33 minute read

BHS) : FSRU Baru Indonesia Meninggalkan Galangan (ENG) : New Indonesia FSRU Leaves Shipyard

FSRU BARU INDONESIA MENINGGALKAN GALANGAN

Unit penyimpanan dan regasifikasi terapung (floating storage and regasification unit / FSRU) berukuran The 170.000m³ Jawa Satu meninggalkan galangan kapal pembuat kapal Korea Selatan,Samsung Heavy Industries di Geoje kemarin. Keberangkatan tersebut menunjukkan bahwa pemilik Jawa Satu Regas sebuah perusahanan kerja sama antara BUMN Pertamina, Marubeni dan Mitsui OSK Lines asal Jepang, dan sebuah perusahaan dagan berbasis Tokyo, Sojitz telah menerima pengiriman tersebut. Kapal tersebut hari ini mengumumkan kedatangannya di fasilitas pencairan Bontang di Indonesia pada tanggal 15 Januari, menunjukkan bahwa ia mungkin akan menerima kargon pendingin sebelum diinstalasi di pantai utara Jawa Barat. Namun Jawa Satu mungkin akan beroperasi sebagai pengangkut LNG untuk beberapa waktu, mencerminkan FSRU baru lainnya yang dikirim pada tahun 2020. Perusahaan kerja sama tersebut bermaksud menggunakan FSRU untuk memasok ke pembangkit listrik bertenaga gas sebesar 1,76GW di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Perusahaan listrik milik negara PLN telah menandatangani kesepakatan pembelian berjangka waktu 25 tahun untuk hasil dari pabrik tersebut, dengan rencana dimulai dari tahun ini. Dan LNG diharapkan dapat dipasok dari fasilitas likuidasi Tangguh dengan hasil 7,6 juta ton per tahun, di mana PLN menandatangani kesepakatan pembelian sebesar 1,5 juta ton per tahun. Pengangkutan FSRU Jawa Satu Regas mengikuti sejumlah pengangkut LNG lainnya yang dimulai pada tahun ini, di mana pembuat kapal asal Korea Selatan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering mengirimkan empat kapal induk. Pembuat kapal Korea Selatan Hyundai Heavy Industries juga mengirimkan Aristidis I dengan kapasitas 174,000m³ kemarin kepada pemilik asal Yunani, Capital Gas. Kapal induk tersebut terikat dengan perjanjian berjangka waktu 12 tahun dengan BP, merupakan yang kedua dari tujuh yang sebelumnya sudah dipesan. Arisitidis I diharapkan dapat dikirmkan pada bulan November tahun lalu, tetapi tampaknya telah tertunda beberapa bulan, bersamaan dengan Aristarchos dan Attalos yang berukuran sama kini masing-masing dijadwalkan untuk bulan Juni dan Agustus tahun ini.

NEW INDONESIA FSRU LEAVES SHIPYARD

The 170,000m³ Jawa Satu floating storage and regasification unit (FSRU) left South Korean shipbuilder Samsung Heavy Industries’ Geoje shipyard yesterday. The departure suggests that owner Jawa Satu Regas a joint venture between Indonesian state-owned Pertamina, Japan’s Marubeni and Mitsui OSK Lines, and Tokyo-based trading firm Sojitz has taken delivery of the unit. The vessel was today declaring for arrival at Indonesia’s Bontang liquefaction facility on 15 January, suggesting that it may be receiving a cool-down cargo ahead of installation on West Java’s northern coast. But the Jawa Satu may operate as a LNG carrier for a period instead, mirroring other newbuild FSRUs that were delivered in 2020. The joint venture intends to use the FSRU to supply a 1.76GW gas-fired power plant in Karawang Regency in West Java. Indonesian state-owned utility PLN has signed a 25-year power purchase agreement for generation from the plant, with start-up planned for this year. And LNG had been expected to be supplied from the country’s 7.6mn t/yr Tangguh liquefaction facility, with which PLN has a 1.5mn t/yr purchase agreement. Jawa Satu Regas’ new FSRU follows a number of LNG carrier deliveries at the start of this year, with South Korea’s Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering delivering four carriers. South Korean shipbuilder Hyundai Heavy Industries also delivered the 174,000m³ Aristidis I yesterday to Greek owner Capital Gas. The carrier, which is tied to a 12-year term charter with BP, is the second delivered to the owner, from seven originally ordered. The Arisitidis I had been expected for delivery in November last year, but appears to have been delayed by a few months, along with the same-sized Aristarchos and Attalos now scheduled for June and August this year, respectively.

