Halaman Papua

Page 1

1


2


1


Forum Lenteng Jakarta, Indonesia Juli 2014 Buku Editor  Manshur Zikri, Hafiz Rancajale Perancang Grafis  Andang Kelana, Yoyo Wardoyo Data  Bagasworo Aryaningtyas, Tim Litbang Forum Lenteng & Halaman Papua Foto Sampul  Gelar Agryano Soemantri Halaman Papua: Media Untuk Papua Sehat Koordinator Proyek  Hafiz Rancajale Manajer  Yuki Aditya Koordinator Pelatihan dan Pengembangan Media Alternatif  Otty Widasari Koordinator Produksi Audio Visual  Andang Kelana Keuangan dan Administrasi  Jayu Julie Astuti Desainer dan Administrator Web  Yoyo Wardoyo Fasilitator  Syaiful Anwar, Gelar Agryano Soemantri, Manshur Zikri, Muhammad Sibawaihi, Mahardika Yudha, Bagasworo Aryaningtyas Fasilitator Lokal di Papua  Bernard Koten, Nico Tunjanan, Dorkas Kossay, Fabian Kakisina Penerbitan ini didukung oleh KINERJA - USAID, Jakarta Diterbitkan oleh Forum Lenteng Jl. H. Saidi No. 69 RT.007/RW.05 Tanjung Barat, Jakarta Selatan - 12530 Indonesia E. info@forumlenteng.org W. halamanpapua.org / forumlenteng.org F. facebook.com/halamanpapua T. twitter.com/halamanpapua I. instagram.com/halamanpapua 2


Forum lenteng Forum Lenteng adalah organisasi non-profit berbentuk perhimpunan dengan anggota individu yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, mahasiswa komunikasi/jurnalistik pada tahun 2003, yang bekerja mengembangkan pengetahuan media dan kebudayaan melalui pendidikan alternatif berbasis komunitas. Forum ini bertujuan menjadikan pengetahuan media dan kebudayaan bagi masyarakat untuk hidup yang lebih baik, terbangunnya kesadaran bermedia, munculnya inisatif, produksi pengetahuan, dan terdistribusikannya pengetahuan tersebut secara luas.

Halaman Papua halamanpapua.org merupakan media online yang dikelola oleh Forum Lenteng dalam program Media Untuk Papua Sehat. Program ini adalah program literasi media yang dilaksanakan secara berjejaring dengan komunitas di empat lokasi; Sentani, Kota Jayapura, Wamena & Timika. Berupa aksi pembangunan dan pengembangan media kreatif untuk mendistribusikan informasi dan pengetahuan yang fokus pada isu kesehatan dan pelayanan kesehatan di Papua.

akumassa Ada beberapa program di Forum Lenteng, salah satunya adalah Program Pendidikan dan Pemberdayaan Komunitas Melalui Media, akumassa. Program ini merupakan kerja kolaborasi dan berjejaring dengan berbagai komunitas di daerah dengan melakukan pelatihan penggunaan media (video, teks, fotografi dan media online) sejak 2008. www.akumassa.org adalah bagian dari programakumassa yang digagas oleh Forum Lenteng sebagai sebuah program pemberdayaan komunitas dengan berbagai media komunikasi, antara lain: video, teks, dan suara. akumassamemiliki strategi: penggerakan motivasi, memproduksi karya, pendokumentasian, berkelanjutan, pemberdayaan medium filem dan video, berbagi informasi serta merekam potensi lokal dengan cara berkolaborasi dengan komunitas dampingan. 3


Daftar Isi Tentang Forum lenteng, Halaman Papua, akumassa Daftar Isi

3 4

Merekam Papua Hafiz 6 Selayang Pandang dari KINERJA-USAID Firmansyah 8 Proyek Media Untuk Papua Sehat Yuki Aditya 12 Catatan Penting dari Program Pelatihan Media Untuk Papua Sehat Gelar Agryano Soemantri 18 Keaksaraan Media Pangkal Bagi Perbaikan Sistem Pelayanan Kesehatan Manshur Zikri 28 Sinema Papua yang Sedang Bergerak Mahardika Yudha 40 Cukup Hanya Saya Saja! Alloysius Rahawadan 54 Jangan Bunyikan Lonceng Kematianku Lebih Awal, Ibu‌ Yosep Levi 58 Penghujung Jalan Di Rumah Kasih Yosep Levi 62 Puskesmas Sehat Vs Puskesmas Sakit Agustina Ansanay 66 Teka-Teki Dokter Nina Muhammad Sibawaihi 70 Jauhi De Pu Penyakit, Bukan De Pu Orang Stefanus Abraw 84 Kurang Profesionalnya Dokter-Dokter Masa Kini Grace Yogi 88 Pakai Komputer, Sudah! Biar Tidak Lama! Manshur Zikri 90 Sakit yang Tak Kunjung Sembuh Veronika Huby

4


Tidak Ada Suster Karena Tidak Aman Thomas Waisima 100 Akuare Kamoro Ta Ananias Ewakipiyuta 112 Cerita Bercermin Yonri Soesanto Revolt 118 Malam Renungan AIDS Nusantara Kabupaten Mimika 2014 Restituti Betaubun 122 Puskesmas Limau Asri, Tes Darah Di Lapas Ruth Susanti 126 Wartawan Di Kampung Halaman Nurman Riyanto 130 Aku Shoting, Aku Peka, Aku Ingin Terus Berkarya! Imanuel Mabel 144 Bintang, Aku, Mama dan Bayi Veronika Wetipo 146 Gedung AIDS Berdiri,Kami Resah Aloisius Doalekma Matuan 150 Kisah Tragis Mantri Berjurus Mabuk Franciskus Romena 152 Mahalnya Arti Kesehatan di Distrik Kurulu Imanuel Mabel 154 Partisipan dan Fasilitator Tentang Riyana Waena Tentang SKP KC Fransiskan Papua Tentang Yayasan Peduli Aids (Yapeda) Tentang Yayasan Teratai Hati Papua

164 170 170 170 171

Terima Kasih

172

5


MEREKAM PAPUA Hafiz Ketua Forum Lenteng

Pada 13 Juli, 2014 ini, tidak terasa telah 11 tahun Forum Lenteng berdiri. Bermula dari forum diskusi tentang media dan isu-isu sosial antara mahasiswa komunikasi dan seniman, forum ini akhirnya telah berkembang sebagai tempat untuk belajar anak muda dan mengembangkan pengetahuan bermedia di masyarakat. Kerja-kerja Forum Lenteng selama ini telah berkembang dari sekadar diskusi mingguan hingga memproduksi konten-konten media (filem, video, teks, fotografi dan media online) yang kemudian didistribusikan ke berbagai kalangan. Salah satu program yang secara konsisten dilakukan oleh Forum Lenteng adalah melakukan lokakarya media di komunitas lokal di berbagai daerah. Sejak tahun 2008, Forum Lenteng mengembangkan Program AKUMASSA (www.akumassa.org), sebuah program pemberdayaan media yang melibatkan komunitas lokal di 11 lokasi. Di tiap-tiap lokasi, Program AKUMASSA membantu komunitas lokal mendirikan pusat bermedia (media center) yang berfungsi sebagai ruang belajar bagi masyarakat lokal. Melalui program ini, komunitas lokal dilatih untuk mampu memproduksi konten-konten media yang kemudian didistribusikan secara mandiri. Program Media Untuk Papua Sehat merupakan salah satu program pemberdayaan media yang dikembangkan oleh Forum Lenteng dengan merujuk pada metode AKUMASSA. Program ini didukung oleh KINERJAUSAID dalam usaha pemberdayaan masyarakat melalui media alternatif tentang persoalan pelayanan kesehatan yang terkait dengan masalah HIVAIDS, TBC, dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Program ini bekerjasama dengan empat komunitas lokal di empat kabupaten-kota di Papua: Kab. Sentani, Kota Jayapura, Kab. Mimika, dan Kab. Jayawijaya. Sama seperti 6


Program AKUMASSA, di tiap-tiap lokasi, Forum Lenteng bekerjasama dengan komunitas lokal membangun pusat bermedia (media center) yang akan memproduksi informasi lokal tentang persoalan pelayanan kesehatan di lokasi-lokasi tersebut. Konten media yang diproduksi oleh masyarakat lokal didistribusikan melalui www.halamanpapua.org dan dipresentasikan di lokasi di mana lokakarya itu berlangsung. Pada Program Media Untuk Papua Sehat, untuk pertama kali Forum Lenteng melakukan program pemberdayaan media berbasis isu tertentu, yaitu pelayanan kesehatan. Sebelumnya, Forum Lenteng selalu mengembangkan isu yang akan diangkat dalam sebuah program tergantung lokasi yang dimaksud. Jadi, tiap-tiap lokasi, isu yang akan menjadi basis tema dalam produksi konten media bergantung pada partisipasi komunitas lokal dalam membaca situsnya. Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi tim Forum Lenteng dalam mengembangkan metode. Perlu usaha lebih untuk mengetahui bagaimana perkembangan isu pelayanan kesehatan di Papua dan persoalan sosial di wilayah Timur Indonesia ini. Dari sini, Forum Lenteng belajar tentang bagaimana ‘isu Papua’ yang selama ini berkembang di media nasional kadang tidak berbanding lurus dengan kenyataan masyarakat lokal itu sendiri. Untuk itulah, melalui program ini kita mencoba merekam ‘kenyataankenyataan’ yang mungkin tidak terekam oleh media mainstream sebelumnya. Yang paling penting adalah bagaimana kerja kolaborasi para partisipan dari masyarakat lokal dalam memproduksi informasinya sendiri. Semoga kerja bermedia yang baru kita mulai bersama komunitas lokal ini, dapat menjadi titik awal dalam mengembangkan partisipasi publik terhadap isu pelayanan kesehatan di Papua. 7


Selayang Pandang dari KINERJA-USAID Firmansyah Media Specialist KINERJA-USAID

KINERJA-USAID adalah program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan Kinerja Pelayanan Publik pada sektor pendidikan, kesehatan dan perizinan usaha di 24 kabupaten/ kota di lima provinsi (Aceh, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Papua) sejak 2010. Pada 2012, KINERJA mengembangkan kegiatannya di Papua. Empat kabupaten/ kota didampinginya untuk memperkuat sistem kesehatan dengan perbaikan tata kelolanya, termasuk sistem penyampaian layanan kesehatan. Di dalam program kerjanya, variasi isu yang diangkat u nt u k m a si n gmasing w ilayah berbeda-beda, yait u: Kota Jayapura, yang fokus kepada Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan mengintegrasikannya dengan layanan HIV/ AIDS; Kabupaten Mimika difokuskan pada KIA; dan Kabupaten Jayapura serta Kabupaten Jayawijaya fokus kepada isu Koinfeksi TBC/ HIV. Pendekatan dalam pelaksanaan paket program KINERJA-USAID berfokus pada perbaikan tata kelola pemerintahan (governance), yang mendorong terwujudnya penyampaian pelayanan publik yang lebih baik. Salah satu unsur tata kelola pemerintahan yang baik adalah terlaksananya prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi serta akuntabilitas. Dalam usaha untuk mendorong, mempromosikan serta mendukung keterbukaan, partisipasi serta akuntabilitas tersebut, maka KINERJAUSAID mendorong bagaimana media berperan di dalam upaya perbaikan pelayanan publik, melalui mengangkat isu-isu kritis, peningkatan suara publik, maupun perluasan konten media ke berbagai platform media yang lain. Di samping itu yang tidak kalah penting adalah kualitas konten media itu sendiri melalui peningkatan kualitas jurnalistik, produksi konten serta pertautan konten dengan upaya-upaya advokasi yang dijalankan KINERJAUSAID di masing-masing sektor. Untuk memperkuat peran media, KINERJA-USAID memandang penting mendorong lahirnya jurnalis warga yang memiliki peran lebih spesifik 8


di dalam mengangkat berbagai isu-isu serta fenomena yang di dasarkan pada fakta yang tidak selalu bersifat mainstream. Pada banyak kasus yang terjadi di tanah air, jurnalis warga saat ini telah banyak berkontribusi untuk mendorong upaya-upaya penegakan kebenaran, penggalian fakta yang belum muncul di media arus utama ataupun membantu mengangkat berbagai informasi penting dari lapangan terkait upaya-upaya advokasi yang sedang terjadi. Di Papua ini, kegiatan media difokuskan untuk memperkuat prinsipprinsip di dalam tata kelola sistem layanan kesehatan. Untuk itu, sektor ini difokuskan pada dua hal, yakni pertama, kampanye dan promosi sektor kesehatan yang terkait dengan isu masing-masing kabupaten/ kota, termasuk perluasan pemahaman akan hak dan kewajiban warga di dalam layanan kesehatan serta hasil dari pengembangan yang didukung KINERJA-USAID di masing-masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kesehatan. Kedua, mengangkat berbagai aspirasi dan keluhan warga melalui berbagai media terkait layanan kesehatan terutama mengenai isu yang diadvokasi di masingmasing kabupaten/ kota untuk meningkatkan penyampaian informasi yang transparan, jangkauan luas serta mudah diakses publik. Saat ini, gambaran ideal peran media di Papua masih jauh dari harapan. Banyak kendala yang mempengaruhinya, diantaranya akses kepada media yang sangat terbatas, pemahaman akan konten media yang masih di bawah rata-rata, kapasitas jurnalis dan editor yang terbatas dan masih banyak lainnya. Sementara di sisi lain, KINERJA-USAID bermaksud memfasilitasi agar “media� dapat menjalankan peran sesuai fokus yang telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, penting juga untuk mempertimbangkan penggunaan media-media alternatif yang didasarkan pada kearifan lokal serta tradisi budaya masing-masing. Di dalam masyarakat Papua tersimpan begitu banyak khazanah kekayaan tradisi budaya lokal dari berbagai suku dan marga di sana, baik dari masyarakat pesisir maupun masyarakat pegunungan. Kedua kelompok 9


masyarakat berdasarkan geografis ini tentunya mempunyai kekhasannya masing-masing. Inisiatif pemanfaatan media alternatif untuk meningkatkan kesadaran hak-hak kesehatan warga dilakukan dengan menggunakan media yang sudah ada dan dikenal masyarakat setempat. Salah satu bentuk media alternatif yang KINERJA gunakan adalah video dokumenter. Video ini diharapkan dikerjakan pembuat amatir alias orang biasa, misalnya seniman lokal dan mahasiswa atau publik lainnya yang tertarik dengan dunia audiovisual dan bidang kesehatan untuk selanjutnya disunting dan dilakukan sentuhan akhir oleh lembaga profesional. Bersama FORUM LENTENG (Perhimpunan Studi Sosial dan Budaya Lenteng Agung), sebuah lembaga nirlaba dari Jakarta, KINERJA melakukan berbagai upaya pemanfaatan media alternatif ini melalui pendekatan jurnalisme warga. FORUM LENTENG berpengalaman melakukan program serupa di berbagai wilayah, seperti: Jakarta, Tangerang Selatan, Rangkasbitung, Serang, Cirebon, Depok, Padang Panjang, Randublatung, Surabaya dan Lombok Utara. Beberapa tahapan yang dilakukan FORUM LENTENG untuk Penguatan Sistem Kesehatan dan Promosi Hak Atas Kesehatan di Papua ini dalam beberapa kegiatan, seperti: menemukan para seniman, pekerja sosial, mahasiswa dan warga lainnya yang cocok dan dikenal masyarakat yang akan menjadi calon pembuat video dokumenter amatir; pendampingan untuk penguatan isu dan upaya peningkatan layanan kesehatan; produksi beberapa video dokumenter (termasuk di dalamnya foto esai, artikel dan juga rekaman audio) dan pemutaran video tersebut di ruang-ruang publik yang terdekat dengan kelompok masyarakat sasaran program dan kemudian disertai diskusi santai tentang isu layanan kesehatan yang diangkat dan memberikan kesempatan kepada penonton untuk menyampaikan masukan atau keluhan terhadap isu layanan kesehatan yang pernah mereka alami (misalnya: di Honai besar dari suatu marga atau suku, balai pertemuan kampong, gereja, puskesmas, sekolah, dan lain lain). Melalui pelatihan dan pendampingan kepada puluhan anggota kelompok masyarakat (yang berperan sebagai “jurnalis warga�) yang dilakukan kawankawan FORUM LENTENG, telah dihasilkan puluhan video dokumenter, foto esai, audio dan juga artikel mengenai berbagai hal menarik yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat atas kesehatan dan berbagai upaya dan advokasi untuk peningkatan tata kelola pelayanan kesehatan di tanah Papua, khusus di empat kabupaten/ kota wilayah kerja KINERJA. Semua bentuk produk media tersebut dapat dilihat di situs Media untuk Papua Sehat di www.halamanpapua.org yang dikelola dengan sangat baik dan menarik oleh FORUM LENTENG.

10


Untuk itu, KINERJA ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada kawan-kawan FORUM LENTENG yang telah bekerja keras, sabar dan telaten dalam membimbing para jurnalis warga dari tanah Papua ini dalam menghasilkan karya-karya media yang menyentuh dan menggugah anggota masyarakat lainnya untuk lebih menyadari tentang pentingnya promosi akan hak atas kesehatan masyarakat dan berbagai upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk peningkatan pelayanan kesehatan di tanah Papua, khususnya di Kabupaten Jayawijaya, Mimika, Jayapura dan Kota Jayapura. Buku ini dan juga DVD yang berisi kumpulan video pilihan karya jurnalis warga tersebut telah sampai ke tangan Anda sekarang dan semoga persembahan kami bersama FORUM LENTENG ini dapat membantu Anda dan lembaga Anda bekerja sekarang dalam memahami berbagai hal yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan di Papua. Selamat membaca buku ini dan juga menikmati kumpulan video dokumenter ini. Semoga bermanfaat! Parepare, 11 Juli 2014

j

11


proyek media untuk papua SEHAT Yuki Aditya Manajer Halaman Papua

Program Media Untuk Papua Sehat digagas oleh Forum Lenteng dan didukung oleh KINERJA-USAID di empat wilayah di Papua, yaitu Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya. Pelatihan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat lokal di Papua akan pentingnya kerja kreatif berbasis media, seperti tulisan, foto, dan video (film), yang diproduksi oleh warga sendiri dan dapat menjadi medium alternatif penyebarluasan pengetahuan akan kesadaran kesehatan. Konsep jurnalisme warga yang diusung oleh Forum Lenteng sudah dikembangkan sejak tahun 2008 lewat Program AKUMASSA yang telah menginisasi pelatihan-pelatihan literasi media dan dilakukan secara kolaboratif dengan 10 komunitas dampingan Forum Lenteng di 10 lokasi, antara lain Padang Panjang (Sumatera Barat), Lebak (Banten), Serang (Banten), Cirebon ( Jawa Barat), Depok ( Jawa Barat), Jakarta Selatan, Ciputat (Tangerang Selatan), Surabaya, Randublatung (Blora, Jawa Timur), dan Pemenang (Lombok Utara). Pelatihan Med ia Unt uk Papua Sehat d i K abupaten Jayapu ra diselenggarakan dari tanggal 11 Februari sampai 10 Maret, 2014 di Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua yang terletak di Jalan Kemiri, Sentani. SKPKC menjadi mitra strategis Forum Lenteng karena selain merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah lama peduli akan perihal penyebarluasan pengetahuan akan kesehatan ke masyarakat, juga dekat dengan jaringan pemuda gereja di sekitar Sentani. *** Contoh populer dari jurnalisme warga adalah status facebook, twitter atau bagian komentar dalam dunia blog. Pengaruhnya bisa dirasakan di tingkat lokal. Masyarakat bebas melaporkan pengalamannya atau pun menggalang gerakan advokasi untuk perihal tertentu, sebuah peran yang tadinya dimiliki 12


oleh media massa lokal arus utama (mainstream). Aktivisme jurnalisme warga dalam menyebarluaskan informasi erat kaitannya dengan satu hal, yaitu hubungan warga terhadap berita. Terminologi jurnalisme warga merupakan suatu opsi bagi warga biasa untuk menciptakan, melaporkan dan mengomentari peristiwa-peristiwa yang mempunyai nilai berita bagi mereka. Ukuran-ukuran standar media massa arus utama dilabrak; subyektifitas menjadi penting dalam setiap informasi yang diproduksi dan mulai dipertimbangkan sebagai aspek yang sejajar derajat nilainya dengan obyektifitas. Kualitas tulisan, foto maupun video yang dihasilkan bisa saja hanya terkemas secara amatir, serta cakupan informasinya yang tidak luas. Akan tetapi, nyatanya kemunculan wacana jurnalisme warga membuka peluang yang besar bagi masyarakat untuk dengan bebas menuturkan narasi-narasinya dengan cara sendiri, baik melalui media sosial pilihan mereka maupun melalui media lainnya. Efeknya, bahkan, bisa luas dan efisien. Mengapa berjejaring atau berkomunitas penting dalam jurnalisme warga? Pada prinsipnya, informasi bergaya jurnalisme warga yang dalam Program Media Untuk Papua Sehat adalah cerita (berdasarkan pengalaman). Dan mengapa cerita, bukannya berita? Manusia, pada dasarnya, adalah pendongeng. Cerita adalah buah pikir dan gambaran tentang siapa kita dan bagaimana kita terhubung dengan lingkungan sekitar. Bentuknya bisa sebagai eksplorasi, investigasi, asumsi, maupun solusi yang ditawarkan ke orang lain. Dari sudut pandang pemberdayaan komunitas, cerita adalah alat yang berguna sebagai penggambaran lokasi dan budaya, baik dari suatu komunitas maupun individu-individu di dalamnya. Kita semua punya sesuatu untuk dituturkan sehubungan kehidupan kita dan ini adalah titik tolak kami dalam menyusun Program Media Untuk Papua Sehat. Kami mendukung masyarakat dan komunitas lokal dengan menekankan proses menyaring dan membingkai 13


informasi, serta berbagi keterampilan baru, supaya cerita yang mereka sampaikan mempunyai dampak luas sesuai yang diharapkan. Ada peluang besar bahwa cerita-cerita yang diproduksi itu memiliki nilai berita, tetapi urat nadi dari program ini adalah individu-individu mampu menuturkan cerita-cerita tentang kehidupan di sekitar mereka. Program ini menerapkan sebuah pendekatan yang memberikan keuntungan, baik bagi individu itu sendiri maupun bagi komunitas lokalnya. Pendekatan ini juga merupakan salah satu bentuk pemberdayaan (development) dan aksi berkelanjutan (sustainability) bagi masyarakat dan komunitas lokal tersebut, dan membangkitkan kesadaran akan hak mereka untuk menggambarkan realitas berdasarkan perspektif mereka sendiri. *** Kerjasama antara Forum Lenteng dan KINERJA – USAID dalam program Media Untuk Papua Sehat adalah pengejawantahan lanjutan dari Program AKUMASSA yang telah berjalan sejak 2008. Namun dalam program ini ada fokus isu yang dibawa, yaitu kesehatan. Isu kesehatan ini pun dibagi lagi berdasar wilayah kerja. Isu Koinfeksi HIV dan TBC untuk kabupaten Jayapura dan kabupaten Jayawijaya, Kesehatan Ibu dan Anak serta integrasi HIV dalam layanan Kesehatan Ibu dan Anak untuk Kota Jayapura, serta Kesehatan Ibu dan Anak untuk Kabupaten Mimika. Pelatihan Media Untuk Papua Sehat dilakukan selama kurang lebih satu bulan di masing-masing wilayah kerja. Tulisan-tulisan jurnalisme warga yang dihasilkan selama pelatihan diunggah ke halaman web kami, yaitu http://halamanpapua.org bersama karya-karya lain, seperti video 1 menit, rekaman imaji (foto esai), serta karya audio. Ada enam materi yang diajarkan selama pelatihan Media Untuk Papua Sehat, yaitu sejarah media, teknik penulisan, dokumentasi, pengarsipan, pembuatan film (video), dan pengelolaan media online. Dalam pelaksanaannya, keenam materi tersebut saling bersinergi membentuk pemahaman partisipan pelatihan akan media alternatif dari, oleh dan untuk warga. Di tiap awal pelatihan biasanya kami adakan obrolan hangat di antara fasilitator dan peserta pelatihan tentang kondisi kesehatan di Papua. Fasilitator meminta masing-masing peserta untuk menceritakan bagaimana pengalaman mereka terkait kondisi pelayanan kesehatan di Papua. Sebagai orang lapangan, banyak sekali catatan pengalaman mereka yang bisa ditulis. Dengan latar belakang yang berbeda, tersaji cerita-cerita yang menarik. Kegiatan ini bukan hanya sekedar mengumpulkan cerita. Namun, lebih tepatnya, apa yang diceritakan adalah acuan dalam melaksanakan program selanjutnya, yaitu tentang menulis dan membuat video. Dari diskusi awal ini 14


saja, beberapa ide video dan tulisan bisa dicapai, meskipun ide-ide tersebut tidak langsung diaplikasikan ke media tulis maupun video. Awalnya, yang diketahui peserta adalah menulis gaya jurnalis dengan ketentuan-ketentuan yang baku. Pada pelatihan ini, mereka menerima gaya penulisan yang berbeda. Bukan berarti mereka lepas dari gaya penulisan jurnalis media massa mainstream, namun gaya penulisan yang diarahkan adalah gaya penulisan jurnalisme warga. Pelatihan penulisan ini lebih menekankan pengalaman penulis dan perspektif mereka sebagai warga: bagaimana mereka melihat dan menilai sebuah isu tanpa mengedepankan kepentingan pemilik modal atau pemilik media massa. Jadi, tulisan yang mereka produksi bersifat lebih obyektif. Agar tidak terjadi keraguan terhadap informasi dari cerita yang diproduksi oleh peserta, pada hari-hari berikutnya peserta diajak untuk melihat permasalahan pelayanan kesehatan lebih dekat. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok dan mulai melakukan riset. Peserta melihat dari dekat apa yang sebenarnya terjadi dalam hal penanganan dan pelayanan kesehatan di Papua. Sebelum melakukan riset, terlebih dahulu fasilitator mengajak peserta untuk memetakan pelayanan kesehatan di Papua. Mencoba mencari benang merah dengan memetakan kebijakan kesehatan dari pihak pemerintah, sampai mereka yang langsung berhubungan dan bergesekan dengan masyarakat. Satu hal yang perlu diingat adalah, kerja riset untuk tulisan sangat berkaitan erat dengan kerja video. Sebab, dari data-data yang didapatkan dalam proses riset awal, menjadi acuan dalam membingkai isu melalui frame kamera. Isu-isu yang sudah dibingkai itu, kemudian direalisasikan ke dalam bentuk film. Sampai workshop selesai, peserta mampu membuat cerita yang menarik dari isu-isu yang sudah dibingkai. Kemudian diadakan presentasi publik untuk memperlihatkan kepada publik, apa yang sudah dihasilkan selama workshop. Kami ingin menumbuhkan rasa percaya diri kepada para peserta atas kemampuan yang telah mereka peroleh dan bagaimana pentingnya penyebarluasan kesadaran dan wacana kesehatan bagi orang-orang di sekitar mereka. Untuk itu, pada presentasi publik, kami mengajak peserta maju ke depan untuk ikut berdiskusi, baik mengenai pelatihan jurnalisme warga dalam Program Media Untuk Papua Sehat sendiri maupun tentang isu-isu kesehatan di lingkungan mereka. Kami harap komunitas dampingan di empat wilayah kerja dan Forum Lenteng dapat terus menghasilkan karya-karya yang nantinya berbicara ke khalayak yang lebih luas karena mereka sudah menjadi bagian dari keluarga besar Forum Lenteng—jaringan dari orang-orang yang berkumpul, karena 15


disatukan oleh tujuan dan nilai yang sama, berbagi sukses maupun kegelisahan, serta terus belajar satu sama lainnya dalam proses yang terus berjalan. Semoga jaringan komunitas yang telah terbentuk terus bertumbuhkembang dan berlanjut. Kita percaya, cerita dan cara pandang mereka penting karena terhubung dengan dunia di sekitar kita.

j

16


17


Catatan penting dari KErja Bermedia di Papua Gelar Agryano Soemantri Fasilitator & Pemimpin Redaksi Halaman Papua

Papua, mendengar kata tersebut pikiran saya langsung merujuk pada pemberitaan media massa mainstream yang mengabarkan tentang kondisi yang tidak stabil, terutama akibat gerakan separatis di daerah tersebut. Selain itu, saya juga jadi teringat akan Persipura, sebuah klub sepakbola dari Timur, yang menurut saya merupakan salah satu klub sepakbola yang dapat dibanggakan karena prestasinya untuk Nusantara. Kesempatan pertama saya menginjakkan kaki di kawasan paling Timur Nusantara adalah kira-kira di akhir tahun 2012. Saat itu, saya diminta oleh salah satu kelompok pekerja kreatif dari Jakarta untuk memberikan materi pelatihan audiovisual kepada warga masyarakat asli di Papua. Kebetulan, karya video yang akan dibuat dalam pelatihan tersebut adalah tentang Video Advokasi. Sejujurnya, secara definisi, saya masih belum paham betul dengan apa yang disebut video advokasi itu. Setahu saya, semua karya, apa pun bentuknya, pasti mempunyai sifat advokasi. Namun, secara personal saya semakin penasaran dan tertantang dan bagaimana sebenarnya video advokasi itu, hadir di Papua. Terlebih lagi pertanyaan tentang video apa yang pernah dibuat sebelum pelatihan kala itu kepada salah satu peserta, pertanyaan saya dijawab dengan kata ‘video advokasi’. Keesokan harinya, pelatihan hari pertama pun dimulai. Salah seorang partisipan pelatihan mencoba menunjukan karyanya kepada saya dan beberapa partisipan pelatihan lainnya yang hadir saat itu. Video itu bercerita tentang buah pinang. Di Papua, buah pinang menjadi salah satu buah khas, konsumsi favorit oleh masyarakat. Selain itu, menurut mereka, buah pinang dianggap sebagai salah satu sarana bersosialisasi. Disebutkan begitu lantaran seringkali saat berkumpul atau berbincang-bincang dengan beberapa orang, buah pinang hampir tidak pernah absen. Klimaks dari cerita dalam video adalah ketika ada sebuah ultimatum dari pemerintah setempat terkait larangan memakan buah pinang di tempat umum karena buah pinang dianggap kotor . Orang-orang yang memakan buah pinang kerap kali membuang sampah sisa buah pinang sembarangan. 18


