Buku Program "kineforum misbar"

Page 1

Nonton film Indonesia klasik dan kontemporer

Buku Program


Daftar Isi

Taman Ismail Marzuki Belakang Galeri Cipta 3 Jl Cikini Raya 73, Jakarta Pusat-10330 Indonesia. [Telp] 021-3162780 [E-mail] kineforumdkj@yahoo.co.id [Web] www.kineforum.org / www.dkj.or.id [Twitter] @kineforum [Facebook]facebook.com/kineforum [Instagram] kineforum [YouTube] kineforum DKJ

6

Sambutan

12

Sinopsis Film

25

Sistem Menonton

26

Jadwal Penayangan

28

Komite

30

Tentang kineforum



// Sambutan

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Dewan Kesenian Jakarta

Dr. Arie Budhiman, M. Si Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Irawan Karseno Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2013-2015

Gejala paling menonjol yang mudah terlihat dalam Jakarta Biennale 2013, yang berlangsung di berbagai ruang kota mulai 9 November lalu, adalah semakin menguat足nya demokratisasi seni dan relevansinya dengan kepentingan publik. Boleh dibilang setiap orang kini mempunyai kesempatan yang sama buat memberikan kontribusi artistik bagi kemanfaataan masyarakat dan lingkungannya. Lebih jauh lagi, perhelatan dua tahunan ini menjadi sumbangan besar Jakarta dalam memperkaya wacana seni dan budaya kontemporer dunia.

Melalui Jakarta Biennale 2013, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bermaksud menegaskan kembali pentingnya mengembalikan kesenian sebagai medium yang terbuka buat membaca dan merespons persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Kami meyakini bahwa salah satu tugas kesenian adalah menyatakan hal-hal yang tidak bisa atau tidak mungkin dinyatakan dengan cara-cara konvensional. Oleh karenanya, DKJ, setidaknya dalam periode kepengurusan sekarang, tidak lagi ingin menjadi otoritas yang menentukan baik-buruknya karya seni, melainkan justru membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipasi pekerja seni dan publik buat menyalurkan gagasan-gagasan kreatifnya untuk didialogkan bersama.

Meskipun pameran Jakarta Biennale 2013 sudah usai 30 November lalu, masih ada program satelit Kineforum Misbar, yaitu instalasi ruang pemutaran film untuk masyarakat umum. Acara ini, yang memang dirancang untuk melibatkan orang-orang dari luar medan sosial seni rupa, sekali lagi memperlihatkan keterkaitan yang erat antara gagasangagasan seni dengan partisipasi publik di ruang-ruang kota. Atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, saya menyampaikan rasa bangsa dan apre足 siasi kepada penyelenggara Jakarta Biennale 2013, pengurus Dewan Kesenian Jakart足a (DKJ), pengelola Kineforum DKJ, dan semua pihak yang telah memungkinkan acara yang melibatkan langsung warga Jakarta ini berlangsung dengan baik. Semoga semua kreativitas seni yang ditawarkan sepanjang penyelenggaraan Jakarta Biennale 2013, termasuk Kineforum Misbar ini, akan membuat ruang-ruang kota kita menjadi lebih baik, segar, dan menarik.

kineforum misbar

Buku Program // 6

Progran satelit Jakarta Biennale 2013, Kineforum Misbar, dalam konteks itu, bukan lagi sebatas karya instalasi dan ruang penayangan film. Proyek ini menjadi semacam kritik sekaligus tawaran atas keterbatasan akses masyarakat Jakarta--dan lebih nyata lagi di seluruh Indonesia--pada bioskop. Baik karena keeksklusifan, kehomogenan, dan hal-hal lain yang telah menjauhkan sinema dari masyarakat. Kineforum DKJ sendiri, sejak 2006, merupakan bioskop pertama dan satu-satunya di Jakarta yang menjawab persoalan ketiadaan bioskop nonkomersial di Jakarta. Sebagai ruang presentasi, dialog, dan pertukaran budaya melalui karya audiovisual, tempat tersebut terus dipelihara untuk membangun budaya sinema yang baik melalui pengalaman menonton yang berbeda. Dengan semangat semacam itu pula, Kineforum Misbar kami hadirkan di ruang publik utama kota Jakarta.

Buku Program // 7

kineforum misbar


// Sambutan

kineforum Sugar Nadia Azier Manajer kineforum

Vauriz Bestika Pelaksana Proyek

Pertemuan dengan Orang-Orang Menakjubkan

Di Bawah Tugu Monas, Layar pun Tertancap

Ide ini lahir sejak awal pertemuan saya dengan Laszlo Csutoras dan Melissa Liando pada November 2012. Laszlo dan Melissa mengutarakan ide mereka untuk membuat Kineforum Outdoor Cinema. Saya langsung tertarik dan berencana untuk membuatnya pada acara Bulan Film Nasional 2013, Sejarah Adalah Sekarang 7. Sejak pertemuan itu, lalu kami hunting lokasi yang cocok dan berdiskusi kapasitas penonton, dan desain bangunan. Beberapa kali berdiskusi tersebut melahirkan ide Kineforum Outdoor Cinema dengan pilihan lokasi di Monas. Karena beberapa kendala dan waktu yang terlalu sedikit, ide ini pun belum dapat terwujud pada acara Bulan Film Nasional 2013, Sejarah Adalah Sekarang 7.

Sejak pertama kali ide membuat open air cinema dilontarkan Manajer kineforum, Sugar Nadia Azier, yang terlintas dalam benak adalah pertanyaan retoris, ‘mungkinkah terwujud?’. Setelah sekian lama berselang, ternyata sang empunya ide menyodorkan pada saya sebuah peran untuk menjadi pelaksana lapangan program ini. Dengan keyakinan sungguh, menjelang akhir bulan kesembilan tahun ini, saya menerima tawaran itu.

