8 minute read
BHS) : Indonesia Ingin Mengembangkan Industri Perikanannya Namun Menghadapi “Hambatan” (ENG) : Indonesia Wants To Grow Its Fishery Industry But Faces “Roadblocks
INDONESIA INGIN MENGEMBANGKAN INDUSTRI PERIKANANNYA NAMUN MENGHADAPI “HAMBATAN
JAKARTA: Iwan, seorang nelayan, yang sama seperti orang Indonesia lainnya, hanya memiliki nama dengan satu kata, telah berkecimpung di industri selama 10 tahun terakhir. Tuan Iwan dilahirkan dan dibesarkan di kepulauan Natuna di wilayah terluar Indonesia di dekat Laut Tiongkok Selatan, yang kaya akan kekayaan laut. Meskipun ikan melimpah di laut, pria berusia 44 tahun tersebut mengatakan kalau dia tidak pernah mendapatkan keuntungan yang besar. Ada kalanya Tuan Iwan, yang bekerja dengan dua nelayan lainnya di atas kapal penangkap ikan yang terbuat dari kayu dengan berat 6GT (Gross Tonnage / Tonase Bruto), bisa mendapatkan sekitar 5 juta rupiah (355 Dolar Amerika) per bulan. Tetapi sekarang ia hanya berpenghasilan 1 juta rupiah. “Kini lebih sulit untuk mendapatkan ikan, dan harganya juga semakin murah,” kata Tuan Iwan. Dia mengklaim bahwa aktivitas penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing memainkan peranan dalam menipisnya ketersediaan ikan-ikan di laut, sementara COVID-19 menyebabkan harga turun. Sementara pemerintah ingin mengembangkan sektor perikanan di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi, mereka harus mengatasi berbagai tantangan antara lain infrastruktur, pendanaan dan kekurangan sumber daya manusia. Pada awal bulan Mei 2020, badan statistik nasional melaporkan Pendapatan Domestik Bruto Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020 mencapai 2,97 persen, tingkat terendah sejak tahun 2001. Meskipun ada hambatan, industri perikanan tetap bertumbuh 3,52 persen pada kuartal pertama tahun ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan industri perikanan Indonesia bernilai sekitar 1,34 miliar Dolar Amerika per tahun.
Langkah pemerintah untuk mengembangkan industri perikanan dinilai positif oleh analis, namun mereka juga mencatat bahwa ini sebenarnya merupakan upaya yang berkelanjutan. “Saya pikir ini merupakan ide yang bagus mengingat sumber daya dan potensi yang kita miliki sebagai negara dengan wilayah perairan yang luas dan lokasi di daerah tropis dengan keanekaragaman hayati dan pasokan yang kaya,” Kata konsultan kelautan dan perikanan independen di Jakarta, Ahmad Baihaki. Dia menambahkan: “Pada saat ini, ini juga merupakan salah satu sektor dan komoditas yang bisa kita pertahankan sendiri dan tidak berganting kepada impor, malah kita yang mengekspor ke luar negeri.” “Tapi narasi ini telah menjadi topik untuk beberapa waktu di beberapa pemerintahan. Jadi saya benar-benar berharap kali ini, ada keseriusan untuk mewujudkan ambisi ini.” Tuan Abdul Halim, direktur ekskutif Pusat Studi Kelautan bagi Kemanusiaan di Jakarta, mengatakan bahwa visi tersebut sudah ada sejak hampir dua dekade yang lalu. Tetapi niat pemerintah untuk berbuat lebih mulai terlihat akhir-akhir ini. Meskipun begitu, namun kedua analis mengatakan kalau kurangnya data yang terpercaya dan tepat mengenai ketersediaan ikan di laut, serta data penangkapan yang mempengaruhi pengelolaan perikanan, dan strategi panen, telah menghambat upaya tersebut. Masalah lainnya adalah kendala infrastruktur, kata mereka. Kurangnya infrastruktur di pelabuhan, jalan, akses laut dan pendingin menyebabkan beberapa masalah, termasuk tingginya biaya operasional bagi bisnis, kata Tuan Baihaki. Pasokan listrik ke pelabuhan merupakan masalah yang selalu ada, kata Tuan Halim. Akibatnya, sistem logistik nasional tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya karena penyimpanan berpendingin tidak dapat berfungsi optimal, jelasnya. Eksportir ikan yang berbasis di Natuna, Al Izhar mengatakan bahwa ia dapat diuntungkan dengan infrastruktur yang lebih baik di kampung halamannya, teutama dalam hal mengatasi masalah konektivitas. “Pada saat ini, transportasi udara sangat merepotkan dan mahal di Natuna,” kata Tuan Izhar, menambahkan bahwa jaringan penerbangan sangat dibutuhkan untuk mengekspor produk perikanan. Kurangnya akses pasar dan pendanaan juga telah mempengaruhi pengembangan sektor perikanan, kata Tuan Baihaki yang juga mengatakan banyaknya peluang investasi yang belum dimanfaatkan. Sekitar 90 persen operator perikanan merupakan usaha skala kecil, yang memerlukan bantuan pendanaan dan pengelolaan.
