendeta Desa Pedawa tidak dipanggil jro mangku tapi dane balian (yang mulia juru upakara). “Dane” untuk pemimpin upa-
kara dan “jro” untuk makhluk alam lain yang potensi membawa wabah. Dalam konteks anggahungguh atau tata krama berbicara, “jro” (atau kadang ditulis “jero”) adalah bentuk hormat (honorific) yang ditujukan juga kepada lawan bicara yang tidak kita kenal. “Jro numbas napi?” (Tuan-puan membeli apa?), atau “Jro saking dija?” (Tuan-puan dari mana?). Demikian di masa lalu pedagang menyapa pembeli. Sebutan “jro” bermakna honorific (penghargaan) dan sekaligus mengandung arti “sosok yang tidak kita kenal”. “Jro” merujuk pada yang tidak kita kenal asal usulnya dan tidak kita pahami kepentingannya. Seperti halnya “jro” Covid-19. Ia tidak kita kenali, entah datang dari mana, mungkin dari dunia antah berantah. Ia tidak kita kenali maksud tujuan kedatangannya. Ia seperti penjelmaan BhutaKala dalam naskah-naskah Jawa Kuno: Kekuatan niskala yang bisa berlari menunggang angin, meloncati gunung, laut dan pulau-pulau. Hal. 7 Jro Ketut