Dengan semakin banyaknya informasi yang muncul, kelihatannya sumber ledakan yang baru-baru ini ter jadi di Beirut, Lebanon merupakan pengiriman amonium nitrat yang yang ditinggalkan di pelabuhan 6 tahun yang lalu. Bencana ini membawakan kemalangan yang lebih lanjut lagi terhadap negara tersebut di mana mereka berjuang dari krisis finansial akibat pandemi COVID-19, sementara itu mereka juga berhadapan dengan potensi bahaya karena pengabaian kapal, sebuah masalah yang besar dan kurang dipublikasi dalam industri transportasi kelautan. Laporan berita setelah ledakan, yang terjadi pada tanggal 4 Agustus, telah memastikan bahwa ledakan tersebut merenggut nyawa 220 orang, diakibatkan oleh ledakan 2.750 MT Amonium Nitrat, bahan umum dalam pembuatan pupuk. Meskipun awalnya tidak jelas, namun laporan selanjutnya mengkonfirmasi bahwa sumber amonium nitrat tersebut adalah dari MV Rhosus, sebuah kapal kargo umum berukuran kecil yang dikonstruksi pada tahun 2986, kemudian diabaikan oleh pemilik kapal Igor Grechuskin pada akhir tahun 2013. Setelah kapal tersebut diabaikan, kemudian kargo-kargo tersebut dipindahkan ke fasilitas darat di mana ia mendekam selama 6 tahun hingga tanggal 4 Agustus 2020, ketika sumber yang tidak diketahui menyebabkan ledakan. Sejak ledakan tersebut, pemerintah Lebanon telah dijatuhkan di tengah protes yang meluas ketika warga Beirut heboh mencari tahu siapa yang harus disalahkan atas kondisi penyimpanan yang tidak aman untuk kargo yang berbahaya tersebut. Amonium Nitrat memiliki sejarah panjang dalam menyebabkan bencana, di laut maupun di darat, termasuk beberapa bencana dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2015 sebuah toko yang menjual amonium nitrat menyebabkan ledakan di pelabuhan Tianjin, Tiongkok yang merenggut nyawa 173 orang. Pemandangan dari bencana di Tianjin tersebut sangat mirip dengan bencana di Beirut dan menurut penyelidikan resmi pemerintah Tiongkok, ledakan tersebut terjadi karena penyimpanan AN yang ilegal. MV Chesire memberikan contoh yang lebih lanjut tentang potensi bahaya kargo sejenis. Pada tahun 2014 kapal tersebut mengangkut 50.000 MT pupuk berbasis AN ke Thailand, ketika pada tanggal 14 Agustus, barang-barang tersebut mengalami dekomposisi, kenaikan suhu dan mengeluarkan awan gas beracun. Akhirnya, awak kapal dievakuasi dan pupuk tersebut terbakar selama 2 minggu di atas kapal hingga semua bahan bakar habis. Contoh-contoh di atas hanyalah dua dari sekian banyak contoh yang menegaskan pentingnya menjaga prosedur keselamatan untuk jenis kargo seperti ini. Meskipun kemungkinan akan memakan waktu lama untuk memastikan siapa yang bertanggung jawab atas kondisi penyimpanan yang tidak aman di gudang Beirut, tapi kenyataan bahwa kargo tersebut berada di Beirut pada saat ini dikarenakan pemilik kapal yang tidak bertanggung jawab yang meninggalkannya. Pada akhirnya, kasus MV Rhosus merupakan representasi masalah yang menimpa banyak awak kapal setiap tahun. Menurut data dari Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Organization / ILO), kapal / awak kapal yang diabaikan oleh pemiliknya di tahun 2018 mencapai 366 kasus, meninggalkan awal kapal pada situasi yang berbahaya. Biasanya korban yang diabaikan ini merupakan awak kapal kemungkinan besar gaji mereka ditahan oleh pemilik kapal dan menghadapi kesulitan besar untuk dipulangkan. Dalam kasus yang lebih parah, awak kapal yang diabaikan harus bergantung kepada badan amal atau layanan sosial lokal untuk memberikan mereka makanan dan air bersih hingga situasi mereka dibereskan oleh pemerintah setempat. Menurut mantan kapten kapal, Boris Prokoshev, MV Rhosus pada awalnya dimaksudkan untuk melepaskan muatannya di Mozambik namun pemilik kapal tidak memiliki dana untuk transit di terusan Suez sehingga berusaha untuk memuat kargo tambahan di Beirut. Karena usia dan kondisi yang buruk, kapal tersebut tidak dapat memuat kargo dan kehabisan dana, pemilik kapal mengabaikan kargo dan awak kapal di pelabuhan. Kapten dan 3 awak kapal lainnya dipaksa oleh pihak berwenang Beirut untuk tetap berada di atas kapal hingga iuran pelabuhan yang terhutang oleh pemilik kapal dilunasi (Bagian ini harus diperiksa, karena ada beberapa laporan yang bertentangan). Tanpa sumber keuangan ataupun dukungan dari pemilik kapal, awak kapal dipaksa untuk terus memelihara kapal tanpa ada bayaran, karena menyadari bahwa kapal tersebut memuat kargo yang mudah meledak. Pada akhirnya, kapten menjual sisa bahan bakar yang ada di dalam kapal dan menyewa pengacara untuk membantu mendapatkan izin untuk dipulangkan atas dasar belas kasih. Sementara di sinilah banyak cerita tentang penelantaran kapal berakhir, namun dalam kasus MV Rhosus dikarenakan pemerintah setempat dan alasan yang belum diketahui, pengabaian ini berakibat jauh lebih tragis. IMO dan ILO memiliki pedoman terkait klaim yang melibatkan pelaut, namun situasi seperti ini sering sekali menimbulkan pertanyaan peraturan dan yuridikasi bagi otoritas setempat. Kekurangan sumber finansial, mengakibatkan pelaut sering gagal mendapatkan perwakilan hukum dan karena itu berada di bawah kekuasaan birokrasi lokal yang berpotensi lambat dan tidak efisien. Mengingat kemarahan global akibat ledakan Beirut, cara penanganan pengabaian kapal mungkin akan berubah karena bencana ini telah mengungkapkan konsekuensi yang berpotensi bencana dari memercayakan kargo kepada pihak berwenang setempat. Di daerah di mana mungkin ada korupsi yang meluas atau kerangka peraturan yang lemah, bahaya yang ditimbulkan dari pengabaian kapal meningkat seperti apa yang kita saksikan di Beirut. Sementara perubahan yang akan ditimbulkan akibat bencana ini masih ditentukan, harapannya adalah setidaknya di Lebanon hal itu akan membawa hasil yang lebih aman bagi warganya.

