Diorama

Page 1

D I O R A M A #1

www.diorama.id

i


ii


D I O R A M A #1

Karena Sejarah adalah Fiksi Since History is Fiction

1


Karena Sejarah adalah Fiksi Since History is Fiction

Penulis Otty Widasari, Yonri Revolt, Ryani Sisca Pertiwi, Pingkan Persitya Polla, Albert Rahman Putra, Anggraeni Widhiasih, dan Rayhan Pratama. Editor

Otty Widasari Foto

Partisipan Diorama Latar Sampul

Agung Natanael Penerjemah

Ryani Sisca Pertiwi, Pingkan Persitya Polla,

Alifah Melisa, Rayhan Pratama, Ika Yuliana Nasution. Penyelaras Bahasa

Ryani Sisca Pertiwi, Pingkan Persitya Polla, Otty Widasari. Desain

Hafiz Rancajale

Desain Sampul & Logo Diorama Abi Rama

Dicetak 500 eksemplar

oleh Percetakan Gajah Hidup Jakarta

Diterbitkan oleh Forum Lenteng, November 2016.

2

DIORAMA merupakan proyek yang digagas oleh Forum Lenteng melalui Program AKUMASSA-Diorama yang berfokus untuk meneliti artefak-artefak sejarah di Indonesia yang merupakan representasi dari kekuasaan, dengan menggunakan pendekatan seni visual dan media. Melalui polemik kuasa, artefak-artefak tersebut tercipta dan menjadi celah bagi spektator untuk memberi perbendaharaan alternatif pada peristiwa yang telah terjadi di masa lampau dan masa kini. Artefak-artefak tersebut dibaca dengan aksi performatif yang dilakukan oleh warga sebagai salah satu pendekatan untuk menemui narasi yang dibuat oleh negara. Sehingga terciptalah jembatan atas keberjarakan hubungan itu melalui produksi visual dan media sebagai narasi alternatif yang menggunakan perspektif warga. DIORAMA is a project that initiated by Forum Lenteng through AKUMASSA Program. This project focus to research about historical artifacts of Indonesia, that positioned as representation of powerness, through visual and media approach. By the authority polemics, that artifacts to be created and become a slot for spectator to give alternative treasury about the events that had been in past and today. That Artifacts to be read through performative action by society as one of approach to meet the narration that made by Govermence. So that bridge created, on disjunct relationship through visual art and media as an alternative narration by society prespective. FORUM LENTENG Jalan H. Saidi No. 69 RT 007/05 Tanjung Barat Jakarta 12530 info@forumlenteng.org http://forumlenteng.org/ http://akumassa.org/ http://diorama.id/


D I O R A M A #1

3


Partisipan DIORAMA:

ALBERT RAHMAN PUTRA (lahir di Solok, 31 Oktober 1991) Pegiat komunitas di Solok, Sumatera Barat, dan lulusan Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Dia adalah pendiri dan pegiat Komunitas Gubuak Kopi, sebuah kelompok studi budaya nirlaba yang bekerja meneliti dan mengembangkan pengetahuan seni dan media di lingkup lokal Solok. Saat ini dia juga menjadi salah satu penulis utama di Rubrik Bernas AKUMASSA (www.akumassa.org) dan mengangkat isu kesenian tradisi sebagai tulisannya di beberapa media lokal. ALBERT RAHMAN PUTRA (born in Solok, October 31 1991). Grassroot activist in Solok, West Sumatera, and graduated from ISI Padangpanjang. He was the founder of Komunitas Gubuak Kopi, a non-profit cultural organization whom works as a researcher and developoing knowledge on art and media locally in Solok. He is now also one of the writes in Rubrik Bernas AKUMASSA (www.akumassa. org) and take the traditional art issue as his writings in some of local medias. ALIFAH MELISA (lahir di Jakarta, 13 April 1993) adalah lulusan Program Studi Cina Universitas Indonesia. Sejak tahun 2012 aktif mengajar Bahasa Mandarin hingga sekarang. Semasa kuliah senang mengikuti kegiatan-kegiatan seni di kampusnya. Tahun 2015 adalah awal mula ia mulai terlibat pada berbagai kegiatan seni di luar kampus, seperti Arkipel dan Jakarta Biennale. Senang menulis prosa yang dipublikasikan pada blog pribadinya. Saat ini sedang menjadi relawan di Kineforum. ALIFAH MELISA (born in Jakarta, April 13 1993) graduated from Chinese literature, Universitas Indonesia. Active in teaching Chinese literature from 2012 until recently. She also active in art events back in her college days. In 2015, she started to joined art event outside the campus, such as Arkipel and Jakarta Biennale. Having interest in poet writing that published on her blog. She is currently become a volunteer in Kineforum. 4


D I O R A M A #1

ANDREAS MEIKI SULISTIYANTO (lahir di Jakarta, 3 Mei 1993) saat sedang ini menyelesaikan menyelesaikan kuliahnya di Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Soisal dan Politik, Universitas Indonesia. Aktif berkegiatan di Forum Lenteng dan terlibat dalam penyelenggaraan Festival Forum ARKIPEL. ANDREAS MEIKI SULISTIYANTO (born in Jakarta, May 3 1993) currently working on his study in the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Science, Universitas Indonesia. He is now active in Forum Lenteng and join the Festival Forum of ARKIPEL. ANGGRAENI DWI WIDHIASIH (Sleman, 21 Juni 1993) adalah lulusan Hubungan Internasional Universitas Paramadina. Saat ini aktif berkegiatan di Forum Lenteng dalam pengelolaan penelitian dan pengembangan. Selain itu, ia juga aktif mengelola Koperasi Riset Purusha yang berfokus pada eksperimen pengorganisasian ekonomi kolektif. Mendirikan dan mengelola sistem Perpustakaan Purusha, Perpustakaan Sabalad dan Perpustakaan Reading is Fun. Gemar menulis blog pribadi, berteater dan menelaah isu-isu seputar politik identitas. ANGGRAENI DWI WIDHIARSIH (born in Sleman, June 21 1993) graduated from International Relation of Universitas Paramadina. She is now active in Forum Lenteng in managing the research and development. Apart from that, she also active in managing the Koperasi Riset Purusha that focusing on the experiment of organizing the collective economy. She also forming and managing the system of Perpustakaan Purusha, Perpustakaan Sabalad dan Perpustakaan Reading is Fun. Having interest in writing her own blog, acting, and analyzing issues of politic identity. DHUHA RAMADHANI, (lahir di Jakarta, 23 Februari 1995) saat ini merupakan mahasiswa aktif di Kriminologi Jurnalistik, Universitas Indonesia. Senang menulis—yang biasa disebut orang sebagai—puisi dan mempublikasikannya melalui blog kalmirama.wordpress.com. Ia dibesarkan di Desa Ragawacana, Kuningan, Jawa Barat hingga kelas 2 SD. Sejak SMA dia gemar mendaki gunung. Dia juga merupakan sutradara dari filem dokumenter Jakarta Unfair. DHUHA RAMADHANI (born in Jakarta, February 23 1995) he is studying Journalistic Criminology of Universitas Indonesia. Having interest in poem writing and published it on kalmirama.wordpress.com. He was raised in Ragawacana, Kuningan, West Java until he turned 8 years old. He loves to hike since high school. He also a director from Jakarta Unfair, a documentary film. 5


IKA YULIANA NASUTION (lahir di Banda Aceh, 11 Juli 1992) dan dibesarkan di Medan. Saat ini tengah merantau di ibukota dan telah merampungkan studi S1 Jurnalistik Penyiaran di Universitas Budi Luhur Jakarta. Aktif sebagai penulis lepas dan kontributor foto di beberapa media online. Tertarik pada film dokumenter juga mencatat perjalanannya di blog pergidarirumah.com, dan saat ini tengah menyelesaikan novel pertamanya. IKA YULIANA NASUTION (born in Banda Aceh, July 11 1992) was raised in Medan. Currently living in Jakarta and had graduated from Broadcasting Journalistic of Universitas Budi Luhur, Jakarta. She is now active as a freelance writer and photographer in online medias. Having interest in documentary films and write her own blog on pergidarirumah.com, also she is now working on her first novel. PINGKAN PERSITYA POLLA, (lahir di Magelang, 3 April 1993) merupakan mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia dan masih menyelesaikan penelitiannya mengenai digital economy. Saat ini Pingkan memanfaatkan waktu luang dengan aktif berkegiatan di Forum Lenteng, Teater Sastra dan Komunitas Tari Radha Sarisha. Selain itu, ia turut terlibat di program AKUMASSADiorama. PINGKAN PERSITYA POLLA (born in Magelang, April 3 1993) is a Fiscal Administration student of Universitas Indonesia and still working on her research on digital economy. Currently, she spends her leisure in Forum Lenteng, Teater Sastra, and Radha Sarisha Dance Community. Besides, she also active in AKUMASSA-Diorama program. RAGIL DWI PUTRA, (lahir di Salatiga, 6 Juni 1992) merupakan lulusan dari jurusan seni murni, Institut Kesenian Jakarta. Saat ini ia juga menjadi bagian dari 69 Performance Club dan menjabat sebagai manajer Forum Lenteng. Ia adalah anggota dari Bremol Band. Karya-karyanya mengangkat sosial dan politik sebagai isu utama. RAGIL DWI PUTRA (born in Salatiga, June 6 1992) graduated from Jakarta Institute of The Art majoring in Fine Art. He is now takes part on 69 Performance Club and works as the operational manager of Forum Lenteng. He also a member of Bremol Band. His work mostly bring political and social as a main issue . RAYHAN PRATAMA, (lahir di Bogor, 2 Agustus 1993) merupakan mahasiswa aktif jurusan Kriminologi FISIP UI. Gemar menulis ilmiah maupun artikel berita. Senang mendalami riset dan penelitian, khususnya pada perlombaan ilmiah. Saat ini, aktif berorganisasi di Forum Lenteng dan berkegiatan dalam program Senin Sinema Dunia dan AKUMASSA-Diorama. RAYHAN PRATAMA (born in Bogor, August 2 1993) is a student of Criminology, Faculty of Social and Political Science, Universitas Indonesia. Having interest in writing, both science and article. Exploring researches, especially on science, is also become his interest. He is now 6


D I O R A M A #1

active in Senin Sinema Dunia program and AKUMASSA-Diorama of Forum Lenteng. RYANI SISCA, (lahir di Tangerang, 10 Juni 1995) kini tengah menempuh semester terakhir di Universitas Indonesia, mempelajari Kajian Media di Jurusan Ilmu Komunikasi. Memiliki kegemaran untuk terlibat di kegiatan kesukarelawanan berbasis media dan budaya, seperti Europe On Screen dan ARKIPEL. Menyukai isu-isu gender dan seksualitas, studi kebudayaan, serta filsafat Eksistensialisme. Sekarang aktif terlibat di Forum Lenteng dan Organisasi Kepemudaan Sinergi Muda. RYANI SISCA (born in Tangerang, June 10 1995) is on her last year in Universitas Indonesia, majoring Media Studies in Communication. Havin interest in volunteering in media and cultural events, such as Europe on Screen and ARKIPEL. Gender and sexuality issues, cultural studies, and existentialism philosophy, also become her interest. She is now active in Forum Lenteng and Organisasi Kepemudaan Sinergi Muda. YONRI SOESANTO REVOLT (lahir 25 Januari 1992) merupakan pembuat filem dari Timika, Papua. Karya terakhirnya berhasil memenangkan Film Dokumenter Pendek Terbaik FFI 2016 dan dinominasikan di Eagle Award Metro TV 2016. Saat ini ia aktif di berbagai kegiatan, salah satunya di AKUMASSA-Diorama. YONRI SOESANTO REVOLT (born on January 25 1992) is a Timika-based film maker. His last work just won the 2016 Indonesia Film Festival as The Best Short Documentary and nominated in 2016 Eagle Awards, Metro TV. He is now active in AKUMASSA-Diorama.

Kurator: OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, kurator, dan penulis yang berbasis di Jakarta. Dia adalah seorang jurnalis dan art director untuk TV komersial selama 1999-2004. Dia juga merupakan salah satu pendiri dari Forum Lenteng, dan Direktur Program AKUMASSA, program pengembangan masyarakat yang menggunakan media (video, fotografi, gambar, dan teks) sebagai alat untuk mengungkap masalah sosial budaya, dan juga Pemimpin Redaksi masyarakat secara online di jurnal www.akumassa.org. Otty juga merupakan salah satu pendiri Footage Journal (www.jurnalfootage.net), sebuah jurnal tentang video dan filem. OTTY WIDASARI is an artist, curator, writer who based in Jakarta. She was a journalist and an art director for TV commercial during 199-2004. She is one of the founders of Forung Lenteng, and the Program Director of AKUMASSA, a community development program which uses media (video, photography, images, and texts) as tool to unveil socio-cultural problems, and also the Chief Editor of community online journal www.akumassa.org. Otty is also one of the founders of Footage Journal (www.jurnalfootage.net), a film and video journal.

7


Otty Widasari Orang Ketiga yang Maha Tahu Dia adalah orang ketiga yang maha tahu, yang menyampaikan pemikiran tokoh-tokoh dalam sebuah kisah. Kebenaran dalam kisah yang ia tuturkan adalah sebuah keyakinan yang sesuai dengan pandangannya terhadap permasalahan hidup dan kehidupan. Kebenaran tersebut tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi, atau dapat saja terjadi di dunia nyata, merupakan kebenaran dalam tuturnya. Dia merangkai prosa-prosa, bukan puisi. Karena prosa adalah sebuah keterusterangan yang bisa menggambarkan fakta dan ide-idenya. Karena prosa bisa dicerna dengan akal dan mengandung kebenaran yang bisa mendramatisasi hubungan antar manusia. Karena prosa memiliki variasi ritme yang lebih besar dari puisi, serta memiliki bahasa yang lebih sesuai dengan makna kata itu sendiri.

Dalam kisah yang ia tuturkan, ada drama. Diwakilkan dengan dimensi gerak yang menggambarkan realita kehidupan nyata. Ada tingkah polah manusia melalui peran-perannya. Ada dialog tentu saja, yang dipungutnya dari peristiwa-peristiwa sejak abad lalu, yang telah terancang secara kultural di kepala pembaca. Yang ia butuhkan hanya kualitas komunikasi, kualitas situasi, dan kualitas aksi, yang harus secara kuat dan apik dapat disajikan utuh dan mendalam. Maka pembaca, tidaklah perlu percaya, cukup terlebih dulu terkesan. Karena pembaca selalu memuja sandi-sandi rahasia yang disisipkan dalam kisah-kisah. Lalu, siapakah sebenarnya si ‘dia’ ini?

8

Bisa siapa saja. Dia bisa jadi seorang penulis sastra, konglomerat media, akademisi, warga biasa, ataupun negara. Semua bisa menjadi pengarang handal, setelah sebelumnya mampu menggalang kepercayaan sosial yang besar. Ia bisa melakukannya secara bertahap, seperti misalnya memindahkan pengalaman peran diri di masa lalu dan kemudian melakukan penekanan pada kewajiban mengingat sejarah, untuk menuju ke sebuah narasi demokrasi sosial. Atau bisa juga dengan cara yang radikal, seperti melakukan perubahan keras lalu kemudian mengisahkan kekuatan jasa tokoh-tokoh yang membangun gedung kapitalisme, dengan senjata militer yang ditodongkan kepada pembaca. Dia bisa berkisah melalui pintu mana saja: politik, budaya, ekonomi , bahkan mitologi. Fiksi Dalam sebuah karya sastra fiksi, ada sudut pandang. Itu merupakan salah satu unsur intrinsik dari si karya tersebut. Sudut pandang adalah cara si pengarang menyajikan tokohnya, tindakannya, latarnya, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Biasanya cerita dinarasikan melalui sudut pandang orang pertama, atau orang ketiga. Jika sebuah cerita disampaikan oleh seorang tokoh dalam cerita, maka cerita disampaikan oleh ‘aku’. Jika tokoh tersebut adalah tokoh utama, maka sudut pandangnya adalah milik orang pertama protagonis. Namun jika tokoh tersebut bukan tokoh utama, maka sudut pandangnya adalah milik orang pertama pengamat (observer).


D I O R A M A #1 Lain halnya Jika cerita disampaikan bukan oleh tokoh yang ada dalam cerita, melainkan oleh penulis yang berada di luar cerita, tokoh dalam cerita disebut sebagai ‘dia’. Jika narator tidak memiliki dampak apaapa, hanya sebagai pengamat yang tak terlibat seperti halnya pembaca, maka sudut pandang cerita adalah milik narator orang ketiga dramatik (third person dramatic narrator). Jika narator menyampaikan pemikiran si tokoh, maka sudut pandang cerita adalah orang ketiga yang maha tahu (third person omniscient), atau narator yang tahu segalanya (allknowing narrator). Orang ketiga yang maha tahu! Ini adalah sebuah peran tersendiri di luar kisah yang dibuatnya. Sebuah peran yang luar biasa. Bagaimana tidak, dia bisa mengubah segalanya menjadi sebuah kenyataan baru, yang walau fiktif, yang walau pembaca tak perlu percaya —cukup terlebih dahulu terkesan— namun bisa membangun sebuah monumen ideologis di kepala pembaca. Dia demikian istimewa karena dia bukan orang pertama, ataupun orang kedua. Dia adalah orang ketiga yang tak nampak. Sebuah peran yang rendah hati karena menghilangkan keberadaan diri dalam kisahnya sendiri. Serendahhati tradisi masyarakat pribumi di hadapan tuan tanah penjajahnya yang membungkuk dengan ikhlas. Sebuah tradisi yang terwarisi hingga sekarang, yang menyebut nama dirinya (sebagai orang ketiga) sambil menghilangkan ke’aku’annya. Melalui perannya yang transparan ini dia membangunkan jenazah-jenazah dari masa lalu, menghidupkannya kembali dengan peran-peran baru yang heroik sebagai tokoh-tokoh gemilang. Tokohtokoh yang menyelamatkan nasib orang banyak setelah menggalang perjuangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Menjelmanya Si Orang Pertama Monumen sudah terbangun di kepala pembaca melalui proses yang artikulatif. Si ‘dia’ sudah mengglorifikasikan ideologinya. Secara politis, persepsi komunal di kepala pembaca diubah menjadi ikon. Kemudian menjelmalah dirinya, di dalam kisah, sebagai wujud yang nyata. Pada suatu tahap kesadaran tertentu, akhirnya ‘dia’ moksa menjadi ‘aku’.

Sang Pencerita, tidak bisa tidak, harus memunculkan dirinya. Biar bagaimanapun, ini adalah kisahnya. Perannya tidak lagi menjadi transparan. Dia merasa kisahnya sudah bernas. Memiliki struktur babak, adegan, dialog, prolog, hingga epilog. Ada tokohtokoh yang penokohannya jelas dan lengkap: utama, serta pelengkap. Si Protagonis menuntut kehadiran si Antagonis. Terbangunlah dramatisasi. Plot tersusun dengan berkecukupan: ada peristiwanya, ada konfliknya, semua menuju pada klimaksnya. Kaidah plot memiliki unsur kausalitas yang terpercaya sesuai dengan logika kisah. Tak lupa ada ketegangan dan kejutan yang menyatupadu. Dia melibatkan ahli sejarah untuk membangun latar waktu, latar tempat, juga latar sosial. Ini adalah sebuah kenyataan. Dan ini adalah kisahnya, karena dia berasal dari lokasi di masa lalu tersebut sebagai pelaku. Ini sebuah biografi, atau tepatnya autobiografi. Autobiografi Dalam Diorama Diorama adalah sejarah yang dimapankan oleh negara. Penciptanya adalah sang penguasa. Ganti kekuasaan, ganti pulalah narasinya. Masyarakat mempelajarinya sebagai sejarah bangsa. Kebenarannya mapan, dilegalisasi atas nama negara. Siapa yang hendak berbantahan, berhadapan dengan hukum resmi negara. Seperti ilmu eksakta, sejarah jadi tertutup dari kemungkinan pemaknaan lebih lanjut. Namun kenyataan sejarah selalu berubah, menurut siapa yang menguasai wacana. Dalam satu masa, variabelnya hanya ada pelaku (kambing hitam) dan pahlawan. Masa berganti, ada variabel tambahan, yaitu kesaksian korban, dan di kemudian hari juga ada variabel rekonsiliasi, di mana korban bukan berasal dari satu ranah saja. Wacana sejarah tanding berguliran, aksi aktivisme sejarah mencari penopang obyektif yang kuat melalui tutur wacana akademik dan ahli sejarah yang berseberangan. Bukti-bukti lain yang masih berserakan dikumpulkan, dari masa lalu, kemudian mereka saling berebut wacana. Yang memiliki hak bicara hanyalah negara, akademisi, militer, korban … masyarakat berdiam dalam suatu jarak, tak terlibat. Lalu di mana ruang untuk sejarah alternatif, saat semua kisah sudah dimapankan sedemikian rupa? Apa

9


yang terjadi dengan orang-orang sekecil semut dalam kerumunan pemuja Tuanku Imam Bonjol yang berdiri di ketinggian, berbaju putih diterpa pencahayaan lampu diorama yang dramatis di Museum Nasional? Ada di bab berapa buku sejarah Sekolah Dasar-kah orang-orang yang duduk bersimpuh sambil berbisikgunjing saat Patih Gajah Mada mengacungkan tinggi kerisnya mengucap Sumpah Palapa? Para pekerja membangun Candi Borobudur yang didoakan oleh para biksu yang bijaksana? Barisan rakyat yang berjajar sepanjang kanan dan kiri Kiayi Haji Ahmad Dahlan? Kemana mereka dalam catatan sejarah yang kita baca hari ini? Tampaknya mereka menyelinap sendiri dalam bisu melalui komponen-komponen perangkat keras teknologi. Melompat diam-diam ke relung-relung perangkat lunak yang membawa mereka ke awan, dan meluncur girang ke laman autobiografi para netizen yang menggunakan tongsisnya, meletakkan diri mereka menjadi latar depan sejarah hari ini. Mungkinkah para tokoh tak bernama itu sedang asik bergabung dengan generasi milennium merayakan pergaulan simulasi di media sosial?

Lalu ‌ Hei, Sang Seniman pembuat diorama! Mengapa ada piring dan gelas yang diletakkan di kursi (bukannya di meja) sudut ruang pertemuan intergrasi Timor-Timur dengan Indonesia pada tanggal 31 Mei 1976 di Dili itu? Apakah kursi nyeleneh itu perlu disampaikan kepada pirsawan yang ingin membaca sejarah? Lalu, tiga pasang kaki milik siapakah itu yang tergeletak di pinggir ruang rapat besar persetujuan untuk menyelenggarakan Konpersensi Meja Bundar yang kelak akan mengakui kedaulatan Indonesia? Apakah kaki-kaki tak bertuan itu tidak memiliki kisah biografis? Siapa yang Percaya Pada Google? Tak ada buku sejarah yang bisa menjelaskan pertanyaan-pertanyaan di atas. Sementara para generasi internet yang selalu merasa sangat berjarak dengan sejarah, memandang bahwa semua visual yang terpampang di hadapan mata memiliki konsekuensi naratifnya masing-masing, sekalipun itu didapat melalui pembesaran yang mereka lakukan dengan menggunakan bantuan teknologi. Dan obyek-obyek

10

liar itu juga resmi merupakan bagian dari media negara yang dipajang di monumen resmi negara dan resmi sebagai sejarah.

Kalau sudah tidak menemukan jawaban dari buku, jalan keluarnya adalah googling!

Siapa yang percaya pada kerja pengarsipan Google? Milyaran orang di dunia! Di sini Google hanya salah satu contoh saja, karena ada banyak jaringan penyedia layanan arsip lainnya tersebar luas di internet. Namun saat arsip tersebut dipakai sebagai referensi dalam sebuah narasi resmi, dunia akademik tentu mencemoohnya. Tidak sahih arsip tersebut dirujuk. Jadi siapa yang percaya pada arsip Google? Saya!

Saya adalah pengarang tulisan ini. Nyaris sepenuhnya saya menggunakan sebaran rujukan dari wadah penghidang (server) yang berada di awan (clouds). Sebaran rujukan yang tidak berebut wacana sejarah. Yang sepenuhnya fiksi. Fiksi orang ketiga yang maha tahu, yang kemudian menjelma jadi orang pertama. Saya.

Fiksi saya tidak memperdebatkan kebenaran. Tidak menuntut bukti-bukti masa lalu yang menjunjung tinggi obyektivitas akademik. Sebutlah saya pemalas, sebutlah saya bukan pekerja keras, dan sebutlah saya tidak intelek. Janganlah percaya pada rujukan saya. Dengan rendah hati saya menuturkan kisah bukan sejarah ini, tolaklah. Karena ini cuma fiksi. Karena Sejarah Adalah Fiksi Tanpa menafikan kerja keras-kreatif Edhi Sunarso, Seniman yang membuat puluhan diorama di Indonesia, termasuk diorama di Monas, bagi saya diorama adalah fiksi. Katakanlah fiksi sejarah. Diorama yang ada di Monas diciptakan oleh dua Presiden Indonesia, Sukarno dan Suharto. Dua presiden yang memerintah sangat lama di negeri ini, kumpulan waktu panjang yang cukup membuat sebuah narasi fiksi menjadi mitos mapan di kepala rakyat Indonesia. Seniman yang menjadi tangan kedua kekuasaan untuk memapankan sejarah melalui medium tiga dimensi ini pun melebur dalam konstruksi reka kisah sejarah. Sejarah adalah apa yang tercatat. Ada yang


D I O R A M A #1 dimunculkan, ada yang dihilangkan. Untuk mendukung pernyataan saya tersebut, saya mengutip tulisan saya sendiri yang bicara mirip dengan persoalan arsip sejarah yang sedang dibahas di sini: â€œâ€Śperistiwa yang terjadi di masa lampau itu hanya milik sang waktu. Waktu berganti, maka peristiwa tersebut pun lenyap. Orang-orang yang menyayangkan berlalunya waktulah, atau, anggaplah sadar dokumentasi, yang mendokumentasikan peristiwa, membekukannya dalam sebuah medium [...] kita tentu sadar bahwa kebutuhan pendokumentasian pasti didasari oleh beberapa hal yang kemudian menjadi konstruksi dasar dokumen. Sebuah konstruksi dokumen pasti memiliki kepentingan yang bisa kita baca sebagai polemik kekuasaan.â€?1 Maka sejarah adalah sebuah konstruksi arsip, seperti juga fiksi, yang tak pernah lepas dari kenyataan hidup di sekitarnya. Sedangkan bagi generasi baru, sejarah adalah sesuatu yang tidak tergenggam. Sejarah adalah gambar-gambar, yang memberikan impresi. Dan publik memiliki peluangnya sendiri untuk mengintepretasikan, menarasikan dan menciptakan sejarah menurut versinya sendiri, karena autobiografi orang hebat sudah kalah hebat dengan autobiografi jutaan generasi yang terpampang di halaman depan media sosial mereka. Yang dipercantik, diperunik, dan sungguh interaktif sejalan dengan detik waktu. Autobiografi kini bukan seperti kenyataan keseharian mereka yang sesungguhnya, karena sejarah adalah fiksi.