April 2013, ide ini berlanjut kepada perbincangan saya, Melissa dan Laszlo dengan Hafiz Rancajale dan Ade Darmawan untuk berkolaborasi dengan perhelatan Seni Rupa Inter­ nasional, Jakarta Biennale 2013. Dan akhirnya, acara ini benar-benar dapat terwujud yang terhitung sejak mulainya konstruksi pada 26 November 2013. Kineforum Misbar hadir sebagai tanggapan atas kurangnya bioskop untuk rakyat, bioskop untuk semua lapisan masyarakat dapat menonton film dengan bangunan yang didesain dengan meriah, dengan dukungan audiovisual yang sesuai, dan bioskop untuk kita mengenal dan menayangkan film dari dan untuk negeri kita sendiri. Instalasinya sendiri juga merupakan hal yang menarik untuk kita lihat sebagai bagian dari seni rupa kontemporer. Kineforum Misbar tidak terlepas dari pertemuan dengan orang-orang yang menakjubkan. Saya sangat berterimakasih kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta (Bapak Arie Budhiman, Bapak Ghazali, dan Ibu Sita), Ibu Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata (Ibu Sylviana Murni), UPT Monas dan Dinas-Dinas yang terkait, para “Bapak” saya di Dewan Kesenian Jakarta (Irawan Karseno, Totot Indrarto, dan Alex Sihar), Hafiz Rancajale, Ade Darmawan, dan teman-teman Jakarta Biennale 2013, teman-teman panitia yang bekerja sangat keras (Ais, Adrian, Dicky, Nicko, Bona, Anyit, Sammy, Sekar, Putri, Ade Sapto, Echa, Nandana Besta, dan relawan kineforum) dan kepada Melissa Liando dan Laszlo Csutoras atas ide dan usahanya yang menakjubkan.

Pada dasarnya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bahkan ketidakmungkinan itu sendiri. Namun, ketika ketidakmungkinan itu beranjak menjadi mungkin, artinya, ada yang perlu diatur, ada yang perlu disusun dan dirunutkan. Dalam waktu yang cukup singkat, tepatnya satu bulan kurang sekian hari, ketok palu atas ide membangun open air cinema ini pun terwujud. Mungkin narasi keberlangsungan Kineforum Misbar akan berbeda jika saja sang waktu mampu menoleransi perjalanan. Perubahan dilakukan demi sebuah pencapaian: mengatur ulang jadwal, menghubungi kembali berbagai pihak, menyiapkan segala k­eper­luan, hingga menjalankan acara. Dengan landasan idea menyajikan sarana hiburan bagi publik di ruang publik, kineforum, menjelang 2013 menutup diri, mempersembahkan sebuah bioskop temporer yang menayangkan sinema Indonesia klasik sampai kontemporer. Berbagai kemungkinan yang sempat menjadi ketidakmungkinan yang nyaris absolut pun berputar 180 derajat. Dan kini, di hadapan Anda, yang mungkin saja termasuk satu di antara sekian banyak publik yang haus hiburan, instalasi bangunan kontemporer—yang menurut sang Manajer adalah ide yang nyaris tertahan satu tahun lamanya—berdiri megah. Tentu saja ada satu dua harapan terselip dari tegapnya instalasi ini. Selain menjadi media nostalgik tentang layar tancap yang telah menjadi memori kolektif generasi pendahulu, bagi saya, mungkin instalasi ini bukan sekadar sarana hiburan gratis di ruang publik, tetapi juga sebagai pelanggengan bahwa tidak ada ketidakmungkinan yang abadi; Monumen Nasional pun telah berikrar menjadi saksi. Kini, saatnya untuk menuturkan, “Selamat menikmati, Tuan dan Puan!”.

Semoga Kineforum Misbar dapat menginspirasi kita untuk terus mengapresiasi sinema dari dan untuk Indonesia. Enjoy Misbar!

kineforum misbar

Buku Program // 8

Buku Program // 9

kineforum misbar


// Sambutan

Csutoras & Liando Melissa Liando & Laszlo Csutoras Arsitek

Sebagai arsitek, kami berdua memiliki ketertarikan khusus untuk menciptakan arsitektur yang dipadukan dengan agenda sosial. Kineforum Misbar memberi kesempatan bagi mereka yang jarang pergi ke bioskop untuk menonton film dengan suasana yang hampir sama dengan bioskop sungguhan yang canggih. Kineforum Misbar pun menarik bagi mereka dari latar belakang yang lebih berada. Desain kami pada dasarnya memadukan prinsip misbar (gerimis bubar) tradi­siona­l de­ ngan bioskop modern. Seperti misbar yang pernah ada dulu, Kineforum Misbar suasana­ nya cukup terbuka, tetapi sekeliling garis batasnya secara jelas didefinisikan oleh tirai fasad tembus cahaya setinggi 6 meter yang tidak hanya memuat ruang bioskop, tetapi juga ruang foyer yang cukup besar. Bioskopnya sendiri memiliki area tempat duduk bertangga, layar proyeksi profesional, proyektor digital, dan surround sound system. Semuanya merupakan elemen yang diperlukan untuk membangun bioskop modern. Ruang foyer dengan kanopi lampunya adalah tempat untuk berkumpul, berkuliner, serta bersantai sebelum atau seusai menonton film. Bangunan Kineforum Misbar dibuat menggunakan material terjangkau dan dapat digunakan kembali setelah akhir pertunjukan. Struktur yang digunakan adalah sistem pipa scaffolding sewaan yang fleksibel dan memungkinkan perakitan yang cepat. Rangka struktur tersebut dilapisi dengan bahan-bahan sederhana, seperti tripleks atau kain netting berlubang yang biasanya digunakan dalam pertanian. Tripleks yang digunakan dihiasi dengan pola abstrak segitiga berwarna-warni yang menghidupkan permukaannya dan juga memberikan petunjuk kepada para pengunjung. Kain agronet juga membantu memberikan kesan yang kuat dengan “volume” serta bentuk di siang hari dan membuatnya bersinar di malam hari.