CATASTROPHIC VESSEL ABANDONMENT

As more information has emerged it appears that the source of the recent explosions in Beirut, Lebanon was a shipment of ammonium nitrate which was abandoned at the port 6 years ago. This disaster brings even more misfortune to a country struggling under a severe financial crisis as well as the COVID – 19 pandemic while it also underscores the potential dangers posed by vessel abandonment, a major and under-publicized issue in the marine transport industry. News reports following the explosion, which occurred on August 04th, have confirmed that the blast, which left at least 220 dead, was caused by the detonation of 2750mt of Ammonium Nitrate, a common ingredient in fertilizer. While initially unclear, subsequent reporting has seemed to confirm that the source of the ammonium nitrate was the MV Rhosus, a handysize general cargo ship constructed in 1986, which was abandoned by the vessel owner Igor Grechuskin in late 2013. Following the vessel’s abandonment, it appears that the cargo was transferred to onshore facilities where it languished for 6 years until August 04th 2020, when an unknown source caused it to detonate. Since the explosion Lebanon’s government has fallen amid widespread protests as Beirut residents have raised a furor over who is to blame for the unsafe storage conditions of such a dangerous cargo. Ammonium nitrate has a long history of causing disasters, both on land and at sea, including several disasters within the last several years. In 2015 a store of ammonium nitrate was responsible for an explosion at the port of Tianjin, China claiming the lives of 173 people. The scenes from the disaster in Tianjin are eerily similar to those in Beirut and according to the Chinese Government’s official inquiry was caused by AN being stored illegally. The MV Chesire provides a further example of the potential dangers of this type of cargo. In 2014 the vessel was carrying a shipment of 50 000mts of AN-based fertilizer on a run to Thailand when, on August 14th, the shipment underwent decomposition, rising in temperature and emitting billowing clouds of toxic gas. Ultimately, the vessel’s crew evacuated and the fertilizer onboard burned for 2 weeks until all of the potential fuel had been exhausted. The aforementioned examples are just two of many which reinforce the importance of maintaining proper safety procedures around this type of cargo. While it will likely take a long time to ascertain who is to blame for the unsafe storage conditions at the Beirut warehouse, the fact that the cargo was present in Beirut at all can be attributed to the irresponsible shipowner who abandoned it. Ultimately, the case of the MV Rhosus is representative of a problem which afflicts many crews each year. According to the ILO (International Labour Organization) database on abandoned vessels / crew, in 2018 there were 366 cases of vessels abandoned by the owners, leaving their crew in a precarious situation. Typically the victims of these abandonments are the seafarers aboard the vessel who may be owed wages by the owner and may also face great difficulty repatriating. In severe cases once the ship’s stores are exhausted, abandoned crew members must rely on charity or local social services to provide food and fresh water until their situation is sorted out by the local authorities. According to the vessel’s former master, Boris Prokoshev, the MV Rhosus was originally intended to discharge her cargo in Mozambique however the vessel’s owner did not have the funds to transit the Suez canal and so attempted to load additional cargo in Beirut. Due to it’s age and poor condition the vessel was unable to load this cargo and, out of funds, the owner abandoned both cargo and crew at the port. The master and 3 other crew members were compelled by the Lebanese authorities to remain onboard the vessel until the port dues owed by the shipowner had been payed (Must check this there is some conflicting reports). Without financial resources or any support from the owner, the crew were forced to continue maintaining the vessel unpaid, aware that it was carrying potentially explosive cargo. Eventually, the master sold some of the fuel remaining onboard and hired lawyers who managed to obtain permission for the crews to repatriate on compassionate grounds. While this is where many stories of vessel abandonment end, in the case of the MV Rhosus because of the local government and for reasons which have yet to be fully understood, this abandonment resulted in a much more tragic outcome. The IMO and ILO have guidelines related to claims involving seafarer abandonment, however these types of situations often raise regulatory and jurisdictional questions for the local authorities. Lacking financial resources, affected seafarers are often unable to obtain legal representation and so are at the mercy of potentially slow and inefficient local bureaucracies. Given the global outrage over the Beirut explosion, the way vessel abandonment is handled may change as this disaster has revealed the potentially disastrous consequences of entrusting dangerous cargo to local authorities. In areas where there may be widespread corruption or a weak regulatory framework the dangers posed by vessel abandonment increase as we’ve seen demonstrated by the disaster in Beirut. While the changes which will be brought about by this catastrophe are still being determined, the hope is that at least in Lebanon it will lead to an outcome which is safer for everyday people.

MASA DEPAN PENGAPALAN JARAK JAUH

Grup teknologi Wärtsilä, sebagai bagian dari konsorsium yang dipimpin oleh Universitas Vaasa di Finland, akan memainkan peran utama dalam proyek penting yang ditujukan untuk mengurangi dampak lingkungan dari pengapalan. Proyek CHEK – dekarbonisasi pengapalan dengan memungkinkan teknologi kunci bersimbiosis dengan rancangan kapal nyata (deCarbonising sHipping by Enabling Key technology symbiosis on real vessel concept designs), telah diberikan dana senilai 10 juta EURO dari UE sebagai bagian dari program penelitian dan inovasi Horizon 2020 Selain Universitas Vaasa dan Wärtsilä, rekan proyek lainnya adalah BAR Technologies, Cargill Ocean Transportation, Climeon, Deltamarin, Hasytec Electronics, Lloyds Register, MSC Cruises, Silverstream Technologies dan Universitas World Maritime. Tujuan dari proyek CHEK adalah untuk mengurangi emisi dari pengapalan melalui integrasi dengan penggunaan bentuk dan teknologi energi berkarbon rendah. Ini termasuk penggunaan bahan bakar hidrogen, tenaga angin, baterai listrik, pemulihan panas, pelumas udara, dan teknologi anti-fouling yang baru. Pengembangan bagaimana kapal dirancang dan dioperasikan juga termasuk di dalam. Proyek tersebut akan merancang dua konsep kapal; kapal curah, yang berlayar menggunakan kekuatan angin, dan sebuah kapal pesiar yang beroperasional menggunakan mesin rancangan Wärtsilä yang menggunakan bahan bakar hidrogen. Diestimasikan dengan menggabungkan teknologi yang baru dan inovatif, emisi gas rumah kaca dapat dikurangi hingga 99 persen, penghematan energi mencapai 50 persen, sementara emisi karbon hitam dapat dikurangi sebanyak 95 persen. Beberapa teknologi utama akan didemonstrasikan pada operasional kapal yang sebenarnya. “CHEK merupakan langkah signifikan dari komitmen dan upaya Wärtsilä untuk dekarbonisasi operasional kelautan. Tidak ada solusi yang tepat untuk menghadapi perubahan iklim, anda perlu memanfaatkan sejumlah jalur paralel, dan itulah yang kami kerjakan bersama rekan kami disini. Apa yang membuat proyek ini begitu menarik adalah kami mengembangkan apa yang bisa dilakukan,” kata Jonas Åkerman, Direktur Penelitian dan Pengembangan Teknologi Wärtsilä. Proyek ini sejalan dengan investasi ekstensif Wärtsilä dalam mengembangkan ekosistem kreasi bersama. Hub Teknologi Pintar perusahaan yang berada di Vaasa merupakan pusat inovasi mutakhir yang mendorong penelitian, pengembangan, dan produksi bertujuan untuk menciptakan solusi bagia dunia yang lebih berkelanjutan. Inisiatif tersebut dilengkapi dengan platform Kampus Rekan Pintar (Smart Partner Campus) Wärtsilä, di mana pemangku kepentingan diundang untuk berpartisipasi dalam kreasi bersama solusi yang saling menguntungkan. Selain mengembangkan dan menguji mesin hidrogen, kontribusi Wärtsilä terhadpa proyek mencakup hal-hal berikut; Integrasi sistem bagi kapal, termasuk hibridisasi, penyimpanan energi dan koneksi energi; Mengembangkan model powertrain bahan bakar fleksibel untuk mengurangi konsumsi bahan bakar dan mengoptimalkan efisiensi; Menerapkan sistem kemudi gerbang yang baru untuk meningkatkan manuver dan efisiensi yang lebih baik; dan Optimalisasi rute kapal curah bertenaga angin untuk memanfaatkan kondisi angin & prakiraan cuaca. Wärtsilä sudah sangat maju dalam meneliti bahan bakar ‘ramah lingkungan’ masa depan yang mampu memberikan kontribusi nyata dalam dekarbonisasi operasional pengapalan. Berdasarkan pengalamannya yang tak tertandingi dalam mengembangkan teknologi mesin kelautan dan sistem pasokan bagi berbagai jenis bahan bakar, termasuk LNG, LPG dan senyawa organik yang mudah menguap, Wärtsilä terus berinvestasi dalam penelitian bahan bakar nabati dan LNG sintetik, amonia, metanol, bahan bakar nabati, serta hidrogen. Proyek CHEK dijadwalkan akan mulai pada musim semi tahun 2021. Dengan metode rancangan kapal yang baru, hasil dari kedua dapat juga diterapkan pada jenis kapal lain, seperti kapal tanker, kapal kontainer, kapal kargo umum, dan kapal feri. Proyek tersebut juga akan melakukan persiapan untuk skenario masa depan, serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pengembangan pengapalan rendah karbon, seperti infrastruktur masa kini.