Misteri tiga Pasang Kaki Kali ini bukan saya, tapi ‘aku’. Seingatku, aku, dan dua orang kawan yang tak kuingat namanya, hadir dalam sebuah rapat besar. Dan seingatku itu adalah rapat yang membicarakan pengakuan kedaulatan Indonesia, dan semua setuju untuk mengadakan sebuah konperensi mengelilingi meja yang berbentuk bundar. Aku dan si dua kawan hadir di sana, dan seingatku kami memiliki peran dalam kisah sejarah ini. Tentu saja aku juga bagian dari sejarah. Tapi sungguh aku tidak ingat mengapa aku dan kedua temanku dihilangkan dari pencatatan sejarah. Sebelumnya, dalam ruang rapat besar itu kami bahkan dihilangkan dengan paksa.

Hari ini sekelompok anak muda menemukan tiga pasang kaki kami di sudut ruang museum. Mereka terperanjat. Lalu mereka mencari tahu identitasku dan kedua temanku. Sungguh mereka kesulitan menemukan bukti-bukti sejarah lapuk setelah 67 tahun lamanya terlupakan.

Tidak ada dalam lemari arsip negara. Mungkin negara justeru menyembunyikan keberadaan kami. Lalu mereka berlari menuju rumah-rumah arsip para aktivis sejarah tandingan. Namun merekapun tidak bisa membantu memberikan dokumen karena tertumpuk di kardus-kardus setinggi langit-langit, dan sulit dibongkar karena sistem pendokumentasian yang kacau sehabis pindahan kantor. Sekumpulan anak muda ini bergunjing, menyesalkan, mengapa orangorang itu menyimpan dokumen mereka di karduskardus, bukannya di awan, hingga seharusnya aku dan kedua temanku bisa bergabung bersama tokohtokoh tak bernama yang merayakan kesejamanan, yang tidak memutarbalik dan melawan dengan keras sebuah sistim nilai yang berkuasa melalui dokumen awal yang digunakannya, melainkan menggubahnya menjadi kenyataan fiktif, lewat pameran. Lenteng Agung, 12 November 2016 Catatan Kaki: 1. Widasari, Otty, (2013). ARKIPEL Experimental and Documentary Film Festival Catalogue: Challenging the History Construction. Jakarta: Forum Lenteng

11


12


D I O R A M A #1

13


Yonri Revolt

“Kemana kamu beberapa hari ini? Agaknya sibuk sekali. Setiap pagi tidak ada kabar,” tanya pacarku pada pesan di WhatsApp yang kuterima sore ini. “Saya sedang ikut penelitian tentang diorama di Monas, Be, maaf!” jawabku padanya sambil bergelantungan pada pegangan di kereta. ‘Be’ adalah panggilan kesayanganku padanya. “Oh, terus apa yang sudah kamu temukan selama riset?” Pertanyaannya ini sedikit membuatku jengkel, mungkin dia juga lagi bete saat bertanya seperti ini. “Tumben nanyain, biasanya kalau terkait penelitian kayak begini, kamunya cuek,” kataku. “Iya, soalnya sampai tidak ada kabar begitu. Berarti ada yang kamu temukan dan pasti sangat menarik, mungkin lebih menarik daripada saya. Seperti perempuan lain, mungkin…!” Saya tahu bahwa pacarku ini bukan perempuan yang tidak percaya dengan apa yang sedang saya kerjakan, apalagi di akhir kalimatnya dia menempelkan emoticon yang mengeluarkan lidah. Saya mulai tahu kalau dia mulai mengajakku untuk becanda. Kemudian kujawab, “Hehehehe! Iya, saya temukan vending machine di sana,” jawabku dengan serius. “Vending machine? Kalau cuma cari vending machine, tidak usah ke Monas, di tempat lain juga ada, kok!” katanya ketus padaku. Memang jawaban saya terdengar aneh, bahwa hasil penelitian saya adalah temuan terhadap vending machine. Baginya, ini terdengar seperti gurauan

14

atau bisa saja mengada-ada. Tapi benar bahwa yang kutemukan dalam penelitian saya tentang diorama Monas adalah terkait vending machine atau mesin penjual (minuman) otomatis. Yakni, bahwa vending machine di Museum Nasional di Monas itu bukan hanya terbatas pada fungsinya sebagai mesin yang mengeluarkan atau menjual produk secara otomatis tanpa ada operator, tetapi juga dapat dilihat dari intervensinya terhadap presentasi diorama-diorama di dalam museum itu.

Setiap kali berkunjung ke museum itu, ketika memasuki ruangan museum, saya pasti merasa kehausan. Menyusuri lorong panjang memasuki area Monas, apalagi di tengah cuaca yang panas terik, saya yakin bukan cuma saya, tapi semua orang juga pasti akan merasa kehausan. Saya kemudian akan menoleh ke arah vending machine, yang selalu dikerumuni orang-orang yang berebutan untuk mendapatkan minuman. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk berkeliling melihat diorama. Sebuah kejadian lucu, menurutku, ketika sedang melihat-lihat diorama. Vending machine seakanakan memanggilku untuk menghampirinya. Bukan karena tenggorokan yang sedang kering, tetapi karena tampilan visualnya yang terpantul melalui kaca diorama. Begitu terang, berwarna-warni, dan seakan melambai-lambai memanggilku yang sedang kehausan. Akan tetapi, lagi-lagi saya harus bersaing


D I O R A M A #1 dengan yang lainnya ketika hendak menggapai minuman yang diinginkan. Pikir saya, karena saat itu sedang ramai pengunjung, dan kalau bukan karena hari ramai pengunjung, pasti vending machine juga akan sepi.

Penelitian awal saya di diorama adalah terkait dengan usaha melihat adanya potensi-potensi narasi di luar dari tema besar yang disajikan. Diorama yang bercerita tentang Sumpah Palapa, misalnya, bukan soal Sumpah Palapa-nya yang akan saya baca, tetapi bisa juga mengenai postur tubuh Gajah Mada saat ia mengangkat keris, atau mengenai mimik-mimik wajah orang-orang yang duduk di belakangnya, dan begitulah untuk diorama dengan tema-tema lainnya. Tapi, karena seringnya mendapatkan pantulan bayangan vending machine ketika mengamati diorama, maka saya pun mulai mengamati keterkaitan diorama dengan vending machine ini. Dengan meletakkan vending machine di ruangan museum Monas, maka secara otomatis pengelola juga meletakkan objek lain yang menjadi bahan amatan selain diorama. Kedua objek ini (diorama dan vending machine) kemudian akan saling memperebutkan tempat sebagai objek amatan pengunjung. Memang agak lucu mengatakan vending machine diletakkan sebagai objek amatan seperti diorama, tapi bila kita kembali melihat pantulan bayangannya pada kaca diorama, seakan-akan vending machine tidak mau mengalah sebagai objek yang juga harus diamati. Dalam hal ini, kacalah yang menjadi mediumnya.

Saya kemudian mengeluarkan kamera dan mulai bermain-main dengan bayangan vending machine pada kaca diorama. Karena pantulan-pantulan bayangan itu bukan hanya pada satu tempat, saya mulai berkeliling di ruangan museum untuk mendapatkan gambar yang diinginkan. Pantulan bayangan vending machine terpapar di diorama yang mengilustrasikan perdagangan Sriwijaya, pembangunan Borobudur, di antara candi-candi dekat orang-orang yang lagi berdoa, pada diorama Sumpah Palapa, diorama pelayaran orang bugis, diorama transaksi dagang pada masa Kerajaan Majapahit, pada diorama perang Makassar, diorama pembacaan teks proklamasi, diorama penyiksaan romusha, dan terakhir, pada diorama perang Surabaya. Saya pun

mulai membangun cerita sendiri dari hasil foto saya dengan memanfaatkan pantulan bayang-bayang vending machine. Sebuah kerja kreatif nan jenaka, menurutku, adalah ketika menempatkan vending machine ke dalam frame dan membentuk sebuah narasi baru yang utuh. Dalam proses ini, kamera menjadi alat bantu untuk menangkap peristiwa ini dan mengabadikannya. Seperti perlakuan pada diorama orang-orang yang sedang berdagang di pelabuhan Kerajaan Sriwijaya, saya menempatkan kamera pada posisi dengan mempertimbangkan jarak dan sudut pengambilan yang saya inginkan, maka vending machine akan berada pada posisi yang saya inginkan. Ketika saya menangkap gambarnya, hasil yang dihasilkan bercerita tentang para pedagang sedang menjual vending machine.

“Ternyata, zaman dahulu sudah ada vending machine, ya?� gurauku pada diri sendiri ketika melihat hasil gambarnya pada layar LCD (Liquid Crystal Display) di kamera. Begitulah seterusnya perlakuanku pada diorama-diorama lain di museum itu, terutama yang berpotensi memantulkan bayangan si vending machine. Hasil dari kerja kreatif ini mempunyai resiko terhadap presentasinya. Akan timbul argumentasi yang merespon ini secara positif ataupun negatif. Respon positif dilihat dari bagaimana vending machine diletakkan pada ‘komposisi yang lumrah’ di dalam frame. Seperti di antara orang duduk, di samping orang-orang yang berdiri, atau di area teras pada diorama tentang perdagangan Majapahit. Orang akan melihat vending machine sebagai sesuatu yang melengkapi foto dan membuahkan cerita, seperti yang ada pada diorama perdagangan Sriwijaya. Sedangkan respon negatif akan timbul bila vending machine menjadi semacam objek dominan atau diletakkan tidak pada komposisi yang tepat. Seperti ketika vending machine mempunyai ukuran lebih besar dari objek atau subjek yang ada di diorama, atau ketika diorama diletakkan pada puncak Candi Borobudur, atau juga pada kursi Raja Majapahit di mana vending machine-nya menggantikan sang raja. Namun, bagiku penilaian positif dan negatif terhadap gambar yang dihasilkan tidaklah penting. Karena memang sejak awal sudah terlihat bahwa vending machine ingin

15


mendominasi presentasi cerita diorama. Gambar yang dihasilkan pun, jika disebarkan secara rutin tanpa kesadaran penuh terhadap cerita dioramanya, maka tidak lain hanya menjadi iklan vending machine. Betapa vending machine sudah menjadi bagian dari cerita diorama, bukan?

Pada satu sisi, di luar dominasinya sebagai sebuah “objek presentasi� terhadap pengunjung, vending machine juga berpengaruh terhadap regulasi museum. Dia seolah menjadi subjek VVIP yang dapat mengintervensi keadaan museum. Contoh kasusnya, di dalam museum, persisnya di depan tangga menuju menara, ada tanda larangan dengan lampu menyala bertuliskan ‘Dilarang makan/minum dan tidur di dalam ruangan museum’. Peringatan ini tegas memberitahukan bahwa kita tidak boleh makan, minum ataupun tidur di dalam museum. Tapi kehadiran vending machine menyimpangkan aturan itu. Orang bisa makan, minum ataupun tidur di dalam museum. Ketika orang membeli minuman, peraturan tentang dilarang minum di dalam museum sudah dilanggar, dan ketika peraturan minum dilanggar maka secara otomatis peraturan tentang tidur dan makan tidak lagi berlaku. “Dia saja bisa minum, kok aku tidak bisa makan atau tidur di sini, kan sama-sama melanggar?� begitulah pikirku ketika mengamati tanda larangan dan kejadian di sekitarnya yang berkaitan erat dengan vending machine. Oleh karenanya, tanda larangan yang ada di Monas itu sebaiknya bertuliskan begini: ‘Dilarang makan, minum, dan tidur di sini, tapi kalau haus bisa membeli minuman di vending machine.’ Meskipun, menurut saya ini adalah paradoks. Di sisi lain, kehadiran vending machine menjadi sebuah representasi kapitalisme dan industrialisme terhadap diorama. Betapa tidak, peraturan museum yang dibuat oleh pihak pengelola museum dapat dilanggar dengan membeli minuman melalui vending machine yang ada di dalam. Asalkan pengunjung membeli minuman di vending machine, pengunjung dapat melakukan hal yang mereka mau, yaitu minum di dalam ruangan museum dan yang lebih dramatis dari itu adalah diorama hanya sebagai objek yang dipasang supaya jualan di vending machine laris terjual.

16

Namun, cerita tentang pertarungan diorama dan vending machine ini pada dasarnya kubuat sebagai sebuah argumentasi karena sedikitnya pengetahuanku terhadap kebenaran sejarah. Mengamati diorama membawa saya untuk mendalami sejarah Indonesia, tetapi sangat sulit mencari kebenaran tersebut. Ada pertarungan antara arsip, pelaku sejarah yang sudah tua, atau peneliti sejarah yang masih muda. Semua punya kesaksian masingmasing yang memperebutkan kursi kebenaran dan siapa yang akhirnya mendominasi menjadi sebuah produk media baru. Tapi akhirnya, tidaklah penting lagi bagi saya untuk mendalami sejarah jika hanya sekedar mencari kebenarannya. Hal inilah yang membawaku bermainmain dengan sejarah. Diorama adalah sejarah masa lalu yang dibuat oleh seorang seniman yang mendapat pesanan dari pemerintah sebagai representasi zamannya. Ketika saya kembali menghadirkan cerita sejarah versi seniman diorama tersebut di hari ini, itu membuktikan bahwa kita tidak pernah bisa lepas dari masa lalu. Saya pun membuat cerita sejarah versi saya agar dapat saya ceritakan ke generasi berikutnya. Karena vending machine yang mendominasi ruangruang cerita diorama atau karena dia mengintervensi regulasi diorama itulah yang menjadi sebuah kritikan dari pengamatan saya di museum Monas. Tetapi yang jelas vending machine tidak akan ikut bertarung dalam kisah asmara saya seperti yang dikhawatirkan pacar saya pada pesan WhatsApp-nya. Mereka tidak akan berebut untuk menjadi subjek yang mendominasi hati ini.


D I O R A M A #1

17


Ryani Sisca Pertiwi Diorama Monumen Nasional merupakan satu dari sekian konstelasi Diorama yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Selain Diorama Monas, mungkin Diorama Lubang Buaya versi 1:1 juga dapat dibayangkan untuk memahami upaya negara dalam menetapkan suatu situs sebagai artefak sejarah. Dua diorama ini pernah saya kunjungi sebelumnya, Diorama Lubang Buaya saat kunjungan edukasi Sekolah Dasar sekitar tahun 2006, dan Diorama Monas saat mengerjakan proyek Diorama bersama tim Akumassa-diorama pada tahun 2016.

Keberjarakan waktu pada dua pengalaman ini memiliki impresi yang jelas berbeda. Pada saat mengunjungi Diorama Lubang Buaya bersama temanteman di bangku sekolah dasar, saya merasakan ngeri dan bingung. Sebelum saya merasa akrab dengan tokoh-tokoh yang terlibat pada narasi negara itu, saya sudah keburu ditanamkan pemahaman bahwa terdapat sekolompok orang yang tidak segan-segan melakukan pembantaian pada Jendral-Jendral Tertinggi Negara untuk kepentingan mereka sendiri. Kemudian, bagaimana sekelompok ini melakukan penyiksaan luar biasa, melibatkan aksi-aksi brutal dan tidak manusiawi disusul penjejalan tujuh tubuh pada satu lubang, di mana di diorama ini, masih ada bekas darah di sekitar lubangnya. Tidak banyak yang bisa saya ingat, tapi impresi itu membangun imajinasi saya sehingga ketika waktu SMP di tahun 2008 saya menonton filem Pengkhianatan G30S/PKI, saya menangis selama satu jam bahkan hingga filem telah selesai di putar. Saya mengalami sejarah sebagai pengalaman yang berjarak, hanya lewat bangunan diorama dan narasi audiovisual lewat film. Tanpa

18

benar-benar tahu dan memahami apa yang terjadi tapi otak saya dijejalkan impresi mengerikan bahwa negara kita pernah diancam oleh sekolompok orang berkepentingan yang tidak takut untuk melakukan pembataian besar-besaran pada tokoh-tokoh negara. Saya sekali pun tidak menyangsikan keaslian dari filem ini, kata fiksi jauh dari benak saya saat menyaksikan filem ini.

Sepuluh tahun kemudian untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki ke terowongan Monumen Nasional menuju Museum Nasional, sebelumnya pernah sekali-dua kali mengunjungi bagian luar Monumen Nasional bersama teman-teman di kala SMA. Terowongan ini membawa saya pada suguhan 51 Diorama, masing-masing seukuran 1x2m di sebuah pelataran indoor nyaris muat 500 orang, dengan air conditioner seadanya dan beberapa vending machine di sudut-sudut ruangan. Di sini, terdapat diorama berbatas kaca yang menampilkan reka aksi dan kejadian sejarah Indonesia sejak jaman purbakala, masa-masa penjajahan, masa-masa persiapan hingga proklamasi kemerdekaan, dan upaya-upaya pasca kemerdekaan untuk menetapkan bentuk kehidupan bernegara Indonesia, di akhiri tahun 1995 dengan diorama peresmian pesawat terbang buatan BJ Habibie yang dinamakan Gatot Kaca. Pengalaman berkunjungan ke Diorama Monas yang tidak sekalidua kali itu dalam jangka waktu selama dua bulan, sering dibarengi dengan kunjungan sekolah-sekolah di mana ada puluhan siswa sekolah dasar bersama para guru pendamping yang menuturkan sejarah khas teks buku dengan menjadikan diorama sebagai alat peraga. Saya sendiri mencoba untuk membaca


D I O R A M A #1 setiap narasi yang tertulis sebagai pengantar di bagian bawah diorama sebagai jembatan dalam memahami suguhan visual yang ditawarkan.

Apa-apa yang disuguhkan di diorama kemudian dimaknai oleh konteks jaman sekarang: ada pelibatan “aku�, bersifat tidak berjarak (membicarakan kejadian masa lampau tdan menarik langsung relevansi dengan jaman sekarang –namun bentuknya bukan dengan sistem politik Indonesia kemudian seperti apa, atau kenapa harga-harga di pasar naik). Saya sendiri pun sangat awam dengan harga-harga komoditas yang dijual di pasar, dan entah bagaimana hubungannya antara harga komoditas di pasar dengan diorama. Pengalaman sejarah yang saya tahu dan alami adalah bagaimana teman-teman beretnis China di kampus saya membagikan keluh-kesah mereka di group kelas kuliah lewat instant messaging dalam menanggapi kejadian 4 November 2016: bagaimana orang tua mereka melarang mereka berkegiatan, dan bagaimana ketakutan-ketakutan terhadap potensi pengulangan tahun ’98 dapat terjadi. Mereka mengeluhkan status minoritas mereka dan teman-teman beragaman Islam berupaya untuk memberi penenangan dan penerimaan terhadap keadaan mereka. Ini adalah percakapan paling politis dan melibatkan konteks sejarah yang pernah saya alami selama beberapa tahun terakhir. Narasi-narasi sejarah dibahas di sini dan dijadikan relevan oleh teman-teman saya. Impresi dari keadaan mereka begitu nyata dan begitu dekat, membuat saya tertuntut untuk terlibat di dalamnya sebagai spektator terhadap percakapan mereka. Impresi yang terbangun dalam akumulasi melihat dan memahami diorama, adalah kegagapan –anak seumuran 20 tahun tinggal dan berkuliah di pinggiran Ibukota Jakarta, dengan bagasi pengetahuan berupa residu hasil pembelajaran sejarah dari bangku sekolah yang tidak seberapa. Banyak tokoh yang saya tidak kenali, banyak tempat yang tidak saya ketahui, banyak duduk perkara yang tidak saya pahami, dan apa-apa yang tersuguh baik visual maupun teks tidak menjangkau banyak ingatan di belakang kepala saya. Hal ini menjadi jelas ketika pada suatu sore saya berdiskusi dengan Bang Akbar di Forum Lenteng, membicarakan tentang bentukbentuk sejarah: bahwa sejarah adalah sesuatu yang

terbuka, bahkan ketika seseorang membaca sejarah, dia adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Sejarah pada hakikatnya memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan objektif, di mana sejarah selalu berupaya untuk mencari apa yang benar-benar terjadi dengan acuan dokumen dan arsip sebagai alat bukti untuk menetapkan rekam jejak perjalanan apa-apa yang telah terjadi di masa lampau. Fungsi ini acap kali dijalankan oleh negara dengan atribut kenegaraan yang mampu menetapkan apa-apa yang benar dan apa-apa yang salah untuk dirujuk masyarakatnya. Hal ini mengasingkan masyarakat sebagai elemen yang benar-benar mengalami sejarah itu sendiri, tidak terlingkup pada narasi objektif tersebut. Penetapan sejarah objektif menghasilkan pengetahuan yang direproduksi secara terus-menerus menjadi sebuah tataran mapan di benak masyarakat.

Hal ini menjadikan sejarah sebagai sesuatu yang tidak relevan, menurut beliau, yang juga saya alami dan amini ketika berkaca pada pengalaman melihat diorama di Monas: berjarak dan tidak relevan. Tidak banyak pengalaman menubuh yang saya alami sekarang, yang dapat menjembatani saya dalam memahami diorama yang saya lihat. Sejarah adalah sesuatu yang perlu dialami (present) bukan ditayangkan kembali (represent). Upaya-upaya untuk menayangkan kembali sejarah lewat reka ulang dalam bentuk apapun masih menyisakan jarak dan menuntut bagasi pengetahuan untuk mampu memahami sejarah tersebut, belum lagi mengenai sejarah mana yang kita bicarakan? Pada akhirnya sejarah hanyalah fiksi, upaya-upaya untuk menetapkan apa-apa yang dianggap perlu untuk ditetapkan. Terlepas dari keadaan di atas, warisan artefak sejarah ini pun ternyata juga masih disambangi dan dikunjungi oleh anak-anak muda lain termasuk saya. Selain anak-anak sekolah yang didampingi guru, sepertinya kunjungan wajib; juga anak-anak bersama keluarga baik orang tua dan saudara; juga ada anak-anak muda yang datang bersama teman-temannya, pun juga seperti saya hadir sendiri dengan kepentingan masing-masing. Anak muda sesungguhnya tidak segan untuk datang ke Monas. Ketika saya datang ke Monas, selalu ada anak muda yang masih ingin

19


datang ke Diorama, masih ingin terlibat dalam peristiwa kesejarahan. Namun bentuknya seperti apa, itu yang perlu dibahas lebih lanjut. Anak muda ini, termasuk saya, melongok melihat-lihat diorama satu persatu. Dalam konteks membaca dan mengamati, kebanyakan mereka datang berkelompok dan merasa perlu menyuarakan apa-apa yang mereka tahu atau setidaknya ada potensi interaksi, seperti menyampaikan selentingan berupa “Ini lu, bego, sama bapak lu lagi mecahin batu�, berkomentar dengan bacaan mereka terhadap apa yang mereka lihat. Atau berhenti mengamati dan memutuskan untuk mengambilkan swafoto berkelompok atau meminta teman mengambilkan foto, menandakan keakuan diri terhadap objek sejarah yang tersaji. Pengambilan foto ini pun sesekali dibarengin dengan penggunaan flash yang menjadikan layar diorama terpantul cahaya sehingga objek dibalik kaca tidak sepenuhnya hadir di potret yang diambil. Foto ini kemudian entah berakhir hanya di handphone atau dilanjutkan ke medium lain tidak ada yang tahu. Namun, aksi ini saya maknai sebagai performativitas anak muda dalam terlibat di peristiwa kesejarahan. Dalam menyikapi bahwa pada akhirnya sejarah adalah fiksi, maka munculah kehadiran sejarah publik sebagai pendekatan lain dalam melihat sejarah, berangkat dari sejarah adalah milik masyarakat yang dialami secara menubuh. Tidak menggunakan pendekatansejarah objektif dan mengejar presisi, namun menekankan pada impresi, pada pengetahuan kolektif masyarakat dalam memaknai apa yang mereka pahami dan alami. Upaya ini telah dilakukan oleh filem The Act of Killing oleh Joshua Oppenheimer yang diakui sebagai film dokumenter, padahal apa yang dia suguhkan sama sekali tidak mencantumkan dokumen sejarah. Namun, berbicara megenai impresi dan memori mengenai kekerasan, yang serta merta efektif untuk meninggalkan kesan dalam melihat balik kejadian di masa lampau. Upaya yang saya lakukan dalam memaknai Diorama Monas ini dengan semangat sejarah publik ini kemudian adalah mengalami sejarah tersebut sebagai pengalaman performatif yang menubuh. Mungkin bagi anak muda jaman sekarang diorama sudah tidak lagi relevan sebagai acuan untuk membicarakan apa-

20

apa yang penting bagi mereka. Tidak juga sebagai acuan untuk melakukan kilas balik terhadap rekam jejak perjalanan Indonesia sebagai Negara. Mungkin benar dugaan saya, sejarah tidak dapat di-represent atau dihadirkan kembali sebagaimana kejadian itu terjadi. Upaya secanggih apapun untuk melakukan reka ulang tidak akan ada apa-apanya dibanding mengalami sejarah itu sendiri atau present, yang menuntut kebertubuhan spektator. Relevansi Diorama bagi anak muda kemudian adalah mereka bebas untuk menanggapinya, dengan obrolan ringan terkait kehidupan mereka, dengan teknologi kamera handphone yang mereka miliki, atau dengan jelasjelas mengabaikan diorama dan memilih untuk tidur-tiduran atau men-charge handphone. Apakah kemudian mereka abai terhadap sejarah?