kineforum misbar

Buku Program // 10


// Sambutan

Pengantar Program Adrian Jonathan Pasaribu & Mahardhika Yudha Kurator Film

Bahwasanya sinema adalah hak segala bangsa dan menonton adalah hak setiap warga. Sayangnya, dewasa ini tak banyak kesempatan bagi warga untuk mengalami sinema. Bioskop-bioskop kita dibangun dengan prinsip satu-mall-satubioskop, membatasi sinema pada pusatpusat perbelanjaan mewah, membekukan kegiatan menonton sebagai bagian dari tuntutan gaya hidup kelas menengah. Alhasil, kegiatan menonton jadi kegiatan yang asing bagi warga yang tak termasuk dalam kalangan pengunjung mall. Pada masa lampau, sinema di Nusantara pernah hidup seirama dengan deru nafas warga, di tengah pasar yang tumpah ruah oleh rakyat jelata, di samping gerombolan tukang becak yang menggoda gadis-gadis belia, dalam bioskop misbar yang beratapkan langit dan rembulan. Nyatanya, sudah lama sekali kineforum misbar

kita tak mendapati kata “misbar” dalam khazanah pergaulan kita sehari-hari. Layar tancap semakin jarang, bioskop misbar sudah tutup di mana-mana. Konsep menonton “gerimis bubar” jadi nostalgia bagi generasi penonton terdahulu dan sesuatu yang asing bagi generasi penonton terkini. Menanggapi semua ini, Kineforum DKJ berkolaborasi dengan Jakarta Biennale untuk menghadirkan Misbar pada salah satu ruang publik tersohor di ibukota. Sejalan-sepemikiran dengan tema “Siasat” pada Jakarta Biennale 2013, program Misbar merupakan suatu bentuk siasat untuk membawa sinema kembali ke tengah warga, selain sebuah nostalgia dan mengkonstruksi ulang memori pertunjukan “misbar” kepada generasi sekarang sebagai ruang perjumpaan warga kota. Selama seminggu penuh, karya arsitektur Laszlo Custoras dan Melissa Liando ini Buku Program // 12

menjadi wahana penayangan film-film Indonesia klasik dan kontemporer untuk warga. Gratis. Film-film yang diputar pun hasil dari serangkaian siasat dengan berbagai pertimbangan, termasuk kualitas tayang dan paling kentara tentunya adalah tema siasat sejarah—sejumlah film populer dari berbagai zaman hadir meramaikan Kineforum Misbar, dari Rumah Dara (2010), Bibir Mer (1991), Naga Bonar (1986), Ambisi (1973), Apa jang Kau Tjari, Palupi? (1969) hingga hasil restorasi Darah dan Doa (1950). Beberapa merupakan cerita-cerita ringan tentang upaya warga menyiasati kehidupan ibukota, dari Lovely Man (2011), Janji Joni (2005), Badut-badut Kota (1993), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), serta Pengemis dan Tukang Becak (1978). Pun ada dua film yang merupakan siasat sekelompok anak muda untuk membaca lingkungannya lewat Buku Program // 13

sinema: Belkibolang (2010) dan Sinema Purnama (2012). Mudah-mudahan film-film yang ditayangkan –dengan file digital– dan diputar –terdapat tiga film yang akan diputar menggunakan seluloid– dapat menghadirkan dan memaknai kembali sejarah dan kondisi sinema Indonesia kontemporer yang tidak hanya pada persoalan estetik, kritik, industri film, tetapi juga terkait dengan sosialita [pemirsa dan ruang tonton] dan strategi distribusi perfilman Indonesia [baik hiburan maupun pengetahuan]. Seperti yang dilantunkan oleh Benyamin S, “Banyak cowok banyak cewek pade majang. Kalau cocok boleh langsung anter pulang. Kaga perduli filmnye jelek. Yang penting bisa colak-colek. Semalem suntuk matenye melek. Besok paginya keluar belek.” Mari menonton!

kineforum misbar


// Jadwal Film

Jadwal Penayangan Film

19:00

21:00

Selasa 10 Desember

Rabu 11 Desember

Pembukaan: Apa jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969) (khusus undangan)

Pengemis dan Tukang Becak (Wim Umboh, 1978)

Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2011)

Kamis 12 Desember

Peluncuran hasil restorasi Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950) (khusus undangan)

Jumat 13 Desember

Sabtu 14 Desember

Minggu 15 Desember

Senin 16 Desember

Janji Joni (Joko Anwar, 2005)

Ambisi (Nya Abbas Akup, 1973)

Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam, 1985)

Bibir Mer (Arifin C. Noer, 1991)

Belkibolang (Omnibus, 2010)

Nagabonar (MT Risyaf, 1986)

Badut-badut Kota (Ucik Supra, 1993)

Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950)

Rumah Dara (Mo Brothers, 2010)

Sinema Purnama (Omnibus, 2012)

Apa jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969)

24:00

kineforum misbar

Buku Program // 14

Buku Program // 15

kineforum misbar


// Film Pembuka

Apa jang Kau Tjari, Palupi?

Pengemis dan Tukang Beca

Sutradara Asrul Sani / Penulis Asrul Sani, Satyagraha Hoerip

Sutradara Wim Umboh / Penulis Deddy Armand, Wim Umboh

Tahun1969 / Durasi 127 menit / Format Digital

Tahun 1978 / Durasi 115 menit / Format Digital

“Aduh, gelap betul di sini,” keluh Palupi. “Ya. Dalam dunia angan-angan [film], yang terang bisa kelihatan gelap,” jawab Chalil. Percakapan ini berlangsung di sebuah ruang kosong yang tampak kusam ketika Palupi masuk ke dalam bingkai melalui lorong. Setelah itu, Chalil pun bertanya, “Apa yang kau cari, Palupi?” “Aku ingin ‘hidup’,” jawab Palupi.