Isi video tersebut, menurut amatan saya, sangat informatif dan tepat menuju ke pokok permasalahan. Saya sendiri tidak menemukan adanya hal yang mengganjal dalam benak saya ketika menyimak tata bahasa (visual) dan kemasannya yang “khas”. Isunya digarap sesuai dengan kearifan lokal dan saya jadi teringat sebuah pengalaman pribadi, pengalaman ketika pertama kali memproduksi karya video saya sendiri saat duduk di bangku kuliah dulu. Meninjau video yang dibuat oleh si partisipan di Sentani itu, saya tidak merasa terganggu, dalam artian bahwa isu yang diangkat serta setiap adegan yang dibuatnya cukup jelas. Jadi, sejauh ini saya berpikir bahwa secara garis besar, mereka sudah memahami dan memiliki isu lokal yang bisa ‘dimasak’ menjadi sebuah cerita sedemikian rupa, di mana nantinya saya hanya melakukan “ finishing” di beberapa bagian tanpa menghilangkn maksud dan tujuan dibuatnya video tersebut. Namun, sehubungan dengan istilh ‘advokasi’ itu, saya belum mendapat pengertian dan perbedaan yang signifikan dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Justru, saya lebih melihat karya video itu menarik karena masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan informasi, sedangkan untuk bentuk (form)-nya sendiri, tidak ada yang berbeda dari video yang saya lihat di Jakarta. Esoknya, salah seorang pemimpin penyenggara pelatihan juga menunjukkan sebuah f ilem panduan untuk pelatihan tersebut, Filem tersebut berjudul Balibo, yang bercerita soal lepasnya wilayah Timor-Timor dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usai melihat video tersebut, saya langsung mengerutkan dahi. Mengapa bercerita soal Balibo? Sepengetahuan saya soal filem dokumenter, secara bahasa sinema, tidak ada yang istimewa dan kesan yang menarik dari cerita tersebut. Susunan alur ceritanya, bahasanya, saya anggap layaknya tontonan biasa. Cenderung seperti menonton sebuah rekaman demonstrasi yang disusun seperti FTV atau sinetron yang banyak diputar di stasiun televisi 19


swasta. Dan penyampaian wacananya pun, tidak membuka ruang berpikir saya sebagai penonton. Dari situ, kami semua melakukan diskusi yang membahas soal filem Balibo. Dalam diskusi, juga tidak saya temukan sesuatu yang “menggigit”. Dan lagi-lagi, tidak ada sesuatu hal baru yang saya dapatkan. Karena proses diskusinya berjalan secara pasif (partisipan pelatihan hanya mendengar apa kata si pemandu diskusi), dan arah pembiacaan pun hanya terbentur pada masalah isu dalam filem yang diputar. Bahkan, terkesan membenarkan secara mutlak apa yang diceritakan dan divisualkan oleh filem tersebut tanpa syarat (tinjauan kritis), seolah-olah filem tersebut adalah satu-satunya kenyataan yang sahih. Sebenarnya, sah-sah saja jika output dari pelatihan tersebut akan mengacu pada kemasan dan bahasa dokumenter seperti yang disajikan televisi atau seperti yang tergambar dalam filem Balibo. Namun, yang menurut saya “tidak sehat” adalah pada proses diskusinya, yakni ketika membahas soal filem Balibo itu sendiri. Partisipan ditawarkan bahasa sinema tertentu, dan dijadikan sebagai doktrin kebenaran yang tak boleh dibantah. Menurut saya, ini jelas transformasi pendidikan filem/video yang tidak tepat sama sekali. Padahal, berdasarkan pengalaman belajar saya di Forum Lenteng, ada banyak bahasa atau montase1 yang dapat dimainkan dalam menyusun kepingan adegan dalam sebuah filem/video dokumenter. Dengan niat untuk menawarkan pembanding dari hasil diskusi tersebut, saya pun memutar salah satu karya video kompilasi Massroom Project yang diproduksi oleh Forum Lenteng, berjudul B. Reaksi partisipan justru mengagetkan sekaligus membuat saya optimis. Mereka terlihat takjub menyaksikan karya video yang saya putar. Banyak pertanyaan yang muncul. Salah satu pertanyaan peserta adalah, “Ini dokumenter juga, kah?”. Dari pernyataan itu, saya melihat bahwa ketidaktahuan atau kegagapan terhadap bahasa-bahasa filem yang berbeda ini, tak pelak lagi, karena tak meratanya transformasi pengetahuan tentang media, filem dan video kepada masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Terutama di Papua, yang ironisnya, wilayah ini justru sering dijadikan tempat kegiatan-kegiatan ‘kreatif ’ berbasis media, seperti filem dokumenter. *** Waktu terus bergulir, hingga di hari berikutnya, saya dan beberapa partisipan mengunjungi salah satu pasar tradisional sementara di wilayah Kota Jayapura (1)  Montase adalah salah satu teori filem, yang digagas dan dipopulerkan oleh Teoritikus Russia, Sergei Eisenstein, tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh pembuat filem untuk membangun konstruksi visual di dalam filem menjadi bahasa yang kaya interpretasi. 20


setempat. Tujuan kami semua, tentu saja, membuat sebuah video dokumenter, atau lebih spesifik menurut istilah pelatihan tersebut, video advokasi. Kali itu, saya juga menemukan sedikit kekecewaan lantaran apa yang saya lihat tidak sesuai dengan apa yang ada di pikiran saya. Sederhananya, video dokumenter itu, menurut pemahaman yang saya yakini, merupakan sesuatu yang dibuat tanpa ada unsur paksaan atau arahan dari si pembuat kepada obyek. Dengan kata lain, pengadeganan sebisa mungkin dihindari untuk memenuhi syarat etika kejujuran si pendokumenter. Video yang saat itu akan digarap menyoroti kebijakan pemerintah setempat yang telah menggusur pasar tradisional, dan menggantinya dengan pasar sementara di lokasi berbeda. Menurut para partisipan, lokasi pasar sementara itu memang tidak layak hingga suatu ketika pernah menyulut demonstrasi. Buat saya, itu menarik karena mereka memfasilitasi suara lokal. Isu yang menantang (untuk di-dokumenter-kan) yang terjadi di lapangan. Sayangnya, sesuatu yang ‘bagus’ dari isu yang diusung itu menjadi lenyap ketika cara mereka menggali informasi dari para penjual di pasar tersebut. Para partisipan pelatihan tersebut ternyata tidak mempunyai keberanian untuk menggali informasi secara mendalam, terbukti dari bahasa tubuh yang canggung dan tidak bisa membuat percakapan mengalir apa adanya. Akhirnya, saya tanya ke salah seorang partisipan, “Biasanya gimana shooting-nya? Kok sekarang takut dan canggung begitu…?” “Biasanya, kami mengarahkan pertanyaannya apa, dan mereka harus menjawab apa,” jawabnya. Di situlah saya kembali merasa terkejut. Kemudian, saya mendekat ke salah satu peserta lainnya yang sedang melakukan pengambilan gambar. Dan benar saja, dia menggunakan metode pengadeganan seperti yang diceritakan oleh peserta sebelumnya. Padahal, yang saya pelajari di Forum Lenteng, ketika seorang pembuat dokumenter turun ke lapangan untuk membuat sebuah karya, posisi pembuat bukanlah sebagai perekam yang punya kuasa ini-itu. Seharusnya, dia berposisi sebagai perekam yang cair dengan obyek dan subyek-subyek yang direkam. Apalagi, jika si pembuatnya juga merupakan bagian dari lingkungan yang akan di-filem-kan itu. Potensi untuk menghilangkan ‘jarak’ antara pembuat, kehadiran kamera, dan ruang-ruang si subyek sangat mungkin untuk dilakukan sehingga visual yang tertangkap akan mengalir apa adanya dan terekam menjadi ‘kenyataan baru’ yang minim intervensi ini-itu. Menurut saya, di Papua, dengan segala keindahan budaya dan “ketidakstabilan” kondisi sosial-politik-budayanya, menjadi sebuah tantangan yang menarik bagi si pembuat karya dokumenter. Dalam hal ini, kata kuncinya adalah negosiasi. Si pengkarya harus mampu untuk bernegosiasi dengan lingkungan masyarakatnya ketika memfilemkan suatu peristiwa massa, dan 21


bagaimana cara pembuat agar tidak terjebak dalam cara pandang yang eksotis terhadap Papua. Bukan seperti filem Balibo yang menurut saya sangat terjebak pada eksotisme dalam memaknai, baik isu maupun ruang kultural yang ada di Timor-Timur, dan cara sutradaranya memandang wilayah Timur sendiri. Memang—setelah melewati proses menyaksikan secara langsung karya video milik partisipan tersebut dan diskusi-diskusi yang telah kami lakukan—saya memperoleh kesimpulan bahwa secara garis besar, video advokasi menurut pandangan mereka merupakan rangkaian cerita yang dibuat untuk sangat berpihak pada masyarakat. Akan tetapi, dalam proses produksinya, sungguh sangat bertolak belakang. Metode yang digunakan— yang menggunakan teknik pengadeganan secara paksa itu—justru tidak berpihak kepada masyarakat lokal setempat, bahkan bisa dibilang bahwa praktek tersebut sebagai tindakan yang mengobyektifikasi demi kepentingan skenario—suatu cara yang seharusnya dihindari oleh pembuat dokumenter beretika. Penuturan dalam pembuatan video yang seperti saya saksikan waktu itu lebih menjadikan atau memposisikan masyarakat sebagai obyek yang disuruh-suruh (diperintah-perintah), bukan sebagai sosok lain yang bisa memberikan inspirasi, misalnya terkait dengan bagaimana mereka tetap bertahan di tengah kondisi sulit akibat dialihkannya pasar yang terdahulu, berdasarkan sudut pandang mereka sendiri secara sadar tanpa arahan beginibegitu. Sejauh ini, akhirnya saya memperoleh jawaban atas beberapa pertanyaan yang sudah saya ungkapkan di awal. Pertama, soal mengapa video advokasi menjadi tren. Secara geografis, wilayah Papua berada di wilayah paling Timur Republik Indonesia. Pembangunan infrastrutur serta kehidupan masyarakatnya bisa dibilang tak seberuntung masyarakat di bagian lain, di Pulau Jawa dan Sumatera, misalnya. Hal ini terbukti lantaran kemasan video yang dibuat sangat “telanjang”, berbeda dari apa yang sudah saya pelajari di Forum Lenteng. Karya-karya video yang dihasilkan oleh beberapa kelompok pekerja filem/video yang ada justru miskin montase. Dari segi bahasa sinema, tidak ada alur dan “pemanis” yang membuatnya patut dan layak diakui sebagai sebuah karya video atau pun filem—seperti misalnya sebuah eksperimentasi bahasa/konstruksi visual yang memungkinkan si perekam melakukan eksplorasi ruang, gerak, sudut pandang subyek, dan bahkan memposisikan si subyek yang direkam itu terlibat sebagai pembuatnya juga. Papua memang terkenal dengan berbagai macam ‘konflik’ hingga saat ini. Papua juga terkenal sebagai wilayah yang banyak menyimpan sumber daya alam. Salah satu perusahaan raksasa tambang, Freeport, ada di wilayah ini. Bahkan yang paling baru, Indonesia baru saja menyepakati jual beli

22


liquid nature gas atau gas alam cair dengan Tiongkok, senilai 250 Triliun, dari blok Tangguh yang berada di wilayah ini. Berdasarkan pengalaman di atas, saya memiliki kesimpulan yang sangat personal dalam membaca “kehadiran” beberapa lembaga atau kelompok yang katanya bertujuan untuk “berkegiatan” di Papua. Papua banyak diincar oleh kepentingan Asing, dalam berbagai agenda seperti kepentingan sumber daya alam, kepentingan demografis, kepentingan pertahanan dan keamanan, bahkan kepentingan sosial, ekonomi dan kultural. Tak heran, Papua menjadi “ladang emas” bagi segala macam agenda berwajah pendidikan yang bertujuan memberikan “pendidikan” serta “kepandaian” lainnya bagi warga setempat. Sayangnya, cara penyampaian dan pengajaran yang dilakukan dihiasi dengan berbagai hal yang seharusnya tidak perlu dan cenderung membuat masyarakat setempat terlena dan jauh dari kesadaran. Kami sendiri, dari Forum Lenteng, lebih senang menyebut kegiatan di Papua sebagai aksi berbagi pengalaman, yang bukan mengajarajari masyarakat lokal, tetapi saling mengelaborasi ide dan pengalaman untuk mendapatkan sintesa dari apa yang kami bayangkan, baik dari segi wacana media, filem maupun video. Bahwa, masyarakat lokal di daerah manapun bukanlah kelompok tertinggal yang tak memiliki apa-apa, melainkan mereka memiliki perspektifnya sendiri yang bahkan bisa jadi lebih genius dibandingkan wilayah-wilayah pusat. Yang seharusnya diagendakan adalah membuat sistem pendidikan atau pesebaran ilmu pengetahuan universal semacam media dan filem itu—yang oleh negara kita diimplementasikan dengan praktek-praktek yang cacat—dapat tersebar secara merata sebagai wujud pemenuhan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat Indonesia. *** Saat tim saya dari Forum Lenteng datang memberikan pelatihan Program Media Untuk Papua Sehat, di hari pertama, partisipan pelatihan yang datang bisa dibilang sangat banyak. Hari kedua, partisipan masih sebanyak hari pertama. Namun, entah kenapa, di hari-hari berikutnya, jumlah partisipan kian berkurang dan sepertinya ada keengganan dari mereka untuk terus berpartisipasi dalam workshop yang kami selenggarakan. Ternyata, memang ada perbedaan nyata dari tim saya dan beberapa kelompok yang pernah melakukan kegiatan serupa di Papua. Tim Forum Lenteng melakukan pendekatan melalui prinsip pertemanan dalam menjalin komunikasi dengan partisipan. Hal ini dipandang berbeda oleh beberapa partisipan, lantaran tim pelaksana workshop yang pernah mereka ikuti,

23


umumnya, memberikan gratifikasi berupa materi yang memang tidak kami berikan untuk setiap partisipan. Workshop yang dilakukan memang tidak bersifat penuh lantaran hanya berlangsung selama satu bulan. Soal waktu, para partisipan sepakat memulai pelatihan pukul 2 siang hingga 5 sore waktu setempat. Karena tidak memberikan imbalan apa-apa sebagaimana yang dilakukan pada pelatihan workshop dari kelompok-kelompok lain, saya mendapati adanya pola pikir yang kurang tepat dari setiap partisipan. Di akhir workshop Forum Lenteng, saya dan tim meninggalkan “warisan� berupa seperangkat peralatan yang bisa digunakan oleh partisipan di kemudian hari untuk melakukan agenda keberlanjutan kegiatan workshop tersebut, sesuai dengan cara dan kemauan mereka sendiri. Sayangnya, karena kami memang tidak memberikan imbalan materi, beberapa peserta ada yang lantas mengklaim peralatan tersebut menjadi hak milik pribadi. Hal ini menjadi tugas yang berat bagi partisipan pelatihan lain yang ingin mengadakan kegiatan serupa. Selain harus mengubah pola pikir dan memberikan yang terbaik tanpa harus bekerja instan, saya sungguh sangat berharap agar kelompok-kelompok pekerja kreatif (yang berbasis media, filem dan video) berikutnya seharusnya tidak sebatas datang dan mengajar. Namun, bisa meninggalkan kesan yang baik dan terpercaya sehingga kegiatan itu bisa membuahkan hasil. Menyinggung soal instan, hal itu memang asumsi pribadi saya. Tapi kemungkinan besar bisa saja diamini oleh pihak-pihak yang sudah pernah melihat secara langsung kondisi di lapangan. Tim penyelenggara workshop hanya sebagai tangan kedua dalam penyeleggaraan kegiatan ini. Kuncinya ada pada pemilik modal: siapa yang memiliki dana untuk bisa mendatangkan kegiatan ini di bumi Papua. Tanpa pemilik modal ini, saya rasa kegiatan pelatihan hanya omong kosong. Berangkat dari situ, pemilik modal pastilah tidak hanya sekedar ingin megucurkan uangnya, dihamburkan untuk sebuah kegiatan yang tidak jelas juntrungannya. Pemilik modal pastilah sudah memiliki konsep akan bermuara seperti apa seluruh rangkaian kegiatan pelatihan itu sehingga bisa bermanfaat tak hanya bagi kalangan tertentu tapi (mungkin) juga bagi peserta dan pihak terkait lainnya. Menurut saya, keadaan yang seperti inilah yang seharusnya kita lawan—paling tidak, membuat semacam wacana tandingan. Memang terlalu naif jika kita mengatakan bahwa setiap kegiatan itu bertujuan cuma-cuma. Pasti ada kepentingan yang dibawa oleh setiap lembaga. Yang menjadi poin saya adalah, kepentingan yang seperti apa? Standpoint yang bagaimana? Saya pribadi, terlepas dari khilaf dan kelalaian, selalu meniatkan diri untuk menempatkan setiap aktivitas bermedia saya berada di wilayah kepentingan publik. Terkhusus untuk kegiatan workshop di Papua, adalah kepentingan 24


masyarakat lokal setempat. Ini yang menjadi catatan penting bagi kita semua, pekerja media, baik yang menjadi partisipan maupun yang berperan sebagai fasilitator pelatihan, dalam bentuk apa pun.

j

25


26


27


Keaksaraan Media Pangkal Bagi Perbaikan Sistem Pelayanan Kesehatan Manshur Zikri Fasilitator Halaman Papua

Berdasarkan laporan yang tercantum dalam Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014, dari tujuh belas daftar layanan di bidang kesehatan yang dinilai telah melakukan inovasi, hanya lima di antaranya yang berbasis media (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2014). Ini mencerminkan betapa potensi media, sebagai sebuah strategi pengembangan pelayanan publik, khususnya layanan kesehatan, masih luput dari amatan pemerintah. Menurut laporan tersebut, tiga dari lima inovasi itu berasal dari Pulau Sulawesi, yakni Kota Palu, Sulawesi Tengah; Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan; dan Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Sementara itu, dua sisanya berasal dari Kota Cimahi, Jawa Barat, dan Kota Dumai, Riau. Kelima inovasi ini mengembangkan sistem informasi, manajemen pengaduan, dan media promosi kesehatan bagi masyarakat. Sebenarnya, dari tujuh belas inovasi yang tercatat oleh kementerian itu, ada satu inovasi dari Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, yang cukup menarik, yakni memberdayakan komunitas untuk menggalakkan Program ASI. Sayangnya, inovasi ini tidak melibatkan pemberdayaan media (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2014, hal. 19-91). Bercermin pada lima contoh inovasi itu, dapat kita sadari bahwa wacana mengenai media, sebagai alat yang mampu mempengaruhi kebijakan, belum tersebar secara merata di berbagai belahan Indonesia. Terutama Papua yang, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, masih dapat dikategorikan sebagai wilayah yang memiliki persoalan kesehatan paling memprihatinkan. Selain itu, pemerintah masih melihat media sebagai alat yang satu arah (atas 28


ke bawah). Dengan kata lain, media hanya dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan tanpa membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif memproduksi wacananya sendiri dengan menggunakan perspektif kearifan lokal. Sisi Lain Penggunaan Media dari Kaca Mata Penyelenggara Pelayanan Pemanfaatan media dalam melancarkan mekanisme pelayanan kesehatan, umumnya dilakukan pada ruang lingkup pelaksanaan ‘media promosi kesehatan’—yang menganjurkan penggunaan media dua dimensi dan tiga dimensi, baik cetak maupun elektronik, sebagai alat peraga atau komunikasi antara pelaksana pelayanan dan masyarakat. Berdasarkan panduan yang diakses di website PAMSIMAS, ‘media promosi kesehatan’ dilakukan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan untuk “mewujudkan perilaku hidup sehat bagi masyarakat” (Pamsimas: Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat, 2013, hal. 3). Meskipun di dalam panduan tersebut tertera prinsip “bersama masyarakat” (ibid.), penulis menangkap bahwa agenda ini tetap saja menjadi semacam kontrol sosial yang menentukan perilakuperilaku masyarakat sesuai dengan yang diinginkan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan media untuk menyebarluaskan wacana yang disituasikan agar disetujui oleh kelompok sasaran, yang pada kenyataannya seringkali mengabadikan marginalisasi (Ville, 2011). Contoh nyata adalah apa yang penulis alami ketika melakukan observasi di Pulau Karaka, Timika. Ada perdebatan antara penyelenggara/pelaksana pelayanan kesehatan dan warga masyarakat lokal menyangkut pola kehidupan 29


masyarakat di pulau tersebut yang—menurut kaca mata petugas kesehatan— masih jauh dari kata bersih. Padahal, berdasarkan pengakuan warga lokal setempat, kehidupan yang berbaur dengan alam adalah perilaku bersih yang hakiki. Pernyataan dari Ketua Dewan, Bapak Fakundus, menjelaskan bahwa kebiasaan masyarakat setempat yang dianggap tidak bersih itu sesungguhnya sudah berlangsung lama sejak zaman nenek moyang. Namun, akibat ulah perusahaan tambang, alam menjadi tidak bersih. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada dasarnya, bukan pola hidup masyarakat yang salah, melainkan ada faktor-faktor lain yang akhirnya menempatkan perilaku masyarakat setempat menjadi salah. Penelusuran yang penulis lakukan kemudian, mendapati fakta bahwa minimnya fasilitas air bersih dan pelayanan kesehatan mengakibatkan masyarakat lokal di Pulau Karaka harus pulang-pergi mencari air bersih ke luar pulau—yang berarti harus meminta ke pihak perusahaan dengan akses terbatas—bahkan, untuk memeriksakan kesehatan pun, mereka harus ke rumah sakit perusahaan yang jaraknya paling dekat. Keharusan ke luar pulau ini adalah demi menuruti anjuran dan himbauan hidup bersih yang dikampanyekan berdasarkan konsep ‘media promosi kesehatan’, yang diumumkan melalui poster-poster atau penyuluhan-penyuluhan petugas puskesmas. Dampaknya, masyarakat mengubah perilakunya sehari-hari dengan perlahan-lahan mencerabut kebiasaan lokal mereka. Sesungguhnya, apa yang dipromosikan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan adalah baik. Kita dapat meninjau beberapa hasil penelitian yang memaparkan bagaimana kepercayaan lokal, ternyata, di satu sisi juga berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat. Seperti yang terjadi pada Suku Kamoro di Desa Mwapi dan Poumako, kebiasaan lokal yang mengharuskan perempuan pergi mencari makanan ke hutan-hutan dan pantangan-pantangan makanan untuk ibu hamil, menyebabkan si ibu hamil menderita kerusakan fisik dan kekurangan gizi sehingga meningkatkan resiko kematiannya (Alwi, 2011). Angka kematian ibu ini juga dipengaruhi oleh sedikitnya petugas kesehatan yang memberikan pertolongan bagi ibu hamil karena terbentur dengan kepercayaan lokal yang menganggap aktivitas persalinan sepenuhnya urusan perempuan atau dukun desa (Alwi, Ghani, & Delima, 2004). Agenda dari kegiatan ‘media promosi kesehatan’ kemudian dapat dimaklumi untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat tersebut. Namun, pemanfaatan media ini masih berbentuk aksi yang mendikte publik (dan dalam realisasinya, seringkali menempatkan masyarakat sebagai pihak yang harus di-ajar-ajari karena ketidaktahuan mereka). Cara seperti ini jauh dari bentuk komunikasi dwicakap. Walaupun pihak penyelenggara pelayanan kesehatan telah mengembangkan manajemen sistem pengaduan (yang membuka kesempatan publik untuk menyampaikan aspirasinya kepada 30


penyelenggara pelayanan kesehatan), masih terdapat kepercayaan di publik bahwa pengaduan tersebut tidak akan ditindaklanjuti, dan kepercayaan itu dipicu oleh “lemahnya kondisi aktual elemen manajemen komplain yang dimiliki oleh instansi penyelenggara pelayanan” (Direktorat Aparatur Negara, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010, hal. 6). Alih-alih, pemanfaatan media pun berhenti pada kampanye-kampanye demi kelancaran program kesehatan dari pihak penyelenggara. Kembali bercermin pada pengalaman penulis di Pulau Karaka, situasi ini akhirnya mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pemanfaatan media justru memantapkan kepentingan-kepentingan korporat—yang, karena dilatarbelakangi berbagai alasan, menggalang kerjasama dengan pemerintah untuk melaksanakan program-program corporate social responsibility (CSR). Bukannya mencerdaskan masyarakat tentang sistem kesehatan yang dibelenggu oleh lingkaran elit, komunikasi antara penyelenggara kesehatan dan masyarakat melalui ‘media promosi kesehatan’ yang seperti ini berdampak pada perubahan perilaku masyarakat yang tidak dibarengi dengan kesadaran akan praktek eksploitasi dan marginalisasi, baik terhadap manusia maupun alamnya. Bayangan Ideal Mengenai Pemberdayaan Media untuk Kesehatan Ann Houston Staples, mengutip National Cancer Institute, memaparkan bahwa, dari segi definisi, media advocacy adalah “penggunaan strategis dari media massa untuk meningkatkan inisiatif kebijakan publik atau sosial” (Staples, 2009, hal. 175), tetapi dari segi praktsinya, media advocacy adalah “aksi yang secara strategis menggerakkan minat masyarakat terhadap sebuah masalah dan solusi-solusinya” (ibid.). Ada pakar yang lebih menekankan ke-taktis-an penyelenggara pelayanan atau lembaga-lembaga swadaya dalam membingkai isu kesehatan di masyarakat guna menarik perhatian pemangku kebijakan (lihat contohnya pada Brunner, Fowlie, & Freestone, 2011). Yang sering luput dari pemahaman kita biasanya adalah keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri. Dengan kata lain, harus ada penekanan yang jelas dan tegas terkait aksi-aksi advokasi yang diinisiasi oleh warga biasa. Sebab, itu merupakan faktor yang juga penting untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang menyangkut kebutuhan masyarakat umum. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Pasal 18 dan Pasal 19: masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mengawasi dan berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pelayanan publik (yang dalam pembahasan ini, fokusnya adalah kesehatan). Berangkat dari def inisi yang penulis kutip di atas, ide yang akan digagas dalam esai ini ialah peran serta masyarakat dalam memproduksi 31


wacana terkait isu kesehatan berdasarkan sudut pandang dan kepentingannya sebagai warga lokal, dengan menggunakan media. Ide ini digagas sebagai tandingan (counter discourse) bagi wacana yang diproduksi oleh pemerintah/ negara dan korporasi (atau lingkungan elit kekuasaan lainnya, termasuk konglomerasi media) dan menghindari potensi marginalisasi terhadap kelompok rentan dan lingkungan/wilayah tertentu. Tujuan yang ingin dicapai ialah terbukanya ruang diskusi dengan seluas-luasnya antara penyelenggara kesehatan dan masyarakat; advokasi melalui media tidak lagi bersifat satu arah (berbentuk diktum atau keputusan dari atas ke bawah), melainkan lebih berbentuk ruang dialog yang tidak mengabaikan aspek-aspek kearifan lokal. Selain itu, melipatgandakan proporsi keterlibatan aktif masyarakat ini juga bermaksud untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap mekanisme sistem pelayanan kesehatan secara mendalam melalui pendekatan empirik. Sasarannya tidak hanya pemangku kebijakan, tetapi juga masyarakat umum itu sendiri: masukan dari masyarakat untuk masyarakat. Media Komunitas sebagai Kontrol Sosial Baru Adanya fenomena konglomerasi media dalam perkembangan wacana media kontemporer di Indonesia menyebabkan banyaknya isu-isu yang tidak terangkat oleh media massa arus utama.1 Apa yang seharusnya penting bagi warga, sesuai konteks ruang/wilayah lokalnya, dengan sengaja dipilah-pilah berdasarkan kepentingan agenda setting media massa yang bersangkutan—dan umumnya, agenda ini lebih berpihak kepada kelompok elit dan penguasa (akumassa, 2013, hal. 4-19). Menanggapi situasi ini, masyarakat seharusnya didorong untuk lebih aktif mengelola informasi yang mengutamakan nilai-nilai manfaat bagi mereka sendiri, apalagi di era sekarang yang telah memudahkan akses teknologi informasi dan komunikasi (ibid., hal. 21). Apabila kontrol sosial oleh media massa arus utama tidak lagi relevan karena dipengaruhi oleh kepentingan elit, media komunitas diajukan sebagai alternatif karena bersifat khusus untuk ruang lingkup masyarakat tertentu—yang artinya akan mengedepankan kepentingan di wilayah lokalnya—dan mendorong terjadinya saling tukar pengalaman dan gagasan, serta disajikan dalam cita rasa seni yang dapat dipahami oleh anggota kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya— karena diproduksi oleh masyarakat lokalnya itu sendiri (Hoffman, 1988). Prinsip dasar dari media komunitas adalah literasi media. Kata ‘literasi’ harus dimaknasi sebagai ‘keaksaraan’ (atau ‘melek’) yang tidak hanya menuntut kritisisme masyarakat terhadap produk informasi dari media massa arus utama, (1)  Perlu dicermati, selain media massa nasional, faktanya media massa arus utama juga mencakup ranah lokal dengan wajah ke-lokal-an tapi tetap membawa kepentingan-kepentingan yang terpusat dan mengabaikan apa yang harusnya penting bagi lokalitas itu sendiri. 32


tetapi juga berhubungan dengan kepiawaian mereka dalam mendayagunakan teknologi media yang ada untuk menghasilkan produk informasi/pengetahuan secara baru (bukan mereproduksi informasi/pengetahuan yang sudah ada). Dengan kata lain, melalui kerja-kerja berbasis literasi media, masyarakat melakukan tafsir (sebagai perangkat dari proses dekonstruksi) terhadap wacana dominan, lalu mengemas hasil tafsiran itu ke dalam media yang mereka kelola sendiri, baik dalam bentuk tulisan (text), gambar (image), suara (audio) maupun audiovisual (video), dan didistribusikan juga secara mandiri. Dengan memanfaatkan teknologi internet, distribusi informasi/ pengetahuan itu dapat menyasar khalayak yang lebih luas dan menghimpun kepedulian yang lebih masif sifatnya, lintas gagasan dan pengalaman lokal. Pada prakteknya, prinsip literasi media ini direalisasikan menggunakan pendekatan jurnalisme warga. Sebagai jurnalis warga, anggota masyarakat yang terlibat memproduksi informasi memiliki kuasa yang penuh terhadap data yang mereka dapatkan di lapangan sehingga tidak terbebani oleh tekanan redaktur (atau bos pemilik media). Produksi informasi pun dapat dilakukan dengan bebas, menggunakan kode-kode atau bahasa yang sifatnya lokal, namun [tentunya] tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah dan etika jurnalistik. Media komunitas dapat menjadi kontrol sosial baru karena subyek yang melakukannya adalah warga masyarakat secara langsung. Berbeda dengan kerja pelaku media massa umumnya yang berjarak dengan subyek dan persoalan yang diangkat. Ketika media massa arus utama menggalakkan jargon ‘netralitas’—tetapi sangat bertolak belakang di dalam prakteknya dan sering terjebak pada kedangkalan perspektif—media komunitas hadir dengan standpoint yang jelas untuk memihak kepada kepentingan masyarakat di wilayah lokalnya. Media komunitas tidak hanya menyoroti bagaimana suatu kebijakan dijalankan oleh pemerintah, tetapi juga bagaimana kebijakan itu diwacanakan oleh media massa arus utama dan ditanggapi oleh publik. Oleh sebab itu, para jurnalis warga pada akhirnya akan melakukan klarifikasi demi klarifikasi dengan membandingkan anggaran kebijakan, realisasi di lapangan, dan pemberitaan media, dengan pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Cita-cita akan sistem informasi dan komunikasi pada sektor pelayanan publik, khususnya kesehatan, tak cuma dibangun oleh penyelenggara kesehatan, tetapi juga oleh masyarakatnya. Media Center dalam kemasan media komunitas memiliki peluang untuk mendokumentasikan sekaligus mengolah dokumentasi-dokumentasi yang ada menjadi pengetahuan versi warga. Output yang mereka hasilkan akan menjadi ref leksi dan masukanmasukan yang bermanfaat, baik bagi lingkungan masyarakat umum maupun bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, untuk merumuskan solusi-solusi baru atas masalah yang ada. Sebab, informasi/pengetahuan yang dihasilkan berangkat langsung dari apa yang terjadi di lapangan tanpa rekayasa atau 33


manipulasi dari kelompok-kelompok kepentingan (baik yang sifatnya politis maupun bisnis). Teknologi Video sebagai Medium Paling Ampuh Rendahnya tingkat melek huruf di masyarakat Papua menjadi kendala utama dalam kegiatan-kegiatan advokasi berbasis teks. Video menjadi salah satu alternatif utama karena kekuatan audiovisual yang dimilikinya. Di Papua, perangkat mobile berteknologi kamera sederhana bukanlah barang langka. Ini menjadi salah satu peluang yang perlu dimanfaatkan untuk menggalakkan gerakan literasi media dengan menggunakan medium video. Dengan video, seseorang dapat merekam setiap kejadian, baik langsung maupun tak langsung, sesuai kenyataan atau fakta-fakta di lapangan. Ilustrasi yang dipaparkan melalui medium audiovisual memiliki efek yang kuat, sebagaimana terbukti dalam penelitian empiris, bahwa penggunaan medium audiovisual memiliki pengaruh yang signifikan bagi peningkatan minat belajar (Windaviv, 2014). Yang menarik, ketika kegiatan produksi oleh media komunitas ini menghasilkan karya video yang mengangkat isu kesehatan dengan memanfaatkan kode-kode atau bahasa-bahasa lokal tersebut, itu akan memiliki nilai kedekatan yang lebih tinggi bagi publik yang menontonnya (yang merupakan bagian dari lingkungan lokal itu). Sebab, dari aspek teori kognitif, persepsi individu akan “melibatkan proses mental” dan individu tersebut akan “membandingkan apa yang mereka lihat sesuai dengan kenangan-kenangan yang mereka miliki untuk memberikan tafsir dan analisis” (Loubere, nd, hal. 5). Pada situasi yang demikian, masyarakat akan secara terus-menerus melakukan ref leksi, dan berujung pada proses otokritik guna membangun gagasan baru untuk menuju solusi yang baru pula. Memberdayakan video dalam aksi media komunitas juga sebagai agenda untuk melawan wacana dominan televisi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh George Gerbner, “televisi merupakan sumber ‘dongeng’ [storytelling] yang terpusat…menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari… dan program-programnya menyajikan gambaran dan pesan-pesan umum yang relatif masuk akal” (Gerbner, 1986, hal. 18). Namun, dalam Science on Television: How It Affects Public Conception (Gerbner, 1987), dia menjelaskan bahwa program-program acara televisi terebut mendorong konsepsi publik ke pemahaman yang seringkali bertolak belakang dengan fakta-fakta empiris. 2 Dengan kata lain, wacana televisi itu membodohkan masyarkat, selain juga

(2)  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengaruh kepemilikan dan latarbelakang pengakumulasian modal menyebabkan media massa arus utama (stasiun televisi swasta) lebih mementingkan rating ketimbang isi yang berbobot. 34


terlalu memanjakan mata kita dengan mimpi-mimpi semu melalui kemasan entertainmen. Oleh sebab itu, untuk melawan dominasi televisi tersebut, dan sebagai bagian dari rangka pemberdayaan komunitas, produksi gagasan dalam informasi/pengetahuan melalui media komunitas tersebut harus dilakukan dengan metode sharing (saling berbagi)—di mana pengalaman-pengalaman lokal akan jauh lebih otentik dibandingkan dengan ide-ide besar yang tersentralisasi pada lingkungan elit/penguasa—dengan menjadikan pengalaman subyek sebagai sumber referensi utama. Karya video yang dihasilkan pun lebih berpeluang untuk menggunakan gaya tutur yang berbeda dengan gaya advokasi di televisi. Bahasa visual menjadi aspek utama karena merangsang publik untuk lebih berimajinasi, dan dengan demikian kritik sosial terhadap masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh masyarkat lokal tersebut dapat disampaikan secara subtil dan dikemas dengan sublim. Distribusinya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Menurut amatan penulis ketika meneliti di Papua, fasilitas pelayanan kesehatan semacam puskesmas, sudah banyak yang dilengkapi dengan televisi. Maka, alangkah sebuah aksi yang jitu jika komunitas-komunitas yang aktif mengelola media sendiri itu mampu bernegosiasi untuk menayangkan produk pengetahuan mereka di kotak-kotak siar yang ada di dalam puskesmas—mengganti tontonan masyarakat (pasien) menjadi lebih baik—selain menyelenggarakan acara-acara penayangan karya untuk menyebarluaskan ide-ide tersebut. Aksi Distribusi Informasi/Pengetahuan Melalui Kerja Berjejaring dan Media Sosial Ketika komunitas telah memiliki perangkat media yang mereka kelola sendiri, aktivitas melalui kerja berjejaring (dengan komunitas lain) merupakan langkah lanjut yang penting. Pesebaran ide melalui media akan lebih signifikan ketika komunitas mampu membangun jaringan kerja yang lebih luas. Hal ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh para konglomerat media. Mereka membangun jaringan politik dan bisnis guna mempertahankan status quo. Bagi komunitas, jejaring aksi dibutuhkan untuk menghimpun aspirasi yang lebih besar untuk mengembangkan wacana yang sedang mereka bangun. Jaringan tersebut bisa bermacam-macam. Berfokus pada ruang lingkup sosial-budaya di Papua, kerja komunitas ini harus dikembangkan bersamasama melalui dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti lembaga adat, lembaga keagamaan, sesama komunitas, atau bahkan lembaga-lembaga pemerintahan. Oleh sebab itu, merupakan suatu kewajiban bagi sebuah komunitas lokal untuk membangun kerjasama dengan puskesmas-puskesmas dan dinas kesehatan guna mendistribusikan karya-karya berbasis media milik mereka. 35