Saya bersama teman-teman berusaha untuk melihat Diorama lewat bingkaian kami sendiri dengan teknologi kamera, memainkan perangkat zoom dan membentuk bingkaian untuk direkam, kemudian memahami tangkapan tersebut, dihubungkan dengan relevansi baik rekam sejarah, juga dengan pengalaman dan pengetahuan keseharian kami. Saya menemukan bentuk-bentuk budaya masyarakat: kehadiran rokok dan teh sebagai komoditas khas Indonesia yang terus bertransformasi lintas waktu (suguhan rapat, bertamu, bersantai, hingga teman berdikusi), nuansa kolektivisme (kerjabersama mulai dari membangun candi, berperang, berkumpul, hingga berbincang-bincang di teras rumah; mungkin sekarang bentuk bincang-bincang itu sudah kami lakukan lewat dunia maya), sikap tubuh khas masyarakat tropis yang tidak tegap; sering bersandar; acap kali duduk hingga berjongkok, juga kemudian kecenderungan untuk sangat ekspresif dalam kejadian tertentu (gemar menunjuk atau sering ditunjuk, suka mengangkat tangan, gemar berjinjit dan mengepalkan tangan, mengintip karena selalu ingin tahu), kesadaran individu dalam kegiatan berkelompok (duduk berhadapan, duduk melingkar, duduk bersila atau bersimpuh, berbaris tidak rapih namun tertata, berbisik dengan satu sama lain, bergunjing), juga kehadiran alat komunikasi massa mulai dari bedug, pentungan, lonceng, mikrofon, toa, hingga layar super besar yang terhubung langsung dengan kamera untuk menyiarkan kejadian rapat


D I O R A M A #1 secara langsung bagi peserta rapat, juga kehadiran ruang-ruang terbuka seperti pendopo, balai, teras rumah yang sering jadi tempat berkumpul. Temuantemuan hasil pembesaran dengan kamera sebagai aksi performatif ini, bagi saya menjadi jauh lebih relevan untuk dimaknai dalam melihat reka ulang sejarah Indonesia karena bentuk-bentuk itu masih ada sekarang, masih dapat dirasakan dan dialami. Perkembangan dari apa yang saya lihat dan bagaimana bentuk-bentuk ini bertransformasi melintasi ruang dan waktu hingga saat ini, menjadikan saya memiliki jembatan penghubung untuk menjadikan sejarah tersebut relevan, karena saya bisa melihat diri saya. Temuan ini merupakan hasil aksi performatif kami, yang berusaha tidak menyia-nyiakan dan malah melihat hal-hal kecil, menolak sepenuhnya menerima hal-hal besar yang berupaya ditampilkan. Kemudian, diskusi-diskusi yang saya alami bersama teman-temantim AKUMASSA-Diorama juga merupakan aksi performatif untuk secara konsisten memaknai temuan-temuan kami dengan kamera. Dengan latar belakang yang beragam (Komunikasi, Admistrasi, Penyiaran, Kriminologi, Seni Rupa, Etnografi Musik, Hubungan Internasional), jadi menarik bagi kami untuk membenturkan pemikiran interdisipliner. Terlepas dari segala yang kami hasilkan, saya pribadi memahami bahwa pada hakikatnya negara memiliki diskursus yang diturunkan lewat media, pada hal ini adalah Diorama. Pada diorama ini terdapat dua narasi: narasi besar dan narasi kecil. Narasi besar identik dengan pendekatan sentralistik, mengacu pada konsensus dan sejarah objektif sedang narasi kecil memiliki perspektif plural beragam dan sejarah publik. Sejarah adalah fiksi!dengan beragam versi kebenaran penuh kepentingan. Tidak akan menjadi apa-apa jika hanya mengendap sebagai informasi di kepala kita, tanpa jembatan penghubung antara pengetahuan itu dengan bagaimana kemudian sejarah itu dapat dialami baik lewat impresi maupun secara fisik. Saya mengalami diorama dengan pendekatan sejarah publik: dengan menyeleksi bacaan saya dan percaya dengan kapasitas saya untuk memaknai bacaan saya. Saya tidak berfokus pada narasi-narasi besar yang jujur saja, saya pun gagap untuk secara fasih

mengenali muka-muka, lokasi dan kejadian yang terpampang di diorama. Teks bacaan yang semestinya menjembatani pun tidak banyak membantu saya untuk dapat menyikapi diorama ini. Tapi setelah saya melakukan seleksi lewat pembesaran, saya mengalami pengalaman berdiorama itu. Bagi saya diorama pada kasus ini adalah upaya penyuguhan visual untuk me-reka ulang sejarah bagi spektator pada saat itu dengan segala kepentingan; yang kemudian pada akhirnya menunggu partisipasi spektator yang kemudian terus hadir di depan suguhan visual itu untuk menghadirkan impresi-impresi yang relevan pada jamannya dengan melakukan aksi performatif untuk mengalami sejarah itu sendiri. Sejarah adalah fiksi, dan bagi saya tidak pernah ada cara yang benar maupun salah untuk melakukan bacaan atau mengalaminya, selain dengan membawanya ke tataran kebertubuhan, alih-alih sebagai sesuatu yang berjarak.

21


22


D I O R A M A #1

23


Pingkan Persitya Polla

Mengunjungi Monas Pertama kali saya menginjak Monas mungkin kirakira sembilan tahun yang lalu, ketika saya mulai menetap di Ibukota bersama ibu dan adik-adik saya. Saat itu, bapak saya yang harus tinggal terpisah dari kami sedang mengunjungi Jakarta dan mengajak keluarga kecilnya untuk berwisata ke Monas hanya karena anggapan beliau bahwa “Bukan orang Jakarta namanya jika belum mengunjungi Monas.” Saat itu, saya hanya mengiyakan saja karena, toh, saya juga ingin resmi dibilang sebagai “orang Jakarta”.

Kesan saya setelah pertama kali mengunjungi Monas adalah, “Buset! Cuman begini doang, nih?” Saya yakin pasti kesan ini juga dimiliki oleh hampir seluruh pengunjung Monas. Selain karena terlalu lama menunggu untuk masuk ke dalam ruang pa-mer diorama Monas dan ke puncak Monas, menurut saya Monas tidak menyuguhkan komoditas lain untuk menarik saya dan itu membuat saya merasa Monas tidak spesial untuk dikunjungi. Sejak saat itu, bapak saya, setiap kali datang ke Jakarta, pasti selalu mengajak keluarganya untuk piknik ke Monas. Kami semua sepakat untuk piknik ke Monas saat malam minggu saja, karena tidak kuat jika harus mengunjungi Monas saat matahari sedang terik-teriknya. Lagi pula, mengunjugi Monas saat malam hari lebih menyenangkan karena bisa berselonjor di atas rumput sambil makan kacang rebus dan melihat ondel-ondel, sepeda-sepeda berlampu LED, dan lampu-lampu cantik yang ditembak ke Tugu Monas. Sayangnya, kebiasaan itu berhenti ketika saya mulai memasuki bangku kuliah dan aktif di organisasi kampus.

Kurang lebih lima tahun kemudian, sejak kebiasaan piknik di Monas berhenti, saya diajak oleh seorang kawan untuk berkontribusi di Program AKUMASSA-

24

Diorama, melakukan penelitian tentang diorama di Museum Nasional, Monas. Entah ini adalah takdir atau konspirasi semesta, akhirnya saya kembali menemui Monas, bahkan hampir setiap hari saya mengunjungi Monas selama satu bulan. Ketika kembali ke Monas, saya agak kaget dengan perubahannya. Monas kini sudah lebih sistematis, walau tak bisa dipungkiri kalau masih ada kekurangan di sana-sini. Melihat Diorama Saat saya kembali melihat diorama Monas, tak dapat disangkal bahwa kepala ini penuh dengan recall memory akan pengetahuan sejarah yang sudah dipelajari dari bangku sekolah maupun dari buku-buku lain. Jelas ini menyulitkan saya sebagai pengunjung dengan otak bawel yang selalu bertanya, “Kenapa begini? Kenapa begitu?”, kepada setiap diorama yang dilihat, padahal kebutuhan riset menuntut saya untuk fokus mengamati visual diorama tanpa mengingat narasi besar yang ditawarkan oleh si pembuat diorama. Saya jadi jengkel dengan keberadaan kaca diorama yang menyulitkan saya untuk mengamati diorama lebih jauh. Diam-diam, saya berharap seandainya saya adalah Jinny, si jin cantik di sinetron Jinny Oh Jinny, mungkin saya sudah mengedipkan mata sambil mengangguk centil sebagai mantera supaya saya masuk ke dalam dioramadiorama itu, alih-alih berdiri di depan kaca diorama dan berusaha untuk melihatnya dengan susah payah.

Kaca diorama semakin membuat jengkel saya ketika saya ingin mengabadikan diorama dengan kamera ponsel saya karena sifatnya yang memantulkan bayangan di luar diorama dan cahaya-cahaya yang ada di ruang pamer diorama. Belum lagi, adanya penerangan yang rendah di beberapa diorama, seolah-olah mendukung kaca untuk memantulkan bayangan di luar lebih kuat lagi. Ditambah pula kapasitas pengetahuan saya yang masih terbatas


D I O R A M A #1 ketika harus melakukan semacam “pembesaran� demi menemukan narasi kecil yang dicari-cari.

Hingga pada akhirnya, tibalah tahap untuk memotret diorama lebih jauh lagi dengan melibatkan bayangan yang terpantul dari kaca pembatas diorama. Metode ini sebenarnya cukup memudahkan saya untuk akhirnya bermain-main dengan proses pembesaran tersebut. Yang awalnya bayangan itu menjadi gangguan karena saya berfokus untuk melihat diorama secara jelas, karena semua yang dilihat harus jadi elemen visual, dengan metode ini justru bayangan itu yang dicari agar bisa menyatu dengan diorama. Dengan begitu, bayangan secara otomatis menjadi elemen visual itu sendiri. Saya akhirnya mencari diorama yang menurut saya paling menarik. Saya menemukan beberapa diorama yang jika dimasukkan unsur bayangan itu, menghasilkan narasi yang unik. Saat ada gestur orang yang sedang merokok, saya coba untuk menyalakan korek dan mengatur refleksi api dan objek rokok. Atau, ketika ada gesture orang yang sedang menunjuk, saya coba memantulkan bayangan jari saya yang menunjuk balik, tentunya dengan bantuan kamera sebagai medium penangkap citra. Saya akhirnya menjadikan kaca pembatas diorama ini sebagai jembatan bagi saya untuk bermain-main dengan peristiwa yang ada di dalam diorama. Saya jadi lupa narasi besar dari diorama itu sendiri. Kaca yang tadinya menjadi penghalang, malah menjembatani saya untuk merefleksikan respon yang saya coba masukkan ke dalam diorama.

Saya menganggap diorama ini sebagai representasi atas peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Indonesia dari zaman manusia purba, hingga era Orde Baru. Representasi peristiwa ini yang selalu dipertanyakan setiap kali saya melakukan pengamatan bahkan hingga sekarang. Setelah saya memasukkan bayangan yang dipantulkan oleh kaca, saya menganggap bayangan itu yang menjadi representasi atas respon saya ketika melakukan pembesaran gesturegesture yang terdapat di dalam diorama. Dengan menggunakan kaca sebagai jembatan, narasi besar itu menjadi bias dan terciptalah narasi baru yang bahkan terlepas dari unsur narasi besar itu sendiri.

Kaca Sebagai Jembatan dan Jembatan Kaca Sebelum membahas penglihatan saya atas kaca pembatas diorama yang saya anggap sebagai jembatan, saya ingin sedikit membahas pembicaraan saya dengan seorang kawan ketika kami berbincang tentang jembatan. Kami beranggapan bahwa jembatan merupakan media yang berfungsi untuk mempermudah perpindahan tempat atau penyeberangan dari satu titik ke titik lainnya, yang dipisahkan oleh hambatan berupa sungai, laut, dan lain-lain. Jembatan juga harus memiliki konstruksi yang kuat agar objek yang berat sekali pun dapat menyeberanginya tanpa perlu khawatir bahwa jembatan itu akan runtuh. Akan tetapi, setelah berbincang, kami menemukan kenyataan berbeda dari pandangan kami sebelumnya mengenai jembatan. Salah satunya adalah jembatan yang terbuat dari kaca tipis yang ada di daerah Shiniuzai dan Zhangjiajie, Cina. Saat saya mencari tahu lewat Google tentang jembatan kaca, yang terpikirkan oleh saya adalah ada hubungan apa antara Negeri Cina dengan jembatan kaca yang dibuat untuk menyeberangi Grand Canyon di Provinsi Zhangjiajie. Jikalau melihat berita-berita yang memuat jembatan kaca tersebut, banyak sekali berita kontroversial yang diangkat. Contohnya, ada mobil yang melewati jembatan kaca tersebut, pengunjung yang memukul lantai kaca jembatan, hingga bahkan jembatan tersebut pernah ditutup selama sebulan sejak 13 hari diresmikannya jembatan kaca Zhangjiajie. Namun, ada satu berita yang menarik bagi saya, yaitu tentang arsitek jembatan Zhangjiajie, Haim Dotan, yang berasal dari Israel. Dia awalnya menolak untuk membangun jembatan yang melintasi Grand Canyon tersebut karena pemandangannya terlalu indah untuk dirusak dengan penampakan jembatan.

Penolakan ini ternyata tidak mematahkan semangat pengembang yang merencanakan pembangunan jembatan Zhangjiajie. Setelah bernegosiasi, akhirnya Dotan mengalah dan berkata, “Kita dapat membangun sebuah jembatan, tapi dengan satu syarat: Saya ingin jembatan ini tak nampak.� Berangkat dari pernyataan Dotan tersebut, maka terciptalah jembatan kaca ini. Jembatan Zhangjiajie ini menjadi menarik untuk dibahas karena mematahkan stigma bahwa konstruksi

25


jembatan itu harus kuat. Bahkan Dotan sendiri pun sebagai arsiteknya menertawakan rancangan jembatan yang ia buat dengan ketebalan kaca hanya 5 cm itu. “Ya, Tuhan! Bisakah kalian bayangkan, seorang insinyur konstruksi menggambarkan jembatan yang seperti ini?” (Stinson, 2015). Selain itu, rancangan Dotan yang ingin membuat jembatan yang tidak tampak itu juga menjadi poin utama atas tulisan ini: bagaimana kaca yang dapat menembus pandangan akan objek diseberangnya, atau jika dihubungkan dengan diorama, bagaimana kaca dapat menyeleksi penglihatan pengunjung terhadap diorama yang ada di balik kaca?

Ah! Saya jadi teringat pengalaman kawan saya ketika melihat sekaligus memotret diorama dengan menggunakan kamera SLR dengan tambahan fitur lensa tele-nya. Kami selalu mengunjungi Monas bersama selama kurang lebih satu bulan terakhir. Suatu hari, teman saya itu kebetulan menemukan tiga pasang kaki tanpa badan di salah satu diorama. Dan lucunya, tiga pasang kaki tersebut hanya bisa dilihat dengan medium pembesaran (alias teknologi). Jika kita melihat dengan mata telanjang, tiga pasang kaki misterius itu belum tentu dapat ditemukan. Merujuk temuan ini, maka kaca bukanlah lagi sebuah penghalang karena teknologi memiliki kemampuan untuk membawa mata kita mampu menembusnya lebih dalam. Kaca, dengan demikian, bukanlah penghalang melainkan jembatan. Ia menghubungkan diorama dengan pengunjung. Peran kaca menjadi disorder. Dia tidak lagi patuh pada tugasnya untuk membatasi. Tiga Pasang Kaki Misterius dan Orang Hilang Diorama Monas harus melalui dua rezim besar Indonesia untuk dapat benar-benar diresmikan. Pada rezim Soekarno, pembuatan diorama melibatkan tim sejarawan untuk melakukan penggambaran atas peristiwa, penyuntingan, penyensoran¸ dan lainlain. Ketika masuk ke rezim Soeharto, kemudian dilakukan penyeleksian ulang atas diorama yang sudah dirancang oleh Soekarno agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila menurut versinya. Pun seperti yang sudah-sudah, pembuatan diorama di rezim Soeharto juga dipengaruhi oleh represi yang cukup

26

besar, terutama terkait penyeleksian atas peristiwa dan narasi yang dibangun untuk diorama.

Adanya seleksi peristiwa yang mewakili kepentingankepentingan tertentu inilah yang tentu menyulitkan Alm. Edhi Sunarso sebagai seniman yang ditugaskan Negara untuk merancang diorama. Melalui wawancara antara Grace Samboh dengan Alm. Edhi Sunarso, diketahuilah bahwa memang terdapat revisi besarbesaran terhadap diorama yang kebanyakan sudah jadi, salah satunya diorama tentang peristiwa penyerahan Surat Perintah 11 Maret.

Mengenai penemuan tiga pasang kaki misterius itu, saya dan kawan-kawan akhirnya berdiskusi: apakah ini merupakan kelalaian si pembuat diorama, ataukah memang si pembuat diorama dengan sengaja menyelipkan “harta karun” itu karena represi rezim yang membuat hilangnya kebebasan berekspresi si seniman…? Penemuan ini juga tampaknya dapat kita anggap bahwa pada setiap represi, akan ada ruang-ruang oposisi sebagai celahnya walaupun tidak besar dan sifatnya berupa trivia. Tiga pasang kaki misterius ini bisa dibaca sebagai “harta karun” karena eksistensinya sebagai bagian dari diorama tidak hilang dan terbuka bagi publik yang melihatnya.

Diskusi ini semakin menaikkan gairah saya dan kawan-kawan untuk bermain-main dengan diorama. Bagaimana jika tiga pasang kaki misterius tersebut dikaitkan dengan kasus orang-orang yang dihilangkan oleh rezim? Yang bahkan setelah 18 tahun runtuhnya rezim Orde Baru, orang yang hilang tetaplah hilang, dan peran negara seakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, alias disorder! Sepertinya, tidak ada tendensi Negara untuk menyelesaikan permasalahan orang hilang selama ini. Akhirnya, saya dan kawankawan mengunjungi LBH Jakarta, Elsam, dan KontraS untuk mencari dokumentasi berupa arsip-arsip yang membahas orang hilang pada era Orde Baru. Saya menemukan hal yang menarik di beberapa artikel koran, bahwa ABRI sebagai institusi atau jawatan negara yang sekian puluh tahun terlibat dengan kasus penghilangan orang ini, selalu menolak untuk bekerja sama dengan institusi lainnya dalam mengungkap kasus orang hilang. Selain itu, pengadilan pun turut memberatkan proses pencarian orang hilang.


D I O R A M A #1

Hal ini makin mendukung anggapan saya bahwa disorder di jawatan Negara itu memang ada. Bagaimana tidak‌?! Keluarga para korban orang hilang bersama institusi yang mendukungnya sudah sekian tahun mencari dan menuntut proses hukum ke Negara. Tapi, alih-alih bergerak maju, jalan mereka malah semakin tersendat. Proses penegakan hukum ini tampaknya dipengaruhi oleh kekuasaan yang terlalu tinggi untuk dijangkau. Negara yang seharusnya menjadi jembatan bagi korban orang hilang untuk menegakan hukum, tampaknya terhalang karena adanya disorder yang membuat jembatan ini tidak berfungsi sebagai mediasi, sebagai penghubung, sebagai penyeberangan bagi objek yang hendak melewatinya. Atau mungkin,

jembatan ini memang disengaja untuk tak terlihat, seperti kata Dotan, “Saya ingin jembatan ini tak tampak.�

27


28


D I O R A M A #1

29


Albert Rahman Putra

Romantisisme alam yang jelita, atau yang biasa dikenal dengan terma mooi Indie, menjadi piihan estetika utama yang cukup populer di kalangan pelukis Eropa pada masa penjajahan di Indonesia. Banyak para pelukis Eropa yang merekam keindahan alam Hindia-Belanda (Indonesia) untuk dibawa atau mungkin juga dipamerkan ke kampung halaman mereka. Ernts Haeckel, misalnya, salah seorang profesor biologi berkebangsaan Jerman, yang juga dikenal sebagai salah satu pelukis naturalis yang setia pada filsafat Darwinisme, sempat mengabadikan beberapa keindahan alam tropis Indonesia di sela tugasnya mendata spesies makhluk hidup. Beberapa karya lukisnya itu pernah ia publikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Wanderbilder atau dalam bahasa Inggris disebut Travel Images, diterbitkan oleh salah satu penerbit Jerman pada tahun 1905. Dalam buku itu, terdapat lukisan-lukisan keindahan alam di wilayah yang pernah ia kunjungi, termasuk Indonesia. Lewat gaya tersebut, bahkan, si pelukis sering kali menghilangkan objek-objek kemajuan zaman dan realita yang sebenarnya. Penghilangan objek-objek tertentu itu mungkin bertujuan untuk memberikan sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh para audiens Barat. Saya pun tidak tahu pasti apakah memang ada tujuan politis di baliknya atau hanya karena memang keinginan untuk mempertahankan nilai eksotisnya saja, atau alasan artistik lainnya. Seperti yang pernah dilakukan Wakidi, salah satu pelukis yang berdomisili di Sumatera Barat, yang pernah mendalami ilmu melukis di bawah bimbingan seorang pelukis Belanda, Van Dick, di sekolah Kweeckschool,

30

Bukittinggi. Wakidi lulus pada 1908, lalu melanjutkan mengajar di sekolah itu dan terus melukis keindahan alam Sumatera Barat. Dalam salah satu lukisannya, yang berjudul Danau Singkarak (1942), misalnya, ia menghilangkan jembatan mobil yang bergandengan dengan jembatan rel kereta api di Singkarak, yang sebenarnya sudah ada pada tahun 1940. Konon, pengurangan objek semacam itu juga kerap ia lakukan pada lukisan alam lainnya (Putra, 2015) sehingga mengantarkan kita pada sebuah referensi yang buram. Akan tetapi, lukisan-lukisan Wakidi memang terlihat indah dengan teknik lukis yang bagus, sampai tokoh-tokoh besar yang berpengaruh pun meminatinya. Adam Malik dan Mohammad Hatta turut mengoleksi lukisannya; semacam legitimasi yang tidak formal yang mengakui kebesaran karyanya. Dalam beberapa kali kunjungan ke Museum Nasional di Monas, Jakarta, saya menikmati bagian-bagian diorama yang ada di sana, sebagaimana sebagian besar pengunjung lainnya. Diorama-diorama tersebut didominasi oleh ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan, antara lain, semangat kolektivitas, relasi patron-klien, dan aksi-aksi heroik. Banyak di antaranya disertai latar yang indah; gambar-gambar ini mengingatkan saya pada praktik seni mooi Indie, kombinasi jelita alam: laut, pengunungan, pohon kelapa, dan keindahan lainnya yang eksotis khas wilayah tropis. Tapi ada beberapa perbedaan menarik antara diorama dan mooi Indie. Saya ingin mengambil satu contoh, yakni tabung diorama Perang Imam


D I O R A M A #1 Bonjol. Saya sebenarnya sulit meraba di mana negeri yang diilustrasikan oleh diorama itu jika tanpa mengidentifikasinya melalui si tokoh Imam Bonjol sendiri, berdasarkan narasi yang umumnya kita dengan sewaktu belajar sejarah di sekolah. Lain halnya dengan lukisan mooi Indie, yang menurut saya, latar-latarnya dengan mudah dapat kita identifikasi karena merekam sebuah lokasi yang pernah kita lihat tanpa harus mengenali judul. Kita dengan mudah tahu ini lukisan Ngarai Sianok, ini Danau Toba, ini Gunung Slamet, dan seterusnya.

Gaya mooi Indie juga dikembangkan oleh pelukispelukis pribumi. Selain Wakidi, ada nama-nama lain seperti Raden Saleh, Wakidi, Basuki Abdullah, Pringadi dan masih banyak lagi. Raden Saleh sendiri sempat disebut sebagai salah satu pionir senirupa modern di Indonesia. Ia mengadopsi gaya romantisisme yang waktu itu populer di Eropa, kemudian ia kembangkan di Indonesia dengan lukisan alam yang jelita. Gaya ini kemudian dikritisi oleh Sudjojono dan dianggap sebagai lukisan yang “tidak berjiwa”. Mooi Indie sangat berkembang di Indonesia, bahkan sampai sekarang, saya sendiri masih sering menemukan gaya lukis ini di tempat-tempat wisata di Sumatera Barat, terutama di Bukittinggi. Lukisan-lukisan ini sering dibeli oleh para wisatawan. Orang tua dari salah satu teman saya punya banyak koleksi lukisan keindahan ini, semacam kenangkenangan wisata, katanya. Kadang ia juga termotivasi oleh perasaan simpati terhadap si seniman, yang sangat performatif memindahkan keindahan alam ke dalam kanvasnya. Saya jadi ingat, suatu kali kunjungan ke Panorama Wisata Ngarai Sianok, Bukittinggi, salah seorang pelukis yang berusia sekitar 50an, berjongkok di depan toko atau galerinya. Ia menghadap kanvasnya yang membelakangi Ngarai Sianok, dan memainkan kuasnya sementara beberapa wisatawan mengelilingi mengamatinya. Waktu itu saya jarang sekali melihat orang melukis secara langsung, jadi saya ikut menonton Si Bapak yang tengah memindahkan keindahan Ngarai Sianok ke dalam kanvas. Orang tua teman saya yang memiliki koleksi lukisan tadi, rupanya pernah mengalami perasaan yang sama. Sebagai orang kantoran, katanya, melihat pelukis handal yang terkesan “tidak

diapresiasi“, memancingnya untuk mengapresiasi dengan membeli lukisan itu. Ia memiliki beberapa koleksi yang ia beli dari berbagai kota. Di rumah, ia menyikapi lukisan-lukisan ini sebagai jembatan untuk terus terhubung dengan keindahan alam yang dilukiskan itu. Selain banyak diminati wisatawan, lukisan-lukisan alam Sumatera Barat juga banyak saya temui di rumah-rumah makan Padang di berbagai kota, dan juga rumah-rumah perantau yang ingin memamerkan dan berindu-rindu dengan kampung halamannya.

Di awal-awal kemerdekaan, Sudjojono secara berturutturut menulis esai yang mengkritisi praktik mooi Indie dalam alur perkembangan senirupa modern Indonesia. Baginya, mooi Indie adalah sebuah cara pandang ‘Barat’ (kolonial) yang ingin terhibur oleh latar keindahan alam Indonesia, suasana tropis yang tidak mereka temukan di kampung halaman mereka (Siregar & Supriyanto, 2006). Tapi dalam sebuah obrolan bersama salah seorang teman, terinspirasi dari sudut pandang Sudjojono, ia melihat mooi Indie sebagai “seni menipu”. Penjelasan ini mungkin tidak hanya soal praktik melukis yang suka menghilangkan objek tertentu, seperti yang dilakukan Wakidi, tetapi juga lukisan mooi Indie lainnya, yang dalam pandangan Sudjojono tidak menampilkan Indonesia yang sebenarnya.

Sudjojono, dalam “Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang” (1946), menulis bahwa Abdoelsalam pernah menggambar seorang anak perempuan yang dipukul halus oleh seorang anak lakilaki, karena anak perempuan tersebut mengatakan “Houd je smoel!” pada si laki-laki, kalimat yang artinya “Tutup mulutmu!”. Pada masa itu, ada yang menganggap lukisan ini tidak baik dan tidak sopan, tetapi begitulah kenyataannya. Bagi Sudjojono, realita yang dilukiskan Abdoelsalam itu terlalu jelek untuk tidak diketahui publik. “…menyembunyikan keadaan yang tadi (keadaan sebenarnya) barang kali sopan dan baik, akan tetapi kita berdusta kepada puteri kebenaran kita yang dinamakan orang: kesenian,” tulisnya (lihat Soedjojono, 1946, dalam Siregar & Supriyanto, peny., 2006, hal. 5).

31


Sebagai tawarannya, Sudjojono menyematkan ideologi baru di atas pundak pelukis-pelukis muda PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) untuk mengembangkan praktik seni lukis yang ideal, yakni dengan menjalani seni lukis yang “merdekasemerdeka-merdekanya”, terlepas dari ikatan moral dan tradisi, seraya meninggalkan dogma estetik mooi Indie. Trisno Sumardjo, dalam esainya, “Kedudukan Seni Rupa Kita”, yang pernah dimuat dalam Almanak Seni 1957 (terbitan BMKN), kemudian melihat Sudjojono berhasil melahirkan beberapa karakteristik “seni rupa modern”-nya yang menempatkan tenaga perseorangan dalam pernyataan seni, dengan melepaskan segala pengaruh tradisi yang ada. Jiwa kolektivisme yang disebarkan oleh filsafat, agama, tata negara dari zaman feodal maupun kolonial telah mematikan bakat dan cita-cita perseorangan. Dan itu adalah jiwa yang diperlukan oleh seorang penguasa dari kliennya. Sementara itu, Aminudin TH Siregar menyimpulkan dalam pengantar buku Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-Esai Pilihan (2006), “Aku” yang dimaksud Sudjojono bukan lagi sematamata kemodernan mencari jalan keluar atau sebuah eskapisme, tetapi sebuah self-diagnostic sebagai introspeksi dan pemeriksaan batin. ***

Dibatasi. Itu salah satu impresi awal yang membuat saya dan kawan-kawan—yang terlibat dalam proyek AKUMASSA-Diorama di Monas—mendalami apa yang coba dihadirkan negara sebagai wajah Indonesia. Di saat yang sama, kita sadar, narasi ini adalah hasil rangkaian seleksi panjang atas apa yang hendak ditampilkan dan apa yang enggan, dari begitu banyak peristiwa penting yang telah terjadi. Ada yang diperoleh dari cerita dan wawancara terhadap pelaku sejarah tertentu, ada juga dari hasil bidikan kamera pada masa itu. Diorama di Museum Nasional tersebut dibuat oleh Edhi Sunarso, selah seorang perupa asal Yogyakarta, atas pesan Pemerintah pada dua periode pemerintahan awal Indonesia. Dalam transkrip video wawancara Edhi dengan Grace Samboh, ia mengungkapkan bahwa ia melakukan negosiasi terkait hasil risetnya dengan sejarawan dan “pelaku sejarah” yang akan

32

berada di dalam diorama buatannya. Ia sesekali kebingungan, karena telah terlanjur membuat versi A, tapi harus diubah menjadi versi si B yang memiliki kuasa sebagai pemesan; tak jarang, mengeluarkan biaya yang besar pula (lihat Jurnal Southeast of Now, vol. I, 2016).