APA 4 TREN PENGAPALAN YANG MENDORONG TAHUN 2021?

Dengan tahun 2020 sudah berada di belakang kita, profesional pengapalan di mana-mana mengalih kan perhatian mereka ke tahun baru. Di TNM kami melakukan hal yang sama dan telah menyusun daftar tren yang akan mendorong pengapalan di tahun 2021. 1) Prakiraan Cuaca

Tahun 2020 memecahkan rekor badai Atlantik, dengan 30 badai yang dinamai, 13 badai kecil dan 6 badai raksasa. Sementara ini, masih terlalu awal untuk memastikan seberapa parah tahun 2021 nanti, fenomena El Nina yang muncul pada tahun lalu, diperkirakan akan bertahan hingga pergantian tahun, berpotensi meningkatkan aktivitas badai. Menurut prakiraan (sangat) awal dari Risiko Badai Tropis (Tropical Storm Risk), mereka memperkirakan aktivitas tahun 2021 akan mirip dengan musim badai lainnya, dengan aktivitas kira-kira 20% di atas rata-rata 71 tahun. Hal ini sejalan dengan tren umum musim badai aktif yang telah muncul dalam dekade terakhir. Berdasarkan laporan yang sama dari TSR, norma 71 tahun terakhir adalah sekitar 12 badai tropis setiap tahun, namun sejak tahun 2011, angka rata-ratanya meningkat menjadi sekitar 17. Prediksi awal ini harus diterima dengan skeptis, namun para pelaut mungkin harus terbiasa dengan aktivitas badai yang lebih parah. Perkiraan awal tahun 2021 sesuai dengan tren yang lebih besar menuju peristiwa cuaca yang lebih parah dan lebih sering akibat efek berbahaya dari pemanasan global. Meskipun masih belum jelas bagaimana cuaca tahun 2021 akan berubah, TNM masih mengharapkan yang terbaik tetapi bersiap untuk yang terburuk. 2) Regulasi dan Kebelanjutan Kelautan

Tahun 2021 tentunya akan menjadi tahun yang besar bagi para pembuat peraturan. Pada musim gugur ini, Komite Perlindungan Lingkungan menyetujui perubahan pada peraturan IMO yang menyebabkan perubahan yang besar jika diadopsi. Khususnya, perubahan juga mencakup sistem penilaian publik untuk efisiensi kapal dan juga memerlukan pemilik kapal untuk mengurani emisi kapal hingga 40% (dari tingkat tahun 2008) pada tahun 2030. Meskipun perubahan telah disepakati, keputusan apakah mereka akan diadopsi akan dipastikan pada MEPC 76 di tahun 2021. Sebuah perubahan besar yang akan datang pada tahun 2021 ialah masuknya pemilik kapal dalam skema emisi perdagangan UE. Untuk mencapai tujuan emisi mereka, UE telah mempertimbangkan implementasi pasar perdagangan karbon bagi perusahaan pengiriman yang beroperasional di UE. Perubahan besar ini dapat segera berlaku pada tanggal 1 Januari 2022, dan sementara rincian perundangannya masih belum jelas, ini adalah salah satu tren yang haris diperhatikan karena lebih banyak informasi yang akan dirilis selama tahun mendatang. 3) Keamanan Pelaut

Salah satu hasil paling tragis dari pandemi coronavirus tahun 2020 adalah efeknya terhadap kehidupan dan kesejahteraan pelaut. Bagi banyak orang, pandemi berarti mereka tidak bisa pulang kepada keluarga mereka sejak diberlakukannya larangan perjalanan pada bulan Februari dan Maret. Konvensi Buruh Kelautan menetapkan bahwa tidak ada pelaut yang diperbolehkan untuk bekerja di atas kapal selama lebih dari 11 bulan, tetapi ratusan bahkan ribuan pelaut di seluruh dunia telah lama melewati batas itu. Ada banyak alasan mengapa krisis ini berkembang kelelaian birkorasi dalam melabel pelaut sebagai pekerja esensial tantangan perusahaan internasional dan tekanan perekonomian bagi perusahaan pengiriman. Apa pun penyebab krisis repatriasi, satu yang jelas: ini harus diselesaikan di tahun 2021. Sementara vaksin menawarkan beberapa harapan untuk kembali normal bagi banyak orang, pelaut beresiko tertinggal dalam rencana tersebut. Organisasi Ketenagakerjaan Internasional terus menyerukan kepada pemerintah dan perusahaan pengiriman di seluruh dunia untuk mengambil aksi memperbaiki situasi ini. Menanggapi seruan tersebut, Australia telah mengumumkan batas waktu tanggal 28 Februari 2021, di mana setelah itu otoritas pelabuhan akan sekali lagi memberlakukan batas waktu layanan 11 bulan. Pemerintah lain dan perusahaan swasta perlu segera mengikuti jika krisis ini ingin diselesaikan.