Social Networking (penggunaan media sosial) juga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan jaringan lintas wilayah yang lebih luas. Selain itu, bukti-bukti menunjukkan bahwa “ jaringan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan sosio-ekonomis masyarakat� (Lachapelle, 2011, hal. 1). Hal ini karena, sebagaimana penjelasan Lachapelle, lima alasan, yakni (1) media sosial merupakan kanal yang hampir dapat diakses oleh semua orang secara merata sehingga warga masyarakat bisa berpromosi secara aktif dalam bentuk partisipasi yang beragam; (2) melalui media sosial, komunitas tersebut dapat tetap terlibat aktif dalam perkembangan isu-isu eksternal di bidang kesehatan yang berhubungan dengan persoalan lokal mereka; (3) media sosial dan jejaring sosial dapat meningkatkan kapasitas komunitas, baik kualitas kepemimpinan maupun kuantitas anggota melalui adanya pembagian kekuasaan jaringan; (4) penyebaran informasi dan dialog-dialog secara luas melalui media sosial akan menunjang keberlanjutan program dan ide-ide yang dimaksud; dan (5) penggunaan media sosial itu mendukung prinsip good governance dan demokrasi karena memungkin partisipasi yang lebih luas di bidang kesehatan, mempromosikan efektivitas dan efisiensi dalam proses dan hasil, mempromosikan akuntabilitas dan transparansi serta keadilan dan kesetaraan. Mengingat pentingnya peran media sosial tersebut, pengelolaan media komunitas yang menggunakan teks (tulisan), gambar (image), suara (audio) dan audiovisual (video) tersebut pun dapat dikembangkan melalui teknologi berbasis website atau webblog. Selain sebagai kanal informasi, pemberdayaan media berbasis online tersebut akan membantu aktivitas pengarsipan dan memudahkan subyek-subyek untuk meluaskan cakupan kerja mereka ke ranah-ranah jejaring sosial semacam facebook, instagram dan twitter yang memiliki populasi lebih banyak. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang panjang ini, dapat kita menyimpulkan bahwa aksi-aksi inovatif untuk menanggulangi masalah kesehatan dan pelayanan kesehatan harus direalisasikan melalui kerja komunitas yang kolaboratif dan partisipatif, dengan memanfaatkan media. Ini menjadi penting karena media memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengangkat dan membangun wacana-wacana alternatif yang mengedepankan kearifan lokal. Sistem pelayanan kesehatan berbasis media seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Selain untuk menghindari potensi penyimpangan dan pengukuhan praktek eksploitasi dan marginalisasi, masyarakat didorong membangun sistem bermedia-nya sendiri agar dapat melihat dan memahami masalah secara lebih mendalam, secara langsung, sehingga tercipta suatu ruang dialog yang menekankan kesetaraan. Teknologi 36


video dan media sosial merupakan pilihan yang paling tepat dalam konteks sekarang ini mengingat perkembangannya yang semakin massal dan menyentuh setiap lapisan masyarakat. Akhir kata, keaksaraan terhadap media adalah pangkal dari keaksaraan terhadap sistem pelayanan kesehatan.

j Referensi akumassa. (2013). Kajian Terhadap Sajian Informasi Media Massa Lokal Melalui Lima Kategori Isu (Good Governance, Hak Asasi Manusia, Perempuan dan/atau Anak, Kriminalitas, dan Lingkungan Hidup) dari Perspektif akumassa. Jakarta: AKUMASSA - Forum Lenteng. Alwi, Q. (2011, April). Aktivitas Sehari-hari, Pola Makan dan Perilaku Pencarian Pengobatan Ibu Hamil dan Nifas Suku Kamoro, Papua. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 1(2), 73 - 83. Alwi, Q., Ghani, L., & Delima. (2004). Budaya persalinan Suku Amungme dan Suku Kamoro, Papua. Universa Medicina, 23(4), 115- 156 . Brunner, W., Fowlie, K., & Freestone, J. (2011, Maret). Using Media to Advance Public Health Agendas. (Contra Costa Health Service) Dipetik Juli 6, 2014, dari California Department of Public Health: http://www.cdph.ca.gov/ programs/cclho/Documents/UsingMediaToAdvancePHAgendas.pdf Direktorat Aparatur Negara, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. (2010). Laporan Kajian: Manajemen Pengaduan Masyarakat Dalam Pelayanan Publik. Dipetik Juli 6, 2014, dari http://www.bappenas. go.id/ Gerbner, G. ( 1987). Science on Television: How it Affects Public Conceptions. Issues in Science and Technology, Spring, 109 - 115. Gerbner, G. (1986). Living With Television: The Dynamics of the Cultivation Process. Dalam J. B. Zillmann, Perspectives on Media Effects (hal. 17 40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Hoffman, R. (1988). Media Murah Oleh Rakyat, Bukan Untuk Rakyat. Dalam M. Oepen, Media Rakyat: Komunikasi Pengembangan Masyarakat (hal. 44-52). Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. 37


Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2014). Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Lachapelle, P. (2011). The Use of Social Networking in Community Development. CD Practice: Promoting Principles of Good Practice, Spring(17). Loubere, P. (t.thn.). Six Theories of Visual Communication. Dipetik Juli 7, 2014, dari Middle Tennessee State University Web site: http://mtsujournalism. org/vcom_materials/design/vcom.6_theories.pdf Pamsimas: Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat. (2013, Agustus 28). Pedum & Strategi CLTS. Dipetik Juli 7, 2014, dari Pamsimas Web site: http://new.pamsimas.org/ Staples, A. H. (2009, April/Maret). Media Advocacy:A Powerful Tool for Policy Change. NC Med J, 70(2), 175 - 178. Ville, A. Z.-D. (2011). The Magic of Social Control: governmental media control and deviantisation. Dipetik Juli 6, 2014, dari Academia.edu share research: https://www.academia.edu/1444893/The_Magic_of_ Social_Control_governmental_media_control_and_deviantisation Windaviv, S. (2014). Pengaruh Penggunaan Medium Audio Visual Untuk Meningkatkan Minat Belajar Anak di Kelompok B TK Perwanida Rejoso Nganjuk. PAUD Teratai: Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Usia Dini, 3(1), 1-6.

38


39


Sinema Papua yang Sedang Bergerak Mahardika Yudha Fasilitator Halaman Papua

Pukul 7 pagi. Matahari tertutup oleh kabut. Begitupun dengan bukit Pikhe yang berada di belakang biara Paroki Pikhe yang biasanya menyapa saya tiap siang, kali ini ia bersembunyi di balik kabut yang memotong jarak pandang saya hanya 10 meter ke depan. Suara gemuruh datang dari arah Barat. Tak lama berselang, badan pesawat muncul dari balik awan. Tubuh besar berwarna hijau tua. Pesawat Hercules sebentar lagi mendarat. Entah dari Jayapura, Merauke, Biak, atau dari wilayah Papua atau Papua Barat lainnya. ‘Kabut ini akan menutupi Lembah Balim mungkin sekitar 3 jam ke depan,’ ujar hati saya. Sebentar lagi, lembah indah yang kaya akan tradisi bahasa gambar dan bebunyian yang membuat takjub para misionaris Belanda ketika pertama melihatnya itu akan terlihat. Tidak hanya terlihat di mata saya, tetapi juga di lensa kamera mereka. I Para partisipan malu-malu ketika menggunakan kamera di lapangan. Mereka belum terbiasa ‘menenteng’ kamera di jalanan dan memberikan semacam pernyataan bahwa mereka sedang membuat filem. Begitupun dengan masyarakat yang hadir di lokasi ketika itu. Mereka merasa terusik dengan kehadiran kamera atau mungkin sebenarnya mereka merasa terusik dengan trauma pemberitaan media. Namun, lama-kelamaan situasi menjadi cair. Apalagi mereka mulai mengenali sosok yang berada di balik kamera, si warga setempat yang juga tetangga, saudara sesuku, ataupun kawan mereka. Dengan ‘polanya sendiri’, si warga setempat ini meloncat ke sana ke mari membawa kameranya. Saya tertegun memperhatikan kawan baru saya ini. Pola pengambilan gambar ini hanya bisa dipahami dan dimiliki oleh mereka, si warga setempat. Saya mencoba memegang kamera sendiri. Mencoba untuk mempraktekkan apa yang sudah saya amati lalu menghafal jalur dan arah si subyek di dalam beraktifitas. Ternyata sial. Meleset sama sekali. Pengalaman hidup selama satu bulan tidak membuahkan hasil. Transfer pengetahuan dari warga setempat kepada saya tidak berhasil. Apakah mungkin harus lebih 40


lama lagi saya tinggal dan beradaptasi bersama mereka untuk mendapatkan ‘pola’ itu? Atau karena stigma media massa tentang masyarakat Papua terlalu kuat melekat di dalam kepala saya sehingga masih ada batas-batas yang menghantui saya dalam mengambil gambar. Mengapa demikian? Dalam membuat filem, saya tak pernah bisa dapat segera membuka lensa kamera ketika berada di satu lokasi. Butuh beberapa lama untuk beradaptasi dan menemukan ‘titik mati’ sudut pandang yang intim, yang mampu mengakomodir perspektif ideologis saya di dalam kamera atau setidaknya, untuk mereduksi jarak antara saya dengan si subyek seperti yang dilakukan tanpa sadar oleh warga setempat itu. Atau sekalian saja memperlihatkan sudut pandang saya sebagai ‘orang luar’ yang memiliki jarak dengan subyek. Atau pilihan ketiga, jangan pegang kamera dan biarkanlah kamera itu dipegang oleh mereka sendiri. Ketiga pilihan ini layak dicoba untuk melihat dampak dari rekaman-rekaman yang dihasilkan. Namun kali ini, pilihan kedua saya hindari karena sudah tidak ada lagi tantangan dalam membuat filem. Apalagi saya akan menetap agak lama di Papua. Saya pun memilih ketegangan di antara pilihan pertama dan ketiga. Dua pola ini akan saling bertarung, mulai dari breakdown ide, eksekusi, hingga berada di meja editing. Negosiasi bangunan filem akan menghasilkan percampuran sudut pandang. Apalagi nanti saya akan lebih banyak bekerja sebagai editor (lebih tepatnya penyelesai hal teknis) dan si warga setempat sebagai perekam gambar. II Di pertengahan pelatihan, kisaran akhir Februari 2014, salah seorang partisipan pelatihan di Sentani, Thomas Waisima memperlihatkan hasil rekamannya pada saya. Ketika itu, saya memberikan kamera saku foto yang dapat merekam video dengan besar maksimal dimensi 1280 x 720 kepadanya untuk merekam keseharian di sekitar rumahnya di Genyem. Ada dua subyek yang menarik perhatian saya. Pertama, adegan ketika ibunya membuat kue 41


bagea (sagu bakar). Thomas tahu betul dimana titik mati posisi kamera agar mendapatkan satu shot utuh proses memasak ibunya. Di luar perkiraan saya –Thomas baru kali ini menggunakan kamera, yang awalnya saya pikir ia akan sering meng-cut gambar menjadi beberapa bagian atau melakukan zoom in dan zoom out seperti kebanyakan orang yang baru pertama kali bersentuhan dengan kamera, rekaman Thomas justru tampil elegan. Ia diam tidak bicara. Tak banyak pergerakan kamera. Kamera dibiarkan statis dengan bingkai medium shot mengikuti pergerakan ibunya dari pembakaran hingga mengambil kue bagea yang sudah matang ke meja saji. Kedua, adegan di kali biru tempatnya bermain ‘loncat indah’ di sungai bersama kawan-kawannya. Ia menaruh kamera statis persis di belakang orang yang akan meloncat ke sungai atau dalam posisi berhadapan dengan si peloncat. Ia terus merekam berulang-ulang orang yang meloncat dengan posisi kamera yang sama. Sama sekali ia tidak tergoda untuk mengeksplorasi berbagai macam sudut pandang. Awalnya saya pikir, mungkin ia tidak tahu atau malu, tetapi kalau melihat dari cairnya interaksi antara si subyek dengannya (juga dengan penonton), keputusan Thomas ini justru memperlihatkan bagaimana ia tahu betul posisi kamera dan sudut pandang yang intim bagi penonton. Entahlah, apakah ini kebetulan atau tidak, saya belum dapat simpulkan. Menjelang akhir pelatihan, salah satu fasilitator, Gelar Agryano Soemantri memberikan kepada saya draft editing untuk filem Si Pendamping yang separuh dari filem itu menggunakan rekaman yang diambil sendiri oleh Stephanus Abraw tentang isterinya yang sedang hamil. Stephanus, salah seorang partisipan pelatihan Sentani, mengajak isterinya berjalan kaki sebagai salah satu metode untuk mempermudah proses kelahirannya nanti. Ia mengikuti dari belakang dan samping perjalanan isterinya menuju ke rumah. Ketika sampai di rumah, dengan intim, Stephanus merekam isterinya mempersiapkan makanan papeda hingga isterinya melahap makan siangnya itu. Interaksi yang intim antara sang isteri dengan Stephanus (kamera dan juga penonton) telah menghancurkan batas kehadiran medium pada rekaman itu. Kejutan lain hadir di pagi hari jelang pemutaran publik pada 11 Maret 2014, Stephanus membawa rekaman yang akan dijadikan penutup filem, sang anak yang baru saja lahir. Stephanus menaruh kamera dalam jarak tertentu untuk merekam kehadiran dirinya bersama isteri dan anaknya. Apakah ini kebetulan? Ketika saya kembali lagi ke Sentani pada 15 Mei 2014 lalu, saya kembali disodorkan olehnya sebuah rekaman perayaan malam paskah di daerah tempat tinggalnya. Sebuah pawai semalaman suntuk yang diikuti oleh ribuan warga. Tak ada kecanggungan sama sekali dalam hasil rekaman itu. Ia terasa bebas merekam dari berbagai sudut. Bahkan masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang sedang berjalan keliling kota hingga pagi tiba. Pengalaman menonton seperti ini juga saya temui ketika menonton hasil workshop akumassa di Cirebon tahun 2009 yang lalu. Dalam video 42


Negosiasi Atas Air dan Teman Nelayan, video sebagai katalisator menghilang. Penonton seakan-akan dibawa ke ruang nyata tempat peristiwa berlangsung. Ataupun video Tepian Kali Ciujung hasil workshop akumassa di Lebak. Masyarakat mencuci pakaian di atas bambu-bambu di sungai Ciujung tidak merasa terintervensi oleh kehadiran kamera di situ. Begitupun dengan penonton yang tidak terintervensi oleh kesadaran kehadiran kamera sebagai alat perekamnya. Si pencuci baju seakan-akan melihat ‘tubuh manusia’ pada kamera yang berada di hadapannya. III Teknologi sinema hadir di Papua sejak tahun 20an melalui kolonial Belanda yang merekam situasi masyarakat Papua.1 Entah sejak kapan bioskop mulai bermunculan di Papua. Di Wamena sendiri, sejak tahun 80an telah dibangun tiga buah bioskop yang memutar filem-filem Indonesia, India, dan Cina. 2 Melalui perjalanan udara, filem-filem seluloid hadir di Wamena. Sedang untuk produksi filem oleh masyarakat Papua sendiri baru tercium setelah reformasi 1998. Sebelumnya, banyak filem tentang masyarakat Papua yang dibuat oleh sutradara dari luar Papua. Berkah dari teknologi digital adalah kemungkinkan bagi teknologi ini hadir dimana pun dan dapat digunakan oleh siapa pun. Di Papua sendiri, masyarakat sudah terbiasa dengan kamera telepon genggam dan kamera digital. Begitupun dengan distribusi melalui internet. Perkembangan teknologi media komunikasi dan informasi sudah merambah hingga negeri yang jauh dari hingar bingar pusat sekalipun. Ditambah, pergeseran geo-politik dan geo-ekonomi global telah mengalihkan perhatian dari pusat ke ‘pinggiran’. Salah satu fenomena yang muncul dari situasi ini adalah filem-filem MOB Papua-Epen Kah, Cupen Toh dan Papuan Voice yang mulai dibicarakan sejak tahun 2009 lalu. Dengan gayanya ‘sendiri’ dalam membuat filem, ‘estetika ideal’ seperti yang selama ini ditampilkan oleh industri televisi dan filem Indonesia seakan diabaikan oleh filem-filem MOB Papua-Epen Kah, Cupen Toh yang dibuat oleh anak-anak muda dari Merauke. Tak ada gambar ‘cantik’ keindahan alam Papua, yang justru ditampilkan adalah keseharian dan kehidupan kota. Mereka tidak segan-segan membuat filem di pinggir jalan dengan suara kendaraan yang melengking saat pengambilan gambar. ‘Kecuekan estetik a la kadarnya’ di dalam filem-filem mereka justru menjadi semacam pernyataan yang membedakannya dengan filem-filem yang diproduksi oleh kota-kota lain di Indonesia yang memiliki akses teknologi lebih baik dari mereka. Satu dari sedikit pembuat filem dari Papua yang muncul dan dikenal adalah Patricio yang bekerja di Yayasan Teratai Hati Papua. Sutradara ini sangat rajin menenteng kamera untuk merekam peristiwa sosial-politik di Wamena. Pertemuan saya pertama kali dengannya ketika saya mengunjungi 43


Rumah Bina yang menjadi tempat pelatihan Media Sehat untuk Papua di Wamena. Ketika itu, ia baru akan mengambil gambar demonstrasi warga atas keputusan hasil pemilihan anggota legislatif yang dianggap warga tidak adil. Suara di lapangan seorang calon anggota legislatif pilihan warga itu memperoleh banyak suara, namun ketika sampai ke pusat (Jayapura), perolehan suaranya tidak ada sama sekali. Kemarahan warga itu akhirnya berbuntut pada penghilangan kayu-kayu pada jembatan besi di sungai sebesar Cisadane. Selain Patricio, masih ada beberapa nama sutradara dari Papua seperti Frengky (FX Making), Albert Pu’u, Nico Tunjanan, Bernard Koten, Urbanus Kiaf, dan Wensislaus Patubun. Sutradara-sutradara muda inilah yang telah memberikan warna dan perspektif lain dalam melihat persoalan hak asasi manusia di Papua. IV Begitu banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang muncul sebelum saya berangkat ke Papua. Apakah saya akan siap melihat kekontrasan antara kekayaan alam yang berlimpah namun kehidupan sehari-hari masyarakatnya yang masih di bawah taraf kehidupan layak, apakah saya mampu berpandangan obyektif dan mengendalikan perspektif tangkapan kenyataan ketika melihat persoalan di masyarakat, apakah saya akan terseret oleh eksotisme keindahan alam Papua seperti yang banyak ditampilkan di televisi dan filem-filem petualangan sejak tahun 20an hingga hari ini, apakah saya akan ‘berkoar-koar’ dan menjadikan masyarakat sebagai korban baru dari filem advokasi saya, dan pertanyaan yang paling besar adalah apakah saya mampu mengajak kawankawan di Papua untuk membuat video, filem, pusat data dan dokumentasi, media center, serta meyakinkan mereka bahwa pendidikan dan pemanfaatan media (apapun bentuk medium, cara presentasi dan pendistribusiannya) akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan mereka di hari ini dan esok hari. Apakah saya bisa meyakinkan mereka bahwa perubahan semua itu hanya bisa dilakukan oleh mereka sendiri. Keraguan ini muncul akibat stigma-stigma negatif yang terlanjur terbentuk di kepala saya oleh pemberitaan media. Stigma-stigma yang terus bergentayangan ketika saya mengunjungi Papua. Dan terakhir, mungkin juga saya tidak diperlukan untuk semua itu karena pada akhirnya, mereka sendirilah yang menentukan. Tak bisa saya pungkiri bahwa kemarahan dan kekecewaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat Indonesia sudah terlalu mengkristal. Ketika saya bertanya kepada kawan-kawan di sana, apakah mereka mau merdeka atau tetap berada di wilayah Republik Indonesia, mereka menjawab, “Yang kami inginkan adalah kemakmuran, kedamaian dan ketenangan hidup…” Saya pikir, pernyataan ini adalah hal paling mendasar bagi keinginan manusia di seluruh dunia. Tak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang mau 44


hidup dalam ketakutan. Pernyataan ini adalah sesuatu yang wajar dan tak berlebihan. Masyarakat Papua layak dan harus mendapatkan semua itu. Ketika pesawat hendak mendarat, di kisaran pukul 6 pagi pada tanggal 20 Februari 2014 lalu saya begitu terpana dengan keindahan alam Papua. Pemandangan alam yang hijau dan menghipnotis saya tentang sebuah pulau yang kaya raya. Namun ketakjuban itu segera sirna tatkala saya teringat dengan isu yang akan diangkat di dalam pelatihan ini tentang HIV/AIDS, TBC, kesehatan ibu dan anak, serta isu-isu kesehatan dan kemanusiaan lainnya. Sebegitu gawatnya kah Papua ini? Saya tertegun dan bersiap diri untuk melihat pemandangan yang mungkin jauh lebih buruk dari apa yang saya bayangkan. Sebuah situasi sosial yang akan memicu pertanyaan dan kekhawatiran lebih banyak di dalam kepala saya. Lalu bagaimanakah saya harus menyikapinya? Di Sentani, Kabupaten Jayapura, atau di Waena, Kota Jayapura, mungkin keadaan yang buruk dari apa yang saya bayangkan tidak terlalu terlihat. Namun satu hal yang pasti atas kesan pertama yang saya peroleh ketika menginjakkan kaki di tanah surga ini adalah ekspresi wajah-wajah yang tertekan. Seperti ada sesuatu kegelisahan dan kekhawatiran yang besar yang hadir dalam kehidupan mereka atau bahkan mungkin, karena sudah terlalu sering dan besarnya tekanan itu sehingga dari raut wajah mereka terlihat seperti ‘sebuah bangsa yang sedang dicerabut dari akarnya’. Tanpa ada perlawanan walaupun ‘ada yang melawan’. Saya tidak berani meneruskan spekulasi itu. Begitu pun dengan kekhawatiran yang berlebihan, termasuk asumsi tidak selesainya transfer pengetahuan modernisasi di masyarakat Papua. Lebih baik saya melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa dikembangkan oleh negeri ini ketimbang harus berhadapan dengan situasi yang tidak pasti. Termasuk pada kemungkinan lahirnya bahasa sinema Papua. Saya lalu teringat dengan dialog perseteruan antara sutradara dokumenter kenamaan Prancis, Jean-Rouch dengan sutradara Senegal, Ousmane Sembene: Jean Rouch, Saya ingin kamu jujur mengatakan kepada saya, mengapa kamu tidak menyukai f ilem-f ilem etnograf is saya, sebuah f ilem yang memperlihatkan pada kita, misalnya, kehidupan tradisional? Ousmane Sembène, Karena kamu telah memperlihatkannya, kamu setuju dengan kenyataan ‘tanpa melihat’ perubahannya (evolusi). Apa yang saya dan juga aktivis-aktivis Afrika tidak suka dari filemmu adalah bahwa filemmu telah memperlihatkan kami ini seolah-olah serangga.3 Terus terang saja dialog ini sangat mengganggu selama saya di Papua. Apalagi saat hendak membuka lensa kamera. Saya khawatir apa yang dinyatakan oleh Ousmane Sembène akan benar-benar terjadi pada diri saya. Sejak saya dan kawan-kawan dari Forum Lenteng datang ke Papua, hal seperti inilah yang kami jaga. Kami berusaha semaksimal mungkin 45


untuk menghindarinya. Karena hal itu sulit sekali. Jangankan kami yang baru datang, filem-filem yang diproduksi bertahun-tahun di tanah Papua baik oleh orang luar atau bahkan orang Papua asli sendiri saja masih banyak yang terjebak pada pencitraan seperti itu. Dan bagi kami, di sinilah letak pentingnya pemahaman bahasa sinema dan juga mengetahui sejarah sinema dunia untuk mereduksinya. V Cara yang dilakukan oleh salah satu fasilitator pelatihan, Syaiful Anwar, cukup menarik. Ia benar-benar menyerahkan seluruh perekaman kepada partisipan yang merupakan warga setempat. Sejak awal pelatihan di Waena pada Februari-Maret 2014 lalu, ia telah berjanji untuk tidak memegang kamera sedikit pun. Ia akan bekerja sebagai editor saja dan menjadi lawan bicara ketika breakdown ide dan eksekusi. Selebihnya, ia melepaskan pengambilan gambar pada para partisipan. Hal ini juga dilakukannya ketika melakukan pelatihan di Timika. Imajinasi filemis para partisipan pelatihan di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Wamena, dan Timika ternyata jauh lebih progresif dari yang saya bayangkan. Mengingat sebagian besar partisipan bukanlah pembuat filem aktif. Rata-rata mereka baru dalam hal produksi filem. Bahkan ada beberapa yang memang baru pertama kali bersentuhan dengan kamera video. Dalam beberapa sudut pandang ambilan gambar, posisi subyek di dalam kamera tidak sekedar menjadi obyek. Subyek video seringkali diajak berinteraksi oleh pemegang kamera. Keintiman yang jauh berbeda jika kamera dipegang oleh saya sebagai orang dari pulau Jawa misalnya. Bahkan di satu titik, kita akan terlupa bahwa peristiwa itu direkam dengan media. Medium video sebagai katalisator itu tiba-tiba menghilang. Si subyek seakan-akan berinteraksi dengan penonton. Kehadiran si pemegang kamera tiba-tiba menghilang. Di titik inilah saya terdiam dan berujar dalam hati, “Perubahan memang hanya bisa dilakukan oleh kalian sendiri.� Termasuk lahirnya sinema Papua. Ketika melakukan pelatihan di Sentani, saya diceritakan oleh salah satu partisipan bahwa ada di suatu tempat, pendatang dan masyarakat asli bisa dibedakan hanya dari suara langkah kakinya. Cerita itu sangat filemis bagi saya. Saya lalu teringat dengan dongeng-dongeng bahasa gambar yang kental terlihat di dalam filem-filem Iran atau India. Begitupun Papua yang kaya dengan tradisi bahasa gambar dan bebunyian, saya pikir, sangat-sangat mungkin lahirnya bahasa sinema Papua yang berbeda dari filem-filem yang dibuat di kota mana pun di Indonesia. Bahasa sinema baik yang dilahirkan dari rahim estetika maupun moda produksi. Persoalan teknis dan ketersediaan teknologi sinema saya pikir sudah bukan waktunya lagi menjadi hambatan. Video telah memberikan kemudahan 46


itu. Daripada memikirkan bagaimana caranya mengatasi keterbatasan teknologi, ada baiknya untuk pikirkan juga bagaimana jika keterbatasan itu justru dijadikan kelebihan semisal menjadi ciri khas produksi Sinema Papua. Dan bagaimana jika situasi sosial-politik yang belum stabil di Papua justru dapat dimanfaatkan sebagai isu-isu persoalan masyarakat yang diangkat di dalam filem yang dipadukan dengan kekayaan bahasa gambar dan bebunyiaan yang masih berserakan di sana-sini. Tinggal bagaimana ia dikelola dan dijadikan ‘senjata’ untuk menyebarkan gagasan sebenarnya tentang Papua dari masyarakat Papua sendiri.

j

Catatan Kaki 1  Matthew

W. Stirling, Expeditie Naar Nieuw-Guinea 1926, Filmmuseum The Netherlands, 1995. 2  Wawancara dengan Haji Andiadong, pemilik Bioskop Trikora, Wamena, tanggal 28 Mei 2014. 3  http://www.csus.edu/indiv/o/obriene/art116/Readings/final%20Rouch%20 Sembene%20on%20African%20film.doc, terakhir diakses tanggal 7 Juli 2014. A Historic Confrontation between Jean Rouch and Ousmane Sembène in 1965: “You Look at Us as if We Were Insects”, The Short Century: Independence and Liberation Movements in Africa 1945-1994, editor Okwui Enwezor, hal.440, Munich, London, New York: Prestel, 2001. Ditranskrip oleh Albert Cervoni dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Muna El Fituri. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulis. 47


48


49


50


51


52


JAYAPURA

53


CUKUP HANYA SAYA SAJA! Alloysius Rahawadan

Pak John Matius merupakan sosok orang yang tidak asing lagi di seputaran lingkungan Tanjung Elmo, Sentani. Selain dikenal giat memelihara babi, ia juga sudah mempunyai usaha cuci motor yang baru dibukanya dua bulan terakhir. Masyarakat di sekitarnya pun banyak yang memuji Pak John sebagai orang yang rendah hati, optimis, bertanggung-jawab dan terbuka bagi semua orang, sehingga ia menjadi salah satu orang yang disenangi masyarakat di sekitarnya. Siang itu, tepatnya Hari Jumat, 7 Maret, 2014, saya bersama kedua teman, Iqbal dan Siba, menjumpai Pak John di tempat cuci motornya. Ketika itu, Pak John asik membersihkan seluruh motor yang sedang ia bersihkan. Melihat kami datang, ia kemudian meninggalkan sejenak pekerjaannya untuk menyalami kami bertiga. Tanpa basa-basi, ia melanjutkan pekerjaan sambil menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya, dimulai sejak pertama kali ia merantau ke Papua sampai saat ini. Pertama kali datang ke Papua, ia tinggal bersama keluarganya dan bekerja sebagai tukang bangunan. Ia kemudian juga sempat mencoba mengikuti tes tentara, namun gagal. Akibat kegagalan dan tekanan dari keluarga, ia lalu memisahkan diri dari mereka dan menjalani hidup sebagai anak jalanan. Di saat menjadi anak jalanan inilah, ia mengalami sebuah pengalaman yang mengantarnya pada sebuah pemahaman, betapa berharganya hidup ini dan rasa mensyukuri sesuatu yang dimiliki. Saat ini, melalui usaha cucian motor dan ternak babilah, ia bisa memelihara keluargannya sampai sekarang. Tak terasa, sebuah motor telah selesai dibersihkan. Ia lalu mengajak kami untuk mengunjungi rumahnya yang terletak di bagian bawah, pinggiran Danau Sentani. Di sana, kami disambut dengan gonggongan anjing peliharaan Pak John yang dirantai di depan rumahnya. Syukurlah istri dan anaknya datang untuk menghalau anjing-anjing itu sehingga kami bisa meneruskan perjalanan ke kandang babi miliknya yang terletak persis di belakang rumahnya. Sambi 54


mengobrol, kami menyaksikan bagaimana Pak John membersihkan kandang, memandikan dan memberi makan babinya. Ia menceritakan bahwa ia mengawali usaha ternaknya ini dengan modal pinjaman delapan ekor anak babi dengan kandang seadanya. Kandang ini dibuatnya dari bahan-bahan bekas. Untuk menjamin makanan bagi ternakternaknya, dari dulu sampai saat ini, Pak John biasanya mengambil makanan sisa di warung-warung makan yang ia sudah pesan. Untuk makanan sisa tersebut, ia harus mengeluarkan uang sebesar 50-75 ribu rupiah per bulan. Secara perlahan, akhirnya Pak John mampu membayar semua hutangnya dengan cara mengganti anak babi, atau membayarnya dengan uang. Berkat keuletannya, kini ia telah memiliki ternak yang banyak, serta kandang yang baik pula. Selain itu, ia juga memiliki langganan khusus untuk memasarkan hasil ternaknya. Setelah menyaksikan semua aktifitas Pak John di kandang babinya, ia lalu mengajak kami untuk bersantai sebentar di rumahnya sambil menikmati teh hangat yang disajikan oleh istirnya. Ia lalu mulai menceritakan tentang bagaimana ia mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Awalnya, ia mengalami sakit yang tak kunjung sembuh. Berbagai pengobatan, dari medis modern sampai pengobatan tradisional, ia jalani dengan sia-sia. Dari hari ke hari, badannya mulai mengurus, kulitnya pun mulai terkelupas. Sampai suatu saat di sebuah puskesmas, ia bertemu dengan seorang suster. Ia lalu menceritakan semua keadaannya. Suster itu dengan ramah mengajak Pak John untuk melakukan tes VCT. Karena ingin sembuh, Pak John mau melakukan tes tersebut. Apa hasilnya? Semua harapan untuk sembuh sirna, ketika ia mengetahui hasil tesnya bahwa secara positif ia mengidap HIV-AIDS. Rasa kepercayaan diri, semangat hidup, bahkan ingatannya hilang secara perlahan. Yang ada di pikirannya hanyalah kematian. Detik demi detik, hari demi hari yang ia lalui, dianggapnya hanya sebagai sebuah 55


jalan menuju kematian. Tidak ada lagi kehidupan baginya, yang ada hanya waktu untuk menunggu kematian. Keterpurukan itu terasa lebih berat ia pikul, dikala kehidupan keluargannya juga mulai hancur. Semua harta bendanya dijual untuk biaya pengobatannya, istrinya pun mulai kehilangan kesabaran terhadap apa yang mereka alami. Karena tak tahan dengan semua penderitaannya, Pak John mulai berpikir untuk bagaimana mengakhiri hidupnya secara lebih cepat. Namun, niat dan usahanya itu selalu gagal. Di sisi lain, walaupun keadaanya demikian, Pak John selalu mendapat kunjungan dari suster yang telah mengajaknya melakukan tes HIV-AIDS. Suster itu selalu datang untuk memberi pendampingan dan pengobatan kepada Pak John. Ia selalu diajak ke Puskesmas untuk pengontrolan dan pengambilan obat. Sebuah pengalaman yang benar-benar merubah cara pandangnya terhadap kehidupan. Suatu ketika, saat Pak John diajak oleh suster ke rumah sakit, ia bertemu dengan seorang wanita ODHA (Orang dengan HIV_AIDS) yang tak sedikit pun terlihat seperti orang yang sakit HIV-AIDS. Suster pendampingnya itu memberitahukannya bahwa ibu yang ia lihat itu adalah ODHA. Awalnya Pak John tidak percaya, namun ketika melihat sendiri ibu itu melakukan pemeriksaan dan pengambilan obat, Pak John akhirnya percaya dengan apa yang dikatakan oleh suster pendampingnya tadi. Melihat kenyataan ini, muncullah sebuah harapan baru bagi Pak John. Ia mengatakan pada dirinya, kalau ibu itu bisa sehat tentu ia juga bisa menjadi sehat. Di sinilah awal kebangkitan Pak John dari keterpurukan yang ia alami. Akhirnya, berkat pendampingan yang setia dari suster dan ketaatan Pak John mengkonsumsi obat serta melakukan kontrol kesehatannya, secara perlahan kesehatan Pak John mulai membaik. Rasa kepercayaan dirinya juga mulai tumbuh kembali. Kehidupan Pak John seperti sebuah bunga yang baru mekar. Disaat harapan hidupnya mulai tumbuh kembali, ujian berat menghantam kehidupan Pak John. Suster yang selama ini menjadi mentor dalam kehidupannya, mengalami kecelakaan maut dikala pulang dari kuliahnya. Pak John benar-benar kehilangan seorang penyelamatnya. Ia tidak tahu harus bagaimana sehingga harapan hidupnya mulai memudar. Bunga yang baru mekar menjadi layu kembali. Mengetahui kehidupan Pak John yang mulai kehilangan arah, salah seorang rekan medis mendiang suster tadi, melanjukan pekerjaan suster tersebut dalam mendampingi kehidupan Pak John. Sehingga secara perlahan Pak John kembali menemukan arah kehidupannya. Ia terus mengikuti pendampingan, mengkonsumsi obat dan melakukan kontrol kesehatannya. Hingga saat ini, Pak John bisa menjadi seperti sekarang, terlihat sehat dan segar. Ia tidak lagi malu dengan diri dan kehidupannya, ia tidak malu kepada masyarakat, ia berani keluar dari keterpurukan dan kembali menjadi orang yang sehat 56


di tengah masyarakat. Yang lebih membahagiakan lagi ,bahwa masih ada perempuan yang mau menerima keadaannya dan bahkan berani membangun hidup berumah tangga dengan Pak John. Kini Pak John bisa menghidupi istri dan anaknya dari hasil keringatnya sendiri. Pak John kini telah menjadi orang yang tidak pernah menyerah dengan keterbatasannya. Ia terus bekerja menafkahi keluarga tanpa harus menunggu belaskasih orang lain. Baginya, sejauh ia bisa bekerja, ia akan terus bekerja asalkan tidak merugikan orang lain. Pak John adalah ODHA yang kini aktif menjadi salah satu pendamping bagi ODHA lainnya. Ia telah bergabung dengan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam pendampingan bagi para penderita HIV-AIDS. Ia sering dipanggil oleh berbagai lembaga di berbagai tempat untuk memberikan testimoni kepada masyarakat. Baginya, hal yang ia ingin perangi saat ini adalah stigma dan diskriminasi terhadap para ODHA, yang berasal dari masyarakat, juga dari diri ODHA itu sendiri. Ia ingin terus tampil di publik dan menjalani hidup layaknya orang sehat lainnya. Sehingga para ODHA lain, dapat menyadari bahwa HIVAIDS bukanlah akhir dari segalannya dan masyarakat luas juga menyadari, bahwa HIV-AIDS bukanlah penyakit kutukan yang menyebabkan setiap ODHA harus dikucilkan dari kehidupan sosial. Menariknya, sebagai sebuah kesimpulan dari pertemuan ini, saya bertanya kepada Pak John, apakah Pak John merasa sebagai orang sehat atau sakit? Dengan tegas ia mengatakan, “Saya adalah orang sehat. Kalau saya sakit tidak mungkin saya bekerja. Saya tetap sehat walaupun ada virus HIV di dalam tubuh saya.� “Cukup, hanya saya saja yang mempunyai virus ini. Jangan lagi orang lain mengalaminya!� serunya lagi. Itulah sebuah misi pribadi dari semua yang ia lakukan saat ini. Ia akan selalu siap dipanggil kemana pun untuk menjalankan misinya ini. Ia ingin menunjukan bahwa masih ada harapan dalam kehidupan ini, asalkan kita mau menerima keadaan dan terus berusaha menjadi yang terbaik.