Dalam sebuah tabung kaca, terdapat sebuah aktivitas yang dibuat tidak bergerak. Ia hadir menarasikan sebuah periode sejarah. Ia tersusun dalam dimensi yang menawarkan kita sensasi begitu nyata. Sensasi yang barangkali juga memancing keingintahuan kita tentang bagaimana jadinya jika kita lihat dari sisi seberang sana, dari atas, dari samping, dan sebagainya. Tapi semua itu hanya penawaran saja, ia sebenarnya terbungkus untuk dibaca dalam satu arah. Tidak dari atas, tidak dari samping, dan tidak dari seberang. Sekitar 50 cm, di depan tabung kaca itu, terdapat sebuah pagar melintang, di sanalah batas terdekat kita berdiri, lalu mungkin kita akan melongokkan kepala.

Kita diundang untuk melihat apa yang ada di dalam tabung kaca itu pada sudut pandang tertentu saja sebenarnya; landscape-nya tersaji utuh sedemikian rupa dari satu sisi. Hanya dari sudut inilah kita bisa melihat langit yang indah sebagai latar belakang beberapa diorama dan pemandangan alam yang jelita, menjadi satu narasi bersama titik-titik manusia kecil yang tidak kita ketahui namanya, dan terpesona pada beberapa tubuh yang berdiri gagah, mungkin yang berdiri di atas podium, yang berdiri di tengah, yang menjadi perhatian kerumunan manusia kecilkecil, dalam tabung kaca, yang kehebatannya pernah diceritakan guru di sekolah kita, tanpa dikritisi. Penglihatan kita dibatasi, sejak di sekolah, hingga hari ini, di diorama Monas. Hikmat Budiman, seorang peneliti sosial dan penulis buku, dalam sebuah diskusi khusus bersama tim AKUMASSA-Diorama di Gudang Sarinah Ekosistem, 3 November, 2016, melihat diorama sebagai bagian dari tradisi museum Eropa yang juga diadopsi di Indonesia. Ia dikemas sebagai representasi sejarah atau wajah Indonesia pada masa kini. Diorama dihadirkan secara berurutan, menarasikan setiap periode yang dipilih sebagai tonggak (sejarah) perkembangan bangsa


D I O R A M A #1 ini. Di Museum Nasional di Monas, diorama terdiri dari 51 tabung—menjadi 52 jika kita tambah dengan satu tabung kaca yang kosong—yang berurutan, membentuk sebuah narasi sejarah; narasi itu berhenti di tahun 1995. Dalam diskusi itu, sempat terlintas pertanyaan: mengapa tradisi itu tidak berlanjut lagi di periode pemerintah berikutnya? Apakah medium ini masih dibutuhkan, atau tidak?

Di era Soekarno, atau awal-awal kemerdekaan, negara membuatkan kita “monumen-monumen raksasa” yang dalam setiap propagandanya selalu dimaksudkan agar kita tidak melupakan sejarah: Monas, Patung A, Patung B, dan lainnya. Megaproyek untuk membangun nasionalisme, monumen-monumen sebagai identitas bangsa baru, dan dikemas sebagai cita-cita nasional yang berapi-api. Berikutnya, di bawah Rezim Suharto, aksi memonumenkan sejarah dilakukan dengan cara yang berbeda. Karya diorama banyak dibuat di era tersebut. Salah satunya dengan meneruskan diorama era Soekarno yang kita lihat di Monas saat ini, dan beberapa museum lainnya, atau yang paling besar adalah Indonesia yang diperkecil, di Taman Mini Indonesia Indah. Sebuah Grand Design, ingin ditonton secara berurutan, memperlihatkan glorifikasi, dan janji masa depan yang lebih baik. Kemudian, seperti yang juga disinggung Hikmat Budiman, diorama berdampak terjadinya penyederhanaan sebuah narasi. Menyederhanakan, juga berarti tidak memasukkan hal “yang dianggap tidak begitu penting”, agar mudah diingat dan diterima tanpa ada narasi tandingan untuk generasi berikutnya dalam mempelajari sejarah. Menyerderhanakan, dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah, seperti yang digambarkan Hikmat, membuat kita dengan sederhananya menyebut Sumatera Utara itu Batak, Sulawesi Selatan itu Bugis, dan seterusnya, seolah mengabaikan etnis lain yang juga hidup berdampingan di sana. ***

Dalam tabung kaca itu, ada jemari yang menggaruk siku, menggaruk hidung, dan ada yang menggaruk kepala. Ada yang duduk setengah bersila di atas kursi dalam sebuah pertemuan. Ada mulut yang mendekat pada telinga yang ditutupi jemari di tengah keramaian. Ada yang menunjuk-nunjuk. Ada yang

tertidur di tengah rapat. Ada yang mengintip dari luar jendela sebuah pertemuan. Gesture itu terlihat hampir dalam setiap diorama, dalam narasi sejarah yang terputus dan penuh distorsi yang sampai pada kami, generasi 2000-an. Gesture itu teridentifikasi sebagai diri kami sendiri setelah pembesaran-pembesaran yang kami lakukan menggunakan teknologi kamera, melompati batas pagar tabung kaca. Pembesaran dari narasi arus utama tersebut menjadi target bingkaian oleh teman-teman tim AKUMASSA-Diorama, bersama teknologi kamera dan kemungkinan “zooming” yang memungkinkan kita untuk melihat hal-hal yang terkurung dalam tabung kaca itu.

Kami tumbuh sebagai generasi yang tidak mengalami peristiwa itu secara langsung. Kami (seolah) mengalami situasi—dengan keberadaan infrastruktur yang menempatkan—sejarah sebagai sebuah objek formalitas dalam menyelesaikan ujianujian di sekolah. Dan itu membuat saya merasa cukup terpisah dari narasi yang dihadirkan diorama. Ya, walaupun diorama sebenarnya memang dipersiapkan untuk kita yang tidak mengalami sejarah itu. Pemikiran kami dikusutkan oleh aksi para akademisi yang unjuk bukti-bukti sejarah, menolak yang lainnya, memutuskan kambing hitam, menentukan pahlawan, dan sebagainya. Membangun imajinasi ‘konspirasi canggih’, dan tanpa sadar kami membicarakannya sebagai sesuatu yang eksotis.

Pengunjung diorama Monas cukup ramai dan beragam. Beberapa datang bersama teman, pacar, keluarga, rombongan sekolahnya, ataupun sendiri. Ada pula beberapa di antaranya melihat-lihat diorama secara acak, mereka terdiri dari beberapa kelompok yang tidak dipandu, hanya memilih tabung kaca yang ingin mereka lihat saja. Beberapa memahami teks pendamping yang dituliskan di depan tabung kaca itu. Beberapa hanya melihat dan mendengar cerita dari pembimbing dan pemandunya, beberapa hanya menikmati keindahan-keindahan visual. Beberapa pengunjung lainnya mengeluarkan kamera, lalu memotret dan berfoto di depannya.

33


34


D I O R A M A #1

Sekelompok anak muda, mulai berdiri membelakangi tabung kaca diorama, mengangkat kamera digital atau smartphone-nya dan mengambil protret diri mereka yang berada di luar diorama itu, melihat hasilnya sejenak, lalu mengulangi, berkali-kali, dan melanjutkan tindakannya ke narasi visual lainnya yang menarik bagi mereka. Kemudian melakukan seleksi, lalu publikasi. Aktivitas ini terlihat sangat performatif. Dengan sendirinya, pengunjung menentukan narasi, menghubungkan diri mereka dengan sejarah yang menjadi latar pose mereka, secara swadaya.

Beberapa waktu lalu, teman-teman AKUMASSADiorama, dengan bantuan sebuah lensa tele menemukan hal-hal janggal dalam diorama. Ada tiga pasang kaki tergeletak di sudut ruang tabung kaca. Belakangan, kita juga sadar, banyak orang-orang diorama yang miring berdirinya. Tidak simetris. Ada yang ngomong sendiri. Ada yang memegang pedang buntung. Mungkinkah si pembuatnya lalai…? Tapi… masa bodoh! Lalu, masih bersama tim AKUMASSA-Diorama, kita melihat sebuah vending machine dipertukarkan dalam sebuah suasana transaksi di pelabuhan. Atau sebuah lampu digital petunjuk menuju cawan Monas yang juga ditemukan di sebuah pendopo saat pembangunan Borobudur. Atau cahaya-cahaya yang ajaib muncul dari genggaman seseorang berpakaian Cina. Semua itu sebenarnya adalah pantulan realtime kenyataan lokasi yang ada di luar diorama itu, kemudian menyatu dalam dimensi tabung kaca—yang

tadinya terasa begitu berjarak—menjadi terhubung dalam sudut penglihatan tertentu. Teknologi ternyata tidak hanya melahirkan penafisran yang sangat berjarak, tetapi juga menjadikannya sangat horizontal dan terhubung. “Ketika orang sedang membaca sejarah, dalam kesadaran tertentu ia sebenarnya juga berada dalam situasi sejarah itu sendiri,” saya teringat diskusi dengan seorang teman seminggu lalu. _____

Putra, A. R. (2015, Juni 8). Lukisan Lampau: Kabar Indah di Singkarak. Diakses pada November 11, 2016, from akumassa: http://akumassa.org/id/lukisanlampau- kabar-indah- di-singkarak/ Siregar, A. T., & Supriyanto, E. (Eds.). (2006). Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Nalar.

35


Anggraeni Widhiasih

Kejutan dari Visual Pertempuran Sebuah ledakan terlihat membumbung nyaris di ujung horizon. Awan berwarna ungu mengepul ke angkasa selagi di bawahnya sebuah panser menodong ke kejauhan ke arah musuh. Di depan panser, orangorang berserakan bersama puing-puing. Mereka tengah tiarap mengintai musuh selagi beberapa lainnya terluka dan tewas. Di pojokan kanan terlihat seseorang berpakaian putih tengah berada di antara orang-orang yang terluka. Bangunan terlihat compang-camping dan tak lagi utuh. Barangkali akibat gempuran kedua belah pihak. Ini adalah sekilas kenampakan yang saya lihat dalam sebuah diorama bertajuk Pertempuran Surabaya.

Diorama yang ada di Monumen Nasional (Monas) ini berusaha mengisahkan tentang peristiwa Pertempuran Surabaya. Dalam teks pendamping diorama, dikatakan bahwa pasukan Sekutu bersama opsir NICA mendarat di Surabaya pada bulan Oktober 1945. Beberapa insiden muncul dan terjadi eskalasi hingga ke tahap pertempuran. Dikatakan pula bahwa setelah Brigjen Mallaby terbunuh, ultimatum dikeluarkan kepada rakyat Surabaya untuk segera menyerahkan senjata mereka. Namun menurut tuturan teks pendamping diorama, ultimatum ini tak dihiraukan oleh rakyat Surabaya sehingga kemudian pecah pertempuran hebat antara Sekutu dan rakyat Surabaya pada 10 November 1945. Oleh teks tersebut dikatakan pula bahwa hari dimana pertempuran di Surabaya tersebut diabadikan menjadi Hari Pahlawan mengingat banyaknya pejuang Indonesia yang gugur kala itu. Kisah mengenai pertempuran yang identik digambarkan sebagai Peristiwa 10 November ini

36

hadir dalam diorama dengan penampilan yang cukup berbeda dari sejarah yang kerap diceritakan. Setidaknya begitulah impresi yang saya tangkap selagi berdiri memandangi sang diorama dalam kotak kaca. Apa yang memori saya kumpulkan kala duduk di bangku Sekolah Dasar rasa-rasanya tidak cukup terefleksikan dalam pemandangan yang saya lihat dalam diorama. Tidak ada rupa Brigadir Jenderal Mallaby atau Bung Tomo yang berapi-api membakar semangat pejuang di dalam diorama. Bahkan tak pula hadir peristiwa dirobeknya bendera musuh di Hotel Oranye atau Hotel Yamato. Peristiwa yang terjadi di tahun 1945 ini dimunculkan dengan cara yang sangat berbeda. Setengah bertanya-tanya, saya mengamati visual pertempuran surabaya yang dihadirkan dalam diorama. Bukannya menangkap kesan keseluruhan pertempuran, malahan yang kemudian mencuri perhatian saya ialah goresan-goresan cat di dinding yang membentuk frasa. Guratan yang berbunyi “Merdeka atau Mati”, “Freedom Forever” hingga “RIS linggis” serta “Mandi darah” seolah menjadi visual dari pertempuran itu sendiri. Mereka menggaung begitu kuat sekali tangkap oleh pandang mata. Artikulasi yang terasa begitu nyata karena sang verba mengalami perubahan menjadi sebuah visual. Ia menjadi pernyataan yang tak didengar tetapi dilihat secara gamblang oleh mata. Coret-coret yang ada di dinding tembok sepanjang medan perang ini memang tak banyak. Namun dalam kesedikitannya, pesan perlawanan terasa begitu nyata. Huruf-huruf yang ditulis dengan cat hitam lekat ini seolah menyerukan ketangguhan hati para pejuang untuk melawan penjajah. Bahkan melalui peletakannya, visual teks ini pun seolah berkisah


D I O R A M A #1

37


tentang kejadian heroik kala pertempuran terjadi. Teks “mandi darah” contohnya. Ia diletakkan sedikit di atas dari visual seorang perempuan berbaju putih -mungkin perawat- yang tengah menolong seseorang yang terluka, pejuang barangkali. Lebih dekat pada adegan pertolongan perawat tersebut, nampak teks “RIS linggis” yang secara tak langsung menamakan musuh yang tengah di lawan. Hadirnya kata “NICA” yang disilang pun makin menegaskan situasi perang yang tengah berlangsung sekalipun musuh hanya sekedar nama dalam visual teks “RIS linggis”.

Kehadiran teks-teks perlawanan ini malahan memberikan informasi yang mendalam mengenai kejadian 10 November 1945. Barangkali ini adalah aspek sejarah yang sempat terlongkapi dalam cerita-cerita umumnya. Penggambaran sejarah yang nampak asing bagi saya ini seolah mewujudkan wajah lain dari narasi sejarah yang jarang diketahui khalayak umum. Potret situasi yang sebelumnya tak didapati terutama ketika kita hanya belajar sejarah Indonesia ala kadarnya, kini tergambar dalam rupa yang (barangkali) lebih beragam. Wahana berpikir saya pun kedapatan informasi-informasi baru namun pada saat yang sama mengalami luapan pertanyaan akibat kaget. Keterkejutan ini tak ayal membuat bangunan pemahaman saya mengenai sejarah Pertempuran Surabaya pun terpecah-belah. Antara berusaha mengkritisi, memvalidasi sekaligus menjembatani muatan wawasan yang rasa-rasanya bercelah. Spektator yang Gagap Sekalipun bentuk diorama ialah visual tiga dimensi yang bisa dilihat dari berbagai macam sudut, namun rupanya ragam pandangan spektator terhadap diorama tak sekaya yang dikira. Kehadiran kaca betulbetul membatasi pengalaman saya dalam membaca diorama, belum lagi dengan mata yang memang serba terbatas (mata yang minus, plus dan kawankawannya). Sudut pandang saya sebagai spektator terbentur oleh kaca dan berhenti pada bentuk nyaris dua dimensi saja. Sekalipun sesungguhnya diorama adalah visual tiga dimensi, spektator malahan seperti sedang sekedar menonton televisi. Kami hanya bisa melihat dari arah tertentu saja tanpa mampu menelisik secara khusus setiap sudut diorama.

38

Selalu ada detail dari diorama yang tertinggal dan tak terbaca. Maka tak heran jika informasi yang diterima pun menjadi serba sepotong dan belum tentu memuat keseluruhan bacaan yang dimaksud oleh diorama.

Keterbatasan dari kaca ini tak ubahnya dengan keterbatasan yang muncul akibat muatan pengetahuan yang masih minim. Wawasan mengenai sejarah Indonesia yang kurang mendalam serta informasi sejarah yang kurang menyeluruh menyebabkan spektator gagap membaca diorama. Konteks sejarah pun dicerna sepenggal demi sepenggal agar mampu berelasi pada narasi besarnya. Seolah menerima kucuran air dari langit yang tak kunjung usai juga karena jatuhnya setetes demi setetes. Seperti halnya dalam diorama Pertempuran Surabaya. Ketimbang visual reruntuhan dan teks perlawanan, sejarah mengenai Pertempuran Surabaya biasanya lebih identik dengan perobekan bendera sekutu di Hotel Oranye atau Hotel Yamato yang memicu agresi disertai tewasnya Jenderal Mallaby. Selain itu, kebanyakan anak-anak yang pernah mengenyam pelajaran sejarah di bangku Sekolah Dasar biasanya lebih teringat dengan ikon Bung Tomo yang tengah menyeru untuk membakar semangat revolusi para pejuang menggunakan sebuah radio lokal. Di kebanyakan buku sejarah Sekolah Dasar, memang foto tersebutlah yang sering dipampang sebagai visual Pertempuran Surabaya. Hal ini membuat peristiwa Pertempuran Surabaya seolah begitu identik dengan Bung Tomo. Sementara situasi yang penuh puing dan visual teks perlawanan rupanya malah jarang terpikirkan. Penegasan bahwa ternyata hadir petani-petani bercaping yang tak beralas kaki dan turut bergelimpang di jalanan kota Surabaya saat pertempuaran berlangsung pun terlongkapi. Barangkali malahan tak diduga. Selalu ada tokoh yang tampil terdepan dan memburamkan situasi lain di sekitarnya, termasuk tokoh-tokoh tak bernama dalam sejarah. Entah imajinasi yang memang mentok atau sistem pewarisan pengetahuan yang serba tersendat. Kita hanya kedapatan secuil dari limpahan yang semestinya begitu meruah.


D I O R A M A #1 Pertanyaan-pertanyaan atas ketidaktahuan yang lalu muncul di benak barangkali terdengar sedikit bodoh, namun juga hampir-hampir bisa merefleksikan miskinnya imajinasi atas sejarah yang pernah terjadi. Sehingga ada narasi dalam visual diorama yang begitu sulit kami baca. Sebagai spektator, kami merasa gagap menangkap kisah dari figur-figur dalam diorama. Malahan ada rasa terusik yang muncul dari figurfigur dengan narasi yang belum terbaca ini. Seolah ada kisah yang masih menggantung, tersembunyi dan meminta untuk dibaca. Pada tahap inilah kegagapan akan wajah sejarah terasa begitu mengganggu. Susunan narasi sejarah yang sebelumnya sudah ada di kepala malahan seperti minta untuk diobrak-abrik. Keterputusan pengetahuan menjadikan mata yang sudah terbatas menjadi semakin terbatas. Hambatan pun berkembang baik secara fisik hingga abstraksi wawasan. Sampaisampai antara sistem dan unit sama-sama saling terjebak dalam ruang kosong dan hanya bisa bermain tebak-tebakan lantaran gagap. Telepon Genggam Pintar dan Kameranya Kaca yang hadir di antara spektator dan diorama menjadi pembatas yang menyeleksi pandangan dan imaji spektator tentang narasi diorama. Tak heran jika kemudian hadir semacam kebuntuan ketika mencerna narasi visual diorama. Namun kesulitan mencerna visual rupanya tak sepenuhnya membuat spektator gagal menerima narasi dari sang diorama. Kaca yang tadinya adalah pembatas antara pengetahuan kita dan diorama ternyata bisa diubah menjadi celah. Melalui kemampuannya untuk memberi refleksi, kaca pun mampu memberi kesempatan bagi spektator untuk membelah-belah narasi diorama.

Perlakuan ini bukannya dengan pertimbangan usil dan setengah putus asa semata. Perlakuan ini justru adalah cara untuk membaca narasi yang tak terbaca oleh mata yang minim pencahayaan pengetahuan. Karena pengetahuan yang dimiliki terbatas, maka apa yang bisa dilakukan adalah membelah-belah narasi yang terbaca karena tidak keseluruhannya terbaca. Untuk melakukan pekerjaan ini, sekedar lensa mata alamiah manusia saja tak cukup. Diperlukan kehadiran suatu mata yang mampu membongkar

dan menyusup ke celah dan sela yang gagal dimasuki oleh mata manusia. Di sinilah bantuan mata kedua dibutuhkan untuk membaca sosok-sosok kecil dalam diorama agar bisa diperbesar dan selanjutnya bercerita dalam narasinya sendiri. 1

Salah satu jenis medium penglihatan yang paling dekat dan familiar dengan kita saat ini ialah kamera. Instrumen optik ini pada awal kemunculannya terasa eksklusif dan hanya bisa digunakan orang tertentu. Namun kini ia begitu mudah diakses bahkan dimiliki oleh orang-orang. Ia telah menjadi benda massal milik warga yang begitu lekat dengan keseharian. Nyaris setiap orang saat ini telah memiliki kamera, bahkan anak-anak. Terkadang, seorang bocah usia 4 tahun pun sudah fasih mengoperasikan kamera dan merekam suatu imaji darinya. Memainkannya seolah menjadi bagian yang wajar dalam rekam jejak masa kecilnya. Kondisi ini berlaku karena perkembangan inovasi teknologi kamera yang menempel dengan teknologi telepon genggam. Tidak jelas sejak kapan perkawinan itu terjadi, namun produk komunikasi massal yang muncul di tahun 1973 ini kini begitu lekat dengan kamera. Kini kamera menjadi salah satu fitur yang musti ada pada sebuah telepon genggam. Terutama ketika era digital telah memberi kemudahan bagi manusia untuk menjelajah dunia sekaligus ‘menambah’ khasanah hidup lewat internet pada telepon genggam. Imaji yang terekam ataupun tak terekam mata kemudian dihadirkan kembali lewat kamera telepon genggam dan disebarkan pada khalayak lewat fitur internet.

Integrasi fungsi ini semakin mempermudah hidup manusia seiring dengan penemuan dan perkembangan teknologi smartphone atau telepon pintar. Teknologi 1. Dalam proses ini, saya sangat terinspirasi oleh ulasan mengenai Dziga Vertov yang dimuat dalam laman http://sensesofcinema.com/2003/great-directors/vertov/ . Pada artikel tersebut, terdapat sebuah kutipan dari Provisional Instructions to Kino-Eye Groups (1926) karya Dziga Vertov. Kutipan tersebut bicara mengenai mata yang serba terbatas sehingga manusia pun mendorong penemuan teknologi yang bisa membantu daya lihat mata. Teleskop dan kamera adalah dua jenis teknologi yang disebutkan oleh Vertov mampu membantu menerobos dinding batas mata manusia. Relevansi hal ini sangat terasa ketika saya melakukan proses pembacaan diorama menggunakan kamera telepon genggam.

39


digital hari ini telah memasuki era serba telepon pintar dan layar sentuh yang membuat fisik manusia bisa secara langsung dan setiap saat bersentuhan dengan dunia digital. Kondisi ini memungkinkan teknologi untuk menjadi begitu lebur dengan keseharian manusia. Kita mulai menyentuh tak hanya secara langsung pada objek sentuhan kita namun juga melalui media. Kita mulai melihat tak hanya melalui mata kita tapi juga melalui mata kedua. Sehingga mata kamera telepon genggam pun bisa menjadi salah satu teknologi penglihatan yang menjadikan ‘kecacatan’ mata alamiah manusia menjadi sempurna. Tanpa sadar ia pun mampu menubuh menjadi mata kedua untuk menciptakan dan melihat imaji yang sulit dilihat atau diperlihatkan oleh mata alamiah manusia.2 Semisal gambar-gambar kecil yang tak terjangkau oleh mata. Dibutuhkan fitur zooming untuk bisa menangkap gambar-gambar kecil yang sulit dilihat mata secara langsung. Atau jika pencahayaan kurang, maka mode kamera telepon genggam bisa diubahubah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan. Fitur mode kamera ini bahkan mampu mendistorsi warna objek yang diperlihatkan oleh mata kamera. Memberikan suatu alternatif yang kadang hampir sepenuhnya berbeda dari realitas. Bahkan lewat sistem autofokus dan jenis lensanya, malahan sebuah kamera telepon genggam bisa menangkap pembiasan dan menyatukannya dengan visual realitas yang ada. Kemudian membuat suatu benda seolah-olah ada di tempat di mana ia sebenarnya tak ada. Visual semacam itu adalah jenis yang tak bisa secara langsung tertangkap oleh mata manusia. Oleh teknologi kamera, kekurangan tersebut ditambal dan bahkan dijadikan sebuah kesempatan bagi eksplorasi serta provokasi visual realitas. Sebuah perayaan atas harmonisasi kerja teknologi dan manusia.

2. Masih terinspirasi oleh wacana tentang Dziga Vertov mengenai mata kamera, ‘kecacatan’ manusia yang dimaksud adalah ketidakmampuan mata manusia untuk melihat dan memperlihatkan sebagaimana yang mampu dilakukan oleh mata kamera. Sebagai mesin, mata kamera mampu disempurnakan seiring dengan perkembangan fitur teknologi kamera itu sendiri untuk kemudian memenuhi kepentingan operatornya (manusia) atas visual.

40

Dalam konteks memotret diorama, ruang pameran yang temaram dan diorama yang tersimpan dalam kaca menjadikan proses membaca narasi diorama menjadi tak mudah. Di dalam ruang pameran yang begitu besar dan tertimpa aneka cahaya, kaca diorama sangat rawan pantulan cahaya. Sehingga hampir begitu sulit menangkap adegan dalam diorama tanpa adanya bayang-bayang lokasi masa kini ataupun tambahan lampu yang terpantul. Ketika siang hari, pengunjung ramai berduyun-duyun memotret diorama dan/atau memotret dirinya sendiri (selfie) bersama diorama. Seolah mereka adalah bagian dari diorama tersebut. Kilat-kilat cahaya lampu kilap kamera pun turut menjadi keributan yang membuat diorama sulit dibingkai ‘bersih’ dan menjadi arsip pribadi spektator yang utuh. Malam tiba, lampu-lampu di dalam ruang pameran justru semakin lebih kuat menimpali cahaya dalam diorama. Bagi mata saya yang mengidap rabun jauh alias minus, kondisi ini sangat mengesalkan karena mengganggu proses melihat diorama secara dekat. Bagi mata kamera, lampu-lampu ini seolah menantang cahaya diorama. Ia mengalahkan pijar narasi yang berusaha dibawakan oleh diorama dan menjadi distraksi bagi proses mengarsip diorama. Lampu aula, cahaya dari mesin penjaja minuman hingga lampu kilap kamera terus menginterupsi narasi diorama tanpa ampun. Teknologi kamera telepon genggam pada kondisi seperti ini rupanya memiliki andil pembacaan yang cukup mampu diandalkan. Yang perlu dilakukan hanyalah mengoptimalkan fitur-fitur dalam kamera telepon genggam agar mampu menangkap narasi dari diorama. Sehingga apa yang tadinya jauh dan sulit terbaca menjadi lebih dekat dan lebih mudah untuk dibaca. Pun dengan desain fisik kamera telepon genggam yang ringan, tipis dan mudah dibawa kemana-mana maka ia bisa menjadi begitu luwes untuk membaca diorama sekalipun dengan pengunjung yang kadang riuh berjubel.