“Salah satu hal positif yang bisa diambil dari tahun 2020 dan pandemi COVID adalah hal itu telah memaksa banyak perusahaan, termasuk kami sendiri untuk memeriksa ulang model bisnisnya. Saya rasa tahun 2021 anda akan melihat inovasi teknologi yang lebih berarti di industri kelautan yang akan membawa pengambil keputusan yang didukung data ke garis depan” — Brian Hatter, Presiden, True North Marine

4) Inovasi Teknologi:

Jika tahun 2020 memiliki dampak besar pada industri pengapalan, maka hal itu pasti mempercepat laju inovasi dan adopsi teknologi. Tantangan rantai pasok yang ditimbulkan oleh pandemi menekankan perlunya sistem pengumpulan data yang lebih baik untuk meningkatkan koordinasi antara kapal dan pelabuhan. Langkah-langkah jarak sosial dan kesehatan masyarakat juga membutuhkan adopsi dokumentasi digital dibandingkan dengan dokumentasi fisik. Ancaman serangan siber muncul ketika CMA CGM dan MSC diserang dengan serangan malware, menggarisbawahi perlunya keamanan siber yang lebih baik di seluruh industri. Sementara tantangan khusu tahun 2020 mendoring adopsi lebih banyak teknologi dalam industri, kami memperkirakan hal ini akan berlanjut hingga ke tahun 2021 dan seterusnya.

ORBCOMM MELUNCURKAN SOLUSI KOMERSIAL PERTAMANYA LORA WAN™ SOLUSI IOT DI ATAS KAPAL

ORBCOMM Inc., penyedia global solusi Internet of Things (IoT), telah mengumumkan bahwa mereka telah memperluas portofolio sistem IoT di atas kapal yang terkemuka di industri untuk menyertakan teknologi LoRa WAN™ (LoRa). Melalui kerja sama dengan Net Feasa, penyedia layanan IoT global di Dingle, Irlandia dan Sunnyvale, CA, ORBCOMM telah menerapkan solusi komersial pertama yang tersedia menggunakan teknologi LoRa untuk memantau kontainer di atas kapal untuk jalur pelayaran global yang besar. Solusinya menggabungkan VesselConnect, aplikasi manajemen kontainer berpendingin terkemuka di industri dari ORBCOMM dengan konektivitas perangkat, manajemen dan layanan IoT EvenKeelTM dari Net Feasa. Kontainer berpendingin berkomunikasi secara waktu nyata melalui gerbang LoRa yang terpasang pada lokasi strategis di kapal. Data kontainer utama, termasuk suhu, kelembaban dan alarm, dikumpulkan di EvenKeel dan diperbarui di VesselConnect dari ORBCOMM. Aplikasi VesselConnect berkomunikasi melalui satelit dan mengirimkan data kembali ke platform darat ORBCOMM, memungkinkan pelanggan melihat lokasi kapal serta status masing-masing kontainer di kapal dari satu pusat komando dan kendali yang komprehensif. Sistem terintegrasi penuh ORBCOMM mendukung perintah dua arah, memungkinkan pengguna di kapal maupun di daratan untuk dapat mengubah suhu kontainer dan parameter lainnya. Solusi IoT di atas kapal ORBCOMM dirancang terutama untuk menghapus “lubang hitam” pada visibilitas kontainer berpendingin di atas laut. Selain itu, solusi ORBCOMM juga membantu pelanggan meningkatkan efisiensi dan keselamatan awak kapal dengan meniadakan perlunya inspeksi manual pada kontainer dan meningkatakan efisiensi operasional melalui inspeksi pra-perjalanan secara jarak jauh bersama dengan data yang dapat ditindaklanjuti tentang status pemeliharaan dan perbaikan. Sistem berbasis LoRa dari ORBCOMM yang baru sesuai dengan standar konektivitas IoT yan baru dari Asosiasi Pengapalan Kontainer Digital (Digital Container Shipping Association / DCSA) yang dibuat untuk membuar rantai pasokan kontainer pengiriman lebih transparan, terpercaya dan aman. Sebagai salah satu teknologi yang dietujui oleh DCSA untuk operasional di atas kapal, LoRa menawarkan alternatif untuk menggunakan telepon genggam dan teknologi komunikasi lainnya yang digunakan di saat ini. VesselConnect dari ORBCOMM unik dalam menawarkan berbagai pilihan bagi konektivitas di atas kapal sehingga pelanggan dapat memanfaatkan teknologi yang sesuai dengan penggunaan mereka. “Solusi IoT di atas kapal dari ORBCOMM melengkapi portofolio solusi menajemen kontainer berpendingin terbaik di kelasnya dan lebih lanjut menunjukkan komitmen kami untuk berinovasi mendukung rantai pasokan global,” kata Christian Allred, Senior Wakil Presiden dan Manajer Penjualan Global ORBCOMM. “Bersamaan dengan Net Feasa, kami membantu perusahaan pengiriman mendorong transformasi digital, sekaligus mencapai penghematan yang terukur.” “Karena keprihatinan global untuk kualitas kargo dan keamanan serta keterlacakan meningkat, pelacakan waktu nyata dan pemantauan kontainer berpendingin kini menjadi norma industri,” kata Mike Fitzgerald, Ketua Net Feasa. “Kami sangat senang bekerja sama dengan ORBCOMM untuk membawa keahlian kami di bidang jaringan IoT global bersama dengan kepemimpinan mereka dalam inovasi dan kepatuhan terhadap standar industri IoT ke pasar kontainer global.” Untuk informasi lebih lanjut mengenai bagaimana solusi pemantauan kontainer berpendingin ORBCOMM memberikan visibilitas rantai pasokan global, silahkan kunjungi https://www.orbcomm.com/en/solutions/.