ANALIS: KURANGNYA DATA TERPERCAYA & INFRASTRUKTUR MENGGUNCANG UPAYA JAWA SEBAGAI PUSAT PERINDUSTRIAN PERIKANAN
KENDALA SUMBER DAYA MANUSIA, KONDISI KERJA
Tuan Baihaki juga menyoroti bahwa industri ini sangat terfokus di pulau Jawa, di mana ibutkota Jakarta berada dan merupakan pusat perekonomian Indonesia. Ikan yang tertangkap di bagian Timur Indonesia biasanya diproses di Jawa, jelas Tuan Baihaiki. “Ekspor komoditas juga biasanya harus melalui pelabuhan utama di Jawa. Bayangkan berapa biaya yang bisa perusahaan hemat jika ikan-ikan tersebut ditangkap, diolah, dan dikirim ke luar negeri melalui pelabuhan yang ada di wilayah timur Indonesia. “Sebagian besar destinasi ekspor utama Indonesia dekat dengan wilayah di mana ikan-ikan ditangkap,” kata para ahli. Para kuartal pertama tahun 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat destinasi utama eskpor Indonesia adalah Amerika Serikat, Tiongkok, ASEAN, Jepang dan UE.
Tuan Moh Abdi Suhufan, koordinator organisasi non-pemerintah Pengawas Perikanan Merusak (Destructive Fishing Watch / DFW) Indonesia setuju dengan menciptakan lapangan kerja secara lokal dapat menghindari pelecahan nelayan Indonesia di luar negeri. “Selama pemerintah dapat mengelola dan menetapkan standar gaji awak kapal penangkap ikan,” kata Tuna Suhufan. Aktivis yang berada di Jakarta juga mengatakan bahwa pada saat ini ada sekitar 6.000 kapal nelayan dengan berat di atas 30GT. Ini dapat ditingkatkan menjadi 10.000 kapal sehingga lebih banyak lapangan kerja dapat diciptakan. Untuk saat ini, Tuan Iwan, nelayan di Natuan memiliki dua keinginan. “Jika pemerintah mau memberikan bantuan, mereka harus sejalan dengan kebutuhan kami. Dan tolong tingkatkan nilai produk kami sehingga mata pencaharian nelayan dapat meningkat.”
INDONESIA WANTS TO GROW ITS FISHERY INDUSTRY BUT FACES “ROADBLOCKS”
JAKARTA: Fisherman Iwan, who like many Indonesians goes by one name, has been in the industry for the last 10 years. Mr Iwan was born and raised in Natuna islands at Indonesia’s outermost area near the South China Sea, which is rich in fishery resources. Despite an abundance of fishes in the sea, the 44-year-old said he has never benefitted economically in a big way. There were times when Mr Iwan, who works together with two other fishermen on a 6GT (Gross Tonnage) wooden fishing boat, could earn about 5 million rupiah (US$355) per month. But nowadays he usually only earns about 1 million rupiah. “It is now harder to find fish, and the prices are getting cheaper,” Mr Iwan said. He claimed that illegal fishing activities by foreign vessels has played role in depleting the availability of fishes in the sea, while COVID-19 is causing prices to dip. While the government wants to grow the fishery sector amid an economic slowdown brought about by the pandemic, it has to overcome various challenges including infrastructure, financing and lack of human of resources, among other things. In early May 2020, the national statistics agency reported Indonesia’s first quarter Gross Domestic Product for 2020 at 2.97 per cent, the lowest level since 2001. Despite the headwinds, the fishery industry grew 3.52 per cent in the first quarter of this year. The ministry of marine affairs and fisheries estimates that Indonesia’s fishery industry is worth around US$1.34 billion annually.
LACK OF RELIABLE DATA, INFRASTRUCTURE HAVE HURT EFFORTS: ANALYSTS JAVA AS HUB OF FISHERY INDUSTRY
HUMAN RESOURCE CONSTRAINTS, WORKING CONDITIONS
The government’s move to further develop the fishing industry is viewed positively by analysts, but they also noted this has actually been an ongoing effort. “I think this is a great idea considering the resources and the potential that we have as a country with vast water areas and the location in the tropics with rich biodiversity and supply,” Jakarta based independent marine and fisheries consultant Ahmad Baihaki said. He added: “At the moment, this is also one of the sectors and commodities that we can self-sustain and do not need to import, instead, we export abroad.” “But this narrative has been the topic for quite some time over several administrations. So I really hope this time, there is an actual seriousness for a breakthrough to realise this ambition.” Mr Abdul Halim, executive director of Jakarta based NGO Center of Maritime Studies for Humanity, said that the vision has existed for almost two decades. However, the government’s intention to do more has been signalled more clearly lately. This being said, both analysts stated that a lack of reliable, accurate data regarding the availability of fish stocks in the ocean, as well as catch and landing data that affect fishery management and harvest strategy, have hindered the attempt. Another issue is infrastructural constraints, they said. The lack of reliable infrastructure in ports, roads, sea access and refrigeration have caused several problems, including higher operational costs for businesses, said Mr Baihaki. Electricity supply to the ports is a particularly acute problem, Mr Halim said. As a result, the national logistics system cannot function as it should because its cold storage is not functioning optimally, he explained. Natuna-based fish exporter Al Izhar said that he would benefit from better infrastructure in his hometown, especially in terms of tackling connectivity issues. “At the moment, air transport is very troublesome and expensive in Natuna,” Mr Izhar said, adding that aviation links are very much needed to export fishery products. The lack of access to markets and financing have also affected the development of the fishery sector, said Mr Baihaki who also said that there are many untapped investment opportunities. Around 90 per cent of fishery operators are small-scale enterprises, who require help with financing and management.
Mr Baihaki also highlighted that the industry is heavily focused on Java island, where capital Jakarta is situated and the centre of Indonesia’s economy. Fishes caught in the eastern part of Indonesia are usually processed in Java, Mr Baihaiki explained. “Exports of the commodities also typically have to go through main ports in Java. Imagine how much costs the businesses can save if those fishes are caught, processed, and sent abroad from ports in the eastern parts of Indonesia. “Most of Indonesia’s main export destinations are closer to the areas where the fishes were caught,” the expert said. In the first quarter of 2020, the ministry of marine affairs and fisheries recorded that Indonesia’s main export destinations are the United States, China, ASEAN, Japan and the EU.
Mr Moh Abdi Suhufan, the national coordinator for non-governmental organisationDestructive Fishing Watch (DFW) Indonesia agreed that creating jobs locally could prevent Indonesian fishermen from being abused abroad. “As long as the government can manage and set a standard payroll for crew members of fishing vessels,” Mr Suhufan said. The Jakarta based activist also said that at the moment there are about 6,000 fishing vessels which are over 30GT. This could be increased to 10,000 ships so that more jobs can be created. For now, Mr Iwan, the fisherman in Natuna has two wishes. “If the government wants to give aid, it has to be in line with our needs. And please increase the value of our products so the livelihoods of all fishermen will improve.”