Dalam hal ini, keleluasaan kita sebagai pemegang kamera terfasilitasi oleh keberadaan kamera. Apa yang butuh kita temukan dapat ditemukan oleh mata kamera. Apa yang butuh kita perlihatkan


D I O R A M A #1 dapat diperlihatkan melalui bantuan mata kamera. Kepala, mata dan tangan pada saat yang bersamaan mensikronisasi apa yang butuh dilihat dan diperlihatkan melalui kemampuan mata kamera. Sehingga ia menjadi perpanjangan tangan (dan mata) atas kepentingan kita sebagai manusia sekaligus pemegang otoritas atas teknologi yang kita pegang. Menembus kaca pembatas Bantuan yang bisa diberikan oleh telepon genggam pun mencakup proses mengakali kondisi ruang pameran yang mengganggu. Seperti sebelumnya dikatakan, cahaya dalam ruang pameran begitu terang dan memantul di mana-mana pada setiap kaca diorama. Begitu pula cahaya dari mesin penjaja minuman yang dengan mentereng dan seenakenaknya muncul dalam rekam gambar diorama akibat adanya pembiasan oleh kaca. Distorsi ini oleh kamera telepon genggam justru bisa menjadi sebuah celah untuk bermain. Apa yang semestinya menjadi distraksi justru mampu membentuk sebuah kebaharuan narasi. Pada diorama Pertempuran Surabaya misalnya. Ketika kita membaca diorama ini, mata kita tak mampu mengelak dari timpaan pembiasan cahaya di ruang pameran yang masuk ke dalam diorama. Bahkan, tak jarang mesin penjaja minuman tahutahu muncul di latar belakang diorama atau sekedar hadir menimpali si pejuang yang tengah berperang. Begitu seenaknya kehadiran mesin penjaja minuman ini hingga ia bisa seolah-olah menjadi bagian dari diorama. Belum lagi bayang-bayang pengunjung lainnya yang masuk ke diorama dan seolah menjadi jin hantu warna hitam besar di arena pertempuran!

Distorsi dan keributan yang mempersulit proses membaca atau mengabadikan diorama sebetulnya tak jauh beda dengan pengetahuan spektator diorama yang penuh distorsi. Sistem lokasi yang memiliki banyak gangguan ini adalah batasan dari diorama. Namun segala hambatan dan kesulitan membaca diorama ini masih bisa disulap menjadi sebuah ruang bermain. Kamera telepon genggam dalam hal ini ternyata mampu menjadi sihir yang memainkan distorsi

dan distraksi yang diakibatkan oleh kaca. Alih-alih menjadikannya sekedar pembatas, kaca malahan dirubah menjadi sebuah jembatan untuk menembus diorama. Pembiasan yang hadir pada kaca diorama kemudian diposisikan agar benar-benar menjadi bagian dari diorama. Tentunya proses ini pun melewati suatu seleksi dan rekonstruksi namun dilakukan sepenuhnya oleh pemegang kamera. Akibatnya, narasi peperangan melawan musuh di diorama Pertempuran Surabaya bisa menjadi hal yang sangat surealistis ketika oleh mata kamera bayangan mesin penjaja minuman dimasukkan dan dibingkai menjadi sasaran tembak panser. Lewat sudut dan posisi mata kamera yang lain, mesin ini juga bisa berubah seolah menjadi sasaran tembak para tentara atau menjadi sebuah tas aneh yang dibawa-bawa salah seorang pejuang. Ia bahkan bisa menjadi sekedar imajinasi incaran pemuda-pemuda yang tengah main petak umpet!

Jika demikian, maka tak hanya memperbesar dan menangkap apa yang mata manusia tak bisa tangkap. Kamera telepon genggam bahkan mampu membelokkan sebuah narasi dan membuatnya berbeda dari narasi keseluruhan. Ia menjadi sebuah instrumen untuk membangun narasi yang baru dan untuk memilah-milah narasi yang terbaca. Namun, pembelokkan narasi semacam ini hanya bisa didapati ketika kita melihat lewat mata kamera dan secara sadar membingkai apa yang ingin kita tampilkan. Kehadiran kamera dalam hal ini memang ditujukan untuk menyusup lebih dalam ke dunia yang nampak agar bisa mengeksplor dan merekam fenomena visualnya. Operasional kamera dengan lugas diluaskan hingga proses membingkai dan mewujudkan abstraksi dari isi kepala pemegangnya. Dalam hal ini, kita memilih sejarah mana yang ingin kita hadirkan. Bias Belok Baca Sejarah Nyaris setiap diorama hadir sebagai suatu representasi sejarah yang telah terpilah, begitu pula diorama pada Monumen Nasional. Ia hadir sebagai narasi yang diseleksi oleh otoritas tertentu untuk menghadirkan kembali sebuah peristiwa lampau, dalam hal ini ialah peristiwa perjuangan Indonesia dari zaman batu hingga lewat era kemerdekaan.

41


Rekonstruksi sejarah ini melewati proses seleksi peristiwa hingga akhirnya menjadi sebuah visual diorama 3D dengan narasi tertentu. Representasi sejarah ini kemudian menjadi sebuah narasi tak bertuan yang sebetulnya terbuka bagi interpretasi bebas pembacanya. Namun sayangnya, celah antara pengetahuan spektator dan diorama sering membuat kondisi gagap membaca bagi spektator. Belum lagi bayang-bayang lokasi hari ini menjadi presentasi yang selalu menginterupsi pembacaan spektator atas diorama yang menjadi representasi sejarah. Mengakali gap pengetahuan di hari ini, teknologi semacam kamera telepon genggam memiliki kemampuan untuk menjadi jembatan bagi keduanya. Melalui selfie, tanpa sadar sebetulnya seorang spektator telah memasukkan dirinya ke dalam representasi sejarah. Sehingga presentasi hari ini dan representasi masa lalu dapat tergabung dalam suatu representasi yang baru atas masa kini dan masa lalu. Perilaku semacam ini justru mampu menciptakan ruang bermain untuk mengatasi kesulitan dalam membaca representasi sejarah. Malah melalui bantuan teknologi yang memainkan bias kenyataan hari ini ke dalam sejarah, maka narasi dari sejarah itu sendiri pun mampu dibelokkan. Secara spesifik, kamera dari telepon genggam memiliki fitur yang mampu menangkap keseluruhan bayangan yang dibiaskan kaca beserta objek yang ada di balik kaca yang sama. Kemudian menggabungkan keduanya menjadi sebuah kesatuan visual yang baru. Tentunya dengan bingkai cerita yang baru pula.

Dalam hal ini, kamera memberikan keleluasaan bagi penggunanya untuk membelokkan konteks dan menuliskan narasinya sendiri, lepas dari narasi yang sudah ada. Melalui otoritas penggunanya, kamera memperlihatkan kembali apa yang ia lihat kepada mata alamiah manusia. Kehadiran realitas direkonstruksi dengan bingkai dan seleksi sedemikian hingga agar menjadi suatu representasi baru sesuai kehendak pemegang kamera. Sehingga secara sadar pun seseorang sebetulnya bisa memilih narasi yang ingin dimunculkan melalui otoritas mata kamera. Inilah peluang menggegarkan balik sejarah yang rupanya bisa diraup dari celah antara

42

pengetahuan di masa kini dan representasi masa lalu di diorama.

Keluar Masuk Narasi Sebagai sebuah karya tiga dimensi, diorama tak hanya menawarkan berbagai perspektif tapi juga berbagai narasi. Dari satu narasi yang bulat-bulat dihadirkan dalam diorama, rupanya ada pula narasinarasi kecil di sudut-sudut diorama yang kemudian dalam bisu menunggu untuk diceritakan.

Pada prosesnya, kehadiran narasi dalam diorama pun bukannya tahu-tahu ada begitu saja. Ia melalui sebuah proses panjang yang di dalamnya kontrol kuasa dan pembuatan cerita sebuah sejarah terjadi. Setidaknya hal ini dimulai dari sebuah reduksi atas peristiwa dan sosok-sosok mana yang perlu untuk ditampilkan. Sebagai konsekuensinya, seleksi peristiwa pun muncul dan merubah bentuk dari keseluruhan narasi yang terjadi. Menjadikan sejarah yang ditampilkan bagi publik sebetulnya hanyalah representasi sejarah yang menjadi medium kontrol bagi negara untuk membentuk imaji tentang dirinya. Yang pada proses diorama dimunculkan dalam bentuk miniaturisasi dan cheerypicking tokoh serta peristiwanya.

Dalam bentuk miniatur tiga dimensi inilah diorama muncul sebagai sebuah representasi dan rekonstruksi sejarah. Namun, keadaan representatif ini hanya berlaku ketika diorama ini tidak dibaca. Sedangkan dalam kondisinya ketika dibaca, diorama menjadi sebuah presentasi yang hadir, tampil dan bahkan secara dinamis dapat direpresentasikan kembali. Potensi kehadiran ini menjadikan sejarah adalah ruang yang sangat terbuka bagi interpretasi publik. Arus keleluasaan ini begitu sulit untuk terbendung terutama dengan hadirnya teknologi digital. Meskipun demikian, kejelian untuk memilah teknologi pun perlu digalakkan sebab terkait pula pada seleksi publik untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Konteks memasukkan dan mengeluarkan peristiwa serta tokoh yang tadinya hanya menjadi otoritas negara kini pun dapat dimiliki oleh publik. Dengan bantuan teknologi, publik bisa mengalami kembali sejarah dan bahkan bisa menemukan hal-hal yang tadinya luput dari perhatian narasi besar sejarah. Menjadikan


D I O R A M A #1

adanya kebocoran dari skenario sejarah yang dibuat oleh negara.

Kebocoran ini malahan menjadi sinyal bahwa sejarah memang adalah fiksi yang bisa menjadi milik bersama. Sangat muskil untuk mengkristalkan sejarah dan mengurungnya dari terpaan interpretasi terutama pada era inovasi teknologi hari ini. Darinya selalu ada ruang bermain interpretatif yang memungkinkan sejarah untuk dialami kembali dan dihubungkan kepada generasi yang tidak mengalaminya sekalipun melalui hal yang trivial. Dan pada saat yang bersamaan, kebocoran ini menjadi wujud keagenan publik dalam menarasikan sejarahnya. Suatu kegegeran dan peristiwa pecah belah sejarah oleh publik yang akhirnya terayakan atas bantuan teknologi masa kini.

43


Rayhan Pratama

Sejak awal, saya merasa sangat terbatasi saat melihat diorama. Bagaimana tidak, melalui hadirnya ‘batas’ besi, kaca dan pencahayaan, saya tidak benarbenar merdeka untuk memahami narasi saat itu dan saya merasa kemerdekaan itu justru hanya ada di dalam diorama. Keresahan itu mulai saya rasakan ketika lingkup lihat maupun gerak saya terbatasi oleh ruang. Bagaimanapun, kita selalu dituntun untuk melihat tonggak-tonggak sejarah secara deskriptif dengan tawaran satu sudut pandang saja. Interaksi antara clay dengan clay beserta lanskap serta penyuasanaan melalui efek cahaya, justru mempersempit penglihatan saya. Realitas bahwa diorama merupakan miniatur tiga dimensi yang semestinya bisa saya lihat dari sisi manapun memenjarakan persepsi saya seutuhnya. Teruntuk itu, kini saya menggugat visual yang ditawarkan diorama untuk saya lihat. Deklarasi ini bukan mainmain, maka dari itu dengan kamera, saya tidak akan pernah melewatkan sejengkal pun amatan-amatan melalui kamera saya. Rasanya gugatan saya ini bukan gugatan yang kesepian, karena bukan saya saja yang mengugat, tapi banyak pengunjung lainnya yang mengugat dan mengkonfrontasi langsung di hadapan saya. Misalnya, seorang bapak sedang menjelaskan kepada kedua anaknya tentang sejarah dari masing-masing diorama. Untuk memperjelas serta mempertegas apa yang dimaksudkan oleh si bapak, ia menunjuk obyek-obyek itu bukan dengan telunjuknya melainkan dengan payung yang ia bawa. Dengan payung besarnya yang berwarna kuning, ia menunjuk ke beberapa titik yang ia maksud sebagai bentuk perlawanan atas hadirnya kaca yang membatasinya untuk melihat lebih jauh ke dalam. Dengan payungnya, ia mencoba menembus

44

batasan-batasan itu disertai dengan ketokan kaca yang mengusik saya.

Manusia adalah pencipta. Saya rasa itu kalimat yang tepat, jika merujuk dengan mudahnya kita memproduksi gambar maupun mereproduksi gambar, pun secara digital. Diorama di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, yang berjumlah 51 buah tersebut bisa kita produksi kembali ke dalam bentuk gambar digital dan dapat dilakukan dalam hitungan tidak lebih dari satu jam. Hadirnya teknik selfie baik dipegang langsung dengan tangan maupun dengan tongsis (tongkat narsis), akan memberikan pengalaman berbeda daripada meminta orang lain untuk memfoto diri kita di depan karya diorama. Secara sadar, orang yang menekan tombol foto dan memegang tongsis tersebut memasukan diri mereka nantinya dalam bingkaian berlatar diorama, dan secara sadar pula melakukan seleksi sudut pandang pada bidikan yang diinginkan. Lain lagi perilaku pemegang kamera video, beberapa pengunjung di waktu yang berbeda beraksi menjadi tour guide di depan kamera dan membelakangi diorama memaparkan penjelasanpenjelasan deskriptif yang singkat secara lisan. Maka aksi-aksi tersebut, bahkan yang tidak menghadirkan diri mereka secara langsung bersama diorama dan hanya berfokus pada pendokumentasian foto maupun video yang ‘ditodongkan’ kepada kaca diorama, justru memberikan kesempatan bagi mereka untuk menuntut pembebasan dari visual yang selama ini ditawarkan. Lukisan Sudjojono dan Lanskap Indonesia Istilah mooi Indie pernah dipakai untuk memberi judul reproduksi sebelas lukisan pemandangan cat air Du Chattell yang diterbitkan dalam bentuk portofolio


D I O R A M A #1 di Amsterdam tahun 1930. Namun demikian, istilah itu menjadi popular di Hindia Belanda semenjak S. Sudjojono memakainya untuk mengejek pelukispelukis pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939. Dia mengatakan bahwa lukisan-lukisan pemandangan yang serba bagus, serba enak, romantis bagai di surga, tenang dan damai, tidak lain hanya mengandung satu arti: mooi Indie (Hindia Belanda yang indah). Materi-materi lukisan mooi Indie cukup mudah dikenali, yaitu lanskap pegunungan, sawah, pohon, bunga- bunga, telaga, atau yang lainnya. Selain itu, mooi Indie juga menghadirkan kecantikan dan keeksotisan perempuan-perempuan pribumi dan juga laki-laki pribumi, yang dihadirkan sebagai orangorang desa.1

Lukisan mooi Indie menjadi perwujudan konsepsi Indonesia atau Hindia Belanda saat itu oleh pelukispelukis Barat dengan memakai keeksotisan lanskap alam yang indah dan orang-orang pribumi sebagai latar obyek dekoratif lukisan. Melalui karya-karya lukisannya, Sudjojono melakukan aksi tandingan dengan menampilkan obyek lukisan orang-orang pribumi di depan latar alam Indonesia. Dengan menonjolkan presensi diri orang-orang pribumi dan alam tropis sebagai latarnya, Sudjojono telah melakukan aksi kritis dalam mengkonsepsikan apa itu Indonesia dan memberikan terjemahan baru terhadap siapa orang Indonesia, dan keduanya tidak lain sebagai bentuk perlawanan. Kini, kita berhak berkontemplasi siapa kita sebagai warga Indonesia dan apa itu Indonesia hari ini. Dengan segala penemuan serta inovasi, hari ini kita bisa dengan mudah mempresepsikan diri kita dan mendeskripsikannya melalui teks maupun visual dengan bebas. Segala belenggu semacam pembatasan perspektif tidak lagi relevan saat ini. Kita secara merdeka berhak untuk hadir dan turut menuliskan sejarah kita sendiri. Autobiografi dapat kita ciptakan dengan teknologi yang hadir saat ini, misalnya Wikipedia yang berlandaskan proyek kolaboratif, blog pribadi, Vlog (Video Blog) di Youtube, Instagram, dan Facebook yang bahkan selalu menawarkan kita 1. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1931/ Mooi-Indie-Aliran diakses pada Kamis, 10 November 2016 pukul 03.25

untuk berbagi status maupun foto-foto kita terdahulu yang pernah kita unggah. Demikian pula dengan hadirnya tongsis (tongkat narsis), alat ini merupakan bentuk inovasi sederhana yang memudahkan kita untuk memfoto diri kita (selfie) oleh kita sendiri sebagai subyek yang aktif. Industri ponsel kini sedang bersaing menciptakan berbagai inovasi yang memudahkan kita untuk melakukan teknik selfie tersebut dengan menghadirkan kamera depan dan belakang. Jika dulu kita berada di belakang kamera (posisi memfoto), kini kamera justru berada di depan kita dengan menghadirkan diri kita.

Berbeda dengan beberapa karya Sudjojono yang melakukan perlawanan melalui presensi diri orangorang pribumi sebagai obyek lukisan, aksi selfie menjadikan diri kita sebagai obyek sekaligus subyek foto yang aktif. Hadirnya diorama-diorama di Monas, bukan lagi dihadirkan sebagai karya yang hanya bisa dilihat, tapi juga menjadi sekedar pengalaman obyek latar dalam aksi autobiografi. Kenampilan diri dari naluri narsistik manusia yang berlatarkan diorama secara sadar dihadirkan oleh si pembuat dengan cara selfie untuk memberikan ‘tanda diri’ sekaligus pengalaman ‘tubuh dan lokasi’ dari karya yang sudah dibuat. Dengan tindakan itu, kartukartu inventaris yang menandakan kepemilikan pengelola (pemerintah) justru kurang relevan lagi, karena dengan kamera, diorama sudah ‘ditandai’ oleh kesadaran para pengunjung. Sorotan- sorotan kamera bisa dengan mudah mendedah tiap diorama. Aksi ini bukan hanya sekedar eksploitasi, tapi juga bentuk perlawanan dan bentuk gugatan atas hadirnya sifat diorama yang seharusnya tiga dimensi —namun terasa hanya hadir dalam dua dimensi saja— dengan seleksi perspektif yang sebelumnya telah ditentukan. Kita hanya mendapatkan satu sudut pandang saja yang artinya hanya ada satu pilihan di mana kaca meminta kita melihat apa yang ia tampilkan melalui sudut-sudut yang terbatas. Hal ini mengingatkan saya pada moda televisi, interaksi hanya berjalan satu arah antara stasiun televisi dengan penonton sehingga penonton tidak memiliki kuasa untuk memilih dan menentukan apa yang mereka lihat. Belum lagi kepentingan komersial, politik dan lain sebagainya

45


yang diejawantahkan dalam program-programnya. Keduanya, baik televisi maupun diorama, tidak saja membatasi diri kita dengan kaca, tetapi juga secara politis memonopoli visual kita dengan menempatkan diri kita sebagai penonton yang pasif. Kita tidak otonom dalam memahami narasi ataupun sejarah, walaupun disuguhi dengan berbagai kanal televisi maupun berbagai pilihan diorama lainnya.

Dimensi Bolak Balik Watchdog atau anjing penjaga dapat didefinisikan sebagai anjing yang menjaga properti dan dapat diartikan pula sebagai seseorang atau kelompok yang bertindak sebagai pelindung atau penjaga terhadap ketidakefisienan, praktik ilegal, dan lain sebagainya.2 Namun, istilah ini juga dipakai oleh media dalam menjalankan fungsinya dengan turut mengawasi serta mengidentifikasi masalah sosial saat ini3 dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah, aktivitas illegal, imoralitas, isu proteksi konsumen, dan degradasi lingkungan layaknya anjing penjaga yang memperingatkan orang lain ketika ada masalah yang terdeteksi. Kini, televisi melalui tawaran program-programnya telah menghadirkan daya kritis warga terhadap televisi itu sendiri. Walaupun sebenarnya bermunculan programprogram televisi yang mengatasnamakan citizen journalism, namun pada akhirnya, karya-karya warga baik teks maupun audio visual juga mengalami proses seleksi secara redaksional. Padahal citizen journalism berpotensi memunculkan daya kritis warga dan menawarkan cara pandang berbeda (dari media arus utama), sekaligus warga diberi peran dalam menjalankan fungsi watchdog yang langsung berelasi dengan lingkungan sekitarnya. Realitas televisi sekarang, nyatanya, sudah tidak lagi memiliki keberpihakan pada warga dengan adanya faktor kapital dan kontestasi politik di dalamnya, maka dari itu, jika tidak senang silahkan mengganti channel atau matikan televisi. Berbeda dengan internet, internet justru memunculkan sifat interaktif yang memungkinkan semua pihak saling berhubungan dan berinteraksi setiap saat (Hadi, 2005:25). Bahkan, warga diberikan kebebasan dalam mengelola berita 2. http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/ watchdog diakses pada Kamis, 10 November 2016 pukul 03.00 3. http://www.ee.columbia.edu/~shane/words/watchdog. htm diakses pada Kamis, 10 November 2016 pukul 03.12

46

baik sebagai produsen berita maupun konsumen berita dalam media sosial. Media sosial telah menjadi ruang interaksi dalam realitas virtual. Realitas virtual memungkinkan apa yang dikatakan Paul Virilio dalam The Aesthetics of Disappearance, yaitu â€œâ€Śmenjadikan sesuatu yang supernatural, imajiner, bahkan yang tidak masuk akal menjadi tampak sebagai realitasâ€? (dalam Hadi, 2005: 19). Sama halnya dengan diorama, pada konteks hari ini, medium diorama sebagai kanal negara dalam menuturkan sejarah tidak lagi menjadi obyek tunggal untuk kita pahami sebagai suatu sejarah yang presisi dari realitasnya. Hari ini, kita pun dapat memahami medium diorama secara cair baik sebagai bagian dari realitas sejarah yang terjadi maupun sejarah yang perlu kita kritisi melalui keterbatasan perspektif dari diorama yang bisa kita lihat. Melalui keterbatasan tersebut dalam proyek kali ini, keterbatasan itu justru memberikan kami kesempatan dalam membuat narasi yang baru dengan cara melakukan pembesaran. Dengan kamera dan lensa tele, saya bermain-main melalui sudut sorotan saya. Miniatur-miniatur yang sebenarnya letaknya cukup berjauhan saya ubah sudut sorotannya dengan kamera agar terlihat dekat dan interaktif. Tidak sedikit amatan yang biasanya luput dari mata kita ditemukan melalui mata kamera, walaupun usaha yang diperlukan cukup besar seperti dengan melintasi batas besi dan memiringkan kepala saya untuk mendapatkan sudut yang saya inginkan. Ada satu adegan yang saya rasa menarik untuk dibahas secara visual, yaitu hadirnya tiga pasang kaki yang tergeletak di sudut ruang rapat besar kenegaraan dalam salah satu diorama. Terlepas dari unsur kejahilan atau kelalaian, konsekuensi artistik pada tata letak merupakan suatu narasi yang perlu kita baca dalam satu kesatuan karya diorama. Saya tergelitik untuk membingkai tiga pasang kaki yang tergeletak di pojokan itu dengan fotografi. Alihalih hanya menjadi perdebatan dalam ingatan saya saja, bingkaian tersebut mungkin kelak mampu melahirkan narasi kecil sebagai bagian dari sejarah. Kamera memberikan saya kebebasan dan peluang berperilaku otonom dalam menentukan visual yang saya inginkan. Saya pikir ini bukan saja saya


D I O R A M A #1 berhasil menelanjangi diorama-diorama itu, tapi itu juga berhasil mengidentifikasi gestur-gestur yang biasa kita lakoni. Dengan kamera, kita justru memiliki banyak akses untuk memandang jauh serta melihat diorama secara detail bahkan pada sudut-sudut diorama yang luput dari amatan mata sekalipun. Secara sadar, saya pun diberikan banyak akses dalam mengeksplorasi serta dapat dengan mudah membingkai gambar melalui narasi yang saya inginkan. Kehadiran teknologi teropong seperti kamera, memberikan tawaran pemikiran baru bagi kita untuk dapat terlibat mengawasi diorama itu sendiri. Walaupun tawaran hanya dipaksakan secara dua dimensi dan satu sudut pandang saja, kehadiran teknologi justru saya gunakan sebagai alat terampil untuk melawan keterbatasan. Selain itu, kamera pun dapat menjadi bagian dari diri kita untuk mengakses lebih jauh secara visual dan melihat narasi-narasi yang tidak terjangkau oleh mata. Dalam melihat potensi kamera sebagai peluang kuasa, kita pun sebenarnya berada dalam bayangbayang pengawasan itu sendiri. Bagaimana tidak, ketika kita sedang asik ‘menelanjangi’ diorama, kehadiran kita justru sebagai obyek pengawasan melalui kamera CCTV yang ditaruh di setiap sudut Monas dan dikontrol dari ruangan pengawas. Gerak gerik dan perilaku kita diawasi (dan dibatasi), tanpa ada privasi dan transparansi. Kamera CCTV tidak hanya menjadi alat untuk mengawasi kita, tetapi juga sebagai referensi dalam menentukan kebijakan yang diterapkan pada para pengunjung Monumen Nasional. Bisa jadi memberikan ‘batas’ baru kelak, seperti penambahan penjaga maupun kebijakan pemakaian kamera.

Melalui website dan aplikasi Google Street View, pengalaman tiga dimensi dapat kita nikmati dan dapat kita ciptakan sendiri. Tidak memerlukan alatalat canggih yang dimiliki oleh Google, namun ponsel Android atau kamera DSLR cukup untuk membuat foto street view melalui bidikan-bidikan foto sekeliling kita. Hasil bidikan foto-foto tersebut digabung menggunakan fitur connect the dots yang tersedia di laman resmi Google. Foto-foto yang telah disatukan ke dalam blog atau situs akan menghasilkan foto panorama 360 derajat, dan akan ditampilkan pada Google Maps sehingga semua orang bisa melihatnya melalui google.com/maps/views. Kita bisa mengakses lokasi yang sudah ditemukan atau belum. Sebaliknya, kita bisa juga diakses oleh entah siapa.

Pengalaman melihat secara tiga dimensi yang sebenarnya ditawarkan diorama (namun juga tidak), dapat kita ciptakan sendiri sekaligus kita pun bisa dengan mudah mengunggah dan berbagi kepada satu sama lain melalui kesadaran mengawasi secara visual dengan kritis. Apalagi, warga diberi kesempatan mendapatkan akses visual yang selama ini kita tuntut pada diorama. Catatan Kaki: Hadi, Astar. (2005). Matinya Cyber Space: Kritik humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya. Yogyakarta.