Tentang ORBCOMM Inc.

ORBCOMM (Nasdaq: ORBC) merupakan pemimpin global dan inovator dalam industri Internet of Things, memberikan solusi yang menghubungkan bisnis dengan aset mereka untuk meningkatkan visibilitas dan efisiensi operasional. Perusahaan tersebut menawarkan solusi pemantauan aset dan kontrol yang beragam, termasuk satelit tanpa batas dan konektivitas seluler, perangkat keras yang unik dan aplikasi yang serba guna, semuanya didukung dengan dukungan pelanggan, dari instalasi hingga penerapan dan layanan pelanggan. ORBCOMM memiliki basis pelanggan yang beragam termasuk OEM terkemuka, solusi pelanggan dan mitra saluran yang mencakup transportasi, rantai pasokan, pergudangan dan inventaris, alat berat, kelautan, sumber daya alam, dan pemerintah. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.orbcomm.com.

ANGKATAN LAUT SINGAPURA MELUNCURKAN ARMADA KEAMANAN KELAUTAN BARU, DENGAN KAPAL - KAPAL BERSENJATA YANG DAPAT BERPERGIAN BERSAMA KAPAL DENGAN CEPAT

INGAPURA: Angkatan Laut Republik Singapura (The Republic of Singapore Navy / RSN) meresmikan Armada Kelautan dan Respon Keamanan (Maritime and Security S Response Flotilla / MSRF) terbarunya, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan keamanan kelautan Singapura. Armada baru akan mulai beroperasi dengan empat kapal keemanan laut dan respon keamaan (maritime security and response vessels / MSRV) berkelas Sentinel dan dua kapan tunda responsif (response tugboats / MSRT). MSRV dilengkapi dengan berbagai kemampuan untuk opsi yang lebih terkalibrasi terhadap berbagai ancaman keamanan kelautan. Misalnya, mereka hadir dengan senjata di depan dan belakang serta senapan mesin yang lebih kecil, dan spakbor samping agar dapat berlayar di samping kapal dengan cepat. MSRT akan membantu RSN menanggapi dan membantu insiden di laut dengan lebih baik, serta untuk mendukung operasional di markas. Keempat MSRV merupakan kapal yang diperbarui , tetapi pada tahun 2026, armada akan beroperasional dengan kapal baru yang dibuat khusus, kata Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence / MINDEF) dalam sebuah konferensi pers. Kapal-kapal tersebut diharapkan lebih besar dan dapat beroperasional di lautan untuk jangka waktu yang lebih panjang dibanding MSRV kelas Sentinel. Panglima Angkatan Laut Laksamana Muda Aaron Beng memimpin upacara peresmian MRSF yang diadakan di RSS Singapura – Markas Angkatan Laut Changi. Menteri Pertahanan Ng Eng Hen telah mengumumkan bahwa RSN sedang melakukan restrukturisasi unit keamanan kelautannya dan memebeli kapal baru pada bulan Maret tahun lalu, sebagai tanggapan atas meningkatnya insiden perompakan dan spektrum ancaman yang lebih besar. “Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman keamanan kelautan telah bertumbuh dalam skala dan komplesitasnya,” kata MINDEF pada hari Selasa. “Contohnya termasuk perompakan di wilayah ini, dan intrusi ke perairan teritorial Singapura.” Ada 34 insiden perompakan di Selat Singapura pada tahun lalu, ditunjukkan oleh data dari pusat pembagian informasi kelautan wilayah. Angka tersebut terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. “Kemampuan yang ditingkatkan dengan MSRF akan memberikan fleksibilitas untuk memenuhi permintaan dan cakupan operasional keamanan kelautan yang lebih luas, serta menawarkan ketahanan yang lebih besar untuk melindungi perairan teritorial Singapura,” kata MINDEF. Sejalan dengan agensi keamanan kelautan internasional lainnya, kapal MSRF akan memiliki garis merah motif “balap” di haluan mereka, tambah MINDEF.

KAPAL KEAMANAN KELAUTAN DAN RESPON KAPAL TUNDA KEAMANAN KELAUTAN DAN RESPON

KAPAL MULTI GUNA MASA DEPAN

MSRV adalah kapal patroli RSN yang telah dinonaktifkan dan diperbarui menjadi kapal misi pesiar yang lebih baru. Mereka telah dipasang kembali untuk memperpanjang masa hidup operasional mereka, dan dipasang dengan kemampuan untuk merespon terhadap insiden dengan tingkat keparahan yang berbeda. Fitur-fitur baru ini termasuk peralatan komunikasi yang ditingkatkan, sistem peringatan visual dan audio yang ditingkatkan, sistem spakbor, dan perlindungan balistik modular. Keempat MSRV dinamai Sentinel, Guardian, Protector and Bastion. Dua dari empat kapal tersebut akan mulai beroperasional pada hari Selasa, dan sisanya akan diperbarui dan mulai beroperasional di bulan-bulan mendatang, kata MINDEF.

MSRT telah diperoleh dengan pernjanjian penyewaan jangka panjang dan akan berfungsi sebagai “kapal tunda terdedikasi”, kata MINDEF. Kapal tunda di militer lainnya biasanya digunakan untuk membantu, mengawal dan menarik kapal lain. Beberapa kapal tunda dapat menarik kapal penjelajah rudal besar atau kapal induk.