j

57


Jangan Bunyikan Lonceng Kematianku Lebih Awal, Ibu‌ Yosep Levi

Oktober, 2013, lalu, saya dan beberapa teman dilibatkan oleh salah satu LSM untuk mengambil data Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik, khususnya bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur (jalan dan air bersih) di Kabupaten Keerom. Jarak tempuh dari kota Jayapura ke Kabupaten Keerom sekitar 50 Km atau 45 menit menggunakan kendaraan pribadi. Berdasarkan hasil pembagian wilayah penelitian, saya ditempatkan di Kampung Amgotro, Distrik Web, Kabupaten Keerom. Dengan kendaraan pribadi (motor), jarak tempuh yang dibutuhkan sektiar 5 jam dari ibu kota Kabupaten Keerom, Arso. Kampung Amgotro dihuni oleh penduduk asli, dengan mata pencaharian berburu dan meramu hasil hutan. Sebagai masyarakat bercorak tradisional, orang Amgotro masih percaya akan dunia magis. Konsep sakit dan penyakit pun diasosiasikan dengan kekuatan supranatural yang menurut istilah setempat di sebut sinas. Jika seorang menderita sakit, maka pertanyaan utama yang muncul, yakni siapa penyebabnya? Konsep ini berbanding terbalik dengan istilah medis modern. Menurut WHO, sakit adalah keadaan yang disebabkan oleh bermacam-macam hal, bisa suatu kejadian, kelainan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap susunan jaringan tubuh, dari fungsi jaringan itu sendiri maupun fungsi keseluruhan. Di wilayah ini, terdapat sebuah pusat kesehatan masyarakat pembantu, atau Puskesmas Pembantu (biasa disingkat Pustu) yang dilayani oleh seorang mantri. Sementara itu, puskemas terletak di ibukota distrik, yakni Kampung Ubrub, yang jarak tempuhnya sekitar 3 jam perjalanan kaki. Menurut pengalaman masyarakat Amgotro, pelayanan di Pustu tidak berjalan efektif, karena petugas jarang berada di tempat. Saat melayani pasien, petugas tidak menyebutkan jenis penyakit yang diderita, apa penyebab dan pantangan yang harus dilakukan agar segera sembuh dari penyakit. Petugas hanya memberi obat untuk diminum oleh pasien. Obat yang diminum kadang manjur, kadang tidak manjur (tidak sembuh). Bila pasien tidak mengalami kesembuhan atau 58


meninggal maka anggapan masyarakat bahwa penyebabnya adalah sinas. Sehingga, muncullah sikap saling curiga antar warga dan menyebabkan disharmoni relasi dalam masyarakat. Dari pengalaman terhadap pelayanan kesehatan tersebut, masyarakat Amgotro mengharapkan bahwa tenaga medis yang ditempatkan di kampung seharusnya tidak berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Alasannya, seorang PNS, baik yang melaksanakan tugas maupun tidak, tetap mendapat gaji setiap bulan. Faktanya, banyak PNS, baik yang tenaga kesehatan maupun guru, tidak berada di tempat tugas. Di samping pelayanan kesehatan yang kurang optimal, kesadaran masyarakat Amgotro tentang hidup sehat juga masih minim. Beberapa hal yang saya amati, sebagian besar masyarakat Amgotro adalah  perokok aktif. Rokok yang sering dihisap adalah rokok daun (sejenis daun yang digulung seukuran cerutu, lalu dihisap). Ada juga ibu-ibu hamil yang sering menghisap rokok daun. Selain itu, tradisi masyarakt Papua yang suka mengkonsumsi sirih pinang, juga saya temukan di kampung ini. Dalam kepercayaan orang Papua, mengkomsumsi sirih pinang merupakan suatu simbol keakraban dalam relasi antar warga. Tidak heran, bila sejak kanak-kanak, orang Amgotro sudah dibiasakan makan siri pinang. Di samping itu, generasi muda Amgotro selalu mengkonsumsi minuman keras (miras) yang mereka beli dari Kota Jayapura maupun Arso (ibukota Kabupaten Keerom). Menurut pemahaman medis, mengkonsumsi rokok, sirih pinang dan minuman keras secara berlebihan, bisa berdampak tidak baik untuk kesehatan. Sayangnya, gaya hidup masyarakat di Amgatro yang kurang sehat tidak diimbangi dengan asupan gizi yang baik dan pola makan teratur. Padahal, sayur-sayuran lokal sebenarnya banyak tersedia untuk dikonsumsi, namun seringkali diabaikan dan diganti dengan makanan instan dari pabrik, seperti, mie dan sarden. Mie instan dan sarden dimasak lalu dimakan dengan nasi 59


atau papeda, yakni makanan yang diolah dari pohon sagu. Dalam satu hari, mereka hanya makan satu hingga dua kali, yakni siang dan malam. Hal ini bukan hanya berlaku bagi orang dewasa, tetapi juga bagi anak-anak dan ibu hamil. Fenomena ini menunjukan bahwa asupan gizi yang masuk tidak seimbang dengan besarnya energi yang dikeluarkan sehingga daya tahan tubuh tidak efektif. Apalagi kalau kita menimbang pekerjaan mereka yang keluar masuk hutan. Minimnya kesadaran orang tua tentang hidup sehat, berdampak pada kesehatan anak atau keturunan mereka. Anak-anak sekolah tidak berkonsentrasi saat menerima pelajaran di sekolah. Anak-anak balita mengalami gizi buruk, bahkan meninggal dunia. Oleh karena itu, kehadiran tenaga medis di kampung diharapkan bukan sekedar memberi obat bagi pasien, tetapi harus memberi sosialisasi tentang cara hidup sehat dan pola makan teratur dengan gizi yang seimbang. Dengan demikian, masyarakat sadar pentingnya kesehatan dan dapat mempraktekkannya dalam hidup harian mereka. Kematian memang tidak bisa dihindari, tetapi kita bisa saja membunyikan lonceng kematian lebih awal bila kita mengabaikan kesehatan.

j

60


61


Penghujung Jalan Di Rumah Kasih Yosep Levi

“Saya tidak perlu menjadi orang sombong, menghabiskan waktu di tempat ini, dan berpikir hanya saya yang bisa melakukan ini. Tentu nanti Tuhan akan mengirim orang lain, sebab saya yakin masih ada orang yang mau perduli….” Suster Yuli, 19 Februari 2014 Suster Yuli, nama yang tidak asing bagi penghuni House Peace, Kelurahan Yabansai, Distrik Heram, Kota Jayapura. House Peace merupakan sebutan untuk rumah bagi pasien yang sudah tidak mempunyai harapan hidup. Sesuai namanya, fokus pelayanan di tempat ini adalah pendampingan pasien untuk menerima keadaannya, menemukan kembali harapan hidup atau menerima takdir mereka untuk mati dalam keadaan damai. Di tempat inilah, perempuan Jawa kelahiran Lampung, 32 tahun silam itu mendedikaskan dirinya dalam pelayanan terhadap pasien yang kehilangan harapan hidup, yakni pasien ODHA (Orang Dengan HIVAIDS). Dedikasinya terhadap nilai kemanusiaan, menarik perhatian kami untuk mengenal sosok Suster Yuli lebih mendalam, termasuk aktivitasnya sehari-hari di tengah pasien ODHA. Hari Rabu, saya dan Siba (salah satu tim pendamping dari Forum Lenteng) menemui suster Yuli di House Peace. Wajah ramah dan senyum manisnya menyambut kehadiran kami di House Peace, yang terletak di atas bukit sekitar 100 meter di belakang Rumah Sakit Dian Harapan, Waena. Di dalam ruang tamu berukuran 3×4 Meter, ia membagi pengalamannya selama tujuh tahun melayani pasien ODHA. “Terjerat” Panggilan Suci Sebelum menangani pasien ODHA, gadis ini bekerja di rumah bersalin dan UGD (Unit Gawat Darurat) Dian Harapan. Perjumpaannya dengan pengalaman baru, menyaksikan bayi-bayi mungil keluar dari rahim ibu mereka, menyadarkannya arti penting kehidupan. Tanpa disangka, kini ia “terjerat” oleh panggilan suci untuk mendendangkan kidung kehidupan di antara mereka yang kehilangan nada-nada kehidupan. 62


Semenjak ia berada di House Peace, yang  ia jumpai bukan lagi tangisan awal kehidupan dari bayi yang menggemaskan, tetapi wajah-wajah lesuh sebelum ajal dari orang-orang merindukan nyanyian kehidupan. 23 Agustus, 2007, suster Yuli mengawali tugas pendampingan terhadap 4 pasien ODHA. Awalnya, ia sendiri belum paham tentang ODHA. Tugas yang diembannya pun hanya di tahap perekomendasi solusi untuk mengatasi ketidaknyamanan hidup seorang diri di kos. Tidak disangka, kertas putih kehidupannya nan polos tanpa coretan pena, kini dipenuhi sejuta syair kidung kehidupan dari mereka yang kehilangan harapan. Syair kidung nan indah bukan untuk disimpan, melainkan didendangkan agar setiap telinga yang mendengar dapat terhibur. Kini, kidung itu menyatu dengan sang pelantun, suara yang diperdengarkan semakin merdu karena hati pun ikut memainkan nada-nada. Belajar Mencintai Hidup adalah suatu proses yang tidak pernah selesai maka belajar merupakan suatu proses alamiah manusia yang ingin menghidupkan kehidupannya. Demikianlah, wanita lajang ini terus belajar dan mengenal setiap pasiennya. Itu bukan hal mudah. Karena pasien datang dari berbagai latar belakang keluarga, budaya dan kebiasaan yang berbeda. Ada yang mudah patah semangat, manja, sok tahu, tetapi ada juga yang siap menerima kondisinya dan berusaha menemukan kembali semangat hidup. Bukan perkara mudah untuk mengembalikan semangat hidup seseorang yang telah runtuh. Bukankan hidup butuh pengakuan dari yang lain? Aku ada karena adanya yang lain, dan ketika aku dan yang lain saling mengakui keberadaan masing-masing melalui interaksi, di situlah aku menemukan keber-ada-anku. Adakah pengakuan itu jika kontruksi budaya terlebih dahulu menstigma ODHA? Memang sulit untuk dipikirkan, teapi saat sebagian masyarakat masih terbawa pada stigma terhadap ODHA, masih ada sosok yang bersedia 63


meluangkan segenap waktu untuk mengakui keberadaan mereka. Itu dilakukan karena cinta. Ya, cinta butuh pengorbanan! Cinta juga menuntut kesetiaan. Karena itulah Suster Yuli meluangkan segenap waktunya bagi mereka yang rindu akan cinta. Tangan halusnya ikut memainkan melodi cinta, menyuapi pasien ODHA yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang yang, mungkin, akan menjadi tempat terkahir mereka. Bibir tipisnya terus berkisah membujuk mereka yang kehilangan harapan hidup. Kadang, kisahnya menjadi sumbang di telinga mereka yang sudah putus harapan. Namun, karena cinta telah membutakan matanya, ia pun terus berkisah, bahkan mendendangkan kidung cinta. Suaranya semakin lantang hingga ke pelosok-pelosok, bahkan ke luar negeri Cenderawasih. Kisah yang menggairahkan dari sang pelantun kidung, membuat saya tersentak kagum. “Apakah tidak ada rasa kuatir dalam diri suster saat melayani pasien ODHA?” saya bertanya. “Rasa kuatir pasti ada, namun hanya berlaku bagi mereka yang belum memahami proses penularan dan pencegahan HIV,” jawabnya seraya tersenyum. “Penularan HIV-AIDS tidak segampang penularan TB dan Hepatitis. Penularan HIV terjadi melalui pertukaran cairan, seperti hubungan seks, penggunaan jarum suntik secara bersama, transfusi darah, dan kontak luka dengan ODHA. Jika mengetahui penularan dan pencegahan, kita akan merasa aman.” Setelah Tujuh Tahun. Kidung nan merdu menggetarkan jiwa, mereka yang mendengar pun dibuat terbuai untuk melupakan sejenak bayang-bayang kematian. Kini, kidung itu didendangkan di atas bukit, bersamaan dengan kicauan burung dan hebusan angin di balik pepohonan nan hijau. Alam dan manusia menyatu melahirkan sebuah simfoni indah tentang kehidupan. Hidup adalah pilihan, dan setiap saat kita harus mengambil keputusan untuk memilih, bergantung pada nilai yang hendak dicapai. Setelah tujuh tahun Suster Yuli mendedikasikan dirinya melayani pasien ODHA di House peace, kini ia pun harus pergi demi tujuan hidup yang telah ia rencanakan. Meskipun ia telah meninggalkan pelayananya, tapi kisahnya tetap hidup di hati setiap pasien yang dilayaninya. Terima kasih suster, atas karya dan pelayananmu.

j 64


65


Puskesmas Sehat Vs Puskesmas Sakit Agustina Ansanay

Saya punya pengalaman berobat di sebuah Puskesmas. Saat itu saya masih sekolah, ya… sekitar tahun 2011. Saya mengidap penyakit malaria. Awal mula saya mengidap malaria, disebabkan oleh jadwal istirahat dan makan yang tidak teratur. Penyakit itu membuat saya tidak bisa makan dan tidur yang baik. Oleh keluarga, saya dibawa ke sebuah puskesmas di Kotaraja Luar. Kenapa saya memilih untuk menceritakan hal ini? Tentu saya memiliki pengalaman mengesankan, kaitannya dengan pelayanan kesehatan. Mari kita mulai ceritanya! Jadi, karena sakit malaria itu, saya dibawa ke Puskesmas Kotaraja Luar. Sesampainya di puskesmas itu, saya langsung masuk. Dari pengalaman sebelumnya, biasanya kita menunggu 15 menit, bahkan bisa sampai 1 jam. Tapi kali ini sistem pelayanan sedikit berbeda. Jika biasanya hanya mengantri, kali ini menggunakan nomor antrian . Dulu, meskipun sudah berada di puskesmas, belum tentu kita dapat pelayanan cepat. Hal ini disebabkan semua orang berebut untuk diperiksa lebih awal. Sehingga kadang terjadi percek-cokan antar pasien. Sekarang berbeda. Tata cara pelayanan terpampang di depan pintu masuk. Awalnya kita mengambil nomor antrian, saat nomor dipanggil, kita diminta langsung menuju ruang dokter. Dengan begini, untu mendapatkan pelayanan, bisa lebih baik. Saat itu, ketika sudah berada di ruangnya, dokter bertanya kepada saya, “Kamu sakit apa ? Sudah berapa lama kamu sakit?” Saya pun menjawab sesuai pertanyaan dokter, tentang apa dan kapan saya mulai sakit. Sambil berbicara, dokter juga menulis resep untuk pengambilan obat di loket obat . Setelah memberikan resep, dia pun menasehati saya agar tidak sakit lagi. Dia mengingatkan agar jangan terlalu banyak bergadang, makan harus banyak dan teratur serta harus menjaga kebersihan, agar tetap sehat. 66


Di rumah, saya menjalankan apa yang disarankan dokter. Saya minum obat secara rutin, makan tepat waktu dan beristirahat yang cukup. Beberapa hari kemudian kondisi saya sudah mulai membaik, sembuh dan bisa beraktifitas kembali. Syukurnya, sampai saat ini saya tidak pernah kembali sakit malaria. Di kampung saya, banyak sekali orang yang terkena malaria. Karena lingkungan di kampung saya yang tidak sehat. Masyarakat sering membuang sampah sembarangan. Tumpukan sampah menjadi sarang nyamuk. Tidak heran banyak masyarakat yang terkena penyakit malaria. Tentunya, munculnya penyakit dalam diri seseorang disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat. Salah satu kasus, berapa setahun setelah saya sakit, adik sepupu saya juga menderita sakit malaria. Dia dibawa ke puskesmas yang sama dengan saya. Saya pikir, ada perubahan yang terjadi di puskesmas itu, nyatanya tidak. Semua berjalan lancar seperti ketika saya sakit beberapa waktu lalu. Namun, bagi saya, pelayanan yang demikian sudah cukup baik. Kami, orang Papua, tidak membutuhkan pelayanan yang super. Namun, butuh pelayanan yang lancar, sesuai dengan kebutuhan dan memang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Semoga semua puskesmas yang ada di Kota Jayapura memiliki pelayanan yang sama seperti Puskesmas Kotaraja Luar. Sebab sepengetahuan saya, belum semua puskesmas memiliki pelayanan yang sama. Terutama di wilayah-wilayah pelosok dengan berbagai macam kendala dan masalah yang rumit. Beda lagi dengan pengalaman saya dengan salah satu puskesmas lain. Waktu itu, teman satu kosan saya sakit. Saya membawanya berobat ke Puskesmas Kotaraja Dalam, yang lokasinya tepat di depan Markas Brimob Abepura. Pelayanan di puskesmas tersebut sangat berbeda. Pelayanan dibuka dengan sangat terlambat. Masyarakat sudah banyak yang datang untuk berobat. Kami menunggu sangat lama. Kami hanya menjumpai petugas 67


yang sedang bersih-bersih saja. Beberapa kali tanya, petugas itu mengatakan kalau dokter belum datang. Bahkan, ketika mencoba mendatangi tempat pendaftaran pasien, petugasnya juga belum datang. Perbedaan dari ke dua puskesmas ini layak menjadi diskusi. Kenapa bisa terjadi perbedaan tersebut. Bukankah mereka mendapatkan honor yang sama dari pemerintah? Â Bukankah mereka juga bertugas untuk melayani masyarakat? Seharusnya, tugas dan kewajiban harus dijalankan sebagaimana mestinya.

j

68


69


Teka-Teki Dokter Nina Muhammad Sibawaihi

Sebentar lagi magrib, di luar cahaya sudah mulai meredup. Rumah dan pepohonan yang tadinya terlihat jelas, perlahan hilang, digantikan kerlipan lampu. Ruangan tempat kami berbincang dengan Dokter Nina juga semakin gelap. Nico menyadari hal ini, kemudian bangkit menyalakan lampu. Suasana ruang tamu House Peace terang kembali. Perbincangan dilanjutkan beberapa saat, sebelum nantinya Dokter Nina harus segera pergi. Semua orang akan pergi. Kali ini, Dokter Nina sang spesialis KIA (kesehatan ibu dan anak) dan HIV-AIDS Rumah Sakit Dian Harapan Waena, ini pergi meninggalkan teka-teki dalam kepala kami. Kami pun juga harus Pergi. Kembali ke Perumnas III, Waena. Membicarakan apa yang baru saja kami dengarkan. Tentang banyak hal. Teka-teki yang harus dipecahkan. Seperti menyusun delapan deretan huruf konsonan menjadi sebuah kata dalam permainan scrabble. Saya pernah mengalami hal itu. Suatu yang rumit. Karena rumit, Saya ingin berbagi. Sebab jika sedang bermain scrabble, saya biasanya bertanya kepada lawan main saya. Teka-teki Dokter Nina dimulai dari kedatangan pelaut Thailand di pulau ini, tepatnya di Merauke. Maaf, apa tadi saya menyebut Thailand…? Thailand..? Pulau ini pernah ditempati oleh beberapa negara lain. Amerika, Belanda, Jepang dan mungkin makhluk lain seperti alien. Namun, sebab serigala sudah ada di dalam rumah kita. Tidak perlu lagi berbincang tentang, darimana serigala itu masuk? Yang terpenting bagaimana kita mengusir serigala ini, atau bahkan membunuhnya agar kita tidak dimakan. Kemudian jangan sampai masuknya serigala didramatisir dengan ungkapan miris yang menunjukan ketidaksiapan kita menghadapinya, dan akhirnya saling menyalahkan satu sama lain. Jangan sampai hal ini menjadi boomerang. Beberapa isu beredar bahwa di Papua dulu tidak ada penyakit. Ketika orang sudah merasa ada yang berbeda 70


dari kondisi tubuh mereka, mereka mengembalikan itu ke alam, membuat racikan obat tradisional dari tanaman-tanaman hutan, untuk membuat tubuh itu kembali segar. Setelah pendatang datang, dibangun ini-itu, ada sistem begini-begitu dan banyak hal baru masuk ke Papua, maka HIV-AIDS itu ada. Mungkin saja ini benar dan mungkin saja salah. Butuh kejelasan sejarah yang lebih akurat terkait hal tersebut. Menurut Dokter Nina, pelaut Thailand tadi membawa-anggap saja sebuah bencana-yang saat ini sangat mencemaskan. Ya, sangat mencemaskan. Bahkan di pulau yang penduduknya hanya 1% dari jumlah penduduk di Indonesia, peningkatan epideminya mencapai 19,1%Â dari keseluruhan jumlah peningkatan epidemi di Indonesia. HIV-AIDS-bencana yang sedang kita bicarakan, Ia serigala yang sudah masuk ke dalam rumah kita- sudah saya dengar sejak lama. Orang bilang, penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Penyakit ini akan dibawa sampai mati. Tidak ada obat! HIV-AIDS berarti menerima hidup untuk mati! Mati dalam keadaan hina dan pasti akan menjadi pergunjingan. Karena, katanya HIVAIDS ini disebabkan prilaku hidup yang tidak jujur kepada diri sendiri. Bahkan, banyak yang mengatakan ini kutukan tuhan. Virus ini bisa berkembang 2 biliun setiap hari. Bayangkan saja! Jika dikali satu tahun. Berapa banyak virus yang sudah berkembang biak di dalam tubuh kita? Virus ini, tidak membuat kita sakit disaat kita sehat. Virus HIV-AIDS sangat cerdas. Dia menunggu saat kita lengah. Ketika kondisi tubuh sudah tidak fit, sistem imun sudah lemah, ia akan menyerang dengan pasukan yang bermilyar-milyar biliun itu. Melumpuhkan kita. Menghantam benteng pertahanan kita. Hingga akhirnya tidak tertolong. Lalu apa yang sudah dilakukan? Apa seluruh manusia yang ada di pulau ini diam? Tentu tidak. Menurut Dr. Nina, juga menurut beberapa orang yang bergerak untuk penanggulangan masalah ini, banyak cara yang sudah dilakukan. Pemerintah, LSM (Lembaga Sosial Masyarakat), tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, lembaga donor asing ataupun tidak 71


asing dan banyak pihak sudah melakukan banyak hal. Sosialisasi diadakan diberbagai sudut kota dan kampung. Poster bahaya HIV-AIDS tertempel dimana-mana. Di rumah sakit, toko-toko, tempat hiburan malam, lokalisasi dan diberbagai sudut Kota Jayapura. Hampir setiap koran memberitakan masalah ini. Bahkan sutradara-sutradara membuat film tentang penyakit ini. Kondom dibagikan. Tempat lokalisasi disterilkan. Pemb a n g u n a n temp at p e n a mp u n g a n ODH A . Memb e nt u k pendamping sebaya. Bahkan pemerintah membuat program BPJS untuk berobat secara gratis. Meski kemudian jumlah kartu BPJS yang beredar di masyarakat melebihi jumlah masyarakat Papua. Banyak lagi dan banyak lagi yang sudah dilakukan. Tapi terinfeksi semakin banyak dan semakin banyak. Persentasi terinfeksi dari tahun ke tahun meningkat. Lalu apa? Harus bagaimana? Bagi Iqbal, seorang peserta workshop Media Untuk Papua Sehat dan pendamping ODHA dari LSM Noken Papua, meningginya data terinfeksi menunjukan keberhasilan program yang sudah dijalankan. Dengan pengingkatan data ini, berarti masyarakat sudah sadar tentang pentingnya visity atau memeriksakan diri, apakah mereka terjangkit HIV-AIDS atau tidak. Oke, saya sependapat. Tapi juga tidak, disatu sisi. Sebab, tentunya program tersebut tidak untuk mencari data kemudian dipresentasikan layaknya seminar proposal. Papua butuh data real, angka yang jelas untuk penanganan yang tepat. Dokter Nina mengatakan bahwa sudah saatnya program berorientasi pada hasil. Salah satunya adalah bagaimana program HIV-AIDS berorientasi pada penanganan ibu hamil ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Baginya, menyelamatkan seorang yang ingin hidup lebih berarti daripada membantu seratus orang yang tidak mau hidup. Mayat hidup, seperti itu ia menyebutnya. Jika seorang ibu terinfeksi HIV-AIDS menyadari bahwa dia terinfeksi, kemudian dia mengandung. Dengan senang-meskipun sebenarnya berat menerima kenyataan- ia berterus terang kepada dokter, berobat dan berkonsultasi, maka bayi yang sedang dikandungnya masih bisa diselamatkan. Namun tentunya, pemeriksaan harus dilakukan sejak dini. Ketika kehamilan masih berusia 3-4 minggu, dimana nanti ketika menjelang kehamilan dokter bisa menggunakan proses kelahiran cesar untuk menyelamatkan bayi tersebut. Menurut Dokter Nina sendiri, sulit sekali menemukan ibu hamil yang memahami hal ini. Biasanya ibu-ibu menolak untuk visity. “Jika kita paksa, takutnya kita dianggap melanggar HAM. Padahal visity itu akan sangat baik untuk proses penanganan kesehatan selanjutnya.� Kata Dokter Nina kepada kami. Dia sendiri menginginkan adanya Perda (Peraturan Daerah) atau Pergub (Peraturan Gubernur) yang mengharuskan setiap ibu hamil melakukan visity. Sehingga, pihak kesehatan memiliki dasar kuat untuk 72


mengupayakan visity bagi ibu hamil. Selain itu penanggulangan kematian ibu hamil dan kematian anak bisa dihindari. Sepengetahuan Dokter Nina, tanda-tanda HIV-AIDS itu bisa terdeteksi setelah 4-5 tahun. Juga bisa lebih cepat, tergantung bagaimana sistem imun orang tersebut. Dokter Nina punya pengalaman yang menarik. Ketika itu, ia menangani seorang pasien ODHA yang baru berumur 12-13 tahun. Dokter Nina bertanya kepadanya tentang bagaimana ia bisa terjangkit HIV-AIDS. Dengan malu-malu sambil menahan rasa sakit ia menjawab, “waktu itu, saya diajak teman-teman sudah. Jadi saya su malu menolak”.“Kamu diajak bagaimana?” Tanya Dokter Nina, “Saya su diajak baku naik lagi…” Yang terbayang di benak Dokter Nina adalah, pada saat umur berapa anak tersebut melakukan baku naik? Apalagi anak itu dengan tegas mengatakan “diajak teman-teman”. Berarti tidak satu orang yang melakukan adegan baku naik tersebut, tetapi berkelompok. “Saya bayangkan, seandainya saya jadi ibunya, iiih… terasa hancur sa punya hati…”, Dokter Nina sambil memegang kepalanya. Dokter Nina menghela napas. Itulah realitas yang pernah ia jumpai, Seks bebas. Menurut dokter Nina, seks bebas merupakan salah satu perilaku yang sangat berpotensi untuk penularan HIV-AIDS. Secara moral, seks bebas juga tidak baik. Setiap agama menganjurkan untuk menjaga alat kelamin dengan baik. Nafsu boleh disalurkan, asal dengan cara yang benar dan sah, melalui pernikahan. Bahkan lebih jauh Dokter Nina menambahkan untuk setia kepada satu pasangan apabila kita memiliki potensi HIV-AIDS. Intinya, sebelum serigala masuk, kita harus memperbaiki dulu dinding rumah kita. Memeriksa mungkin ada lubang di sudut-sudut ruang. Sebelum malam tiba, semua jendela dan pintu harus ditutup dan dikunci. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Paling tidak ungkapan itu yang sering saya dengar, ketika belajar selama 6 tahun di pondok pesantren. Obat tentu tidak hanya dalam bentuk mengkonsumsi pil dan tablet. Tapi yang terpenting adalah pencegahan, sebab pencegahan berarti mengobati diri sendiri sedari dini. Sumber tertulis : http://www.aidsindonesia.or.id/contents/1/3/Sejarah#sthash.fVgmF0on. dpbs

j

73


Aman Itu Sehat 2014 / 11 Menit Realisasi: Aloyesius Rohewadan, Yosep Levi Kisah seorang suster yang pernah bekerja di Pustu Buper melayani masyarakat setempat. Alasan keamanan, membuatnya meniggalkan para pasien yang selama Sembilan tahun telah ia layani. Kini, tersisa hanya cerita dan nostalgia.

74


Kalian Kemana? 2014 / 7 Menit Realisasi: Aloyesius Rohewadan, Yosep Levi “Saya sangat ingin sekali anak-anak asli bekerja di sini, namun saat pendaftaran sangat sedikit anak asli yang datang melamar�. Begitulah sepenggal cerita dari Dirut RSUD Kaiwanga tentang keadaan pegawainya kini. Banyak orang asli pergi, sebaliknya banyak orang luar yang datang mencari pekerjaan di rumah sakit yang ia pimpin. Bagaimanakah keadaan rumah sakit ini sebenarnya?

75


Rumah Kasih... 2014 / 10 Menit Realisasi: Aloyesius Rohewadan, Yosep Levi Berawal dari impian gila karena melihat keadaan penderita HIV-AIDS yang tidak diterima keluarga, Bruder Agus mendirikan Rumah Kasih untuk melayani pasien-pasien ODHA. Disini, pasien dilayani layaknya keluarga, dengan suster yang memiliki hati yang mulia. Keputusasaan akan hidup, pupus terganti oleh harapan baru.

76


Kutunggu Demi Kesehatan Anakku 2014 / 8 Menit Realisasi: Aloyesius Rohewadan, Yosep Levi Hari kamis adalah hari khusus pelayanan ibu dan anak di Puskesmas Waena. Selain memeriksa kesehatan kehamilan dan kesehatan anak, beberapa ibu yang baru memeriksa kehamilan diharuskan malakukan PITC atau pemeriksaan HIV-AIDS. Keterbatasan ruang tidak menjadi kendala untuk menunggu dalam waktu yang lama.

77


Pesan Cinta dari Suster 2014 / 9 Menit Realisasi: Aloyesius Rohewadan, Yosep Levi “Puskesmas hebat untuk siapa? Dukun hebat untuk siapa?� pertanyaan dan pernyataan tersebut sering terdengar dari warga Papua. Banyak masalah kesehatan yang membuat masyarakat menjadi tidak percaya kepada pelayanan kesehatan. Dengan berbagai upaya, dua orang suster di Puskesmas Arso memberikan nasehat dan pesan cinta kepada masyarakat Papua.

78


Masih Ada Hari Esok 2014 / 12 menit Realisasi: Aloyesius Rohewadan, Yosep Levi Stigma terhadap penderta HIV-AIDS di Papua memang masih banyak. Beberapa pendedirta yang saya temui, menyatakan bahwa mereka belum sanggup untuk berterus terang, baik kepada keluarga dan masyarakat. Mereka takut dikucilkan, diguncing dan dianggap orang yang terkena kutukan. Namun beda halnya dengan seorang John Matius. Ketika penderita lain menyembunyikan status mereka, ia justru membuka diri dan menunjukan kepada khalayak bahwa seorang ODHA pun mampu berbuat sesuatu. Tentunya tidak mudah. Banyak juga yang menyindir dan meremehkan apa yang ia lakukan.

79


80


81


82


sentani

83


Jauhi De Pu Penyakit, Bukan De Pu Orang Stefanus Abraw

Pada tanggal 15, Bulan September, 2009, saya pergi ke rumah kakak saya yang berada di Jalan Karang, Kabupaten Sarmi. Saya berangkat menggunakan kapal ferry Papua 1. Saya berangkat sore, setibanya di sana sore keesokan harinya. Setelah saya tinggal tiga hari di sana, saya dikejutkan dengan cerita dari masyarakat setempat tentang seorang yang berinisial MS. Katanya, dia menderita sakit aneh, dan kondisinya semakin bertambah parah. Saya jadi penasaran tentang itu dan bertanya kepada keponakan saya. Ia menjelaskan mengenai kondisi MS yang konon, dari cerita yang di sebarkan oleh masyarakat tersebut, si MS ini terkena Human immunodeficiency virus infection / acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS). HIV itu sendiri adalah retrovirus yang menyerang organ-organ vital sistem ketahanan dan kekebalan tubuh sehingga memunculkan gejala-gejala dan infeksi pada tubuh (AIDS). Keponakan saya mengetahui status saya sebagai seorang pendamping ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Ia pun bertanya kepada saya, tentang gejala-gejala HIV-AIDS, yang diantaranya: 1. IO, atau timbulnya jamur pada mulut 2. Berat badan menurun 3. Batuk yang berkepanjangan Setelah saya menjelaskan, ternyata gejala-gejala tersebut dibenarkan oleh keponakan saya, terkait gejala yang diderita sama si MS. Saya menjadi penasaran untuk melihat keadaan si MS ini secara langsung. Saya meminta si keponakan untuk mengantarkan saya ke rumahnya si MS. Keinginan saya membuat keponakan saya terkejut dan mengatakan bahwa penyakit MS ini, menurut masyarakat, adalah kutukan. Saya heran, lalu bertanya, “Kenapa bisa dibilang begitu?” Ia menjawab bahwa sakit yang diderita MS diakibatkan oleh ulahnya sendiri yang suka mabuk-mabukan, membuat onar, dan juga prilaku seks 84


yang beresiko atau biasa dibilang seks sembarangan. Tak hanya itu, MS juga kerap  melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada keluarganya. Karena itulah ia dikutuk Tuhan. Penasaran bercampur ketidakpuasan dengan jawaban keponakan saya, saya memaksa ia untuk mengantarkan saya. Setelah dirayu, akhirnya dia bersedia mengantarkan saya ke rumah MS. Selang beberapa menit, kami pun berangkat ke rumah MS. Setibanya di rumah MS sana, saya langsung menghampiri si MS yang terbaring bertelanjang badan di dalam kamarnya. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan dan benar, gejalanya mirip dengan dugaan saya. Kemudian saya pun meminta kepada keluarganya untuk membawa si MS ke rumah sakit. Akan tetapi, permintaan saya pun dijawab dengan sinis dengan mengatakan “ janganâ€? dengan alas an bahwa mereka sudah pernah membawa MS ke rumah sakit, tetapi tidak sembuh-sembuh hingga akhirnya kembali dibawa pulang untuk diobati secara tradisional (pengobatan oleh dukun). Namun, tetap saja MS tidak sembuh. Ada pendeta, ada obat-obat alam, sampai dukun, dilakukan oleh keluarga untuk menyembuhkannya, tetapi tetap saja tidak bisa sembuh-sebuh juga. Mendengar demikian, saya tetap memaksa agar MS dibawa ke rumah sakit, namun keluarganya mengatakan bahwa MS sudah tidak bisa diterima di rumah sakit. Sebab, saat kemarin MS keluar dari rumah sakit, itu tanpa persetujuan dokter. Selain itu, keluarganya malu jika akhirnya masyarakat tahu bahwa MS divonis mengidap penyakit kutukan. Saya pun menjelaskan tentang penyakit HIV kepada mereka. Akan tetapi, setelah menjelaskan, mereka tetap tidak mau untuk membawanya ke rumah sakit. Akhirnya, saya pun menyerah dan mencoba merawatnya dengan caraku sendiri. Hari itu juga, akhirnya saya mencoba membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan sebuah kain untuk melap badannya. Kemudian, saya menyuruh keluarganya memasak bubur dan membuat teh hangat. Sambil 85


menyuapi MS bubur, saya mengajaknya bercerita, tetapi keadaannya tidak memungkinkan ia untuk bercerita. Akhirnya, saya pun meminta kepada keluarganya untuk melakukan seperti apa yang saya lakukan,  sebelum saya pulang bersama keponakan saya. Sampai di rumah, saya langsung dimarahi oleh kakak karena menemui MS. Lagi-lagi, alasan marahnya kakak karena takut saya tertular penyakit kutukan. Saking marahnya, kakak menyuruh saya pulang ke Jayapura. Satu minggu, sejak kepulangan saya dari rumah kakak, saya dikagetkan dengan kabar duka tentang meninggalnya MS. Yang sangat membuat saya sedih, pemakaman MS dilakukan seperti menguburkan hewan yang mati, hanya dibungkus dengan kasur, lalu di kubur. Tidak hanya itu, ranjangnya dibakar juga. Kasus tersebut membuat saya merenungkan tentang persoalan yang dialami oleh MS dan menarik kesimpulan bahwa pengetahuan masyarakat di Papua, khususnya di Kabupaten Sarmi, tentang informasi terkait HIV masih kurang. Seharusnya, Pemerintah, masyarakat  dan media massa memberikan penyuluhan secara berkesinambungan dalam mensosialisasikan masalah HIV-AIDS. Satu pertanyaan saya, bagaimana rasanya kalau kita berada di posisi seperti mereka yang terinveksi virus HIV-AIDS ? Apa yang harus kita lakukan?*

j

86


87


Kurang Profesionalnya Dokter-Dokter Masa Kini Grace Yogi

Agustus, 2009, tepatnya sekitar penghujung bulan, di mana sekitar sebulan sebelumnya, saya mengalami kecelakaan motor yang membuat tangan kiri saya patah. Kakak saya, John Robert, kemudian membawa saya ke sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kota saya, di sekitaran Doyo Baru, namanya RSUD Yowari, Kabupaten Jayapura. Setelah sebulan saya tinggal dengan gips di tangan kiri saya, saatnya untuk check up. Saya diperiksa ulang, apakah tangan saya sudah bisa dilepas gipsnya, atau dilanjutkan lagi menggunakan gips. Pagi-pagi, mama sudah membangunkan saya untuk bersiap-siap ke rumah sakit. Dalam hati, saya berkata, “Senang sekali, akhirnya setelah sebulan menggunakan gips, memang menderita, mau apa-apa juga harus diatur, pelan-pelan, dan hanya menggunakan satu tanggan saja. Huftt…!” Namun, itu semua lari dari apa yang saya bayangkan. Hmmm…! Saya berangkat ke rumah sakit bersama mama. Ketika sampai di rumah sakit, kami antri nomor, dan setelah sampai di ruang bedah, dokter berkata, “Harus dioperasi, pasang pen, atau tetap lanjut gips untuk beberapa bulan ke depan lagi.” Akan tetapi, sebelumya kami harus memastikan perkembangan tangan, dan itu harus di ronsen dulu tangannya. Kemudian, kami ke tempat pembukaan gips sebelum melakukan ronsen. Sesampainya di ruangan pembukaan gips, mama saya menunggu di luar ruangan, sementara saya disuruh masuk ke dalam. Di dalam ruangan itu, terdapat beberapa dokter. Saya disuruh duduk di sebuah kursi di sebelah berbagai macam peralatan dokter. Lalu, seorang dokter mengambil sebuah alat untuk membuka gips saya. Alat itu semacam gergaji, tetapi berbentuk bulat dan berputar. Dokter yang menangani tangan saya ini cowo/lakilaki, sedangkan di dalam ruangan itu juga terdapat dua orang dokter cewe/perempuan. Nah…, dokter cowo ini sedang menangani tangan saya, sedangkan dokter yang lain, ada yang membuat rujukan untuk saya, apabila mau dipasang pen. Sedang yang satunya lagi, duduk-duduk saja. 88


Mungkin, sebelum saya masuk, memang mereka sedang membicarakan sesuatu, dan mungkin pula ceritanya belum selesai. Ketika gips saya sedang dibuka, mereka, dokter-dokter itu, bekerja sambil cerita-cerita. Waduhhhh….!!! Saya ketakutan bercampur ganas (marah). Saya takut karena bagaimana kalau nantinya gergaji besi itu melukai tangan saya??? Timbulah emosi…, tetapi saya tidak bisa bicara, hanya mengekspresikannya melalui raut wajah, yang juga belum dimengerti oleh mereka yang sedang asik bercerita. Dalam hati, saya berkata, “Untung kalian, mama saya di luar. Kalau tadi dia ikut ke dalam, habislah kalian dengan mulut cerewetnya itu.” Waduh…! Ini baru tangan patah saya. Bagaimana kalau orang lain dengan keluhan lain yang lebih parah. Waduh…! Parah sekali, kalau pasien menderita, dokter bercerita-cerita sembari bekerja, apalah jadinya???

j

89


Pakai Komputer, Sudah! Biar Tidak Lama! Manshur Zikri

Detik Finance (finance.detik.com/, Rubrik Ekonomi Bisnis, 7 Januari, 2014) mengabarkan bahwa Pemerintah optimis, dalam waktu 3 tahun ke depan, seluruh masyarakat akan mendapatkan manfaat dari Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Melalui pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Agung Laksono, jajaran Pemerintah Daerah (Pemda) dihimbau untuk melengkapi sekaligus meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah mereka masingmasing. Salah satunya yang paling utama ialah fasilitas penghimpunan data atau komputerisasi di setiap Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan klinik kesehatan lainnya. Dalam menyambut agenda besar ini, sejak tahun 2013, pemerintah telah menganggarkan dana untuk memperbaiki fasilitas Puskesmas dan rumah sakit. Dalam pagu APBN 2013 untuk persiapan BPJS I, telah dianggarkan sebesar Rp 3,71 triliun yang akan ditingkatkan menjadi Rp 8,52 triliun di tahun 2014. Anggaran ini berlaku untuk perbaikan sarana dan prasarana kesehatan di segala aspek, termasuk penambahan jumlah unit Puskesmas dan rumah sakit, kelengkapan fasilitas di dalamnya, serta peningkatan jumlah dan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berperan sebagai tenaga medis. Khusus untuk Puskesmas, dana yang dianggarkan adalah Rp 233,4 miliar di tahun 2013, ditingkatkan menjadi Rp 1,1 triliun di tahun 2014 (Lihat Metrotvnews.com, Rubrik Humaniora, tanggal 9 April, 2013). Kabar-kabar tersebut pastinya sangat menggembirakan. Terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang sistem alokasi dana berjumlah besar itu secara adil dan merata, harapan akan berubahnya sistem pelayanan dan fasilitas kesehatan ke arah yang lebih baik menjadi suatu keniscayaan. Keluhan masyarakat, harusnya, dapat dijawab dengan implementasi kebijakan dan pelaksanaan pelayanan secara utuh dan sesuai standar sehingga kendalakendala yang sering terjadi di lapangan dapat teratasi dengan baik. Sekarang, Bulan Maret, 2014. Kesuksesan dari program yang diagendakan oleh Pemerintah memang belum terlihat, dan juga belum dirasakan secara 90


konkret oleh masyarakat. Sebut saja, “Masih dalam tahap proses,” kalau misalnya terkesan pesimis jika mengatakannya “Masih dalam tahap penjajakan atau coba-coba.” Namun demikian, kritisisme masyarakat harus terus digalakkan guna mengkontrol jalannya program tersebut secara maksimal. Pengalaman yang kami dapatkan ketika melakukan observasi di Puskesmas Sentani selama lebih kurang satu minggu, menunjukkan bahwa masih terdapat persoalan-persoalan teknis pelayanan kesehatan yang menjadi faktor penyebab hilangnya semangat masyarakat untuk datang berobat ke Puskesmas. “Puskesmas bagus,” kata salah seorang warga kepada saya. “Tapi, itu, antrinya lama!” Ya, keluhan yang paling banyak saya temukan setelah bertanya kepada beberapa orang warga, terkait dengan pelayanan di Puskesmas Sentani, ialah antrian yang begitu lama. Puskesmas Sentani merupakan salah satu puskesmas favorit di Kabupaten Jayapura karena letaknya yang sangat strategis, di dekat Bandar Udara Sentani, dan mudah diakses. Bahkan, masyarakat yang berasal dari luar Sentani pun, memilih untuk datang ke puskesmas tersebut untuk berobat. Masyarakat yang ingin berobat, jika mereka berasal dari luar Sentani, umumnya datang pagi-pagi sekali, sebelum puskesmas buka. Setelah puskesmas dibuka, mereka harus menunggu lagi dibukanya loket pendaftaran pada pukul delapan pagi—beberapa kali, seperti yang saya amati, hingga pukul sembilan pagi. Biasanya tak lebih dari sejam, sejak loket dibuka, masyarakat yang biasanya menunggu di pekarangan puskesmas atau di warung-warung tenda, satu per satu masuk dan memenuhi loket pendaftaran. Bangku antrian seketika penuh. Sebenarnya, alur pendaftaran di Puskesmas Sentani itu sederhana. Sebagaimana yang diutarakan oleh dr. Dian, Kepala Puskesmas Sentani, terdapat tiga poliklinik utama di Sentani, yakni Polik Umum, Polik Gigi, dan Polik TB (dan HIV-Aids & Kusta). Dari loket, pasien akan diarahkan ke Polik Umum, dan di Polik Umum tersebut akan diputuskan apakah pasien 91


bisa langsung mengambil obat ke apotek, atau harus dirujuk ke poliklinik lainnya (atau bahkan mungkin harus dirujuk ke RSUD Yowari). Jika ada yang ingin memeriksakan penyakit malaria, bisa merujuk ke laboratorium untuk cek darah. Biasanya, jika pasien membludak, cek darah bisa dilakukan sebelum menuju loket dan Polik Umum. Namun, mudahnya alur tersebut tidak serta merta memuaskan masyarakat yang datang berobat. Mereka harus mengantri begitu lama. Salah seorang bapak yang saya temui mengungkapkan rasa kesalnya kepada saya. “Saya datang, petugas loketnya hanya satu orang,” begitulah kira-kira katanya. “Antrian banyak. Datang pagi, seharusnya bisa pulang cepat, terpaksa harus pulang siang-siang hari.” Teman saya, Stefanus, pernah berkata bahwa biasanya, masyarakat itu mempunyai kesibukan-kesibukan yang dirasa sangat berat hati jika ditinggalkan. Memang sudah begitu pola pikir masyarakat di sini. Terutama yang berada di luar Sentani, yang tinggal di daerah gunung, atau yang di daerah terpencil, kegiatan di kebun dianggap lebih penting. Kalau siang hari sudah tak mendapat pelayanan yang memuaskan (cepat dan mudah), masyarakat bisa-bisa pulang tanpa membawa hasil berobat. Kondisi yang seperti itu yang biasanya membuat masyarakat marah dan jengah terhadap pelayanan puskesmas. Mengapa antrian yang ada, khususnya untuk kasus di Puskesmas Sentani, bisa begitu lama? Salah seorang suster—sungguh maaf saya lupa bertanya siapa namanya—berujar bahwa proses yang begitu lama di loket pendaftaran disebabkan oleh pencarian data rekam medis si pasien. Proses itu masih dikerjakan secara manual. Ada ribuan arsip rekam medis. Proses ini bisa menjadi lebih cepat dengan bantuan kartu berobat si pasien karena di kartu itu tertera nomor identitas pasien sehingga memudahkan pencarian. Kepala Puskesmas Sentani dr. Dian menjelaskan bahwa rekam medis itu menjadi penting untuk menghindari terjadinya mal praktek, selain juga membantu dokter memahami riwayat penyakit si pasien agar diagnosa dan tindakan medis yang dilakukan tepat sasaran. Kartu berobat berfungsi semacam katalog yang mengidentifikasi data rekam medis milik pasien. Selain itu, sejak berlakunya kebijakan BPJS Kesehatan pada Januari 2014, terdapat pula peraturan bahwa pasien yang membawa kartu berobat (khusus untuk kartu Jamkesmas dan Askes) akan mendapatkan pelayanan gratis. Akan tetapi, bagi yang tak memliki kartu Jamkesmas dan Askes, diwajibkan membuat kartu berobat biasa dan membayar uang sebesar lima ribu rupiah untuk biaya pengobatan. Pada pengalaman saya ketika mencoba berobat ke puskesmas tersebut, saya harus membayar sepuluh ribu. Lima ribu pertama untuk cetak kartu berobat biasa, dan lima ribu kedua untuk biaya pengobatan.

92


Masalahnya, beberapa masyarakat yang datang ke Puskesmas Sentani untuk berobat, terkadang lupa membawa kartu berobat yang dimaksud. Kelalaian-kelalaian kecil seperti ini dapat mengganggu proses pendaftaran, bahkan berdampak ke pasien lainnya yang juga menunggu antrian. “Kalau ada yang tidak membawa kartu, terpaksa kita harus bongkar lagi,” kata si suster yang sempat berbincang dengan Stefanus. “Kalau pake komputer, kan, tinggal pencet, ketik nama, datanya langsung keluar. Itulah salah satu kekurangan manajemen kita di sini.” Sejauh ini, strategi dari puskesmas untuk mengatasi masalah itu adalah mengesampingkan pasien yang tidak membawa kartu. Mereka akan dilayani paling akhir setelah semua pasien yang membawa kartu terlayani. Tujuannya, supaya tidak menghambat proses pendaftaran dan mengurangi waktu lama antrian. Cara seperti ini, oleh beberapa pihak dirasa kurang adil karena pasien yang datang pertama, hanya karena tidak membawa kartu, mendapatkan pelayanan paling akhir. Sepulang dari observasi itu, saya berdiskusi dengan Stefanus. “Bagaimana kalau memang sudah demikian keadaannya, puskesmas memang memiliki keterbatasan dalam pelayanan itu, kau sebagai anggota masyarakat menyarankan solusi apa?” tanya saya kepada Stefanus. “Ya, mau tidak mau, jangan pake sistem manual,” jawab Stefanus. “Sekarang teknologi sudah canggih, kenapa tidak pake komputer saja kalau begitu?” “Mungkin mereka tidak ada dana,” kata saya. “Ada dananya, tidak mungkin tidak ada!” seru Stefanus dengan tegas. Oke! Saya rasa di sini lah faktor utama penyebab masalah pelayanan, khususnya untuk kasus di Puskesmas Sentani. Sarana dan prasarananya masih belum memadai, hingga detik ini. Program BPJS Kesehatan sudah mulai digalakkan. Pemerintah harus segera menutup kekurangan-kekurangan yang ada demi mencapai kesuksesan program tersebut. Berbagai rekomendasi, terutama di bidang kajian, tentang penerapan sistem komputerisasi pendataan, sudah sangat banyak. Contohnya, Harjono dan Darmadi (2009) dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta, sudah pernah membuat kajian tentang pentingnya integrasi sistem informasi puskesmas, salah satunya sistem sinkronisasi database yang terdistribusi dan database yang terpusat. Dengan rekomendasi yang demikian, kajian ini menyatakan bahwa sistem yang terintegrasi tersebut bahkan dapat mengatasi masalahmasalah kecil, tetapi penting, seperti update data riwayat pasien ketika berobat ke mana pun. Jika sistemnya manual, data hanya tersimpan di satu puskesmas saja, dan jika si pasien berobat ke puskesmas lain, akan dibuat lagi data yang baru yang tidak berdasarkan rekam medis yang sudah dibuat di puskesmas sebelumnya. Sistem pendataan terintegrasi, yang sudah pasti 93


harus menggunakan teknologi terkomputerisasi, dapat menjadi solusi karena pencatatan riwayat penyakit dan berobat si pasien tidak akan terpengaruh oleh gaya pencatatan yang berbeda dari masing-masing puskesmas. Sistemnya satu untuk keseluruhan. Masing-masing puskesmas dapat mengakses dan meng-update data rekam medis dari puskesmas yang lain. Keseragaman sistem pendataan tersebut juga didukung oleh kajian lainnya, oleh Wibisono dan Munawaroh (2012), dengan merekomendasikan sistem cloud computing yang mendayagunakan teknologi internet. Saya percaya, kajian-kajian yang merekomendasi berbagai metode dan sistem pendataan sangat begitu banyak diproduksi oleh universitas-universitas. Apalagi yang kurang? Kalau sudah begini, apa yang harus disalahkan? Bukan masyarakat yang enggan bersabar menungu antrian, bukan para dokter, suster dan petugas medis lainnya yang malas atau tidak cekatan bekerja, bukan pula kaum intelektual di bidang kesehatan yang kurang memperhatikan keadaan lingkungan di sekitarnya. Kalau sudah begini, memang pemerintahlah yang harus cerdas dan cepat tanggap mengambil tindakan. Gambaran kasar alokasi anggaran yang saya kutip dari dua sumber media massa online pada awal tulisan ini, setidaknya menegaskan peluang itu. Perbaikan sistem pelayanan informasi dan pendataan masyarakat di fasilitas publik semacam puskesmas, wajib diperhitungkan. Jika memang sudah diperhitungkan, harus diimplementasikan kebijakannya secara adil dan merata. Jangan hanya puskesmas-puskesmas di pusat atau di kota-kota besar saja. Harus seluruh wilayah, termasuk bagian paling Timur, seperti Kabupaten Jayapura, Papua. Sumber referensi dan data: Wawancara dengan partisipan Program Media Untuk Papua Sehat Wawancara dengan dr. Dian dan suster-suster di Puskesmas Sentani. Hery Harjono Muljo1 & Herru Darmadi, “Integrasi Sistem Informasi Puskesmas”, , Vol. 3 No. 1, Mei 2009, hlm. 45 – 49 Setyawan Wibisono & Siti Munawaroh, “Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (Simpuskesmas) berbasis Cloud Computing”, , Vol. 17, No.2, Juli 2012, hlm. 141-146

j

94


95


Sakit yang Tak Kunjung Sembuh Veronika Huby

Saya punya sebuah pengalaman, pada pertengahan Bulan Oktober, 2013, mama saya sakit demam. Saya mengantar mama saya ke sebuah rumah sakit milik pemerintah di wilayah Abepura, Rumah Sakit Abe. Kami tiba di rumah sakit sekitar pukul 08.30 Waktu Indonesia Timur (WIT). Baru pagi-pagi begitu, pasien sudah sangat banyak. Saya langsung membayangkan, “Kalau seandainya kami agak terlambat, pastinya kami akan mengantri cukup lama, atau mungkin kami tidak mendapat pelayanan karena kehabisan waktu. Karena pasien yang begitu banyak, bisa-bisa kami diarahkan ke IGD (Instalasi Gawat Darurat).” Kami mendaftar di loket, setelah mendaftar kami diarahkan oleh petugas agar menunggu di bangku yang telah tersedia. Setelah menunggu sekitar 10 menit, salah satu petugas kesehatan memanggil nama mama saya, Juliana. Saya memegang tangan mama saya dan kami menuju ke meja petugas, yang kemudian menanyakan apa yang dirasakan mama saya. Lalu, mama saya mengatakan bahwa dia merasa demam dan kepala sakit. Setelah mendengar itu, si petugas memberikan sebuah catatan agar saya mengantar mama saya ke ruang laboratorium. Kami menuju ke ruang laboratorium yang jaraknya sekitar 50 meter dari loket pendaftaran. Setelah tiba di dekat ruang laboratorium, saya melihat ada sekaitar 8 atau 9 orang duduk di 2 bangku panjang yang tersedia tepat di kedua sisi pintu masuk ruangan. Saya masuk ke dalam ruangan, saya lihat ada 3 orang petugas di dalam ruangan itu. Saya memberikan kertas tadi kepada seseorang yang berada di dekat pintu masuk. Setelah menerima itu, ia meminta agar kami menunggu di luar. Selama sekitar 3 menit kemudian, mama saya dipanggil untuk pengambilan sampel darah. Setelah mengambil sampel darah, kami kembali ke tempat duduk sebelumnya untuk menunggu hasil pemeriksaan. Selama menunggu, ada pasien-pasien lain yang terus berdatangan sehingga yang lainnya tidak mendapat tempat untuk duduk. Sementara itu, para petugas memanggil nama pasien mereka yang sudah lebih 96


dulu ada di sana. Akhirnya, setelah menunggu sekitar 20 menit, petugas itu memanggil nama mama saya untuk menerima hasil. Ia mengatakan bahwa mama saya sakit malaria tropika plus 3. Saya panik sekali mendengar itu. Kami kembali menuju ke loket untuk menyerahkan hasil itu kepada petugas yang sebelumnya memberikan catatan pemeriksaan darah. Setelah melihat hasilnya, dia melihat sebuah buku catatan yang dinamakan Buku Status. Setelah menulis hasil pemeriksaan di dalam Buku Status, ia mengarahkan kami menuju ke ruangan dokter umum. Status kami telah diantarkan ke seorang petugas yang duduk di depan ruangan. Kami menunggu di depan ruangan itu, tetapi mama merasa pusing dan mual, jadi kami keluar mencari toilet. Akan tetapi, toilet terkunci maka saya siapkan sebuah kantong plastik. Setelah beberapa menit kemudian, mama saya berkeringat sangat banyak sampai akhirnya mama muntah. Melihat kondisi mama yang demikian, saya jadi sedih dan jiwa saya memberontak. Akan tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena ada banyak pasien yang masih menunggu. Setelah menunggu sekitar 35-40 menit, mama saya dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter. Ada dua orang dokter di dalam ruangan itu, masing-masing dokter didampingi oleh 1 orang staf. Dokter melihat hasil pemeriksaan darah dan ia menanyakan apa yang mama rasakan. Setelah mama memberikan keterangan, si dokter memberikan resep obat dan ia menyarankan agar setelah obat habis, mama harus kembali untuk periksa darah agar bisa memastikan bahwa sudah tidak ada malaria. Kami mengantar resep obat ke apotek rumah sakit yang jaraknya sekitar 50 meter dari ruangan dokter. Di apotek, mereka menerima resep dari pasien yang rawat jalan dan rawat inap sehingga kami harus menunggu lagi sekitar 30 menit. Petugas memanggil dan memberi petunjuk minum obat. Saya mengambil obat, lalu saya duduk sebentar, lihat obat itu sambil saya memberi penjelasan kepada mama sesuai petunjuk petugas,. Saya lihat, obat-obat yang diberikan, ada tertera logo generik. 97


Obat yang diberikan dokter itu untuk dikonsumsi selama 6 hari. Mama mengikuti petunjuk dengan baik sehingga saya lihat, dari hari ke hari, kondisi mama semakin membaik. Setelah obat itu habis, kami kembali ke rumah sakit. Kami mendaftar dan mengikuti peraturan di situ seperti sebelumnya. Hasil pemeriksaan sampel darah menunjukan bahwa mama masih sakit malaria tropika plus 1 sehingga dokter memberikan resep obat untuk 4 hari. Setelah obatnya habis, mama merasa sehat sehingga mama dapat melakukan aktifitas seperti biasa. Sebulan kemudian, tepatnya di pertengahan Bulan November, 2013, mama sakit demam lagi sehingga saya mengantar beliau ke rumah sakit. Setelah melakukan pemeriksaan sampel darah, ternyata mama masih sakit malaria plus 1 sehingga mama harus mengikuti proses pengobatan. Di akhir Bulan Januari, 2014, mama saya sakit lagi, tetapi saya tidak mengantarnya ke Rumah Sakit Abe karena saya sudah mengantar mama 2 kali, namun mama tidak sembuh. Akhirnya, saya antar mama ke sebuah apotek di Abepura. Darahnya mama harus diperiksa agar memastikan penyakit malarianya. Ternyata, mama masih sakit malaria tropika plus 3 maka saya jadi bingung kenapa mama sampai bisa sakit malaria lagi? Di apotek, kami harus bayar dengan harga yang lumayan mahal, tetapi obat yang kami dapat bukan obat generik. Entah mengapa hal ini bisa terjadi? Sebenarnya ini salah siapa? Mungkinkah salah satu penyebab terjadinya hal ini karena penggunaan obat-obat generik di semua rumah sakit milik Pemerintah? Bangkit dari rasa sedih karena melihat kondisi ini, muncul rasa ingin tahu saya tentang apa itu obat generik. Saya coba mencari referensi lewat internet. Setelah mencari tahu, yang saya temukan referensi tentang obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Ada dua jenis obat generik, yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya. Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktifnya diberi nama (merek). Zat aktif amoxcilin, misalnya, oleh pabrik “A� diberi merek “inemicilin� sedangkan pabrik “B� memberi nama “gatocilin�, dan seterusnya sesuai keinginan pabrik obat yang bersangkutan. Dari berbagai merek tersebut, bahannya sama: amoxcilin (sumber: id.wikipedia.org/wiki/Obat_generik). Berdasarkan pengalamanku mengantar mama ke rumah sakit, dan mendampinginya menjalani proses pengobatan, aku berkesimpulan bahwa obat generik, sepertinya, hanya menahan atau meredakan rasa sakit, tetapi tidak menyembuhkan penyakit atau membunuh virus atau bakteri penyebab penyakit. Sayangnya, penggunaan obat-obat generik yang seperti ini marak

98


terjadi di puskesmas-puskesmas atau rumah sakit-rumah sakit, salah satunya seperti yang sudah saya ceritakan.[1] Otsus (Otonomi Khusus) telah diberlakukan di Papua sejak tahun 2001, Otsus didanai untuk menunjang beberapa sektor, salah satunya adalah sektor kesehatan. Dari dana Otsus tersebut, masyarakat Papua mendapat tunjangan dari pemerintah agar pendapat pelayanan kesehatan secara gratis yang di namakan Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dan Jaminan Kesehatan Papua (JAMKESPA). Meskipun masyarakat Papua telah mendapat tunjangan kesehatan, namun kondisi kesehatan masyarakat Papua masih memprihatinkan dan angka kematian di Papua terus meningkat. Pemerintah telah memberikan tunjangan kesehatan kepada masyarakat melalui JAMKESDA dan JAMKESPA. Namun, kebijakan ini tidak dibarengi dengan penataan bagi peredaran obat-obatan, baik yang generik maupun yang paten, dan juga tata cara pemakaiannya. Bahkan, pihak rumah sakit pemerintah pun, sepertinya, bisa abai akan hal ini. Menurut saya, jika peredaran dan penggunaan obat-obat generik tidak terkontrol dengan baik maka tidak akan ada perubahan yang baik pula untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, hal ini menjadi satu persoalan yang harus segera ditangani oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. -

[1]Catatan redaksi: kesimpulan dalam tulisan yang dibuat oleh Veronika Huby ini berdasarkan pengalamannya menggunakan obat generik. Penerapan penggunaan obat generik berlogo (OGB) yang ditetapkan Pemerintah Indonesia, sejak tahun 1989-an, sesungguhnya merupakan salah satu strategi alternatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan obat dengan harga terjangkau, tetapi memiliki kualitas yang terjamin (sesuai standar yang semestinya). Namun, alasan pemuatan tulisan Veronika di halamanpapua.org ini, bertujuan untuk menghadirkan pengalaman yang berbeda, di mana pada kenyataannya, ada beberapa pihak yang tidak mendapatkan manfaat dari obat tersebut. Tentu saja, dalam mempelajari pengalaman Veronika ini, kita tidak bisa melepaskannya dari faktor-faktor lain yang memungkinkan bertahannya virus penyakit di dalam tubuh si pengidap. Poin penting dari tulisan Veronika ialah tentang kontrol pemerintah yang, mungkin saja, belum berjalan dengan baik sehingga penggunaan OGB seringkali tidak tepat guna di lingkungan masyarakat. Pemuatan tulisan ini, diharapkan, dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca, dan memancing tanggapan yang lebih kritis terhadap kebijakan di bidang kesehatan dan pelayanan kesehatan.

j 99


Tidak Ada Suster Karena Tidak Aman Thomas Waisima

Nama saya Thomas Waisima. Saya orang asli Papua, lahir di Kampung Yanim, Kabupaten Jayapura. Saya adalah anak dari pasangan asli Papua juga. Ibu saya merupakan warga asli Yanim sementara ayah saya merupakan warga asli Sentani. Sejak tahun 2007, saya tinggal di Asrama Yayasan Laskar Kristus, yang  berada di Sentani Barat. Saya pindah ke sana karena di kampung saya yang dulu, Yanim, jarak sekolah sangat jauh. Jika saya tinggal di asrama, jarak sekolah hanya sepuluh meter saja. Pada tahun 2010, saya menamatkan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Atap, dan seya kembali pulang ke Yanim. Lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Nimboran, Jayapura. Selama SMK itu, saya pulang pergi Yanim – Nimboran yang jaraknya 2 jam perjalanan menggunakan ojek dengan biaya lima ribu rupiah (karena pulang pergi, totalnya jadi sepuluh ribu rupiah). Sekarang, jika misalnya saya pergi main ke Sentani, saya pasti singgah ke Asrama Yayasan Laskar Kristus. Sementara itu, sebagai tempat tinggal tetap, saya tinggal bersama orang tua di Yanim. Berbicara tentang masalah fasilitas dan pelayanan kesehatan, saya punya cerita dari Kampung Yanim. Yang saya tahu, di Kampung Yanim ada dua rumah sakit. Sebenarnya, itu bukan rumah sakit, orang-orang di kampung menyebutnya rumah sakit. Itu adalah tempat tinggal bagi perawat-perawat yang sudah selesai kuliah, tetapi belum mendapatkan SK, belum menjadi pegawai negeri, baru sebagai pegawai honorer. Jadi mungkin itu sebabnya yang berobat ke sana tidak sembuh-sembuh. Kira-kira cerita ini terjadinya setahun yang lalu. Pada saat itu, ada seorang anak yang bernama, Bartlomius Kwano. Saya kenal dia karena dia adalah keponakan saya, anak dari kakak perempuan saya, Martina. Bartlomius waktu itu sangat nakal. Ia mencuri uang seorang suster, yang biasa saya panggil Suster Pera. Padahal suster itu baik sekali. Kira-kira, jumlah uang yang ia curi itu sebesar tiga juta lima ratus ribu rupiah. 100


Waktu itu, kebetulan saya ada baru saja pulang dari praktek magang di Besum, Kabupaten Jayapura, dan mendengar cerita tentang pencurian itu dari Esron, keponakan saya yang lain (anak dari Ruben Yewi, kakak laki-laki saya). Esron bercerita, “Paman, tadi malam Bartlomius menyungkil jendela suster, lalu masuk dan mengambil uangnya suster, yang ditaruh di dalam karton dan dia langsung bawa dengan kartonnya. Dan dia buang karton di belakang rumah kaka Isaskar.� Karena dia melihat karton di belakang rumah Paman Isaskar itu lah dia tahu bahwa yang mencuri Bartlomius. Dari cerita itu lah saya baru tahu kalau Bartlomius yang ambil uang itu. Pencurian ini bisa terjadi, tentunya, karena ada peluang, di mana Bartlomius sempat kenal dengan suster dan tahu bagaimana kondisi tempat tinggalnya. Warga di Kampung Yanim saling mengenal, terutama kepada suster atau tenaga medis, karena warga sering berkunjung jika sakit. Setelah kejadian pencurian uang itu, Suster Pera tidak melaporkannya ke polisi. Ia hanya ingin tahu saja siapa yang mencuri, lalu marah sedikit saja. Namun, akhirnya Suster Pera memilih untuk pindah tugas karena tidak mau lagi terulangi jadi korban pencurian. Jadi, di kampung saya menjadi tidak ada lagi tenaga medis. Rumah tempat tinggal para suster itu kosong. Jika orang mau pergi berobat, harus ke rumah sakit umum yang ada di Genyem Kota. Dengan demikian, pelayanan kesehatan di Kampung Yanim tidak berjalan dengan baik, seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika suster-suster belum datang ke sana. Tidak lama berselang, ada suster baru yang dikirim pemerintah ke kampung saya itu. Suster tersebut juga masih tenaga honorer, dan tinggal di tempat yang disebut orang-orang rumah sakit tersebut (yang dulu ditemati oleh Suster Pera). Akan tetapi, masalahnya masih ada pada fasilitas dari tempat itu. Bangunan rumah itu punya tanah, tetapi belum dibayar kepada si pemilik tanah. Saya tidak berani menyebut namanya, tetapi yang jelas, 101


si pemilik tanah tidak mau menyerahkan rumah tersebut beserta tanahnya sebelum dibayar harga jualnya. Makanya, si suster itu meminta kepada pemerintah agar mau membayarkan rumah supaya pelayanan kesehatan di kampung saya dapat berjalan dengan baik. Namun, hingga sekarang, bantuan pemerintah tak kunjung datang. Harapan saya, pemerintah daerah di Papua segera membayar, atau mendirikan rumah sakit atau balai pengobatan, supaya tidak perlu ke rumah sakit umum yang jauh dari kabupaten. Selain itu, supaya pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan baik, seperti apa yang diimpikan masyarakat di Kampung Yanim.

j

102


103


Tanpamu Terasa Hampa Denganmu Aku Bahagia... 2014 / 12 Menit Realisasi: Forum Lenteng dan SKPKC Fransiskan Papua. Di waktu-waktu bukan Hari Pasar, dokter dan suster-suster berkeliling menuju Pustu (puskesmas pembantu) di daerah-daerah sekitaran Depapre. Yepase adalah salah satu lokasi yang menjadi fokus program puskesmas keliling. Di hari menimbang anak, mama-mama masyarakat Yepase berkumpul di Posyandu untuk memeriksakan kesehatan keluarga. Karya dokumenter ini mengetengahkan dua sudut pandang dan pengalaman masyarakat tentang fasilitas pelayanan kesehatan di sebuah lokasi yang mengalami kesulitan akses transportasi. Pendapat Mama Marice dan Suster Dorsila berusaha merefleksikan suatu keadaan sistem pelayanan kesehatan yang pada kenyataannya, masih belum berjalan secara maksimal.

104


Sang Penyuluh 2014 / 10 Menit Realisasi: Forum Lenteng dan SKPKC Fransiskan Papua. Persoalan utama yang menyebabkan masyarakat terancam oleh penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV-AIDS ialah ketidaktahuan mereka akan ciri-ciri dan gejala-gejala penyakit tersebut. Menanggapi masalah ini, pihak puskesmas berkewajiban untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, dr. Daniel, Kepala Puskesmas Depapre hadir di Posyandu Yepase untuk memberikan gambaran sekilas untuk memahami tanda-tanda penyebab dan dampak dari penularan kedua penyakit itu. Dalam kuliah singkatnya, tak bosan-bosan ia menghimbau mama-mama hadirat Posyandu untuk lebih peka terhadap penyakit dan merangkul masyarakat yang terkena penyakit agar mau datang berobat ke puskesmas. Karya dokumenter ini merekam aksi dr. Daniel sang penyuluh, yang ‘menularkan’ pengetahuan mengenai kesehatan di masyarakat Depapre untuk memerangi penyakit menular.

105


“Menyuntik� Masa Depan 2014 / 4 Menit Realisasi: Forum Lenteng dan SKPKC Fransiskan Papua. Suatu hari, sang suster mengunjungi Pulindes Wambena. Tujuannya adalah melaksanakan kegiatan imunisasi bagi bayi-bayi di kampung itu. Sepanjang perjalanan menuju ke dan pulang dari Polindes, sang suster beserta si sopir bercerita tentang alat transportasi yang terpaksa harus disewa karena mobil pusling (puskesmas kelling) tidak mampu menaklukkan rumitnya jalanan yang penuh lobang. Selain itu, sang suster juga bercerita tentang keberadaan Polindes yang terpaksa pindah lokasi karena terbentur persoalan sengketa tanah. Karya dokumenter ini merekam secuil informasi tentang kendala-kendala yang harus dihadapi tenaga medis dalam menjalankan kewajibannya menjaga kesehatan masyarakat. Meskipun terkendala, imunisasi tetap berjalan. Ada generasi masa depan yang harus diselamatkan. Sebab, bisa jadi si masa depan itu lah yang mungkin nanti akan mampu menanggualngi kendala-kendala terkait fasilitas pelayanan publik yang tak tertangani hari ini.

106


Puskesmas Manual 2014 / 4 Menit Realisasi: Forum Lenteng dan SKPKC Fransiskan Papua. Kartu berobat merupakan hal penting yang harus diperhatikan masyarakat agar memudahkan tenaga Puskesmas untuk mengidentifikasi data riwayat penyakit pasien. Pencatatan riwayat ini disebut rekaman medis pasien. Bagaimana jika pasien tidak mempunyai kartu berobat? Kita bisa membuatnya di loket, dan jika tak punya Jamkesmas, terpaksa harus membayar lima ribu rupiah sebagai biaya pengobatan, sesuai peraturan daerah. Kalau sudah punya kartu, tetapi lupa membawanya? Wah, suster-suster akan kewalahan mencari arsip si pasien. Kar ya dokumenter ini mencoba membent urkan fakta tentang kesederhanaan alur pelayanan yang dimiliki puskesmas dengan keterbatasannya sendiri akibat sistem pendataan yang masih manual. Merefleksikan harapanharapan publik yang mendambakan pelayanan yang cepat, mudah dan memuaskan, bingkaian video ini menjadi kritik bagi pemangku kebijakan di bidang kesehatan. Apalagi, dalam menyukseskan Program BPJS Kesehatan, komputerisasi sistem pendataan kesehatan, mungkin, memang harus digalakkan di setiap puskesmas di seluruh wilayah Indonesia.

107


Si Pendamping 2014 / 9 Menit Realisasi: Forum Lenteng dan SKPKC Fransiskan Papua. Steve, sapaannya, sudah bertahun-tahun menjadi pendamping ODHA (Orang dengan HIV-AIDS). Pengalaman dan kedekatan yang dimilikinya bersama ODHA membuatnya sadar bahwa permasalahan HIV-AIDS tidak akan bisa diselesaikan tanpa ada inisiatif bersama-sama dari masyarakat. Steve kemudian berbagi cerita dan memaparkan sudut pandangnya tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi ODHA dan penyakit HIV-AIDS itu sendiri. Karya dokumenter biografis ini merekam kisah Steve yang hingga saat ini masih aktif menjadi pendamping ODHA. Penuturan sederhana melalui wawancara singkat ini mencoba menunjukkan suatu cara pandang yang bersifat egaliter tentang inisiatf masyarakat, yang bukan dilihat sebagai sikap heroik, tetapi lebih kepada penghargaan pada suatu niat yang tulus dan ikhlas membantu sesama.

108


109


110


timika

111


Akuare Kamoro Ta Ananias Ewakipiyuta

Pada suatu malam, Ananias, Fabian dan Zikri terlibat perbincangan tentang Pulau Karaka, sebuah lokasi yang didiami oleh Suku Kamoro Timika Pantai. Ananias menceritakan pengalamannya mengenai puskesmas/posyandu, juga tentang aktivitas warga lokal di sana yang acapkali menjadi penyebab masyarakat menderita penyakit dalam. Tak lupa, Ananias juga bercerita tentang sekolah yang ada di sana. Perbincangan ini ‘ direkam’ oleh Zikri dalam bentuk notulensi, kemudian dengan bantuan Ananias, data perbincangan itu diolah kembali menjadi narasi, dan diterjemahkan oleh Ananias ke dalam Bahasa Kamoro Timika Pantai. “Akuare Kamoro Ta”, dalam Bahasa Indonesia, dapat diterjemahkan menjadi “Berbicara Kamoro”. “Kau, nama aslinya siapa?” tanya Zikri. “Ananias Ewakipiyuta.” “Apakah nama itu ada artinya?” “Ada.” “Apa artinya dalam Bahasa Indonesia?” “Itu dari moyang saya, begitu,” jawab Ananias. “Nama itu juga sudah tercantum dalam ahli kitab.” “Ahli kitab? Maksudnya apa itu, ahli kitab?” “Maksudnya, itu bukan ‘ahli kitab’, tapi ‘Al-kitab’,” seru Fabian, dari balik kamar. “Fabian, ke sini, kau!” seru Zikri. “Jadi, jelaskan padaku, apa maksudnya itu?” “Ananias itu nama titipan dari nenek moyang sebagai tanda menjaga warisan atau harta, dan warisan atau harta itu adalah sebuah nama, yaitu Ananias,” Fabian menjelaskan. “Dan ‘ananias’ itu adalah salah satu tokoh dalam Al-kitab. Ah, itu…! Begitu, toh?” “Iya,” jawab Ananias. “Oke, jadi, Nias, ceritakan aku pengalaman kau di kampung, tentang rumah sakit!” kata Zikri. 112


“Waktu itu, ada seorang dewan, atau salah seorang tokoh masyarakat, mengumumkan bahwa besok ada posyandu yang akan turun ke tempat ini, artinya Pulau Karaka,” Ananias mulai bercerita, mengingat pengalamannya di kampung. “Dan mereka tiba di Pulau Karaka jam sembilan pagi, pas masyarakat membawa anak-anak ke Balai Desa atau aula.” “Itu kapan?” Ananias mengingat-ngingat. “Kapan, ya? Saya tidak tahu. Lupa.” “Maksudku, kapan terjadinya pengumuman itu? Pengalamanmu itu? Tahun lalukah? Dua tahun lalukah?” “Empat tahun yang lalu…” Fabian memperhatikan Zikri dan Nias dengan senyum-senyum, lalu tertawa. Ananias pun ikut tertawa. “Oke, Nias. Ceritakan lagi, bagaimana kelanjutannya?” tanya Zikri. “Saya waktu itu sakit. Sakit badan, tulang-tulang sakit, dan flu,” kata Nias. “Saya pergi ke posyandu untuk pergi berobat ke sana. Mereka, pertama sekali, ambil darah, langsung setelah itu, ‘Oh, Ananias, kamu ini baik, cuma kecapean.’ Setelah itu, saya minta obat sakit tulang dan flu. Langsung mereka kasih saya obat.” “Selain posyandu, apa ada lembaga kesehatan lainnya di sana?” “Ada,” jawab Nias. “Ada dokter, satu. Ada suster, delapan. Mereka kerja dari jam sembilan pagi sampai jam enam sore, setelah itu barulah mereka pulang ke Pelabuhan Poumako.” “Maksudnya, dokter itu, mereka bertempat di mana?” tanya Fabian. “Di Timika,” jawab Nias. “Tapi mereka turun ke kampung-kampung, mengunjungi masyarakat. Sudah dijadwalkan, mungkin. Jadi, mereka turun ke situ, Pulau Karaka itu, dari jam sembilan sampai jam enam. Kemudian lanjut pergi ke Manasari, lewat ke Poumako dulu.” “Mereka setiap berapa minggu datangnya?” tanya Fabian. “Cuma sekali dalam satu minggu,” jawab Nias. 113


“Kapan?” “Cuma setiap hari Selasa atau Hari Jum’at.” “Bagaimana kesanmu waktu berobat ke posyandu itu?” tanya Zikri. “Yang saya rasakan itu…, mereka kasih obat…, selain itu, mereka kasih kue. Ada kata sambutan dari dokter bahwa anak-anak Pulau Karaka jangan minum minuman yang memabukkan atau menghisap rokok, terutama bagi yang belum dewasa. Dan bagi ibu-ibu hamil, selagi hamil, jangan merokok. Begitu…” “Maksudnya?” tanya Fabian. “Kan posyandu itu beda, toh, dengan yang dokter dan suster yang datang itu? Posyandu itu setiap hari, toh? Kau bisa berobat ke sana setiap hari. Kalau dokter dan suster itu, hanya datang setiap Selasa atau Jumat. Itu yang kau rasakan waktu ke posyandu, toh? Bukan ketika ke dokter atau suster. Ini kau menceritakan pengalaman waktu kau berobat ke posyandu atau waktu bertemu dokter dan suster itu?” “Kan saat mereka turun itu, langsung mengunjungi kita pu rumah, rumah tokoh masyarakat. Waktu itu sa tinggal di rumah tokoh masyarakat itu. Jadi, bertemu dengan mereka…” “Mereka ini siapa? Dokter dan suster, atau petugas posyandu?” “Petugas posyandu,” jawab Nias. “Itu, kita semua panggil mereka begitu, dokter dan suster.” “Jadi, posyandu itu posyandu keliling?” tanya Zikri. “Jadi, posyandu juga tidak setiap hari ada di sana?” “Tidak setiap hari,” Nias dan Fabian menjawab serentak. “Sakit yang paling banyak di sana, apa? Kusta, kah?” tanya Fabian. “Kusta itu apa? Sa tidak tahu.” “Kaskado…” kata Fabian. “Oh, iya, ada banyak di sana.” “Kalau malaria?” “Malaria juga ada.” “Selama di sana itu, penyakit apa yang paling banyak ditemukan?” “Penyakit dalam, karena masyarakat banyak menyebar jala untuk cari udang pada malam hari, sampai pagi,” kata Nias. “Dari jam tiga sore, mereka itu sudah potong-potong ikan busuk, toh, untuk umpan, dicampur dengan tanah dan nasi-nasi.” “Berangkat mencari udangnya, jam berapa?” “Jam enam. Jam enam itu sudah buang umpan,” kata Nias. “Setengah tujuh sudah buang jala (jaring). Setelah itu, mereka pindah ke tempat lain, buang umpan lagi, dan buang jala juga.” “Jadi, mereka, orang-orang yang mencari udang itu, bermalam di sana?” “Ya, di perahu. Kadang-kadang mereka membuat rumah sementara di muara.” 114


“Muara itu, maksudnya apa?” “Muara itu semacam pulau kecil, atau daratan-daratan kecil. Iya, toh?” kata Fabian. “Daratan-daratan kecil yang berada di dekat pembuangan jala itu.” “Jadi, mata pencarian utama Suku Kamoro, nelayan, ya?” tanya Fabian akhirnya. “Iya, nelayan.” “Habis mencari, itu untuk mereka makan atau jual?” “Untuk dijual. Mereka jual supaya bisa beli beras, beli gula, kopi, dan uang jajan, dan uang sekolah anak-anak.” “Jadi, karena aktifivas malam hari seperti itu, makanya sering terkena penyakit dalam…” “Ya, kadang-kadang bapak-bapak waktu buang jala itu ada yang tidak pakai baju,” jelas Nias. “Begadang, minum kopi, hisap rokok, dan tenaga juga habis karena banyak terkuras ketika mendayung dan buang jala.” “Di Pulau Karaka itu, ada sekolah?” “Ada, sekolah dasar,” jawab Nias. “Tapi di sana, waktu saya SD, belum ada sekolah. Jadi kita pakai sekolah itu, kita bikin sendiri. Ambil atap di Jembatan Satu, ambil papan di Porsite Kota.” “Kalau sekarang, sudah ada bangunan sekolah?” “Kalau sekarang sudah ada. Kita angkatan pertama, yang dimulai dari kelas 5.” “Bangunan sekolah itu, adanya tahun berapa?” “Itu tahun 2010, waktu yang tidak ada bangku. Duduk di atas lantai, dengan atap, tapi bukan seng.” Zikri mengangguk-angguk. “Atap itu…, Mas tahu atap itu apa?” tanya Fabian. “Langit-langit, kan?” “Atap itu, maksudnya, daun sagu yang dilipat kemudian dianyam menjadi atap,” Fabian menjelaskan. “Kalau sekarang, bangunan sekolah itu sudah ada?” Zikri mengulang pertanyaan. “Sudah ada, sudah jadi,” kata Nias. “Sudah digunakan, tapi belum diresmikan.” “Kalau guru-guru, bagaimana?” “Guru, ada. Dari Kamoro ada tiga guru, dari Paniai ada lima, ditambah kepala sekolah.” “Gedung-gedung yang sudah selesai itu, ada berapa ruangan kelasnya?” “Ada enam…” Dalam perbincangan tiga orang ini, Zikri sembari mengetik. Sementara dia memeriksa kata demi kata dalam tulisan yang ia ketik, Fabian dan Nias

115


terus saja bercerita sehingga beberapa kali Zikri ketinggalan percakapan, dan meminta Fabian dan Nias mengulang inti percakapan mereka. “Sudah, toh?” tanya Nias, sementara Fabian memperhatikan Zikri menulis, dan tertawa. “Ya, sudah… cukup.” *Tulisan asli berbahasa lokal sudah diterbitkan di http://halamanpapua.org/lokasi/timika/ akuare-kamoro-ta/.

j

116


117


Cerita Bercermin Yonri Soesanto Revolt

Suasana di siang ini begitu damai, semua penghuni Yayasan Peduli AIDS Timika (YAPEDA), tempat di mana kami menginap, tepatnya di Jalan Busiri, entah pada kemana. “Yah, mungkin karena lagi jam istirahat, jadi semua pada enggak nongkrong di kantor,” pikirku. Cuaca di luar ruangan tempat aku menulis luar biasa panasnya. Ditemani musik yang diputar oleh Bang Zikri, teman sekamarku, aku menulis serangkaian tulisan pendek, sekedar mengisi kekosongan waktu akibat belum dapat pekerjaan yang tetap untuk kehidupanku. Kutengok keluar jendela, terlihat balkon di depan kamar, sepi. Kembali kuterbayang masa bersama salah seorang teman, ODHA (Orang Dengan HIV & AIDS), sebut saja Rio. Dia sebaya denganku dan biasa menemaniku ngopi di balkon tersebut. Kini Rio telah berpulang ke rumah yang damai di sana, sekitar tahun 2013, tetapi kenangan tentangnya, yang meskipun hanya sedikit kami lalui, tetap menjadi serangakaian esai dalam memoriku. Kamar yang kupakai untuk menulis ini juga adalah kamarnya, dengan cat dinding berwarna krem dengan bingkai jendela berwarna biru, sungguh membuat damai suasanaku dalam menggoreskan pena di lembaran kertas kusut ini. Sungguh kamar ini terasa sangat damai. “Kamar ini nyaman Yon, kalau siang rasanya begitu tenang,” kata Rio ketika aku bertandang di kamarnya kala itu. “Keluargamu biasa datang kemari tidak, Bro?” ketika kutanya begitu, Rio terdiam. Awalnya, aku sempat berpikir untuk mengulang pertanyaan itu kepadanya, tetapi saat kulihat raut wajahnya yang terdiam membisu sambil menatap ke lantai, aku menjadi enggan untuk kembali bertanya. Ingatan selintas tentang pertanyaanku kepada R io waktu itu, menyebabkanku kembali termenung sambil meremas pena di jariku. “Sedih…” pikirku. Sungguh perhatian dan kasih sayang itu sangat begitu berarti untuk teman-teman kita yang menjadi korban HIV dan AIDS. Kegiatanku sebagai 118


pemerhati korban HIV dan AIDS sejak tahun 2007 ini memberiku banyak kenangan mengenai kehidupan kawan-kawan kita yang sudah menjadi korban virus yang sampai sekarang ini belum ada obatnya. Suntuk di dalam kamar, aku keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah melewati tangga. Pandanganku teralihkan ke pemandangan kamar temanku, Plasidus, seorang pemerhati korban HIV sama sepertiku. “Oh, rupanya Sidus sedang ke sekolah,” bisikku dalam hati. Kutengok ke dalam kamarnya, terlihat sangat berantakan. Ditambah cuaca yang panas dan jendela yang tertutup. “Oh my God! Super duper pengap kamar temanku ini.” Ketika selesai berurusan dengan air di kamar kecil, aku kembali manaiki tangga dan melihat kamar Kak Chichi yang terletak di sebelah kamar Plasidus. Ternyata, sudah ada orang. Sempat kutengok sekilas dari balik celah pintu yang terbuka sempit itu. “Tumben kamarnya terbuka, biasanya pintunya selalu tertutup, bahkan isinya pun tidak aku tahu…” kataku dalam hati sambil berjalan ke arah kamarku. Kembali kuraih pena yang tergeletak di samping asbak. Kutuliskan beberapa kalimat, tetapi kembali kuhapus. Aku, rasa-rasanya, menjadi gusar sendiri melihat kedua kamar yang berada di dekat tangga tadi. Kucoba cerminkan keadaan kedua kamar itu dengan kehidupan beberapa tema-teman kita yang terjangkit HIV. Ya, persis seperti kamar Plasidus dan kamar Kak Chichi tadi. Kamar Plasidus yang berantakan, panas, dan pengap. Kirakira, seperti itulah perasaan mereka, para ODHA, saat ini. Berantakan karena tidak diperhatikan, panas karena sering dipandang sebelah mata, dan pengap karena tidak bisa mencurahkan isi hati mereka karena takut diumpat. Kamar Kak Chichi, yang lebih sering tertutup. Kira-kira seperti itu pulalah yang terjadi pada ODHA: tertutup. Kalau bukan mereka yang menutup diri karena rasa malu, seringkali kita, masyarakat, juga tertutup pikirannya untuk menerima keadaan mereka.

119


Kembali aku menerawang jauh bayang-ingatan pengalaman di pertengahan Bulan Mei, tahun 2011. Kala itu, kami yang berperan sebagai panitia Malam Renungan AIDS Nusantara mengadakan acara kecil-kecilan dengan ayam bakar sebagai menu utamanya. Sungguh, suasana hari itu benar-benar penuh suka-cita sekaligus mengharukan bagi kami yang saat itu masih duduk di bangku SMA. Di tengah-tengah kami, ada seorang ibu yang sudah kami anggap sebagai orang tua kami sendiri. Bersama suaminya, kami saling menertawakan tingkah laku kami yang ketika makan sangat tidak “tahu aturan”. Kejadian itu terjadi persis berada di bawah ruangan tempat aku menulis ini. Aku menitikkan air mata, kubayangkan seyuman si ibu yang begitu tulus melayani kami dalam menyajikan makanan. Perempuan paruh baya yang badannya kurus itu tidak pernah sekali pun kulihat bersedih, tetapi kutahu betapa dalam kesedihan yang dia pendam, bayi laki-laki satusatunya pasangan suami-isteri itu harus pergi meninggalkan mereka karena mengidap virus yang sama. Kami, para pemerhati, selalu punya tekad untuk membuat senyumannya itu selalu utuh buat kami. “Sering-sering main ke sini, ya, kalau tidak sibuk! Sepi kalau tidak ada kalian yang suka berisik di sini,” si ibu berkata, yang kala itu diiringi dengan tawa kecil di bibirnya. Begitulah, kuingat pesan ibu ketika aku dan teman-teman hendak pulang ke rumah sehabis mangkal dari tempat si ibu. “Mana janjinya, katanya mau ngerujak bareng…?” itulah kata-kata terakhir yang kukenang ketika terakhir kali bertemu dengan beliau. Sebelumnya, pernah kujanjikan rencana mengadakan acara “Rujak Bareng” di kediamannya. Akan tetapi, rencanaku bukanlah rencana-Nya, karena kami harus kehilangan sosok beliau pada pertengahan tahun 2013. Angin dari luar jendela perlahan terasa adem. Bang Zikri keluar ruangan, sedangkan Bang Paul masuk menggantikan posisinya di depan komputer. Dia datang nongkrong dan duduk persis di sampingku. Sambil main catur di komputer, dia memutar musik yang agak funky. “Lumayanlah, ada yang nemenin aku selesaikan tulisan ini…” Tiba-tiba, di luar terdengar suara ramai berisik enggak jelas. Bergegas aku keluar kamar. Kutengok, ternyata sekelompok bocah Sekolah Menengah Atas (SMA) yang merayakan hari kelulusan mereka. Betapa mereka hanyut dalam teriakan suka ria. Sesekali, mereka berfoto narsis. Kulihat, sebagian mereka ada yang bergaya metal sambil nunjukin gigi kuningnya yang bercahaya, ada juga yang senyum sambil menggantung rokok di bibirnya (“Awas dilihat ortu, loh!” seruku dalam hati). Ada juga yang memamerkan lidahnya sampai menyentuh hidungnya (“Lidahnya sampai nyentuh ingusnya juga, deh!” pikirku lagi). Ada juga yang berpeluk-pelukan ala teletubies dibarengi cipika cipiki (“Mau gabung dong…!!!” teriakku dalam hati). Baju 120


SMA mereka, yang tadinya kuyakini putih bersih, kini telah berubah menjadi corak pelangi mejikuhibiniu dan beberapa ada yang cuma punya dua corak warna, merah dan putih. Pikirku, mereka menjadi “cinta tanah airâ€? ketika mereka diumumkan lulus sekolah. Hari kelulusan SMA memang sungguh hari yang paling bahagia dalam sejarah para anak sekolahan. Aku pun pernah mengalaminya. Di kota tempatku berada, di Timika ini, hampir semua rumah yang punya anak usia SMA, ketika hari kelulusan, pasti akan mengadakan acara meriah. Bahkan, ada orang tua yang menyediakan minuman keras (miras) dalam jumlah partai (berjumlah sangat banyak-red) untuk dikonsumsi bersama si anak yang telah lulus. Ada juga, bagi yang anak gadis, “celananya jatuhâ€? (hilang keperawanan-red) akibat perayaan kelulusan itu. Tak heran, bila di Kabupaten Mimika ini, angka HIV+ cukup tinggi, salah satunya, ya, dipicu oleh tindakan perayaan kelulusan tadi. Dari pesta, pindah ke miras, dan beranjak ke seks bebas. Yang lucu, dari perayaanperayaan kelulusan semacam ini di Timika, ada beberapa orang yang setelah pengumuman lulus, akan berbondong-bondong mendaftar di Kantor Urusan Agama beberapa hari setelahnya. Ya, salah satunya, ada yang merupakan temanku juga. Hehehehe‌! Ini sindiran kecil saja. Kebetulan, itu juga terlintas di otakku, jadi aku tulis saja. Tengok-menengok, teropong-meneropong, oke kita kembali bercermin! Kita juga bisa melirik satu sisi lain yang layak untuk jadi renungan. Bingkai senyuman dari corat-coret kelulusan anak SMA tadi, terasakah untuk ODHA? Apakah kita juga mau memberi warna pada mereka sembari tersenyum dan bahagia bersama? Inginkah juga kita cipika-cipiki dan berpelukan dengan mereka? Satu hikmah yang bisa kusampaikan dari ceritaku ini, janganlah kita menjadi orang yang mendiskriminasi mereka, para ODHA. Kita tidak perlu menjadi seperti pintu kamar Kak Chichi yang selalu tertutup. Kita juga jangan sampai membuat mereka ibarat kamar si Plasidus di siang bolong plong plong plong. Akan tetapi mari kita ikut saling berpelukan bersama mereka sembari merayakan hari kelulusan kita menjadi saudara sebangsa dan setanah air. Yah, nggak perlu sampai ke KUA. Berpelukan sebagai tanda persahabatan itu, saya rasa, sudah cukup, kok!

j

121


Malam Renungan AIDS Nusantara Kabupaten Mimika 2014 Restituti Betaubun

Malam Renungan AIDS Nusantara atau yang biasa disebut dengan MRAN, merupakan kegiatan internasional yang dilaksanakan setiap tahun. Tujuan utama diadakanya MRAN ini adalah guna menyatukan semua orang dalam memikirkan dan merenungkan epidemi AIDS yang sudah banyak mengambil nyawa manusia di dunia. Dengan adanya MRAN, masyarakat diajak untuk memberi dukungan, bukan saja peduli terhadap masalah HIV/AIDS, tetapi juga dapat mengambil langkah-langkah penanggulangan sehingga dalam kegiatan MR AN tersebut, masyarakat diajak untuk dapat mengubah penderitaan menjadi tekad dan tindakan yang membawa perubahan. Jika hal tersebut dilakukan maka stigma dan diskriminasi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat dikurangi, bahkan dapat ditiadakan. Tujuan tersebut kemudian menjadi dasar dari YAPEDA (Yayasan Peduli AIDS Timika) untuk mengajak organisasi-organisasi dan komunitaskomunitas peduli AIDS melakukan pembentukkan panitita MRAN di tahun ini. Maka, pada tanggal 29 Maret, 2014, bertempat di Kantor YAPEDA, cita-cita tersebut diwujudkan dengan dibentuknya panitia bersama MRAN Kab. Mimika, tahun 2014. Organisasi peduli AIDS yang kemudian masuk dalam Panitia tersebut antara lain : YAPEDA, C-PHMC, Relawan AIDS, PILA, YCTP, YCS, Komunitas RIT, Komunitas Waria Timika, Pramuka Saka Bhayangkara, Komunitas Fotografi TPH, Infiniti dan Forum Orang Muda Timika. Berdasarkan hasil pertemuan-pertemuan rapat untuk kegiatan MRAN, yang secara internasional jatuh pada tanggal 15 Mei 2014, oleh Panitia Bersama MRAN Kab. Mimika diadakan pada tanggal 17 Mei, 2014. Dalam perjalanan menyongsong kegiatan tersebut, ada banyak hal yang dilakukan oleh panitia bersama. Salah satunya ialah mendorong masyarakat KM-10 mendapatkan layanan BPJS Kesehatan. Hal tersebut sesuai dengan penuturan Ketua Panitia MRAN Kab. Mimika, Indah Indarti dari organisasi Saka Bhayangkari.

122


Kegiatan MRAN pada hari itu bertempat di Lapangan Timika Indah. Tepat pada pukul 16.00 WIT, kegiatan tersebut diawali dengan melakukan aksi kampanye keliling mengitari jalan-jalan di sekitar Lapangan Timika Indah, dengan rute jalan: Lapangan Timika Indah – Jl. Budi Utomo (Dept. Store Diana Supermarket) – Jl. Cenderawasih (Kantor DPR Lama) – Jl. Yos Sudarso (Gereja Tiga Raja dan Bank Papua) – Jl. Belibis (Bank Mandiri) dan terkahir ke Jl. Budi Utomo masuk kembali ke Lapangan Timika Indah. Isi dari kampanye tersebut ialah memberitahukan informasi tentang tujuan diadakannya kampanye, serta mengajak dan memotivasi masyarakat sekitar untuk terlibat dan berkontribusi dengan menghadiri kegiatan renungan yang dimulai secara resmi pada hari itu, pukul: 17.00 WIT s.d. selesai. Namun, kegiatan yang dilakukan mundur satu jam dari waktu yang dijadwalkan. Mundurnya waktu kampanye disebabkan karena beberapa organisasi yang terlibat dalam aksi kampanye hadir tidak tepat waktu. Akan tetapi, hal tersebut dapat teratasi. Sekitar pukul 16.00 sampai 17.00 WIT, panitia sukses melakukan aksi kampanye dan dilanjutkan dengan acara , berupa pembukaan dan sambutan dari Pater Bert, Direktur YAPEDA, mewakili Panitia Penyelenggara dan kemudian disusul dengan sambutan dari Pemerintah Daerah, dalam hal ini Bapak Reynold Ubra, selaku Sekretaris Harian KPAD Kab. Mimika. Dalam sambutannnya, Bapak Reynold Ubra mengajak masyarakat Mimika, khususnya anak muda Mimika, untuk terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki komitmen dalam aksi menghilangkan stigma dan diskriminasi ODHA. Seusai sambutan dari panitia penyelenggara dan pendukung, ketua panitia memberikan laporan kegiatan MRAN Kab. Mimika tahun 2014. Menurut laporan ketua panitia, dalam kegiatan tersebut tercatat bahwa dana yang terkumpulkan adalah sebesar Rp. 22.798.000,-. Total dana yang terkumpulkan didapatkan dari berbagai donator, antara lain KPA Kab.

123


Mimika, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Forum Pemuda, RSUD Kab. Mimika, PJP, Trakindo, Sandvik dan Astra Motor. Rangkaian kegiatan cukup padat dan singkat, namun memikili makna yang mendalam dan sangat inspiratif. Setelah sesi sambutan, panitia mengajak semua masyarakat dan perwakilan organisasi-organisasi yang hadir untuk menandatangani banner yang disiapkan sebagai tanda komitmen penolakkan stigma dan diskriminasi ODHA. Rangkaian kegiatan ini berjalan dengan lancar. Selain itu, ada berbagai macam kegiatan lainnya yang diharapkan dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi masyarakat untuk mencapai tujuan dari MRAN, diantaranya adalah penampilan teater oleh anak-anak muda. Teater tersebut mengisahkan tentang sebuah keluarga bahagia yang kemudian dilanda duka karena sang ayah yang terinfeksi HIV sejak lama, namun sang ayah baru berterus terang kepada istrinya pada saat detik-detik kematiannya. Sang ibu, yang kaget dan terpukul dengan kondisi tersebut, kemudian menolak untuk memeriksakan diri dan larut dalam kesedihan. Namun, ketika sang bayi sakit dan harus meninggal akibat virus HIV, disaat-saat itulah sang ibu kemudian bangkit dari keterpurukannya untuk bertahan demi kedua anak yang masih membutuhkannya. Pada akhir drama teater itu, dipertunjukkan bagaimana sang ibu kemudian patuh meminum obat demi kebahagiaan kedua anaknya. Pada pertengahan acara MR AN, dilakukan sesi renungan, yang memanfaatlam 550 lilin untuk dibagikan kepada para hadirin. Ada 503 lilin yang habis digunakan dan sebagian dinyalakan pada papan Pita Peduli yang telah dibuat oleh panitia. Papan Pita Peduli ini berguna sebagai simbol kepedulian, yang kemudian direfleksikan melalui puisi sebagai bahan renungan. Untuk memperkuat momen renungan tersebut dan untuk melengkapi aksi komitmen dari perwakilan organisasi masyarakat (Ormas) dan masyarakat yang terlibat, dilakukan pula aksi atraksi lingkaran api HIV. Aksi ini berupa skenario yang menceritakan adanya setan HIV yang menggoda anggota PILA (Pemuda Indonesia Lawan AIDS). Si anggota PILA bertugas untuk menerjang lingkaran api HIV tersebut guna menyerahkan bannner tandatangan komitmen. Skenario lingkaran HIV tersebut bertujuan untuk memberikan pandangan bagaimana perjuangan dalam kehidupan melawan virus, bahwa ketika sesorang berjuang untuk mendapatkan hak hidup yang lebih baik, selalu saja ada masalah dan hambatan yang kemudian menggoda untuk mematahkan perjuangannya. Menutup aksi rangkaian kegiatan renungan, para hadirin melakukan pembakaran lilin dan api unggun. Setiap organisasi dan masyarakat yang hadir mengutus perwakilan mereka satu orang untuk bersama-sama melakukan pembakaran api unggun, sebagai lambang komitmen menghilangkan stigma 124


dan diskriminasi ODHA. Aksi pembakaran api unggun ini ditandai dengan petuah dari Sekretaris KPAD Kab. Mimika (Reynold Ubra). Tak lupa, akhir acara ditutup dengan doa oleh Pater Bert. Usai doa, terdengarlah dentuman suara musik dari teman-teman RIT (Rock in Timika), sebagai tanda berakhirnya rangkaian acara Malam Renungan AIDS Nusantara Kabupaten Mimika tahun 2014. Panitia menyatakan bahwa lagu tersebut adalah pernyataan dan awal langkah untuk mencapai semangat perjuangan dan komitmen meniadakan stigma dan diskriminasi ODHA.

j

125


Puskesmas Limau Asri, Tes Darah Di Lapas Ruth Susanti

Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, khususnya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Limau Asri SP5, dalam menekan angka penularan HIV & AIDS terus dilakukan. Tidak ketinggalan bagi semua penghuni dan petugas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Timika. Lapas ini dihuni oleh sekitar 100 orang lebih warga binaan dari berbagai macam tindak kriminal. Penyebaran HIV & AIDS di Papua lebih banyak terjadi karena diakibatkan oleh hubungan seksual yang beresiko. Puskesmas Limau Asri, bekerjasama Yayasan Charitas Timika, melakukan penyuluhan tentang penularan dan akibat dari HIV ini. Kegiatan yang diselenggarakan oleh petugas puskesmas ini rutin dilakukan setiap 6 bulan sekali dan khusus di dalam Lapas karena termasuk dalam wilayah pelayanan puskesmas Limau Asri. Tim ini melakukan konseling, dan dihadiri sebahagian besar dari penghuni hotel prodeo tersebut. Ketika para binaan sudah setuju dan siap memeriksakan diri maka dilakukanlah tes darah bagi mereka. Akan tetapi, ketika tiba waktunya untuk tes darah, satu per satu peserta kabur atau meninggalkan ruangan yang ada di Lapas tersebut. Yang berhasil mengikuti test darah itu hanyalah sekitar 50 orang. Sebahagian dari mereka enggan diperiksa karena mereka merasa minder dan malu, apalagi karena pemeriksaannya dilihat oleh banyak orang. “Kami tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi kami akan rencana untuk kembali lagi ke Lapas ini, untuk terus melakukan penyuluhan dan pemeriksaan terhadap mereka,� kata Bertha Kamo, penanggung jawab KIA Puskesmas Limau Asri. “Karena sesuai dengan isu-isu yang kami dengar bahwa di dalamnya terjadi seks bebas yang dilakukan oleh para penghuni. Jadi, supaya ketika mereka keluar nanti, mereka bebas dari penyakit itu.� Salah satu penghuni Lapas yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa kalau untuk seks bebas, dia tidak tahu persis kebenarannya. Namun, di dalam Lapas itu disiapkan fasilitas ruangan untuk pasangan 126


suami isteri yang berkunjung dan jika ingin melepaskan kerinduan mereka. Sementara itu, kalau alat-alat seperti pisau cukur, sikat gigi dan semacamnya, kadang digunakan oleh para penghuni Lapas secara bergantian di dalam Lapas tersebut. Dari hasil pemeriksaan tes darah yang dilakukan oleh petugas puskesmas tersebut, terdapat salah satu penghuni lapas perempuan yang dinyatakan positif terinfeksi HIV. Setelah melakukan pendekatan dengan perempuan tersebut, pada Selasa, 29 April 2014, saya dan dia kemudian berbincang tentang pengalaman pribadinya. Sejak usia 12 tahun, dia mengaku sudah mengenal seks bebas, yang dilakukan bersama dengan pacarnya waktu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sejak saat itu, dia terus melakukan seks bebas dan bahkan tingkah laku di luar normanya berkembang sampai ke tindakan kriminal, hingga mengakibatkan dia “menginap� di Lapas tersebut. Perempuan ini kemudian melanjutkan cerita tentang pengalamannya bahwa kegiatan seks dan tindakan kriminalnya itu dilakukan ketika masih tinggal di Kota Jayapura. Tindakan kriminal yang dia lakukan bersama pacarnya itu, antara lain terlibat dalam aksi geng motor yang selalu mengganggu pengguna jalan lainnya dan juga melakukan aksi jambret. Aksi mereka itu akhirnya tercium oleh pihak aparat. Ia pun menjadi daftar pencarian orang (DPO) dari kepolisian Kota Jayapura. Ketika aksinya mulai ketahuan, kemudian dia melarikan diri ke Kota Timika dan sempat juga melakukan aksinya yang serupa. Aksinya pun terhenti ketika pihak kepolisian menciduknya di kota tersebut dan menjebloskannya ke Lapas Timika. Para petugas kesehatan ini bukan hanya melakukan pemeriksaan di dalam lingkungan Lapas saja, tetapi juga melakukan pemeriksaan terhadap masyarakat, hampir setiap hari yang dilakukan lewat door to door. Karena umumnya masyarakat sibuk dengan kegiatan masing-masing, pemeriksaan pun dilakukan dengan cara mendatangi mereka sehingga dapat terlayani semuanya. 127


Masyarakat yang ada di wilayah pelayanan Puskesmas Limau Asri merasa senang dengan pelayanan yang dilakukan oleh para petugas puskesmas di lingkungan mereka itu karena sering mengadakan penyuluhan dan sosialisasi terhadap bahaya HIV & AIDS dan juga penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Manfaatnya, masyarakat dapat memahami pentingnya menjaga kesehatan reproduksi mereka dan bisa lebih waspada atau hati-hati dalam bergaul. Hasil yang diharapkan oleh para petugas dalam melakukan kegiatan mereka adalah supaya semua masyarakat yang ada dalam wilayah pelayanan Puskesmas Limau Asri ini sehat dan ketika ada yang didapati mengidap salah satu penyakit itu, maka harus segera di tindaklanjuti dengan memberikan pengobatan.

j

128


129


Wartawan Di Kampung Halaman Nurman Riyanto

Dinginnya pagi tak menghalangi langkah saya dan kedua kakak saya, Zikri dan Febian, untuk bergegas ke Mapurujaya, pada Hari Rabu, 4 Juni, 2014. Kami kebagian tugas untuk mengabadikan aktivitas jam operasi mobil puskesmas keliling (biasa disingkat pusling). Itu adalah hari yang menyenangkan dan juga tidak menyenangkan. Kenapa saya katakan demikian? Karena kebetulan saya juga tinggal di Mapurujaya, para petugas medis yang bekerja di puskesmas itu sebagiannya sudah sejak lama saya kenal. Akamsi (anak kampung sini), itu julukan yang di berikan Abang Zikri kepada saya. Dengan kata lain, saya lebih tepat disebut Akama , alias anak kampung Mapurujaya. Kembali ke lingkungan rumah adalah hal yang menyenangkan. Sementara itu, yang tidak menyenangkan bagi saya adalah cuaca di hari itu. Proses syuting agak terganggu karena hujan. Itu membuat saya kesal karena sebagian dari seluruh proses aktivitas gagal kami abadikan. Jam setengah tujuh pagi, kami tiba di Puskesmas Mapurujaya. Untungnya, saat kami tiba di lokasi, hujan yang mengguyur kami sepanjang perjalanan sedikit mereda. Hati saya agak lega rasanya. Tanpa menunggu aba-aba, saya mengambil tripod dan kamera, sesuai instruksi di awal diskusi kami bertiga malam sebelumnya: mengambil gambar yang dibutuhkan saja sesuai rencana filem dokumenter yang akan dibuat. Terlihat dari pandangan saya sekilas, apa mungkin karena faktor hujan itu kah atau tidak, puskesmas belum dibuka. Kami melihat ada beberapa pasien yang datang lebih awal dari kami sedang menunggu. Tanpa terdistraksi oleh kehardiran mereka, saya pun fokus mengambil gambar, yakni 2 mobil pusling yang terparkir di halaman puskesmas. Mobil yang satu, kalau menurut saya, kurang layak digunakan, sedangkan yang kedua, lebih tidak layak pakai lagi, alias rusak akibat kecelakaan. Hujan pun kembali semakin deras, sekitar dua jam lamanya kami mengabadikan keadaan puskesmas yang belum juga buka. Ketika sudah

130


benar-benar deras, tiba-tiba hujan reda lagi dan…, eh, betapa terkejutnya saya saat melihat Mantri Anto yang sangat saya kenal datang. Sebelum saya menyapa, Mantri memanggil saya lebih dulu, dengan panggilan saya sewaktu kecil, “Man, ngapain kamu?” “Ah, ada syuting filem dokumenter,” jawab saya dengan tegas. Sepertinya dia sudah mengerti kedatangan kami. Mantri Anto pun mulai melakukan aktivitasnya, yaitu membuka kantor Kepala Puskesmas dan memanaskan mobil pusling. Tiba-tiba, dia memberitahukan bahwa dia akan mengambil bubur. Dalam benak, saya bertanya, “Bubur apa?” sambil menatapnya binggung. Tanpa menghiraukan kebingungan saya, dia pun berjalan dengan mengendarai mobil pusling. Menyadari pentingnya momen itu, saya dan Kak Fabian mengejarnya dengan motor. Tanpa bertanya lebih jauh lagi, kami menuju tempatnya, dan ternyata dia memang betul-betul mengambil bubur. Ketika mobil pusling itu hendak berangkat lagi dari rumah tempat diambilnya bubur, saya ikut naik ke dalam mobil dan duduk di sebelah Mantri Anto yang menyetir. Kami kembali ke puskesmas membawa bubur itu. Saya saat itu ingin sekali bertanya padanya, tapi malu. Tapi, mau tidak mau, memang harus bertanya. Akhirnya kami pun bercakap-cakap sebagaimana kami berteman dulu. “Kata Kepala Puskesmas, buburnya itu selalu ada setiap posyandu…?” tanya saya. “Iya, selalu ada,” jawabnya. “Ini merupakan salah satu program PMT (pemberian makanan tambahan-red) dan juga sebagai alasan untuk menarik perhatian ibu-ibu ke posyandu.” “Iya, ya! Salah satu teknik mengambil perhatian juga ya…!?” Tiba kembali di puskesmas, saya diinstruksikan oleh Abang Zikri untuk lengket dangan Mantri Anto, orang yang akan kami jadikan subjek 131


cerita. Saya merasa seperti menjadi seorang wartawan. “Hahaha…!” saya tertawa dalam hati. Tiba-tiba, saya teringat kembali semasa kecil yang mengesankan. Orang yang saya ajak bercakap-cakap di dalam mobil itu adalah paman mantri yang dulunya telah membantu orang tua saya membesarkan saya. Saya mengangapnya seperti orang tua saya sendiri. Sekarang, saya justru berposisi sejajar, semacam klien, yang mewawancarai dan diwawancarai. Sudah berselang bertahun-tahun perkenalan kami. Saya merasa bersyukur, paling tidak dengan aktivitas yang sekarang, saya sudah menjadi orang yang cukup bisa dibanggakan, bahkan diandalkan untuk mengembangkan kampung melalui kerja media yang mandiri. Tak terasa, tiba waktunya bagi kami menuju ke tempat posyandu, ternyata tempat yang dijadwalkan adalah posyandu kampung Kaugapu. Lagi-lagi, ketika mengabadikan aktivitas tersebut, hujan turun dengan deras. Saya merekam ibu-ibu yang memeriksakan anaknya, sembari tetap sebanyak mungkin mengambil gambar aktivitas Mantri Anto ketika melayani masyarakat. Menjelang tengah hari, hujan belum juga reda sepenuhnya. Kami selesai merekam berbagai aktivitas di posyandu, sesuai kebutuhan produksi filem. Ketika kembali ke puskesmas, tidak seperti biasanya, kami bertiga— saya, Bang Zikri dan Fabian—menggunakan motor beat bertiga alias goti (gonceng tiga). Sesampainya di puskesmas, kami mewancarai Mantri Anto yang saat itu sedang makan bakso. Menurutnya, keberadaan mobil pusling yang beroperasi ada dua, tetapi baru-baru ini mobil, salah satu mobil tidak dapat beroperasi karena mengalami kecelakaan. Yang satunya lagi pun, kalau mau dibilang sebenarnya sudah tidak layak pakai. Akan tetapi, menurut Mantri Anto, mobil itu terpaksa digunakan untuk membantu lancarnya pelayanan puskesmas keliling. Kami pun bertanya lagi, “Apakah ada kebijakan dari pemerintah atau instansi terkait untuk membantu perbaikan atau memberikan mobil pusling yang baru?” “Untuk saat ini, kami sudah mengajukan ke Dinas Kesehatan, tapi belum ada respon,” jawab Mantri Anto. “Terus, untuk biaya operasional, untuk akses seperti bubur yang dibagikan saat posyandu tadi, dari mana?” “Untuk biaya operasional, kami dapatkan bantuan dana dari BOK (biaya operasional kesehatan),” tuturnya.

132


Itulah sebagian pertanyaan yang kami ajukan padanya, yang kemungkinan besar akan cantumkan dalam rangkaian cerita mengenai puskesmas keliling di Mapurujaya. Hari sudah siang. Hujan masih saja turun walau tak sederas sebelumnya. Sembari menunggu hujan reda, saya, Bang Zikri dan Fabian pun turut menikmati bakso setelah melakukan wawancara. Bisa dibilang, kami berkegiatan setengah harian. Kami makan bakso sambil menatap hujan dan memperhatikan aktivitas-aktivtas di puskesmas yang mulai sepi. Ta  lama setelah itu, kami pun bergegas pulang, bertepatan dengan redanya hujan.

j

133


CERITA DARI PULAU KARAKA 2014 / 20 Menit Realisasi: Aloyesius Rahawadan, Yosep Levi Mama Dobo, Mama Maria Gema, Mama Yakoba dan Mama Anas, adalah empat di antara banyak mama-mama yang sering diminta bantuan oleh orang-orang di Pulau Karaka jika ada ibu hamil yang akan melahirkan. Berbekal pengetahuan turun temurun dan keberanian untuk menolong sesama, mereka kini jadi dukun beranak desa yang tetap konsisten. Dalam video dokumenter ini, di tengah aktivitas sehari-hari para bapak membuat perahu, empat mama ini berbagi pengalaman sebagai dukun beranak desa, membandingkan metode mereka dengan metode kedokteran, mengungkap alasan kebiasaan lokal yang diluar nalar masyarakat umum dan menegaskan aturan adat yang tetap harus dijaga.

134


JANGAN KARENA PERAHU 2014 / 17 Menit Realisasi: Ananias Ewakipiyuta, Lina Ningsih, Nurman Riyanto, Plasidus Amatimukata, Ruth Susanti, Steven Betaubun, Yonri S. Revolt Puskesmas pembantu (pustu) di Pulau Karaka sudah dua tahun tak didatangi oleh petugas puskesmas, kecuali kegiatan-kegiatan pelatihan untuk para kader. Itu pun hanya dua kali. Begitulah pengakuan dari Bapak Fakundus dan Abang Ernes. Di suatu pagi, kala petugas puskesmas datang membuka layanan kesehatan meskipun terlambat. Masyarakat pun berbondong-bondong mendatangi puskesmas. Kamera merekam aktivitas imunisasi dan pemeriksaan ibu hamil yang terpaksa dilakukan di atas lantai tanpa alas. Buruknya pelayanan ini disebabkan sulitnya transportasi dari Timika ke Pulau Karaka. Pihak puskesmas harus menunggu angkutan dari perusahaan yang seringkali datang terlambat.

135


PENGANTAR GIZI 2014 / 18 Menit Realisasi: Ananias Ewakipiyuta, Lina Ningsih, Nurman Riyanto, Plasidus Amatimukata, Ruth Susanti, Steven Betaubun, Yonri S. Revolt Tak ada transportasi lain selain mobil pusling (puskesmas keliling) yang digunakan oleh petugas untuk mendatangai lokasi sasaran. Terutama jika ada kegiatan posyandu di kampung-kampung. Akan tetapi, kondisi mobil pusling yang ada sudah tidak layak. Di Puskesmas Mapurujaya, ada dua mobil pusling. Satu mobil rusak karena kecelakaan. Bapak Rudolof Rumbewas dan Mantri Anto berbagi pengalaman dan pandangan mereka tentang keberadaan mobil pusling dan kegiatan posyandu yang ada di Mapurujaya waktu itu.

136


PESAN DARI IWAKA 2014 / 7 Menit Realisasi: Ananias Ewakipiyuta, Lina Ningsih, Nurman Riyanto, Plasidus Amatimukata, Ruth Susanti, Steven Betaubun, Yonri S. Revolt Puskesmas pembantu (pustu) Iwaka sudah lama dibangun, tetapi kondisinya begitu-begitu saja: minim fasilitas dan tak terjaminnya keselamatan petugas. Terutama, transportasi yang dapat digunakan oleh petugas pustu, mengingat lingkungan di sekitaran Iwaka sedang rawan. Bapak Gregorius dan Herman, selaku kepala puskesmas dan kepala desa, berbagi pandangan mereka tentang apa saja yang seharusnya menjadi perhatian dan prioritas pemerintah, baik pusat dan daerah, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Iwaka.

137


POSYANDU PANTANG MUNDUR 2014 / 8 Menit Realisasi: Ananias Ewakipiyuta, Lina Ningsih, Nurman Riyanto, Plasidus Amatimukata, Ruth Susanti, Steven Betaubun, Yonri S. Revolt Di perjalanan, seorang suster berbicara pengalamannya menjadi petugas kesehatan di Satuan Pemukiman (SP) 7, seperti jarak perjalanan yang jauh, situasi yang rawan, dan sulitnya transportasi. Wawancara yang dilakukan di dalam mobil terasa begitu berisik, frame kamera goyang. Namun, itu menjadi penegas tentang kondisi jalan yang tidak bagus. Di Posyandu SP 7, situasinya lebih tidak teratur lagi. Masyarakat acuh tak acuh dengan penjelasan dari seorang suster yang sedang memberi penyuluhan mengenai malaria.

138


SAYA YANG CEPAT ATAU 2014 / 9 Menit Realisasi: Ananias Ewakipiyuta, Lina Ningsih, Nurman Riyanto, Plasidus Amatimukata, Ruth Susanti, Steven Betaubun, Yonri S. Revolt Bingkaian yang merekam aktivitas berobat yang dilakukan seorang pasien di Puskesmas Limau Asri. Ketika Bapak Fransiskus tiba, ruang-ruang di puskesmas tersebut masih kosong. Yang ada untuk melayani hanya petugas loket, dan seorang mantri dan suster. Ketika berobat, Fransiskus bercerita panjang lebar tentang sakitnya, tentang saudaranya, dan tentang hal-hal lainnya.

139


TONG NEBENG TRUK SAJA 2014 / 12 Menit Realisasi: Ananias Ewakipiyuta, Lina Ningsih, Nurman Riyanto, Plasidus Amatimukata, Ruth Susanti, Steven Betaubun, Yonri S. Revolt Transportasi ke SP 5 sangat susah. Bahkan, suster-suster pun harus rela menumpang truk untuk menuju puskesmas. Tiga orang suster kemudian menumpang sebuah truk pengangkut pasir. Sepanjang perjalanan, mereka berbagi cerita terkait pengalaman kerja, pandangan tentang kualitas para suster, fasilitas untuk petugas kesehatan, dan juga tak lupa tentang proses kenaikan pangkat.

140


141


142


wamena

143


AKU SHOOTING, AKU PEKA, AKU INGIN TERUS BERKARYA! Imanuel Mabel

Awal proses Shooting, kami menyepakati untuk melihat bagaimana pelayanan kesahatan di Puskesmas Kurulu. Dalam proses tersebut, kami mengalami beberapa pengalaman. Dimana pengambilan gambar di puskesmas kurulu akhirnya dibatalkan, karena petugas kesehatan menolak kami. Kepala Puskesmas Kurulumenolak kami dengan alasan bahwa kami tidak memiliki surat ijin dari dinas kesehatan jayawijaya. Akhirnya, kami mengalihkan proses Shooting di Pustu Wosilimo Distrik Wosi, dengan menggunakan ide awal, yakni melihat bagaimana pelayanan kesehatan di desa terpencil. Atas persetujuan Ibu Kepala Pustu Wosi, Suster Ana Doga, akhirnya pada hari Senin tanggal 26 juni 2014, kami mulai menjalankan proses Shoting di sana. Kami sangat senang beliau mengijinkan kami mengambil gambar. Selain itu, ia juga mau memberikan pengalaman selama melaksanakan pelayanan di sana. Saya, teman-teman (Aris Mulait dan Franciskus Romena) dan Bang Gelar, sebagai pembimbing, naik ke Wosi dengan menggunakan motor. Perjalanan menggunakan sepeda motor ditempuh kurang lebih sekitar satu jam perjalanan. Sesampainya di Pustu Wosi, kami mulai mengambil gambar bangunan Pustu, ruangan-ruangan pustu dan juga aktifitas perawat dan pasien. Selain itu kami juga melakukan wawancara dengan Ibu Kepala Pustu dan seorang mantra. Kami juga tidak mau ketinggalan untuk mengetahui bagaimana pandangan pasien yang kebetulan datang pada hari itu, terhadap pelayanan Pustu. Kami mengakhiri pengambilan gambar pada jam setengah dua bersamaan dengan jadwal hari kerja di Pustu Wosi. Selama Shooing, kami menemukan beberapa permasalahan disana. Antara lain, kami melihat kekurangan tenaga medis dalam proses pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, oleh petugas kesehatan, kami diberitahu bahwa peralatan medis yang digunakan di Pustu Wosi sering dicuri. Hal tersebut membuat proses pelayanan sangat terganggu, bahkan ada beberapa obat pun ikut dicuri. sehingga dalam pelayanannya, para tenaga medis disana terpaksa 144


menggunakan peralatan seadanya. Bahkan ada juga seorang mantri yang membawa alat cabut gigi miliknya pribadi untuk melayani pasien. Karena sering terjadinya pencurian, maka pihak Pustu juga memiliki inisiatif untuk tidak membuang obat-obat yang sudah rusak atau kadalwarsa. Obat-obat tersebut kemudian ditaruh di luar, agar pencuri tidak mengambil obat yang masih baik. Bahkan, oleh petugas, pintu tempat obat sengaja dirusak agar pencuri tidak curiga bahwa ditempat itu ada obat yang baik. Pencurian obat-obatan biasanya dilakukan untuk mabuk-mabukan. Warga menggunakan obat yang ada di Pustu untuk memenuhi kebutuhan ‘mabuk’. Menurut Suster Ana, jika siang hari obat datang, maka malamnya pasti terjadi pencurian. Namun tidak hanya obat yang dicuri. Diesel, Antena Televisi, Solar Cell dan berbagai perlengkapan juga habis dicuri. Namun, seringkali pencurian itu terjadi dan dilaporkan oleh pihak Pustu, pihak berwajib tidak pernah merespon. Sungguh sangat disayangkan, ketika masyarakat membutuhkan pelayanan, ada bagian masyarakat lain yang memanfaatkan apa yang ada dirumah sakit untuk kepentingan mereka. Apalagi didapatkan dengan jalan mencuri. Ironisnya lagi, pihak berwajib seperti ‘malas tahu’ akan hal ini. Setelah diskusi ketika preview hasil Shooting, ternyata banyak hal yang belum kami ambil. Maka, karena memang rumah saya berdekatan dengan Pustu Wosi, keesokan harinya saya sendiri yang mengambil gambar ke Pustu Wosi. Di sana saya mengambil gambar yang masih kami anggap kurang, terutama gambar peralatan medis dan ruangan yang dimasuki pencuri. Selain itu saya juga menyempatkan diri melakukan wawancara dengan beberapa pasien. Sekitar tiga jam mengambil gambar, saya kembali pulang kerumah. Setelah melalui beberapa proses dari awal pengambilan gambar, hingga proses wawancara yang saya jalankan, ternyata muncul motifasi dalam diri saya untuk terus berkarya di bidang ini. Karena menurut saya, dengan cara seperti ini, apa yang saya tidak tahu dapat saya ketahui. *Tulisan ini dimuat dalam katalog pemutaran film, hasil lokakarya Media Untuk Papua Sehat Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

145


BINTANG, AKU, MAMA DAN BAYI Veronika Wetipo

Pada tahun 2010 saya bertugas di Pegunungan Bintang yang beribu kota Oksibil. Tepatnya di gudang PT. Farmasi. Suatu ketika, salah seorang ibu dengan bayinya, Rio, yang berusia kurang lebih 6 bulan, datang dari balik gunung dengan tujuan untuk berobat. Memang, kondisi pelayanan kesehatan di distrik meraka, yakni di Distrik Iwur, pelayanan kesehatan sangat minim. Sebab, boleh dikatakan distrik mereka masih terisolasi, sehingga pasien terpaksa harus mendaki gunung dan lereng untuk mendapatkan pelayanan medis. Hingga, ibu ini, dengan niat dan tekat yang sangat besar datang jauhjauh untuk mendapatkan pelayanan medis, demi kesehatan bayinya tersebut. Kira-kira pukul 15.00 WIT, sang ibu dan bayi tersebut datang dan duduk di depan Gudang Farmasi. Ia berharap mendapatkan suatu pelayanan dari tim medis yang bertugas pada saat itu. Saya berjumpa dengan ibu itu, memang sebuah kebetulan. Sebab, biasanya jam segitu, saya sudah pulang kerja. Sehari-hari saya bekerja di gudang PT Farmasi dari pukul 08.00 pagi, hingga pukul 13.00. Saat itu, setelah pulang kerja, saya sedang istirahat di rumah. Tiba-tiba saya di panggil oleh Kepala Gudang Farmasi untuk datang ke gudang. Dia meminta bantuan saya, karena ada barang-barang yang baru datang dari Jayapura. Jarak dari rumah saya ke tempat kerja kurang lebih 500 meter. Akhirnya, saya buru-buru ke gudang. Ketika mendekati gudang, saya melihat seorang ibu dengan bayinya tersebut. Meraka sedang duduk di depan Gudang Farmasi. Melihat ibu itu, saya tidak langsung masuk ke gudang. Tetapi saya menghampiri ibu tersebut. Kemudian saya bertanya kepada ibu dari bayi tersebut. “Ibu sedang apa disini? Hari sudah sore, kasihan bayi ibu nanti sakit.” Namun ibu dari bayi tersebut diam dan hanya dapat mengeluarkan air mata, karena tidak sanggup menjawab pertanyaan tersebut. Setelah cukup lama menangis, ibu tersebut menjawab. Katanya dia datang dengan tujuan untuk mendapatkan pelayanan medis, sebab anaknya sedang sakit. Kemudian saya menghampiri sang ibu tersebut. 146


Memang budaya suku Ngalum, suku terbesar di daerah Pegunungan Bintang, saling menghargai satu sama lain. Apalagi orang yang lebih muda. Maka saya langsung memberi salam dan sentuhan hangat kepada ibu tersebut. “Ibu, kenapa tidak langsung saja berobat ke rumah sakit?”, tanyaku. “Kami tidak mempunyai uang untuk berobat,” jawab ibu itu sedih. Maka saya memberikan uang dengan sejumlah Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah), dengan tujuan agar mereka bisa berobat. Namun selanjutnya ibu dari bayi tersebut hanya duduk dan diam. Melihat hal tersebut, saya minta izin untuk menggendong bayinya. Ketika saya menggendong bayi tersebut maka saya baru tahu kalau kondisi bayi saat itu sedang mengalami panas tinggi dan juga sesak nafas. Ternyata bayi tersebut sangat sekarat dan sangat butuh pertolongan tim medis. Saya langsung bergegas untuk membawa anak itu ke rumah sakit terdekat. Pada saat itu, Kepala Gudang Farmasi memanggil saya namun saya tidak memperdulikannya. Saya lebih memilih bayi yang sedang sakit parah itu. Setelah sampai di rumah sakit, saya berteriak minta tolong kepada tim medis untuk merawat bayi tersebut. Saya meneriaki suster, mantri, dokter yang ada di rumah sakit pada saat itu, namun mereka sedang asyik berceritera, canda dan tawa di salah satu ruangan. Sehingga mereka tidak mendengarkan teriakan saya. Posisi saya pada saat itu semakin tegang dan gelisah, karena kondisi bayi yang sangat parah tersebut. kekhawatiran saya mulai muncul. Saya langsung menuju ke ruangan petugas, lalu berteriak dengan suara yang sangat keras untuk meminta tolong. Akhirnya dokter keluar dengan senyum. Barulah kemudian dokter tersebut memasang infuse dan oksigen kepada bayi tersebut. Saat itulah kegelisahan saya mulai mereda, dan saya menjadi sedikit tenang. Setelah dokter selesai memasang infuse dan oksigen di bayi tersebut, saya kemudian meninggalkan ibu dan bayi tersebut di rumah sakit. Saya pun melanjutkan kegiatan saya, membantu bos untuk membereskan barangbarang yang baru masuk tersebut. 147


Kira-kira satu minggu lamanya bayi tersebut di rawat di rumah sakit. Setelah dinyatakan sembuh oleh dokter, maka kami membawa bayi itu ke rumah saya. Pada saat itu saya bertanya kepada ibu dari bayi tersebut, apakah ibu itu mempunyai keluarga di sekitar sana. Dia menjawab, ada. Namun saya tidak tahu persis posisi keluarga mereka berada. Akhirnya saya menerima ibu dan anaknya untuk tinggal bersama di rumah. Kira-kira satu bulan lamanya, ibu tersebut memutuskan untuk kasih bayi tersebut kapada saya, dengan alasan bahwa suami saya memiliki dua isteri,  dan kami tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius dari suami. Maka, saya pun menerima bayi tersebut. Saya merawat bayi tersebut dengan baik. Kebetulan juga, Kepala Farmasi bersedia membantu saya. Beberapa hari kemudian, ibu dari bayi tersebut, dengan salah satu pria muncul lagi. Pria itu adalah salah satu kepala kampung dari Distrik Iwur. Kepala Kampung tersebut mengatakan, bahwa keputusan yang di ambil oleh ibu dari bayi tersebut adalah hanyalah sepihak. Oleh karena itu  dia datang untuk mengambil kembali bayi tersebut. Sayapun memberikan bayi tersebut, karena memang bukan hak saya. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, ibu itu muncul lagi. Kali ini, ia datang dengan tujuan untuk membalas jasa yang pernah saya perbuat. Dia datang dengan  membawa uang tunai sejumlah Rp. 5.000.000,- ( lima juta rupiah ), buluh cenderawasih, dan beberapa barang lainnya. Namun saya menolak apa yang mereka bawa. Yang terpenting bagi saya adalah, upaya yang saya lakukan itu tidak sia-sia. Artinya saya telah berhasil dalam menyelamatkan nyawa seorang anak manusia, itu sudah cukup bagi saya.

j

148


149


GEDUNG AIDS BERDIRI, KAMI RESAH Aloisius Doalekma Matuan

Komisi penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Jayawijaya, ditangani oleh Shelter dan dibantu oleh petugas perawat yang berasal dari perwakilan umat dari beberapa Paroki yang ada di dekat Jayawijaya. KPA sendiri merupakn tempat pasien-pasien HIV-AIDS di rawat. Di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), saat ini ada beberapa pasien yang dinyatakan sudah positif terkena HIV-AIDS. Pasien-pasien ini ditangani oleh Shelter. Sedangkan penjaringan pasien, biasanya bekerjasama dengan pihak Rumah Sakit Umum Wamena. Sementara itu, Paroki bertugas mengirimkan petugas ke Shelter, untuk membantu para pasien, menjaga, merawat, mencuci dan memasak buat pasien. Para pasien tidak bisa makan sembarangan, tetapi harus mengikuti semua arahan dari suster yang selalu menjaga, serta merawati pasien-pasien tersebut. Jalur Penanganan pasien di Shelter awalnya melalui rekomendasi dari dinas kesehatan. Kemudian, apabila ditemukan seorang pasien yang dinyatakan positif terkena HIV-AIDS, dengan kemungkinan kondisi masih bisa diatasi, maka dokter menganjurkan pasien tersebut untuk dirawat di KPA. Namun, rekomendasi untuk dirawat di KPA, berdasarkan persetujuan dari keluarga. Biasanya keluarga dianjurkan untuk mengantar pasien sampai ke KPA. Selama berada di KPA, pasien tetap mendapatkan pengawasan, serta mendapatkan resep obat dari dokter. Pasien yang sakitnya tambah berat atau tidak bisa diatasi, maka pasien tersebut tidak dapat diterima di KPA. Fungsi KPA di sini hanya memfasilitasi tempat dan membantu sebagian keuangan, makan, minum serta obat-obatan. Namun yang bertugas menangani pasien adalah Shelter Pemulihan Pasien Yayasan Dian Harapan Papua Dekenat Jayawijaya yang kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya. Saya mendapat keterangan ini dari Bapak Amos Alua, Kepala Tata Usaha di KPA, pada hari rabu tanggal 28 Mei 2014. Pasien HIV-AIIDS yang sementara ini ada di KPA, yang tangani oleh Shelter, ada tiga orang pasien. Dua orang dewasa dan satunya masih anak150


anak. Pasien ini makan dan minum semua, diatur dengan baik. Mereka dilarang makan di luar dari tempat penginapannya. Namun sayang, kehadiran KPA di tengah warga juga menimbulkan polemik. Keberadaan gedung KPA menimbulkan keresahan tersendiri. Masyarakat yang berada disamping KPA merasa tidak aman, karena mereka berfikir bahwa penyakit ini bisa tertular dengan mudah. Keterangan ini saya dapatkan ketika saya mengunjungi tetangga-tetangga saya. Rumah saya pun berada dekat dengan KPA. Persisnya, rumah saya berada tepat di belakang KPA. Sebagai masyarakat yang juga dekat dengan KPA, saya merasa khawatir. Apalagi pembuangan air dari KPA, keluar melalui samping rumah saya. Kehawatiran saya semakin besar, karena anak-anak saya sering bermain di sekitar areal tersebut. Kami tidak mempunyai sumber air yang berasal dari PDAM atau pun mata air bersih. Kami hanya memiliki sumur, untuk masak, cuci piring dan untuk kebutuhan hidup lainnya. Takutnya, air sumur bisa tercemar. Hal senada juga diungkapkan oleh Mama Nelly Asso dan Saudara Yohanes Matuan. Kebetulan juga tempat tinggal mereka, berada di belakang KPA. Mereka  mengatakan bahwa Virus HIV ini bisa dapat tersebar di sekitar areal mereka.

j

151


KISAH TRAGIS MANTRI BERJURUS MABUK Franciskus Romena

Desa saya bernama Elagaima. Untuk masalah kesehatan, kami biasanya menggunakan jasa petugas Puskesmas. Dulu sempat ada perawat. Tapi karena pindah tugas, Puskesmas yang ada di desa kami tinggal kosong tanpa perawat. Setelah sekian lama kosong, akhirnya terisi juga dengan perawat. Perawat ini adalah putra desa kami sendiri. Semua masyarakat bangga akan kehadirannya sebagai perawat, apalagi putra asli daerah. Permasalahan masyarakat yang susah berobat, kini teratasi. Kini kami lega, karena adanya perawat ini. Dia menjadi sosok pemuda kebanggaan desa. Namanya sering dibicarakan di mana-mana. Masyarakat sangat bersyukur. Sebab desa kami tidak seperti dulu, ketika kami susah untuk berobat. Tapi, semakin lama ia membuat masyarakat mulai mengeluh. Keluhan masyarakat ini ditengarai akibat ulahnya sendiri. Dia mengajak pemuda desa menggunakan obat-obat Puskesmas untuk mabuk. Obat yang datang tiap bulan pasti habis dalam 1 minggu. Pasien yang datang untuk berobat hanya bisa mengeluh dan pulang. Akhirnya, mereka berobat dengan menggunakan obat tradisional. Kalau perawat itu layani pasien, pasti dia layani dalam keadaan mabuk. Semua pasien takut, kalau-kalau dia salah memberikan obat. Saya pun pernah menjadi ‘korban’ perawat mabuk tersebut. Suatu saat saya mengalami kecelakaan saat kerja bakti. Kaki saya terkena parang dan saya dilarikan ke Puskesmas itu. Sesampainya di Puskesmas, ternyata perawat tersebut sedang duduk bersama beberapa temannya. Mereka sedang pesta minuman keras. Terpaksa saya harus menunggu hingga sore, baru kemudian saya dilayani. Saya sangat takut karena perawat tersebut sedang mabuk. Tapi karena terpaksa, saya pun memberanikan diri untuk dilayani. Setelah saya dirawat, saya pulang. Beberapa minggu kemudian luka saya sembuh, tapi bekasnya membengkak dan tidak hilang hingga sekarang. Banyak yang mengalami kejadian seperti yang saya alami, dan semua mengeluh. Karena banyaknya keluhan masyarakat terkait tindak-tanduknya, perawat itu pun mengubah sifatnya, yang suka melayani pasien dalam keadaan mabuk. 152


Tapi terlambat sudah‌ Perawat itu sudah terlalu banyak menggunakan obat-obatan. Akhirnya dia pun jatuh sakit, hingga akhirnya nyawanya tidak bisa diselamatkan. Dan dia meninggal di usia muda. Setelah perawat itu meninggal dan datang perawat yang baru, kini desa kami semakin baik.

j

153


MAHALNYA ARTI KESEHATAN DI DISTRIK KURULU Imanuel Mabel

Kurulu adalah sebuah distrik yang terdapat di pinggiran kota Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Mata pencaharian masyarakat yang mendiami distrik tersebut, pada umumnya di bidang pertanian lokal dan ternak babi. Daerah ini mempunyai alam yang indah. Namun sayang, dibalik alam yang indah dan menakjubkan itu, masih saja terdengar jeritan tangis anak pemilik negeri, yang disebabkan berbagai penyakit. Penyakit kecil yang sebenarnya bisa diobati dan dapat tertolong, akhirnya menjadi berat bahkan sampai meninggal dunia. Hal tersebut terjadi karena kurangnya tenaga kesehatan. Suatu pengalaman yang pernah saya lihat yaitu ketika melihat ada seorang anak kecil yang terjatuh dari atas pohon hingga patah tangannya, dan oleh orang tuanya anak tersebut dibawa kepuskesmas Kurulu. Namun sayang mereka (perawat) menolak dengan alasan tidak ada dokter. Akhirnya dengan perasaan yang sangat sedih orang tua dari anak tersebut akhirnya membawa kembali anak mereka pulang tanpa mendapat pengobatan. Saya sendiri juga pernah mengalami pengalaman, yang tidak pernah bisa saya lupa hingga saat ini. Saat itu saya pernah mengalami penyakit paru-paru. Oleh orang tua, saya dibawa Puskesmas Kurulu. Namun, di sana tidak ada dokter yang bisa menangani penyakit tersebut. Akhirnya dengan keadaan serta keterbatasan yang ada, orang tua membawa saya ke sebuah apotek yang terdapat di kota. Â Tujuannya, agar saya bisa mendapatkan pelayanan di apotek. Sebab, selain menjual obat, beberapa apotek membuka praktek pengobatan. Dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, akhirnya saya dapat pelayanan di apotek tersebut. Bayangkan saja, hanya dua kali berobat dan dua kali melakukan pemeriksaan medis, orang tua saya mengeluarkan biaya hingga Rp. 2.000.000 (dua juta Rupiah). Setelah melihat hal tersebut, terlintas pertanyaan dibenak saya. Secara pribadi kita memang dituntut untuk menjaga kesehatan. Namun masih adakah di luar sana yang peduli terhadap kesehatan masyarakat, khususnya di 154


Distrik Kurulu tercinta ini? Apalagi dengan kondisi serta tuntutan ekonomi yang semakin keras di zaman ini. Masalah ini akhirnya menimbulkan polemik di masyarakat. Mereka mengatakan bahwa, pemerintah tidak mampu memperhatikan kesehatan masyarakat di Distrik Kurulu sampai tuntas,  hingga saat ini. Hal serupa  pernah terungkap dari orang tua saya, ketika mengantar saya ke apotik tersebut. Ia mengatakan “Seandainya di daerah ini semua orang mengalami penyakit paru-paru, bagaimana pemerintah mampu mengatasinya? Pasti semua tidak akan tertolong (meninggal). Percuma didirikan puskesmas jika tidak ada dokter yang bisa mengobati penyakit yang serius, seperti penyakit paruparu.â€?, ungkap bapak saya. Ungkapan tersebut bila dianalisa, sebenarnya menandakan ketidakpercayaan dan keputusasaan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah, yang tidak menempatkan tenaga-tenaga handal untuk mengobati penyakit yang serius. Khususnya di Puskesmas-Puskesmas. Di atas adalah kasus yang saya lihat dan pernah saya rasakan, dari sekian banyak kasus yang terjadi dan sedang berlangsung di sana, di Distrik Kurulu.

j

155


EBEAILA 2014 / 12 Menit Realisasi: Herman W. Buruphotte, Veronika Wetipo Setiap manusia yang hidup memiliki asal dan tempat kembali. Orang Balim (Orang Wamena) mempercayai bahwa manusia akan kembali ke ‘Ebeaila’. Maka ia harus dihormati dan dihargai. Video ini mencoba menggambarkan bagaimana kehidupan Orang Balim yang mereka tuangkan dalam struktur bangunan tempat tinggal mer¬eka, salah satunya ‘Ebeaila”.

156


Janji-Jani Sampah Pisugi 2014 / 12 Menit Realisasi: Felix Itlay Film ini menceritakan mengenai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS), Pisugi. Bertahun-tahun sampah dari seluruh kawasan di Kabupaten Jayawijaya, diangkut dan dibuang sana. Setiap hari dengan jumlah truk yang melebihi dari 6 truk. Dampak dari pada pembuangan tersebut tidak terfikirkan oleh PemerÂŹintah Daerah Kabupaten Jayawijaya. Dalam video ini, kita akan melihat visual yang menarik seputar lokasi TPAS tersebut. Selain berbagai masalah yang hadir di sana, kita juga disuguhkan keuntungan dari adanya TPAS tersebut, dimana masyarakat yang beternak babi, menggembalakan ternak mereka di sana.

157


Jheno 2014 / 12 Menit Realisasi: Dorthea Kossay Video ini menceritakan tentang perempuan wamena yang awalnya memiliki cita-cita menjadi seorang suster biarawati namun takdir membawahnya menjadi seÂŹorang perawat. Dimana Ia rela menjalani tugas dalam melayani masyarakatnya dengan penuh rasa memiliki dan tanggung jawab dan sepenuh hatinya. Menjadi ‘Suster’ Jheno, merupakan ajakan kepada semua masyarakat Papua khususnya Wamena, untuk bisa melayani sesama, khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan.

158


“Dicuri! Ini Pencuri Yang Masuk!â€? 2014 / 12 Menit Realisasi: Imannuel Mabel, Aris Mulait, Franciskus Romena Video ini bercerita tentang kondisi sebuah Puskesmas yang berada di KabuÂŹpaten Jayawijaya, tepatnya di Distrik Wosi. Puskesmas tersebut mengalami kendala karena kurang fasilitas kesehatan. Selain itu masalah lain muncul karena sering terjadi pencurian obat-obatan dan alat-alat medis. Minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor yang menghambat.

159


Tuah Untuk Timur 2014 / 12 Menit Realisasi: Herman W. Buruphotte, Vincent Pasu Pater Jhon, sapaannya. Sudah cukup lama ia hidup di Papua. Menjelajahi berbagai macam dan bertemu berbagai macam karakter di tempat di tanah ini. Banyak yang ia pelajari dengan menjadi seorang guru dan seorang imam. Dalam video ini, beliau berbagi ‘Tuah’ untuk kita. Kira-kira apa saja yang ingin beliau sampaikan?

160


161


162


163


PARTISIPAN JAYAPURA Agustina Ansanay Lahir di Jayapura, 15 September 1993. Setelah SMA, ia melanjutkan kuliah di Universitas Ottow dan Geissler, Jurusan Sistem Informasi. Selain kuliah, sekarang ia aktif di Komunitas Riyana Waena mengikuti kegiatan Media Untuk Papua Sehat. Alloysius Rahawadan Lahir di Sorong, 17 Agsutus 1986. Menyelesaikan pendidikan TK-SMA di Sorong. Tahun2006 melanjutkankuliah di STFT (Sekolah Tinggi Filsafat dan Theology), Jayapura. Gemar menulis dan membaca. Sekarang, aktif menulis lewat Media Untuk Papua Sehat. Gerson Warumboy Lahir di Jayapura, 23 Februari 1991. Kegiatan sehari-hari aktif di LSM Noken Papua dan PKBI Kota Jayapura. Selain itu dia juga aktif sebagai konselor remaja (menangani isu-siu kesehata remaja) di wilayah Kota Jayapura. M. Iqbal Akbar Lahir di Jayapura, 2 Februari 1990. Hobi bermain sepakbola dan memperkuat tim Azzuri Batu Putih, Jayapura. Sekarang aktif berkegiatan di LSM Noken Papua sebagai pendamping ODHA. Dia juga terlibat dalam Media Untuk Papua Sehat. Yosep Levi Lahir di Flores 23 Juni 1984. Setelah tamat SMA N 1 di Jayapura pada tahun 2002, sempat melanjutkan kuliah di STFT – Fajar Timur, namun tidak selesai. Tahun 2013 dia berhasil menempuh gelar sarjananya di Universitas Cenderawasih dengan jurusan antropologi.

SENTANI Devota Olinger Lahir di Jayapura, 9 Juni, 1995. Devota baru menamatkan pendidikan sekolahnya di SMA Teruna Bakti, Waena, Kota Jayapura. Devota juga aktif mengikuti berbagai kegiatan di Gereja “Sang Penebus”, Sentani, dan dalam Media Untuk Papua Sehat.

164


Grace Yogi Lahir Wamena, tanggal 18 Desember, 1995. Grace baru saja menyelesaikan sekolahnya di SMA YPPK Teruna Bakti, Jayapura. Sembari menunggu melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, Grace ikut aktif di kegiatan Media Untuk Papua Sehat, dan mulai menulis cerita-cerita yang berkaitan dengan isu kesehatan. Ricky Dwi K Lahir di Sentani, tanggal 27 April, 1994. Ia juga aktif di kegiatan gereja, bahkan termasuk dalam salah satu jajaran kepengurusan inti para pemuda di gereja. Selain tertarik dengan fotografi, ia juga aktif dalam Program Media Untuk Papua Sehat. Stefanus Abraw Lahir di Pulau Biak, Papua, 23 September, 1985. Sejak 2008 menjadi aktivis dan pendamping ODHA. Sekarang ini aktif berkegiatan di SKP KC Fransiskan Papua. Dalam Media Untuk Papua Sehat, dia menulis cerita-cerita tentang HIV-AIDS berdasarkan pengalaman yang ia miliki. Thomas Waisima Warga asli Papua yang lahir di Yanim, Kabupaten Jayapura. Menamatkan pendidikan terakhir di SMK 2 Nimboran, Kabupaten Jayapura, jurusan hortikultura. Saat ini, dia aktif menjadi peserta pelatihan Media Untuk Papua Sehat, dan mulai menulis narasi-narasi yang berkaitan dengan isu kesehatan.

Veronika Huby Perempuan asal Wamena yang berkegiatan di Sentani. Bergiat sebagai aktivis perempuan dan turut serta dalam program Media Untuk Papua Sehat

TIMIKA Ananias Ewakipiyuta Akrab disapa Nias, lahir di Pulau Karaka, 27 Agustus, 1997. Saat ini bersekolah di SMP YPK Eben Haezer, Timika. Dia bergabung di PILA (Pemuda Indonesia Lawan AIDS) sejak 2012, dan turut aktif dalam Program Media Untuk Papua Sehat. Lina Ningsih Lahir di Larowiu, 16 November, 1997. Saat ini duduk di kelas 2, SMK Rajawali, Timika. Ia aktif di PILA sejak 2010, dan ikut menjadi pengurus harian tahun 2013. Dalam program Media Untuk Papua Sehat, turut aktif berkontribusi dalam produksi tulisan dan video.

165


Nurman Riyanto Lahir di Timika, 11 November, 1995. Baru menamatkan pendidikan SMA, dan aktif di PILA sejak 2010. Kegiatannya di PILA antara lain adalah sebagai penyuluh informasi HIV/AIDS kepada anak-anak muda di Timika, khususnya ke sekolah-sekolah tingkat menengah. Restituti Betaubun Akrab disapa Chichi, lahir di Ohoiel, 23 April, 1985. Saat ini aktif di YAPEDA Timika sebagai Manajer Keuangan. Selain itu, Chichi juga aktif di PILA.

Ruth Susanti Akrab disapa Shanty, lahir di Makale, 19 Mei 1978. Selain sebagai salah seorang partisipan pelatihan Media Untuk Papua Sehat, Shanty juga seorang jurnalis warga dan aktif di Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Steven Betaubun Lahir di Hollat, 18 Maret 1980. Saat ini, aktif sebagai jurnalis warga di Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) Timika. Ia juga bekerja sebagai staf Dinas Kependudukan Catatan Sipil Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kabupaten Puncak. Yonri Soesanto Revolt Akrab disapa Yonri, lahir di Makassar, 25 Januari 1992. Selain sebagai anggota PILA, Yonri juga merupakan pendiri Infiniti (Ikatan Film Indie Timika), yang juga berada di bawah naungan Yayasan Peduli AIDS (Yapeda) Timika. Plasidus Amatimukata Lahir di Timika Pantai, 4 September 1995. Pemuda yang sekolah ini, aktif berkegiatan di Yapeda dalam lingkup kerja PILA (Pemuda Indonesia Lawan AIDS).

WAMENA Aris Mulait Lahir di Pugima 22 April 1990.

166


Dorthea Kossay Lahir dan besar di Wamena. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Tunas Pembangunan, Surakarta, Solo. Sekarang ia aktif dalam program Media Untuk Papua Sehat, Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Felix Itlay lahir di Pikhe, 14 Mei 1985. Ia menyelesaikan kuliahnya di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN), Jakarta Selatan. Saat ini ia aktif sebagai peserta workshop Media Untuk Papua Sehat,Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Franciskus Romena lahir di Elagaima, Distrik Hubikosi, Kabupaten Jayawijaya 1 Maret 1991

Gloria Katarina V.K Wetipo sering dipanggil Katerin. Dia lahir di Jakarta, 14 Agustus 1999.

Herman W. Buruphotte Akrab disapa Heri. Pembuat video yang berasal dari NTT. Kini tinggal di Wamena dan bekerja di Yayasan Teratai Hati Papua, yang bermarkas di Rumah Bina. Pria yang hobi mengedit video ini, aktif sebagai peserta dalam workshop Media Untuk Papua Sehat. Imanuel Mabel lahir di kampung Yiwika, Distrik Kurulu, 8 Desember 1990. Pendidikan terakhir diselesaikan di Universitas Yapis PapuaJayapura, tahun 2013, Jurusan Administrasi Negara. Saat ini Ia sedang aktif mengikuti work shop Media untuk papua sehat di wamena kabupaten Jayawijaya. Ricky Jikwa Lahir di Mulele, Wamena, 28 November 1989.

167


Veronika Wetipo lahir di Eragama, Distrik Witawaya, Kabupaten Jayawijaya, 8 Maret 1988. Wanita yang memiliki hobi bermain voli ini, sekarang aktif sebagai peserta workshop Media Untuk Papua Sehat, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Alloisius Doalema Matuan Lahir di Wouma, 9 JULI 1988.

FASILITATOR Gelar Agryano Soemantri Anak pertama dari pasangan asli Cianjur, Sarjana Jurnalistik, mantan jurnails salah satu media mainstream di Jakarta. Pembuat video. Menggeluti bidang video sejak tahun 2006. Manshur Zikri lahir di Pekanbaru, 23 Januari 1991. Lulusan S1 Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Saat ini, ia aktif di Forum Lenteng sebagai penulis dan peneliti di Program akumassa. Muhammad Sibawaihi Lahir 20 Mei 1988, di Pemenang, Lombok Utara. Siba, sapaannya, merupakan seorang aktivis literasi media yang aktif di Komunitas Pasirputih, Lombok Utara. Selain sering melakukan aksi-aksi pemberdayaan masyarakat berbasis media, Ia adalah seorang guru sekolah di Yayasan Tarbiyatul Islamiyah. Penulis di akumassa.org

Syaiful Anwar (Paul) Lahir di Jakarta, 26 Februari 1983. Lulusan S1 Ilmu Komunikasi di IISIP Jakarta. Aktif membuat karya video dan film dokumenter. Karya-karyanya telah dipresentasikan di berbagai perhelatan, baik nasional maupun internasional. Mahardika Yudha Lahir di Jakarta, 1981. Seniman, kurator, peneliti seni, sutradara, pendiri Forum Lenteng. Editor www.jurnalfootage. net. Koordinator Penelitian dan Pengembangan Forum Lenteng. Saat ini, bekerja sebagai Direktur Artistik OK.Video Jakarta International Video Festival 2013.

168


Bagasworo Aryaningtyas (Chomenk) Lahir 24 Maret 1983 di Jakarta. Sarjana Jurnalistik IISIP Jakarta. Ia sangat menyukai dan mendengarkan musik punk. Pada 2001 ia mendirikan Tanah Hijau bersama teman-teman sekampus. Seringkali merepresentasikan tubuhnya dalam berkarya. Ia bergabung dengan Forum Lenteng di tahun 2003.

FASILITATOR DI PAPUA Bernard Koten Lahir di Larantuka, Flores Timur. Dia merupakan lulusan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Jayapura, Papua. Sekarang ini, Bernard, sapaannya, bekerja di SKPKC Fransiskan Papua, serta aktif berkegiatan di Komunitas Hiloi Sentani. Dorkas Kossay Bekerja dan tinggal di Wamena, aktivis kemanusiaan ini juga ikut serta dalam program Media Untuk Papua Sehat.

Fabian Kakisina Lahir di Ambon, 30 Juli, 1991. Aktif di (YAPEDA) Timika sebagai Koordinator PILA. Dalam kegiatan pelatihan Program Media Untuk Papua Sehat ini, Fabian berperan sebagai salah seorang partisipan dan Fasilitator Lokal di Timika. Nico Tunjanan Mantan frater yang kini bekerja sebagai salah satu staf di SKP KC Fransiskan Papua. Fasilitator lokal di Papua untuk Halaman Papua di Waena, Kota Jayapura.

169


TENTANG ORGANISASI riyana waena

Riyana Waena berasal dari kata Riyana. diambil dari bahasa asli masyarakat Sentani yang berarti perkumpulan. Sedangkan Waena diambil dari nama salah satu daerah di Jayapura. Riyana Waena Adalah sebuah komunitas yang bergerak memberdayakan media untuk menyuarakan perbaikan sosial kesehatan di Papua. Didirikan pada 19 Februari, 2014. Diprakrasai oleh para mahasiswa dan aktivis permerhati kesehatan dan diketuai oleh Nico Tunjanan.

SKP KC Fransiskan Papua SKP KC (Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) Fransiskan Papua didirikan pada 1 Januari 2009 dan merupakan kelanjutan dari SKP Jayapura yang telah dibubarkan sebelumnya. SKP KC berada di bawah tanggung jawab langsung Fransiskan Papua. Lembaga Swadaya Masyarakat ini mempunyai fokus kegiatan di bidan promosi perdamaian di Papua, investigasi HAM (Hak Asasi Manusia), kepedulian HIV/AIDS, serta lingkungan hidup.

yayasan peduli aids (yapeda) Yayasan Peduli Aids (YAPEDA) Timika (http://yapeda.com/) merupakan sebuah yayasan yang dipimpin oleh Pastor Lambertus H, Hagendoorn OFM. Yayasan ini aktif memberi sumbangan sendiri dalam hal memberantas penularan HIV, yang kurang terikat pada keterbatasan perusahaan seperti Freeport. Karena virus HIV mengancam seluruh masyarakat di Kabupaten Mimika dan bukan hanya mereka yang tinggal di dalam wilayah konsesi Freeport. 170


Yayasan Teratai Hati Papua Yayasan Teratai Hati Papua, disingkat YTHP, merupakan organisasi swadaya masyarakat yang berbasis di Papua dan dikukuhkan sebagai lembaga berbadan hukum pada tanggal 26 Mei 2010. Lembaga ini lahir dari keprihatinan akan berbagai persoalan multi-dimensi di tanah Papua didirikan dan tumbuh bersama perjuangan untuk mendorong perubahan positif menuju keadilan, perdamaian, dan keutuhan alam ciptaan Kelahiran lembaga ini dilatarbelakangi oleh perjalanan panjang perjuangan dan advokasi mandiri bersama masyarakat Papua yang dijalankan oleh Pater John Jonga, Pr bersama rekan-rekan seperjuangan baik dari kalangan gereja, masyarakat adat, pejuang perempuan, maupun lembaga swadaya masyarakat. Setelah mendapat penghargaan hak asasi manusia Yap Thian Hiem Award pada tahun 2009, yayasan ini dibentuk untuk mengkonsolidasi kegiatan bersama masyarakat yang selama ini dijalankan lebih secara spontan dan kurang terorganisasi. Saat ini YTHP ada di Wamena Kab. Jayawijaya dan Arso Kab. Keerom Adapun kegiatan yang dilakukan: Kajian dan Publikasi: Penelitian, survey, investigasi Pendokumentasian Analisis sosial Publikasi Pemberdayaan: Kegiatan bersama masyarakat dengan pendekatan holistik berbasis hak asasi manusia Melakukan pendidikan kritis dan pengkaderan Mendampingi kelompok-kelompok: korban pelanggaran HAM, perempuan, dan anak Pengembangan Jaringan: Bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain dari kalangan LSM lokal dan nasional, agama-agama, dan adat. Advokasi kebijakan publik: Dialog dan mediasi dengan berbagai stakeholder

171


Terima Kasih KINERJA– USAID Elke Rapp Marcia Soumokil Muntajid Billah Firmansyah MS Wali Akbar Ketty Lie Kartika Mulyono Anna Manyakori Julia Sagala Tamrin Yan Marey Beatrix Kasihuw Linceh Yembise Achmad Tamrin Marthen Abidondifu Reinhardt Simanjuntak Jeannet Weismann Sentani & Jayapura Br. Edy Rosaryanto dan segenap karyawan SKPKC Jayapura P. Paulus Tumayang Dr. Daniel Siagian (Kepala Puskesmas Depapre) Dr. Dian Gritnowati (Kepala Puskesmas Sentani) Suster Uista Borat (Puskesmas Sentani) Suster Maryam Demetouw (Puskesmas Depapre) Suster Dorsila Apaserai (Puskesmas Depapre) Suster Opi (Puskesmas Depapre) Kader-kader Posyandu Yepase Mama Grace Apasedani Mama Marice Mama Devota FX Making Nyongki Alfredo 172


Salomina Adik Nimrud Udbanus Kiav Kakak Rika Ibu Korina Beris (Kepala Puskesmas Perumnas I Waena Suster Wilsa Maniagasi (Puskesmas Perumnas I Waena) Ibu Endang (Puskesmas Arso Kota) Ibu Marlina Hutajulu (Puskesmas Arso Kota) Br. Agus Suster Yuli (House Peace-Surya Kasih) Dr. Nina (RS. Dian Harapan) Tati Nur (Puskesmas Perumnas I Waena) Dr. Romon Ridhoro Segenap karyawan dan staf RSUD Kwaingga Puskesmas Arso Kota RS. Dian Harapan Rumah Studi Sang Surya PKBI Kota Jayapura LSM Noken Papua Cyclops Plus Community Youth Forum Papua Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik Papua Ibu Ni Made Sriharyati Anastasia Huby Meki Wetipo Rosita Imburi Bunda Hamidah Mbak Nani Uji Pundu Mbak Ratih Eka Pratiwi Agus Hayong Ibu Yosefina Nawyager Timika P. Lambertus Hagendoorn, OFM Seluruh Staf YAPEDA 173


Seluruh Kerabat PILA Seluruh Kerabat Infiniti Sahabat-sahabat PPMN Orang Tua dan saudara-saudara kami Bpk. Gregorius Kwalik, Amk (Kapus Limau Asri) Bpk. Rudolof L. Rumbewas (Kapus Mapurujaya) Ibu Since Rumbewas (Kapus Timika) Suster Endang Gainau Suster Koce Suster Ernita Suster pantang mundur Mantri Sudrianto Mantri Solihin Bpk. Fakundus Natipia Mama Dobo Mama Maria Gema Mama Yakoba Ewakipiyuta Mama Anas Suster-suster Pustu Karaka Bpk. Herman (Kpl Kamp. Iwaka) Dinas Kesehatan Kab. mimika Seluruh Staf Puskesmas di Kab. Mimika Ibu-ibu Kader Posyandu di Kab. Mimika Antonius Saba Patasik Ardi Suwito David MS Mustawan Innda Indarti Kornelis A.N.R. Mentari Putri Yasinta Mifta M. Latin Muhammad Andri Putri Dwiyana Rolando Tmatalahitu Yolanda Dan Seluruh Masyarakat Kabupaten Mimika Wamena P. Theo Kosi, OFM, P P. Yohanes Djonga P. Tarsis Awe, OFM, P P. Bartoluropmabi, OFM, P 174


P. Petrus Fenyapwain, OFM, P P. Frans Liesaud, OFM, P Fr. Geish Fr. Fredy Steven Econ Verto Fridus Bona Igy Gusti Matius Ben Mama Herlina Hubby Bapak Jacobus Jian Kossay Rumah Bina Wamena Kakak Patricio Om Felix Asri Nona Making Thomas Herru W. Suster Jenoaria Wetipo Keluarga Suster Jheno Bapa Felix Kossay Mama Feronika Logo Saudara Nus Matuan Adik Matius Logo Adik Antonia Kossay Maxy Milianno Tayaro Suster Anna Doga Melki Lokobal Felix Mabel Hendrika Wokomom Keluarga Besar Imanuel Mabel Bapa Simon Romena Mama Anthonesta Kono Adik Fermensia Romena Bapak Ferry Asso Bapak Ninia Lokobal 175


Jimu Asso Abraham Itlay Ibu Agnes Alua Anak Iru Ice Itlay Melkias Itlay Satia Kossay Sony Kossay Melkias Kossay Melvin Kossay Karyawan TPA Pisugi Gereja GBI Omega OMK Kring Pisugi Pemuda Distrik Pisugi Keluarga Assolokobal Masyarakat Hom Hom Masyarakat Kampung Otlilu Masyarakat Pisugi Masyarakat Hepuba Masyarakat Wosi Masyarakat Pikhe Masyarakat Komleks Misi Katolik

176


11 - 18 SEPTEMBER, 2014

www.arkipel.org 177


178


179


180


181


182


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.