Perihal saling awas-mengawasi, juga perihal kebebasan tanpa batas yang dijanjikan internet, merupakan perihal baru yang memiliki hubungan bolak-balik yang sama, dalam dimensi yang lebih tak terbatas lagi. Internet sebenarnya memberikan kita kesempatan untuk memecahkan kebuntuankebuntuan tersebut sekaligus kemungkinan untuk terjebak dalam rumah kaca yang penuh pengawasan, yang bahkan sulit dideteksi oleh siapa.

47


48


D I O R A M A #1

49


50


D I O R A M A #1

51


52


D I O R A M A #1

53


A Perfect Fiction of the Third Person Omniscient Otty Widasari Third Person Omniscient She/he is the third person who know them all, that delivered the thoughts of characters in every story. The truth of the story that she/he told is the faith that match with their views in the problems of live and life. That truth doesn’t need to be align with the actual truth that applied in the real world. Something that may or may not happened in the real world are the truth in their words. She/he is arranging proses, not poems. Because proses are the candidness that could portray facts and ideas. Because proses could understood by reasons and consist of truth that could dramatize the relations between human. Because proses have variation of rhythms that are much diverse than the poem, and having a language that are more convenient with the meaning of the words itself.

In the story that she/he told, there is drama. Represented by the dimensional movement that portray the reality of real life. There are whimsies and doings of human beings through the characters. There are dialogues, of course, that she/he picked up from the past events since a long time ago, that culturally already designed in the head of the readers. What she/he needs is only the quality of conveyance, quality of circumstances, and the scenic quality, that have to strongly and cleverly present as something holistic and profound. So the readers, do not have be convinced, just need to be fascinated. Because readers always admire the secret codes that are breathe into the story. Then, who are this “she/he’”?

54

It could be anyone. She/he could be literateurs, media moguls, academics, ordinary citizens, even states. All of them could be a skillful author, with the preconditions of already gained a huge social trust. She/he could gradually do it, for instance, referring on her/his past experiences and then stressing on the obligation to always remember history, to aim for a social-democratic narration. Or, could also do it with radical way, such as do severe changes and then told the nobility of figures that meritoriously construct the building of capitalism with the military arms that pointed to the readers. He/she could converse through many approaches: politics, cultures, economies, even mythologies. Fictions In every piece of fiction literature, there is point of view. That’s one of the intrinsic matters of the piece itself. Point of view is the way for author to present the characters, the doings, the settings, and various circumstances that shaped the story into a fiction peace to the readers. The story usually narrated from the point of view of first person, or third person.

If the story is being told by a character inside the story, then the story is being told by ‘I’. If the character is the main character, then the point of view is entitled to the first person protagonist. But if not as the main character, then the point of view in entitled to the first person observer. Then if the story is told by the character outside the story, but by narrator that’s located outside the story,


D I O R A M A #1 the character then called ‘she/he’. If the narrator has no impact, only as an uninvolved onlooker just like a reader, then the point of view is owned by the third person dramatic narrator. If the narrator is expressing the thoughts of the character, then the point of view is entitled to the third person omniscient, the all-knowing narrator.

This Third Person Omniscient! This is a specific role outside the story that she/he made. It’s a remarkable role. How it is not, that she/he could alter everything into a whole new reality, and even it is fictitious, that the readers don’t need to believe –only need to feel fascinated– but she/he is able to construct an ideological monument inside readers’ heads. This “She/He” is so remarkable, because she/he is not the first person, nor the second person. This She/He is the invisible third person. A humble role because she/he dismisses her/his presence inside the story. As humble as an indigenous people that utterly bowed before the landlord. A tradition that inherited until now, who called her/him own ‘name’ (as the third person) while dismissing the ‘self’. Through this invisible role, she/he awaken the dead bodies from the past, brought them back to life with a whole new heroic roles as brilliant characters. Characters that saved many of people fates after garnered fought and resistance towards injustice.

A Reincarnate of the First Person Monument already constructed inside the head of readers through an articulate process. The ‘She/ He’ already glorified her/his ideology. Politically, the communal perception inside their heads already altered into icon. And then, ‘she/he’ comes into existence inside the story, as a vivid figures. In certain state of consciousness, finally ‘She/He’ reincarnates into ‘I’. The storyteller, undoubtedly then have to appear herself/himself. It is however her/his story. Her/ his role is no longer invisible. Her/his story is already spirited. Having chapters, scenes, dialogues, prologues until epilogues. There are characters with clear and complete characterizations: main and complementary. The protagonist requires

the presence of the antagonist. Then arises the dramatization. Plots arranged in adequate amount: there are affairs, conflicts, and all lead to its climax. The principle of plot actually have a believable causality matter based on the logic of the story. Mind that there’s also cohesiveness of suspense and surprise. She/he involves historians to construct a time-frame, setting and social-background. This is reality. And this is her/his’story’, because she/he came from the place from the past as the subject. This is a biography, or an autobiography to be exact.

Autobiography inside Diorama Diorama is a history that established by the state. The author is the authorities. New authorities, new narrations. And society learns about it as a national history. The truth is established, legalized in the name of state. Those who intend to object, have to face the legal law of state. Like an exact sciences, history becoming something closeted from the possibility of any further interpretations. But the fact is, history is always changing based on who control the discourse. In certain period, the variables are only subject (scapegoat) and the hero. Time changed, then arise another variable which is the testify of victims, and later appear the variable of reconciliation in which the victims are not only come from one realm. The counter-discourse then rolling, and the act of historical activism gain a strong objective evidences through an academic and historian discourse that opposed each other. Another scattered evidences from past are collected, and then they fight over discourse. The one that has the authority to speak is only the state, academic, military, victims…. and the society are silenced in the distance, not involved. Then, where is the room for alternative history, when all of the stories already established in certain way? What happened with the people that as tiny as ants in the middle of worshippers of Tuanku Imam Bonjol who stood up in the certain heights, wore a white cloak, poured by lights pouring from the diorama lamps that dramatically located in the National Museum? In which chapter of historical school book that could include the people that were sitting cross-legged, whispering and gossiping while Patih Gajah Maja held up his keris, loudly made an oath of Sumpah

55


Palapa? The workers of Borobudur Temple that were blessed by the noble monks? The marching people that stood still in the right and left side of Kyai Haji Ahmad Dahlan? Where were they in the historical notes that we see today?

It seems like they silently creep through the technology of hardware components. Wordlessly jumping inside the groove of software that brought them up to the clouds and nonchalantly sliding into the page of netizen autobiography using their selfiestick, put themselves as the background of today’s history. Then, is it possible that those unnamed characters were joyfully incorporate with millennium generation today, celebrating the intercourse of media social simulation?

Then, Hey, The Artist that created diorama! Why there were the plate and glass that put upon a chair (instead of table) in the corner Integrated Assembly of East Timor with Indonesia at May 31th 1976 in Dili? Was the bizarre chair needed to be shown to the spectators that inclined to read the history? Next, who were the owner of three pair of foot that lying, neglected in the corner of the assembly hall of agreement to hold a Round Table Conference that eventually will recognize the sovereignty of Indonesia? Were those foot had no biographically story? Who Believe in Google? There’s no history textbook that could answer all of those questions above. Meanwhile the generation of internet feel really distanced with history, saw that all visual that portrayed in front the eyes have its own narrative consequences, even if it comes from an enlargement that they did using technology. And the wild objects are also legitimately part of state media that portrayed in a formal state monument and legitimate as a history. And if they couldn’t find the answers in the textbook, the other answer is by googling!

Who believe in the Google’s work of archiving? Billions of people in the world! Google is one of the example because there’s also a lot of servers that provide a service to access archive. But, if this archives are used as a reference in the academic world, it’s indeed will

56

be mocked. It’s not valid to be use as reference. Then, who believe in Google’s archives? I do! I am the author of this writings. I used most of sources here, from data repository (server) in the “clouds”. Those findings that I discovered are not fought over a historical discourse. This is a total fiction. Fiction of the Third Person Omniscient, that then become the first person. Me. My version of fiction is not debating about truth. Not demanding proofs and evidences then highly take pride in academic objectives. Call me lazy, call me not a hard-worker, and even call me unintellectual. Do not believe in my references. I humbly tell a non-historical fiction, object it. Because it’s all only a fiction.

Because History is Fiction Without depicting the hard and creative work of Edhi Sunarso, the artist that made dozens of diorama in Indonesia, including Monas diorama, for me diorama is a fiction. Say, it’s a historical fiction. Diorama in Monas were created by two Presidents of Indonesia, Sukarno and Suharto. These two presidents led in a long period of time, with the accumulations of long enough time to make up a fiction narrative which then became an established myths in the head of Indonesian people. The artist that became the second hand of authorities to established history through this three-dimensional medium then fused into the construction of fantastical history discourse.

History is what written. There were some made appear, or made disappear. To support my very statement, I’d like to quote myself talking about similar matter in terms of historical archives that’s also being talked about here: “….events that had happened in the past only belonged to the time. Time has changed, then the events has gone. People who lamented the passing of time, or, supposedly aware of documentation, who documented events, froze them in a medium. […] we are certainly aware that the documentation needs definitely based on several things that later become the basis of a construction documents. Construction documents certainly have an interest that we can read as a polemic of power.” 1 Then history is construction of archives, just like fictions that never escape from the reality around it.


D I O R A M A #1 Meanwhile for the new generations, history is something that’s not grasped. History is images that give impression. And people have their own opportunity to interpret, narrate and create their own version of history, because the autobiography of great people already losing to the autobiography of million generation that displayed in their own social media first pages. That’s beautify, to be unique, and very interactive along with the time. Autobiography now is not like their own daily reality, because history is fiction.

instead, changed it into a fictional reality through an exhibition. Lenteng Agung, November 12th 2016

Endnotes 1. Widasari, Otty, (2013). ARKIPEL Experimental and Documentary Film Festival Catalogue: Challenging the History Construction. Jakarta: Forum Lenteng

The Mystery of Three Pairs of Foot This time it’s not I (author), but I (fiction). What I remembered, my two friends and I that I didn’t remember the names were present in a big meeting. And I also remembered, it was a meeting talking about the declaration of sovereignty of Indonesia, and all of them were agreed to have a conference surrounding a round table. My two friends and I were also present, and as I remembered, we had roles in this historical story. I indeed wanted to be part of the history. But really, I could not remember why my friends and I were made disappeared from the history. Previously, we were even forcefully removed from that big assembly hall. Today this group of young people found our three pairs of foot in the corner of the museum. They were gasped. Then they tried to figure out our identities. They really had a hard time to find any evidences after 67 years being forgotten.

They were not in the filling cabinet of State’s archives. Probably the state was hiding our presence. Then they ran themselves to the house of counter-historical discourse activist. But they couldn’t help with the archives which were stuffed inside a pile of boxes as high as the ceiling and were hard to access because they were just finished moving in to the new office. The group of young people were gossiping, regretting, why those people were archiving the documents inside boxes instead of up in the clouds, so then my friends and I could join with another unnamed characters that celebrate the contemporaneity, that didn’t twist or hardly fight a system of value that in control through earlier document that used,

57


Vending Machine and Diorama: The Battle Between the New and the Old Product Yonri Revolt

“Where have you been these days? Been very busy, I supposed. I didn’t receive any text from you these past few morning,” asked my girlfriend through an instant messaging, WhatsApp, that I just received this afternoon.

machine, don’t ever bother going to Monas, you can find it anywhere else” She replied to me.

“Well, so what have you found throughout this research?” Her questions annoyed me a bit, but I guess she was just felt cranky as she asked the question. “You don’t typically ask anything if it’s related to this kind of thing. You wouldn’t care less.” I answered.

My answers indeed were kind of odd, because the result of my research was about my findings on vending machine. It may sound like a joke, or something that I made up. But it is true, that what I found from my research on diorama at Monas is related to vending machine or automatize machines that sell beverages. It is about, that the function of vending machine in the National Museum of Monas is not exclusively limited only as a machine that automatically sells its product without the existence of any operator, but also on the interventions that the vending machine could do towards the presentation of the diorama inside the museum.

“Vending machines? If you’re looking for vending

Funny thing happened as I was looking around the diorama. It was as if the vending machine was calling

“I’ve been doing this research on diorama at Monas (National Monument), Be, sorry!” I answered to her as I was holding on to the railing in the moving train. ‘Be’ is my nickname that I gave her.

“Yeah, because you did not even bother to contact me. That usually means, you found something really interesting, perhaps more interesting than me. I don’t know, probably, another woman…!” I know that that she’s not the typical girlfriend who did not believe in what I am doing, especially the fact that at the end of the sentence she put an emoticon that sticks out tongue. Then I knew that she started to be playful. So I replied, “Hehehehe! Yeah, I found vending machines there.” I answered seriously.

58

Every time I visited the Museum of Monas, as I entered the museum, I have always felt thirsty. Strolling through the long hallway to enter Monas, especially in the afternoon when the temperature was very hot, and I was pretty sure I wasn’t the one that feel thirsty. Then, I looked at vending machine that was always crowded by people that wanting to get their beverages. So, I decided to just go around looking at the diorama.


D I O R A M A #1 me to approach it. Not because of my dry throat, but because of its appealing look that was reflected through the glass of the diorama. It was so bright, colorful, as if it was waving calling the-thirsty-me. And yet again, I had to compete with others who was also reaching out to the beverages. I thought, maybe it was because the museum was crowded with people, if it was not, then the vending machine would standing alone there.

The initial of my research was to see the potential of other narrative aside from the big theme that was served. For instance, the diorama that portrayed the Palapa Vow, it was not regarding the Palapa Vow that I see, but also about the body posture of Gajah Mada as he lifted up keris, or the facial expressions of the people that sat behind him, and the same went for every diorama with different themes. However, due to the constant reflection of vending machine in the glass of diorama as I was looking at it, I began to notice the connection between the diorama and the vending machine. By putting the vending machine inside the museum of Monas, then automatically the management also put another object to be observed other than the diorama. These two objects (diorama and vending machine) then are fighting over the spot as the object of observation by the visitors. It is a funny thing to say that the vending machine was put as an object of observation just like diorama, however if we went back by seeing the reflection of its form on the glass of the diorama, it was as if the vending machine wanted to retain its place as an observable object. In which to that case, the glass of the diorama became the medium. Then, I took out my camera and started experimenting with the reflections of vending machine on the glass of the diorama. Because the reflection was not limited in only in one diorama, I began to walk around the museum to get the desired picture. The reflection of vending machine on the Sriwijaya trade diorama, the construction of Borobudur, between the temples near to the people who were praying, on the diorama of the Palapa Vow, diorama of the voyage of Bugis people, diorama of trade transactions during the era of Majapahit Empire, on the diorama of War of Makassar, diorama of the proclamation recitation

of Indonesia’s independence, diorama of romusha torture, and lastly, on the diorama of War of Surabaya. I began to construct my own separated story as a result of the pictures that I took by occupying the reflections of the vending machine. A creative yet funny work, I was thinking to myself, when I put the vending machine inside the frame and began to form a whole complete new narration. During this process, the camera became a tool in capturing the moment and thus preserving them. Just as on the diorama where individuals were trading in the port of Sriwijaya Empire, I positioned my camera at an angle by considering the range of shoot and the angle of the desired shoot, making the vending machine right where I wanted it to be. As I took the shot, the result was telling a story about the merchant was selling the vending machine.

“Turns out, back in those days vending machine already existed, huh?” I entertained myself as I’m checking out the results through the LCD screen in the camera. And, so the same treatments applied to every other diorama that had the potentials of reflecting the vending machine. The result of the creative work does possess risks on its presentation. Argumentation responding to the matter will arise, both positive and negative. The positive responds may be in how the vending machine was positioned at a ‘common composition’ inside the frame. Such as, between the individuals who were sitting down, beside the people who were standing, or at an area of terrace on a diorama of Majapahit trade. While the negative responds may arise if the vending machine becomes a dominant object or positioned at an incorrect composition. For example, where the vending machine came in bigger size if compared with the object or subject inside the diorama, or when the diorama was placed on the top of Borobudur Temple, or where on the throne of King of Majapahit, as the vending machine replaces the position of the king. However, for me, the positive and negative responds on the picture has no importance at all. Because from the very start, it was so obvious that the vending machine wanted to dominate the presentation of the diorama story. Even if the images that I took were distributed routinely

59


without a full awareness of the diorama story, then it would became no other than an advertisement of the vending machine. Isn’t that the vending machine had already become the part of the diorama’s story?

In one side, beyond its domination as a “presentation object” to the visitors, vending machine also impacting the regulation of the museum. As if the vending machine became a VVIP subject that could interfere the condition of the museum. For instance, inside the museum, right in front of the stair that leads up the tower, there was a restriction with bright lights stating “’No Eating/Drinking and Sleeping inside the museum’. The warning assertively stated that we are not allowed to eat, drink, nor sleep inside the museum. But the presence of the vending machine is violating the regulation itself. A person could eat, drink, or sleep inside the museum. When a person buy a drink from the vending machine, the restriction for drinking is violated, and when the restriction of drinking was violated, then automatically another restriction regarding sleeping and eating is not significant anymore. “If that person is allowed to drink, why can’t I eat or sleep in here, it’s the same thing anyway,” So I thought in my observation of the restriction signs and the events that took place around it that relates with the vending machine. Thus, the restriction signs should have stated this: ‘No eating, drinking, nor sleep is allowed, however if you’re thirsty, feel free to buy the drink inside the vending machine.’ However, I thought that it is a paradox. On the other side, the presence of vending machine becomes a representation of capitalism and industrialism on the diorama. How it’s not, the regulation of the museum which were made by the management of the museum could be easily violated by buying beverages through the vending machine that existed inside the museum. As long as the visitors buy beverages at the vending machine, the visitors can do what they want, to drink inside the museum and more dramatically, is that the diorama eventually is only an object that is installed so that the vending machine could making money by selling the beverages.

60

However, the story of the battle between diorama and vending machine that I made, actually as an argumentation due to the lack of my knowledge about historical truth. By observing diorama, I can comprehend the history of Indonesia, even though it is rather difficult to find such truth here. There is an ongoing battle between archive, an old historical subject, or a young history researcher. Everyone has their own testimony as they fight for the truth and at the end, the one that dominates then transforming into a new media product. In the end, it is no longer important for me to comprehend history by simply seeking for its truth. It is what then brought me to play around with history. Diorama is a history of the past that was constructed by an artist as he was receiving order from the State as a representation of its era. As I represent the historical story with the version of the diorama artists, it is undeniably true that we cannot separate ourselves from the past. Thus, I then proceed to create my own version of history so that I could tell it to the next generation. Regarding the vending machine that was dominating the diorama or because it was intervening diorama’s regulation that became my critics from the observation I did on the Monas museum. But obviously, the vending machine won’t interfere the fight in my love story as my worried girlfriend thought. They won’t fight over anything to become the subject that dominates this heart.


D I O R A M A #1

61


Experiencing History: Bodily or Distance Ryani Sisca Pertiwi

Talking about history for youth nowadays who live in the reformation of information era is not an easy thing because the familiarity towards the history itself is hard to acknowledge. The history itself, whether it’s right or wrong, or which version that we read, seen as too complicated and too old to be talked about. Meanwhile, there are a lot of different topics and themes that are more relevant and close to them to be occupied in which they can freely talk about it. The young people are actually in need to involve themselves as an subject in things that they’re talking about, to at least feel intimate and familiar so they have interest to pay attention towards something. In the tradition of marketing, for example, to invite young people to attend or involve in an activity, the activity with any theme should be able to show the potential that’s relevant with them. Meanwhile the provider of the historical-related theme –let’s say museum– is actually unable to do so. Then, the question is, are these conditions make youth unwilling to be involved in any of historical activity, whether to read or experience it? National Museum in National Monument (Monas) is a part of Diorama’s constellation that owned by Indonesia. It provides a visual and text presentations that located in the strategic and historical site. The initial idea of this monument which covered by pure gold, came from one of the founder of this nation in which we live today. Then, it was continued by the next president that led in the longest period that Indonesia ever had. This heritage become so interesting to visited because it was built in the era when the state had centralistic role to establish what needs to be perceived as truth. And the way that

62

the state chose to present the truth into something physical and everlasting is through diorama.

Diorama in Monas’s National Museum divided into six sides that arranged chronologically. Started from the ancient age, colonialism era, the preparation and the proclamation of independence of Indonesia, also the attempts in post-independence days to establish the way of life of Indonesia as a nation, ended up in the year of 1995 with diorama of official ceremonial of BJ Habibie’s Airplane which named Gatot Kaca. Other than Monas’s diorama, probably Lubang Buaya’s version of 1:1 Diorama should also take into account in terms of understanding the State’s effort to established sites as a history artefact. I think, both of them were trying to represent the historical truth that the state wanted. I’ve visited these two dioramas before, Lubang Buaya’s Diorama at Educational trip when I was in Elementary School, around 2006, and Monas diorama when I did this project with Akumassa-Diorama team this year (2016.) The distance of time between these two experiences had different impression. When I visited Lubang Buaya’s Diorama with my Elementary School friends, I felt terrified and confused. Before I even began to feel familiar with the subject that was involved in this State’s Discourse, the idea of how there were people who had no fear to slaughter the Highest Direction of General to pursue their personal goal already planted in my head. Furthermore, how these group of people terribly tortured them, involving brutal act and inhumane followed by stuffing seven bodies in one small hole in, there’s still the blood stains lingered around the hole which up to this day still existed in


D I O R A M A #1 this diorama, whether it’s real or artificial. There’s not much that I could remember, but the impression which build up my imagination as kid, until when I watched the film of Treachery G30S/PKI then in 2008, back then in my Middle School, I cried for almost an hour, even after the filmed already ended. Without really knowing and understanding what actually happened, my mind was filled up by a horrifying impression of how this state was threatened by a group of people with specific interest whose not afraid to did a massive slaughter to state’s key figures. I didn’t even doubting the authenticity of this film, and the word fiction was far from my mind at the time I watched the film. I experienced the history as a distanced experience, only through diorama’s building and audiovisual narrations through film.

Ten years later for the very first time I stepped my foot on the tunnel of Monas which leads to National Musem, while previously I only visited the outside part of Monas once or twice with my High school Friends. This tunnel brings me to the portrayal of 51 diorama, each of it sized 1x2m in an indoor terrace which could filled up by almost 500 people, also with not fully functioning air conditioner and several vending machines in the corners of the room. Here, there are diorama limited by a clear-looking glass portraying a made up action and historical event of Indonesia. The experience of visiting Monas’s diorama which not only happened once or twice, often happened with a sight of school visits with dozens of students mostly in Elementary School with the their teacher as the guard whom narrating the text-book version of history using diorama as props. I myself also tried to read every text written as the explanation in the down part of diorama used as the bridge to understand the visual that presented. The impression which build up with the accumulation of my attempt to see and understand diorama, are impediment – a 20 years old kid living and going to school in the suburbs of Jakarta, with a very limited baggage of knowledge coming down from the residue of learning history back in school. There is a lot of subjects that I don’t recognize, a lot places that I don’t know, a lot of occurrence that I don’t understand,

basically all visual or text that I see couldn’t really reach anything behind my back.

Why all of this thing happened, becomes clear when I had a discussion in one evening at Forum Lenteng’s basecamp with Bang Akbar (how to address an older man), talking about the forms of history: that history is something open, even when someone read a history, he is part of the history itself. But essentially, history has two approaches, which is objective approach, when history is always try to seek an absolute truth using document and archives as a tools and reference to establish the past experiences that happened. This function often done by the state and its apparatus to establish what’s right and what’s wrong as a reference for its people. This approach then alienates the society from the objective discourse, while in fact society is the very core element that experience the historical event themselves. The establishment of objective history produces knowledge that repeatedly reproduce until becoming a status quo in people’s mind. But throughout the time which keep on changing, society are starting to question this status quo. And to address this situation, then rise the second approach which is public history. This approach appears from the fact that history is belonged to the society that experienced bodily. It doesn’t use objective approach in history to achieved precision, but to emphasize on the impression towards collection knowledge in society in interpreting what they understand and experience, including to refer on what already happened and relate it with the present.

Back to Monas diorama, this heritage of historical artefact is still visited by youth including me. We, youth, are actually not unwilling to visit Monas. When I visited Monas, there were always youth, still wanted to be involved in historical activity, to read it and experience it. But then in what forms that these youth involving themselves in historical event, it’s another thing that we should closely talk about. My own attempts to see National Monument’s Diorama itself, using public history spirit, is then how to experience the history itself as a performative

63


bodily experience. Probably for youth nowadays, diorama is no longer relevant as a reference in talking about what’s important for them. Also not used as reference to do a flashback of Indonesia’s track record of journey as a State. Perhaps, what I assume is true, that history couldn’t be represent or displayed again as it is. No matter how sophisticated the attempt to do it, it could never beat the history which present and experienced by the spectators. The relevancy of diorama for youths is then how they could freely respond to it, with light talks relate to their life, or with camera that they own, or clearly not paying attention to it and just lay down in the floor or charging their phone. Then, are they neglecting history?

The fact is, this youths, including me, looked at diorama one by one. In terms of seeing and observing, many of them did it in groups and feel the needs to say what they are talking about and what they know when they see a potential to include themselves in it, for example by saying, “Hey look at this one, silly, it’s look like it’s your father smashing the rock!”, commenting what they see. Or, stop observing and decided to take a selfie and wefie, or asking their friends to take a picture of them, often using flash in which it reflect in the glass, making the object behind the glass didn’t appear in the photos. The fact that after the photo taken, whether the photo is going to be posted or not, nobody really knows. But I see all of it as an act of performativity, did by youth in attempts to involve themselves in historical event. History is something that needs to be present, not represent. And attempts to represent history through reenactment in any kind of way will always leave room for distance, which require a decent baggage of knowledge to be able to understand the history itself. We don’t even talk about which version of history that we are talking about. For me, history is fiction! With a lot of version based on interest. It will become nothing if it’s only neglected in the back of our head as information, without any actual way to link that up with how history then could be experience or understood through impression or through bodily experience.

64

I experienced diorama with the approach of public history with selecting what I saw. I no longer focusing on big narrations that, frankly, I was stuttering to fluently recognize the faces, locations or events that presented in diorama. The text that supposed to help did not really help to understand this diorama. But after I did it with selection, I did the experienced of diorama itself.

My friends and I are trying to see diorama through our own framing using camera as the technology, playing with zooming and choosing frame to shoot, then understanding our shots, and make it relevance whether through historical context or with our knowledge or daily experience. In the enlargement that we did, I saw the form of culture: appearance of cigarettes and tea as an authentic commodity in Indonesia that keep on transforming through time (as a treats for assembly, visiting others, relaxing, even discussing), collective nuance (working together to build up temple, having war, gathering, and talking in front of the house; and maybe the form of communication that we have is no longer in front our houses, but through social media), the typical gesture of tropical people that’s not stiff and straight, often leaning back and squatting, and also the tendency to be very expressive in certain occasion (pointing or being pointed, raising hands, tiptoeing and clenching hand, peeking because we basically always want to know things), individual awareness of being in group (sitting facing each other or making a circle, kneeling or cross-legging, lining up disorderly order, whispering with one another, and gossiping) and also the appearance of mass communication tools varied from bedug, pentungan, bells, microphone, toa and a massively huge screen that directly connect to a camera that broadcast a live report of the assembly for all the participants to look at, and presence of open spaces like pendopo, balai, terrace of houses that often becoming a place to gather. This findings come from the enlargement that I do with camera as an performative act becoming way more relevant for me to interpret in terms of seeing Indonesia’s past experience because this forms that I see are still exist and I can still experience it. The development of what I see and how this forms


D I O R A M A #1 transform through time and spaces until now, provide me a connecting bridge to make this history relevant because I can see myself in it. This findings are result from out performative acts, which trying to not take things for granted and instead looking at small things, refuse to full accepted big things that were trying to convey.

Then, the discussion that I had with my friends in Akumassa-Diorama team again I see as an act of performativity to consistently give meaning and interpret our findings with camera. With our varying background as student (Communication, Administration, Broadcasting, Criminology, Fine Arts, Music Ethnography, International Relations) making it interesting for us to collide our interdisciplinary thoughts and knowledge. Our discussion that I experienced remind me of one topic that I visually saw in diorama. There’s a lot of tea and cigarettes that were portrayed in diorama, seen as a mandatory treat in meetings. Everyone had one ashtray and one cup of tea (or at least that’s what I saw because it’s orange-brownish). The fact that the cigarettes being lit or not wasn’t really matter. This visual became a reflection for me to address what I’ve selectively saw. When I witnessed my friends that were smoking, I remembered on that in diorama that supposed to base on facts that actually happened, cigarettes already became a must-consume commodity. Cigarettes and tea are commodities that’s very plentifully available in Indonesia, and it’s not hard to find, even affordable. It made me smile then, remembering on how polemics of the plan to raise up the price of cigarettes became very problematic and talked about, formally and even in the forms of meme that appeared in media social. Aside from that, I saw how the collectivism was already existed since a very long time. There’s a lot of collective works gesture that presented, like pushing the cart, gathering in pendopo (an open-air space that used by people to gather), carrying goods together, gossiping in front of terrace with chill and laid-back way of sitting, typically did by tropical country’s people; that for me are very close with the form of discussion that we did in Forum Lenteng’s basecamp, sitting surrounding the table with one foot being put on the of the chair. One of my friend

said, “Just take look, when will you ever find a culture of nongkrong (casually gather to discuss about things, from something really trivial until very serious and deep matters for a very long time) with coffee until this dawn? If you’re not Indonesian, you’d rather go to sleep, or probably even go to party, spending a lot of money for it. You just need 5.000 rupiahs (around 0.5 dollar) tonight to have this such luxury to be able to talk about a lot of things!”. Whether the culture of gathering like this is a local wisdom of Indonesia or not, it’s no longer mattered. I enjoy this activity and flattered to able to see this reflection on diorama. It’s happened more than two times, that I caught myself smiling at Indonesian’s habit (or Jakarta on this context) that could always find a comfort position in their activities. As if to obediently standing still and sitting neatly are not the norm, exactly just what I saw in diorama.

Apart from our findings, I personally understand that essentially, state has discourses that exercise through media, and on this occasion, diorama. In this diorama, there are two narrations: big narration, and small narration. Big narration identical with centralistic approach or objective history, while small narration has pluralistic perspective and varied, aligned with public history. The bodily experienced for me in reading diorama is when I, imaginarily, could see the relevance of seeing that I saw towards what I did. I am present in that room, and I am involved in the event, and diorama become one of reference of what I saw. What I did is probably differ with what other youth did by taking photos or lightly relates themselves with commenting diorama in front of them. But as a whole, I see these phenomenon as a way of celebrating our freedom as spectators. For me, diorama in this case, is a way of visual portrayal to represent history by spectators at that time with their own interest, in which waiting for the participation of the spectators that then always present in front the visual portrayal itself to produce an impression that relevant to their time with doing performative act to experience the history itself. History is fiction and for me there is no right or wrong way to do it, other than bringing it to bodily state and experience it, instead of see it as something distanced.

65


Transparent Bridge Pingkan Persitya Polla

Visiting Monas The first time I came to Monas (National Monument) probably nine years ago, when I started living in capital city with mother and siblings. That time, my father who had to live separately with us were coming to Jakarta and engaged us to go to Monas just because he had this presumption that: “You’re not a Jakartan if you haven’t been to Monas”. At the moment I was just saying ok because I want to be officially called “A Jakartan”.

My first impression when I visited Monas was, “Dang! This is it?” which I believed that this impression could be had by most of the visitors. Besides of it took a long time to got into the Museum of Monas and the balcony of Monas, I thought that Monas didn’t serve any commodity to attract me and it made me feel that Monas was not special to be visited. Since that time, every time my father came to Jakarta, he always took his family to picnic at Monas. We all agreed to go to Monas on Saturday night because we can’t stand of the daylight. Moreover, visiting Monas at night is more fun because we could sit on the grass while eating nuts and saw Ondel-Ondel, bicycle with LED, or beautiful lights that projected to Monas. Unfortunately, that habit stopped when I started to go to college and involved in Student Organization.

More or less five years later after we stopped that habit, a friend convinced me to contribute in AKUMASSA program to do a research on the diorama of Monas. I don’t know is this a destiny or universe conspiracy, I finally met Monas again, even almost everyday. When I came back to Monas, I kind of surprised by its change. Monas is more systematic nowadays, even though we can’t deny that there’s still a shortfall in some ways.

66

Observing Diorama When I came back to observed the diorama of Monas, I could not deny that there are a lot of recall memories of history knowledge that I had studied from schools or any other books. This definitely distress me as a spectator with head full of questions, “Why this? Why that?” to every diorama which I observed, whereas the research needed me to focus on the visual of the diorama itself without reckoning the big narrative that offered by the maker of the diorama. I was so annoyed with the existence of the diorama’s glass barrier that it burdened me to observe diorama deeply. Secretly, I hoped that I was a Jinny, a beautiful genie from the soap opera Jinny Oh Jinny, if I were her I must had blink my eyes while nodding my head as a spell so I could get into the diorama, instead of standing in front of the glass barrier and make a serious effort to observe the diorama. The glass barrier made me more irritated when I wanted to took picture of the diorama with my phone’s camera because of its reflective outside the diorama and the lights in the Museum of Monas. Not to mention the low lighting in certain diorama that seem supporting the glass to reflect preponderantly, coupled by my limited knowledge capacity when I had to enlarge and to find the small narrative.

So, in the end, it came to the moment to photograph the diorama further by involving the reflection reflected on the glass barrier. Actually this method helped me to finally play with the enlargement process. The reflection that initially distressed me, because I had to focus to observed diorama as a visual element, instead was searched so that it could unite with the


D I O R A M A #1 diorama using this method. Therefore, the reflection automatically became the visual element itself. I ended up searching for the most interesting diorama. I found some of diorama of which if were inserted with that reflection, would produced a unique narrative. When there’s a gesture of a smoking man, I tried to light a lighter and set the reflection of the light and the cigarette. Or when there’s a gesture of a pointing man, I tried to reflect my pointing finger, of course with the help of a camera as a image capture medium.

I ultimately made the glass barrier as a bridge for me to play with the event in the diorama. I forgot the big narrative of the diorama itself. The glass that once became a barrier, instead bridging me to reflected my response that I try to put reflection into the diorama. I assume this diorama as representation of the historical events which had happened in Indonesia from the ancient man era to New Order era. I have always asked myself the representation of the event every time I’m doing an observation up until now. After I inserted my reflection, I assume that the reflection became the representative of my response when doing the enlargement of the gestures in diorama. By using glass as a bridge, there came the refraction and created a new narrative that was detached from the big narrative itself.

Glass As A Bridge and Made-of-glass Bridge Before I discuss my view on the glass barrier of diorama that I assume as a bridge, I want to discuss about my conversation with a friend when we talked about a bridge. We assumed that a bridge is a media that function to facilitate a movement from one place to another, which separated by an obstacle in the form of river, sea, et cetera. A bridge also has to be built by a strong construction so that a heavy object could pass without worrying that the bridge will fall. However, after the talk, we found a different reality from our view about bridge before. One of them is the bridge that was made of thin glass in Shiniuzai and Zhangjiajie, China. When I found out the information on Google about the made-of-glass bridge, the first thing in my mind was what’s the connection of China and the made-of-glass bridge that were built across the Grand Canyon in Zhangjiajie Province. If I read

these news about the made-of-glass bridge, there are many controversial news raised, such as a car passed by the made-of-glass bridge, the visitors who hit the bridge using sledgehammer, or even that bridge once closed up to a month 13 days since its grand opening. Nevertheless, there was this news that attracted me, specifically about the architect of Zhangjiajie Bridge, Haim Dotan from Israel, who initially rejecting to build the bridge that cross the Grand Canyon because the panorama was too beautiful to be undermined by the existence of a bridge. This rejection did not break the developer’s desire who planned the project of Zhangjiajie Bridge. After some negotiations, Dotan finally gave in and said, “We can build a bridge under one condition: I want the bridge to disappear.” Departing from Dotan’s statement, the bridge was created.

Zhangjiajie bridge become more interesting to be discussed because it broke the stigma that the construction of the bridge must be strong. Even Dotan himself as architect laugh his design that he made with the five centimeters thickness of the glass, “My God! Can you imagine a construction engineer describes the bridge like this?” (in Stinson, 2015) In addition, Dotan’s design to make an invisible bridge also becomes the main point on this paper. How the glass that could be seen through by the object across it, or if it was connected to the diorama, how the glass could select the spectator’s view on the diorama behind the glass…?

Ah! I was reminded of my friend’s experience when he was observing and taking a picture of diorama using a SLR camera with additional feature of tele lens. We always visit Monas together for approximately one month. One day, my friend happened to find three pairs of legs without a body in one of the diorama and the funny thing is three pairs of legs can only be viewed with enlargement medium alias technology. If we observe with the naked eye, three pairs of mysterious legs are not necessarily to be found. From these findings, the glass was no longer a barrier because the technology has the ability to bring our eyes to see it deeply. The glass was no longer a barrier but a bridge. It connected the diorama and

67


the spectators. The glass’ role becomes disorder. It is no longer obey to its order to limit.

Three Pairs of Mysterious Legs and The Missing People The diorama of Monas must go through two major Indonesian regime to be completely unveiled. In the Soekarno regime, the diorama-making involved a team of historians to carry out its depiction of events, editing, censorship and others. When entering into the Soeharto regime, then the reselection of the dioramas that had been designed by Soekarno was conducted to conform to the values of Pancasila on his version. Even as they had done before, the making of dioramas in the Soeharto regime also affected by big repression especially related to sorting of events and narratives that built for dioramas. This events selection that represent particular interests is certainly difficult for Late Edhi Sunarso as an artist who ordered by the State to design the dioramas. Through the interview of Grace Samboh and Late Edhi Sunarso, it transpired that there was indeed a major revision of the dioramas which mostly had finished. One of them is the diorama of Surat Perintah 11 Maret (Order of March the Eleventh).

Regarding the findings of three pairs of mysterious legs, me and my friends ended up discussing whether this is a negligence of the artist, or the artist indeed slipped a “treasure” deliberately because the repression of the regime made the artist lost the freedom of expression. The findings are also considered that in any repression there will be spaces for the opposition as a gap, although it’s not large and having trivia nature. This mysterious three pairs of legs can be read as a “treasure” for its existence as part of a diorama is not lost and is open to the public who saw it. This discussion was increasingly raising me and my friends’ passion to play around with the diorama. What if the three pairs of mysterious legs are associated with the mysterious case of people disappeared by the regime? That even after 16 years of the collapse of the New Order regime, the missing people are still missing, and the state’s role as not

68

working properly, alias disorder. It seems there is no tendency of the State to resolve the problem of missing people during this time. Finally, me and my friends visited the LBH Jakarta, Elsam, and KontraS to seek for documentation of archives that discuss missing people in the New Order era. I found it interesting in several newspaper articles, that the Armed Forces as an institution or the state department, which has spent decades involved with the cases of missing people have always refused to cooperate with other institutions to uncover cases of missing people. In addition, the court also incriminates the process of searching for missing people. This claim supports my assumption that the disorder in the State institutions are exists. How come…?! The relatives of the missing people together with the institutions that support them have spent several years looking for and demanding due process of law to the State. Instead of moving forward, they encounter obstacles. The law enforcement process appears to be influenced by the power that is too high to be reached upon. The State which supposed to be a bridge for the missing people to enforce the law, apparently hindered because of the existence of disorder that makes the bridge is not functioning as mediator, as a connector, as a defection for the object to be passed. Or maybe, this bridge was intentional to invisible, such as Dotan said, “I want this bridge to disappear.”


D I O R A M A #1

69


The Modified Loveliness Albert Rahman Putra

The loveliness and beauty of nature romanticism, or commonly known as mooi Indie, became one of the popular choice of aesthetics options which quite popular among European artists back then in the colonial period in Indonesia. Many European artists captured the beauty of nature of the Dutch East Indies (Indonesia) for they brought back home or even to be exhibited in their hometown. Ernts Haeckel for example, a German Biologist and also a naturalist painter who was very faithful to the philosophy of Darwinism, could capture some of the natural beauty of tropical Indonesia, aside from his main duty to collect data and species information of creatures. Some of his paintings had been printed into a book titled Wanderbilder or Travel Images, published by German publisher in 1905. In that book, there were paintings of a lot natural beauty scenes that himself witnessed and visited, including Indonesia.

With this style and approach, the painters often omitted the object of actual progressive element and reality that actually existed and by omitting certain objects, painters may intended to give something that the west spectators do not want to see. I don’t know for sure there was a specific political purpose, or merely the desire to preserve the exotic and another artistic reasons. This thing also done by Wakidi, a painter who lived in West Sumatra and was a pupil of Dutch Painter Van Dick learning painting in school Kweeckschool, Bukittinggi. Wakidi graduated in 1908 then continued to teach at school and also keep on painting the natural beauty of West Sumatra. In one of his paintings, titled Danau Singkarak (1942), for example, it removed the bridge that connect with the railway bridge in Singkarak, which actually was already existed in 1940. This reduction of objects was actually Wakidi did in many of his paintings

70

(Putra, 2015), which leads us to a blur reference. But his paintings indeed looked beautiful with a nice technique, to the point that many of influential great figures, such as Adam Malik and Mohammad Hatta were interested in his paintings and collected them. It was sort of of informal legitimacy in acknowledging the greatness of his work.

In several visits to the National Museum in Monas (National Monument), Jakarta, I enjoyed the diorama which presented there just like any others visitors did. The dioramas was dominated by many illustration of collectivism spirit, patron-client relations, as well as the heroic acts. Many of them having a very beautiful backgrounds, which reminds me of the mooi Indie’s art practice mentioned above, the combination of beautiful nature: sea, mountains, palm trees and other exotic beauties particularly existing in tropical regions. But there were some interesting differences between dioramas and mooi Indie. I want to take a specific look in the diorama of Imam Bonjol’s War. I actually felt it’s difficult to identify and acknowledge the specific location or region only based on the background, without the present of someone that I acknowledge which is Imam Bonjol himself, from what I used to learn back then at school. While in seeing mooi Indie paintings in general, which I think we can easily identify and acknowledge the location or region potrayed without actually have to look at the title. We can simply know and differ which is Ngarai Sianok painting, Toba Lake, also Slamet Mount et cetera.

Mooi Indie also learned and developed by indigenous painters. Othen than Wakidi, there was also Raden Saleh, Basuki Abdullah, Pringadi and many more.


D I O R A M A #1 Raden Saleh himself was known as one of modern art pioneers in Indonesia. He adopted the style of romanticism which was popular in Europe at that time, then applied and developed in Indonesia. This style then, was criticized by Sudjojono and considered as “soulless” paintings. Mooi Indie was highly presented and evolved in Indonesia, even until now, I still often find paintings with this style in tourism places in West Sumatra, especially in Bukittinggi.

with a tropical scenery that they did not find in their hometown (Siregar & Supriyanto, 2006). But in a conversation that I had with a friend who was inspired by Sudjojono’s perspective, he saw mooi Indie as “the art of deceiving”. This point of view may not be only about the practice of omitting particular objects as Wakidi did, but also about another mooi Indie paintings which Sudjojono thought as not presenting the real Indonesia.

Other than being fancied by the tourists, I also found many of this beauty of West Sumatra nature in many of Padangnese restaurants in many cities, and the houses of wanderers who wanted to proudly show their hometown and melancholy yearn for it. In the early days of independence, Sudjojono sequentially wrote essays to criticize the practice of mooi Indie in terms of progressive growth of modern art in Indonesia. For him, mooi Indie was a westernized (colonial) perspective who wanted to amuse themselves by the natural beauty of Indonesia,

So then, Sudjojono offered a new suggestion which embedded a new ideology to the shoulders of young painters of PERSAGI (Union of Indonesian Fine Artists) to develop the ideal practice of painting, by deliberately living and doing the art of painting with self-determined and freedom, detached themselves from moral and traditions and left the aesthetic dogma of mooi Indie. Trisno Sumardjo, in his essay The Position of Our Art of Paintings, published in 1957 Art Almanac (pub. BMKN), saw that Sudjojono successfully produce several “modern arts” characteristics that allow individual power to exercise an artistic statement by detaching from any influence of coexisting traditions. Collectivism spirit that was spread and rose by philosophy, religion, the state governance whether from feudal and colonial regime, had killed the talents, skills and dreams of individual being. And this condition was the one that actually needed by the authorities over their clients. Meanwhile, Aminudin TH Siregar concluded in the introduction of Indonesian Modern Art: Selected Essay (2006), the “I” which mentioned by Sudjojono was no longer solely as modernity finding way out, or

These paintings are often bought by tourists. One of my parent’s friend has a collection of large paintings portraying these natural beauty, as mementos for the sake of reminiscing the travelling experience, he said. Sometimes, he was also moved by a sympathetic feeling towards the artist whom succeed in performative act to transform the natural beauty existed into canvas. I remind me of that one time I visited Ngarai Sianok, Bukittinggi, there was a painter around his 50’s, squatting in front of his souvenir and gallery shop. He was facing his canvas and his eyes directly looked at Ngarai Sianok’s, playfully stroke his brush while some tourists were surrounding and observing him. At that time I rarely witnessed a live-perform act of painting, so I also watched this man who was transforming the beauty of the Ngarai Sianok into canvas. Apparently, my friend’s parents were feeling the same way. As an officer himself, he thought that sometimes skillfully painters were not thoughtfully appreciated, which moved him to do the appreciation he could by buying the paintings. He had several collections that he bought from various cities. Back at his house, he often saw the paintings as an imaginary bridge to always feel connected with the beauty of nature that portrayed.

Sudjojono in Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang / Art in Indonesia: Continuities and Change (1946) wrote that Abdoelsalam once drew a girl, who was softly hit as a warning by a boy, because the girl said “Houd je smoel!” to the boy, which mean “Shut up!”. At that time, some people thought that this painting was not good and impolite, but that was the truth. For Sudjojono, the reality depicted by Abdoelsalam, was too bad to be publicly seen and known, “...to hide those situation (the real situation) may be good and polite, but we lie to our princess of truth which people called: art” (see Soedjojono, 1946, in Siregar & Supriyanto, comp., 2006, page. 5).

71


an escapism, but it was a self-diagnostic introspection and conscience examination. ***

Restricted. It was one of the first impression that made my friends and I –that involved in AKUMASSADiorama project in Monas– decided to drown ourselves more in what the State already presented in as the face of Indonesia. At the same, we realize that, this narrations were result from a series of selection in terms of deciding what to portray and what’s not, in the sea of many important events that had happened. These selections obtained by doing interviews and exchanging stories with certain historical actors, and also what were captured by the camera at that period of time. This diorama was made by Edhi Sunarso, one of artist from Yogyakarta who ordered by the State in between two early regime of Indonesia. In the transcript of Edhi’s video interview with Grace Samboh, he explained that he did some negotiations about his own research with historian and also “historical actors” that will be included in the diorama that he made. He often confused and hesitant, because when he had already made “this” version, he had to change it to “another version” based on the authorities order that had power to decide, and (this changes) often cost a lot of money” (see Southeast of Now Journal, vol. I, 2016). In each diorama glass box, there were activities that transform into inanimate objects. It presented to narrate certain historical periods. All of the diorama were arranged in the dimension that offer us a real sensation. Sensation that perhaps also provoked us to think, what was it like to see from another side of diorama? From the top? From the left or right side? But it’s all just a pseudo-offer, because actually diorama only allows us to see it from one direction. Not from above, not from the left or right sides and not from another sides. Approx. 50 cm, in front of the glass box there are border-line, fences made of iron, and that’s the closest stand that we can have to look at the diorama, then we will probably have to tiptoe and peep over that fence. Actually, we were

72

invited to see what are inside the glass box only from particular point of view, as the landscape are fully presented in such way which is only in one side. Only from this angle, we can see the beautiful sky as the background on some diorama and the loveliness and beauty of nature scenery, making one narration along with tiny dots of human that we don’t even know their names, and fascinated with several body figures that’s very manly and bold, probably standing on the podium, the one that stood on the podium, the one that became the center of attention in the seas of another tiny human, inside the glass box, which we probably had heard from our teachers about their greatness without criticized. Our vision are restricted, even since in schools up to this day in diorama Monas. Hikmat Budiman, a social scientist and book author, in a special discussion with the AKUMASSA-Diorama team at Gudang Sarinah Ekosistem, November 3, 2016, he saw the diorama as an European museumtradition which were adopted in Indonesia. It is closely arranged as the representation of Indonesia’s history and as Indonesia’s face nowadays. Diorama presented sequentially, narrating every period that had been selected as the (historical) milestone of the development of our Nation. In National Museum in Monas, diorama consists of 51 glass boxes –or 52 if we also count the empty glass box– that sequentially forming a historical narration in which stopped in the year of 1995. Back to the discussion, that was a question: why this tradition didn’t happen anymore in the next period of reign? Does this medium still needed, or not? In the Soekarno era, or the early time after the independence of Indonesia, The State made us “gigantic monuments” in which always propagated to remind us that we shall never forget the history: National Monument, Statue A, Statue B, and many other. The megaproject to build up nationalism, monuments as the identity of a new nation and formed as a full of national spirit aspirations. After that, under the Soeharto regime, the act monumentalize history had done in a different way. Many of dioramas were made in his era. One of it was an attempt to continue the the diorama Monas project that’s not finished yet, that


D I O R A M A #1 we can see today, and also several other museums, which one of the biggest diorama that was made is the scaled-down version of Indonesia in Taman Mini Indonesia Indah. A grand design, that wanted to be seen, showed glorification, and a promise of a better future. Then, as also mentioned by Hikmat Budiman, diorama had impacted the simplification of narration. Simplify, also referred to not include things “that considered as not so important”, which meant to be easily remembered and accepted without appearance of any counter-narration in the next generation in learning history. Simplify, in the case of Taman Mini Indonesia Indah (Beautiful Indonesia Miniature Park), as illustrated by Hikmat, made us simply called North Sumatra as Batak, South Sulawesi as Bugis, and so on, as if we ignored any other ethnic groups that also coexist there. ***

Inside glass box, there were figures of fingers scratching elbows or nose and also scratching their heads. There were people sitting with leg crossed on the chair in a meeting. There was mouth closely located very near to the ear covered by fingers in the middle of the crowd. There were people pointing with their fingers. Some of the people were sleeping in a meeting. Several were peeking from the outside of the window in meeting. All of those gestures were almost seen in every diorama, on a disconnect narration of history that disconnect and full of distortion, that eventually come to us, the generation of 2000s. Those gestures were identified as ourselves after the enlargements that we did with a technology which was camera, jumping over the fence of the glass boxes. Enlargement from the already established mainstream narrative became the target of our framing, AKUMASSA-Diorama team, along with technology that we used which was camera and the possibility of zooming that allowed us to see things that are trapped inside glass box.

We grew as the generation that did not experience the historical event in person. We were treated as if we experienced the historical situation, –with the presence of infrastructures that put history–, as the

formal objects, only to be able to answer the test at schools. And it made me feel pretty detached from the narration that were presented in the diorama. Yes, even though diorama were actually presented for us that were not experience the history itself.

Our thoughts were messed up by the academics act that trying to show us the historical evidence, refused the others; decided the scapegoat, pointed the heroes, and so on; building the imagination of “sophisticated conspiracy”, and we unconsciously spoke about it as something exotic. Monas diorama visitors were quite crowded and diverse. Some of them were came with friends, partners, family, school group, or only by themselves. There are also some of them randomly viewed diorama, unchronological; and they were made up of several groups that were not guided, just choose what they wanted to see. Some of them understood the text which written in front of the glass box. Some others only saw and heard the words from guides and mentors, some just enjoyed the beauty of visual portrayals. Some other visitors brought out their cameras and took pictures in front of it.

A group of young people started to stand with their backs facing the diorama glass box, raising their digital cameras or smartphones and taking pictures of themselves who were outside the diorama; looking the results for a while, then repeating this action many times and then continuing to the other visual narratives that again were interesting for them. Then they did the selection, and the publication. These activities were seen a very performative act. The visitors deliberately decided the narration, connecting themselves to the history which then became their pose backgrounds, independently. Not long ago, AKUMASSA-Diorama team, with the help of a tele-lens camera, found strange things in the diorama. There were three pairs of feet lying in the corner. Later, we also realized that many diorama figures stood strangely. Asymmetrically. Some of them were talking to themselves. Some held the broken swords. Maybe the maker were careless….? But…. who cares!

73


74


D I O R A M A #1

Then, when I was with AKUMASSA-Diorama team, we saw a vending machine was exchanged in the middle of transaction at the port. Or, a digital light that used as a guide to the mortar of Monas, also found in the pendopo (an open air house to gather around) in the middle of activity to build Borobudur. Or the magical lights that came out from the grip of a person in Chinese attire. All of those were actually the real-time reflections of the reality that located outside dioramas that then united with everything inside the glass boxes –which previously seems too distant– and were linked in certain perspective. Technology apparently did not only produce a very distant interpretation but could also made a very horizontally linked interpretation.

Bibliography 1. Putra, A. R. (2015, June 8th). Ancient Paintings: Pretty News in Singkarak. Retrieved November 11th, 2016, from akumassa: http://akumassa.org/ id/lukisan-lampau- kabar-indah- di-singkarak/ 2. Siregar, A. T., & Supriyanto, E. (Eds.). (2006). Indonesian Modern Art: Selected Essay. Jakarta: Nalar.

“When people are reading the history, in certain awareness, they are also actually in the historical situation itself,” I suddenly remember the discussion that I had with a friend last week.

75


Disrupting the Narration Anggraeni Widhiasih

Surprise from Visual of a Battle An explosion soaring at the end of the horizon. Purple clouds billowing to the sky while beneath it, an armored vehicle pointing the enemy from the distance. In front of the armored vehicles, people were scattered along the rubbles. They were lying down, lurking for the enemies while several others were injured and killed. In the right corner, someone dressed in white was seen among those injured. The building looked tattered and no longer intact. Perhaps due to the onslaught done by both parties. Those were glimpses of appearance that I had seen in a diorama titled Battle of Surabaya.

This diorama which located inside the National Museum at National Monument attempted to narrate the story about the battle of Surabaya. In its complementary text, it told that the Allied forces landed in Surabaya with NICA officers on October 1945. Some of the incidents happened and escalated to a battle. It also said that after Brigadier General Mallaby was killed, an ultimatum was issued to the people of Surabaya to immediately surrender their weapons. But according to the text of the diorama, this ultimatum was ignored by the people of Surabaya and caused the outbreak of a great battle between the Allies and the people of Surabaya on November 10th, 1945. The text also said that the day of the battle in Surabaya was happened, then was monumentalized as National Heroes Day, considering the number of Indonesian warriors who died at that time. This story about the battle which identically depicted as the Event of November 10th somehow has been presented on the diorama differently from the

76

history that’s been repeatedly told. At least that’s the impression I got when staring at the diorama in a glass box. What my memory collected when attending elementary school back then did not seems sufficiently reflected on what I had seen in the diorama. There was no portrayal of Brigadier General Mallaby or the fiery Bung Tomo, burning the passion of the warriors. In fact, the event when the enemy’s flag was tore by Indonesia warrior at Hotel Oranye or Yamato was not presented at all. The events that occurred in November 10th 945 were appeared in a very different way. Partly wondering, I carefully observed the visual of Battle of Surabaya presented in the diorama. Instead of capturing the whole impression of the Battle, the one that stole my attention turn out to be strokes of paint on the wall that created phrases. The strokes said ‘Merdeka atau Mati’ (Freedom or Dead), ‘Freedom Forever’ up to “RIS linggis” (Lever the RIS) as well as “Mandi darah” (blood bathe), and all those seem to be the visual of the battle itself. They strongly echoed once the eyes caught the sight. A real articulation that could be sensed since the verb has turned into visuals. It became an unheard but visible statement. Those scribbled on the wall along the battlefield were not much. But within the small numbers, the message of rebellion felt so real. The letters were written in a pitch-black paint as if it was trying to proclaim the toughness of the warrior’s heart to fight the colonizer. Even through the way it were placed, the visual of this text seemed like narrating the heroic act during that battle. The text of ‘Blood Bathe’ for example. It was placed a little above the visual of a


D I O R A M A #1 white dressed woman –probably a nurse who was helping the wounded one, a soldier perhaps. A little closer to this scene, there seen the text ‘Lever the RIS’ that indirectly identified the enemy. The presence of word ‘NICA’ that was crossed, even more confirmed the ongoing war situation regardless the enemy only appeared in the form of visual text, ‘Lever the RIS’. The presence of those rebellions texts in fact gave even deeper information about the November 10th 1945. Probably it was the historical aspects that had been skipped in the common stories. This strange depiction of history for me was embodying other face of the history that rarely seen by most of the people. The portrayal of this situation that previously we didn’t receive when we were studying Indonesian History just as it is, now, it was illustrated on a form that (probably) more varied. My mode of thinking received new information but at the same time, the stream of question overflew because I was shocked. This shock inevitably created a situation where the construction of my understanding toward Battle of Surabaya’s history was being disrupted. Between the attempts to criticize, validate and bridged the knowledge that seems to have many gaps.

The Stuttered Spectator Although the visual of the diorama is three dimension that can be seen from many directions, the diversity of spectator views of the diorama are not as rich as it should be. The presence of glasses give limitations toward my experiences in reading the diorama, more over with the limitation of eyes itself (nearsighted, farsighted, et cetera). My point of view as a spectator hits the glass and stop at the two dimension reality. Though actually diorama is a 3D dimension, the spectators get the sense of watching TV only. We can just watch it from a certain direction without any ability to go deeper to every corners of the diorama. There are always details from diorama that is left and unread. Thus it is not doubtable when the information received are always in pieces and not always containing the entire reading meant by the diorama. This limitation due to the presence of the glass is not different from the limitations caused by the lack of

knowledge. The understandings about the history of Indonesia that are lack of depth and the information about the history itself, that is not thorough caused the spectator feels the sense of stutter during their reading upon history. The historical contexts are digested pieces by pieces to make it relate to the big narration. As if accepting the endless water from the sky which falls drop by drop.

Just like Battle of Surabaya diorama. Instead of portrayed by the visual of the rubbles and the text about rebellions, the history about Battle of Surabaya usually is more identic with the event where our soldiers tore the flag of the Allies at Hotel Oranye or Hotel Yamato which finally triggered the aggression and the death of General Mallaby. Besides that, most of children who are privileged to study History in Elementary School will remember the iconic picture of Bung Tomo calling for the revolutionary spirit of the soldiers through a local radio. Indeed, this picture appear many times at the basic History books during elementary school. This makes the Battle of Surabaya itself seems so identical to Bung Tomo. While the situations where there is much rubbles and the revolutionary visual seems like escaping our mind. The obvious presence of farmers joining the battle with barefoot using caping (farmer’s hat made of hay) are also missed from the common story about the battle. In fact, it tends to be unimaginable. There are always certain figures who appear at the front, mostly blurred the situations around, including anonymous figures in the history itself. Whether the imagination of the spectator is indeed limited or the inheritance of knowledge system that is always sta. We only get a glimpse from abundant knowledge that actually very plentiful. Questions over the ignorance that comes to mind may sound a little naive, but it also could almost reflect the poorness of imagination of the history. So there is a narration in the images of diorama that is so difficult for us to read. As a spectator, we feel stuttered to capture the story of the figures in the diorama. In fact there is a sense of disturbed that emerged from the presence of unread narrative about this figures. As if there was a story that is still hanging, hidden and asked to be read.

77


At this stage, the stuttered over the face of history feels so disturbing. The composition of the historical narrative that previously existed inside head is asking to be disrupted. The disconnection of knowledge makes the already limited eyes becomes increasingly more restricted. Barriers also well-developed, from physical barriers until abstraction of knowledge. To the extent that the system and unit stuck together with each other in empty space and can only play guessing because of this stuttering matter.

Smart Phone and its camera Glasses that presented between the spectators and diorama became a barrier that selecting spectator views and images of narrative diorama. Not surprised, later on there is a kind of standoff when digesting the visual narratives in diorama. But the difficulty in digesting the visual apparently did not fully make the spectator fails to accept the narrative of the diorama. Glass which become the barrier between our knowledge and the diorama, actually can be transformed into a potential. Through its ability to provide reflection, glass was able to give a chance for spectators to chop apart the narration of the diorama.

This treatment comes not only from the nosiness and half-desperate’ consideration alone. This treatment actually is a way to read the narration that is not readable by the eye which has minimum knowledge. Because knowledge is limited, then what can be done is splitting apart the unreadable narrative because it is not entirely readable. To do this work, a man’s natural eye lens is not enough. It requires the presence of an eye that is able to unpack and infiltrate into the crack and gap that is unable to enter by the human eye. This is where the help of the second eye is needed to read the tiny figures in diorama to be enlarged so it could tell its own the narration. 1 1. In this process, I was inspired by a writing about Dziga Vertov in the page http://sensesofcinema.com/2003/ great-directors/vertov/ . In that article, there are some quotes from Provisional Instructions to Kino-Eye Groups (1926) by Dziga Vertov. Those quotes talk about the eyes that are always limited that human encourages the invention of technology that can help the eyes in seeing things. Camera and telescope are the two technologies mentioned by Vertov and said that it can help to break through the wall of limitation of human eye. The relevancy of this notion can be sensed during my experience in reading the diorama using cell phone camera.

78

One of the closest and most familiar visual medium to us today is the camera. This optical instrument at the beginning of its appearance feels so exclusive and can only be used a certain person. But now, it is very accessible and even owned by most of people. It has been a mass objects belonged to the people and are so closed to their daily lives. Almost everyone today has a camera, even a little kid. Sometimes, a little kid aged 4 years even already literate to operate the camera and record things using it. Playing with camera seems to be a natural part of their childhood experience.

This condition applies because of the development of technological innovations where camera becomes attached to the mobile phone technology. It is unclear that how long this mating had occurred, but this product of mass communication that existed in 1973 is now so attached with camera. Nowadays, camera is one of the features that must exist on a cell phone. Especially when the digital era has provided the convenience for people to explore the world as well as ‘add’ the repertoire of life through internet on mobile phones. The image recorded or unrecorded by eyes then can be reappeared through a cell phone camera and distributed to the audience through the features of the Internet. The integration of this function furtherly ease human life along with the invention and development of smartphone. The digital technology today has entered the era of smartphone and touchscreen which makes human physical can directly come into contact with the digital world at any time. This condition allows technology to be so immersed with our daily lives. We begin to touch not only directly on objects we touched, but also through the media. We begin to see not only through our eyes but also through the eyes of the second eye. The eyes of camera’s mobile phone can be a technological vision that makes the ‘disability’ of natural human eyes can be perfected. Unconsciously, this technology is able to embody and becomes the second eye to create and view images that are hardly seen or shown by the natural human eyes.2 2. Still inspired by the discourse about Dziga Vertov about camera eyes, the ‘impairment’ of human mentioned is inability of human eyes to look and show as what the eye of camera


D I O R A M A #1 Such as small pictures that are unattainable by eyes. It takes zooming feature to be able to capture images of small images that are hard to directly seen by the eyes. Or if the lighting is inadequate, then the cellphone camera mode can be changed to suit the needs. The camera mode features even capable of distorting the color of objects displayed by the camera. Providing an alternative that is sometimes almost completely different from the reality. Even over the autofocus system and the type of lens, a cellphone camera can capture visual refraction and integrate it with the existing visual realities. Then create an object as if it was on the place where it is not actually there. Such visual is the kind that cannot be directly captured by the human eyes. By using camera technology, that limitation can be patched and even be used as an opportunity for exploration and provocation of visual reality. A celebration of the harmonization of technology and human work.

In the context of photographing the dioramas, the exhibition space is dim and the diorama stored in glass box, makes the process of reading the narrative of diorama becomes not easy. In the very big exhibition hall that is affected by a variety of lights make the glass of diorama is prone to reflections. It is very difficult to capture the scene in a diorama without the shadows of the present situations or additional reflection of the lights on the location. In the afternoon, visitors are very crowded, photographing the diorama and/ or taking selfie with diorama. As if they are part of the diorama. The flashlights from cameras also become the ‘noise’ that makes it difficult to frame diorama ‘cleanly’ to make it a complete spectator personal archives. By the night, the light inside the exhibition hall is even stronger chiming at diorama. For my eyes that suffered from nearsighted, this condition is very frustrating because they interfere the process of looking closely to diorama. For the camera eye, these light glows as if they are challenging the diorama. It defeated the flaming narrative that attempted to be performed by diorama and becomes a huge is capable to do. As machine, the eye of camera could perfected along with the development of the camera technology features itself to then fulfill the visual needs of the operator (human).

distraction to the process of archiving diorama. The hall lights, lights from vending machines up to the flashlight of the cameras keep on interrupting the narrative of diorama mercilessly.

Cellphone camera technology in these conditions seems to have dependable contribution to the attempt of reading diorama. What needs to be done is by optimizing the features in a mobile phone to be able to capture the narrative of the diorama. So that what was once in a distant and hard to read closely, become easier to read. The physical design of a mobile phone that is light, thin and easy to carry anywhere make it very flexible to read the diorama though other visitors are sometimes very hectic and crowded. In this case, our freedom as camera holder is facilitated by the presence of the camera. What we need to find can be found by the eyes of the camera. What we need to show can be shown through the help of the camera eyes. Head, eyes and hands at the same time are needed to synchronize what need to be seen and shown through the ability of the camera. So that it becomes an extension of hands (and eyes) for our own interests as human beings as well as the authority holder on the technology that we hold. Transpiercing the Boundary Glass Assistance that can be provided by a mobile phone also includes a process of circumventing the interfering condition of the exhibition space. As previously said, the lights inside the exhibition hall are so bright and bouncing everywhere in the glass of diorama. Similarly, the brilliant light from the vending machine keeps flashing and appearing in the capture of diorama image due to the refraction by the glass. This distortion by a mobile phone can actually be a gap to play with. What should be distraction would turn into form of novelty narrative.

In Battle of Surabaya diorama, for example. When we read this diorama, our eyes cannot escape from the befalling refraction of light in the exhibition space that goes into a diorama. In fact, not rarely happened that the vending machines suddenly appear in the background of diorama or just being present in the middle of the soldiers at war. So inconsiderate

79


the presence of this vending machines until as if it becomes part of the diorama. Not to mention the shadow of other visitors who enter the diorama and seems to be a large black ghost in the battle arena!

Distortion and hustle which complicates the process of reading or perpetuating diorama is actually not much different from the knowledge of spectator that is full of distortions. System of locations that have a lot of distractions are the limitation of diorama. But all obstacles and difficulties in reading this diorama could still be transformed into a playground.

Cellphone cameras in this case proved to have magical ability that could play with distortion and distraction caused by the glass. Instead of making it as divider, the glass can be converted into a bridge to transpierce us into the diorama. The presence of refraction on the glass of diorama can be placed as if it was truly part of diorama. Of course, this process of selection and also through a reconstruction are done entirely by the camera holder. As the result, the narration about a battle against the enemy in the Battle of Surabaya diorama can be very surreal when the eye of camera inserts vending machines and framed into a target of armored vehicle. Through other position and angle of camera, this machine can also be changed as a hotbed of the army or become a strange bag carried by one of the fighters. It can even be a mere imagination chased by the youths who were playing hide and seek! If so, then not only enlarge and capture what the human eye cannot catch. Cellphone camera even can distort a narration and make it different from its previous holistic narration. It becomes an instrument to build a new narration and to sort out the readable narration. However, such act of distorting the narration can only be achieved when we look through the camera’s eye and consciously framing what we want to show. The presence of camera in this case is intended to do deeper infiltrate into the visible world to explore and record its visual phenomena. Operating the camera in this case is being emphasized to the extent of framing process and materializing the abstraction of what’s inside the camera holder’s heads. Regarding this matter, indeed we choose which history we wish to present.

80

Distorted Reflection in Reading History Almost every diorama present as a representation history that has been sort out, just like diorama at Monas. Its presence as a narration which has been selected by certain authority to represent a past event, in this case is an event of Indonesian struggles since the age of stone until past independence era. This history reconstruction is going through a selection process until it becomes a 3D visual with certain narratives. And then this history representation become a no-man narration which actually is open to everyone to interpret. Unfortunately, this gap between the spectator’s knowledge and the diorama are often making the spectator stuttering to read. Moreover, there are shadows of the today’s location which became a presentation that is always interrupted spectator’s reading of diorama that has become a history representation.

To outsmart today’s knowledge gap, technology such as camera and handphone have the ability to be a bond between both of them. Through selfie, spectator is unconsciously put themselves in a representation of history. So that today’s presentation and past’s representation can be put together in a new representation of today and the past. This kind of behavior precisely capable of making a room to play, to overcome the difficulty of reading the history representation. Even, through the help of technology that is playing with refraction of today’s reality into a history, the narration of history itself can be distorted.

Specifically, the camera phone has a feature which capable to capture a whole shadows that refracted through a glass along with the object that is behind the glass altogether And combine both of the objects into a whole new visual. And of course, with a new framing of story. In this case, a camera gives freedom to the people to distort the context and write their own narration, detached from the existed narrative. Through the authority of the camera’s owner, camera is showing what it sees to the eyes of human nature. The presence of reality is reconstructed by framing and a selection so that it becomes a new representation that is suitable


D I O R A M A #1 with the camera owner’s wish. So, people consciously can pick which narrative that want to be shown through the authority of camera. This opportunity that might disrupt back the history fortunately can be gained from the gap between present knowledge and past representation in the diorama. In and Out from Narration As a three-dimension artwork, diorama not only offered a lot of perspectives but also a lot of narratives. From a big narrative that is presented by diorama, there are also many minor narratives in the corner of diorama like it has been waiting for someone to tell their story.

In the process, a presentation narrative of diorama is not just been there. It goes through a long process which controlled by authority and a story making of the history that has happened. At least, this has been started since a reduced event and which figure that want to be shown. As the consequences, the event was selected and change all the narratives that has happened. Making appearance of the history for the public is actually just a history representative which became a medium control for a nation to make an image about itself. In the process of diorama it is appeared in a shape of miniature and cherry-picking figure of the event.

experience history and even can find many things that missed from a big history narratives. Making its leakage from historical scenario which was made by the nation.

This leakage is instead become a signal that history is indeed a fiction which can be own by us together. It is very hard to crystallized the history and locked from exposure in the era of technological innovation today. From which, there is always a room of playing interpretation for history to be experienced and reconnected again from generation who has not experienced through a trivial thing even once. At the same time, this leakage has become a public agent in telling the history. It is an uproar and a divided history by the public that ultimately celebrate by the help of today’s technology.

In this three-dimension miniature, diorama appeared as a representative and a reconstruction of history. But, this representative circumstances is only applied when this diorama is not being read. However, its condition when read, diorama has become an attended, displayed presentation and even dynamically can also be a representation. This potential is to make a history as a public space for public to interpret.

This discretion flow is so hard to be stopped, especially with the presence of digital technology. Even so, the foresight to sort out the technology also needs to be encouraged because it is also related to the selection of public to write their own history. The context of in and out of an event and also a figure which was only a nation authority is now can be owned by the public. With a help by technology, the public can re-

81


The Perspective of Reciprocal Dimension Rayhan Pratama

I was feeling restricted since the first time I laid my eyes on the diorama. How come, through the presence of ‘boundaries’, such as iron, glass, and lighting, I was not completely free, at that moment, to understand the narrative and I was also thinking that the freedom was merely there, inside the diorama. The restlessness started to sink into myself when my sight and movement were restricted by the space. However, we have always been guided to descriptively see the milestones which only offered by one point of view. The interaction between one clay with another clay along with its landscapes and the ambience created by its light effects, narrowed down my sights. The reality that the diorama is a three dimensions miniature that should be seen from any side imprisons my perception completely. In that case, I therefore accuse the visual presented by the diorama. This accusation is not a joke, thus, I would never miss every inch of images presented through my camera lens. It seems that I am not the only person who accuses this problem, because I found many visitors who also accused and directly confronted it in front of me. For example, there was a father who was explaining to his two children about the history of each diorama. He was pointing objects with his umbrella that he brought, instead of with his finger, in order to clarify and emphasize the meaning of the diorama. By using his big-yellow-umbrella, he pointed at some direction as a form of resistance to the presence of the glass barrier that prevented him to look further inside the diorama. Still with the umbrella, he disturbingly

82

tried to break through boundaries by knocking the glass barrier.

Man is the creator. I think it is the right sentence since we can easily produce and reproduce images through digital media. We can reproduce these 51 dioramas at the Monas (National Monument), Jakarta, into digital images in less than an hour. The presence of selfie technique, whether being held directly by hand or by tongsis (selfie stick), would produce a different experience instead of by simply asking other people to take a picture of ourselves in front of the diorama. Those who consciously pressed the capture button and held tongsis, would put themselves in one frame with the diorama as the background. Also with that consciousness, they selected the desired angle to be captured. Besides, the behavior of video camera holder is different. Some visitors, who I saw in different time, suddenly acted as a tour guide in front of the camera and they put their back to the diorama while verbally delivering a brief explanation of the diorama. Thus, those actions, even those who did not directly present themselves along with the diorama and merely focused on documenting photos and videos that ‘pointed at’ the glass barrier of the diorama, gave them an opportunity to claim the liberation of the visual offered up until now. Sudjojono’s Painting and Indonesian Landscape The term of mooi Indie had been used to give reproduction title of eleven watercolor landscape


D I O R A M A #1 paintings of Du Chattell that published in the form of portfolio in Amsterdam in 1930. However, the term became popular in the Hinda-Belanda since S. Sudjojono used it to mocks the painters in his writings on 1939. He said that the nice scenery paintings, good looking, romantic like in heaven, quiet and peaceful, only contained with one meaning: mooi Indie (Beautiful Hindia). The materials of Mooi Indie paintings are well-known, such as mountains, fields, trees, flowers, ponds, or the others. Besides, it also brings beauty and exoticism of native women and men, which are presented as the villagers1

The paintings of mooi Indie became embodiment of Indonesia or Hindia-Belanda at that time by Western painters with the beautiful landscape and native people as a background of decorative painting objects. Through his paintings, Sudjojono took a counter action by showing natives as painting objects in front of the landscape of Indonesia. By showing the presence of the natives and the tropical nature as a backdrop, Sudjojono have done a critical action in conceptualize what was Indonesia and provided new translation of the who was Indonesian, and both of them was seen as resistance. Nowadays, we have a right to contemplate who are Indonesian and what is Indonesia. With all of inventions and innovations, today we can perceive ourselves easily and describe it in text and visual independently. All barrier of perspective is no more relevant today. We are independently entitled to be present and contribute to write our own history. Autobiography can be created with technology, for example, Wikipedia which based on a collaborative project, a personal blog, Vlog (Video Blog) on Youtube, Instagram, and Facebook which always offered us to share the status as well as uploaded pictures of our past. Similarly, the presence of tongsis (selfie stick), this tool is a simple form of innovation that allows us to take pictures of us (selfie) by ourselves as an active subject. The mobile phone industry is now competing and created many innovations that allow us to do that by presenting the selfie’s techniques in front of 1. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1931/ Mooi-Indie-Aliran diakses pada Kamis, 10 November 2016 pukul 03.25

and rear camera. If in the past we were behind the camera (position of taking picture), now, the camera is in front of us and presents us.

Differ with some of the Sudjojono’s works who fought through the presence of the natives as the painting’s objects, the selfie action makes ourselves as object and subject at the same time. The presence of the diorama of Monas, is no longer presented as a work that can be only seen, but also being experiented of a background object in autobiographical action. Self-appearance of narcissistic intuitive that human set in the diorama consciously was presented by the creator in a selfie way to give the ‘signature’ all at once with the experience of “body and location” from the works that have been created. Along with that, the cards that signify the ownership of management’s inventory (government) are not relevant anymore, because with the camera, the diorama already ‘signed’ by the conciusness of the visitors. The captures of the camera could uncover each diorama easily. This action was not just exploitation, but also a form of resistance and lawsuit over the presence of the diorama’s nature which supposed to be three dimensional - but felt like two dimensional - with the selection of perspective which previously have been determined.

We only get one point of view which means there is only one option where the glass wants us to see what was displayed through limited angle. It reminds me of the television’s way with only one-way interaction between the television’s stations and audience, so the audience did not have power to pick and choose what they want to see. Not to mention the commercial interest, political, et cetera that are embodied in its programs. Both of them, television and diorama, are not only to narrow down us through the glass, but also monopolize our visual politically by putting ourselves as passive spectators. We are not autonomous to understand the narative or history, although we was treated with various television channels as same as the dioramas.

Reciprocal Dimension Watchdog, can be defined as a dog who keeps the property and also can be interpreted as a person or group that act as a protector or guard against

83


inefficiencies, illegal practices, and so on.2 However, the term is also used in media to carry out their functions with oversee and identify social problems in the process of public policy making, illegal activity, immorality, the issue of consumer protection, and environmental degradation like a watchdog alerts anothers when problems are detected. Now, the television with their programs have presented the critical power of citizens in the television itself. Though, in fact, there are citizen journalism program, but in the end, the works of citizens both text and audiovisual equipment also modified in selection process redactionally. Whereas, the citizen journalism had potential to cause citizen’s critical and offer a different perspective (from the mainstream media), as well as the citizen were given the watchdog function related with their surroundings. The present reality of television, in fact, did not took a citizen’s side along with the factor of capital and politic electoral inside, then if we don’t like it, we allowed to change the channel or turn off the television. Meanwhile, the internet brings up the interactive nature that might connect and interact people anytime (Hadi, 2005: 25). In fact, people were given the freedom to manage the news both as a producer or consumer in social media. Social media had become a space of interaction in virtual reality. Virtual reality allows what is being said by Paul Virilio in The Aesthetics of Disappearance, “...to make something that is supernatural, imaginary, even that was not plausibly be seen as reality” (in Hadi, 2005: 19). The same thing goes to diorama, in nowadays context, the medium of diorama as State’s channels to articulate the history is no longer become a single object for us to understand as a precise history of reality. Today, we also can understand the diorama in a easy way either as part of a historical reality that occurred or the history that we need to criticize through the limited perspective of the diorama that we see. Through those limitations in this project, it gave us the chance to create a new narrative using enlargement. Using camera and telephoto lens, I experiented with the corner of my shot. The miniatures which have a 2. http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/ watchdog diakses pada Kamis, 10 November 2016 pukul 03.00

84

distance, with came I changed the angle so that it look closer and interactive. There are not many of my sight which usually missed from our eyes, was found through the eye of camera, although the effort required is quite as large as cross the boundaries and tilt my head to get the angle wanted. There is this scene that I thought it would be visually interesting to be discussed, which is the presence of three pairs of legs lying in the corner of the large meeting room in one of the diorama. Apart of the element of ignorance or negligence, the consequences of artistic on the layout are a narrative that we need to be read in one unity work of diorama. I am tempted to frame these three pairs of legs which lying on that corner using photography. Instead of just being debated in my memory, that frame might be used to create a small narrative as part of the history. The camera gave me the freedom and opportunity to autonomously determine the visual which I wanted. I think this is not only me who managed to expose the diorama, but it is also identified the gestures which we usually did. Using the camera, we actually have much better access to look far and see the diorama in detail even at the corners of the diorama that missed from our sight. Consciously, I was given a lot of access in exploring and could be easily framing the image through the narrative wanted. The presence of binoculars technology such as camera, offered the new view for us to be involved in the act of surveil the diorama itself. Although it only offered in two dimensions and one point of view, I use the presence of technology as a skilled tool to fight against the limitations. Moreover, the camera could become a part of us to access the visual further and see the narratives that are not covered by the eyes. Seeing the potential of the camera as a power opportunity, we are actually under the shadow of surveillance itself. How come, when we were examining the diorama, our presence became the object of surveillance through the CCTV cameras which placed at each corner of Monas and being controlled from supervisor room. Our gestures and behaviors were being watched (and being restricted), with no privacy and transparency. The CCTV cameras are not only a tool to keep an eye on us, but also as a reference in determining the


D I O R A M A #1

policy applied to the visitors of Monas. It may provide a new ‘boundaries’, such as the addition of guards and camera usage policy.

In terms of watching and being watched, and also about the borderless freedom which have been promised by the internet, it’s a new subject that has a reciprocal, in the infinite dimension. Internet actually gives us an opportunity to break the deadlocks as well as the possibility to get stuck in a glass box which full of surveillance, which is even difficult to be detected by whom.

Through the website and the Google Street View, we can enjoyed a three-dimensional experiences that could be create by ourselves. It did not require the skillful tools that are owned by Google, but with the Android phone or digital SLR camera is quite enough to make a street view-photo through pictures around us. These captures merged using the connect the dots feature which available in Google’s official page. The captures that have been merged into a blog or website will generate a 360-degree panoramic images, and will be shown on Google Maps so everyone can see through google.com/maps/views. We could access

the location that has been found or not. Otherwise, we also could be accessed by anybody.

The experience of seeing a three-dimensional which was actually offered by the diorama (but also not), could be created and also easily uploaded and shared by us to another using the awareness of criticalvisual surveillance. Especially, the citizen were given an opportunity to get the visual access that have been demanding by us to diorama. Endnotes: Hadi, Astar. (2005). Matinya Cyber Space: Kritik humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya. Yogyakarta.

85


86


D I O R A M A #1

87


88


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.