Kapal multi guna masa depan akan bekerja sama dengan kapal misi pesiar RSN dan kapal tak berawak untuk menanggapi insiden kelautan dan melindungi perairan teritorial Singapura, kata MINDEF. Kapal-kapal tersebut akan mampu beroperasional di laut untuk beberapa minggu dan dirancang untuk pengawakan berjumlah kecil dengan kemampuan modular, tambah MINDEF. Dr Ng mengatakan pada bulan Juni bahwa kapal-kapal ini bahkan bisa memiliki sistem tanpa awak. Kapal-kapal tersebut masih dalam tahap awal perancangan konsep. MINDEF mengatakan bahwa MSRF akan membentuk sebuah “bagian penting” dari Komando Keamanan Kelautan yang direstrukturisasi, yang membangun, melatih dan memelihara kemampuan platform RSN yang digunakan terutama untuk operasi keamanan kelautan. “MSRF akan memperkuat kemampuan Singapura untuk menghadapi ancaman keamanan kelautan yang telah bertumbuh dalam skala dan kompleksitas dalam beberapa tahun terakhir,” kata komandan MSRF Letnan Kolonel Lee Jun Meng. “Kemampuan tambahan akan memberi kami lebih banyak fleksibilitas dan tanggapan yang lebih luas, serta memungkinkan kami untuk ditempatkan dengan ketahanan yang lebih besar untuk menjaga dan melindungi perairan teritorial Singapura.”

SINGAPORE NAVY UNVEILS NEW MARITIME SECURITY FLOTILLA, WITH ARMED SHIPS THAT CAN GO ALONGSIDE VESSELS QUICKLY

SINGAPORE: The Republic of Singapore Navy (RSN) inaugurated its new Maritime and Security Response Flotilla (MSRF), aimed at boosting Singapore’s maritime security capabilities. The new flotilla will initially operate four Sentinel-class maritime security and response vessels (MSRV) and two maritime security and response tugboats (MSRT). The MSRVs are equipped with a range of capabilities for more calibrated options against a range of maritime security threats. For instance, they come with front and rear guns and a smaller machine gun, as well as side fenders to go alongside vessels of interest quickly. The MSRTs will help the RSN better respond to and assist with incidents at sea, as well as support operations at base. The four MSRVs are refurbished vessels, but from 2026, the flotilla will operate new purpose-built vessels, the Ministry of Defence (MINDEF) said in a release. These vessels are expected to be larger and can operate at sea for longer periods than the Sentinel-class MSRVs. Chief of Navy Rear-Admiral Aaron Beng officiated at the MSRF’s inauguration ceremony held at RSS Singapura – Changi Naval Base. Defence Minister Ng Eng Hen had first announced that the RSN was restructuring its maritime security units and getting new ships in March last year, in response to rising sea robbery incidents and a greater spectrum of threats. “In recent years, maritime security threats have grown in scale and complexity,” MINDEF said on Tuesday. “Examples include sea robbery threats in the region, and intrusions into Singapore territorial waters.” There were 34 sea robbery incidents in the Singapore Strait last year, data from a regional maritime information sharing centre showed. This figure has been rising over the past few years. “The capabilities raised by the MSRF will provide flexibility to meet the increased demands and a wider scope of maritime security operations, and offer greater persistence to protect Singapore’s territorial waters,” MINDEF said. In line with other international maritime security agencies, the MSRF’s vessels will bear red “racing” stripes on their bow, MINDEF added.

MARITIME SECURITY AND RESPONSE VESSEL

mission vessels. They have been refitted to extend their operational lifespan, and installed with capabilities that can respond to incidents of differing severity. These new features include enhanced communications equipment, improved visual and audio warning systems, a fender system and modular ballistics protection. The four MSRVs are named Sentinel, Guardian, Protector and Bastion. The first two will enter operational service on Tuesday, while the rest will be refurbished and operationalised in the coming months, MINDEF said.

MARITIME SECURITY AND RESPONSE TUGBOAT

The MSRTs have been acquired under a long-lease arrangement and will serve as “dedicated tugboats”, MINDEF said. Tugboats in other militaries have typically been used to assist, escort or tow other vessels. Some tugboats can pull large missile cruisers or aircraft carriers.

FUTURE PURPOSE-BUILT VESSEL

The future purpose-built vessels will work with RSN’s littoral mission vessels and unmanned surface vessels to respond to maritime incidents and protect Singapore’s territorial waters, MINDEF said. These vessels will be able to operate at sea for up to a few weeks and be designed for lean manning with modular capabilities, MINDEF added. Dr Ng had said in June that these ships could even have unmanned systems. The ships are still in the early stages of concept design. MINDEF said the MSRF will form an “important part” of the restructured Maritime Security Command, which builds up, trains and maintains the capabilities of RSN platforms deployed primarily for maritime security operations. “The MSRF will strengthen Singapore’s ability to deal with maritime security threats that have grown in scale and complexity through the years,” MSRF commander Lieutenant Colonel Lee Jun Meng said. “The additional capabilities will provide us with more flexibility and a wider range of responses, and allow us to be deployed for greater persistence to safeguard and protect Singapore’s territorial waters.”