Pengemis dan Tukang Beca, satu di antara film-film Indonesia yang membicarakan situasi masyarakat kota urban di tahun 70-an. Persoalan perkembangan mental masyarakat m­odern kota di masa Repelita Orde Baru menjadi tema domestikasi yang banyak dibahas oleh sutradara-sutradara ternama Indonesia di tahun 70-an, seperti; Sjumandjaja, Teguh Karya, Arifin C. Noer, Nawi Ismail, Nya Abbas Akup, Ida Farida, dan Wim Umboh.

Dalam cerita, Palupi menjadi isteri dari Haidar, seorang penulis yang juga sutradara teater. Palupi masuk ke dunia film melalui Chalil, kawan dari Haidar. Sebelum ia memasuki dunia itu, Chalil sempat bertanya kepada Haidar apakah dia mencintai istrinya atau tidak. Chali­l seakan ingin ‘memperingatkan’ Haidar akan permintaan isterinya itu yang akan mengubah diri Palupi dan juga kehidupan keluarganya. Perjalanan hidup Palupi mengajak kita untuk menjejalahi antara dunia nyata dan dunia fantasi–yang dibentuk oleh dunia film. Bagaimana tokoh Palupi kemudian terjerumus dan tidak dapat membedakannya, mana ‘hidup’ dalam dunia nyata, dan mana ‘hidup’ di dalam fantasi. Film ini mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik pada Festival Film Asia 1970 yang diadakan di Jakarta. Film ini merupakan satu dari empat film yang dibuat Dewan Produksi Film Nasional sebelum akhirnya lembaga ini dibubarkan setahun setelah berdiri (1968-1969).

Wim Umboh, sutradara yang dikenal sering membuat film tanpa skenario ini membuat film dengan subjek judul blak-blakan, Pengemis dan Tukang Beca. Tidak seperti film-film yang membicarakan kenyataan sehari-hari di Jakarta lainnya yang sering menggunakan permainan metafora, Wim justru berani menantang ‘eksotisme’ yang justru tidak terlihat dalam film. Film Pengemis dan Tukang Beca mengisahkan tokoh Sri yang diperankan oleh Christine Hakim. Ia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Ratih. Akibat pergaulan bebasnya, Ratih hamil dan melahirkan Ajeng. Sri sangat dekat dengan Ajeng. Ia pergi dari rumah itu bersama Ajeng setelah Joko (suami kontrak Ratih) hendak memperkosanya. Seperti film-film drama lainnya tentang kehidupan ‘manusia-manusia desa’ yang ingin bertaruh hidup di Jakarta, kisah pilu dan perjuangan Sri juga diperlihatkan oleh Wim namun dengan akhir bahagia.

Pemeran Farida Syuman, Pitrajaya Burnama, Ismed M Noor,Widyawati, Aedy Moward, Sandy Suwardi Hassan, Ratih Dardo, Fakhri Amrullah, Jusman, Sofyan Sharna, Ishak Suhaya, Moh Mochtar, Daud Modas, Bambang Irawan, Connie Sutedja kineforum misbar

Buku Program // 16

Pemeran Christine Hakim, Ully Artha, Dicky Zulkarnaen, Alan Suryaningrat, Ajeng Triani Sardi

Buku Program // 17

kineforum misbar


// Sinopsis

LOVELY MAN

DARAH DAN DOA

Sutradara Teddy Soeriaatmadja / Penulis Teddy Soeriaatmadja

Sutradara Usmar Ismail / Penulis Usmar Ismail, Sitor Situmorang

Tahun 2011 / Durasi 76 menit / Format Digital

Tahun 1950 / Durasi 127 menit / Format Digital

“Aku hanya ingin bertemu bapakku. Kalau aku kecewa, ya biar aku yang tanggung risikonya,” ujar Cahaya pada ibunya via telepon genggam. Ia baru sampai di ibukota. Orang yang ia ingin cari adalah Syaiful, yang ternyata setiap malamnya bekerja sebagai waria dengan nama Ipuy. Cahaya terkejut. Pasalnya, ia masih berusia empat tahun ketika melihat bapaknya angkat kaki dari rumah. Kenangan yang sudah lama pudar tersebut kini harus diisi oleh figur orang asing, yang harus ia kenali lagi dalam tempo semalam, waktu yang diberikan Syaiful pada anaknya. Syaiful tak ingin lama-lama menghadapi masa lalunya.

Sejarah mencatat Loetoeng Kasaroeng sebagai film Indonesia pertama, namun Dara­h dan Doa diakui sebagai film pertama yang sepenuhnya diproduksi dengan dana dan tenaga pribumi. Kebetulan Darah dan Doa jugalah film pertama dari Usmar Ismail, sutra­dara legendaris Indonesia. Pada 30 Maret 1950, hari pertama pengambilan gambar yang kini ditetapkan sebagai Hari Film Nasional, Usmar Ismail dan kru berangkat ke Purwakarta dengan modal opelet sewaan dan kamera Akeley berumur puluhan tahun untuk memulai produksi.

Dalam serangkaian adegan pembuka ini, penonton disuguhi sebuah kontradiksi yang mencolok: jilbab dan waria. Menariknya, pembuat film tidak ingin kita ambil pusing dengan prasangka kita terhadap ikon-ikon itu (kalau ada), juga dengan konteks sosial yang menghidupi kedua hal itu. Cakupan film ini personal, bukan sosial. Pembuat film mengarahkan fokus kita pada dialog yang terjadi antara Cahaya dan Syaiful, pada upaya kedua­nya mencari manusia di balik atribut masing-masing. Bahwasanya Cahaya dan Syaiful tidaklah semata pasangan anak dan bapak, tapi juga penubuhan atas kata “kita”, yang sejatinya bisa terpisah oleh perbedaan apapun, baik ras, agama, maupun ideologi.

“Pergi syuting dengan tiada cukup uang, pada galibnya pastilah akan mengakibatkan malapetaka,” kenang Usmar. Untuk mengirit, semua orang terpaksa merangkap jabatan. Usmar sendiri, selain bekerja sebagai produser, sutradara dan penulis skenario, dalam beberapa kesempatan turut berperan sebagai sopir, kuli angkut, juru rias, pencatat naskah, dan asisten diri sendiri. Uang produksi dengan cepat habis dan utang menumpuk. Untunglah, seorang pemilik bioskop, entah dengan pertimbangan apa, berani mengijon dan memberi uang muka pada Usmar untuk menyelesaikan filmnya tentang perjalanan panjang prajurit Republik Indonesia dari Yogyakarta ke Jawa Barat itu. Tertanggal 12 Desember 2013, Darah dan Doa menjadi film Indonesia pertama yang direstorasi sepenuhnya dengan dana dan tenaga pribumi. Proyek ini merupakan inisiatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berkolaborasi dengan Render Post yang bertanggungjawab atas pengerjaan restorasi fisik film.

Pemeran Raihaanun Soeriaatmadja, Donny Damara

kineforum misbar

Pemeran Del Juzar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johana, Suzanna, Rd Ismail, Muradi, Muhsjirsani, Ella Bergen, Acok Rachman, Rosihan Anwar Buku Program // 18

Buku Program // 19

kineforum misbar


// Sinopsis

janji joni

Belkibolang

Sutradara Joko Anwar / Penulis Joko Anwar

Sutradara Agung Sentausa, Ifa Isfansyah, Tumpal Tampubolon, Rico Marpaung, Anggun Priambodo, Azhar Lubis, Wisnu Suryapratama, Edwin, Sidi Saleh / Penulis Titien Watimena

Tahun 2005 / Durasi 85 menit / Format Digital

Tahun 2013 / Durasi 160 menit / Format Digital

Janji Joni sungguhlah sederhana: apabila ia bisa mengantarkan rol film tepat waktu, maka si gadis pujaan harus mengungkapkan siapa namanya sebenarnya. Lewat janji yang sederhana ini, kita diajak mengikuti Joni susah payah melewati rintangan jalanan ibukota untuk menunaikan profesinya, dari mendapati motornya dicuri, menolong kakek buta menyeberang jalan, membantu persalinan istri supir taksi yang ia tumpangi, menolong seorang gadis yang dirampok, hingga lari dari kejaran warga karena dituduh merampok. Lewat janji yang sama, profesi pengantar rol film (yang semakin ke sini semakin tergeser keberadaannya) dikenal dengan nama “Joni” oleh generasi terkini dan generasi-­ generasi penerusnya. Prestasi yang tak buruk untuk usaha penyutradaraan perdana Joko Anwar. Adapun film ini populer di kalangan anak muda karena lagu pengiringnya diisi oleh band-band independen terkemuka pada zamannya, macam The Adams, Zeke & the Popo, Goodnight Electric, White Shoes & the Couples Company, serta Sajama Cut. Janji Joni mendapat tujuh nominasi (termasuk Film dan Sutradara Terbaik) dan dua Piala Citra (Gito Rollies untuk Pemeran Pembantu Pria dan Yoga K Koesprapto untuk Penyunting Gambar Terbaik) pada Festival Film Indonesia 2005.

Antologi film pendek Belkibolang menghadirkan sembilan cerita yang digarap oleh sembilan sutradara muda berdasarkan naskah Titien Wattimena. Dari ide satu penulis perempuan, sembilan sutradara laki-laki yang besar di tahun 90-an itu memaknai kehidupan malam Jakarta dengan berbagai perspektif dan cara tuturnya masing-masing. Alhasil, pemaknaan citraan tentang perempuan sebagian besar hadir pada antologi film pendek ini. Sama seperti kota-kota besar di dunia, Jakarta hidup selama 24 jam. Alienasi kota besar memungkinkan jutaan kisah yang terjadi di suatu malam terhubungkan satu sama lain. Mulai dari kisah tentang pekerjaan, memori, tubuh-identitas, kebudayaan massal, mistik, romantik, hingga persoalan ‘ruang’ menjadi garis-garis yang menghubungkan antara subjek, geografi, dan bahkan fantasi satu sama lain. Payung dari Agung Sentausa; Percakapan Ini dari Ifa Isfansyah; Mamalia dari Tumpal Tampubolon; Planet Gajah dari Rico Marpaung; Tokek dari Anggun Priambodo; Peron dari Azhar Lubis; Ella dari Wisnu Suryapratama; Roller Coaster dari Edwin; dan terakhir Full Moon dari Sidi Saleh. Kesembilan cerita-film pendek ini terjun bebas membidik kamera menangkap fragmen-fragmen kisah anak muda Jakarta.

Pemeran Nicholas Saputra, Mariana Renata, Rachel Maryam, Surya Saputra, M Dwiky Riza, Fedi Nuril, Gito Rollies kineforum misbar

Buku Program // 20

Buku Program // 21

kineforum misbar


// Sinopsis

RUMAH DARA

Ambisi

Sutradara Timo Tjahjanto, Kimo Stamboel / Penulis Timo Tjahjanto, Kimo Stamboel

Sutradara Nya Abbas Akup / Penulis Nya Abbas Akup, Mus Mualim

Tahun 2010 / Durasi 95 menit / Format Digital

Tahun 1973 / Durasi 95 menit / Format Digital

Rumah Dara terbilang sebuah terobosan pada zamannya. Berbeda dengan sejawatnya, film horor Indonesia 2000-an yang gemar mengeksploitasi mitos lokal dalam ruang urban, Rumah Dara malah mengajak sejumlah warga urban untuk melipir sejenak ke pinggir kota. Di sana, mereka tidak bertemu dengan pocong, kuntilanak, atau demit-demit sejenis yang tumbuh dari pelanggaran kearifan lokal. Melainkan sebuah keluarga psikopat yang dipimpin oleh Ibu Dara—mereka nyata, menapak tanah, dan sangat gemar makan daging sesama.

Eksperimentasi Nya Abbas Akup dalam menghadirkan beberapa representasi adegan ke dalam bentuk ‘video klip’ pada film komedi musikal ini sangat menarik. Tidak seperti filmfilm musikal Indonesia sebelumnya yang cenderung menghadirkan ‘video klip’ sebagai sisipan (baca: hiburan). Pada film ini, Nya Abbas Akup justru menjadikan ‘video klip’ itu sebagai jembatan dari bangunan cerita. Bahkan adegan ‘video klip’ itu menjadi bagian penting dalam sebuah film semi-dokumenter ini. Nya Abbas Akup juga menghadirkan penyanyi atau kelompok musik dengan nama sebenarnya pada film–disaat yang sama, imajinasi popularitas para penyanyi itu juga dihadirkan kepada para penonton. Ditambah, durasi lagu sebenarnya, juga menjadi durasi adegan dalam film.

Rumah Dara adalah satu dari sedikit film yang sukses menerjemahkan genre slasher ke dalam imajinasi populer nusantara. Dalam film ini pula, duet Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel, juga populer dengan nama Mo Brothers, meneruskan petualangan berdarah Ibu Dara yang kiprahnya pertama kali mereka tuturkan dalam film pendek Dara (2007). Tokoh Ibu Dara sendiri tidak melulu membawa petaka bagi orang-orang di sekitarnya. Pada ajang Puchon International Fantastic Film Festival 2009 di Korea Selatan, Shareefa Danish meraih penghargaan Aktris Terbaik untuk keterampilannya memerankan Ibu Dara.

Kisah Ambisi menceritakan perjalanan penyanyi Anna Mathovani yang populer di Indonesia pada tahun 70-an. Ia seangkatan dengan Tetty Kadi, Erni Djohan, dan Vivi Sumanti. Melalui Bing yang bekerja sebagai penyiar radio swasta Undur-undur bersama Benyamin S., Anna merintis karirnya sebagai penyanyi hingga masuk dapur rekaman.

Pemeran Shareefa Danish, Imelda Therinne, Arifin Putra, Ruli Lubis, Julie Estelle, Ario Bayu, Sigi Wimala, Daniel Mananta, Dendy Subangil, Mike Lucock

kineforum misbar

Buku Program // 22

Pemeran Bing Slamet, Anna Mathovani, Fifi Young, Benyamin S, Koes Plus, Nuke Maya Saphira, Trio Bimbo, Deddy Damhudi, God Bless

Buku Program // 23

kineforum misbar


// Sinopsis

Naga bonar

Sinema purnama

Sutradara MT Risyaf / Penulis Asrul Sani

Sutradara Radian Kanugroho, Pandu Birantoro, Ray Nayoan, Andra Fembriarto Penulis Getar Jagatraya, Anggun Hariwibawati, Tim Matindas, Pandu Birantoro, Ray Nayoan

Tahun 1985 / Durasi 109 menit / Format Digital

Tahun 2012 / Durasi 105 menit / Format Digital

Berbeda dengan film-film bertema revolusi Indonesia dalam sejarah film Indonesia, film Naga Bonar justru membalik citra kepahlawanan. Bahkan bisa dikatakan sebagai anti­ tesis dari film-film revolusi yang marak diproduksi sejak tahun 50-an. Dalam film komedi ini, Asrul Sani memberikan sudut pandang berbeda dalam melihat seorang pahlawan yang justru muncul dari masyarakat biasa, tanpa pendidikan tinggi, dan naif. Bahkan sang pahlawan memiliki latar belakang bekas pencopet. Kisah seputar persoalan jabatan dalam militer menjadi penentu drama yang muncul beberapa kali dalam film komedi yang tahun 2008 lalu diedarkan kembali setelah diperbaiki. Film komedi tentang kepahlawanan Naga Bonar ini juga mengingatkan kita pada humor polos dan jujur antara atasan dan bawahan dalam militer a la Srimulat. Film Naga Bonar berlatar di Sumatera Utara yang jauh dari hingar bingar perjuangan r­evolusi Indonesia. Pemilihan lokasi yang berada jauh dari pusat pemerintahan dalam film juga sangat menarik dicermati, disamping tokoh pahlawan yang dihadirkan bukanlah ‘tokoh pahlawan’ seperti yang dimunculkan dalam buku-buku sekolah. Film ini memperoleh Piala Citra untuk Film Terbaik dan Skenario Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1987.

Adalah cinta yang menyatukan keempat film dalam omnibus ini. Dunia Paruh Waktu bertutur tentang cinta lintas usia—antara Arman, fotografer muda yang baru saja bertunangan, dengan Rani, janda yang hidup sendirian di bebukitan. Kios bercerita tentang cinta anak muda—antara Bagas, seorang penulis yang sedang kepayahan menerbitkan karyanya, dengan Dorinda, teman masa kecilnya yang tetiba berkunjung ke kios loak bukunya. Dongeng Ksatria bertutur tentang cinta anak yang lebih muda lagi—antara Gibran, anak sepuluh tahun yang ditantang geng kompleksnya untuk masuk ke sebuah rumah angker, dengan seorang gadis tanpa nama, yang Gibran temui ketika ia terpental ke dunia lain. Terakhir adalah Sinema Purnama, tentang cinta lintas agama—antara Ahmad, muslim garis keras dan juga penyelenggara Festival Film Jihad, dengan Sari, janda Kristen yang gemar nonton dan ingin membantu festival Ahmad. Mereka berdua semangat kerja bersama, sampai akhirnya Ahmad mendapat ajakan temannya untuk menyerang perkumpulan doa kafir. Omnibus ini merupakan hasil patungan dari sekelompok anak muda. Pengedarannya juga dilakukan secara independen. Sempat dua hari tayang terbatas di salah satu ja­ ringan bioskop nasional, lalu bergerilya lewat layar tancap dan pemutaran keliling.

Pemeran Deddy Mizwar, Nurul Arifin, Afrizal Anoda, Roldiah Matulessy, Wawan Sarwani

kineforum misbar

Buku Program // 24

Pemeran Andrie Rizky, Maryam Supraba, Naya Anindita, Lisa Syahtiani, Said Satriyo, Tim Matindas, Ananda Moechtar, Jamie Soekarna, Dolfry Indasuri Buku Program // 25

kineforum misbar


// Sinopsis

Kejarlah Daku Kau Kutangkap

BADUT-BADUT KOTA

Sutradara Chaerul Umam / Penulis Asrul Sani Tahun 1985 / Durasi 109 menit / Format Digital

Sutradara Ucik Supra / Penulis Ucik Supra

‘Kejar daku, kejar daku, biar kau kutangkap. Kejar daku, kejar daku, biar kau kudekap.’ Melalui istilah populer anak muda inilah Chaerul Umam mengemas film Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Tujuh tahun kemudian Chaerul membuat kelanjutannya dengan judul Ramadhan dan Ramona (1992).

Film Indonesia punya mitos sendiri tentang kemiskinan. Pesan yang seringkali dikumandangkan: siapapun yang mau patuh terhadap Tuhan dan tuan, pastilah ia hidup setara pada akhirnya. Tak ada istilahnya yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin— yang ada hanyalah keberpihakan nasib pada siapa yang benar. Kesannya, konflik, dan jenjang antara kelas-kelas sosial bisa didamaikan begitu saja dengan keapikan moral.

Tahun 1993 / Durasi 103 menit / Format Digital

Film komedi rumah tangga ini menceritakan kehidupan setahun awal sebuah perkawinan ini penuh dengan intrik komunikasi. ‘Bahasa-bahasa konyol’ yang diungkapkan oleh suami-istri itu semakin memuncak tatkala menghadapi masa pisah sebelum perceraian. Berbagai cara mereka lakukan untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Cara mereka mempertahankan harga diri masing-masing menjadi metafora yang dikemas dengan menarik oleh Chaerul Umam. Film Kejarlah Daku Kau Kutangkap laris di pasaran. Tawaran komedi segar dan polos seakan ingin memecah kebuntuan film-film komedi yang kaku, fisik, dan dangkal yang marak muncul di tahun 70-an. Film diawali ketika foto Ramona yang sedang jatuh mengambil bola dimuat dalam surat kabar tempat Ramadhan bekerja. Dari foto itulah kisah kemu­ dian berlanjut pada pertemuan berkelanjutan antara kedua pasangan muda-mudi tahun 70-an pada umumnya. Usaha Ramadhan meredam niat Ramona mengadukannya ke polisi berbuntut pernikahan yang terjadi sangat cepat, begitu juga dengan niat perceraian.

Badut-badut Kota boleh jadi terkesan serupa. Toh, pada akhirnya nasib juga yang membawa Dedi, seorang badut taman hiburan rakyat, dari permukiman kumuh ke kawasan perlente ibukota. Ia mendapat simpati dan pinjaman modal usaha dari seorang juragan kaya. Menariknya, lewat pencampuran adegan khayal dan nyata, ada kesadaran—dan juga keusilan—dari pihak pembuat film untuk menyampaikan pada penonton bahwa k­isah magis ini ya cuma bisa terjadi di film.“Tidak masuk akal, seperti film-film kita sekarang,” komentar Dedi dengan sedikit lirikan nakal ke penonton. Film ini baru beredar lama setelah ia selesai dibuat, alhasil hasil yang diterima dari penjualan tiket kurang memuaskan. Oleh Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia, film ini memperoleh kehidupan kedua lewat pemutaran keliling beberapa kampus di Jakarta pada pertengahan 90-an.

Pemeran Ayu Azhari, Dede Yusuf, Dien Novita, Sofyan Sharma, Jajang C Noer

Pemeran Lydia Kandou, Deddy Mizwar, Ully Artha, Ikranagara,Usbanda

kineforum misbar

Buku Program // 26

Buku Program // 27

kineforum misbar


// Sinopsis

// Sistem Menonton

Sistem Menonton

BIBIR MER Sutradara Arifin C. Noer / Penulis Arifin C. Noer

1.

Pengambilan tiket tanda masuk dapat diambil satu jam sebelum penayangan film dimulai.

2.

Satu orang hanya mendapatkan satu tiket.

3.

Penonton yang sudah mendapatkan tiket tetapi tidak masuk sampai 10 menit film diputar, maka tiket akan diberikan kepada penonton lain.

4.

Tiket tidak dapat direservasi tetapi langsung diambil pada meja informasi Kineforum Misbar satu jam sebelum pemutaran, kecuali untuk pemutaran tertentu.

5.

Penonton tidak diperkenankan merekam sebagian atau keseluruhan film yang diputar.

6.

Penonton tidak diperkenankan mengambil gambar di Kineforum Misbar tanpa izin.

7.

Penonton tidak diperkenankan merokok di dalam ruang pemutaran Kineforum Misbar.

8.

Penonton diharapkan menjaga kebersihan dan ketertiban pada semua bagian ruang pemutaran.

Tahun 1991 / Durasi 95 menit / Format Digital

Kecewa pada kekasihnya, Maria menjajakan bibirnya (kepandaian merayu) sebagai pelayan sebuah salon. Saking tersohornya bibir Mer ini, salon itu jadi ramai oleh pengunjung. Mbak Yani, si pemilik salon, tentunya senang dengan perkembangan ini. Ia juga sangat menyayangi Maria. Sembari mengatur salon miliknya, Mbak Yani diam-diam menjalani hubungan khusus dengan seorang pengusaha besar, Lukito. Dibanding film-film Arifin C. Noer lainnya, terutama Taksi (1990) dan Biarkan Bulan Itu (1986) yang dirilis tak jauh sebelumnya, Bibir Mer boleh jadi tampak kalah ambisius. Tak ada, misalnya, usaha untuk melebihkan penuturan dengan cara “berpuisi” seperti yang sang sutradara tampilkan dalam Biarkan Bulan Itu, tak ada juga renungan-renungan terhadap kondisi kemanusiaan modern seperti yang ia tuturkan dalam Taksi. Sepanjang Bibir Mer, penonton “hanya” disuguhi perumitan dan pengungkapan silang sengkarut antara Maria, Mbak Yani, dan Lukito. Namun, justru karena kebersahajaan konsep film Bibir Mer ini, kita berkesampatan menyaksikan kepiawaian Arifin C. Noer menguntai benang cerita satu per satu. Sampai sekarang tak banyak sineas Indonesia yang bisa menyampai beliau. Bibir Mer meraih dua Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1992—Karsono Hadi untuk Penyuntingan Terbaik, Jajang C. Noer untuk Pemeran Pembantu Wanita Terbaik—dan mewakili Indonesia untuk kategori Film Asing Terbaik pada ajang Academy Award ke-65.

Pemeran Bella Esperance Lee, Tio Pakusadewo, Jajang C Noer, Fadly, Imam S Wungkul kineforum misbar

Buku Program // 28

Buku Program // 29

kineforum misbar


// Komite

Komite

PENASIHAT Ade Darmawan, Alex Sihar Hafiz Rancajale, Totot Indrarto MANAJER PROGRAM Sugar Nadia Azier Arsitek dan Desain Interior Laszlo Csutoras Melissa Liando Kurator film Adrian Jonathan Pasaribu Mahardhika Yudha

Terima Kasih

cenderamata Penny Sylvania Putri

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo

Satpol PP DKI Jakarta Santana dan J. Sitomorang

TIM DIGITALISASI & KONVERSI Imam Asrori Frangky Fernando Adhi Wijaya Kharismanto Faozan Amali Nanda Nuril Ganden Bramanto Jonathan Pardede

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama

Dinas Kebersihan DKI Jakarta Aceng

Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata Sylviana Murni

Jakarta Biennale Hafiz Rancajale Ade Darmawan Nyoman Vidhyasuri Utami Ibnu Rizal

Staf Deputi Gubenur Bidang Budaya dan Pariwisata Sofyan dan Endah

SELURUH RELAWAN Ketua Fraksi Partai Golongan Karya DPRD DKI Jakarta Ashraf Ali

PELAKSANA PROYEK Vauriz Bestika Publisis Amalia Sekarjati Anniesa Fithriana LAYOUT GRAFIS Anies Wildani Desainer AUDIOVISUAL Nicko Silfido TEKNIKAL Bonaventura Andrian Ade Sapto Saputro

PT Hitecindo Kharisma Indonesia Kusmi Sriyani, Chrisna Dimyati, Gilang Wibisana Pradita

Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Ghazali Ahmad

Cinema 21/XXI Jimmy Herjanto Cathrine Keng

Staf Bidang Pemberdayaan Masyarakat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Sita Sumantoro Kepala UPT Monas Mimi Rahmiati

Keuangan Sammy Simanjuntak

UPT Monas Lilik dan Firdaus

Buku Program // 30

PT Render Digital Indonesia Rizka Akbar, Taufik, dan Yoki P. Soufyan

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budhiman

Dokumentasi Anies Wildani Nandana Bestari Fajar Yuniarto

kineforum misbar

Sinematek Indonesia Adisurya Abdy, Rusmiati, Hartono, dan Firdaus

Buku Program // 31

PT Bestika Komunikasi Ika Harini dan Evan George Kamarullah

kineforum misbar


// Tentang Kami

kineforum

Bioskop pertama di Jakarta yang menawarkan ragam program meliputi film klasik Indonesia dan karya para pembuat film kontemporer. Program film kami bertujuan mengajak penonton merasakan jadi bagian dari sinema dunia – dulu dan sekarang.

Taman Ismail Marzuki Belakang Galeri Cipta 3 Jl Cikini Raya 73, Jakarta Pusat-10330 Indonesia.

Ruang ini diadakan sebagai tanggapan terhadap ketiadaan bioskop non komersial di Jakarta dan kebutuhan pengadaan suatu ruang bagi pertukaran antar budaya melalui karya audio-visual.

[Telp] 021-3162780 [E-mail] kineforumdkj@yahoo.co.id [Web] www.kineforum.org / www.dkj.or.id [Twitter] @kineforum [Facebook]facebook.com/kineforum [Instagram] kineforum [YouTube] kineforum DKJ

kineforum misbar

Kami menyediakan ruang presentasi bagi para pembuat film (dari dalam dan luar Indonesia) dan ruang apresiasi bagi publik pada kategori film-film khusus yang tidak berasal dari arus utama, di tengah kurangnya ruang alternatif. Kami juga menawarkan presentasi karya-karya para pembuat film dunia, film panjang maupun pendek – yang sulit diakses publik Jakarta selain melalui pembajakan.

Buku Program // 32

Buku Program // 33

Di ruang ini juga diadakan diskusi dan pertemuan dengan pembuat film. Sejak 2006, kineforum didatangi kurang lebih 500 penonton pada program pemutaran tertentu dan sekitar 5.000 penonton selama acara festival. kineforum adalah ruang pemutaran yang tidak bertujuan utama mencari keuntungan finansial, dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta dan para relawan muda. Kegiatan di kineforum dijalankan melalui kerjasama Dewan Kesenian Jakarta 2006-2009 dan Studio 21. Ruang ini diharapkan menjadi ruang eksibisi dan dialog bagi para pembuat film dan penonton Jakarta, terutama untuk karyakarya non-arus utama.

kineforum misbar



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.