Gerimis Sepanjang Tahun

Page 1


GERIMIS SEPANJANG TAHUN

Forum Lenteng 2015


COLOPHON

Gerimis Sepanjang Tahun Direktur Program Otty Widasari Penulis

Manshur Zikri, Otty Widasari, Bunga Siagian, Iim Rohiman, Imas Masitoh, Maman Sudirman Ilustrasi

Muhammad Nasuhi, B. Dahlan, Herlina Octaviana, Maman Sudirman, Mia Amellia, Imas Masitoh Riset dan Data

akumassa & Komunitas Ciranggon

Penyunting

Otty Widasari & Manshur Zikri Rancangan dan Tatak Letak Isi Andang Kelana

Diterbitkan oleh Forum Lenteng Didukung oleh

Ford Foundation Cetakan pertama, Jakarta, Juni 2015 500 eksemplar

Forum Lenteng

Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05, Tanjung Barat, Jagakarsa - 12530 www.forumlenteng.org / info@forumlenteng.org / @forumlenteng akumassawww.akumassa.org / info@akumassa.org Otty Widasari, Manshur Zikri (ed.)

Gerimis Sepanjang Tahun, (Jakarta: Forum Lenteng, 2015) viii + 88 halaman isi, 14.8 x 21 cm ISBN:

ii


TENTANG ORGANISASI

Forum Lenteng

Forum Lenteng adalah organisasi non-profit berbentuk himpunan dengan

anggota individu yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, dan mahasiswa

komunikasi pada tahun 2003, yang bekerja mengembangkan pengetahuan media dan kebudayaan melalui pendidikan alternatif berbasis komunitas. Forum ini bertujuan menjadikan pengetahuan media dan kebudayaan bagi masyarakat untuk hidup

yang lebih baik, terbangunnya kesadaran bermedia, munculnya inisiatif, produksi pengetahuan, dan terdistribusikannya pengetahuan tersebut secara luas. akumassa

Program Pendidikan dan Pemberdayaan Komunitas Melalui Media

Program ini merupakan kerja kolaborasi dan berjejaring dengan berbagai komunitas di daerah, yang digagas oleh Forum Lenteng, dengan melakukan pelatihan

penggunaan media (video, teks, fotografi dan media online) sejak 2008. Hingga

saat ini, Program akumassa telah dilaksanakan di 11 lokasi, yaitu; Rangkasbitung,

Lebak, Banten; Ciputat, Tangerang Selatan, Banten; Cirebon, Jawa Barat; Lenteng

Agung, Jakarta Selatan; Padangpanjang, Sumatera Barat; Serang, Banten; Surabaya, Jawa Timur; Randublatung, Blora, Jawa Tengah; Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat; Depok, Jawa Barat; dan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Jatiwangi Art Factory ( JaF)

Jatiwangi art Factory (JaF) adalah sebuah organisasi nirlaba yang fokus terhadap kajian kehidupan lokal pedesaan lewat kegiatan seni dan budaya seperti; festival,

pertunjukan, seni rupa, musik, video, keramik, pameran, residensi seniman, diskusi bulanan, siaran radio dan pendidikan. JaF didirikan pada 27 September 2005.

Sejak tahun 2008 JaF bekerjasama dengan Pemerintahan Desa Jatisura melakukan

riset dan penelitian dengan menggunakan keterlibatan kesenian kontemporer yang kolaboratif dan saling menterhubungkan. Komunitas Ciranggon

Komunitas Ciranggon adalah sebuah inisiatif warga di Kampung Wates, Desa

Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Komunitas ini

dibentuk atas prakarsa para partisipan workshop akumassa yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng bekerjasama dengan Jatiwangi Art Factory (JaF).

iii


DAFTAR ISI

Colophon Tentang Organisasi Daftar Isi Pengantar

i i iv vi

Masyarakat Berdaya Untuk Pemberdayaan Pemerintah

2

Manshur Zikri

Kuli Membayangkan Jadi Pengusaha

18

Kebunku Jadi Ciranggon

28

Nyeblok Di Wates

36

Maman Sudirman

Imas Masitoh

Iim Rohiman

Tengah Malam, Di Tengah Wanginya Aroma Bunga Sedap Malam 48 Otty Widasari, Bunga Siagian, Manshur Zikri

Biografi Penulis, Fasilitator akumassa & Anggota Komunitas Ciranggon

84

Terima Kasih Kepada

86

iv


v


PENGANTAR

Sejak tahun 2008, Forum Lenteng melalui Program akumassa menyelenggarakan workshop literasi media, bekerja sama dengan komunitas-komunitas lokal yang mewakili daerah tempat dilaksanakannya program tersebut. Komunitaskomunitas itu, antara lain Komunitas Saidjah Forum (Lebak), Komunitas Gardu Unik (Cirebon), Komunitas Sarueh Open Space (Padangpanjang), Komunitas Anak Seribu Pulau (Blora), Komunitas Pasirputih (Lombok Utara), Komunitas Djuanda (Tangerang Selatan), Komunitas Sebumi (Serang), Komunitas Kinetik (Surabaya), dan Komunitas Suburbia (Depok). Dalam pelaksanaannya, akumassa Forum Lenteng bersama komunitas lokal, melakukan kajian sosial-budaya terhadap narasi-narasi yang tersebar luas di lingkungan mereka dan dilihat dari sudut pandang warga itu sendiri dalam konteks hari ini. Temuan-temuan dalam proses itu diolah menjadi sumber pengetahuan dan informasi dengan tujuan untuk membangun sebuah pusat data bagi kepentingan wilayah lokal dari masing-masing komunitas. Output utama dari kegiatan ini, adalah sejumlah karya video, yang biasanya kami sebut sebagai video akumassa. Karya video ini menerapkan suatu teknifikasi khusus sebagai sebuah eksperimen bahasa audiovisual dan proses produksi karya. Selain itu, kegiatan ini juga memproduksi tulisan, foto, gambar (drawings) dan rekaman suara. Seluruh output tersebut dapat diakses di situs web http:// akumassa.org Pada tahun 2015, Forum Lenteng bekerja sama dengan Jatiwangi Art Factory (JaF) untuk menyelenggarakan workshop akumassa di Jatiwangi, khususnya untuk lingkungan masyarakat yang tinggal Kampung Wates, Desa Jatisura. Komunitas lokal yang menjadi partisipan dalam workshop ini ialah vi


Komunitas Ciranggon. Pada penyelenggaraan yang kesebelas itu, Forum Lenteng mengembangkan dan memodifikasi metode workshop sebelumnya dengan tujuan untuk menyesuaikan perkembangan terkini dari wacana media. Berbeda dengan workshop sebelumnya di daerah-daerah yang lain, yang menghasilkan sejumlah karya video dengan durasi yang lebih pendek, akumassa Jatiwangi menghasilkan sebuah karya audiovisual yang berdurasi lebih panjang. Selain tetap menerapkan teknifikasi akumassa dalam proses riset dan pengambilan gambarnya, karya ini juga dikemas dengan menggunakan pendekatan filem. Karya itu berjudul Gerimis Sepanjang Tahun. Selain itu, workshop akumassa Jatiwangi merupakan workshop akumassa pertama yang rangkaian kegiatannya tidak hanya memproduksi katalog presentasi karya, tetapi juga memproduksinya dalam format buku. Tulisantulisan yang dihadirkan di dalam buku ini merupakan catatan, ulasan maupun pandangan atau gagasan yang dikonstruksi berdasarkan pengalamanpengalaman yang didapat partisipan dan fasilitator selama menjalani workshop akumassa di Kampung Wates. Tujuan penerbitan buku ini tidak lain adalah untuk mewujudkan sebuah langkah berkelanjutan dari Program akumassa Forum Lenteng dalam mendistribusikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat yang lebih luas. Jakarta, 25 Mei, 2015 akumassa

vii


viii


1


MASYARAKAT BERDAYA UNTUK PEMBERDAYAAN PEMERINTAH Manshur Zikri

2


Kalau berbicara tentang ‘pemberdayaan masyarakat’, saya secara pribadi terkadang merasa gelisah. Apa sebab? Dua kata itu, yang pada masa sekarang sudah sedemikian populer dalam berbagai aktivitas organisasi masyarakat sipil—bahkan, telah umum dijadikan sebagai salah satu program unggulan oleh para pelaku dan institusi-institusi dari lingkungan pemerintahan—dalam keadaan tertentu, merepresentasikan suatu nuansa yang dapat ‘menusuk dari belakang’ dan ‘merendahkan’ masyarakat itu sendiri. Alih-alih menyatakan bahwa masyarakat memiliki daya, aksi ‘memberdayakan’ itu, bisa jadi, merupakan alter-ego dari kelompok-kelompok eksklusif 1 dalam memandang masyarakat, yakni menguatkan status masyarakat sebagai entitas yang ‘tidak berdaya’. ‘Pemberdayaan masyarakat’ memanglah sebuah terjemahan umum dari kata Bahasa Inggris, ‘community development’ atau ‘community empowerment’. Di mata saya sendiri, sepertinya penerjemahan kata itu pun juga harus ditinjau kembali, apakah tepat atau tidak. Untuk sementara, keharusan itu dapat dikesampingkan. Kita masih bisa mendadar istilah ‘pemberdayaan masyarakat’ sebagai sebuah perbincangan yang renyah meskipun dengan kegelisahan. Memaparkan isi kegelisahan itu, untuk mencegah adanya poin-poin yang bisa jadi terlewatkan atau kealpaan diri saya sendiri dalam memahaminya, saya mencoba memulai risalah ini dengan mendeskripsikan secara kritis beberapa sumber bacaan yang saya dapatkan, terkait wacana ‘pemberdayaan masyarakat’ (dalam konteks, bahwa istilah itu adalah terjemahan dari kata Bahasa Inggris, ‘community development’ atau ‘community empowerment’). Konon, aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ yang dianggap sebagai salah satu yang pertama ada, di antara yang lainnya, adalah aksi-aksi yang terjadi di penghujung tahun 1930-an dalam suatu pertarungan posisi tawar antara kelompok tertindas dan penguasa dari Barat. ‘Pemberdayaan masyarakat’, jika mengikuti kerangka berpikir imperialis dalam memandang bangsa jajahan, konsepnya sederhana saja: memberdayakan orang lokal untuk pembangunan (yang sesuai dengan kepentingan pihak yang—di masa program pemberdayaan itu dijalankan—memiliki dominasi). Sedikit catatan yang menunjukkan hal ini adalah tentang sejarah politik salah satu negara di Afrika—tapi saya yakin peristiwa serupa juga terjadi di berbagai negara bekas jajahan lainya, termasuk Indonesia. Dalam rangka meluaskan sekaligus menguatkan pengaruh dan 3


tekanan Pemerintah pusat terhadap wilayah-wilayah dudukannya, Kekaisaran Inggris yang kala itu menguasai Kenya melancarkan program yang berusaha menarik minat para pribumi (orang lokal, terutama yang muda) untuk terlibat dalam agenda administratifnya, guna memastikan mereka berpihak kepada Pemerintah dan tidak melawan. 2 Pada dekade-dekade selanjutnya, agenda ‘pemberdayaan masyarakat’ ini menjadi wajah gerakan-gerakan yang berusaha mengentaskan kemiskinan, tetapi, sering kali, yang dilihat sebagai ‘miskin’ itu adalah ‘negara berkembang’. Kategori ‘miskin’—atau, kata lainnya ‘berpenghasilan rendah’—yang disematkan pada masyarakat, toh ternyata mengundang sinisme terhadap aksi ‘pemberdayaan’ itu sendiri. Lihat saja salah satu contohnya, Saul D. Alinsky, organisator dan penulis asal Amerika, yang disebut-sebut sebagai pendiri atau pelopor organisasi masyarakat modern itu, tetap menerima kritikan pedas dari beberapa pakar di bidang ilmu sosial. Karya tulisnya, berjudul Rules for Radicals: A Pragmatic Primer for Realistic Radicals—yang secara jelas menyatakan peran penting organisasi massa dalam “merebut kekuasaan dan memberikannya kepada orang-orang; demi mewujudkan mimpi demokratis akan kesetaraan, keadilan, perdamaian, kerja sama, kesempatan yang sama rata dan penuh atas pendidikan, pekerjaan yang penuh dan berfaedah, kesehatan, dan penciptaan situasi di mana manusia dapat memiliki kesempatan untuk hidup pada nilai-nilai yang memberikan makna bagi kehidupan” 3 — dipandang sebagai sekumpulan instruksi semata yang diduga hanya efektif jika diperuntukkan bagi area-area yang masyarakatnya ‘berpenghasilan rendah’. Kritik seperti itu, salah satunya dipicu karena pada karyanya yang lebih awal4, Alinsky dituding hanya menyebutkan satu contoh studi 5 untuk mendukung klaimnya mengenai dampak dari People’s Organizations (suatu terma yang ia gunakan untuk mengacu bentuk ‘organisasi modern’, untuk membedakannya dengan organisasi tradisional).6 Dan lagi-lagi, dampak yang dibicarakannya hanya untuk konteks masyarakat berpenghasilan rendah.7 Kritik yang menyerangnya bahkan menyatakan, bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan jikalau gaya organisasi a la Alinsky itu telah membuahkan hasil yang membuat masyarakat dapat beranjak dari “kekhawatiran-kekhawatiran yang sifatnya ekspresif belaka” ke “aksi-aksi bersifat instrumental”.8 Selain masalah efektivitas, saya sendiri melihat bahwa kita patut mempertanyakan posisi ‘masyarakat’ di dalam gagasan Alinsky tersebut. 4


Meskipun cita-citanya mulia, tetap saja peluang partisipasi masyarakat yang dimarjinalkan—dalam konteks masyarakat Amerika saat itu—masih berada di bawah bayang-bayang penguasa dari etnis kulit putih. Masyarakat ‘miskin’, baik dari segi kemiskinan ekonomi, sosial maupun budaya, dilihat tak lebih sebagai objek yang diberikan kesempatan untuk bisa berpartisipasi. Dengan kata lain, masyarakat ‘miskin’ itu didefinisikan sebagai suatu ‘kelompok tertindas’ yang patut ditolong dengan dalih mewujudkan mimpi tentang kesetaraan. Jika kita mencermati pengertian dari istilah dan aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ berdasarkan hasil bacaan yang telah saya paparkan di atas, tidak heran jika Bank Dunia—lembaga keuangan internasional milik PBB yang memang memiliki visi dan misi utama memberantas kemiskinan di dunia, melalui pemberian pinjaman modal kepada ‘negara-negara berkembang’—yang selalu menggaungkan wacana ‘pemberdayaan masyarakat’ melalui programnya, bernama Community Driven Development (CDD), sering pula dicurigai memiliki agenda ‘udang di balik batu’ karena diduga membawa kepentingan negara ‘adidaya’ Amerika Serikat yang berusaha meletakkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia. Terlepas dari benar atau tidaknya konspirasi semacam itu, fenomena ini mengindikasikan bahwa aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ dapat berpotensi salah sasaran; menguatkan daya paham di bawah alam sadar, yang sangat mungkin akan keliru, dalam mendefinisikan peran dan posisi masyarakat, terutama masyarakat di lingkungan lokal. Menimbang faktor-faktor itu, saya lebih setuju jika kita, bersama-sama, bersedia mencari istilah alternatif bagi gerakan-gerakan lokal yang ingin membangun tangga untuk mencapai tatanan masyarakat madani. Daripada sekadar menggunakan dua kata ‘pemberdayaan masyarakat’, agaknya kita membutuhkan sebuah istilah lain yang menegaskan esensi ‘kemandirian’; suatu istilah yang memanifestasikan ruh ‘berdaya’, misalnya semacam istilah yang berarti ‘pemberdayaan yang mandiri oleh dan untuk masyarakat’—tapi, supaya terasa elegan dan tampak praktis serta taktis, istilah yang kita cari itu, tentunya, harus menggunakan diksi yang, dari segi bentuk dan ritmenya, sepadan dan dapat berambivalensi dengan istilah sebelumnya yang sudah umum digunakan. Sejauh ini, Program akumassa Forum Lenteng—sehubungan dengan fokus kegiatannya di wilayah media—lebih sering menggunakan istilah 5


‘pemberdayaan media’. Jika kita mengacu pada pembahasan saya sebelumnya, memang aksi-aksi yang dilakukan oleh akumassa dilatarbelakangi oleh fakta, bahwa ‘media’ (khususnya media massa arus utama) sedang tidak memiliki daya—terutama jika kita mengerucutkan ruang lingkupnya sejak peristiwa Reformasi 1998. Media, sebagai sebuah entitas yang terpisah dari masyarakat, tidak berdaya fungsi yang relevan bagi kepentingan umum. Sekarang ini, kita tidak bisa menentukan dengan pasti media massa apa, yang mana dan milik siapa yang benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat. Hampir semuanya berbalut kepentingan yang didasarkan unsur kepemilikan (privat), jauh dari cita-cita ideal tentang ‘media’ yang memiliki kodrat sebagai alat masyarakat. Oleh karena itu, akumassa berdiri di atas wacana yang berusaha menguatkan ide tentang ‘memberdayakan media’, terutama melalui agenda membangun infrastruktur media yang bentuk dan pola kerjanya berbeda dengan mekanisme media arus utama. Siapa yang melakukan ‘pemberdayaan media’ itu? Tentu saja masyarakat. Jikalau ‘pemberdayaan masyarakat’ memposisikan masyarakat sebagai objek yang pasif, konsep ‘pemberdayaan media’ yang coba digagas oleh akumassa adalah wacana untuk melawan itu, yakni dengan memposisikan masyarakat sebagai subjek yang aktif; ‘pemberdayaan media’ oleh dan untuk masyarakat.

*** Di Jatisura9, saya mendapat pengalaman diskusi yang membuat saya jadi benar-benar mengerti apa yang disebut sebagai ‘kalah dengan terhormat’. ‘Kalah’ bisa mengandung makna yang positif. Bahkan, ‘kalah’ itu justru menjadi metafora tentang gerakan masyarakat yang optimis. Suatu hari, saya dan Otty duduk berdiskusi dengan Arief dan Ginggi di markas Jatiwangi Art Factory (JaF). Dalam rangka merencanakan pelaksanaan workshop Program akumassa untuk wilayah Kampung Wates, Arief dan Ginggi menceritakan pengalaman mereka bernegosiasi dengan dinamika sosial dan politik yang ada di desa mereka. Termasuk di dalamnya, hal-hal tentang bagaimana membangun suatu hubungan simbiosis mutualisme antara warga, organisasi masyarakat, dan Pemerintah. Menurut mereka, hanya melalui 6


cara itulah agenda membangun desa dapat terwujud—sekarang bukan lagi era yang menggunakan kekerasan untuk melawan kekuasaan. Secara filosofis, sebagaimana yang diterangkan oleh Ginggi, warga masyarakat mau tidak mau memang berada di posisi yang ‘selalu’ akan ‘kalah’. Masyarakat akan benar-benar kalah (dalam artian yang sesungguhnya) jika terjebak dalam pola pikir dan perilaku yang mengamini kekerasan. Kekerasan, dalam hal ini, selalu identik dengan kecenderungan untuk menindas, yang merupakan buah dari karakter kekuasaan, baik berupa kekerasan fisik, psikis, sosial, maupun budaya. Pada pelaksanaan pembangunan jalan tol, contohnya, yang menurut Ginggi akan berdampak kerugian bagi kehidupan masyarakat di Desa Jatisura10, oleh masyarakat desa tidak dilawan dengan cara-cara yang menggunakan kekerasan pula, seperti demonstrasi berujung perilaku brutal massa, misalnya. Alih-alih, warga masyarakat itu menggalakkan kegiatan gotong-royong desa sebagai sebuah usaha untuk memberi tahu Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam pembangunan jalan tol itu, bahwa Desa Jatisura, secara disengaja atau tidak, telah ‘diluputkan’ dari peta Negara. Kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan desa itu menjadi ‘bukti’ bagi Negara bahwa Desa Jatisura masih ada dan masyarakatnya berdaya. Pembangunan jalan tol memang tetap dilanjutkan, tetapi setidaknya pembangunan itu berbelok sehingga tidak meluluhlantahkan wilayah desa secara keseluruhan; ‘kalah’, tapi tetap berada. Di lain kesempatan, saya mendengar istilah ‘pemberdayaan pemerintah’. Sebagaimana pembahasan saya sebelumnya, istilah ini memang mengindikasikan bahwa Pemerintah sedang tidak berdaya. “Sebenarnya, banyak sekali program-program yang dirancang Pemerintah itu yang bagus,” ujar Ginggi, suatu ketika. “Tapi mereka tidak mengerti bagaimana menerapkannya atau mengkomunikasikannya kepada warga.” Dengan kata lain, supaya program-program yang ada membuahkan hasil yang maksimal, warga memberdayakan Pemerintah agar bisa memenuhi kebutuhan masyarakat—bukan menunggu Pemerintah memberdayakan masyarakat. Kembali kita memasukkan istilah ‘pemberdayaan masyarakat’ di bagian ini, sebenarnya agenda yang dari segi tertentu dapat disebut menggunakan wajah ‘pemberdayaan pemerintah’, sudah lama ada di Indonesia. Beberapa di antara program ‘pemberdayaan masyarakat’ oleh Pemerintah yang saya 7


maksud—yang lagi-lagi berporos pada kebutuhan untuk ‘mengentaskan kemiskinan’—antara lain, P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil) yang dilaksanakan sejak tahun 197911, di bawah Departemen Pertanian; KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang dilaksanakan sejak tahun 198212 , di bawah Departemen Sosial; Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang dicetuskan Mubyarto tahun 199313 , di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; dan PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang mulai dilakukan sejak tahun 200114 , di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan. Tak lupa pula kita menyebut PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan mulai tahun 199815, di bawah tanggung jawab Departemen Dalam Negeri; dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) yang dilaksanakan sejak tahun 199916 oleh Departemen Pekerjaan Umum.17 Kedua program ini sekarang bergabung dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang mulai berjalan tahun 2007.18 Program-program yang mengusung agenda ‘pemberdayaan masyarakat’ tersebut, saya nyatakan berwajahkan ‘pemberdayaan pemerintah’, karena dalam penerapannya juga menyasar peningkatan kapasitas para pelaku pemerintahan di tingkat desa dan kota, dengan harapan mereka dapat terlibat aktif untuk menyukseskan program-program Pemerintah Pusat tersebut. Hal itu terutama terlihat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri19 dan Inpres Desa Tertinggal 20. Namun demikian, konsep ‘pemberdayaan pemerintah’ yang dibawa oleh program-program ini jauh berbeda dengan apa yang saya pelajari di Jatiwangi. Alih-alih tercipta suatu kondisi di mana masyarakat memberdayakan Pemerintah, programprogram tersebut tetap saja memposisikan masyarakat berada di bawah. Hal itu dapat dinilai dari beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kegagalan program-program itu, yakni menggunakan pendekatan yang topdown, mengabaikan nilai-nilai lokal, tidak partisipatif, tidak holistik, dan adanya ilusi investasi. 21 Jika kita mengamatinya dengan lebih kritis, wajah ‘pemberdayaan’ semacam itu mengindikasikan suatu gejala yang lebih-kurang sama dengan ‘pemberdayaan’ a la Barat yang sempat saya singgung di awal tulisan ini. Meskipun yang mencanangkannya adalah Negara sendiri, selama esensi dan status publik dan masyarakat masih dilihat sebagai kelompok ‘tidak berdaya’, sudut pandang risalah ini menilai bahwa kondisi itu adalah cerminan 8


dari suatu pendisiplinan yang membelenggu demokrasi. Pada kenyataannya, partisipasi masyarakat yang digaung-gaungkan Pemerintah hanya berhenti di tataran ‘dialog’, selebihnya, segala macam bentuk pembangunan sering kali mengingkari kesepakatan dari dialog yang telah dilakukan. Jika kita berkaca pada kasus di Jatiwangi, sebuah daerah yang sebagian warganya melakukan kegiatan-kegiatan yang memanifestasikan ‘masyarakat berdaya’ (terutama karena dipicu oleh keberadaan Jatiwangi Art Factory), program-program milik Pemerintah yang saya sebutkan di atas memang bertolak belakang sifatnya dengan yang dimaksud oleh Jatiwangi Art Factory. Mengutip kata Ginggi, “Program-program Pemerintah itu kehilangan ruh!” Warga masyarakat yang terlibat aktif di dalam berbagai kegiatan Jatiwangi Art Factory berusaha mengembalikan ruh itu. Caranya, bekerja sama dengan Pemerintah Desa mereka (kalau kita enggan menggunakan kalimat “mengajari Pemerintah Desa”) untuk dapat melancarkan berbagai program di tingkat kelurahan dan kecamatan, sesuai dengan jalur yang dimengerti dan diingini oleh warga masyarakat Kecamatan Jatiwangi sendiri. Pertanyaannya kemudian, apakah kerja sama yang terjalin itu terjadi dalam suatu hubungan yang sama rata dan sama kuat? Atau, apakah hanya berupa suatu bentuk pendisiplinan yang lain belaka? Sebelum menjawab itu, menurut saya, tentu gegabah namanya jika menganggap kasus di Jatiwangi dapat diterapkan begitu saja di daerahdaerah lain di Indonesia. Kita tidak bisa memukul rata kasus spesifik di suatu daerah untuk daerah lain. Sebab, kekerabatan sosial, yang menjadi faktor utama bagi terwujudnya ‘masyarakat berdaya’ di sebuah wilayah, sangatlah relatif. Kita bisa menyaksikan, bahwa ada banyak daerah lain yang memiliki masalah yang sama dengan Jatiwangi, tetapi tidak dapat dengan mudah memengaruhi Pemerintah di lingkungan lokalnya agar mau bekerja sama dalam bentuk yang benar-benar konkret. Paling tidak, untuk dapat berpihak kepada warga saja, itu pun cukup sulit. Pada kenyataannya, berdasarkan hasil observasi saya terhadap Jatiwangi ketika menyelenggarakan workshop selama satu bulan di sana, ada beberapa hal yang menjadi prasyarat bagi warga agar mereka mampu menjadi masyarakat berdaya (bukan sekadar diberdayakan, apalagi diperdaya). Untuk menjawab pertanyaan yang saya lemparkan sebelumnya, kita terpaksa mempertimbangkan pertanyaan anteseden: apakah warga di 9


lingkungan komunitas 22 tertentu, dari awal kemunculannya di suatu wilayah hingga menjadi bagian dari jaringan-jaringan sosial yang ada, sudah ditakdirkan ‘berdaya’? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Akan tetapi, yang justru menarik untuk diungkai ialah proses menjadi ‘berdaya’ itu sendiri. Kita bisa menyalahkan aksi-aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ yang dilakukan oleh kelompok-kelompok eksklusif (yang sebetulnya bukan bagian dari masyarakat di lingkungan wilayah tertentu), karena adanya potensi yang mendefinisikan warga masyarakat sebagai objek. Status warga sebagai objek tersebut, terbukti dari bentuk-bentuk kegiatan lanjutan berbagai program ‘pemberdayaan masyarakat’ yang hasilnya justru lebih banyak dinikmati oleh penyelenggara kegiatan pemberdayaan—lebih parahnya, keuntungan itu bersifal komersil dalam kerangka berpikir Kapital yang selalu mengakumulasi modal. Akan berbeda proses dan hasilnya, jika yang melakukan ‘pemberdayaan masyarakat’ itu adalah warga lokalnya sendiri. Menurut saya, ini adalah prasyarat pertama bagi terciptanya ‘masyarakat berdaya’. Tentu saja, inisiatif warga itu membutuhkan sebuah pemicu. Kita tidak dapat memungkiri, bahwa pemicu itu mungkin saja berasal dari Pemerintah dan Negara, atau justru dari elemen yang lain. Hal yang membedakannya dari kecenderungan pola ‘pemberdayaan masyarakat’ konvensional yang menjadikan warga sebagai objek, adalah terletak pada proporsi dan peruntukan keuntungan yang dihasilkan, apakah lebih besar manfaatnya bagi si pemicu, atau bagi si warga itu sendiri. Memang, pemaparan konsep ini agak terlalu muluk. Akan tetapi, kasus di Jatiwangi, mungkin, adalah contoh nyata dari pemikiran ini. Arief dan Ginggi, misalnya, atau Ila dan Maman23, adalah warga lokal asli yang memang hidup di Jatiwangi. Aksi pemberdayaan yang dilakukan oleh Jatiwangi Art Factory, bisa kita anggap sah dan mampu menggaungkan ide ‘warga sebagai subjek yang berdaya’, karena mereka bergerak secara mandiri untuk wilayah mereka sendiri. Yang perlu dicatat, inspirasi-inspirasi yang dimiliki oleh kelompok ini dalam melakukan aktivitas ‘masyarakat berdaya’, didapatkan melalui pergaulan luas dengan berbagai jaringan komunitas yang juga bergerak demi mencapai cita-cita yang sama. Dengan kata lain, faktor kepemilikan jaringan adalah prasyarat kedua bagi terciptanya ‘masyarakat berdaya’. Untuk membangun wilayah lokalnya, warga tidak akan berhasil jika hanya berdiam diri di dalam kandang, tanpa melihat, mempelajari, serta [sesuai kebutuhannya] memodifikasi cara-cara yang sudah pernah 10


diterapkan di wilayah lain yang memiliki pola, gaya, dan pengalaman yang berbeda. Memiliki jaringan dengan wilayah lain, membuka peluang tersebut menjadi lebih besar. Merumuskan prasyarat yang ketiga, kita sekarang harus menyinggung aspek ‘kekerabatan sosial’ yang relatif itu. Dalam hal ini, kekerabatan sosial yang memang telah menjadi karakter kehiduan masyarakat di Timur, dalam keadaan tertentu, dapat dibentuk dan diperkuat sedemikian rupa untuk kepentingan warga lokal. Tapi, mengacu ke prasyarat kedua, tentu kita sepakat bahwa yang melakukan pengkondisian ‘kekerabatan sosial yang sengaja dibentuk’ tersebut haruslah warga lokalnya sendiri. Dalam hal ini, warga membutuhkan suatu perangkat yang dapat mewujudkan hal itu. Inilah pintu yang mempersilakan ide tentang ‘pemberdayaan media’ masuk ke dalam aktivitas ‘masyarakat berdaya’. Melalui aktivitas bermedia (produksi-distribusi informasi dan pengetahuan secara mandiri), warga masyarakat memiliki ruang untuk saling bertukar pikiran dan berdialektika, dalam rangka menggapai suatu kesalingpahaman hingga menguatkan kekerabatan sosial yang sudah lebih dulu ada sebelumnya. Sederhananya, berdasarkan kasus di Jatiwangi, aktivitas bermedia, dan hasil dari media itu sendiri, memicu warga untuk menjadi lebih kompak. 24 Akan tetapi, tentu saja aktivitas bermedia ini bukanlah sebuah proses yang instan. Masyarakat Jatiwangi sendiri membangun kesadaran itu, untuk wilayah lokalnya, selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya memiliki posisi tawar yang sama kuat dengan Pemerintah yang akan mereka berdayakan. Singkatnya, meninggalkan istilah ‘pemberdayaan masyarakat’ yang dapat menyesatkan pemahaman kita tentang status dan posisi masyarakat, ‘pemberdayaan media’ dapat kita jadikan sebagai sebuah konsep alternatif, yang layak dilakukan sebelum memasuki tahapan terakhir, yaitu ‘pemberdayaan pemerintah’. Belajar dari apa yang telah dilakukan oleh Jatiwangi Art Factory dan anggota masyarakat Jatiwangi lainnya, aksi ‘pemberdayaan pemerintah’ hanya dapat diwujudkan tatkala warga telah memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memberdayakan media. Melalui kegiatan memproduksi filem dan karya video dokumenter, contohnya, warga Jatiwangi dapat mengajak para pelaku yang memiliki peran atau posisi penting dan strategis di lingkungan pemerintahan—termasuk lembaga kepolisian dan tentara—untuk terlibat dalam 11


berbagai kegiatan-kegiatan berbasis komunitas. Mulai dari penyelenggaraan gotong-royong25 tingkat desa hingga penyelenggaraan festival seni tingkat internasional. Faktanya, Pemerintah juga berkenan untuk ‘hadir’ di dalam media, sebagaimana warga bergairah menyambut sensasi media tersebut; merayakan aktivitas merekam dan direkam. Kebutuhan atas hasrat simbolik seperti ini adalah kunci yang memungkinkan terjadinya ‘hubungan simbiosis mutualisme sosial’. Baik Pemerintah maupun warga, sama-sama terpenuhi kebutuhannya untuk berpromosi, atau menyimpan kenangan yang dapat digarap sebagai arsip untuk masa depan. Terkait hal itu, Arief dan Ginggi menekankan bahwa output atau produk dari media yang mereka produksi bukanlah yang utama. Justru, poin ‘masyarakat berdaya’ itu terjadi saat menjalani proses produksi media yang mereka lakukan sendiri. Kegiatan-kegiatan ‘selebrasi’ membuat filem dan video, lagu kolaborasi, konser, dan segala macam bentuk kegiatan kreatif lainnya memberikan efek nyata yang dapat memobilisasi Pemerintah dan warganya untuk melakukan aktivitas membangun desa secara bersamasama. Di satu sisi, warga dapat menentukan pembangunan seperti apa yang mereka butuhkan—atau setidaknya, meningkatkan daya kontrol terhadap aparat pemerintahan, karena keadaan bertatap muka (berkolaborasi) yang semakin meningkat di antara keduanya, terjadi selama proses produksi media. Di sisi lain, Pemerintah dapat mengimplementasikan program yang telah mereka rancang sesuai kehendak warga masyarakat lokalnya. Dengan cara ini, ‘dialog’ dan ‘aksi konkret’ terjadi secara bersamaan, karena ada [kegiatan produksi] media yang mewadahinya. Sebagaimana efek yang didapatkan jika prasyarat ketiga terpenuhi, ‘kegiatan produksi media warga’ itu dapat berfungsi sebagai ruang bertukar pikiran untuk meningkatkan kesalingpahaman, dalam rangka menciptakan ‘kekerabatan’, antara warga dan Pemerintah. Pada titik ini, Pemerintah justru belajar kepada warganya. Dari semua pemaparan yang saya utarakan dalam risalah ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ‘pemberdayaan pemerintah’ adalah karakteristik dari ‘masyarakat berdaya’. Masyarakat merupakan subjek utama yang berhak dan berkewajiban menentukan kehidupannya sendiri. Daerah-daerah lain yang hendak membangun tangga untuk kemajuan desa/kotanya sebagaimana yang diterapkan oleh masyarakat Jatiwangi, haruslah terlebih dahulu memenuhi tiga prasyarat, yakni kesadaran warganya untuk menjadi subjek, perluasan 12


jaringan, dan memperkuat kekerabatan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ‘pemberdayaan media’ (oleh dan untuk warga) adalah strategi yang dapat dilakukan. Selain sebagai manifesto tentang warga yang aktif, mengadopsi pernyataan Arief, media adalah janji; sesuatu yang dapat menjanjikan posisi tawar bagi warga, sesuatu yang dapat menjanjikan perubahan. Saya setuju, bahwa pada ‘media warga’-lah seorang atau sekelompok warga dapat melihat, mengingat dan mengkritisi janjinya sendiri sebagai ‘masyarakat berdaya’. Catatan Kaki Maksud saya dengan istilah ‘kelompok ekslusif ’ ini memang dimaksudkan sebagai oposisi dari makna inklusif. ‘Kelompok ekslusif ’, yakni kelompok yang sesungguhnya berada ‘di luar’ dan tidak melebur ke dalam lingkungan masyarakat yang menjadi objek atau sasaran kegiatankegiatannya. Kelompok ini adalah ‘kelas yang terbatas’, yang keanggotaannya ditentukan oleh prasyarat tertentu agar orang-orang bisa menjadi bagian darinya. Keterbatasan itu pun, secara sadar atau tidak, juga menentukan akses, baik yang arahnya ke dalam kelompok itu sendiri maupun ke arah luar. Umumnya, ‘kelompok eksklusif ’ mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang lebih unggul atau istimewa atas hal tertentu di antara elemen-elemen masyarakat umum yang lainnya.

1

J. M. Lonsdale, “Some Origins of Nationalism in East Africa”, The Journal of African History, Vol. 9, No. 1 (1968), hal. 119-146. Lihat di halaman 128.

2

Saul D. Alinsky, Rules for Radicals: A Pragmatic Primer for Realistic Radicals (New York: Random House, 1971), hal. 3.

3

4

Lihat Saul D. Alinsky, Reveille for Radicals (Chicago: University of Chicago Press, 1946).

Dalam Reveille for Radicals itu, Alinsky memaparkan ilustrasi dengan mengambil contoh pada peristiwa pertemuan antara American Federation of Labor, Congress of Industrial Organizations, dan Railroad Brotherhood. Pertemuan itu dalam rangka dukungan terhadap suatu kampanye organisasional di sebuah kota yang terletak di dekat Mason-Dixon (lihat di hal.188-189).

5

Robert Pruger dan Harry Specht, “Assessing Theoritical Models of Community Organizations Practice: Alinsky as a Case in Point”, Social Service Review, Vol 43, No. 2 (Juni, 1969), hal. 123-135. Lihat di halaman 133.

6

Robert Pruger dan Harry Specht, ibid. Dalam pemaparannya, Pruger dan Specht menyoroti klaim Alinsky tentang mekanisme People’s Organizations yang dapat memproduksi tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat berpenghasilan rendah (low-income community). Jika kita meninjaunya ke Reveille for Radicals, Alinsky memaparkan pengalamannya menghadapi ketiga lembaga (yang disebut di catatan kaki nomor 5) yang mulai menghindari Hukum Jim Crow, yakni hukum yang mengatur etnis Afrika-Amerika (sering disebut dengan istilah merendahkah: ‘orang negro’) secara diskriminatif; fasilitas untuk orang kulit putih selalu lebih

7

13


bagus ketimbang fasilitas untuk orang kulit hitam. Menurut pemahaman saya, pada pemaparan Alinsky tersebut, tersirat suatu pernyataan bahwa pola ‘organisasi modern’ yang dia ajukan telah membuka peluang bagi kelompok tertindas untuk berpartisipasi secara lebih aktif dan diakui dalam aktivitas-aktivitas politik. 8

Robert Pruger adan Harry Specht, ibid., hal. 134.

Salah satu desa yang berada di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

9

10 Ginggi menerangkan kepada kami, bahwa dalam cetak biru pembangunan jalan tol yang melintasi Kecamatan Jatiwangi, tidak dipertimbangkan, salah satunya, aspek-aspek krusial sehubungan dengan sarana pengairan (semacam saluran drainase) di tingkat desa dan kelurahan. Cetak biru itu hanya mempertimbangkan keselamatan saluran air di tingkat yang lebih tinggi, seperti kabupaten.

Edy Rianto, Peran Stakeholder dalam Pelestarian Program P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani – Nelayan Kecil), Makalah Seminar dan Lokakarya “Strategi Pengembangan dan Pelestarian Program P4K dalam Pengurangan Kemiskinan di Kabupaten Pemalang” (Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, 2004), hlm. 1. Diakses pada 19 Mei, 2015 dari http://core. ac.uk/download/pdf/11720370.pdf

11

12 Sjafra Dwipa dan Janes Simanjuntak, MT., “Regulasi Panas Bumi Dalam Era Otonomi”, Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM) TA (2002), hal. 2. Diakses pada 19 Mei, 2015 dari http://bit.ly/1IV9Qvx 13 Faizah Fauzan El Muhammady, Evaluasi Program Inpres Desa Tertinggal dalam Konteks Mengentaskan Kemiskinan pada Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Nelayan Penerima Program IDT di Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat), Tesis (Institut Pertenian Bogor, 1996), hal. 10. Diakses pada 19 Mei, 2015 dari http://bit.ly/1HG6HMQ

Razak Miraza, Implementasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Skripsi (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 14-15. Diakses pada 19 Mei, 2015 dari http://bit. ly/1HF1yr8

14

15

The World Bank, “Program Pengembangan Kecamatan”, diakses pada 19 Mei, 2015 dari

http://bit.ly/1KuK1Tj

PNPM Mandiri (3 Juli, 2011), “Tanya Jawab Seputar PNPM Mandiri”, Brosur, hlm. 1. Diakses pada 19 Mei, 2015 dari http://bit.ly/1dsSh9d

16

Agus Purbathin Hadi, “Tinjauan Terhadap Berbagai Program Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia” (tidak bertanggal). Diakses pada 19 Mei, 2015 dari http://bit.ly/1Khlyh0

17

18

PNPM Mandiri, op cit.

P2KP, “Tentang PNPM”, Situs web P2KP (tidak bertanggal). Diakses pada 19 Mei, 2015 dari http://bit.ly/1IZsz7y 19

20

Faizah Fauzan El Muhammady, op cit.

21

Agus Purbathin Hadi, op cit.

Kata ‘komunitas’ yang saya maksudkan di sini merujuk pada pengertian sebuah kelompok tertentu di dalam masyarakat. Sedangkan ‘masyarakat’, dalam konsep yang lebih abstrak, dapat

22

14


dimengerti sebagai suatu istilah yang mendefinisikan jaringan-jaringan sosial yang ada di dalam berbagai bentuk interaksi dalam kehidupan manusia. 23

Ila dan Maman adalah dua Kepala Dusun yang ada di Desa Jatisura.

24 Kata ‘kompak’, dalam hal ini, saya rasa lebih tepat untuk digunakan ketimbang kata ‘konsensus’, untuk mengacu sebuah kondisi yang memungkinkan warga masyarakat bergerak secara serempak. Kata ‘konsensus’, secara politis, lebih merepresentasikan suatu kesepakatan umum yang diciptakan oleh pihak penguasa untuk kepentingan-kepentingannya sendiri.

Ginggi sempat memperlihatkan kepada saya salah satu video dokumenter koleksi Jatiwangi Art Factory yang merekam keterlibatan langsung Camat dan aparat kepolisian dalam kegiatan gotong-royong yang pernah mereka lakukan.

25




KULI MEMBAYANGKAN JADI PENGUSAHA Maman Sudirman

18


Dulu, saya punya pengalaman bekerja di sebuah perusahaan pabrik penggilingan padi di sekitar wilayah Kecamatan Jatiwangi. Orang-orang tahu bahwa Kecamatan Jatiwangi terkenal dengan banyaknya pabrik penggilingan padi, tapi sebenarnya pabrik-pabrik penggilingan padi itu lebih banyak berada di Desa Jatisura. Saya pernah bekerja di sebuah pabrik yang bernama Pabrik Sinar Harapan, yang letaknya di kampung saya, Kampung Wates. Suka duka selama bekerja di sana saya abaikan, yang penting bisa membiayai kebutuhan rumah tangga saya. Tapi, jika harus diceritakan, bisa dibilang sukanya adalah bila saya mendapatkan upah yang agak lumayan besar dibanding upah para pekerja harian. Namun, di balik itu saya harus mengeluarkan tenaga ekstra besar untuk mendapat upah tersebut, selain durasi jam kerja yang sangat tersita dari pagi hingga malam. Para pekerja di pabrik penggilingan, biasanya dibentuk menjadi satu tim, yang terdiri dari tujuh hingga sepuluh orang. Tapi, ada kalanya hanya terdiri dari empat atau lima orang, karena ini hanyalah pekerjaan bebas. Meskipun statusnya adalah pekerja tetap, tetapi tidak ada aturan yang mewajibkan pekerja masuk setiap hari. Memang, majikan (pemilik pabrik) inginnya para pekerja bisa masuk setiap hari. Namun, seorang pekerja bisa dimaklumi tidak masuk kerja jika kelelahan karena pada hari sebelumnya dia bekerja hingga larut malam. Kalau hal yang harus dikerjakan tidak terlalu banyak, seluruh anggota tim bisa mengerjakan satu tugas bersama-sama. Ada saatnya pekerjaan menjadi sangat banyak, misalnya ketika bak beras harus diangkat dan dimasukkan ke dalam karung berbarengan dengan kosongnya panggung penggilingan dan datangnya mobil dari bandar yang harus dibongkar. Anggota tim harus membagi-bagi tugas. Pagi hari, sekitar pukul 06.30 WIB, saya sudah siap bekerja, memikulmikul karung padi yang beratnya sekitar 40 sampai 50 kg, atau lebih. Pekerjaan dimulai dari penjemuran padi, banyaknya sekitar 8000 kg (8 ton). Sembari menjemur padi, para pekerja bisa sambil mengerjakan pekerjaan yang lain, seperti menaikkan padi yang siap digiling ke panggung penggilingan beras. Setelah panggung itu penuh, barulah mesin pencacah padi dinyalakan. Mesin penggilingan padi ada tiga macam. Dua yang pertama disebut mesin pencacah atau mesin PK (istilah yang sering dipakai untuk menyebut padi yang belum sepenuhnya menjadi beras, tetapi sudah digiling). Sedangkan 19


yang terakhir adalah mesin penggiling beras atau polisher (yang hasilnya beras jadi). Dengan kata lain, padi itu melalui tiga tahap penggilingan sampai menjadi beras. Sambil menunggu padi itu digiling oleh mesin untuk menjadi beras PK, pekerja bisa mengerjakan hal yang lain, misalnya membolak-balik padi yang sedang dijemur itu atau membongkar (sekaligus menimbang) padi yang ada di mobil milik bandar padi yang datang ke pabrik penggilingan. Akan tetapi, menaikkan padi ke atas panggung penggilingan tidak hanya sekali. Jika sudah kosong, harus diisi lagi. Begitu seterusnya. Jika tidak ada padi yang harus dibongkar, atau jemuran padi selesai dibolak-balik, pekerja bisa istirahat. Dalam mengerjakan tugas, tim ini harus benar-benar bekerja sama. Sambil menangani satu pekerjaan, misalnya bongkar-timbang padi dari mobil, seorang pekerja harus lincah matanya melihat-lihat apakah panggung penggilingan padinya sudah kosong, atau bak berasnya, yang letaknya di bawah mesin polisher, sudah penuh. Jadi, para pekerja siap siaga mengisi padi ke dalam mesin PK, atau jika beras PK-nya sendiri sudah banyak, si pekerja harus siaga untuk menyalakan mesin polisher. Mesin polisher itu cukup dijaga oleh satu orang saja. Jika bak beras di mesin polisher sudah penuh, semua anggota tim bergotong-royong memasukkan beras ke dalam karung sambil ditimbang. Ada juga yang bertugas untuk menjahit karung setelah ditimbang, dan ada juga yang bertugas untuk menyimpannya ke tempat penyimpanan sebelum dimuat ke mobil yang akan mengantarkan beras untuk dijual. Di saat menunggu bak beras berikutnya penuh, anggota tim kembali mengerjakan pekerjaan yang lainnya, seperti yang sudah saya jelaskan tadi. Pukul 08.30 WIB adalah waktu yang bisa dimanfaatkan oleh masingmasing pekerja untuk makan, tapi itu bukan waktu istirahat yang pasti. Mengapa dibilang begitu? Sebab, kita, para pekerja, harus makan bergantian. Jarang kita makan bersamaan karena pekerjaan selalu banyak. Pekerjaan itu terus menerus dijalankan. Pada sore hari ketika padi yang dijemur sudah kering, barulah padi itu diangkat dan diangkut untuk disimpan di dalam pabrik sebagai persiapan penggilingan esok harinya. Terkadang, pekerjaan itu baru akan selesai pada larut malam. Bisa sampai pukul 22:00 WIB, atau lebih. 20


Malam hari setelah semua pekerjaan selesai, saya yang biasanya dipercaya oleh majikan, mulai menghitung hasil pekerjaan yang sudah kami kerjakan seharian. Contoh penghitungannya adalah seperti ini: 1. Upah menjemur padi: 8 ton x Rp. 20 = Rp.160.000,2. Upah muat-bongkar-timbang padi dari mobil: 7 ton x Rp. 12 = Rp.84.000 3. Upah hanya bongkar-timbang padi dari mobil: 35 ton x Rp. 7 = Rp.105.000 4. Upah giling padi: 12 ton x Rp. 25Â = Rp.300.000 5. Upah memuat beras ke dalam mobil: 10 ton x Rp. 7 = Rp.70.000 6. Upah hanya bongkar beras dari mobil: 10 ton x Rp. 3 = Rp.30.000 Jadi, jumlah total upah yang didapat adalah Rp749.000,-. Jumlah total upah itu kemudian dibagi dengan jumlah anggota tim pekerja. Jika misalnya anggota tim hanya tujuh orang, berarti masing-masing orang mendapat upah sebesar Rp107.000,- dalam satu hari kerja. Kalau jumah anggota lebih banyak, misalnya sepuluh orang, berarti masing-masingnya mendapat Rp74.900,- saja. Jumlah total upah ini pun, bergantung dari jumlah pekerjaan dalam sehari. Jika tugas yang harus dikerjakan sedikit, misalnya hanya menggiling saja, tidak ada stok padi yang harus dibongkar dari mobil, upahnya bisa jadi lebih sedikit. Dukanya, jika bekerja sebagai buruh di pabrik penggilingan padi, adalah ketika pekerjaan sepi. Misalnya, pada musim paceklik, pemasok atau bandar padi akan berkurang sehingga aktivitas semacam bongkar-timbang padi atau jumlah padi yang akan digiling juga berkurang. Dengan kata lain, jumlah upahnya juga berkurang. Bahkan, pekerjaan menggiling padi bisa ditunda beberapa hari karena harus menunggu jumlah padinya banyak, paling tidak harus mencapai 15 ton per hari. Pada waktu-waktu seperti ini, pemasukan sebagai buruh juga kecil. Paling-paling, hanya Rp20.000,- per harinya. Kadang juga tidak dapat penghasilan karena aktivitas menggiling terhenti hingga beberapa minggu lamanya. Berbeda dengan si pemilik pabrik. Keuntungan yang didapat lebih besar, karena dia yang memiliki modal. Seandainya kalau saya punya modal, rasanya saya tertarik juga untuk menjalankan usaha penggilingan padi tersebut. Tapi, modalnya harus ganda. Umpamanya, untuk satu hari, modal belanja padi yang harus saya punya 21


adalah Rp4.500.000,-/1 ton, sedangkan jumlah padi yang hendak digiling adalah 15 ton. Berarti, total modal saya adalah Rp67.500.000,-. Umumnya, dari 1 ton padi, setelah digiling, akan menjadi 600 kg beras (kualitas tidak baik) atau lebih dari 650 kg (kualitas sangat baik). Biasanya, cara mengetahui kualitas padi adalah dengan melihat struktur kulit padi, antara tebal dan tipisnya kulit padi. Anggaplah hasil berasnya adalah yang kurang baik, yakni menghasilkan 630 kg. Jadi, jika jumlah padi yang akan digiling adalah 15 ton maka akan menghasilkan 9.450 kg beras. Sementara itu, harga jual beras perkilonya adalah Rp8.500,- sehingga harga jual beras hasil dari gilingan 15 ton padi adalah Rp8.500,- x 9450 = Rp 80.325.000,-. Dengan kata lain, jika beras saya dijual, akan mendatangkan uang sebesar Rp80.325.000,- – Rp Rp67.500.000,- = Rp12.825.000,-. Uang hasil penjulan ini akan dikurangi dengan ongkos pekerja dan biaya tak terduga, biasanya sudah menggunakan angka pembagi yang digunakan secara umum oleh pengusaha penggilingan beras, yakni sebesar Rp25. Jadi, uang sebesar Rp12.825.000,- dibagi 25, menjadi Rp513.000,-, Artinya, saya akan mendapatkan untung sebesar Rp513.000 per hari. Tapi kita harus punya modal ganda untuk persiapan buat bahan penggilingan esok harinya. Sebab, beras yang telah dihasilkan hari ini, baru akan bisa diuangkan keesokan sorenya, bahkan terkadang malam. Jika tidak punya modal simpanan, saya tidak akan bisa menggiling beras untuk esok hari. Namun, usaha ini menghasilkan keuntungan yang lain, yakni hasil penujualan bekatul dan dedak kasar. Bekatul adalah kulit padi yang halus, bekas digiling. Sedangkan dedak kasar adalah kulit padi yang kasar. Setiap tiga hari penggilingan padi, biasanya akan menghasilkan kurang lebih 2 ton dedak halus dan 1 mobil dedak kasar. Jika dijual, harga dedak halus perkilonya adalah Rp3.000,-, jadi jika menjual 2 ton akan menghasilkan uang Rp6.000.000,-. Sementara itu, harga jual 1 mobil dedak kasar adalah Rp1.500.000,-. Dedak halus dan dedak kasar ini banyak dicari orang. Dedak halus biasanya digunakan untuk bahan makanan ternak, sedangkan dedak kasar sering digunakan untuk bahan campuran batu bata. Pengusaha ternak dan batu bata dari luar Jatisura seringkali datang ke desa ini untuk mendapatkan dedak, baik yang halus maupun yang kasar. Keuntungan penjualan dedak ini dimiliki sepenuhnya oleh pemilik pabrik penggilingan padi. Bahkan, si pemiliki bisa membeli mobil hanya dari uang hasil penjualan 22


dedak tersebut. Contohnya seperti Bapak Husein, bekas majikan saya di Pabrik Sinar Harapan itu. Tapi, yang terpenting adalah bisnis ini harus dijalankan dengan hati-hati. Seperti misalnya, hati-hati memilih rekan usaha (orang yang menitipkan padi untuk digiling) atau menentukan kapan padi itu sebaiknya digiling, tergantung harga di pasar. Pabrik Sinar Harapan itu adalah contoh pabrik besar. Aktivitas penggilingannya selalu berpatok pada jumlah padi dan beras yang besar pula untuk tujuan perdagangan. Sementara itu, ada juga tempat penggilingan padi yang skalanya lebih kecil. Biasanya, yang menggiling padi itu adalah masyarakat sekitar dengan tujuan untuk dikonsumsi sendiri. Tapi, di Kampung Wates tidak ada tempat penggilingan kecil sehingga warga di kampung ini harus menggiling beras konsumsi pribadinya ke desa tetangga. Jika kita berbicara soal pemasaran beras, itu bukanlah hal yang sulit karena sudah ada para pemasar-pemasar ke setiap wilayah atau kota tujuan pemasaran. Masing-masing distributor memiliki lahan distribusinya sendiri. Misalnya ke Kota Bandung, Jakarta, Karawang, Depok, Bogor, Sukabumi, dan kota-kota lainnya. Distributor yang biasanya mengirimkan beras ke Bandung, tidak akan mengirimkan beras ke kota lain. Tidak ada aturan resmi, tetapi itu sudah jadi kesepakatan sosial (atau rasa saling mengerti) di antara para distributor dan pengusaha penggilingan padi. Jadi, jika pada satu waktu tertentu, kota lain sedang musim jual beras atau harganya sedang bagus, si pengusaha penggiling padi yang ingin menjual berasnya cukup memilih distributor beras ke kota yang ingin dituju. Dalam proses pemasaran ini, si pemasar tidak perlu mengeluarkan modal besar untuk mendapatkan beras yang akan dia bawa ke wilayah pemasaran. Dia hanya mengandalkan modal kepercayaan dari si pemilik usaha penggilingan padi. Pembayarannya pun dapat dilakukan di waktu yang berbeda, tidak harus diwaktu si pengusaha penggilingan memberikan berasnya. Sepulangnya si pemasar dari kota pemasaran, si pengusaha penggilingan padi harus memberikan upah, atau lebih tepatnya persenan kepada si pemasar. Persentase bagi hasil ini tidak menentu, tergantung kesepakatan dan kepercayaan di antara si pemasar dan si pengusaha penggiling padi. Demikianlah cerita mengenai pengalaman saya bekerja di penggilingan padi. Cerita ini saya buat, harapannya, dapat menjadi acuan untuk teman23


teman yang ingin belajar bisnis tentang perdagangan padi/beras. Sebab, saya percaya, bahwa tidak mungkin beras itu tidak laku. Semua orang memerlukan beras karena itu makanan pokok sehari-hari. Sekarang ini, di kampung saya, baru sebagian kecil orang yang sudah mulai mengolah sawahnya dengan sistem organik, menggunakan mekansime tanam tunggal, termasuk juga pupuk organik. Hasilnya ternyata lebih unggul dari cara bercocok tanam biasa. Dengan kata lain, kualitas dari hasil pertanian akan lebih baik sehingga berpotensi pula untuk meningkatkan usaha perdagangan (karena harga padinya juga pasti lebih tinggi, otomatis harga beras juga lebih mahal). Dengan kata lain, sistem penggilingan padi di Kampung Wates pun berpeluang untuk menjadi bisnis yang dapat menghidupkan warga masyarakat di Kampung Wates.

24





KEBUNKU JADI CIRANGGON Imas Masitoh

28


Namaku Imas Masitoh. Aku lahir (pada 2 April, 1982) dan besar di Kampung Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Saat aku kecil, anak-anak di kampungku selalu bermain bersama-sama di halaman rumah-rumah kami, di sungai, di sawah, di kebun, dan di tanah lapang. Banyak sekali permainan yang bisa kami lakukan:Â jiglongan, sapintrongan, dadaluan, bebentengan, menari, menyanyi, renang di sungai (dengan bergaya cilanglangmuncang), lolocokan, bebeledogan dan sejumah permainan anak lainnya. Saat aku kecil, fasilitas untuk menuntut ilmu tidak semudah sekarang. Dulu, belum ada madrasah untuk kami belajar mengaji. Kalaupun ada, hanya mengandalkan kebaikan Pak Ustad, yang bernama Abdul Wahid (kadang, aku menyebutnya Pak Juju), yang berbagi ilmu tanpa pamrih. Di saat musim ke sawah tiba, Pak Juju menghentikan kegiatan madrasahnya karena harus bekerja di sawah. Ketika madrasah yang dikelola oleh Pak Juju terhenti, aku dan teman-teman harus mencari madrasah yang lain. Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), aku pun pernah mengikuti pendidikan madrasah di SD Angkasa Komplek TNI AU Lanud S. Sukani, meskipun aku bersekolah di sekolah yang berbeda, yakni SD Jatisura III. Di pagi hari, SD Angkasa menjadi sekolah negeri, tapi di sore hari menjadi sekolah agama (madrasah). Namun, aktivitas madrasah di sekolah ini pun terhenti, karena tenaga pengajarnya harus pindah tugas. Karena tidak aktif beberapa bulan tanpa kegiatan, kami lebih sering belajar kelompok untuk mengasah wawasan beragama. Keadaan seperti itu membuat aku mempunyai lebih banyak waktu untuk bermain. Sore hari, sepulang sekolah dari SD Jatisura III, aku sering bermain di luar rumah bersama teman-teman. Saat kemarau tiba, contohya, kami mencari pohon mangga yang berbuah lebat. Angin kemarau menyebabkan banyak buah mangga yang jatuh ke tanah sehingga kami tidak perlu memanjatnya. Kami saling berebut, saling menjerit, saling tertawa, dan saling berkejaran. Demikian juga pohon asem, tak luput jadi tempat berkumpul kami. Pohon asem itu tumbuh besar di kebun sebelah Selatan rumahku. Di depannya ada tambal ban sepeda yang dikelola oleh seorang pak tua, namanya Pak Beni. Intinya, kebun-kebun kami bersih dan teduh. Sungai Ciranggon, yang mengalir di kawasan kampung kami juga bersih dan airnya bening. 29


Tahun berganti tahun, tambal ban milik Pak Beni pun semakin tak terurus. Ketika akhirnya Pak Beni meninggal, hanya pohon asem besar itulah yang berdiri kokoh di tengah-tengah kebun. Aku dan teman-teman masih tetap bermain di sekitaran pohon asem itu. Masih tersimpan di dalam ingatanku. Jika mata kami terasa pedih, merah dan berair, kami cukup meneteskan air dari kuncup bunga krisman yang ada di sekitar pohon asem untuk meredakannya. Saat aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), pohon asem itu ditebang. Tanahnya diurug dan dibangun sebuah rumah. Hilang sudah satu tempat kami bermain karena pohon asem dan sekitarnya berubah jadi bangunan kokoh yang kini didiami oleh Ibu Anirem. Hanya kebunkebun kecil di sekeliling rumah sajalah yang tersisa hingga aku dewasa, salah satunya kebun kecil di tanah milik nenekku. Kini, aku telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Anakku tak dapat merasakan keindahan kebun yang luas dan bersih. Bahkan, anakku tak dapat melihat kebeningan Sungai Ciranggon, tempat ibunya sewaktu kecil dulu berenang, bermain, mencuci, mengambil udang dan mengambil ikan-ikan. Semuanya tak dapat dinikmati oleh anakku, keponakanku, dan anak tetanggaku. Keramahan alam dan permainan anak-anak di zamanku jarang sekali dialami oleh anak-anak zaman sekarang. Semuanya tergerus modernisasi. Anak lebih suka diam di dalam rumah, bermain playstation, menonton televisi, bermain boneka barbie dan semacamnya. Seandainya anak-anak kami ingin bermain di kebun, di sungai atau di mana pun yang mereka inginkan, pastinya orangtua mereka melarang karena kebun-kebun kami bersarang nyamuk dan bersampah. Sungai kami telah dangkal, kotor dan bersampah juga. Sesekali, aku pernah mendengar celoteh anak-anak kami yang berkesempatan bermain jiglongan di halaman rumah yang sudah menyempit, tak seluas halaman di masa ibunya kecil. Saat ini, halamanhalaman luas itu telah berubah menjadi bangunan tinggi, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat. Tahun 2013, pemerintah menjalankan program pembuatan drainase di sepanjang Jalan Lanud S. Sukani, Desa Jatisura. Galian drainase itu memanjang dan berular di depan rumah-rumah yang ada di pinggiran jalan. Saat pembangunan drainase itu akan berakhir, kontraktor sempat mengalami kesulitan untuk menentukan titik akhir dari drainase tersebut. 30


Menurut rencana, drainase itu akan berujung pada aliran yang menuju Sungai Ciranggon yang terletak di perbatasan Desa Jatisura (Kecamatan Jatiwangi) dan Desa Gandawesi (Kecamatan Ligung). Akan tetapi, jarak lintasan drainase akan menjadi sangat panjang dan menelan biaya yang besar untuk membangunnya. Maka, dipilihlah sebidang tanah yang sebenarnya masih berupa kebun-kebun kecil untuk jalan pintas aliran drainase itu. Awalnya, yang dipilih adalah batas rumah yang dulu merupakan kebun tempat pohon asem itu berada, tetapi karena si pemilik tanah menolak, akhirnya kontraktor meminta tanah nenekku yang berada di sebelah Utara rumah Ibu Anirem, sebagai jalan akhir drainase itu supaya alirannya bisa menuju ke Sungai Ciranggon. Keluarga besarku sempat menolak permintaan si kontraktor, karena kami mengkhawatirkan dampak dari pembuatan drainase tersebut. Misalnya, kebocoran yang bisa saja membuat tanah-tanah di sekitar drainase itu terkikis. Tapi kami juga menghadapi dilema dengan program pemerintah tersebut. Di satu sisi, pembangunan drainase pasti memberi manfaat bagi seluruh masyarakat sekitar. Tapi, di sisi yang lain, adanya drainase itu membuat struktur tanah rentan dan gampang rusak jika tidak dikelola dengan tepat guna. Karena alasan untuk kemaslahan bersama, akhirnya nenekku memberi izin agar tanahnya digunakan, asal dibuatkan bak kontrol di ujung drainase, sebelum turun ke aliran Sungai Ciranggon. Nenekku menuntut hal itu supaya tanah di sekitar air turunan tersebut tak terkikis. Si kontraktor setuju. Aku ingat, dia menawar tanah nenekku dengan harga Rp3.000.000,- supaya drainase dapat dilanjutkan pembuatannya. Tapi, apa yang terjadi kemudian, sedikit melenceng dari perjanjian. Di tengah-tengah pembuatan aliran akhir drainase itu, yang alirannya melintas di kebun keluarga kami, tiba-tiba si kontraktor menghentikan pembangunan tersebut. Jangankan membangun bak kontrol, drainase pun tak terselesaikan dengan maksimal. Drainase itu tidak berakhir di ujung tanah nenekku yang bersinggungan dengan Sungai Ciranggon, tetapi justru dibiarkan terputus begitu saja di tengah-tengah tanah. Kami mencoba mencari-cari keberadaan si kontraktor dengan maksud untuk menanyai kelanjutan pembuatan drainase, bahkan Pak Kadus telah turut membantu mencari si oknum. Tapi kami malah kehilangan kontak dan tak seorang pun yang bisa menyampaikan aspirasi kami. 31


Mula-mula, tak selesainya drainase itu tidak menimbulkan masalah karena dibuat pada musim kemarau. Tapi, saat musim hujan tiba, masalah mulai bermunculan. Bila hujan lebat, air Sungai Ciranggon meluap. Aliran air dari drainase pun deras memuara ke Sungai Ciranggon. Bayangkan jika hujan mengguyur Kabupaten Majalengka tiap hari di musim hujan! Apa yang akan terjadi dengan tanah di sekitar turunan drainase tersebut? Sekarang ini, keadaan tanah nenekku, telah rusak strukturnya. Bentuk dataran tanahnya melandai serupa selokan kecil yang menyatu dengan Sungai Ciranggon. Tanah kebun milik Pak Saidun, yang berada di belakang rumah Bu Anirem, sebelumnya menyatu dengan tanah nenekku. Karena kini terputus, kami terpaksa menggunakan batangan kayu kecil untuk melintas. Kami mendukung program pemerintah dalam bentuk apapun. Akan tetapi, kami hanya meminta agar pemerintah dapat menunjuk kontraktor yang tepat dan bertanggung jawab, yang bisa memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat dengan mempertimbangkan dampak dari program tersebut. Seperti yang pernah aku dengar, kejadian pembangunan program pemerintah yang direalisasikan secara tidak maksimal itu bukan hanya terjadi di kampung kami, tetapi juga di daerah lain. Perubahan zaman, yang salah satunya dapat dilihat dari pendirian bangunan-bangunan, memang menghilangkan lahan bermain bagi anak-anak. Tapi itu tak jadi masalah selama masih di jalur yang tepat, mendahulukan kepentingan umum dan memperhatikan kebersihan lingkungan. Lain halnya dengan peristiwa yang saya alami terkait pembangunan drainase itu. Bukan hanya mengikis kenangan tentang lahan bermain, tetapi juga mengikis keberadaan tanah tempat kami dahulu dapat memijakkan kaki dengan gembira.

32


33


34


35


NYEBLOK DI WATES Iim Rohiman

36


Kebanyakan masyarakat di Indonesia bekerja sebagai petani, tetapi berbeda-beda caranya di setiap daerah. Yang aku maksud berbeda di sini bukanlah cara menanamnya, tetapi cara mengelolanya. Mungkin, di daerah lain, menanam padi itu dilakukan langsung oleh si pemilik tanah sawahnya, sedangkan di daerahku, Kampung Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, agak berbeda. Di sini, sebagian besar orang yang mempunyai tanah, biasanya, menyuruh orang lain untuk menanam padi. Petani nyeblok berbeda dengan petani penggarap. Di Wates, petani penggarap biasanya menggarap lahan pertanian yang dia sewa dari pemilik tanah. Disebutnya ngelagu. Mereka menggarap sawah selama masa sewa tanah. Sedangkan para buruh tani, adalah orang yang bisa membantu pekerjaan di sawah baik milik petani penggarap ataupun bukan. Aksi buruh tani inilah yang disebut nyeblok. Jadi nyeblok bisa dilakukan di berbagai sawah milik siapa saja. Alasan si pemilik tanah ataupun petani penggarap menggunakan sistem nyeblok adalah untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan sekaligus menumbuhkan rasa gotong royong, serta membantu sesama warga. Si pemilik tanah biasanya merekrut kerabat dekat, atau tetangga di sekitar rumah, untuk menjadi buruh di sawahnya. Orang tua saya juga ikut nyeblok, salah satunya di tanah sawah milik Pak Tobib. Saya juga selalu ikut membantu, tetapi hanya di waktu panen. Pak Tobib adalah warga Desa Surawangi yang terletak di sebelah Barat Daya Desa Jatisura, tetapi memiliki lahan sawah di Kampung Wates. Umumnya, jika ada orang dari luar Kampung Wates yang mempunyai lahan sawah di dekat daerah kami, mereka menyuruh warga sekitar untuk nyeblok, dan produksi padinya untuk dijual ke daerah lain. Sementara itu, sebagian besar warga dari daerah kami yang mempunyai tanah sebagai lahan garapan, mengelola sawahnya untuk konsumsi pribadi. Sebenarnya ada beberapa warga Kampung Wates yang memiliki lahan garapan agak luas. Mereka mampu untuk menjual hasil panennya ke pabrik-pabrik penggilingan padi. Contohnya, Bapak Sama, Bapak Mul, Bapak Sob, dan beberapa orang lainnya. Beras dari Wates tersebut dijual ke luar daerah. Jadi bisa dibilang, hasil padi dari Dusun Wates turut berkontribusi menjalankan roda perekonomian warga Wates ini sendiri. 37


Proses nyeblok itu ada tiga tahap, yaitu ngarit (mengumpulkan benih padi), tandur (menanam padi) dan panen. Kebiasaan di Kampung Wates, ngarit dan tandur dilakukan oleh perempuan, ksrena pekerjaanpekerjaan tersebut membutuhkan ketelitian yang dimiliki oleh para perempuan. Sedangkan masa panen yang pekerjaannya lebih berat, akan dibantu oleh laki-laki. Ketikanyeblok, mula-mula, si buruh nyeblok itu melakukan ngarit benih padi, lalu melakukan tandur (singkatan dari ‘tanam mundur’) di tempat yang sudah disediakan oleh si pemilik tanah, sesuai dengan instruksi si pemilik. Ngarit yang saya maksud adalah mencabut benih padi yang sebelumnya sudah ditanam lebih-kurang dua puluh hari di salah satu petak sawah si pemilik. Biasanya, ngarit itu dilakukan di waktu sore, sehari sebelum waktu tandur. Si pemilik tanah sawah sudah membagi-bagi jumlah petak sawah sesuai dengan jumlah buruhnyeblok. Masing-masing penyeblok itu harus tahu dan bertanggung jawab terhadap bagian petak sawah yang harus dia kerjakan. Pada waktu akan tandur, kira-kira dimulai pukul setengah enam pagi, si pemilik sawah sudah menyiapkan hasil ngarit benih dan membawanya dari petak sawah tempat benih itu ditanam ke petak-petak sawah tempat menanam padi. Dia membagikan hasilngarit benih itu dengan cara melempar ke setiap petak sawah yang sudah dijaga oleh masing-masing buruh nyeblok untuk kemudian di-tandur. Teknik tandur itu sendiri ada dua macam, yaitu ombol dan ecek. Ombol adalah penanaman benih dengan jumlah batang yang banyak, biasanya lebih dari lima batang. Sementara itu, ecek adalah penanaman padi dengan jumlah batang yang sedikit, biasanya dua hingga tiga batang saja. Antara teknik ombol dan ecek itu, bergantung pada keinginan si pemilik. Kalau misalnya jumlah benih banyak, si pemilik biasanya menyuruh teknik ombol. Sebaliknya, jika jumlah benih sedikit, si pemilik biasanya menyuruh teknik ecek. Tapi, itu semua tergantung pada kebiasaan juga. Kalau menurut Pak Maman, Kepala Dusun Wates, teknik ecek lebih baik. Sebab, jika sudah tumbuh menjadi besar, semua batang padi menghasilkan buah. Sedangkan teknik ombol, walaupun batangnya banyak, biasanya akan menghasilkan buah padi lebih sedikit, karena jika sudah tumbuh besar, batangnya berdesak-desakan. Tapi, menurut pengalaman saya, teknik ecek rawan rusak, terutama jika terserang hama keong. Karena benihnya hanya sedikit, dia bahkan mudah habis jika dimakan keong. 38


Setelah tandur, para buruh nyeblok diberi upah sebesar Rp 20.000,- per petak sawah, atau Rp15.000,- ditambah makanan. Biasanya, makanan yang diberikan berupa nasi dengan lauk tahu, tempe, dan sepotong telor dadar. Di pertengahan aktivitas tandur, kira-kira pukul delapan atau sembilan pagi, para buruh beristirahat untuk makan di tempat si pemilik sawah menyiapkan makanan (biasanya, pada sawah yang lahannya luas, ada saung di pematang sawah untuk tempat istirahat dan makan bagi para petani nyeblok). Para buruh nyeblok itu makan bersama-sama dengan si pemilik sawah. Setelah selesai makan, para buruh akan melanjutkan pekerjaannya. Lamanya waktu untuk menyelesaikan aktivitas tandur itu berbeda-beda di setiap petak sawah. Ada yang selesai dengan cepat dan ada yang lambat, sesuai dengan keahlian si buruh nyeblokyang mengerjakannya. Para buruh nyeblok yang melakukan tandur, kadang-kadang, mendapatkan perintah yang bersamaan dari si pemilik tanah yang lain di hari yang sama. Kondisi ini biasa disebut mareng, yang artinya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan tandur di lahan sawah yang berbeda pada hari itu juga. Itu merupakan resiko yang harus ditanggung oleh si buruh. Mau tidak mau, dia harus mengeluarkan tenaga yang ekstra. Sebab, dalam sehari, setelah selesai di satu sawah milik seseorang, si buruh itu harus pindah ke sawah yang dimiliki orang yang berbeda untuk menyelesaikan pekerjaan yang serupa. Ji k a ad a bu r u h nyeblok y a ng t id a k sa ng g up meny ele sa i k a n pekerjaan tandur dengan ‘aturan’mareng itu, dia (Penandur 1) akan meminta bantuan orang lain (Penandur 2) untuk mengerjakan PR tandur-nya (yang didapat dari pemilik tanah 2). Penandur 1 akan memberi upah tandur, sebesar Rp 50.000,- per petak sawah yang jadi lahannya (hanca) kepada Penandur 2. Selain itu, upah uang sebesar Rp 15.000 atau Rp 20.000 dari si pemilik tanah 2 menjadi hak Penandur 2. Peristiwa seperti itu, di kampung saya dinamakan bedugan tandur: pekerjaan buruh tandur yang satu dilakukan oleh si buruh tandur yang lain. Akan tetapi, jika nanti tiba waktu panen, yang menyelesaikan pekerjaan itu tetaplah si Penandur 1 sehingga pembagian hasil nyeblok tetap menjadi hak milik si Penandur 1. Setelah pekerjaan tandur selesai di semua lahan sawah para pemilik tanah, giliran si pemiliklah yang mengurus dan merawat tanaman padi tersebut hingga waktu panen tiba. Pada masa itu, para buruh nyeblok bisa bebas beristirahat kurang lebih empat bulan lamanya, dan bisa melakukan pekerjaan yang lain. 39


Selama musim menunggu panen, kebanyakan masyarakat di Kampung Wates melakukan pekerjaan apa saja yang ada. Misalnya, ada pekerjaan dari si pemilik tanah sawah. Dia menyuruh si buruh nyeblok untuk melakukan bedugan ngoyos, yakni menyiangi dan membersihkan tanaman lain (rumput liar) selain tanaman padi. Pekerjaan ini dilakukan oleh buruh perempuan. Ada juga pekerjaan yang bernama bedugan ngalandak, yakni membersihkan tanaman padi sekaligus menggemburkan tanah area padi, yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, ada bedugan ngagemuk (memberikan pupuk pada tanaman padi) yang dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, dan bedugan nyemprot (menyemprot tanaman padi) yang dilakukan oleh laki-laki. Umumnya, pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan oleh orang tua. Menurut saya, ini mungkin disebabkan karena alasan, bahwa orang tua itu lebih berpengalaman. Di samping itu, anak dari beberapa buruh nyeblok bekerja sebagai buruh serabutan. Ada yang jadi kuli bangunan, nongkrong di jalan sambil menunggu kesempatan mendapat giliran mencuci mobil dari si pengusaha pencucian mobil, menunggu kesempatan untuk ikut bongkar kayu, dan lain-lain. Itu pun kami, anak buruh nyeblok, lakukan jika ada order. Jika tidak ada, ya, diam aja di rumah, karena bingung ‘ntah mau kemana. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga tiga bulan lamanya, tibalah musim panen. Para petani yang memiliki tanah sawah mulai sibuk memberitahukan kepada para buruh taninyeblok. Setiap tahun, sawah yang pertama panen di Wates adalah sawah milik Bapak Tobib, karena dia memiliki lahan yang luas, selain itu Pak Tobib memiliki traktor untuk membajak dan pompa pengairan sendiri. Dia yang selalu datang pertama ke rumah-rumah untuk memberi tahu waktunya panen. Kami, sebagai buruh nyeblok, akan bersiap-siap untuk melakukan panen. Jika si pemilik tanah menyatakan bahwa besok adalah hari panen, pada sore hari kami sudah akan berangkat sambil membawa arit untuk menuai padi dan mengumpulkannya di tempat yang sudah disiapkan. Biasanya, padi yang sudah dituai akan dikumpulkan di tengah-tengah petak sawah. Di tempat tersebut, sebelum hari H panen, si pemilik sawah sudah menyiapkan terpal sebagai alas tempat meletakkan padi. Masing-masing buruh nyeblok membawa alat gapretan dan meletakkannya di atas terpal itu 40


agar keesokan harinya para buruh tinggal langsung memukul-mukulkan padi pada gapretan tersebut. Di hari H panen, aku bersama keluarga turut serta memanen bagian sawah yang menjadi tanggung jawab kami. Ada yang bertugas menuai padi yang kemarin harinya belum selesai, ada yang memikul padi yang masih ada batangnya untuk dikumpulkan di atas terpal, ada pula yang memukul padipadi itu pada gapretan. Yang aku maksud dengan gapretan di sini adalah alat yang terbuat dari kayu yang dibentuk menyerupai segi tiga. Sisi depannya dibentuk dari bambu yang disusun sejajar dan agak renggang. Padi dipukul ke gapretan untuk memisahkan buah dari batangnya. Di tengah pekerjaan memanen tersebut, biasanya, kami beristirahat sambil menikmati bekal makanan yang kami bawa sendiri. Kami makan bersama-sama, ditemani angin yang semiriwing. Nah, itu hal yang paling kami nikmati, karena pada waktu itu kami bisa merasakan betapa enaknya makan di sawah. Mungkin, tidak semua orang bisa melakukannya. Waktu pun akan terus berlanjut. Menjelang tengah hari, pasti sudah akan ada beberapa buruhnyeblok yang menyelesaikan pekerjaannya, tergantung luas petak sawah yang mereka kerjakan. Usai memanen, buruh nyeblok hanya tinggal menunggu proses bagi hasil dengan si pemilik sawah. Dalam pembagiannya, para petani menggunakan sistem lima banding satu. Lima untuk si pemilik tanah dan satu untuk si buruh nyeblok. Umumnya, pembagian itu menggunakan baskom sebagai alat pengukurnya. Nah, hasil nyeblok padi tersebut dinamakan catu. Masing-masing pemilik dan buruh nyeblok mendapatkan hasil panen yang berbeda, tegantung pada luas dan banyaknya tanah garapan. Kata Bapak Mul, sang konglomerat tanah yang kukenal, jumlah penghasilan panennya pada setiap satu kali panen adalah sekitar 4 ton, dari total semua garapan tanahnya. Sedangkan Bapak Edi, yang memiliki tanah tidak seluas Bapak Mul, mengaku hanya mendapatkan 2 ton setiap satu kali panen. Bapak Wingka, dia hannya mendapatkan 1 ton padi setiap satu kali panen. Yang lumayan mencengangkan adalah pengakuan Bapak Udi yang merupakan seorang buruh nyeblok. Dia bisa mendapatkan penghasilan sebanyak 1,5 ton padi dari total seluruh pekerjaan nyeblokyang dia kerjakan secara bersamaan karena menerima tugas itu dari beberapa pemilik tanah 41


sawah. Penghasilan Bapak Udi ini bisa mengalahkan si pemilik tanah yang berskala kecil. Aku pun jadi berpikir, apakah Kampung Wates, Desa Jatisura, bisa dikatakan berpotensi sebagai daerah penyuplai padi, karena dalam satu tahun wilayah ini bisa dua kali panen dan menghasilkan padi yang cukup banyak? Agak bingung juga menjawabnya. Pada masa menunggu panen, para pemilik tanah sawah dan buruh nyeblok tidak mempunyai pekerjaan lain yang tetap, sementara masa penantian itu berlangsung cukup lama, menurutku. Demi menyambung hidup ke depan, sisa hasil panen yang mereka punya harus disimpan dan sebagian dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi persaingan dengan daerah penghasil padi lainnya yang dapat memproduksi jumlah padi yang jauh lebih besar. Dengan terbatasnya infrastruktur untuk mengelola padi, ditambah lamanya waktu musim paceklik yang selalu terjadi di sini, Kampung Wates masih menghadapi dilema akan statusnya sebagai daerah penyuplai padi. Aku juga suka berpikir, jika bergantung terus pada penghasilan nyeblok, mungkin hidup ini akan terus seperi ini. Dilema ini juga terjadi pada anak-anak buruh nyeblok seperti saya yang perjalanan hidupnya masih panjang.

42



44


45


46


47


TENGAH MALAM, DI TENGAH WANGINYA AROMA BUNGA SEDAP MALAM Otty Widasari, Bunga Siagian, Manshur Zikri

48


ZIKRI Otty (O) “Terbuktikah bahwa modernitas gagal di Wates? Jika ya, buktikanlah kegagalan itu!” Zikri (Z) “Kalau misalnya kita ngomong dalam konteks sudut pandang warga di Wates, saya belum berani bilang itu terbukti, karena kesadaran atau pengetahuan warga tentang ide “modernitas”, “tidak modernitas”, atau “posmodern”, belum di tahap yang bisa dibilang sadar. Namun, kalau orang yang memiliki kesadaran itu melihat, bisa dibuktikan dari peristiwa yang terjadi selama workshop. Misalnya, seperti dari hasil rekaman yang didapat. Contohnya, seperti rekaman di pabrik beras. Ada banyak peristiwa-peristiwa di mana teknologi itu, dalam artian mesin, justru tidak terlihat mendominasi manusia, tapi justru manusianya yang bergerak secara mekanik. Tapi kalau misalnya kita balik lagi ke sudut pandang si warga yang bekerja di pabrik beras itu, sadarkah mereka dengan posisi itu?” “Tapi modernitas itu terejawantahkan dalam kehidupan. Dilihat (O) dari contoh pabrik beras. Kerja yang sangat mekanik itu adalah modernitas, menurut saya. Sadar tak sadar, kita juga ada di sana, gitu lho! Jadi, kalau kamu bilang mereka tidak sadar dalam konteks itu, masa bodoh! Saya, toh juga tidak sadar apakah itu modern ataupun posmodern.” “Ya…” (Z) “Kamu bicara seperti seolah-olah kamu lebih tahu dan mereka (O) tidak tahu.” “Kalau misalnya kita membahas apakah kegagalan modernitas (Z) terbukti atau tidak di Wates, atau pun di lokasi yang lain, kalau menurut saya pribadi, sih, dalam konteks akumassa, justru bahasannya bukan di sana. Bukan di “modernitas” atau “bukan modernitas”, tapi lepas dari itu. Lepas dari konteks apakah modernitas itu gagal atau tidak ketika bicara akumassa. Ya, kembali ke dasar. Ya, peristiwa massa. Tapi kalau kita, mau tidak mau, atau mau, membahas itu lebih jauh ke masalah itu, ya, harus diakui realitanya, bahwa ada faktor lingkungan di lokasi ini yang tidak sadar berada di posisi itu. Memang seperti itu.” 49


(O) (Z)

(O) (Z) (O) (Z) (O) (Z) (O) (Z) (O)

(Z) (O) (Z) (O) (Z) 50

“Cuma dari kita, kan seperti itu?” “Ya, maksudnya, lingkungan warga di lokasi itu, maksudnya, dari orang yang berkutat dan berjibaku di situ, yang berjibaku di persoalan kajian itu. “Modernitas” dan “bukan modernitas” itu, kan, perbincangan kaum intelektual atau…, kalau misalnya kita lihat dari sudut pandang orang yang mengkaji, nih..., itu bisa dibuktikan. Bahwa modernitas itu gagal, misalnya. Contohnya, ya, dari rekaman suting, karena ada peristiwa yang menunjukkan ini gagal. Ada bukti dari kegagalan modernitas. Tapi itu, kan sudut pandangnya siapa. Tapi, perlu di-warning juga. Maksudnya, itu, kan hasil bacaan. Warga sendiri, sadar atau tidakkah dengan persoalan itu? Belum tentu.” “Jadi, hantu macam apa yang paling mengganggu mimpi-mimpi kita?” “Masih media mainstream.” “Itu hantu, ya?” “Hantu.” “Kenapa?” “Ya, paling berakar-berurat pengaruhnya di masyarakat. Dan ketika…, kalaupun misalnya...” “Hantu, mah, ditakutin, kali, ya…?! Media mainstream gak ditakutin, tuh! Yang paling mengganggu mimpi kita…?” “Bisakah disebut sebagai ancaman atau benalu, hantu yang dimaksud di sini?” “Hantu bukan benalu. Kalau ancaman? Ya, mengancam secara psikologis saja. Kenapa…? Pak Iing takut sama kata-kata “bingits”, merusak bahasa. Itu, kan, Pak Iing. Anak muda nggak takut sama “bingits”.” “Persoalannya, bukan…” “Saya ngomongin media mainstream, tuh…!” “Iya, tapi persoalannya, kan bukan takut itu akan merusak bahasa atau apa. Tapi, kan itu merasuk ke pola pikir, gitu lho!” “Itu takut…” “Ya, itu, kan orang tua, ‘Wah, ini berubah. Sekarang pakai kata bingits...’”


(O) (Z)

(O)

(Z)

(O)

(Z) (O) (Z) (O)

(Z) (O) (Z)

“Makanya, yang ditakuti secara bersama itu, apa?!” “Secara bersama, ya tetap itu (media mainstream—red). Walaupun tafsirnya, ‘Wah ini merusak bahasa…’ atau apa… itu, kan bedabeda. Tapi, itu memengaruhi pola pikir. Ketika itu memengaruhi pola pikir, masuk dalam hal yang paling dekat dengan kita sehari-hari, itu selalu menghantui.” “Tidak bikin takut, kalau kata saya. Takut itu, kan, kalau ada kesadaran, dia muncul secara visual, misalnya. Atau dari ceritacerita. Jadi, imajinasi yang visual di kepala, dan itu membuat takut, gitu! Kalau ini, tidak!” “Bisakah kalau misalnya, ketika membaca pertanyaan itu, yang saya maknai adalah ‘hantu apa yang selalu mengganggu mimpi kita’, sama ketika pernyataannya si Marx, yang bilang komunis menghantui masyarakat kita. Ada hantu yang mengiringi, yaitu komunisme. Tapi, kan, komunis itu bukan sesuatu yang dianggap sebagai yang menakuti, tapi dia itu menghantui kita, gitu lho! Menghantui, bahwa ‘Lu tak akan bisa lepas dari ini, suatu saat lu akan menghadapinya!’” “Saya tidak akan bertanya lebih jauh. Tapi, hantu macam apa yang paling menggangu. Itu dia, pertanyaannya. Nah, yang ketiga, ya… Adakah perlawanan bawah sadar yang hadir di malam-malam kita? Itu pertanyaan berikutnya, seharusnya.” “......... Itu dalam konteks Wates?” “Dalam konteks (pertanyaan—red) nomor dua.” “Yang nomor dua itu dalam konteks Wates juga?” “Ya, ‘kita’. Sekarang kita berada di Wates. Kalau orang takut hantu, kemudian alam bawah sadarnya akan berpikir. Itu, maksud saya. Karena dia takut. Itu tidak terjadi pada media mainstream. Begitulah pertanyaannya.” “Jadi, maksudnya yang menakuti…?” “Iya! Kan, hantu apa… bukan yang menghantui, [tapi] hantu apa yang mengganggu mimpi kita.” “Ya, mengganggu, kan, tidak berarti harus takut.”

51


(O)

“Jadi, kemudian tidak ada perlawanan bawah sadar, kalau itu jawabannya. Pertanyaan berikutnya, ‘dakah perlawanan bawah sadar yang hadir di malam-malam kita?’” (Z) “Ya, seharusnya, ada.” “Menurut kamu ada, kan, sebenarnya? Bisa tidak dirumuskan (O) ada? Lapar, mengganggu mimpi merekakah? Saya rasa, tidak. Masa depan, hantu bukan buat mereka? Tanah, hantu bukan buat mereka?” “Ya, ya, ya…!” (Z) “Mampus, tuh, teori…! Mau dijawab…?” (O) “Pas dulu…” (Z) “Kalau kita sepakat, illegal direction adalah sebuah platonic realm, (O) mungkinkah itu mewujud?” “Masalahnya, saya tidak setuju kalau illegal direction itu platonic (Z) realm.” “Kenapa?” (O) “Ya, illegal direction itu adalah sehari-harinya kita.” (Z) (O) “Contohnya?” “Ya… di pembangunan tol saja, orang bisa jual bala-bala.” (Z) “Oke. Berarti, dia legal? Dia mewujud legal?” (O) “‘Legal’ dalam kesepakatan warga, iya! Tapi, kan, dalam konteks (Z) legal yang ‘legal’, dia ilegal.” “Ya, jadi dia mewujud legal atau tidak? Mewujud…” (O) “Nanti dulu…! ‘Legal’-nya ini ‘legal’ dalam pengertian siapa (Z) dulu?” “Nah, itu, terserah lu!” (O) (Z) “Ya, makanya saya bilang begitu. Kalau ‘legal’ dalam konteks kesepakatan warga, dia wajar.” “Makanya gue bilang platonic realm.” (O) “Kalau platonic, nggak seperti itu, menurut saya. Karena, illegal (Z) direction itu adalah sehari-hari kita.” “Tadi kamu bilang platonic itu apa, Bunga? Ide, ya?” (O) (Z) “Apa yang tampak, kan?” Bunga (B) “Apa yang kita lihat ini adalah fenomena…” (Z) “Idenya adalah ‘apa yang tampak’. Ide dari platonic itu.” 52


(O) (B) (O) (B)

(O) (B) (O) (B) (O) (Z) (B) (Z)

(B) (Z)

“Kamu juga tidak setuju kalau illegal direction itu di bawah platonic realm?” “Saya setuju.” “Gimana, Bung?” “Maksudnya, kalau platonic realm itu adalah illegal direction, karena memang itu fenomena, kan? Itu semua fenomena. Jadi kita memang tidak akan pernah sampai ke ide yang benar-benar ide.” “Dia hanya berada di tataran ide saja?” “Iya.” “Jadi kamu sepakat bahwa illegal direction itu adalah platonic realm?” “Iya.” “Lalu mungkinkah itu mewujud legal? Apakah Zikri sepakat dengan Bunga? Tetap tidak?” “Tidak! Misalnya begini, kalau kita bicara soal bagaimana engkau berpakaian, bagaimana kemudian engkau itu hidup, diatur oleh pola shoping, itu bicara platonic. Itu hal yang tampak.” “Bagaimana, Zik?” “Pilihan kita untuk memilih pakaian, memilih makanan, baca zodiak, itu platonic. Maksudnya, itu bukan platonic, tapi dari sudut pandang ide platonic, itu adalah hal yang tampak, makanya realm. Bukan ‘itu’-nya yang platonic, ya…! Platonic itu membicarakan sesuatu, bahwa hidup kita ini adalah apa yang tampak. Ya, kan? Nah, kalau misalnya kita bilang, bahwa illegal direction adalah itu, justru tidak. Karena yang saya maksud illegal direction adalah, dia sesuatu yang benar-benar mewujud sebagai sehari-hari kita, apa adanya. Bukan sekadar apa yang tampak. Orang jual bala-bala di tol, itu, ya dia jual bala-bala! Bukan karena dia dikontrol oleh sesuatu atau apa, ya dia hanya jual bala-bala!” “Tapi, memang kita akan sampai di ‘yang tidak tampak’ itu?” “Maksudnya begini: kalau misalnya kita sudah… apa… Persoalannya bukan di sana! Ketika kita sadar bahwa persoalannya bukan di sana, kita nggak perlu bertanya lagi apakah akan sampai pada sesuatu yang tidak tampak itu. Intinya, begini: ‘Ngapain cape-cape 53


(O) (Z)

ngomong ke gue soal platonic, gue nggak ngomongin itu, kok!’ Kita, posisinya ini, bukan di sana. Makanya, illegal direction itu bukan platonic realm. Itulah peristiwa massa, peristiwa massa itulah illegal direction. Peristiwa massa adalah sesuatu yang terjadi di luar kontrol, di luar kontrol kekuasaan, dengan kata lain di luar apa yang tampak, seharusnya. Walaupun dia kita lihat, ya! Tapi, kan, kita adalah itu. Kita adalah peristiwa massa itu, bukan kita menghadapi peristiwa massa.” “Aku sudah lelah. Mesin Kobelco dan Komatsu sudah bergerak secara sistematis di sana. Dan layar kami pun tidak juga terkembang. Apalagi yang mau kau katakan padaku, Zikri?” “Baca buku!”

*** (B) (Z) (B) (Z) (B) (Z)

(O) (Z) (B) 54

“Apa mitos tentang Wates?” “Pertanyaannya adalah, mitos yang mana dulu?” “Bebas.” “Media, mitos di Wates.” “Apa? Jelaskan lebih lanjut!” “Ya, semua tangisan mereka, adalah tangisan media. Mau… tentang tanah, ngomongin padi, hantu lokal, media… produk media semuanya. Kita nggak akan menemukan ‘Si Bigau’ di sini. Kita nggak akan menemukan banyolan yang ada di filem Marah di Bumi Lambu, di sini. Yang terjadi di sini, adalah mereka itu bergerak oleh kontrol media. Tergerak oleh kontrol media. Warga tidak sadar bahwa mereka punya illegal direction-nya itu, lho! Padahal, banyak banget, kan, ilegal direction di sini yang jadi keseharian warga yang tidak disadari. Ini, lho, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan.” “Bisakah wujud ‘legal’-nya itu dalam konteks negara?” “Kalau kita inginkan, bisa! Kalau kita pakai istilah ‘pemberdayaan pemerintah’, bukannya ‘pemberdayaan masyarakat’.” “Kenapa harus percaya pada mitos?”


(Z)

(B) (Z)

(B)

(Z)

“Ya, iya lah! Barthes saja ‘menyuruh kembali’ ke mitos, kok! Ya, artinya kembali ke media. Mitos dilawan pakai mitos. Kalau mitos dilawan pakai rasio, nggak nyambung. Makanya ada posmodern. Kulit, mah, dilawannya pakai kulit, biar sakit!” “Bukan, saya bicara ini, maksudnya, mitos itu dalam konteks posmodern, kan? Maksudnya, apa, sih, posmodern-nya Wates, gitu lho maksud saya! Apa mitos tentang Wates?” “Ya, media. Karena saya justru menebak pertanyaan itu dalam konteks posmodern, makanya saya jawabnya media. Kalau misalnya dalam konteks modern, saya akan kelabakan karena di sini tidak ada ‘Si Bigau’.” “Makanya saya tanya, setelah itu, mengapa kita percaya terhadap mitos. Maksudnya, kan, posmodern itu salah satunya ngomong tentang mitos, kan? Lalu kenapa kita harus percaya? Kenapa kita harus percaya pada posmodern, gitu lho maksud saya.” “Ya, maksudnya… gini lho... kalau di posmodern itu, kan, dia gagasannya, kamu tidak perlu mencari sesuatu yang jauh untuk menjawab persoalan yang ada di dekat kamu. Ambil saja yang dekat, itu jawaban, kok! Posmodern, kan, salah satunya mengajukan ide tersebut. Makanya subjektifitas, dalam posmo, dihargai. Nah, persoalannya, dalam konteks ini, setiap daerah itu mempunyai mitosnya, atau mempunyai kecenderungan untuk membangun mitosnya sendiri. Dengan itulah, akan menjawab persoalan yang ada di dekat kita. Makanya kita kembali ke mitos. Nilai-nilai dalam narasi mitos itu, bisa jadi jawaban dari yang kita pertanyakan. Kenapa harus percaya, mitos, ya itulah! Lalu, kalau bertanya mitos dalam konteks Wates, atau mitos dalam konteks warga, kenapa saya bilang media, persoalannya sekarang, kan… yang menjadi persoalan itu adalah ketika media itu dilihat sebagai sesuatu yang berjarak dengan warganya. Media hanya dihadapi sebagai kanal informasi yang, dalam beberapa aspek, menguntungkan warga karena memberikan informasi dan pengetahuan. Sekarang, bagimana caranya media itu menjadi alatnya warga? Ya, kamu harus kembali ke media untuk melawan media itu sendiri.” 55


(B)

(Z) (B)

(Z) (B) (Z)

(B) (Z) (B) (Z) (B) (Z) (B) (Z)

(B) (Z) 56

“Oke! Tadi, kan kamu menjawab mengapa mitos ini penting, sebenarnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang partikular, kan? Jadi, kita harus percaya terhadap mitos. Sementara, jawabanmu, mitos itu adalah media. Lalu bagaimana caranya kita menyambungkannya ke persoalan media?” “Ya, karena kita ‘harus’ percaya mitos.” “Bukan… maksud saya, dalam konteks ini, media-nya itu, media yang seperti apa? Dan bagaimana? Ya, kalau kamu bicara media, kan, dalam artian global. Makanya saya nanya, khas Wates itu apa?” “Ya, media juga, sih...!” “Khas Wates?” “Begini, maksud saya itu, sekarang kita kerucutkan, persoalannya di Wates. Mitosnya adalah media, karena hampir semua sikap dan perilakunya itu adalah produk media. Nah, sekarang bagaimana caranya mengatasi itu? Ya, balik ke media lagi. Penawarnya ada di media itu sendiri.” “Jadi, mitos itu masalah sekaligus solusi?” “Ini bukan persoalan masalah atau bukan.” “Tadi kamu bilang begitu. Semua perilaku itu dikontrol oleh…” “Ya, semua sikap dan perilaku ini adalah kontrol media. Saya bukan bilang itu masalah.” “Kalau saya terjemahkan, media itu adalah mitos, mitos itu adalah media. Jadi, semua perilaku warga ini dipengaruhi oleh mitos. Berarti dia masalah sekaligus solusi, kan?” “Jangan disematkan itu sebagai masalah dan solusi…!” “Nah, kalau begitu saya tidak mau definisi yang dijadikan satu…” “Ini persoalan. Untuk memahami persoalan itu, untuk melihat dengan jelas persoalannya, ya, dipahami dulu persoalan itu sendiri, ya, mitos itu sendiri. Apakah ini akan menjadi masalah yang mengganggu, dibuang, atau dihancurkan, atau ini mau diberi solusi, itu persoalan nanti.” “Tapi, kalau kamu bilang tadi semangat posmodern adalah menggunakan mitos,…” “Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita…”


(B) (Z) (B) (Z)

(B) (Z) (B) (Z) (B) (Z) (B)

(Z) (B)

“Menggunakan mitos, kan? Sementara kamu jawab, mitos itu adalah media. Sementara kamu juga sepakat, media itu penyebab masalah juga, kan?” “Media itu bukan penyebab masalah. Media itu memengaruhi perilaku dan sikap kita. Itu persoalan. Tapi bukan itu masalahnya.” “Kalau jawaban kamu kita sederhanakan, mitos itu apa, mitos itu adalah media. Lalu kemudian, bagaimana kita menghadapi masalah, adalah dengan ini, dengan mitos.” “Ya, saya mengerti maksudmu ketika kamu bilang bahwa mitos atau media itu adalah masalah sekaligus solusi. Tapi, bukan itu poin pernyataannya. Di sini, kita tidak bicara masalah atau jawaban. Ini persoalan. Kita berada di era yang merayakan itu, merayakan dinamika itu. Jangan terjebak dalam dikotomi masalah dan jawaban. Kalau kita terjebak dalam dikotomi itu, kita bukan posmodern.” “Tapi masalahnya adalah, jawaban kamu ini, itu udah jadi satu, gitu! Kan kamu bilang, media adalah mitos, mitos adalah media, kan?” “Mitosnya, media. Kenapa kita harus percaya media, karena itu adalah jawabannya. Jawaban dari pertanyaan itu. Untuk merayakan ini, ya kita bersama-sama dengan media itu.” “Tidak ada lagikah yang lebih spesifik dari Wates? Karena menurut saya, media itu bukan produk Wates.” “Wates produk media.” “Yakinnya dari mana?” “Yakinlah…! Ya, Wates itu menjadi perbincangan karena ulah media.” “Oh, maksud saya, kamu bicara Wates dalam konteks sekarang, ya? Wates dalam artian kultur yang terbentuk dari dulu sampai sekarang. Maksud saya, kenapa saya tanya apa itu mitos Wates, ini senjatanya, apa? Kan, kalau ditanya senjata, Wates tidak punya sekarang ini. Ini saja baru kita ajarkan.” “Seharusnya, ada.” “Itu yang saya tanyakan. Menurut kamu, apa?” 57




(Z) (B) (Z) (B) (Z) (B) (Z) (B) (Z)

(B) (Z) (B) (Z)

60

“Ya, ilegal direction itu. ‘Bala-bala jualan di tol’. Cuma, kan, bisa kita elaborasi lagi, apakah warung bala-bala yang lewat di tol itu adalah ‘media’ dalam konteks ini? ‘Media’ banget, justru!” “Berarti, saya pegang jawabanmu yang illegal direction saja, ya…? Pertanyaan berikutnya, kenapa kita harus percaya sama illegal direction? “Kamu kalau misalnya menghadapi jalanan macet, kamu akan mencari jalan tikus, tidak?” “Iya…” “Ya, itu dia!” “Udah…?” “Tapi, saya menyarankan jangan illegal direction yang dipegang. Karena justru tidak akan nyambung, ketika ditanya mitos di sini apa. Illegal direction bukanlah mitos.” “Ya, udah. Kalau begitu, jawabannya apa?” “Media! Beneran! Ini saya serius…! Bukan bermaksud bermainmain, ya, tapi jawabannya memang itu. Illegal direction, dalam konteks ini, itu adalah sesuatu yang bisa dipakai, sesuatu yang sebenarnya ada tapi tak disadari. Dan itu bisa dipakai. Nah, untuk ini, illegal direction ini, atau kata lainnya, “perisitwa massa” ini, dia butuh katalisator. Katalisatornya apa? Ya, media itu.” “Illegal direction itu, menurut kamu, tidak disadari?” “Dalam konteks Wates, iya!” “Kan, yang namanya mitos, tidak disadari. Kan, posmodern bekerja di dalam ketidaksadaran.” “Memang tidak disadari. Balik lagi, sebenarnya, illegal direction itu ada, mereka sadar bahwa ada perisitwa orang jual bala-bala di tol. Tapi, mereka tidak sadar bahwa ini bisa dipakai, lho! Aktivitas sehari-hari mereka yang mereka anggap wajar itu, yang dirasakan biasa saja, sebenarnya itu bisa dipakai. Konteksnya itu, untuk illegal direction. Nah, kalau yang mitos, yang tidak disadari juga, itu adalah warga tidak sadar bahwa mereka, dan kita ini (masyarakat—red), adalah produk media. Kita ini semuanya, masyarakat, adalah produk media. Di situlah platonic. Illegal direction bukan platonic. Makanya, tadi saya bilang, ketika Otty


(B) (Z)

(B) (Z) (B) (Z) (B) (Z)

bertanya, ya, menurut saya illegal direction itu bukanlah platonic realm, karena itu berbeda ruang. Kita, bahkan, bisa bilang bahwa illegal direction itu justru kuncinya untuk membuka pintu platonic itu. ‘Oh, begini toh bentuknya…?!’ atau ‘Apa yang tampak itu, seperti ini, ternyata…!’” “Jadi, untuk pertanyaan apa mitos Wates, jawabannya tetap media?” “Ya, saya akan tetap menjawab ‘media’. Karena tidak tepat kalau dijawab bahwa mitos Wates itu adalah ilegal direction. Nah, saya selalu berdebat soal ini, dengan teman-teman di kampus saya, bahwa ini jangan dilihat sebagai masalah. Karena, kita memang hidup di era yang merayakan dinamika itu. Apakah itu nanti pada tahap selanjutnya kamu melihat itu sebagai masalah atau tidak, solusi atau tidak, itu adalah persoalan nanti. Tapi kalau dalam tahap teoritik, ini adalah sesuatu yang dirayakan. ‘Dirayakan’ di sini, kan, maksudnya bukan berarti ‘dirayakan’… kamu beraktivitas di situ, beraktivisme di situ, komersil di situ, industri di situ, itu semua merayakan itu! “Ya, kita berarti menerima itu?” “Bukan menerima, sih…! Ya, akui saja bahwa memang begitu. Bukan berarti menerima, ya…!” “Menerima itu tidak ada penolakan…” “Ya… buktinya, banyak orang yang menolak pada kenyataannya, kan?” “Tapi, kamu, kan bilang bahwa kita harus ‘merayakan’, berarti kita harus menerima bahwa ada itu.” “‘Merayakan’ yang saya maksud itu, bukan itu definisinya. Kamu melawan, memprotes, itu juga bagian dari merayakan. Karnaval! Kamu melakukan karnaval! Kalau kata si Jewkes itu, kan begitu, bahwa kita itu hidup dalam masa kontemporer karnaval itu. Kamu melawan kejahatan, terus kamu mengikuti sub-kultur tertentu, atau kamu mendiskriminasi kelompok tertentu pun, kamu hidup dalam karnaval itu. Kamu ‘sedang’ merayakan itu, sebenarnya. Bukan berarti kamu bahagia, ‘Wiiih…!’ Tidak! Orang yang susah pun sebenarnya merayakan itu. Makanya saya 61


(B) (Z)

(B)

(Z)

62

bilang, jangan terjebak dalam dikotomi masalah dan solusi. Ini dalam tahap teoritiknya. Nanti, baru dipilih, ‘Wah, ini masalah, nih! Harus dilawan!’ Atau, ‘Wah, ini keuntungan, nih! Kita bisa begini-begini, nih! Lewat Facebook, bisa begini-begini…” Ya, itu merayakan juga. Respon kita terhadap fenomena terbaru ini, terhadap kenyataan yang terbaru ini, itu adalah merayakan itu. Fenomena yang sekarang ini. Sehari-hari, kita nonton buser, gitu, di TV, kita duduk di rumah nonton TV, itu merayakan. Saya memilih untuk tidak menonton TV, dan bekerja di Remotivi, ya itu merayakan juga. Merayakan budaya TV itu.” “Berarti, bukan berarti terlibat, kan?” “Ya, meresponlah, merespon. Ada di situ. Kita ada di situ. Mau tidak mau kita semua harus bernegosiasi dengan itu. Nanti, negosiasinya itulah yang berada ditahap selanjutnya. Dipilih, apakah ini adalah masalah yang harus diselesaikan, atau ini suatu keuntungan, atau ini adalah hal yang wajar-wajar saja dan saya jalani hidup saja. Nah, ketika kita sudah memilih, ada illegal direction-lah, salah satunya, yang bisa dipakai, bahkan untuk mendukungnya, bukan hanya melawan. Kamu mau mendukung yang sekarang ini, ‘Wah, ini oke!’, misalnya, illegal direction pun bisa dipakai untuk mendukung itu. Atau untuk menolak, juga bisa. Kamu mau mengkritik dirimu pakai baju apa, ya, illegal direction itu pun bisa dipakai. Makanya, saya pribadi, agak bingung juga kenapa ada beberapa orang yang meyakini bahwa posmodern itu melawan modernitas. Padahal, belum tentu begitu. Posmodern itu poinnya bukan itu, lho! Justru, posmodern itu, kan mengajak kita untuk otokritik, ‘Ayo, sadari lu itu berada di posisi mana?’” “Fenomena teknologi itu, kan wujud tertinggi dari metafisika, sebetulnya. Karena subjektifitasnya tinggi. Lalu, sementara akumassa melawan kodrat media tersebut. Bagaimana akumassa menyiasati itu? “Justru, akumassa bukan melawan kodrat media. Akumassa mengembalikan naluriah dari media itu sendiri. Warga menggunakan media itu sebagai instrumen. Kalau yang dikritik terhadap modernitas itu adalah tentang teknologi yang diciptakan


(B) (Z)

OTTY (Z) (O)

hingga menjadi di luar kontrol manusia, padahal teknologi itu seharusnya buatan tangan manusia, manusialah yang mengontrol itu. Makanya muncul posmodern, manusia harus berada di atas teknologi itu sendiri. Nah, akumassa berada di situ. Kita mengambil kontrol itu kembali. Akumassa sebenarnya bukan melawan kodrat teknologi media, tetapi justru mengembalikan bahwa kodrat kamu itu di sini, lho, sebenarnya media itu. Kita yang di sini… bukan di atas saya. Makanya, ketika ada…, kita, tuh nggak butuh peta. Kita peta.” “Oke, kalau kamu menyatakan bahwa kita harusnya mengontrol. Kita yang pegang kendali, kan? Tapi kenyataannya di lapangan, kita dikontrol. Iya, kan?” “Makanya nama gerakannya adalah literasi media, itu. Maksud saya, semakin ke sini sih, istilah literasi media itu jangan dipahami sebatas kritis terhadap media, ya…! Kamu membuat media itu sendiri, seharusnya, juga bagian dari literasi media.” “Mengapa ‘gerimis sepanjang tahun’?” “Saya mencuri ide dan bahasanya Kang Arief dan Pak Kuwu, hahaha...! Ide itu memang tentang hal yang harus dilakukan. Di konteks sekarang kita ada di sini, gerimis itu, kan sesuatu hal yang alamiah, tapi gerimis yang saya maksud di sini adalah gerimis yang bisa kita buat. Gerimis yang bisa menyebabkan suatu kekuatan yang besar itu menjadi meriang. Ini idenya merujuk kerja kita di akumassa, apa yang dilakukan di komunitas, bareng-bareng, berdaya bersama-sama itu untuk membuat gerimis itu. Mau bikin media center, mau bikin apa pun, untuk mengganggu sebuah kekuatan yang sebenarnya untuk dilawan, kan…? Bahasanya Arief, kan, jangan dikasih hujan badai. ‘Mereka’ ahlinya menghadapi hujan badai. Kasih saja gerimis, akan membuat mereka meriang. Walaupun ini tahap awal, apakah kita kuat untuk melakukan itu sepanjang tahun, ya kita lagi memulai itu. Membicarakan keberlanjutan, bicara pemberdayaan pemerintah, pemberdayaan masyarakat, itu harus dilakukan berkelanjutan, berkesinambungan. 63


(Z) (O)

(Z) (O)

(Z)

64

Harapannya, sih, ya ‘gerimis sepanjang tahun’ itu. Kita di daerah yang panas banget, kan? Ya, kasih gerimis saja.” “Lagu? (untuk Wates—red)” Seperti saya ngomongin genteng, tanah, di sebelah sana itu, saya kasih lagu itu, Big Yellow Taxi, yang teksnya ngomongin… mereka itu membuat hotspot, mereka membuat hutan di-paving blok, lalu bikin lahan parkir. Jadi, petani sudah nggak usah ngapa-ngapain lagi. Mereka membangun surga, dengan segala macam, itu jadi. Kemudian, mereka memotong pohon, pohon itu ditaruh di museum, lalu mereka menarik satu dolar per pengunjung untuk melihat pohon.” “Bagaimana akumassa, baik secara ide maupun praktik, bisa masuk dalam relativias pemahaman warga?” “Ya, akumassa itu ada di situ. Karena, akumassa itu adalah warga itu sendiri, sebenarnya. Sebetulnya memang, waktu dirumuskan di Forum Lenteng, dengan berteori, dibikin-bikin bahwa seolah-olah kita lebih mengerti dan mencoba masuk ke dalam penelitian, di mana penelitian itu makin berkembang, bahwa harus partisipatoris dalam penelitian. Tapi, dalam praktek, sejak itu berjalan sejak 2008 sampai 2015, hampir tujuh tahun..., tidak. Ternyata, memang akumassa, bagaimana pun juga individunya, baik dari komunitas dampingan maupun dari Forum Lenteng sendiri, ya posisinya equal. Saya merasakan hal yang sama. Saya mengalami hal yang sama. Lokasinya berbeda-beda, tapi itu sama. Kita sendiri adalah wadahnya. Tidak perlu masuk, karena kita memang sudah di situ. Jadi, metodenya apa? Ya tanpa metode. Strateginya apa? Ya tanpa strategi. Itu metode. Saat kamu tidak punya tempat berpijak, kamu memutuskan untuk tidak punya ‘rumah’, kamu akan menjadikan apa pun sebagai rumahmu. Dan kalau rumah kamu ada masalah, kamu akan berpikir untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kalau rumah kamu ada di mana-mana, ya, akan kamu selesaikan juga.” “Dari Wates, apa yang bolong? Dan bagaimana kebolongan itu menjadi potensi?”


(O)

(Z) (O)

“Yang bolong dari Wates itu, tetap bagi saya tidak ada lagi yang bisa saya persalahkan selain kediktatoran Orde sebelumnya, juga pemerintah-pemerintah sebelum kita. Saya cuma bisa menunjuk ke sana. Itu memblokir semua kesadaran masyarakat. Itu memanjakan. Itu kesalahan-kesalahan ‘orang tua’ kita, perjuangan yang terputus-putus, itu bukan kesalahan mereka (warga). Itu kesalahan pendahulu. Kebolongannya ada di ‘orang tua’. Dan supaya menjadi daya, ya, dibangun kesadarannya. Saya tidak tahu kebolongan itu bisa jadi kesadaran. Oke, bisa! Negara bolong, kebolongan itu bisa dijadikan kekuatan atau tidak? Bisa. Dengan adanya kebolongan itu, maka terjadilah illegal direction. Di negara yang maju dan tersistemasi, illegal direction itu tidak akan terjadi. Tidak akan bisa, tidak akan mungkin. Tidak mungkin sebuah komunitas yang ada di belahan dunia ketiga, atau di Timur, itu bisa berkembang dengan baik di wilayah negara yang tersistemasi. Kenyataannya, mereka (negara maju—red) belajar dari kebolongan ini, yang sebelumnya dianggap terbelakang. Bukankah itu kekuatan, namanya, kebolongan itu?” “Di Wates, bukitnya di mana? (merujuk bukit di film The Wind Will Carry Us, sutradara Abbas Kiarostami, Iran, 1999—red).” “Kalau kamu menggambarkannya pakai The Wind Will Carry Us, dia bicara tentang komunikasi. Dia sedang merayakan era telekomunikasi global. Di situlah ada pergesekan antara ranah modern dan tradisional; komunikasi tidak dapat berjalan, dan untuk melakukan komunikasinya, komunikasi modern harus dilakukan di tempat yang tinggi, jauh dari yang tradisional. Dan ternyata, di gambarnya dapat dilihat bahwa ranah tinggi itu adalah kuburan, kematian komunikasi ranah tradisional. Begitu, kan? Kalau konteks Wates (akumassa—red), bukitnya di sini. Komunikasi di antara sesama mereka, di sini. Di Randublatung pun, yang di bawah garis kemiskinan, semua orang tergila-gila main poker di Facebook. Itu tahun 2010. Apanya yang tidak global di situ? Di sini, lebih tidak miskin. Sama sekali tidak miskin. Ya, sudah, mereka (warga—red) sudah ada di ranah itu, yang 65


(Z) (O)

kamu bilang merayakan media itu. Mereka sudah di situ. Yang harus mereka lakukan itu adalah berbicara satu sama lain saja.” “Jadi, ini kita lagi duduk di atas bukit, ya?” “Yoi…! Bukitnya Abbas.”

*** (B) (O)

66

“Apa yang kemudian dapat diberikan akumassa Jatiwangi bagi perspektif akumassa? “Waktu pertama kali gerakan ini dijalankan, orang selalu mengira bahwa akumassa mengajarkan ke warga tentang bermedia, atau sadar media. Kenyataannya, setiap lokasi itu memberi pembelajaran ke akumassa. Itu yang sebenarnya. Akumassa bisa merumuskan segala sesuatu itu karena lokasi tersebut. Jadi, seperti menelusuri peta. Waktu akumassa itu dibuat, bayangannya adalah apa yang akan kita lakukan setelah Reformasi? Kita harus melakukan apa, sih, terhadap diri kita sendiri? Misalnya, kita kekurangan pendidikan. Pendidikan tidak diakomodir dengan baik. Semu banget buat kita. Nah! Kita mengedukasi kita sendiri. Indonesia, kan, luas banget. Nah, gerakannya dibuat seperti ini, berkomunitas, berjaringan dan berkesinambungan. Jadi, sharing itu yang paling penting. Dari sharing itu, saya dapat banyak, teman-teman juga dapat banyak, kita semua dapat maju bersama untuk memperbaiki diri kita yang kita rasa kurang. Jadi, kalau pertanyaannya apa yang didapat dari sini, ya, banyak banget. Setiap komunitas, setiap individu yang terlibat di sini, saling tukar-menukarnya itu sudah gila-gilaan sejak tahun 2008 itu. Hari pertama Zikri masuk, saya bisa belajar berapa bab dari Zikri. Waktu pertama kali kamu masuk, saya bisa belajar beberapa bab dari kamu, Bunga. Jadi, saya ini orang yang sangat beruntung karena kenal kamu berdua, kenal Diki, kenal Pak Kadus, kenal si Anib, kenal si Petek, kenal si Yoga, terus si Arief, si David, si Linda, si Jelita... semua! Semua lokasi ada ratusan orang, tuh! Saya sangat beruntung, dan diharapkan kamu juga merasa beruntung dengan semua orang


(B) (O) (B) (O)

(B) (O)

(B) (O)

ini. Karena itu kita tetap berjaringan. Setelah ada era merayakan media, internet dan segala macam itu, itu membentuk kita menjadi demikian, bisa saling memajukan diri bersama-sama. Ketika kesadaran ini terbangun, satu komunitas akan belajar dari yang lainnya. Itu yang dengan sadar harus didorong, maju bareng, sharing ini harus equal di antara semuanya.” “Masalah harus saling belajar tadi, itu harus equal?” “Harus banget!” “Berarti, masalah transfer pengetahuan itu, kan, mengandalkan pra-pemahaman dan segala macam. Lalu bagaimana akumassa menghadapi hal-hal seperti itu?” “Karena saya yang belajar dari dia, di situlah saya mendapat pemahaman tentang dirinya. Dari situ jugalah saya berbagi hal yang didapat dari dia. Seperti itu caranya. Nah, metode ini, kan, selalu mengalami perkembangan. Semua lokasi ini mengalami hal itu. Memang, Cirebon dan Lebak adalah awal, tapi kita yakin buat mereka hal ini juga berharga. Buat akumassa, Lebak dan Cirebon juga sangat berharga. Pra pemahamannya, ya, akumassanya dulu yang belajar. Walaupun di awal sebelum workshop, kita melakukan riset, tetapi dengan asumsi keras bahwa ketika kita tiba di lokasi, merekalah yang lebih tahu. Walaupun saya baca buku yang mereka tidak baca, tentang Saidjah dan Adinda dalam Max Havelaar, tetapi mereka (orang Lebak—red)-lah yang lebih tahu karena setiap hari mereka ke rumah sakit yang dulunya rumah Multatuli. “Lalu, bagaimana memecahkan masalah keberlanjutan, ketika akumassa-nya sudah keluar dari lokasi workshop?” “Diusahakan dari awal memang tetap berkesinambungan dan berkelanjutan. Cuma manusia, kan memang harus mengurus dirinya sendiri-sendiri. Kita tetap menjaga itu berkelanjutan, ya, dengan berjaringan. Dan tetap saling berhubungan. Meskipun secara program, ada hal yang harus jalan terus, tetapi secara moral kita harus tetap mendampingi komunitas-komunitas ini.” “Berarti lu mengandaikan bahwa komunitas ini otonom?” “Iya. Tapi, sebagai manusia, kita tetap wajib terus berhubungan.” 67


(B) (O)

(B)

(O)

68

“Dalam metode akumassa, bagaimana bisa melatih mereka untuk itu?” “Ya, dengan membangun kesadaran itu. Membuat mereka berkapasitas secara komunitas dan individu, membuat mereka saling berhubungan dengan lokasi yang lainnya, dan yang pasti mereka berhubungan dan bersinggungan dengan stakeholder, dengan pemangku kebijakan setempat. Itu untuk membuat mereka sadar bahwa mereka mempunyai posisi tawar. Itu! Posisi tawar itu, dari segi praktik, misalnya kamu harus bisa membuat orang yang nonton banyak. Lainnya, secara individu, mereka punya keahlian-keahlian lagi. ‘Gue pikir, habis nyeblok, gue nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi ternyata gue bisa nulis, kok!’ Gitu lho! ‘Ternyata gue bisa bikin filem pakai HP.’” “Ternyata, posmodern itu, kan, juga bermasalah dengan ruang, kan? Sementara, cita-cita akumassa itu, kan, memenuhi ruang. Terus gimana? Karena posmodern ini persoalan partikular, tidak akan pernah jadi hal yang universal, ide apa pun. Sementara, si akumassa justru ingin memenuhi ruang itu.” “Apakah saya berada di ranah posmodern atau tidak, saya gak pernah peduli. Karena saya berada di lapangan, saya beraktivitas di gerakannya. Saya berpikir gerakan ini memang efektif, dan saya percaya sama proses yang panjang, ya, itu saya jalani saja. Saya percaya akan kontur-kontur yang terbentuk dari setiap lokasi, karena Indonesia besar dan berpulau-pulau. Suatu saat, titik-titik itu akan dipenuhi dengan kita jalan bersama-sama. Dan itu, kan terus berlanjut beriringan dengan lokasi yang lainnya, kontur-kontur itu akan saling bersentuhan satu sama lain. Saya masih percaya itu. Bukan soal memenuhi ruang, tapi saya percaya bahwa jika ini dilakukan dengan intensif, kesadaran itu juga ditumbuhkan dengan intensif dan dalam waktu yang panjang, dia akan memenuhi dengan sendirinya ruang-ruang partikular itu. Sebenarnya, intinya hanya mau bicara soal maju bareng-bareng. Ketika apa yang diberikan oleh negara itu tidak memadai, kita harus memberdayakan diri kita sendiri dengan cara maju bersama-sama.”


(B) (O) (B) (O) (B) (O)

(B) (O)

“Jadi, kesimpulannya adalah partisipasi?” “Partisipasi!” “Apa yang membuat kamu percaya bahwa media bisa bekerja di sini?” “Ya, karena kita ada di situ sekarang.” “Apa yang membuat kamu optimis dan percaya bahwa media bisa bekerja di Wates? Dilihat dari karakter manusianya?” “Orang-orang di Wates dan seperti orang-orang lainnya dikontrol oleh media dan mereka sangat percaya. Saya akan kasih contoh, yaitu TV. Karena dari tadi tidak ada contoh partikular, sekarang saya kasih tahu saja barangnya. Jadi akan lebih mudah untuk saya bicara, karena saya ada di wilayah praktik. TV sudah dibangun dari masa Orde Baru, sampai ke pelosok, TV itu ada. Kepercayaan itu ditumbuhkembangkan selama 32 tahun. Soeharto percaya banget dengan proses yang panjang, dan dia berhasil. Saya percaya dengan proses yang panjang. Di mana manusia itu percaya banget sama TV karena sifatnya, ya, kalau ngomongin mediumnya, sifatnya yang berulang itu dapat meyakinkan orang untuk percaya kepada TV. Sekeras-kerasnya dia bilang bahwa tidak percaya sama TV, dia akan tetap mendengarkan berita lewat TV. Sebenci-bencinya dia memakai kata bingits, dia akan tetap memakainya dengan ketawa masygul. TV sesuatu yang dianggap penting, bisa dipercaya, dan dapat memengaruhi dirinya. Dan saat kepalanya dijedokin terhadap apa yang ada dibalik TV, dan dia diberi kesadaran bahwa dia bisa membuat apa yang ada di dalam TV, saya balik ke pembahasan kamu tadi, TV jawabannya. Oooh…, ternyata, saya juga bisa berkreasi seperti apa yang dibikin oleh TV. Di situ, dia bisa masuk, bahwa dia bisa menjadi kontrol.” “Berarti, secara karakteristik, kita semua adalah masyarakat yang sama, yang dikontrol oleh media. Lalu apa yang membuat masyarakat Wates berbeda?” “Saya tidak tahu masyarakat lainnya selain masyarakat yang pernah saya datangi, ya. Apa, ya, yang berbeda? Gak tau. Bagi saya, masyarakat adalah masyarakat, semua karakternya sama. 69


70


71


Saya sudah datang ke sebuah tempat yang orangnya keras dan menakutkan dan menyeramkan dan membuat saya takut, kemudian saat saya masuk ke sisi kemanusiannya, ternyata mereka sama dengan masyarakat di lokasi yang lain. Jadi, saya tidak tahu bedanya, karena masyarakat adalah masyarakat, tetapi sistem adalah sistem. Dan sistem adalah ‘titik-titik’, saya tidak tau jawabannya. Kita punya persoalan yang sama, dibentuk oleh negara dan masa lalu. Jadi, kalau yang membedakan apa, saya tidak tahu. Kita punya keberuntungan yang banyak sekali karena kita tinggal di Jakarta, dan keberuntungan atau ketakberuntungan itu dibentuk juga oleh negara. Misalnya, persoalan tanah, di Lambu sama, lebih keras bahkan, di Blora sama. Persoalan malas? Ketaksadaran? Sama. Yang membedakan nanti itu hanya budaya, tradisi, bahasa. Lebih ke perbedaan karakter wilayah. Saya percaya pada kontur itu. Mereka merasa memiliki persoalan yang paling berat, sama dengan wilayah lain yang merasa seperti itu juga.” BUNGA “Apa yang menarik dari rekaman hasil workshop warga Wates? (Z) Apa dari footage itu yang menarik?” (B) “Begini, yang pasti mereka hapal sekali dengan lokasinya, hapal sekali dengan kultur mereka, dan lain-lainnya, sangat terlihat sekali. Karena ketika saya melihat hasil rekamannya, saya tidak mengenal sama sekali. Entah karena teknifikasi akumassa cukup membantu mereka untuk mengenalinya atau memang proses itu natural seperti itu. Dan potensi seperti itu bisa sangat dikembangkan, ya. Dengan satu pola akumassa saja, hal tersebut bisa langsung muncul, dan tentu masih banyak pola yang bisa membuat mereka mengembangkan apa yang sudah ada tersebut.” (O) “Teknif ikasi itu memang diperuntukkan untuk itu. Tidak mungkin kita yang membuat kalau kita bukan orang lokal. Itu sudah terma yang kita pakai banget. Kalau kamu lihat ambilan gambar yang di Blora, misalnya, judi bola yang di Blora, atau nelayan di Cirebon, itu tidak akan bisa jadi seperti itu kalau yang 72


(Z) (B)

(O)

mengambil gambarnya adalah kita. Kenapa ada transformasi akumedium dan sebagainya, ya karena temuanmu itu.” “Menurut kamu, apa yang bolong dari Wates? Bagaimana kebolongan itu bisa jadi potensi?” “Mungkin ini masalah semua masyarakat pasca Orde Baru, ya? Bahwa kita tidak percaya bahwa kita dapat terus berjalan dengan berbagai macam cara. Spesifiknya di Wates, misalnya, mereka tidak percaya ada pola lain yang dapat mereka lakukan. Ini khas sekali peninggalan Orde Baru, penyeragaman. Ketika semua diseragamkan, dari Sekolah Dasar kita hanya mengenal satu pola atau cara. Ini yang mematikan kreativitas. Dan itu terasa sekali sampai sekarang. Ya, Wates salah satunya. Dan saya tidak melihat itu sebagai potensi. Artinya begini, kebolongan itu harus diisi. Bagaimana, ya? Saya sepakat dengan Zikri, melalui media. Dalam artian, dia adalah hal yang datang, yang diperkenalkan, bukan yang secara natural ada di sana. Contohnya, ya, apa yang akumassa lakukan sekarang adalah mengisi kekosongan tersebut. Memperkenalkan banyak perspektif, mengenalkan beragam cara.” “Dari omongannya Bunga, saya ingat anak saya, Bodas. Autis. Masyarakat Indonesia itu autis lho, walaupun kita sangat sosial karena tradisi dan sebagainya. Entah mereka dibentuk oleh Orde Baru, tapi kita ini sangat autis. Kita hanya mengenal satu pola, atau sedikit pola. Itu orang autis. Orang yang tidak autis punya banyak sekali pola. Autis itu, kan artinya automatis atau mandiri. Itu kata dasarnya untuk autis. Sifat dasarnya adalah dia hanya mengerti satu pola. Dia bisa bilang, misalnya, kalau proses tandur di sini hanya bisa dilakukan oleh perempuan, tidak seperti di daerah lain. Tapi, di daerah lain juga begitu, sama. Makanya saya bertanya: kenapa? Apakah karena perempuan lebih teliti? Kerjanya bagaimana? Oh, mesti berbaris, dan bagi laki-laki menurut psikologis, kan laki-laki tidak begitu. Yang bisa melakukan detail itu perempuan, secara psikologis sudah begitu, instrumen badannya seperti itu. Nah, itu sama di daerah lain, tapi mereka tidak sadar. Itu autis. Nah, caranya dia keluar dari 73


(Z) (O) (Z) (B)

(O) 74

keautisannya, ya, dikenalkan konsep sosial. Jadi, jangan-jangan, jawabannya adalah sosialisme. Kalau mau jadi potensi, ya, Bodas cuma tahu sesuatu yang visual: mandi, makan. Dia tidak tahu sesuatu yang konseptual, misalnya: bahagia. Nah, konsep bahagia itu harus diberikan berulang-ulang dengan cara yang visual dan contoh yang banyak. Baru dia mengerti konsep. Tapi, itu bukan jadi potensi, kebolongannya itu seperti, misalnya, dia cuma tahu rutinitas yang terstruktur. Dan rutinitas itu dapat membantu dia untuk menyelesaikan PR, shalat, belajar sebelum ujian, itu adalah sesuatu yang bagus buat kamu. Masuklah ke pola yang dia miliki, dan itu jadi potensi untuk membantu tugasnya. Dia tidak punya masalah dengan mengerjakan PR, belajar, shalat. Tidak perlu saya menyuruh. Terstruktur. Itu bahasa saya menerjemahkan penjelasan Bunga menurut perspektif anak autis, karena saya mempelajari itu dari anak saya.” “Tidak ada yang berpikir bahwa bolongnya Wates adalah terlena simbol? Ini obrolan saya dengan Pak Kuwu, sih, bahwa masyarakat Wates itu terlena dengan simbol.” “Ya, itu jawaban kamu, kamu berharap kita menjawab itu dan kita tidak berpikir ke situ. Ya, seperti saya berharap kamu menjawab tanah atau masa depan, misalnya.” “Pertanyaan saya berikutnya, waktu saya melihat footage di pabrik beras, saya bilang: ‘Wah, ini mekanik humanis.’ Nah, pendapat kamu tentang pendapat saya bagaimana?” “Untuk konteks negara Timur, kita memang tidak akan pernah menjadi sangat mekanistik, sih. Mekanitas yang merupakan turunan dari abad modern akan selalu bertabrakan dengan Timur. Di sini, ya, etika Timur. Kenapa mekanistik itu bisa sekali ada di Barat? Karena mereka mengalami apa itu renaisans yang berujung positivistik. Mereka tidak memiliki konsep kerjasama, gotong royong, siasat, atau illegal direction yang kita miliki di sini, karena etika Timur itu tadi. Jadi, ya, sudah pasti sepakat bahwa footage di pabrik beras itu mekanistik humanis.” “Tunggu, ini pertanyaan saya di dalam konteks filem jadinya, apakah hal itu dapat terjadi di dalam ambilan-ambilan gambar


(B)

(Z)

(B) (Z) (O) (Z)

(O)

(Z)

yang subjektif? Karena, di sini kan kita berusaha objektif di dalam teknifikasi akumassa.” “Kalau melihat teknifikasi yang sudah diatur seketat itu, dengan sirkulasi yang juga ketat, subjektifitas, kan sebetulnya merusak sirkulasi. Nah, teknifikasi itu sangat mereduksi subjektifitas sekali. Teknifikasi akumassa menjaga itu karena subjektifitas akan merusak sirkulasi yang dibangun.” “Sebenarnya pertanyaan saya mengarah juga ke konteks filem. Saya juga tidak terlalu yakin, sih, ini juga meraba, kenapa saya mengatakan mekanik-humanis. Kalau mekanis itu merujuk ke Eisenstein, dan humanis itu merujuk ke Bergman. Nah, lupakan Barat-Timur, ketika kamu bilang ini adalah konsep gotong royong, justru malah Eisenstein bilang: ‘Ambilah gambar itu secara mekanik untuk menunjukkan bahwa kerjasama di dalam visual itu ada!’ “Kerjasama yang dimaksud Eisenstein tetap mekanistik. Kerjasama yang saya maksud lebih bersifat intuitif.” “Oke...” “Dapet?” Tadinya saya berpikir: ketika Eisenstein mengambil gambar, ya, itu mekanik, dia bicara mengenai itu. Ketika Bergman ambil gambar, dia bicara ‘Aku’. Ketika Pak Kadus yang ambil, dia bicara Aku dan itu (massa—rd). Cuma saya agak ragu terminologi yang saya pakai, tepat atau tidak.” “Tepat. Si ‘Aku’ tadi, si Sutradara, kan menghilang di sini, sebetulnya. Pak Kadus boleh sadar dan merasa bahwa itu dia yang buat. Betul, dia berbakat! Tapi, dia harus sadar lagi bahwa itu dikelola oleh kolaborasi, oleh gotong royong, bongkaran itu semua. Dengan teknifikasi itu saja, kan sudah bukan dia, ini kerja yang kolaboratif. Walau memang betul dia berbakat.” “Kalau pengambilan gambar yang mekanis, kan konteksnya ideologis, ya. Kalau humanis, kan bicara moral, ke dalam. Nah, ini bicara dua itu, saya, sih, melihatnya, akumassa apakah bisa diklaim seperti itu, tapi bisa dielaborasi ke arah situ.” 75


(O) (Z)

(B)

(O) (B) (O) (Z) (O) (Z ) (O) (B) (Z) (B) 76

“Tidak perlu diklaim, tapi kamu bisa membacanya sebagai itu. Karena bacaannya ada banyak.” “Makanya dapat dimaklumi ketika filemnya Lav Diaz bicara moral, tapi dia dijuluki “The father of Ideology.” (lebih tepatnya: The Ideological Father of the New Philippine Cinema—red). Pertanyaan keempat, apa kamu yakin Wates ini posmodern? Atau, janganjangan modernitas yang lain? Wates di sini bukan dalam artian Wates, ya, tapi kita bicara akumassa. Praktik seperti ini, janganjangan bentuk modernitas yang lain? “Saya akan membahasnya sebagai akumassa, ya. Sebenarnya tadi sudah dijawab oleh Otty. Cuma kecurigaan saya, akumassa tidaklah posmodern, melainkan perluasan dari modernitas. Jadi, dia tidak benar-benar menegasi. Pertanyaan saya tadi adalah, yang mengenai ruang, ketika Otty bicara berjejaring, berjejaring itu adalah memperluas ruang, ya. Tetap bagaimanapun, walau Otty bilang akumassa tidak berusaha untuk memenuhi ruang, setidaknya ada tendensi untuk mendominasi.” “Satu mendominasi banyak?” “Bukan. Tapi mendominasi ruang. Ketika kamu bilang bahwa itu harus tumbuh, dan kontur-kontur, itu, kan ada tendensi ke arah situ.” “Walaupun semangatnya belajar bersama yang kita tidak dapat dari institusi pendidikan?” “Tetap tendensinya ada tendensi power...” “Power apa? Orang diajak pinter bareng-bareng, kok?!” : “Itu tendensi power, dalam konteks bicara bangsa-negara. Menurut saya.” “Jelas tidak kuatlah untuk melawan power negara. Tahulah saya.” “Tapi memiliki power massa. Untuk menjawab pertanyaan Zikri, wacana untuk menghimpun power itu, ya, bentuk perluasan modernitas.” “Kembali ke Wates. Menurut kamu, di mana letak kearifan lokal masyarakat Wates? Di aspek mana?” “Saya tidak cukup mengenal desa ini, sih.”


(Z) (B)

(O)

Kamu bisa melihatnya sebagai orang luar. Sebagai turis mungkin, kearifan lokal yang eksotis...?” “Hmmm..! Saya tetap tidak akan bicara kearifan lokal, karena saya tetap merasa tidak mengenali lokalitas [di s]ini. Cuma saya akan bicara dalam konteks membandingkannya dengan daerah lain. Tapi, saya cuma tahu Jakarta. Wah, masalah, nih, pertanyaan lo! Saya gak bisa jawab.” (tertawa) “Kearifan lokal itu apa, sih? Kearifan lokal itu, kan menurut orang di luar, tuh, yang merasa lebih tahu. Menurut saya begitu. Kita itu membaca, orang luar itu membaca. Sebetulnya orang luar itu, karena menemukan suatu cara yang baik yang ada di daerah itu,… ‘Wah, bisa dipakai, tuh, bagus!’ Di sini, kalau bicara Pulau Jawa dalam konteks demografi, sudah sangat bersinggungan satu sama lainnya. Dia sudah tidak spesifik menjadi sebuah lokasi, sebuah lokal. Berbeda kalau dia jauh dari mana-mana, dia punya cara sendiri kemudian. Misal, Papua. Ini sudah tidak bisa kalau bicara Jawa. Kecuali mereka mengisolasi diri sendiri, seperti Badui, Kampung Naga, atau Samin, misalnya, itu kelihatan. Kemudian, itu coba dicari dengan leader mereka sendiri, kearifan lokal di sini apa, misalnya liwet? Karena itu menjadi arif ketika mereka memberdayakan dirinya sendiri. Jadi, tidak bisa, tidak bisa ada pertanyaan apa kearifan lokal. Saya gak bisa jawab kalau bicara di dalam konteks Jawa.”

*** (O) (B)

“Musim datang lebih cepat, hama memaksa panen yang tidak seberapa. Bukan berarti hama tidak ada di musim mendatang. Hamakah, atau panen jaya yang bisa membuat kita berdoa?” “Hama. Menurut saya, hama ada di dalam proses, dan panen adalah konsekuensi atau hasil. Dalam hal apapun, saya tetap akan fokus terhadap proses, karena hasil itu konsekuensi yang logis. Kalau proses dapat diperhitungkan dengan baik, bisa belajar dari kesalahan, kita akan menemukan pola-pola baru 77


(O) (B) (O)

(B)

(O) (B) (O)

(B) (O)

78

untuk menghadapi masalah, kita akan bisa bersiasat. Artinya, proses yang konsisten.” “Lalu, kalau harapan harus dicari di kolong-kolong truk kotor pengangkut pasir untuk jalanan masa depan, bisakah kami kaum muda turut terus mengharapkan truk-truk kotor selalu singgah?” “Tidak! Karena itu mengajarkan mereka sebagai orang yang menerima. Mereka hanya menunggu, tidak bisa bergerak, dan menjadi pasif. Jadi memang mereka tidak perlu menunggu.” “Sebenarnya, saat jeda, selalu ada yang menghentikan semua gerak mesin dari berputar, dan kami pun punya waktu untuk tafakur. Tapi kami terlalu sibuk menikmati mie ayam di depan tanah segitiga. Salahkah kami?” “Oke, saya menerjemahkan secara harafiah saya, ya, karena makan mie ayam. Ya mereka baru sampai tahapan pada pemenuhan harapan fisik. Mereka perlu sekali tafakur. Mereka perlu sekali menggunakan rasionya untuk berpikir. Bagaimana caranya tafakur?” “Lo tanya gue? Ya, mereka harus terlibat di dalam kontur-kontur itu.” “Jadi, harus ada campur tangan dari luar?” “Ya, iya, sih..., tapi itu pun harus yang tepat, seperti membangun kesadaran. Pertanyaan selanjutnya adalah: Kami tidak peduli akan peta, kami adalah peta. Lalu peta itu ada. Di mana letak kami di Indonesia?” “Kita tidak punya letak spesifik. Letak sudah hilang. Kita sudah melebur di dalam Indonesia. Kita adalah petanyaan. Semua menjadi abstrak.” “Kalau saya merujuk ke pembangunan jalan tol, ya, contohnya, Aerocity Majalengka. Jalan tol Itu akan memotong sawah, jadi yang ada di blueprint itu, kalau bangun jalan tol itu amdalnya begini, tidak boleh merusak irigasi, tapi tampaknya blueprint itu cuma sampai pada tingkat propinsi dan kabupaten, tidak dipikirkan parit-parit yang ada di tingkat kecamatan, desa, sampai dusun, padahal itu menghidupi sawah-sawah ini. Tapi pembangunan jalan tol itu hanya di tingkat kabupaten, Majalengka. Jadi,


(B)

(O)

tol Palimanan – Jatiwangi itu dibuat melintas tidak merusak pengairan yang tingkatnya kabupaten, yang bawah-bawahnya tidak dipikirkan. Masyarakat memikirkan bagaimana ini, karena nanti sawah-sawah kita mati. Sawah yang di tingkat kecamatan, desa, dusun, itu akan mati. Jadi, saya setuju sama kamu, bahwa ini memang tidak ada di peta. Jangan-jangan, peta pembangunan memang cuma sampai tingkat kabupaten. Dan lebih mengerikan lagi kalau kamu sudah menonton itu, di YouTube ada. Hiii… serem!” “Kalau jawabannya, sih, sama, ya! tapi saya akan merespon jawabanmu. Kita akan selalu bermasalah dengan peta jika kita bicara pembangunan. Pembangunan itu jelas manifestasi modernitas. Masalah seperti yang kamu sebut tadi akan terus muncul. Tidak hanya pembangunan jalan tol, tapi semua ide pembangunan akan memunculkan masalah yang sama. Modernitas memang bermasalah dengan hal seperti itu. Hal yang partikular. Karena dia mengusung ide besar, kan, yang pasti mengorbankan detail-detail kecil. Nah, ini pertanyaan saya, sih, apakah kita harus menerima karakter itu di dalam konteks situasi kontemporer sekarang, dalam artian hidup di negara berkembang yang terus bertransformasi untuk menjadi modern atau kita memang harus terus-terusan melawan?” “Ini pertanyan yang tidak bisa dijawab, karena ini juga pertanyaan untuk saya. Sampai seberapa jauh kita harus melawan? Makanya saya bilang sama Zikri: ‘Aku sudah lelah, Kobelco dan Komatsu sudah bergerak, secara sistemastis di sana, dan layar kami pun tidak juga terkembang , apalagi yang mau kau katakan padaku?’ Oke, pertanyaan terakhir, apa yang kau yakini dari ‘kita’? Konteks saya bicara bahwa kamu sebagai Bunga, kamu lahir sebagai siapa, kamu mungkin pernah punya ketakutan atau trauma yang tidak selalu terjadi terhadap Orde Baru, kemudian berikutnya kamu kerja di mana, kamu kuliah di mana, sampai hari ini kamu sudah mengalami hampir sebulan terlibat di kegiatan ini. Jadi, pertanyaan saya, apa yang kamu yakini, dan kamu punya rencana kemudian bahwa kamu akan membuat filem di sini dan pasti 79


sudah punya pikiran ke depannya. Lalu, apa yang kau yakini dari ‘kita’? Kita yang sama saja dengan mereka.” (B) “Energi. Kita akan selalu punya energi. Kita, kan bicara potensi, ya. Potensi Zikri, potensi Otty, potensi saya, potensi mereka. Itu bisa jadi satu energi.” “Jadi kamu masih yakin banget, nih walaupun sudah ada Kobelco (O) dan Komatsu, sudah ada Majalengka Aerocity...?” “Oh, kalau itu, konteksnya, balik lagi ke pertanyaan saya ke (B) kamu sebelum ini. Karena saya sendiri juga masih ada di posisi bertanya, apakah saya harus menerima itu atau tidak.” “Tapi kamu yakin dengan energi, kan? Energi ‘kita’. Kasihan, (O) ya, Kita? Berat, ya? Hidup kita berat banget, ya...? Hahaha …! Selesai, nih, Zik, di tengah wanginya aroma bunga sedap malam, yang tumbuh di depan saung Ciranggon, di halaman rumah Pak Iing.”

80





BIOGRAFI PENULIS, FASILITATOR AKUMASSA & ANGGOTA KOMUNITAS CIRANGGON

Iim Rohiman, lahir di Kampung Wates, Desa Jatisura, pada 8 Agustus, 1988. Dia mempunyai hobi memancing di Balong H. Udin dan main futsal. Dia juga ikut bertani, membantu kedua orang tuanya nyeblok di sawah Pak Tobib. Imas Masitoh, lahir di Desa Jatisura, 2 April, 1982. Seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Kampung Wates. Lulusan sarjana ekonomi ini ikut aktif berkegiatan di workshop media di Kampung Wates dan mulai menulis narasi-narasi tentang lingkungan tempat tinggalnya. Maman Sudirman, lahir 2 April, 1970, di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka. Biasa dipanggil Pak Kadus karena jabatannya sebagai Kepala Dusun di Dusun Wates, Desa Jatisura. Selain aktif berkegiatan di Jatiwangi Art Factory (JaF), Pak Kadus Maman juga aktif mengembangkan kampungnya dengan mengelola Saung Ciranggon. Otty Widasari, lahir di Balikpapan, 1973. Merupakan Direktur Program akumassa Forum Lenteng. Ia juga seorang seniman, penulis, sutradara filem, dan pendiri Forum Lenteng. Pernah kuliah di Jurusan Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Lulusan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). 84


Manshur Zikri, lahir di Pekanbaru, 1991. Lulusan Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia, tahun 2014. Saat ini aktif di Forum Lenteng sebagai peneliti dan pegiat program akumassa. Zikri juga aktif menulis berbagai topik yang berkaitan dengan isu media dan filem. Dia juga merupakan salah satu kurator di ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. Bunga Siagian, lahir di Jakarta, 1988. Praktisi filem dan anggota Forum Lenteng. Saat ini, ia kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara. Bunga juga merupakan salah satu kurator di ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. -Anggota Komunitas Ciranggon Aceng Abidin Abdul Latif Ayu Anindya Didik Junaedi Didin Hoerudin Herlina Octaviana Iim Rohiman Iing Solihin Imas Masitoh Maman Sudirman Mamiek Widya Miningsih Muhammad Nur Aziz Muhammad Husaeri Muhammad Nasuhi Muhammad Wildan Nina Dewi Rosliana Rangga Nurzaman Setia Nour Yaya Nuryadi 85


TERIMA KASIH KEPADA

Aah Kona’ah Arief Yudi Ginggi Syarief Hasyim Ila Syukrilah Syarif Dika Nurhasanah Maman Sudirman Didik Junaedi Iing Solihin Tedi Nurmanto Ismal Muntaha Seluruh warga Kampung Wates Keluarga Besar Jatiwangi Art Factory Keluarga Besar Komunitas Ciranggon Keluarga Besar Forum Lenteng Ford Foundation

86



88



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.