SRI LANKA MENGHIDUPKAN KEMBALI KESEPAKATAN PELABUHAN DENGAN INDIA, JEPANG

KOLOMBO: Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengumumkan kebangkitan proyek investasi India dan Jepang untuk mengembangkan terminal bawah laut di pelabuhan Kolombo, di samping dermaga kontainer kontroversial milik Tiongkok yang bernilai 500 juta Dolar Amerika. Sebuah perjanjian tiga pihak ditandatangani oleh pemerintah Sri Lanka sebelumnya telah ditunda di tengah perlawanan serikat buruh, namun Rajapaksa mengatakan bahwa Terimnal Kontainer Timur (East Container Terminal / ECT) akan dilanjutkan. Persetujuan data setelah meninjau “keprihatinan geo-politik di wilayah tersebut,” kata kantor kepresidenan, merujuk pada kecurigaan India atas peran Tiongkok di pelabuhan yang sama. Terminal tersebut akan dikembangkan dengan 51 persen kepemilikan oleh pemerintah Sri Lanka dan sisanya 49 persen merupakan investasi oleh Grup Adani dari India serta beberapa pemangku kepentingan asal Jepang, kata para pejabat. Otoritas Pelabuhan Sri Lanka (Sri Lanka Ports Authority / SLPA) milik negara menandatangani nota kerja sama pada bulan Mei 2019 dengan Sri Lanka, India dan Jepang untuk mengembangkan ECT sebelum Rajapaksa menjabat pada bulan November 2019. Pelabuhan dalam laut yang terletak di sebelah Terminal Kontainer Internasional Kolombo yang 85 persen dimiliki Tiongkok dan mulai beroperasi pada tahun 2013. SLPA memiliki sisa 15 persen. India mengajukan protes ketika kapal selam milik Tiongkok melakukan kunjungan mendadak ke terminal yang dikelola Tiongkok pada tahun 2014. Sejak saat itu, Sri Lanka menolak izin untuk pemanggilan kapal selam. Hampir 70 persen pengiriman kontainer yang ditangani oleh Kolombo merupakan kargo ekspor-impor India. Pada bulan Desember 2017, Sri Lanka tidak dapaat membayar hutang yang besar kepada Tiongkok, dan menyerahkan pelabuhan dalam laut yang satunya lagi di sebelah selatan pulau tersebut kepada sebuah perusahaan Beijing dalam sebuah kesepakatan yang menimbulkan kekhawatiran di dalam dan luar negeri. Kesepakatan senilai 1,12 miliar Dolar Amerika tersebut, pertama kali diumumkan pada bulan Juli 2016, memungkinkan perusahaan Tiongkok mengambil alih pelabuhan Hambantota, yang melintasi rute pengiriman timur-barat tersibuk di dunia dengan masa sewa 99 tahun. India dan Amerika Serikat sama-sama khawatir dengan kehadiran Tiongkok di Hambantota, yang berjarak 240 kilometer dari selatan Kolombo, akan memberikan keuntungan angkatan laut di Samudra Hindia. Sri Lanka menegaskan pelabuhannya tidak akan digunakan untuk kepentingan militer. COLOMBO: Sri Lanka’s President Gotabaya Rajapaksa announced the revival of an Indian and Japanese investment project to develop a deep-sea terminal in Colombo harbour, next to a controversial US$500-million Chinese-run container jetty. A tripartite deal by Sri Lanka’s previous government had been on hold amid trade union resistance, but Rajapaksa said the East Container Terminal (ECT) would proceed. Approval came after reviewing “regional geo-political concerns,” Rajapaksa’s office said, a reference to India’s suspicion of China’s role at the same port. The terminal will be developed with 51 per cent ownership by Sri Lanka’s government and the remaining 49 per cent as an investment by India’s Adani Group and other stakeholders including Japan, officials said. The state-run Sri Lanka Ports Authority (SLPA) entered into a memorandum of cooperation in May 2019 with Sri Lanka, India and Japan to develop the ECT before Rajapaksa came to power in November 2019. The deep-sea jetty is located next to the Colombo International Container Terminal which is 85 per cent owned by China and was commissioned in 2013. The SLPA owns the remaining 15 per cent. India lodged protests when Chinese submarines made unannounced visits to the Chinese-managed terminal in 2014. Since then, Sri Lanka has refused permission for further submarine calls. Nearly 70 per cent of transhipment containers handled by Colombo was Indian export-import cargo. In December 2017, Sri Lanka, unable to repay a huge Chinese loan, handed over another deep sea port in the south of the island to a Beijing company in a deal that raised concerns at home and abroad. The US$1.12 billion deal, first announced in July 2016, allowed a Chinese state company to take over the Hambantota port, which straddles the world’s busiest east-west shipping route, on a 99year lease. India and the United States are both concerned a Chinese foothold at Hambantota, 240 kilometres south of Colombo, could give it a military naval advantage in the Indian Ocean. Sri Lanka has insisted its ports will not be used for any military purposes.

SRI LANKA REVIVES PORT DEAL WITH INDIA, JAPAN

MYANMAR MEMBATALKAN INVESTASI THAI DI PELABUHAN MEGA YANG KONTROVERSIAL

YANGON: Myanmar mengumumkan ia akan mem batalkan kontrak dengan raksasa industri Thai untuk bekerja sama membangun proyek pelabuhan dalam laut yang kontroversial. Mega-proyek Dawei disebut sebagai cara untuk mendorong investasi asing di Myanmar karena Myanmar baru saja terlepas dari kekuasan militer selama puluhan tahun, namun ia telah dilanda banyak masalah, termasuk kesulitan dana dan oposisi lokal. Selain pelabuhan, ada juga proyek yang lama tertunda di arah selatan kota Dawei yang bertujuan untuk membangun area industri seluas 200 kilometer persegi. Komite yang bertanggung jawab atas Kawasan Ekonomi Khusus Dawei mengatakan pada hari Senin bahwa mereka telah “kehilangan kepercayan diri” di Pembangunan Italia-Thai (Italian-Thai Development / ITD) setelah masalah yang berulang-ulang. Mengumumkan pembatalan tersebut, Komite Manajemen Khawasan Ekonomi Khusus Dawei mengeluhkan “pengunduran yang berulang-ulang, terus melanggar kewajiban keuangan di dalam kontrak dan kegagalan pemegang konsensi untuk mengkonfirmasi kemampuan keuangan mereka untuk melanjutkan pembangunan.” Ketua komite manajemen Dawei, Tun Naing mengatakan bahwa Myanmar kini mencari pengembang baru untuk berivestasi di proyek tersebut. ITD tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar langsung. Perusahaan yang berbasis di Bangkok tersebut telah mengurangi keterlibatannya dalam proyek tersebut sejak tahun 2013, sementara Jepang menunjukkan minat untuk terlibat. YANGON: Myanmar announced it was cancelling contracts with a Thai industrial giant to work on a controversial deep sea port project. The Dawei mega-project was touted as a way to encourage foreign investment in Myanmar as it emerged from decades of military rule, but it has been hit by numerous setbacks, including funding struggles and local opposition. As well as a port, the long-delayed project around the southern town of Dawei aims to develop an industrial area of around 200 square kilometres. The committee in charge of the Dawei Special Economic Zone said Monday it had “lost confidence” in Italian-Thai Development (ITD) after repeated issues. Announcing the cancellation, the Dawei Special Economic Zone Management Committee complained of “repeated delays, continuing breaches of financial obligations under the contracts and the concessionaires’ failure to confirm their financial capacity to proceed with development”. The chair of the Dawei management committee Tun Naing said Myanmar would now look for new developers to invest in the projects. ITD could not be reached for immediate comment. The Bangkok-based firm had already scaled back its involvement in the project in 2013, while Japan has shown some interest in getting involved.

MYANMAR CANCELS THAI INVESTMENT IN CONTROVERSIAL MEGA-PORT

This article is from: