Majalah Diffa Edisi 02 - Februari 2011

Page 1

diffa SETARA DALAM KEBERAGAMAN

FREE

udio Versi A a f if d CD

Retina

Membangun ASEAN Ramah Disabilitas

Empati

Indonesia Tak Pernah Mendata Penyandang Disabilitas

Tidak Ada Manusia Cacat No. 02 Februari 2011 Majalah Keluarga Humanis diffa JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 1

Rp. 21.500,1 1/20/11 6:15 PM


NET.WORK green your mind Kamu netizen yang peduli lingkungan? Suka menulis masalah-masalah lingkungan hidup di blog, forum, Facebook atau media online? Mari bergabung dalam kegiatan Net.Work. BeatBlog Writing Contest, ajang lomba menulis lingkungan hidup. Pemenang akan mendapat Blacberry dan uang tunai. Bagi 20 nominator, karyanya akan diterbitkan dalam buku “Blogger Bicara Lingkungan�. Offline Gathering, acara kumpul-kumpul para netizen. Pada kegiatan ini juga akan diumumkan pemenang Writing Contest.

Report from the Field, acara jalan-jalan sambil belajar dan membuat tulisan untuk blog maupun media online lain.

Key-worth, acara ngumpul, sharing pengetahuan dan pemberian penghargaan bagi netizen yang peduli lingkungan.

Informasi lebih lengkap di

Network.VHRmedia.com

2 Edisi 2 Februari ok.indd 2

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM


MATA HATI

M

Tidak Ada Manusia Cacat, yang Ada Hanya Manusia

D

lam rinai gerimis sore di pinggiran kota Solo yang sejuk, Hari Pamudji mengayuh sepeda roda tiganya. Sepeda ini didesain khusus, sehingga memudahkan tangan kekar Hari mengayuh sekaligus mengemudikannya. Tubuh Hari tetap kokoh dan kekar, meski kedua kakinya lumpuh sejak 20-an tahun lalu. Sepeda itu juga hasil desainnya sendiri. Hari Pamudji adalah Ketua Perkumpulan Motor Roda Tiga di Solo. Ia mengalami kelumpuhan total akibat kerusuhan antar-massa partai politik dalam kampanye di zaman Orde Baru, ketika hanya ada tiga partai politik. Hari yang dikenal sebagai jagoan salah satu partai, dikeroyok massa partai lain, dan lumpuhlah ia akibat pengeroyokan itu. Hidup Hari berantakan selama beberapa tahun. Sekitar dua tahun Hari mencoba melarikan diri dari kenyataan bahwa ia telah menjadi penyandang disabilitas. Pekerjaannya sebagai tenaga keamanan di Taman Mini Indonesia Indah jelas tak bisa lagi dipertahankan. Bagaimana mungkin seorang lumpuh bisa bekerja sebagai tenaga keamanan? Persepsi semacam ini sebenarnya belum tentu benar. Namun, kebanyakan orang memandang penyandang disabilitas secara keliru. Dan ini membuat para penyandang disabilitas semakin sulit menjalani kehidupan mereka. Hal inilah yang dirasakan sangat berat oleh orangorang yang mengalami keadaan seperti Hari Pamudji. Banyak orang memandang dan menganggap penyandang disabilitas bukan lagi manusia yang sama dengan manusia bukan penyandang disabilitas. Sore itu Hari mengenakan polo shirt yang bagian belakangnya bertuliskan: “Tidak ada manusia cacat, yang ada hanya manusia”. Kalimat ini merupakan pernyataan sikap dari perenungan pengalaman Hari sejak diberi cap oleh masyarakat sebagai “manusia cacat”. Bahwa penyandang disabilitas tetap manusia dengan hak, kewajiban, dan martabat yang sama. Cacat adalah kondisi yang tak mempengaruhi unsur-unsur kemanusiaan seorang manusia. Tak mempengaruhi hak-hak yang melekat pada dirinya sebagai manusia. Istilah “manusia cacat” adalah istilah yang diskriminatif dan merendahkan harkat dan martabat manusia secara umum. Manusia memiliki berbagai dimensi dalam sosoknya. Fisik hanya salah satu dimensi dari sosok manusia. Sangat tidak adil memberi vonis atau cap yang bersifat diskriminatif hanya atas dasar kondisi fisik. Apalagi bila cap atau vonis tersebut berimplikasi pada hilangnya hak-hak yang melekat pada manusia itu. Istilah cacat mungkin lebih tepat ditujukan pada kebejatan moralitas dan kekejaman manusia. Para pembunuh, pemerkosa, koruptor, dan orang-orang jahat yang telengas lebih tepat disebut sebagai “manusia cacat” dibandingkan para penyandang disabilitas yang memperjuangkan hak-hak mereka untuk hidup sebagai manusia seutuhnya. (FX Rudy Gunawan)

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 3

Pemimpin Perusahaan/ Pemimpin Redaksi FX Rudy Gunawan General Manager Jonna Damanik Redaktur Eksekutif Nestor Rico Tambunan Konsultan Yunanto Ali, Handoyo Sinta Nuriah Wahid Mohamad Sobary, Jefri Fernando Redaktur Irwan Dwi Kustanto Aria Indrawati Mila K. Kamil Purnama Ningsih Redaktur Bahasa Arwani Redaktur Kreatif Emilia Susiati Fotografer Adrian Mulya Ilustrator Didi Purnomo Pemasaran Sigit D. Pratama Administrasi Novita Rahamadhani Distribusi dan Sirkulasi Jonna Damanik PT Trubus Media Swadaya Diterbitkan Oleh: PT Diffa Swara Media Yayasan Mitra Netra Percetakan PT Penebar Swadaya Alamat Redaksi Jl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430 Telepon 62 21, 44278887 Faxs 62 21 3928562 e-mail redaksidiffa@gmail.com

diffa SETARA DALAM KEBERAGAMAN

33 1/20/11 6:15 PM


C

SAMBUNG RASA

Majalah diffa, media pembuka era baru bagi Indonesia Pembaca diffa yang terhormat, Disabled People’s International Asia-Pasifik mengucapkan selamat kepada Yayasan Mitra Netra atas peluncuran majalah baru dan inovatif, diffa! Disabled People’s International atau DPI didirikan pada tahun 1981 sebagai organisasi antar-disabilitas untuk orang-orang dengan disabilitas atau kebutuhan khusus. DPI, sebagai organisasi non-pemerintah dengan status sebagai penasihat bagi PBB,bekerja di bidang penegakan hak-hak asasi manusia bagi para penyandang disabilitas. Berkat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, semakin lama semakin banyak tersedia informasi mengenai disabilitas, terutama melalui internet. Meski demikian, sebagian besar informasi tersebut sering kali ditujukan kaum profesional atau para ahli disabilitas, dan terlalu sulit dipahami orang awam. Masyarakat umum, baik dengan maupun tanpa disabilitas, menghendaki informasi yang akurat dan bermanfaat tentang disabilitas. Dalam konteks ini, majalah diffa selayaknyalah menjadi media pembuka era baru bagi masyarakat Indonesia dengan berbagai alasan: majalah ini adalah majalah komersial yang diterbitkan oleh organisasi kaum disabel, Mitra Netra; majalah ini adalah hasil kerja sama dengan dunia usaha; dan majalah ini telah memperkenalkan berbagai kegiatan para penyandang disabilitas dengan cara yang menarik. Tahun lalu, bersama Persatuan Penyandang Cacat Indonesia, kami berhasil menyelenggarakan Konferensi Regional tentang ASEAN dan Disabilitas. Dalam konferensi ini, kami memutuskan mendirikan Forum Disabilitas ASEAN. Forum ini akan menjadi jembatan antara mereka yang bekerja di tingkat komunitas dan tingkat internasional untuk mempromosikan dan melindungi hakhak para penyandang disabilitas. Majalah diffa menyajikan liputan utama konferensi ini dalam edisi Januari dan Februari. Kami sangat berharap pembaca diffa, baik dengan maupun tanpa disabilitas, dapat menjadi rekan-rekan terbaik dalam Forum Disabilitas ASEAN.

Terima kasih banyak.

Salam, Saowalak Thongkuay Petugas Pengembangan Regional Disabled Peoples’ International Asia-Pasifik

4 Edisi 2 Februari ok.indd 4

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM


D

DAFTAR ISI

3 6

Tak Ada Manusia Cacat, yang Ada Hanya Manusia Interaksi

7 Membangun onferensi Regional K Disabilitas ASEAN

ASEAN Ramah Disabilitas

18

Arsitektur dan Sarana Kota yang Bersahabat

Rancangan Tangga dan Ramp Darurat

21

Australia Perangi Diskriminasi terhadap Autisme

46 48 50 51 52 56

Tunanetra, Berenang Yuk! Media dan Penyandang Disabilitas

Puisi Cermor Cerpen Biografi Louis Braille: Jalan Panjang Menuju Pengakuan

58

Ragam

24 Saat Salju Turun

di Utrecht

Indonesia sukses menjadi tuan rumah Konferensi Regional ASEAN un­tuk Penyandang Disabilitas, 1-2 Desember 2010. Pertemuan ini di­selenggarakan Persatuan Penyandang Cacat Indonesia dan Disabled People International Asia Pacific atas sponsor The Nippon Foundation. Konferensi mengambil momentum peringatan Hari Internasional Penyandang Disabilitas 3 Desember ini dihadiri lebih dari 100 peserta, umum­nya penggiat dan pemerhati gerakan disabilitas di ASEAN dan Asia Pasifik. Sebanyak 54 peserta dari negara-negara ASEAN, termasuk Timor Leste yang belum secara resmi bergabung dengan ASEAN, juga Jepang, China, dan Korea Selatan.

60 64 68 In Memoriam Inklusif

Selamat Tinggal “Penyandang Cacat”

28 30 32 38 40 42

Kolom Kang Sedjo

Konsultasi Pendidikan

Bisikan Angin

Mia Bustam

Jualan Lewat Internet

16

Wawancara dengan Ketua PPCI

Indonesia Belum Pernah Mendata Penyandang Disabilitas diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 5

Keluarga dengan Tantangan Istimewa Menjadi Pengusaha Pabrik Kata-kata Piranti Lunak untuk Penyandang Disleksia

70

Pelajaran Anak Tangga 5 1/20/11 6:15 PM


C

CERITA SAMPUL

S

aya dan Rhesa sangat senang saat mendapat kabar dari Mas Rudy Gunawan bahwa Endah N Rhesa akan melakukan sesi pemotretan untuk halaman depan majalah diffa edisi Februari 2011. Konsepnya “interaksi” bersama Balqis, anak tunanetra. Pada sore hari yang cerah itu, saya dan Rhesa tiba di kantor Voice of Human Rights di Ragunan, Jakarta Selatan. Saat turun dari mobil, saya mendapati seorang anak perempuan menangis, meronta, dan mengamuk di depan pagar kantor. Anak ini berkalikali menjerit minta pulang. Saya tertegun, terharu, dan sedikit panik. Oh, oh... bagaimanakah sesi pemotretan ini akan berlangsung? Setelah menyadari kehadiran kami, sang ibunda membujuk dan menggendong Balqis masuk ke dalam ruangan. Tangis, jeritan, dan kepanikan Balqis tidak berkurang sedikit pun. Saya dan Rhesa baru mengerti betapa berat tekanan dalam beradaptasi terhadap lingkungan baru bagi anak kecil tunanetra. Kata-kata hiburan dari semua orang yang hadir tidak berhasil menenangkan Balqis. Demikian pula kehadiran kami. Akhirnya saya mengambil gitar, menghampiri Balqis dan mulai mengajaknya bernyanyi. Namun, betapa hancur hati saya ketika ajakan disambut penolakan dan jeritan. Aduh... apa yang harus saya lakukan? Saya hampir putus asa. Lalu saya duduk di ruang foto dan bernyanyi sendiri dengan harapan Balqis mendengarkan suara saya. Lagu “Naik Delman” tampaknya menarik, karena bisa mengganti kata “delman” dengan “mobil”. Di sela-sela tangisannya, Balqis selalu minta kembali ke mobilnya dan pulang. “Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota. Naik mobil istimewa kududuk di muka. Kududuk samping ayahku yang sedang menyetir. Mengendarai mobil supaya baik jalannya. Brum… brum… brum….” Sangat tidak disangka, tangisan Balqis berangsur-angsur berhenti ketika mendengar saya dan Rhesa bernyanyi. Dengan penuh perhatian dan sedikit takut, dia mulai beranjak mendekat ke arah kami. Ibunda Balqis menemani sampai Balqis duduk di kursi di ruang foto. Fotografer diffa dengan sigap mengabadikan momen ini dan sesekali memberi pengarahan kepada saya dan Rhesa. Yah, saya dan Rhesa mulai berinteraksi dengan Balqis… melalui musik. Kemudian saya mengajak Balqis bernyanyi diiringi permainan gitar saya dan bass Rhesa. Ya Tuhan, betapa indah suara Balqis. Dia menyanyi dengan lantang dan tidak ada nada yang meleset. Ritem dan melodi dinyanyikannya dengan tepat. Kata demi kata diucapkan dengan jelas dan ekspresif. “Ayo Balqis, tadi kan balon hijaunya sudah meletus. Sekarang balon apa lagi yang meletus?” tanya saya di sela-sela kami bernyanyi. “Meletus balon ungu, dorrr….”kata Balqis sambil mengangkat tangan. Semua orang di ruangan itu tertawa. Kami pun terus bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan. Tidak terasa 30 menit berlalu dan sesi pemotretan berakhir. Spontanitas Balqis saat bernyanyi telah membawa keceriaan ke tengah ruangan. Sang ibunda tidak terlihat lelah sedikit pun dalam mendampingi Balqis. Aisyah, kakak perempuan Balqis yang tidak beda jauh usianya, juga ikut bernyanyi bersama. Telah terjadi interaksi di ruangan tersebut. Tidak hanya antara Endah N Rhesa dan Balqis, tapi juga semua orang yang ada di ruangan. Kami bernyanyi bersama, tertawa, bertepuk tangan. Melalui musik kita bisa berbagi keceriaan dan berkomunikasi. Saya dan Rhesa merasa beruntung mendapatkan kesempatan ini. Terima kasih diffa. Semoga terus menjadi majalah yang memberikan inspirasi bagi pembaca. n

foto: sigit d pratama

Interaksi

Endah

6 Edisi 2 Februari ok.indd 6

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM


RETINA

Konferensi Regional Disabilitas ASEAN

Membangun ASEAN Ramah Disabilitas diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 7

7 1/20/11 6:15 PM


8 Edisi 2 Februari ok.indd 8

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM


RETINA

I

“...pemerintah Indonesia mendukung upaya meningkatkan kualitas hidup serta pemenuhan hakhak penyandang disabilitas di ASEAN.” diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 9

ndonesia sukses menjadi tuan rumah Konferensi Regional ASEAN un­tuk Penyandang Disabilitas, 1-2 Desember 2010. Pertemuan ini di­ selenggarakan Persatuan Penyandang Cacat Indonesia dan Disabled People International Asia Pacific atas sponsor The Nippon Foundation. Konferensi mengambil momentum peringatan Hari Internasional Penyandang Disabilitas 3 Desember ini dihadiri lebih dari 100 peserta, umum­ nya penggiat dan pemerhati gerakan disabilitas di ASEAN dan Asia Pasifik. Sebanyak 54 peserta dari negara-negara ASEAN, termasuk Timor Leste yang belum secara resmi bergabung dengan ASEAN, juga Jepang, China, dan Korea Selatan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dalam sam­ butannya mengatakan, pemerintah Indonesia mendukung upaya meningkatkan kualitas hidup serta pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di ASEAN. Tujuan konferensi ini untuk menyepakati upaya-upaya mengarusutamakan persoalan disabilitas di wilayah ASEAN. Kebijakan pemerintah negara-negara ASEAN harus memiliki perspektif disabilitas, men­dorong isu disabilitas menjadi salah satu bidang kerja sama pemerintah negara-negara ASEAN, ser­­ta mendorong keterlibatan seluruh elemen ma­syarakat di kawasan ini. Serangkaian diskusi baik diskusi pleno maupun diskusi kelompok di­ la­­ku­kan secara paralel selama dua ha­ri konferensi. Diskusi membahas persoalan-persoalan strategis yang di­ hadapi penyandang disabilitas; pen­ didikan, pemberdayaan perempuan dan persoalan anak dengan disabilitas; peran dan pemberdayaan orang tua serta keluarga penyandang disabilitas; pemberdayaan ekonomi, bencana alam, akses teknologi informasi, kemandirian hidup pe­nyandang disabilitas, partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam kegiatan pembangunan termasuk di bidang politik, Millenium Development Goals (MDGs), partisipasi pemangku peran terkait pem­berdayaan penyandang disabilitas seperti lembaga donor dan sektor usaha serta peran media massa dalam mendukung promosi dan publikasi penyandang disabilitas. Pentas seni oleh kelompok seniman penyandang disabilitas mewarnai kon­ferensi, khususnya pada acara pembukaan dan penutupan. Mereka adalah ke­lompok tari Asosiasi Down Syndrom Indonesia, Differensia Band, dan Kelompok Campur Sari Sekolah Luar Biasa Rawinala. Konferensi ini menghasilkan “The Jakarta Declaration & Recommendation”, pemahaman dan kesepakatan bersama di antara organisasi penyandang

9 1/20/11 6:15 PM


10 Edisi 2 Februari ok.indd 10

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM


RETINA disabilitas di ASEAN, tentang pentingnya melakukan langkah bersama secara lebih terstruktur untuk mem­ percepat peningkatan kua­li­tas hidup dan pemenuhan hak para penyandang di­sabilitas, serta menyepakati ter­­­bentuknya ASEAN Disa­bility Forum (ADF) sebagai wahananya.

Dekade Disabilitas ASEAN Ide pembentukan ASEAN Disability Forum muncul pada regional workshop tentang Capacity Development of Self Help Organization on Disability di Bangkok, akhir Januari 2010, yang diselenggarakan Asia Pacific Deve­ lopment Center on Disability bersama Disabled People’s International Asia Pacific. Workshop tersebut disponsori Japan International Cooperation Agency. Pada pertemuan ini, komunitas penyandang disabili­ tas di wilayah ASEAN mulai menyadari kesenjangan pen­ capaian upaya peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas melalui dekade kedua penyandang disabili­tas Asia-Pasifik yang dica­nangkan United Nation Eco­­­nomic and Social Com­mittee for Asia Pacific pada tahun 2003 dan akan berakhir pada tahun 2012. Kesenjangan pencapaian terjadi antara negara-negara Asia Pasifik belahan utara seperti Korea, Jepang, Taiwan, dan China, dengan negaranegara Asia Pasifik belahan Selatan, yang umumnya negara-negara ASEAN. Hal ini dikarenakan perbedaan situasi negara, persoalan-persoalan yang dihadapi, dan bagaimana pemerintah serta masyarakat menangani dan menyikapi isu disabilitas. Perbedaan ini mendorong diperlukannya “pendekat­ an subregional” – ASEAN merupakan subregional Asia Pasifik. Negara-negara ASEAN memiliki ke­miripan situasi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta ke­ miripan persoalan. Hal ini memungkinkan negara-negara itu merumuskan langkah bersama untuk meng­­atasinya. Selama ini kerja sama di antara negara-negara ASEAN umumnya terbatas di bidang ekonomi, yang kemudian juga berkembang menjadi kerja sama di bidang sosial budaya. Sebelum tahun 2009, persoalan hak asasi manusia tidak pernah menjadi pembahasan di pertemuan para pemimpin negara ASEAN. Sejak tahun 2009 ASEAN telah memiliki mekanisme kerja sama bidang hak asasi manusia, yang ditandai dengan terbentuknya ASEAN Intergovermental Comission on Human Rights dan ASEAN Comission for The Promotion and Protection of The Rights of Women and Children. Namun, belum satu pun komisi yang membahas hak-hak penyandang disabilitas, perlindungan, dan pemenuhan hak anak dengan disabilitas serta perempuan dengan

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 11

disabilitas. “Sekitar 60 juta penyandang disabilitas di ASEAN masih termarjinalkan akibat ketiadaan aksesibilitas fasilitas fisik, hambatan akses ke informasi, sikap masyarakat dan pemerintah, serta ketiadaan dukungan sistem,” kata Saowalak Thongkuay, Regional Development Officer Disabled People’s International Asia-Pacific. Perempuan penggu­­na kursi roda asal Thailand ini berperan penting mengarahkan jalannya konferensi. Karena itu, diperlukan afirmative action untuk meng­­­­­­arusutamakan isu disabi­litas ke ASEAN human rights mechanism. Langkah awal yang disepakati adalah membentuk ASEAN Disability Forum, yang tidak hanya beranggotakan wakil dari komunitas penyandang disa­ bilitas, tetapi juga melibat­kan wakil masyarakat sipil se­­ perti akademisi, peneliti, pe­ngusaha, organisasi orang tua atau ke­luar­ga yang me­­miliki anak atau anggota ke­­­luarga de­ngan disabilitas, serta war­ta­wan. Forum serupa juga ada di ting­kat Asia-Pa­si­fik. Dari Asia-Pacific Disability Forum lahir Asia-Pacific Decade on Disability atau Dekade Penyandang Disabilitas Asia Pasifik, yang dimulai dengan dekade pertama pada tahun 1993-2002 dan dilanjutkan dekade kedua 2003-2012. Di struktur sekretariat ASEAN, sejak tahun 2010 isu di­sabilitas menjadi bagian dari divisi social welfare, family, and development. Ide pembentukan ASEAN Disability Forum sebagai me­dium komunikasi antara masyarakat dan pemerintah negara ASEAN mengerucut pada konferensi Desember 2010. Selanjutnya akan disampaikan pada pertemuan ting­kat tinggi negara-negara ASEAN pada 2011 di Jakarta. Setelah ADF terbentuk, diharapkan ada pertemuan rutin tahunan membahas aksi-aksi yang perlu dilakukan, mendorong pencanangan “Dekade Penyandang Disabilitas ASEAN” sebagai langkah intensif untuk mengakselerasi pe­ningkatan kualitas hidup dan pemenuhan hak pe­nyan­ dang disabilitas di ASEAN. Berkaitan dengan itu, rencana membentuk ASEAN Community pada tahun 2015 juga memasukkan komunitas dengan disabilitas menjadi ba­ gian yang tak terpisahkan.

Penghargaan Setelah berhasil menyepakati The Jakarta Declaration and Recommendation, konferensi ditutup dengan ma­ lam ramah tamah yang difasilitasi Kementerian Ne­gara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Men­­teri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Per­ lindungan Anak Linda Gumelar mengatakan sangat bangga pada prestasi para penyandang disabilitas. Meski

11 1/20/11 6:15 PM


12 12 Edisi 2 Februari ok.indd 12

JANUARI JANUARI2011 2011

diffa diffa 1/20/11 6:15 PM


RETINA demikian, diperlukan upaya lebih banyak untuk lebih mem­berdayakan mereka, termasuk perlindungan dan pemenuhan hak perempuan serta anak dengan disabilitas. Pada malam penutupan juga diberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang berjasa pada perjuangan pem­ berdayaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Juga mereka yang dipandang menjadi pelopor upaya mengarusutamakan penyandang disabilitas di bidangbidang tertentu. Penerima penghargaan tersebut adalah Monthian Bun­tan asal Thailand, pemerintah Filipina, dan PT Mas­ pion dari Indonesia.

Monthian Buntan Monthian Buntan terlahir sebagai tunanetra di desa kecil Phrai, sekitar 500 kilometer dari Bangkok , Thailand. Berkat kerja keras dan pantang menyerah, dia mendapat beasiswa untuk meraih master dan Phd di Minisota Uni­ ver­sity Amerika Serikat. Sekembali dari Amerika, dia mengajar di Ratchasuda Mahidol University. Di universitas ini Monthian ber­ ha­sil membangun sistem dukungan akademik untuk mahasiswa tunanetra. Thian, panggilan akrabnya, sangat aktif dan gigih dalam perjuangan disabilitas di negerinya, regional Asia Pasifik, bahkan di tingkat global, melalui Thai Association For The Blind yang dipimpinnya selama lima tahun terakhir. Monthian yang beristrikan perempuan Jepang ini gigih memperjuangkan akses tunanetra ke teknologi informasi dan komunikasi. Dia pernah mendapat ke­ per­­cayaan memimpin gerakan kampanye global ber­ ta­juk “Daisy for All”, ajakan untuk mengikuti standar desain universal dalam penyediaan informasi untuk me­­wujudkan akses informasi bagi semua yang digagas Daisy Consortium di Swedia. Daisy akronim dari Digital Accessible Information System. Selama dua tahun, Monthian juga aktif mewakili Thailand memberikan peran sangat berarti di Panitia Ad Hoc PBB New York yang melahirkan Convention on The Rights of Persons with Disability (CRPD) pada Desember 2006. Hingga kini, dalam setiap kesempatan, Thian se­ nan­­tiasa mendorong penyandang disabilitas di seluruh dunia memperjuangkan penandatanganan dan ratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabilitiesdi ne­gara masing-masing dan secara aktif mengajak ma­sya­ ra­kat luas mendukung perjuangan disabilitas. “Usaha mencapai Milenium Development Goals hingga kini masih sangat berat sebelah dan belum menjadikan

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 13

penyandang disabilitas sebagai salah satu fokus kelompok sasaran. Sedangkan kecenderungan fakta menunjukkan 20 tahun mendatang jumlah penduduk dunia usia lanjut akan bertambah sangat signifikan, sebagian besar dari mereka masih produktif dan mereka akan membutuhkan serta menikmati hasil perjuangan penyandang disabilitas saat ini. Jadi, seharusnya orang-orang yang saat ini tidak menyandang disabilitas juga mendukung perjuangan ka­ mi, demi masa depan mereka saat tua nanti,” kata Mon­ thian saat menjadi narasumber diskusi pleno kon­fe­rensi bertemakan membangun kebijakan yang berorientasi pada penyandang disabilitas di ASEAN. Pada tahun 2008 Monthian terpilih sebagai senator dan menjadi tunanetra pertama di Thailand yang men­­ duduki posisi tersebut. Di parlemen, Monthian ber­ ha­­sil mendorong lahirnya sistem jaminan sosial bagi pe­nyandang disabilitas di Thailand.

Pemerintah Filipina Sejak PBB mencanangkan 1981 sebagai Tahun Interna­ sio­nal Penyandang Disabilitas, Filipina merupakan ne­­­­­­­­­gara di ASEAN yang paling antusias membangun sis­ tem hukum untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas. Pemerintah Filipina te­ lah mengesahkan dan melaksanakan Undang-undang tentang Aksesibilitas Fasilitas dan Layanan Publik sejak tahun 1984, masih dalam tahun awal dekade penyandang disabilitas PBB, 1982-1993. Pada tahun 1992 Filipina mengeluarkan undangun­­­dang tentang penyandang disabilitas yang sangat kom­­­­­prehensif, Magna Carta for Disabled Persons, yang mempromosikan penghapusan hambatan-hambatan da­­­­­­ lam proses pengintegrasian penyandang disabilitas di ma­syarakat. Dalam sosialisasi dan penerapan undangun­dang ini, peran organisasi penyandang disabilitas dan lem­baga nonpemerintah pada umumnya sangat besar. Pemerintah Filipina juga memberikan respons yang sangat positif atas lahirnya Convention on The Rights of Persons with Disabilities. Mereka menandatangani kon­ vensi ini pada 25 September 2007 dan meratifikasinya pada 15 April 2008. Filipina adalah negara pertama di ASEAN yang meratifikasi konvensi ini. Panitia Pemberi Penghargaan Konferensi Regional berharap Filipina menjadi model penerapan Convention on The Rights of Persons with Disabilitiesdan mendorong pemerintah negara-negara ASEAN lainnya segera mera­ tifikasi konvensi tersebut.

13 1/20/11 6:15 PM


PT Maspion PT Maspion didirikan pada tahun 1962. Saat itu merupakan industri kecil yang memproduksi barangbarang keperluan rumah tangga dari bahan aluminium dan hanya memiliki delapan karyawan. Kini Maspion salah satu industri barang-barang rumah tangga yang unggul, dengan 13.000 karyawan. PT Maspion merupakan perusahaan di Indonesia yang memelopori penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas. Hal ini telah mereka mulai sejak awal tahun 1990-an. Perusahaan ini menerapkan semangat kesetaraan dalam penempatan tenaga kerja. Di tahun 1998 Maspion mempekerjakan 325 karyawan penyandang disabilitas di berbagai lini, termasuk manajemen.

14 Edisi 2 Februari ok.indd 14

Kebijakan penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas di PT Maspion bukan sekadar untuk memenuhi sistem kuota 1 persen yang diamanatkan UU 4/1997 tentang penyandang disabilitas, namun benar-benar karena semangat kesetaraan di bidang pemberdayaan sumber daya manusia. n Aria Indrawati

JANUARI 2011 2011 JANUARI

diffa 1/20/11 6:15 PM


Opa Mentu (67) di Tanawangko malah bilang rokok membuatnya lebih bersemangat dan bertenaga bekerja di kebun cengkehnya. “Rokok itu seperti batubara...,” katanya beramsal, “...abis batubara, kereta api nyanda bisa jalan”. Nah!

Kajian Ekonomi & Budaya 4 Kota

BETA PET TAWARANIE

n Syarief Hidayat & Andre Gusti Bara

K RETE K

warisan budaya & kesejahteraan

Bukan hanya Oma Timkuan perempuan yang merokok di Kombi. Seperti umumnya di seluruh Minahasa, terutama di pedesaan, perempuan merokok adalah hal biasa, bahkan juga para ibu muda dan gadis-gadis. Dari total 143 penduduk perempuan dewasa di Dusun Selolongan (salah satu dusun Desa Kombi, dusun kediaman Oma Timkuan), ternyata tidak kurang dari 81 orang (65,8%) adalah penghisap kretek. Untuk seluruh Desa Kombi, dari 526 orang warga perempuan dewasa, 347 orang (65,9%) adalah juga pengepul asap kretek.“Oma nyanda sakit?” Nenek itu menjawab sigap: “Oooo,,,sehat terus sampe sekarang... Nyanda pernah ada parangpuang marokok disini yang sakit parah... sakit-sakit yang biasa saja...”

Rezim kesehatan dan perdagangan bebas dunia kini menekan pemerintah Indonesia untuk membatasi ketat industri rokok. Mereka juga mempengaruhi satu organisasi keagamaan terbesar negeri ini untuk mengeluarkan ‘fatwa haram’ atas rokok. Bagi Indonesia, ini adalah genderang perang terhadap kretek, satusatunya industri asli Indonesia yang mampu bertahan lebih satu abad terhadap gelombang krisis perekonomian dunia. Bahkan, merupakan salah satu penyumbang cukai terbesar ke kas negara, menjadi tumpuan hidup utama jutaan petani tembakau, petani cengkeh, pedagang kecil, dan buruh pabrik besar maupun rumahan. Akankah kretek --warisan sejarah dan budaya unik nusantara-- nantinya benarbenar hanya akan dijumpai di museum?

KRETEK

Oma Timkuan (76) (GAMBAR BAWAH), seorang warga Desa Kombi, daerah penghasil cengkeh terbesar di Minahasa, adalah juga seorang penghisap kretek ‘kelas berat’. Nenek tua ini mengaku sudah merokok sejak usia 15 tahun, sejak tamat Sekolah Rakyat (SR) masa itu. Oma Timkuan berkisah bahwa sejak itu dia sudah menjadi seorang petani cengkeh, setiap hari berjalan kaki 7 kilometer dari rumahnya ke kebun. Kalau capek, dia berhenti di tepi jalan dan mulai menggulung kreteknya (menggunakan daun cengkeh, karena kertas sulit sekali waktu itu), lalu mengepul...!

PENYUNTING

ROEM TOPATIMASANG n PUTHUT EA n HASRIADI ARY P E N G A N TA R

INDONESIA BERDIKARI

INDONESIA BERDIKARI

ISBN: 978-602-8493-11-6

MOHAMMAD SOBARY

n Gambar Atas: salah seorang peserta ‘Istighotsah (Do’a Akbar) Masyarakat Pertembakauan’ di alun-alun Kota Temanggung, 8 Mei 2010, menggulung koran bekas lalu menyulutnya ibarat rokok untuk menyatakan protesnya terhadap rencana pemerintah membatasi ketat industri tembakau dan rokok n Sampul depan: seorang kakek di salah satu desa di Klaten, Jawa Tengah, menyulut klobot, kretek tradisional dengan gulungan daun jagung kering yang merupakan cikal-bakal kretek modern saat ini, tetapi masih tetap diproduksi baik oleh pabrikan besar maupun usaha rumahan n Sampul belakang: patung di depan Museum Kretek, Kota Kudus, Jawa Tengah; dan satu patahan ranting daun serta bunga cengkeh di Desa Senduk, Minahasa, Sulawesi Utara. Foto-foto: Armin Hari, Beta Pettawaranie Rancang sampul: Rumah Pakem

BOOKS FOR MANKIND diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 15

15 1/20/11 6:15 PM


EMPATI

Indonesia Belum Pernah Mendata Penyandang Disabilitas Tahun 2007, seluruh sekolah luar biasa di Indonesia hanya 1.390-an dan sebagian besar adalah SLB swasta. Berarti hanya ada 1 SLB untuk 4 sampai 5 kecamatan.

P

ersatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) berdiri sejak tahun 1987 dengan visi mewujudkan masyarakat inklusi, bebas hambatan berdasarkan hak asasi. Tak mudah mewujudkan niat mulia tersebut. Banyak pihak di negeri ini mengabaikan penyandang disabilitas. Bahkan, pemerintah pun berkesan kurang memperhatikan persoalan dan hak penyandang disabilitas. Bagaimana kondisi penyandang disabilitas di tanah air? Apa yang dilakukan pemerintah untuk mereka? Bagaimana peran lembaga non-pemerintah? Diffa mencari jawaban pada Siswadi, Ketua PPCI. Dalam Konferensi Regional Penyandang Disabilitas Asia-Pasifik di Jakarta, 1-3 Desember 2010, Siswadi boleh dibilang tokoh kunci penyelenggaraan ajang ini. Berikut petikan perbincangan dengan Siswadi. Jika kita coba memetakan persoalan-persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia, gambaran seperti

16 Edisi 2 Februari ok.indd 16

apa yang kita dapatkan? Gambaran pertama yang akan kita dapatkan jika kita melakukan pemetaan persoalan adalah kondisi rendahnya kualitas hidup yang dialami para penyandang cacat di Indonesia. Karena itu, mimpi kami adalah pembangunan manusia. Hal ini yang jelas terlihat. Tapi, pendataan serius untuk mengetahui kondisi sejelas-jelasnya, sampai saat ini belum dilakukan, baik oleh pemerintah maupun lembagalembaga non-pemerintah. Bahkan lembaga seperti UNDP (United Nations Development Programme) pun belum mendata penyandang disabilitas di Indonesia. Karena itu, PPCI lebih memilih memakai parameter indeks pembangunan manusia (human development index) untuk menentukan bagaimana upayaupaya meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas. Apa saja variabel dalam indeks pembangunan manusia yang dijadikan pegangan PPCI untuk menentukan skala prioritas persoalan dan programprogramnya? Variabel yang kami jadikan tolok ukur ada tiga bidang. Variabel pertama bidang pendidikan. Kedua, bidang kesehatan. Ketiga, masalah daya beli atau bidang ekonomi, baik kesempatan atau peluang kerja maupun peluang untuk membangun usaha mandiri atau wirausaha dalam skala sekecil apa pun. Dari bidang pendidikan saja, kita akan menemukan begitu banyak kenyataan memprihatinkan dan persoalan besar yang mungkin belum pernah ditangani dengan baik. Berapa banyak penyandang disabilitas yang berpendidikan sekolah menengah? Masih sangat JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM

foto: FX Rudi Gunawan

E


rendah jumlahnya. Dalam hal daya beli, sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-undang Tenaga kerja Nomor 4 tentang kuota 1 persen tenaga kerja penyandang cacat. Pengukuran ketiga variabel inilah yang ingin kami kembangkan.

foto: FX Rudi Gunawan

Apa langkah PPCI untuk mendorong pengembangan ketiga variabel tersebut? Bagaimana peran pemerintah yang diharapkan? Pertama, tentunya kita ingin pejabat publik, departemendepartemen pemerintah terkait, tidak memakai ukuran-ukuran kualitatif dalam memahami kondisi penyandang cacat, tapi mulai menerapkan ukuran yang dipakai dalam indeks pembangunan manusia. Ini harus dimulai dari pemerintah pusat, sehingga kemudian diikuti sampai tingkat kabupaten dan kota. Kalau pemerintah bisa fokus saja ketiga variabel tersebut, saya kira akan ada perbaikanperbaikan yang signifikan. Tapi sampai saat ini, soal tenaga kerja, baru sejumlah kecil perusahaan swasta yang

diffa diffa

JANUARI 2011 2011 JANUARI

Edisi 2 Februari ok.indd 17

serius memperkerjakan tenaga disabilitas. Sedangkan BUMN bahkan tidak ada satu pun yang sudah mempekerjakan tenaga disabilitas. Jadi, PPCI akan terus melakukan advokasi kepada pihak yang berwenang untuk mewujudkan perbaikan-perbaikan kondisi saat ini. Dari ketiga variabel tersebut, mana yang menjadi prioritas utama saat ini? Sebuah perubahan struktural harus dimulai dari pendidikan. Karena itu, PPCI memilih prioritas utama juga di variabel pendidikan. Rumusnya jelas, orang bodoh karena miskin, orang miskin cenderung cacat, dan orang cacat sangat berpotensi menjadi miskin. Mata rantai atau benang hitam ini hanya bisa diputus melalui pendidikan. Ya, hanya pendidikan yang bisa menjadi titik terang untuk keluar dari mata rantai itu. Namun, saat ini kita masih harus berjuang keras agar penyandang cacat bisa mengakses dan menikmati pendidikan yang sama dengan nonpenyandang cacat.

Jumlah ini kalau dibagi 7.000-an kecamatan di Indonesia, berarti untuk 4 sampai 5 kecamatan hanya tersedia 1 SLB. Bayangkan, betapa tidak memadainya kondisi ini. Soal kendala mobilitas saja, sudah sangat berat bagi penyandang cacat untuk bisa memiliki mobilitas antarkecamatan. Jangankan antarkecamatan, banyak penyandang disabilitas bahkan untuk bergerak keluar rumah saja sudah sulit. Belum lagi soal daya tampung SLB dibandingkan dengan jumlah penyandang cacat di 4-5 kecamatan, pasti sangat tidak memadai juga. Jadi, bahkan untuk soal pendidikan penyandang disabilitas saja, pekerjaan rumah bangsa kita masih sangat besar. n FX Rudy Gunawan

Mengapa? Menurut data tahun 2007, seluruh sekolah luar biasa di Indonesia hanya 1.390-an dan sebagian besar adalah SLB swasta.

17 1/20/11 6:15 PM


T

TAPAK

Arsitektur dan Sarana Kota yang Bersahabat Rancangan Tangga dan Ramp Darurat

K

ebakaran sering terjadi tiba-tiba. Selain menimbulkan kerugian materi, kebakaran sering menelan korban jiwa atau mengakibatkan cacat. Mestinya musibah itu bisa dihindari. Salah satunya dengan perencanaan arsitektur bangunan yang baik. Secara garis besar, ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam perancangan bangunan, yaitu: sistem pemadaman kebakaran dalam gedung, materi bahan bangunan, dan rute penyelamatan diri saat kebakaran. Mari membahas rute penyelamatan diri saat kebakaran, khususnya untuk low vision dan tunanetra.

Norwin Hajadi * rute penyelamatan dalam bangunan sampai ke tangga atau ramp kebakaran. Ketiga, tangga atau ramp kebakaran yang bebas dari efek kebakaran (api dan asap) dan aman digunakan. Beberapa petunjuk atau clue pada pintu darurat perlu diberikan untuk memudahkan tunanetra dalam penyelamatan diri. Petunjuk itu berupa penggunaan warna dan tekstur tertentu. Untuk memudahkan tunanetra dan pemakai kursi roda bermanuver, pintu disarankan memiliki lebar 1 meter hingga 1,2 meter. Disarankan lantai dari bahan yang tidak licin.

Tangga Darurat Bagian paling berbahaya dalam kebakaran adalah anak tangga. Keterjalannya dapat menyebabkan tunanetra terpeleset atau jatuh. Anak tangga juga menyulitkan pemakai kursi roda, karena tidak mungkin melaluinya tanpa bantuan atau digotong orang lain. Anak tangga sebaiknya dirancang dengan permukaan yang tidak licin dan ujung yang tidak tajam. Sebaiknya diberi nosing antislip. Lebar tangga minimal 1,2 meter.

Pintu Darurat Saat bahaya mengancam, dengan keterbatasan penglihatan, tunanetra hanya bisa mengandalkan indera lain untuk menyelamatkan diri. Kekurangan dalam perancangan tangga darurat, sering tidak ada petunjuk atau clue yang dapat dirasa indera selain penglihatan. Ada tiga hal penting dalam proses penyelamatan diri untuk tunanetra. Pertama, waktu yang dibutuhkan untuk menyelamatkan diri dari dalam bangunan. Kedua,

18 Edisi 2 Februari ok.indd 18

Bagian depan pintu darurat. Diberi tanda, antara lain warna yang kontras atau mencolok, lampu emergency, dan tactile tiles.

Pemasangan tactile tiles dengan warna mencolok pada setiap awal dan akhir tangga (bordes) untuk memudahkan tunanetra dan low vision.

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM


Setiap tangga dilengkapi handrail atau pegangan tangan berfungsi sebagai penambah stabilitas ketika berjalan di atas tangga, sehingga tidak terjatuh. Ketinggian handrail minimal 90 cm untuk dewasa dan 60 cm untuk anak-anak. Untuk kebutuhan tunanetra dan low vision, warna handrail dan railing harus kontras dengan dinding dan lantai. Handrail diberi garis yang dapat diraba dengan

Bordes yang harus dihindari. Patah dan berundak, sehingga menyulitkan. Bordes yang ideal.

mudah, sehingga tunanetra dapat mengetahui letak anak tangga.

Bordes

Bordes atau landing adalah bidang datar antara anak tangga yang digunakan sebagai tempat istirahat sementara sebelum tikungan menuju anak tangga yang lain. Bentuk yang dianjurkan berupa setengah lingkaran, karena sifat lengkungnya memudahkan tunanetra berjalan.

Rata dan melengkung.

Tangga dan handrail. Pemasangan tanda yang mudah diraba, warna mencolok, dan menyala dalam gelap.

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 19

19 1/20/11 6:15 PM


Fasilitas yang lebih ekstrem untuk lebih menjamin keselamatan tunanetra dalam penyelamatan diri dari dalam bangunan adalah ramp. Ramp adalah bidang miring, mirip lorong, tanpa undakan, sehingga memudahkan tunanetra melangkah cepat tanpa takut tersandung dan mudah dilalui pengguna kursi roda tanpa bantuan.

Gambaran ramp darurat yang ideal.

Panjang ramp dianjurkan maksimal 9 meter dan diikuti bidang datar untuk tempat istirahat sementara bagi pengguna kursi roda. Kemiringan yang dianjurkan minimal 1:12 atau kelandaian 7,5 derajat. Selain itu, hal–hal mendasar dalam rancangan pada tangga darurat, seperti pintu, lantai dan dinding, anak tangga dan bordes, handrail dan railing, serta petunjuk tambahan yang terdapat di tangga darurat, tetap disediakan. Memang, luas bangunan yang

dibutuhkan ramp lebih besar dibandingkan tangga. Namun, jika kita menghargai nyawa dan berpandangan keselamatan kaum disabel harus diperhatikan, ramp harus digunakan, terutama bila yang menggunakan bangunan banyak kaum disabel. n

* Norwin Hayadi, arsitek lulusan Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara Jakarta dan M.Sc (Building Science) dari National University of Singapore

Tetap dipasangi tanda-tanda seperti handrail dan tactile tiles pada bordes serta pentunjuk lain seperti halnya tangga darurat.

20 Edisi 2 Februari ok.indd 20

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:15 PM

Foto:www.theinspirationroom.com

Ramp Darurat


W Bob Howarth Seorang wartawan senior yang peduli pada isu disabilitas, kontributor diffa di Australia

Foto:www.theinspirationroom.com

Australia Perangi Diskriminasi terhadap Autisme

diffa

JANUARI 2011 2011 JANUARI

Edisi 2 Februari ok.indd 21

JENDELA

J

arga Australia dan pemerintahnya telah membuat perubahan besar dalam cara pandang masyarakat terhadap autisme di tahun-tahun terakhir ini. Disabilitas, menurut salah satu situs web terpopuler di Australia, digambarkan sebagai sekelompok gangguan kesehatan dengan pola tingkah laku yang serupa pada tiga hal utama – komunikasi, interaksi sosial, dan daya khayal. Istilah yang saat ini lebih disukai di Australia adalah Autism Spectrum Disorder (ASD) atau gangguan spektrum autisme; dengan penggunaan kata ‘spectrum’ karena tidak ada dua orang dengan gangguan spektrum autisme yang persis sama. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dinyatakan melanggar hukum di bawah undang-undang Australia. Pada Desember 2010 hal tersebut menjadi tajuk utama di seluruh negeri dengan kasus yang diajukan ke pengadilan. Kasus tersebut adalah penolakan sebuah sekolah swasta khusus perempuan untuk memberikan kesempatan kepada seorang anak penderita autisme berat mendapatkan pendidikan selama sembilan bulan dengan tidak menyediakan guru bantu yang terlatih secara khusus. Harian nasional The Australian melaporkan: dalam sebuah kasus yang dipercayai sebagai yang pertama untuk kasus jenis ini di Australia, Methodist Ladies College yang terletak di daerah pinggiran kota yang kaya di bagian barat Perth harus meminta maaf kepada orang tua murid, yaitu pasangan Andrew dan Mandy Mason Warga Australia dan pemerintahnya telah membuat perubahan besar dalam cara pandang masyarakat terhadap autisme di tahun-tahun terakhir ini. Disabilitas, menurut salah satu situs web terpopuler di Australia, digambarkan sebagai sekelompok gangguan kesehatan dengan pola tingkah laku yang serupa pada tiga hal utama – komunikasi, interaksi sosial, dan daya khayal.

21 1/20/11 6:16 PM


22 Edisi 2 Februari ok.indd 22

sekolah dasar untuk jangka waktu sembilan bulan. Akhirnya keluarga Mason mendaftarkan anak mereka ke sekolah swasta lain. Kasus ini telah berlangsung selama 2,5 tahun sejak keluarga Mason pertama kali menemui Komisi Hak-hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Kesempatan, di mana mereka tidak mencapai penyelesaian yang memuaskan. Baru dalam Desember 2010 kasus tersebut diselesaikan di Pengadilan Federal. Dengan pengecualian pada permintaan maaf sekolah tersebut, terminologi penyelesaian kasus tersebut dirahasiakan dan tidak diketahui apakah keluarga Mason mendapatkan penggantian biaya atau kompensasi. Dalam surat permintaan maafnya, Kepala Methodist Ladies College Rebecca Cody mengatakan, tindakantindakan yang diambil sekolahnya merupakan pelanggaran atas Undang-undang Diskriminasi terhadap Disabilitas Tahun 1992 dan Standar Disabilitas untuk Pendidikan Tahun 2005. Ms Cody mengatakan sekolahnya menerima argumen bahwa anak perempuan Mason “seharusnya diizinkan mengikuti kelas taman kanak-kanak dan prasekolah dasar tanpa gangguan, serta ditemani sepanjang waktu oleh seorang asisten pendidikan”. “Dewan sekolah MLC menyampaikan permintaan maaf yang tulus kepada Mr dan Mrs Mason,” kata surat tersebut. Mr Mason menyampaikan kepada harian The Australian bahwa Methodist Ladies College tidak pernah memberi tahu keduanya mengapa sekolah itu tidak dapat mempekerjakan seorang guru bantu terlatih; meskipun demikian hal itu bukan disebabkan masalah pendanaan, karena biaya yang dibutuhkan sebenarnya telah dipenuhi pemerintah negara bagian. Menurut situs web MLC, biaya sekolah di taman kanak-kanak sekitar A$ 9.500 per tahun. Ms Cody mengatakan, pada awalnya sekolahnya

JANUARI 2011 2011 JANUARI

diffa

Foto:www.theinspirationroom.com

Istilah yang saat ini lebih disukai di Australia adalah Autism Spectrum Disorder (ASD) atau gangguan spektrum autisme; dengan penggunaan kata ‘spectrum’ karena tidak ada dua orang dengan gangguan spektrum autisme yang persis sama. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dinyatakan melanggar hukum di bawah undang-undang Australia. Pada Desember 2010 hal tersebut menjadi tajuk utama di seluruh negeri dengan kasus yang diajukan ke pengadilan. Kasus tersebut adalah penolakan sebuah sekolah swasta khusus perempuan untuk memberikan kesempatan kepada seorang anak penderita autisme berat mendapatkan pendidikan selama sembilan bulan dengan tidak menyediakan guru bantu yang terlatih secara khusus. Harian nasional The Australian melaporkan: dalam sebuah kasus yang dipercayai sebagai yang pertama untuk kasus jenis ini di Australia, Methodist Ladies College yang terletak di daerah pinggiran kota yang kaya di bagian barat Perth harus meminta maaf kepada orang tua murid, yaitu pasangan Andrew dan Mandy Mason setelah keduanya mengajukan sekolah itu ke Pengadilan Federal Australia dan mendapatkan penyelesaian sebagaimana yang mereka inginkan. “Ini kemenangan besar untuk menunjukkan betapa undang-undang diskriminasi bekerja dengan baik dan melindungi kaum yang paling rentan tersakiti dalam masyarakat kita, yaitu anak-anak kecil yang tidak bisa menyuarakan aspirasi mereka sendiri,” kata Mrs Mason. “Semoga hal ini dapat menginspirasi para orang tua lain untuk melihat lebih jauh tentang bagaimana cara anakanak mereka mendapatkan hak-hak di sekolah.” Anak perempuan pasangan Andrew dan Mandy Mason, yang saat itu berusia empat tahun (identitasnya tidak diungkapkan sesuai perintah pengadilan) menderita autisme parah dan tidak dapat mengikuti pelajaran di kelas taman kanak-kanak dan kelas pra-

1/20/11 6:16 PM


Foto:www.theinspirationroom.com

memiliki asisten terlatih, namun gagal mendapatkan pengganti setelah perjanjian kerja dengan asisten tersebut selesai. Mrs Mason menyatakan, interaksi sosial sangat penting dalam terapi untuk anak perempuannya dan hal tersebut diabaikan sekolah selama sembilan bulan. Ia menyatakan anak perempuannya kini bisa mengembangkan diri di sekolah baru, yang telah bersedia “repot-repot membantu” mengakomodasi kebutuhan khususnya. “Ia membaca dan menulis dan berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah. Saya pikir cukup adil mengatakan ia mungkin anak paling populer di kelas tersebut.” Para orang tua di Australia mempunyai ruang lingkup dukungan dan layanan diagnosis yang luas begitu mempunyai kecurigaan bayi mereka menderita autisme. Para pejabat percaya rata-rata 1 dari 100 anak di Australia menderita beberapa macam gangguan spektrum autisme (ASD). Sesuai dengan arti “spektrum”, maka tidak ada diagnosis atau istilah tunggal dalam gangguan kesehatan jenis ini. Sebagai gantinya, ada beberapa istilah yang menempatkan penderita autisme pada titik-titik berbeda pada spektrum itu. Pada salah satu ujung spektrum digunakan istilah diagnosis seperti “Sindrom Asperger”, “Autisme pada Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi”, dan “Gangguan Perkembangan Pervasif” (PDD-NOS). Di ujung spektrum yang lain ditemukan istilah seperti “Autisme”, “Autisme Klasik”, dan “Autisme Kanner”. Warga Australia penderita Sindrom Asperger yang paling terkenal mungkin Julian Assange, penemu situs web Wikileaks dan penggiat internet. Banyak pakar medis mengatakan betapa tragis cara ia dibesarkan, berpindah sekolah paling tidak 12 kali, dan ketakutan karena “dipaksa bergabung dengan kelompok pembuat onar”. Semua itu merupakan gejala klasik disabilitas jenis ini. Kabar baik bagi penderita autisme adalah penelitian untuk menemukan cara-cara mengidentifikasi penyakit ini dan mendapatkan cara penanganan dini. Universitas Swinburne, Melbourne, mencari orang tua yang memiliki anak berusia dua sampai enam tahun untuk membantu

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 23

mengidentifikasi tanda-tanda biologis gangguan ASD. Penelitian ini mencakup mengambil contoh air seni anak dan orang tuanya untuk melengkapi survei. Tiap keluarga akan diberi A$ 50 (sekitar Rp 500.000) sebagai kompensasi untuk membantu para peneliti. Penanganan tersendiri untuk anak-anak kecil di wilayah-wilayah terpencil Australia dapat memakan biaya hingga A$ 180 per jam untuk terapi wicara dan sesi penanganan terapi khusus tersendiri, namun bantuan dengan biaya minimal sedang diusahakan bagi para penderita ASD di Pantai Sunshine Queensland. Negara bagian Queensland menyediakan dana A$ 1,5 juta per tahun bagi Yayasan AEIOU sebagai bagian program Inisiasi Intervensi Dini terhadap Autisme dan akan mendonasikan A$ 450.000 per tahun untuk mengelola pusat layanan khusus baru yang menawarkan program pengembangan berbasis kelompok dan program pendidikan dan terapi wicara selain terapi okupasi dan

Foto:www.ibtimes.com

fisioterapi. Pemerintah Federal menyediakan dana A$ 1,8 juta untuk mendirikan pusat layanan tersebut. Bagi keluarga Kaye dan Grant Morgan, pusat layanan baru itu membuat mereka tak perlu lagi berkendara 100 kilometer ke Brisbane untuk mendapatkan penanganan ASD bagi anak kembar mereka, Christian dan Benjamin. Nyonya Morgan mengatakan keduanya akan mengunjungi pusat layanan baru di kota Nambour sebelum didaftarkan ke kelas persiapan di sekolah umum. Para orang tua yang memiliki anak penderita ASD dapat mengunduh lebih banyak informasi mengenai kemajuan penanganan ASD di Australia dari puluhan situs web. Salah satu dari sekian situs terpopuler dengan tautan-tautan ke seluruh dunia berbasis di Melbourne dan dikelola oleh organisasi Autism Victoria adalah www. autismvictoria.org.au n

23 1/20/11 6:16 PM


J

JEJAK

Saat Salju T Tiba di Bandar Udara Schipol pada pagi buta itu, saya membayangkan salju turun menyelimuti Utrecht. Ya, tujuan saya Utrecht, kota kecil sekitar 45 menit - 1jam perjalanan kereta api dari Amsterdam, ibu kota Belanda. Pagi itu Bandara Schipol seakan masih tertidur lelap. Tak terlalu banyak pesawat yang mendarat pada pukul 4 pagi. Seharusnya ada orang yang akan menjemput saya. Namun, hingga 30 menit menunggu, tak ada satu pun penjemput yang membawa kertas bertuliskan nama saya. Satu per satu penumpang pesawat meninggalkan bandara, meninggalkan saya celingak-celinguk mencari orang yang menjemput. 24 Edisi 2 Februari ok.indd 24

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM


u Turun di Utrecht Foto-foto: FX Rudi Gunawan

Menyusuri Sepi dalam Dingin Tak habis pikir mengapa tak ada yang menjemput. Akhirnya saya memutuskan berangkat sendiri ke Utrecht. Setelah mencari tahu di information center cara ke Utrecht, saya bergegas ke stasiun kereta di lantai bawah bandara dan membeli tiket tujuan Utrecht. Harga tiket belasan euro. Lumayan mahal. Jika dirupiahkan mungkin sama dengan tarif naik kereta eksekutif Jakarta Yogjakarta. Tak soal, toh keretanya jauh lebih cepat, lebih bersih, dan lebih nyaman dibandingkan kereta eksekutif di negara kita. Tak sampai 15 menit menunggu, kereta tiba. Tepat waktu sesuai

diffa diffa

JANUARI 2011 2011 JANUARI

Edisi 2 Februari ok.indd 25

jadwal. Ini hal langka di negara kita. Oh ya, jangan segan bertanya untuk memastikan di jalur mana kereta yang akan dinaiki. Salah jalur bisa nyasar ke kota-kota lain. Jadi, bertanyalah sedetail mungkin, naik bus apa, berhenti di halte mana, dan seterusnya. Meski hanya kota kecil, dan umumnya begitulah kota-kota di Belanda selain Amsterdam, Utrecht tertata baik, rapi, dan artistik. Setiba di stasiun central Utrecht, kita bisa langsung menuju terminal bus kota di luar stasiun. Saya kembali bertanya kepada orang di terminal bus, mencari tahu harus naik bus apa untuk sampai ke guest house. Tempat menginap saya sebuah guest house kecil yang tidak untuk umum,

karena hanya diperuntukkan tamutamu lembaga yang peduli persoalan penegakan hak asasi manusia di negara-negara berkembang. Kali ini saya salah satu tamu lembaga itu. Udara dingin Utrecht pagi itu membekukan sebagian tubuh saya. Baru pukul 05.45. Gelap, dingin, dan lembap. Sarung tangan pun tak kuasa menghangatkan jemari yang kaku karena dingin. Bahkan untuk menjempit sebatang rokok pun terasa sulit. Bus melaju menyusuri sepi di sepanjang kota Utrecht. Hampir tak ada kendaraan melintas. Di Utrecht, pukul 06.00 orang-orang masih mendengkur dalam kehangatan pemanas kamar tidur dan selimut tebal. Padahal, warga Jakarta pada jam itu sudah

25 25 1/20/11 6:16 PM


bermacet-macet di jalanan. Tak sampai 15 menit, bus sampai di halte yang letaknya sekitar 200 meter dari guest house. Berjalanlah saya menyeret satu koper dan satu ransel di punggung dengan tubuh menggigil dan gemetar.

Menyaksikan Utrecht Memutih Sebenarnya saya sudah tak berharap melihat salju. Sebab, di seluruh Belanda salju nyaris tak turun di musim tahun itu, meski semua sungai sudah menjadi es dan bisa dijadikan tempat ice skating. Bahkan sungai-sungai es itu mulai sedikit mencair setelah beberapa hari saya berada di sana. Jadi, saya nikmati saja jalan-jalan di pusat kota Utrecht di mana semua keramaian dan hiburan bisa kita dapatkan dalam beberapa jam saja. Ya, Utrecht kota kecil yang tak

26 Edisi 2 Februari ok.indd 26

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM


lebih besar dari kota Bogor. Pusat kotanya di sekeliling stasiun central di mana ada banyak kafe, butik kecil, supermarket, sederetan toko cendera mata, beberapa mal, tempat-tempat kegiatan budaya, dan taman-taman yang sangat nyaman buat dudukduduk di musim panas. Pada musim dingin, jangan harap bisa dudukduduk di taman lebih dari 5 menit. Seorang teman yang tinggal di Den Haag tiba-tiba mengirim pesan singkat ke ponsel saya. “Salju turunkah di Utrecht?” Pesan ini membuat harapan saya untuk melihat salju turun di Utrecht bergelora lagi. Keyakinan saya menguat bahwa salju akan turun saat saya masih di kota ini. Dan, keyakinan yang kuat memang bisa mewujudkan keinginan atau harapan. Tentu, untuk urusan salju memang harus ada campur tangan kekuatan dan kekuasaan

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 27

yang mengatur alam. Jadi, kita tak bisa menambahkan kata “kerja keras” pada unsur “keyakinan” tersebut. Yang bisa kita tambahkan adalah unsur “doa”. Saya biarkan keyakinan itu diam-diam tumbuh dan menguat, meski beberapa hari lagi saya akan meninggalkan Utrecht untuk pergi ke kota lainnya. Esoknya saat terbangun pada pagi buta yang dingin dan mengintip dari tirai jendela kamar, saya mendapati Utrecht telah menjadi putih berselimut salju yang baru turun beberapa jam. Ajaib! Benar-benar seperti sebuah keajaiban yang nyata. Saya terpesona melihat butir-butir salju perlahan-lahan memenuhi udara dan jatuh satu-satu. Jalanan, taman, halte, mobil-mobil, atap-atap rumah satu per satu menjadi putih. Saya terpana di depan jendela kamar. Beberapa kemudian bergegas menghambur keluar rumah untuk merasakan salju di tubuh saya. Ternyata keyakinan yang kuat memang dapat membuat harapan dan keinginan yang sulit sekalipun menjadi kenyataan. Termasuk keinginan untuk melihat salju turun di Utrecht. n FX Rudy Gunawan

27 1/20/11 6:16 PM


K

Mohamad Sobary

Di Hati Mereka, Kita Memang Tak Ada

T

im peneliti Institute for Ecosoc Rights pada tahun 2007 menebitkan buku Mendengarkan Kota. Buku ini berisi kajian mengenai perbandingan kota dan komunitas miskin, antara Jakarta dan Bangkok. Kota Bangkok dulu “sakit”, sama seperti Jakarta, tapi Bangkok sembuh karena mampu belajar mendengar “suara-suara kota”, antara lain suara kelompok miskin, yang untuk waktu lama hanya dianggap sumber masalah. Para perencana kota dan perumus kebijakan publik di Bangkok sadar bahwa selama ini mereka keliru. Kaum miskin ternyata juga merupakan aktor penataan kota. Kaum miskin di bantaran sungai tidak diusir, tetapi

28 Edisi 2 Februari ok.indd 28

diberi status “merdeka”, dan diajak mengelola sungai agar sungai menjadi bersih. Mereka pun, tanpa banyak cingcong, memenuhi anjuran itu. Bukan hanya sungai yang mereka bikin bersih, melainkan juga lingkungan sekitar. Mereka juga menjaga bahwa kaum miskin bukan sumber gangguan keamanan kota. Bukan. Mengapa kaum miskin kota – juga penghuni yang disebut “liar” di sepanjang bantaran sungai-sungai di Jakarta – tak didengar apa maunya, dan tak dilibatkan untuk turut menata kota dengan inisiatif dan kreativitas mereka sendiri, yang biasanya serba swadaya dan tak mengganggu anggaran belanja pemerintah, yang hendak mereka korup untuk memperkaya diri? Dulu, dan sekarang, kaum miskin masih dianggap sebagai masalah kota. Orang-orang partai di DPRD, dan para birokrat – para pejabat DKI Jakarta – apa yang kalian kerjakan dari hari ke hari dalam rentang waktu bertahun-tahun itu? Mengapa orang Bangkok bisa berpikir, berolah budi, dan membikin jiwa lebih sensitif, dan mengapa kalian tidak? Apa yang kalian kaji, tiap saat menggunakan uang rakyat untuk melakukan studi banding di luar negeri? Apa yang kalian pelajari dan mana hasilnya? Mengapa kota tidak sembuh, dan tak menjadi semakin manusiawi terhadap mereka yang lemah dan tak berdaya? Di Jakarta, para perencana tata kota dan perumus kebijakan publik – juga DPRD – masih tetap sakit dan mungkin tak akan sembuh. Di Jakarta, fenomena menarik bahwa kaum miskin -- para pedagang asongan, tukang jamu gendongan, ataupun pedagang makanan yang menggunakan gerobak dorong, dan warung-warung darurat di pinggir-pinggir jalan -- menghidupi warga kelas menengah kota, tak menjadi catatan kesadaran apa JANUARI 2011

Ilustrator: didot purnomo

KOLOM KANG SEJO

diffa 1/20/11 6:16 PM


Ilustrator: didot purnomo

pun, dan tak ada tindakan untuk mengubah kebijakan atas dasar fenomena itu. Mengapa tak ada? Dan mengapa kemungkinan besar memang tak akan ada? Pemerintah kota – juga dunia perbankan – bisa bersikap gegap gempita melayani kaum pemodal besar, dengan sikap seperti pelayan mengabdi tuan besar. Mentalitas pelayan memang melekat di dalam jiwa mereka. Dan mau minta apa pun mereka kepada Jakarta niscaya dikasih. Dan kepada semua bank, mau pinjam berapa pun mereka – dan kalau tidak meminjam justru ditawari agar “berkenan” meminjam – tak mungkin ditolak. Namun, adakah kesediaan bank-bank itu memberi kaum miskin pinjaman? Fenomena menarik di Jakarta – juga di Indonesia pada umumnya – bahwa microfinance, kekuatan dunia usaha kecil, yang isinya orangorang gigih dan kreatif mengembangkan usahausaha kerakyatan – yang kemampuan finansialnya kecil tapi sangat mandiri – jumlahnya lebih dari 40 juta jiwa. Jika setiap orang menghidup tiga jiwa, maka di bawah kekuatan ekonomi kerakyatan yang mandiri ini ada 120 juta jiwa menggantungkan hidupnya. Namun, adakah pihak yang mau menaruh perhatian terhadap fenomena ini, dan menjadikannya suatu modal mengembangkan ekonomi kita? Kaum miskin – juga atau apalagi para penyandang disabilitas – tak diperhatikan. Tak ada di antara otoritas perbankan, yang pada hakikatnya berdagang itu, yang bersedia berpikir lain, dan tak terkungkung kebiasaan lama yang beku dan membatu. Dunia perbankan tak menjadikan mereka suatu kekuatan ekonomi. Orang partai, yang sebagian gigih bicara perda syariah – kita tahu di berbagai daerah hal itu disebut perda bermasalah – tak ada yang mau membuang waktu untuk mencari jalan membantu kaum miskin dan kaum penyandang disabilitas. Tak ada yang mau

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 29

berpikir bahwa membantu mereka itu pun merupakan perjuanganh agama. Tidak ada. Kelihatannya, apa yang tak memungkinkan mereka menjadi sangat tenar dan menguasai media, tak perlu diperhatikan. Mereka tak begitu peduli dikutuk telah mendustakan agama. Mereka tak pernah risau disebut orang sembahyang yang celaka sembahyangnya, karena membiarkan kaum miskin – anak yatim piatu – kelaparan, tanpa memberi mereka makanan. Tidak ada rasa peduli pada mereka. Para pejabat kota, perumus kebijakan kota, dewan kota dan DPRD, tak ada yang mau berpikir agak ruwet sedikit. Inilah sikap mereka terhadap kaum miskin perkotaan: bagian terbesar penduduk tiap kota di negeri kita. Bagaimana mereka menyikapi suatu kelompok, dengan persoalan khusus, yang disebut kaum penyandang disabilitas? Kalau kelompok itu berkumpul, dan pertanyaan itu terdengar mereka, kita bisa menduga, jawabnya niscaya jelas: “Di hati mereka, mungkin kita memang tak ada.” Di dalam hati para pejabat kota, para perumus kebijakan kota, dan para perancang kota, ataupun di hati para anggota DPRD, kelihatannya mereka memang tak ada. Struktur kota dan segenap fasilitas umum di kota-kota di seluruh tanah air dibuat dan disediakan semata untuk kelompok orang kaya, kelas menengah, dan buat mereka yang tak menyandang disabilitas. Kota yang sakit dibangun dengan jiwa yang juga sakit, tidak adil, dan tidak realistis memandang struktur penduduk di dalamnya. Setiap warga negara – juga kelompok-kelompok penyandang disabilitas – berhak memperoleh pelayanan seperti kelompok lain di dalam masyarakat. Hak mereka dijamin. Namun, di sini persoalannya: hak, di manamana, tak secara otomatis bisa diperoleh. Kita tak bisa duduk-duduk menanti datangnya hak itu. Di manamana, diperlukan perjuangan. Dan mungkin melelahkan. Namun, itu mungkin tak bisa dihindarkan. Karena kesadaran kita menyatakan, sekali lagi, “di hati mereka mungkin kita memang tak ada”, maka kita harus membobol tembok hati mereka yang beku, agar para perencana tata kota, perumus kebijakan kota, wali kota, dewan kota, DPRD, gubernur, dan para pebisnis makin sadar bahwa kaum penyandang disabilitas juga warga kota yang berhak ikut menikmati kota. Kaum penyandang disabilitas berhak memperoleh apa yang juga diperoleh warga kota lainnya. Mereka tak ingin dimarginalkan. Mereka tak ingin dianggap tak ada. n

29 1/20/11 6:16 PM


K

KONSULTASI PENDIDIKAN

Yth Bapak Asep Supena Nama saya Ratih. Anak sulung saya bersekolah di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Saya mempercayakan pendidikan anak pada sekolah tersebut karena awalnya saya berpendapat sekolah tersebut baik dan berstandar internasional. Tahun ini sekolah tersebut menerima seorang murid tunarungu. Saya dan beberapa orang tua murid sempat menyampaikan keberatan kepada pihak sekolah. Menurut kami, anak tunarungu seharusnya bersekolah di sekolah khusus dan bukan di sekolah umum. Atas protes kami, sekolah kemudian mengadakan pertemuan dengan orang tua murid dan memberikan penjelasan. Namun, keputusan sekolah tetap, yaitu mengizinkan siswa tunarungu tersebut bersekolah di sekolah ini. Saya tidak mengerti atas keputusan itu. Saya sedang mempertimbangkan memindahkan anak saya ke sekolah lain. Bagaimana pendapat Bapak? Terima kasih. Â

30 30 Edisi 2 Februari ok.indd 30

JANUARI JANUARI2011 2011

diffa diffa 1/20/11 6:16 PM


Sekolah yang Ramah

diffa diffa

JANUARI JANUARI2011 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 31

berkebutuhan khusus, anak-anak kita diharapkan menumbuhkan rasa syukur atas kesehatan fisik dan psikis yang dianugerahkan Tuhan. Kita juga berharap tumbuh pada mereka sifat menghargai perbedaan, membantu yang lemah, dan bentukbentuk kepribadian mulia lainnya. Saya pikir, kecerdasan emosi dan sosial sama pentingnya dengan nilai dan prestasi akademik. Bahkan, boleh jadi kecerdasan emosi-sosial lebih penting untuk kehidupan di masyarakat. Coba kita bayangkan, seandainya kita atau anak kita yang mengalami

Dr. Asep Supena, M.Psi

Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta

Ilustrator: didot purnomo

D

Ibu Ratih yang saya hormati. unia internasional saat ini sedang gencar mengusung konsep “pendidikan inklusif”. Pendidikan inklusif adalah sebuah filosofi sekaligus strategi penyelenggaraan pendidikan yang menempatkan semua anak dari berbagai kondisi dapat mengikuti pendidikan secara bersama dalam satu lingkungan yang sama. Tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, kemampuan, status sosial-ekonomi, dan lain-lain. Anak-anak disabilitas atau sering juga disebut dengan istilah anak berkebutuhan khusus juga termasuk dalam cakupun pengertian pendidikan inklusif. Artinya anak-anak berkebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa diberi peluang dan difasilitasi untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum. Anak-anak berkebutuhan khusus di negara maju seperti Amerika dan Eropa sebagian besar mengikuti pendidikan di sekolah reguler (umum). Jadi, ironis, ketika dunia internasional mendorong pendidikan inklusif, malah sekolah di Indonesia yang notabene sekolah internasional, didorong untuk menjadi eksklusif. Ibu Ratih yang saya hormati. Saya pikir kita sepakat bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar meningkatkan kecerdasan yang ditandai dengan nilai dan hasil ujian nasional. Kita ingin anak-anak kita tidak sekadar pandai, tetapi memiliki kematangan emosi dan kepribadian yang mulia. Dengan melihat dan berinteraksi dengan anak-anak

tunarungu. Kemudian orangorang di sekitar kita menolak anak kita bersekolah di suatu sekolah, bagaimana terkoyaknya perasaan seorang ibu. Ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”. Lantas Ibu Ratih akan bertanya, mengapa anak saya tidak boleh sekolah di sini? Bukankah anak saya manusia sebagaimana anak-anak lainnya? Apakah anak saya jahat sehingga tidak layak belajar bersama dengan anak-anak lainnya? Bukankah anak saya mampu untuk belajar bersama dengan mereka? Dan bukankah anak saya juga sama-sama memiliki

hak untuk mengikuti pendidikan di sekolah ini? Saya pikir ini adalah renungan untuk sampai pada kesimpulan bahwa tidak seharusnya kita takut mengikuti pendidikan atau keluar dari suatu sekolah karena ada siswa tunarungu di dalamnya. Anak berkebutuhan khusus, termasuk tunarungu, adalah manusia sebagaimana kita juga manusia. Mereka punya hak, punya keinginan, dan punya pilihan sebagaimana kita juga memiliki itu semua. Mereka manusia normal, hanya memiliki kekurangan dalam mendengar, sebagaimana kita juga orang normal tetapi memiliki kekurangan pada bidang yang lain. Kebutuhan khusus harus dilihat sebagai suatu perbedaan sebagaimana kenyataan bahwa setiap manusia adalah berbeda, bukan ketidaknormalan. Dan satu hal yang patut kita renungkan adalah ketunarunguan yang ada pada mereka bukan keadaan yang mereka inginkan. Jadi, bantulah mereka dengan memberi kesempatan untuk hidup dan belajar secara bersama. Boleh jadi mereka mampu berprestasi lebih baik. n

31 31 1/20/11 6:16 PM


S

SOSOK

Habibie Afsyah

Jualan Lewat

M

elangkah sejauh kaki lelah. Berupaya sejauh bisa. Begitulah prinsip orang yang memiliki semangat dan ingin sukses. Spirit itu digenggam Habibie Afsyah. Habibie memiliki keterbatasan dalam bergerak dan harus duduk di atas kursi roda karena mengalami gangguan syaraf motorik. Namun, ia tak diam pasrah. Ia berusaha memiliki penghasilan sendiri, dengan menggeluti marketing online. Dan ia amat berterima kasih atas dukungan sang ibunda.

Perjuangan Dalam Keterbatasan Foto-foto: Adrian Mulya

Meski penuh keterbatasan, Habibie berusaha memiliki penghasilan. Dari atas kursi roda, lewat gerakan jemari di atas tuts komputer, ia menggeluti internet marketing. Ia ingin sukses dan membagi ilmu kepada saudara sesama penyandang disabilitas. 32 Edisi 2 Februari ok.indd 32

Habibie Afsyah lahir di Jakarta, 6 Januari 1988, sebagai anak tunggal pasangan Endang Setyati dan Nasori Sugianto. Habibie terlahir sempurna tanpa indikasi kelainan. Habibie kecil adalah bayi yang montok dan sehat. Namun, pada usia sembilan bulan mulai timbul kecurigaan kedua orang tuanya terhadap perkembangan Habibie. Pertumbuhannya terlihat lamban. Awalnya, dokter syaraf yang memeriksa menganalisis Habibie hanya mengalami keterlambatan pertumbuhan. Namun, setelah ditangani dokter yang lebih ahli dan menjalani berbagai pemeriksaan, Habibe dinyatakan menderita Muscular Dystrophy Progressive tipe Backer, yaitu kelainan di otak kecil yang mengakibatkan gangguan pada perkembangan syaraf motorik dan menghambat pertumbuhan. Penyakit ini bersifat progresif, mengakibatkan tubuh tidak dapat membentuk otot sesuai perkembangan usia dan mengalami kelainan. Bahkan, ada dokter yang meramalkan umur Habibie hanya sampai 25 tahun. “Sebagai manusia JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM


wat Internet biasa, saya sempat down,” kenang Endang, ibunda Habibie. Namun, Endang sadar tidak boleh tenggelam dalam kesedihan. “Saya harus mencari solusi agar Habibie dapat terus bertahan dengan keadaannya. Saya terus memberikan motivasi agar ia memiliki spirit atau motivasi hidup. Agar motivasi tersebut dapat membentuk sistem imun dalam diri Habibie untuk terus bertahan,” kata pegawai PT Perhutani ini. Untuk mendukung semangat itu, Endang berusaha selalu memberikan yang terbaik kepada anaknya, termasuk dalam hal pendidikan. Setelah menyelesaikan SD-SLB Bagian D di YPAC, tahun 2000, Habibie dimasukkan ke sekolah umum di SMP Yayasan Triguna. Lulus SMP, Habibie melanjut ke SMU Yayasan Sunda Kelapa dan lulus tahun 2006. Penyakit yang diderita Habibie memang tidak berpengaruh terhadap kinerja otak. Hanya pertumbuhan fisik atau otot sendi tubuh yang tidak berfungsi normal. Bahkan, menurut seorang psikolog, Habibie tergolong cerdas.

Internet Marketing Selain masuk sekolah inklusi, sejak kecil Habibie diberikan segala permainan yang bisa merangsang saraf motorik. Habibie kemudian hobi memainkan game seperti Nintendo hingga Playstation. Endang memanfaatkan hobi itu untuk mengarahkan sang anak menyukai dunia wirausaha. Habibie dipercayakan mengelola sebuah rental Playstation. Endang menyadari betul Habibie harus bisa mandiri. “Dengan kondisi Habibie yang seperti ini, kecil harapan ia diterima bekerja sebagai karyawan. Karena itu, saya mulai mengarahkan Habibie ke dunia wirausaha atau entrepreneurship agar kelak mandiri,” tuturnya.

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 33

Alasan itu pula yang menjadi bahan pertimbangan Habibie tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setelah lulus SMA. Endang berusaha mencari jalan yang lebih tepat dan memungkinkan anaknya sukses. Habibie diikutkan Kursus Dasar Internet Marketing. Biayanya cukup besar, Rp 5 juta, karena tutornya dari Singapura. Usai mengikuti kursus tersebut, Habibie mengaku tidak tahu harus melakukan apa. Ia merasa benar-benar masih buta tentang bidang yang baru dipelajarinya itu. Namun, Endang terus memotivasi untuk mengikuti kursus tingkat lanjut (advanced). Tutornya sama, tapi biayanya Rp 15 juta. Habibie sempat menolak karena tidak enak melihat ibunya harus menjual mobil agar ia bisa ikut pelatihan tersebut. Namun Endang terus memberikan semangat. “Saya sudah punya feeling, Habibie akan sukses di sini,” ujar Endang. Habibie mengikuti “kuliah” setiap 2 minggu selama 3 bulan. Setelah belajar 3 minggu, Habibie berhasil melakukan penjualan pertama dari amazon.com sebuah produk permainan game PS3. Meski komisinya hanya US$ 24, Habibie senang bukan kepalang. Sebenarnya komisi pertama itu masih rugi, karena biaya iklan lebih besar. Habibie terus berusaha sampai bisa mendapatkan komisi $ 124, $ 500, $ 1.000, bahkan $ 2. 000 dari Amazon. Semua memerlukan proses belajar dan praktik secara konsisten. Total uang yang pernah diperoleh Habibie dari Amazon.com US$ 5.600 atau sekitar Rp 50 juta. Penghasilan dari situs perdagangan online yang berpusat di Amerika itu dipakai untuk mengikuti kursus internet

33 1/20/11 6:16 PM


marketing lain, antara lain Eprofitmatrix, Dokterpim, dan Indonesia Bootcamp. Sayang, belakangan perkembangan bisnis online di Amazon.com agak sepi, karena dampak krisis ekonomi di Amerika. Karena tidak menguntungkan, Habibie menutup situsnya di Amazone dan beralih ke pasar online dalam negeri, dengan menyasar penjualan produk automotif dan elektronik. Salah satunya, ia dipercaya memasarkan mobil KIA. Habibie mengaku sudah berhasil memasarkan sekitar 15 mobil. Dari setiap transaksi mobil itu ia mendapat komisi Rp 500.000 hingga Rp 600.000. Ia mengaku lebih menyukai pemasaran mobil. “Komisinya lebih besar,” ujarnya sambil tersenyum. Dia pun bercita-cita dipercaya menjadi agen penjualan mobil-mobil merek terkenal.

Merintis Langkah Sosial Selain berjualan lewat internet, sejak dua tahun lalu Habibie juga mulai dilibatkan menjadi trainer di Eprofitmatrix bersama gurunya, Suwandi Chow. Sejak itu Habibie sering diundang menjadi pembicara di seminar mengenai internet marketing di kampus-kampus, hingga diliput berbagai media. Puncaknya ketika menjadi tamu pada salah satu episode “Kick Andy” di Metro TV. Habibie bersama sang ibunda juga sering diundang memberikan pelatihan motivasi. Antara lain untuk penyandang disabilitas. “Paket komplet jadinya. Habibie bicara tentang internet marketing, saya training motivasinya,” ujar Endang sambil tertawa. Habibie telah menuangkan semua pengalaman dan perjuangan hidup itu dalam buku Kelemahanku adalah Kekuatanku. Dalam waktu dekat Endang juga akan menerbitkan buku berisi pengalaman dalam mendampingi dan memotivasi Habibie menjalani hidup. Seperti karya Habibie, buku tersebut diharapkan menjadi sumber inspirasi dan motifasi, terutama bagi kaum penyandang disabilitas dan keluarga. Atas dasar semangat itu pula, Habibie mendirikan Yayasan Habibie Afsyah. Yayasan ini diharapkan menjadi payung kegiatan-kegiatan di bidang sosial, antara lain memberikan pelatihan motivasi dan pengetahuan

34 Edisi 2 Februari ok.indd 34

internet marketing kepada sesama penyandang disabilitas. Yayasan ini mempunyai kantor tersendiri, berhadapan dengan rumah mereka di kawasan Karet Setiabudi, Jakarta Selatan.

Harapan Dalam Cinta Begitu besar peran sang ibu dalam perjalanan hidup Habibie. Apa arti ibu bagi dia? “Penting banget! Pokoknya VIP, very important person banget,” kata Habibie tanpa ragu. “Apa yang ada dari aku, sama aja dari mama juga.” Sebaliknya, apa arti Habibie bagi sang ibu? “Habibie itu lebih dari sekadar membanggakan. Ibaratnya Habibie itu cahaya. Kalau bukan karena Habibie, mungkin orang lain tidak tahu siapa Endang,” kata sang ibu dengan haru. Ikatan ibu dan anak ini memang terasa begitu rekat. Ketika ditanya, jika suatu saat nanti ibu sudah tidak ada, apa yang ingin Habibie sampaikan? “Terima kasih banget. Kalau bisa sih, tetap sama-sama terus. Tapi kalau nggak bisa, aku ingin terusin cita-cita mama. Mama jiwa sosialnya tinggi, jadi ingin nerusin. Aku juga mau go international. Biar mama tetep hidup di hatiku,” ujar Habibie yakin. Harapan untuk anak tercinta, Endang berucap, “Semoga Habibie bisa mandiri secara moral dan semangat walaupun fisiknya tidak bisa. Semoga kelak bertemu dengan orang yang ikhlas mau merawat Habibie, karena Habibie nggak mungkin sendirian. Habibie jangan patah semangat dan harus terus semangat, agar kelak bisa go international. Ya, syukur kalau saya masih bisa hidup dan bisa lihat saat-saat itu.” Banyak pelajaran bisa diambil dari kisah perjuangan Habibie bersama sang ibu. Semangat untuk survive dan meraih sukses patut ditiru. Kisah ibu dan anak ini memberi pelajaran bahwa harus mensyukuri karunia Tuhan kepada kita. Sehebat apa pun kita, tidak pernah sanggup hidup sendiri. Selalu ada pribadi-pribadi yang hebat di balik sosok-sosok yang luar biasa. n Tim TGP (Lia, Anita, Maria, Ahmad, Fitria) Foto-foto: Arif TGP

JANUARI JANUARI 2011 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM


APRESIASI

A

Look What We’ve Found Hari Indah Bersama Endah N Rhesa

D

engarlah Endah N Rhesa di pagi hari, maka pagimu akan bersinar dalam tenang, penuh semangat hidup. Dengarlah mereka di siang hari, maka siangmu akan menjadi sejuk dan nyaman meski terik matahari menyengat. Dengarlah mereka di senja hari, maka senjamu akan menjadi senja di pantai indah dan damai, walau dirimu tengah terjebak traffic jam Jakarta yang mengerikan. Dengarlah Endah N Rhesa di malam hari, maka malammu akan menjadi damai dan romantis seolah gairah bulan purnama menerobos memenuhi kamar, meski hujan lebat mengguyur malam. Itulah yang akan kita temukan dan dapatkan saat menikmati album kedua Endah N Rhesa yang bertajuk Look What We’ve Found. “Monkey Song” yang mengawali album ini membawa dalam suasana akustik yang kuat. Petikan khas gitar Endah dan kekuatan betotan bass Rhesa berpadu harmonis, bersenyawa dalam olah vokal Endah yang jernih, bening, dan endah (apik). Kesederhanaan adalah kekuatan konsep musik akustik Endah N Rhesa yang sangat kental dan konsisten dipertahankan pasangan muda ini dalam album kedua mereka. Album berisi 10 lagu ini mengambil tema nuansa musik dan atmosfer Afrika yang ditegaskan juga melalui desain artistik sampul album dan isinya yang sangat Afrika. Pada lagu “Monkey Song”, lagu keempat “Kou Kou the Fisherman”, dan lagu keenam “Mirror Spell”, nuansa dan atmosfer Afrika terasa lebih kental melalui gaya vokal Endah yang mengadopsi bunyi-bunyian Afrika dan diperkuat betotan bass Rhesa. Lagu-lagu lainnya bertema lebih personal seperti kerinduan, kenangan indah, penantian, juga kesedihan. Lagu terakhir “Tuimble” (Let’s Sing) kembali bersuasana kegembiraan Afrika seperti ketiga lagu beratmosfer Afrika lainnya. Lagu penutup mengajak bernyanyi dan bergembira. Melalui lagu, melalui musik, kegembiraan menjadi lebih mudah kita raih dan rasakan. Melalui Look What We’ve Found, Endah dan Rhesa mengantarkan kita menyambut pagi, melewati siang, mencecap senja, dan menutup malam dengan lebih berisi dan indah. Inilah kehebatan musik pasangan muda yang merintis jalan musik dari dunia indie ini. n FX Rudy Gunawan Foto-foto: Adrian Mulya

diffa

JANUARI JANUARI 2011 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 35

35 1/20/11 6:16 PM


36 Edisi 2 Februari ok.indd 36

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM


diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 37

37 1/20/11 6:16 PM


R

RUANG HATI

Keluarga dengan Tanta

Saya Nandini. Saya mempunyai anak usia di bawah lima tahun (balita) yang memiliki gangguan pendengaran dan penglihatan. Saya kurang tahu apa persisnya penyebab gangguan tersebut. Saat hamil, rasanya saya telah menjaganya baik-baik. Sebagai ibu, saya berusaha keras menerima apa pun kondisi anak, meski tidak mudah. Namun, tidak demikian halnya dengan suami. Dia sangat sering mengeluhkan kondisi anak dan itu acap kali memicu pertengkaran di antara kami. Kadang-kadang saya merasa dia seperti menyalahkan saya atas kondisi anak kami. Apa yang sebaiknya saya lakukan? Terima kasih.

38 Edisi 2 Februari ok.indd 38

I

bu Nandini yang istimewa, karena memiliki anak khusus yang juga istimewa. Keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus memang memiliki tantangan khusus yang memerlukan berbagai macam perhatian, waktu, energi, dan kesabaran untuk dapat mengatasi berbagai tantangan dan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan khusus anak. Pertama, perlu pemahaman yang sama antara orang tua, dalam hal ini Ibu Nandini dan suami tentang kebutuhan khusus yang dimiliki anak. Apakah sudah memiliki informasi tentang gangguan penglihatan dan pendengaran yang memadai dan dipahami bersama tentang apa itu gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran, apa penyebabnya dan apa dampaknya dalam pola tumbuh kembang anak. Kalau masih sulit untuk berkomunikasi dan menyamakan pandangan, mungkin diperlukan pihak ketiga yang dapat membantu memperjelas dan mengkomunikasikannya di antara Anda dan suami. Tampaknya Anda sendiri belum sepenuhnya “menerima” keberadaan anak yang dapat berakibat dalam menangani dan mengasuh anak sesuai kebutuhannya, belum melakukannya sepenuh hati. Untuk itu Anda perlu dibantu agar dapat mencapai tingkat penerimaan, yang akan membuat lebih mudah menangani anak Anda, lebih sering berbicara dengan orang-orang yang dapat memberi wawasan hidup JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM

Ilustrator: didot purnomo

Yth Ibu Frieda Mangunsong


Ilustrator: didot purnomo

ntangan Istimewa dalam menangani anak berkebutuhan khusus seperti keluarga, teman dekat, teman/kerabat/keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, tokoh, individu dari kelompok spiritual yang dapat meningkatkan iman dan rasa syukur Anda memiliki anak berkebutuhan khusus. Kedua, cobalah renungkan kembali bagaimana proses pengasuhan, penanganan, pendampingan, dan proses tumbuh kembang anak Anda. Sejauh mana suami terlibat dalam pengasuhan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penanganan dampak dari gangguan penglihatan dan pendengaran anak. Keterlibatan ini akan dapat menggambarkan sejauhmana Anda “sibuk sendiri” dalam menangani serta mengasuh anak yang memerlukan perhatian khusus dan menyita waktu, sehingga “lupa” memperhatikan, mengajak kerja sama, dan berkomunikasi dengan suami. Ketiga, usahakanlah waktu-waktu bersama suami yang dapat membuat Anda berdua berkomunikasi dengan santai, nyaman, dan rileks. Bila perlu Anda menitipkan anak pada orang atau kerabat yang dipercaya untuk menjaga anak selama mengisi waktu berdua saja dengan suami. Di samping tentunya Anda harus memiliki keterampilan mengatasi tekanan hidup sehari-hari, kejenuhan, kelelahan fisik, stres yang akan juga berpengaruh terhadap pengendalian emosi (termasuk menjadi tidak sabar terhadap suami). Keempat, carilah bentuk-bentuk intervensi bagi anak Anda, baik berupa

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 39

Frieda Mangunsong, Guru Besar (Profesor) Fa­ kul­tas Psikologi Universitas Indonesia yang se­ jak tahun 1980 mengajar dan sejak tahun 1984 mendalami bidang Psikologi Pendidikan. Da­ lam bidang keahlian akademisnya, Frieda di­ ke­nal secara luas karena kepedulian yang kon­ sisten mengenai pendidikan anak de­ngan ke­ bu­tuhan khusus. Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan sebagai konsultan untuk program pendidikan berbagai sekolah dan ins­titusi. Bidang pemberdayaan pe­rempuan dan kesejahteraan terutama yang menyangkut anak-anak juga me­ rupakan bidang yang menjadi kepedulian dan la­ yan­an dalam hidupnya.

terapi-terapi maupun pendidikan khusus yang sesuai dengan kondisi finansial, jarak rumah dan tempat pendidikan, serta kesesuaian sistem atau bentuk intervensi dengan apa yang Anda juga bisa terapkan atau lanjutkan di rumah. Ada beberapa tempat yang sudah memiliki sistem atau pola baik pada anak berkebutuhan khusus maupun keluarganya dalam penanganan anak berkebutuhan khusus dengan tunaganda (memiliki lebih dari satu kebutuhan khusus -- seperti anak Anda). Di tempat tersebut, Anda bisa sharing (berbagi), bertukar pengalaman dengan para pendidik yang ahli di bidangnya. Juga dengan para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus yang hampir sama atau sama kondisinya dengan anak Anda. Demikian yang bisa saya sampaikan. Semoga berguna, memberi semangat, dan bermanfaat bagi Ibu Nandini sekeluarga. n

39 1/20/11 6:16 PM


B

BINGKAI BISNIS

Menjadi Pengusaha Pabrik

U

saha apa yang bisa dilakukan oleh hampir semua penyandang disabilitas dan memiliki peluang untuk bersaing dengan orang-orang bukan penyandang disabilitas? Usaha apa yang bisa dilakukan hampir semua penyandang disabilitas dan hanya memerlukan modal mulai 100 ribu rupiah, tapi bisa menghasilkan jutaan rupiah? Usaha apa yang modal utamanya hanya ketekunan, niat kuat, dan disiplin, sehingga hampir semua penyandang disabilitas bisa melakukannya? Usaha apakah yang bisa dilakukan hanya dengan berimajinasi, sehingga hampir semua penyandang disabilitas bisa melakukannya? Para pembaca mungkin menganggap saya sedang ngelantur atau bermimpi atau bahkan membual. Anda mungkin menganggap apa yang saya katakan omong kosong. Mana ada usaha semacam itu? Pikiran atau dugaan Anda tidak sepenuhnya salah. Anda benar jika mengatakan saya tengah bermimpi, tapi salah jika menganggap saya membual, ngelantur, atau beromong kosong. Tapi mengapa Anda saya katakan benar tentang “bermimpi�? Karena semua sukses, semua keberhasilan selalu bermula dari sebuah mimpi. Jangan sampai kita tak lagi punya mimpi, karena itu berarti selesai sudah motivasi, inspirasi, dan inovasi dalam diri kita. Teruslah bermimpi maka hidup akan lebih terasa hidup dan peluang sukses bisnis apa pun akan lebih terbuka bagi kita.

Modal Dasar Baiklah, saya akan jelaskan bisnis apa yang kriterianya seperti di atas. Bisnis yang modal dasarnya adalah otak kita, sehingga seperti apa pun kondisi tubuh kita, tetap bisa menjalankan bisnis ini, selama otak berfungsi dengan baik. Mereka yang mengalami gangguan di otak memang tak bisa menekuni bisnis ini. Jantung mesin produksi bisnis ini adalah otak kita, tanpa perlu mesin-mesin produksi seperti di pabrik sepatu, pakaian, atau makanan. Bisnis ini adalah bisnis pabrik

40 Edisi 2 Februari ok.indd 40

kata-kata. Ya, bisnis memproduksi tulisan. Jadi, memang hanya memerlukan otak, kemauan, niat, ketekunan, dan mimpi. Tak punya komputer? Anda bisa memakai jasa rental komputer untuk mengetik. Anda bisa memulai hanya dengan modal buku tulis dan pena jika tak punya komputer. Tulis dulu secara manual kata-kata yang telah diproduksi otak dan pergilah ke tempat sewa komputer untuk mengetiknya. Jika tak bisa mengetik karena tangan tak berfungsi, rekam saja kata-kata yang Anda produksi, lalu pergilah ke tempat jasa pengetikan untuk menuliskannya. Kalau ada cukup modal, pekerjakan seorang juru ketik di rumah untuk menuliskannya. Yang penting Anda bisa setiap saat merekam kata-kata yang diproduksi otak. Tunarungu pasti tak ada masalah untuk menulis sendiri, juga tunawicara, ataupun tunanetra yang bisa menulis dan membaca Braille. Bisnis ini memiliki banyak sekali kemungkinan formula produk dengan sumber bahan dasar yang juga tersedia dan bisa diakses tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Selain modal JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM


Proses Produksi Tahap I

brik Kata-kata dasar yang sudah ada dalam diri setiap manusia, yang bisa sekaligus berfungsi sebagai jantung mesin produksi, bahan dasar pendukung produksi dalam bisnis ini pun, tersedia dan tinggal comot tanpa proses berbelit. Asal kita mau ke perpustakaan umum atau memanfaatkan mesin pencari di internet seperti Google atau Yahoo, maka bahan dasar pendukung produksi otomatis tersedia gratis.

Langkah awal proses produksi tahap pertama adalah menyadari terlebih dulu kehebatan otak manusia. Semua manusia sebenarnya memiliki otak dengan kemampuan yang luar biasa, tentu dengan catatan kondisi otak baikbaik saja. Perangkat ajaib di dalam kepala kita memiliki kemampuan berasosiasi. Ia bisa merangkai hubungan dari hal-hal yang tampaknya tidak saling berkaitan. Coba “hubungkan� panci dengan kendaraan bermotor, maka otak akan memberi tahu bahwa panci bisa digunakan sebagai helm pengaman. Hubungkan panci dengan penjahat, maka otak akan memberi tahu bahwa panci bisa digunakan untuk memukul penjahat. Panci dan pesawat terbang? Oh, panci dalam jumlah yang banyak bisa digunakan untuk membuat badan pesawat terbang. Nah, kemampuan otak tidak hanya melakukan asosiasi, merangkai hubungan antara berbagai hal. Tapi juga menyerap berbagai informasi dan mengolahnya sebagai pengetahuan, mempelajari teori dan ilmu pengetahuan, menganalisis dan menyimpulkan, dan banyak lagi kemampuan lain yang sungguh-sungguh ajaib. Jadi, modal dasar kita sebenarnya sungguh teramat luar biasa. Sadari dulu hal ini. Tanamkan dalam diri tentang keajaiban otak ini sebagai modal yang sangat berharga dan tak tergantikan oleh mesin produksi apa pun. Karena mesin produksi apa pun dirancang pertamatama oleh otak kita juga. Setelah langkah awal ini berhasil tertanam, selanjutnya kita bisa melakukan langkah kedua. Langkah kedua adalah memasok sebanyak mungkin bahan dasar ke dalam otak. Caranya juga mudah. Tak perlu biaya besar untuk mewujudkannya. Cukup dengan datang ke toko buku atau perpustakaan atau duduk di warnet dan membaca berbagai informasi menarik yang tersedia di ketiga pilihan tempat tersebut. Biarkan otak, modal dasar itu, jantung mesin produksi itu, menyerap dan menikmati semua sajian informasi yang bisa kita dapat dari buku di perpustakaan atau dari internet. Lakukan tahap ini setiap hari paling sedikit 3 jam. Jika bisa 4 jam lebih baik. Lakukan hal ini dengan disiplin dan konsistensi setiap hari. Bagaimana langkah berikutnya? Jangan buruburu. Lakukan dulu kedua langkah awal ini setiap hari selama sebulan. Pada diffa edisi Maret 2011 Anda akan mendapatkan langkah dan tahap selanjutnya dari bisnis pabrik kata-kata ini. n FX Rudy Gunawan

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 41

Ilustrator: didot purnomo

41 1/20/11 6:16 PM


P

PIRANTI

Piranti Lunak untu Suratim

­­­

Tom Cruise, aktor papan atas Hollywood, yang banyak pe­r annya menawan dengan di­a log-dialog cepat, cerdas, dan bernas, ternyata penyandang di­­sleksia. Secara harafiah disleksia berarti kesulitan dalam berbahasa. Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni kata dys yang berarti kesulitan dan lexis yang berarti bahasa.

P

enyandang disleksia tidak hanya kesulitan membaca, tapi juga mengeja, me­ nu­lis, dan beberapa as­ pek bahasa yang lain. Ke­sulitan membaca pada anak dislek­ sia bukan karena rendah inteligensi ataupun motivasi. Sebab, anak di­ slek­­sia biasanya mempunyai ting­ kat kecerdasan yang normal, bah­kan sebagian di antaranya di atas rata-rata. Disleksia merupakan kelainan de­ ngan dasar kelainan neurobiologis, di­­­­tandai dengan kesulitan dalam me­ nge­nali kata secara tepat (akurat), dalam pengejaan, dan dalam ke­mam­ puan mengkode simbol. Beberapa ahli mendefinisikan di­ slek­sia sebagai suatu kondisi pem­pro­ sesan input/informasi yang ber­­be­da (dari anak normal), yang se­ring kali di­tandai dengan kesulitan dalam mem­ baca, yang dapat mempengaruhi area kognisi, seperti daya ingat, kecepatan pe­mprosesan input, kemampuan peng­­aturan waktu, aspek koordinasi, dan pengendalian gerak. Dapat ter­

jadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan ke­­­­mampuan di berbagai aspek per­ kembangan. Secara lebih khusus, anak disleksia biasanya mengalami masalah masalah berikut: 1. Fonologi Yang dimaksud fonologi adalah hu­bungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya mengalami kesulitan membedakan “paku” de­ ngan “palu” atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya “lima puluh” dengan “lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pen­de­ ngaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak. 2. Masalah mengingat perkataan Ke­­­­ba­nyakan anak disleksia mem­ punyai level inteligensi normal atau di atas normal, namun kesulitan meng­­­­ingat perkataan. Mereka mung­­­­­­­kin sulit menyebutkan nama

gambar 1

42 Edisi 2 Februari ok.indd 42

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:16 PM


ntuk Penyandang Disleksia te­man-temannya dan memilih un­­tuk memanggilnya dengan is­ ti­lah “temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka mungkin dapat men­je­ las­­kan suatu cerita, na­­­mun tidak dapat mengingat ja­wab­an untuk per­tanyaan yang se­derhana. 3. Masalah penyusunan yang sis­ tema­tis/sekuensial Anak disleksia mengalami kesulit­ an menyusun sesuatu secara ber­ urutan. Misalnya susunan bu­lan dalam setahun, hari dalam se­ minggu, atau susunan huruf dan angka. Mereka sering “lupa” su­ sunan aktivitas yang sudah di­ rencanakan. Misalnya lupa apa­ kah pulang sekolah lang­sung ke rumah atau ke tempat la­tih­an se­ pak bola. Padahal, orang tua sudah mengingatkan, bahkan mungkin su­­­dah ditulis dalam agen­da ke­ giatannya.

instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ibu menyuruh, “Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke ba­wah lagi untuk makan siang ber­sama, tapi jangan lupa bawa ser­ta buku PR matematikamu.” Kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya. 5. Masalah pemahaman sintaksis Anak disleksia sering kebingungan dalam memahami tata bahasa, ter­ utama jika dalam waktu bersamaan menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai tata bahasa yang

4. Masalah ingatan jangka pendek Anak disleksia kesulitan memahami

berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa pertama. Pada tahun 1878, dr Kussmaul dari Jerman melaporkan ada seorang lelaki yang mempunyai kecerdasan normal tapi tidak dapat membaca. Ia menamakan kondisi itu sebagai “buta membaca” (reading blindness). Tahun 1891, Dejerine melaporkan bahwa proses membaca diatur oleh bagian khusus dari sistem saraf manusia, yaitu di bagian belakang otak. Pada tahun 1896 British Medical Journal menurunkan artikel Dr Pringle Morgan mengenai anak laki berusia 14 tahun bernama Percy yang pandai dan mam­ pu menguasai permainan dengan ce­­pat tanpa kekurangan apa pun di­ bandingkan teman yang lain, namun tidak mampu mengeja. Bahkan, Percy mengeja namanya sendiri sebagai “Precy”. Penelitian terkini menunjukkan ter­dapat perbedaan anatomi antara otak anak disleksia dengan anak nor­ mal, yakni di bagian temporal-parietaloksipital (otak bagian samping dan bagian belakang). Pemeriksaan fung­

Ilustrator: didot purnomo

gambar 2

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 43

43 1/20/11 6:16 PM


sio­nal Magnetic Resonance Ima­ ging (MRI) untuk memeriksa otak sa­at aktivitas membaca ternyata me­­­­nunjukkan aktivitas otak indi­ vi­­­­­du disleksia jauh berbeda dari in­ di­vidu biasa, terutama dalam hal pemprosesan input huruf/kata yang dibaca lalu “diterjemahkan” menjadi suatu makna.

Mengenali Disleksia Tanda-tanda disleksia yang mung­ kin dapat dikenali orang tua atau guru: 1. Kesulitan mengenali huruf atau mengeja. 2. Huruf tertukar-tukar, misal “b” tertukar “d”, “p” tertukar “q”, “m” tertukar “w”, atau “s” tertukar “z”. 3. Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun didengar. 4. Tulisan tangan buruk. 5. Kesulitan mempelajari tulisan sam­ bung. 6. Kesulitan mengingat kata-kata. 7. Kesulitan mengingat nama-nama. 8. Kesulitan memahami konsep waktu dan sering kali disorientasi lokasi, seperti kesulitan membedakan ka­ nan dan kiri. 9. Kesulitan mengingat rutinitas akti­ vitas sehari hari. 10.Membaca lambat-lambat, terputusputus, dan tidak tepat. Misalnya: - Menghilangkan atau salah baca ka­ ta penghubung (di, ke, pada). - Mengabaikan kata awalan pada wak­tu membaca (“menulis” dibaca “tulis”) - Tertukar-tukar kata (misalnya: dia ada, sama - masa, lagu - gula, batu

44 Edisi 2 Februari ok.indd 44

- buta, tanam - taman, dapat - pa­ dat, mana - nama) Seiring perkembangan teknologi. Kini penyandang disleksia dapat lebih mudah belajar menulis dan membaca dengan bantuan software WYNN. WYNN merupakan piranti lunak un­ tuk membantu penderita disleksia a­­gar mudah menulis, belajar, dan me­ mahami teks secara efektif. WYNN sangat mudah digunakan dan dirancang untuk memberikan ke­ mudahan bagi penderita disleksia be­ lajar di kelas atau di tempat belajar lainnya. Ia dilengkapi dengan toolbar yang memudahkan penggunaannya, karena tombol-tombol dipresentasikan dengan label atau gambar (1) Seperti diilustrasikan pada gambar di atas, penyandang disleksia dapat de­ngan mudah menampilkan halaman dan mengatur jarak spasi, margin, serta memberikan pengaturan warna untuk kenyamanan membaca. Pengguna WYNN juga dapat meng­­gunakan tombol tesaurus untuk memilih kata pada kamus yang tersedia serta memberi tanda pada kata atau kalimat tertentu. (2) WYNN diproduksi dan dikembang­ kan oleh perusahaan Freedom Scientific yang berkedudukan di Florida, Amerika serikat. Piranti ini tersedia dalam dua versi: WYNN Wizard dan WYNN Reader. WYNN Wizard berharga se­ kitar US$ 1.000 dan WYNN Reader sekitar US$ 400. WYNN dapat bekerja dalam kom­ puter dengan sistem operasi Windows Vista, Windows XP, atau Windows 2000 (32 bit). Versi demo WYNN bisa diiunduh di www.freedomscientific.com. Pro­ gram ini bisa dipakai untuk segala u­­sia serta didesain sesuai dengan ke­ butuhan penyandang disleksia. Ciri­­nya yang menonjol: mudah dan sederhana penggunaannya. Di negara-negara maju, pe­nyan­­

dang disleksia tetap dapat meng­ op­­­timalkan potensi diri berkat ran­­­­­cang-bangun teknologi yang te­pat. Pelatihan yang efektif, ke­ setaraan dalam hukum, dan akses atas hak-hak mereka tentu juga merupakan faktor pendukung. Tak heran bila Tom Cruise dapat me­ napaki level tertinggi dalam seni peran di Hollywood. n

(disarikan dari berbagai sumber) Suratim, penulis, pengusaha muda, pengasuh situs www.brailleadaptive.com. Penyandang tunanetra ini kini bermukim di Bogor.

JANUARI 2011 2011 JANUARI

diffa diffa 1/20/11 6:16 PM


diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 45

45 1/20/11 6:16 PM


B

BUGAR

Tunanetra, Berenang Yuk!

T

ubuh yang sehat bukanlah sesuatu yang bisa kita peroleh secara instan. Butuh investasi, terutama berupa kesungguhan meluangkan waktu dan tenaga. Berolahraga secara rutin, minimal tiga kali seminggu dengan rata-rata waktu 30 menit, sangat dianjurkan. Salah satu olahraga yang banyak digemari dan juga dianjurkan adalah berenang. Saat kita berenang, hampir seluruh organ tubuh kita bergerak: kaki, tangan, serta leher. Meski kita tidak berkeringat saat berenang karena berada di dalam air, pembakaran kalori yang terjadi cukuplah besar. Itu sebabnya, seusai berenang biasanya kita sangat lapar. Untuk anak-anak, yang biasanya gemar bermain air, berenang adalah kegiatan yang sangat mengasyikkan. Mengajak anak-anak berenang berarti mengajak anak melakukan dua kegiatan sekaligus, berolah raga dan bermain. Sangat efektif dan efisien. Pertanyaannya, bisakah penyandang disabilitas berenang? Untuk orang dengan tingkat disabilitas sedang atau ringan, berenang bukan hal yang tidak mungkin. Pada edisi ini diffa membahas cara mengajari tunanetra berenang.

46 46 Edisi 2 Februari ok.indd 46

Perlu Orientasi Prinsip dasar yang perlu diperhatikan saat mengajari tunanetra berenang sama dengan mengajari hal-hal lainnya. Pertama, karena tunanetra tidak dapat melihat atau kurang dapat melihat dengan baik, segala sesuatu harus kita diskripsikan dengan kata-kata. Kedua, perlu orientasi atau pengenalan terlebih dahulu, meliputi orientasi gerakan dan orientasi tempat. Orientasi gerakan, kita bedakan antara tunanetra kategori buta – yang tidak dapat melihat sama sekali atau yang hanya dapat melihat cahaya dan bayangan benda, dan tunanetra kategori lemah penglihatan atau yang masih memiliki sisa penglihatan, biasa disebut low vision. Untuk low vision, orientasi gerakan dapat dilakukan dengan cara instruktur atau guru mencontohkannya secara langsung, sambil tetap mendiskripsikan dengan kata-kata. Pada saat bersamaan, instruktur meminta si tunanetra mempraktikkan dari yang dicontohkan. Tentu saja hal ini harus dilakukan dalam jarak yang masih dapat dijangkau pandangan tunanetra low vision. Jika gerakan yang dilakukan si tunanetra low vision belum tepat,

instruktur dapat membantu saat melakukan gerakan yang diajarkan. Bantuan ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, instruktur melakukan gerakan berenang dan meminta tunanetra low vision meraba bagaimana melakukan gerakan tersebut. Cara kedua, instruktur membantu menggerakkan anggota badan saat berenang. Misalnya bagaimana mengapung di permukaan air, cara menggerakkan tangan dan kaki sehingga dapat meluncur ke depan, dan bagaimana mengangkat kepala untuk mengambil nafas. Pilihan bantuan mana pun yang diambil, satu hal yang tetap harus diperhatikan, melakukannya sambil menjelaskan dengan kata-kata. Cara sebagaimana diuraikan, yaitu mengorientasi gerakan dengan indera perabaan, juga dilakukan untuk mengajari tunanetra yang termasuk kategori buta. Orientasi gerakan ini dapat dilakukan sebelum masuk ke kolam, ataupun dapat langsung dilakukan setelah tunanetra berada di dalam kolam. Jika tunanetra yang hendak belajar berenang remaja atau bahkan dewasa, demi alasan kenyamanan, disarankan tunanetra perempuan belajar bersama instruktur perempuan dan tunanetra laki-laki belajar bersama instruktur

JANUARI JANUARI2011 2011

diffa diffa 1/20/11 6:16 PM


laki-laki. Hal ini karena, tidak dapat dihindari, saat instruktur mencontohkan gerakan berenang atau membantu melakukan gerakan berenang, tunanetra harus meraba bagaimana instruktur saat mencontohkan gerakan tersebut. Atau sebaliknya, instruktur harus memegang anggota badan murid tunanetra saat mengajari gerakan berenang. Yang tak boleh dilupakan adalah membantu tunanetra mengorientasi atau mengenali situasi kolam tempat belajar berenang; kedalamannya, bentuk kolamnya -- bundar, persegi empat, atau oval; letak tangga untuk turun dan naik dari kolam; dan sebagainya. Untuk mengorientasi kedalaman kolam, instruktur dapat langsung mengajak masuk kolam hingga menginjak dasar kolam. Sudah barang tentu, bagi tunanetra yang baru mulai belajar berenang, orientasi ini pada kolam dengan kedalaman yang sesuai tinggi tubuhnya. Sedangkan, untuk mengorientasi bentuk kolam, instruktur dapat mengajak menyusuri tepi kolam secara keseluruhan, sehingga tunanetra dapat membayangkan bentuk kolam. Jika hal ini membutuhkan waktu terlalu lama, pengenalan bentuk kolam dapat dilakukan dengan menggambarkan bentuk kolam ke telapak tangan si tunanetra atau menggambarnya di udara atau di dinding dengan jari si tunanetra. Orientasi tempat perlu dilakukan agar tunanetra sebisa mungkin dapat membayangkan situasi kolam renang tempat belajar.

l Diskripsikan dengan kata-kata.

l Pemandu membantu tunanetra berenang

diffa diffa

JANUARI JANUARI2011 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 47

Ilustrator: didot purnomo

l Orientasi gerakan dan orientasi tempat.

Pentingnya Pemandu Setelah tunanetra lebih mahir berenang, dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan instruktur. Semakin sering mempraktikkan,

47 47 1/20/11 6:16 PM


semakin baik. Itu berarti pula lebih sering berolahraga dan pasti akan lebih sehat. Seperti halnya saat melakukan mobilitas lain, misalnya berjalan, saat berenang pun tunanetra juga butuh pemandu. Namun, untuk berenang, pemandu tunanetra bukanlah tongkat putihnya atau jalur pemandu, melainkan seseorang yang bukan tunanetra, yang dapat berenang, dan memahami bagaimana membantu tunanetra berenang. Hal ini terutama diperlukan jika tunanetra berenang di tempat umum yang cenderung ramai. Pemandu akan menghindarkan tunanetra untuk bertabrakan dengan orang-orang lain yang juga sedang berenang di kolam tersebut. Sebaliknya, jika tunanetra berenang di kolam renang pribadi, yang hanya digunakan orang-orang tertentu, pemandu tidak terlalu diperlukan, dengan catatan tunanetra telah mengenali dengan baik kolam renang tersebut. Bagaimana cara memandu tunanetra saat berenang? Jika yang dipandu anak tunanetra, yang tentu baru dapat berenang di kolam dangkal – biasanya setengah meter, pemandu cukup berjalan di samping anak yang sedang berenang. Cara ini sama saja seperti jika kita membantu atau mendampingi anak yang tidak tunanetra berenang bukan? Namun, jika tunanetra telah remaja atau dewasa, dan biasanya berenang di kolam sedalam minimal satu meter, pemandu dapat melakukan tugasnya sambil berenang di sisi sambil membantu tunanetra berolahraga juga.

Postur yang Baik Salah satu dampak seseorang menjadi tunanetra adalah pada postur tubuhnya. Karena tidak dapat melihat atau kurang dapat melihat dengan baik, saat harus mengenali lingkungan, tunanetra harus menggunakan indera pendengaran dan perabaan baik tangan maupun kaki. Hal ini lebih membutuhkan konsentrasi dibandingkan orang yang dapat melihat mengorientasi lingkungan dengan indera penglihatannya. Akibatnya, postur tubuh kebanyakan tunanetra cenderung membungkuk. Ditinjau dari sisi kesehatan dan keindahan, postur tubuh yang tegak lebih baik daripada membungkuk. Cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan berolahraga, satu di antaranya berenang. Gerakan-gerakan yang kita lakukan saat berenang, selain berguna untuk membakar kalori, juga sangat bermanfaat untuk membentuk postur tubuh yang baik. Di samping itu, dengan berenang, tubuh tunanetra yang pada umumnya tidak terlalu banyak melakukan gerakan atau aktivitas fisik karena hambatan penglihatan, akan menjadi lebih lentur. Kelenturan tubuh ini sangat bermanfaat, antara lain untuk membangun gerak tubuh serta bahasa tubuh, yang sangat diperlukan, misalnya saat melakukan presentasi atau berbicara di hadapan umum. Saat membaca tulisan ini, mungkin para instruktur, orang tua, atau guru berpikir sulit juga mengajari tunanetra berenang. Tentu saja, praktiknya tidak akan sesulit yang dibayangkan. Apalagi jika hal tersebut dilakukan dengan penuh kesungguhan, dengan satu niat membantu penyandang disabilitas, dalam hal ini tunanetra, agar menjadi pribadi yang sehat. Jadi, mari ajak anak, murid, kakak, atau adik kita yang tunanetra berenang! n Aria Indrawati

48 48 Edisi 2 Februari ok.indd 48

JANUARI 2011 JANUARI 2011

diffa diffa 1/20/11 6:16 PM


Memperingati lima tahun “Seribu Buku Untuk Tunanetra” 30 januari 2006 – 30 Januari 2011

Terima kasih kepada para relawan yang telah “berbagi cinta dengan jari”, membantu Gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra”. Gerakan “Seribu Buku Untuk Tunanetra” mengundang masyarakat: Menjadi relawan untuk membantu mengetik ulang buku-buku populer, yang akan diproses menjadi buku Braille, dan didistribusikan ke seluruh Indonesia melalui perpustakaan Braille on line yang Mitra Netra kelola www.kebi.or.id Menjadi donatur untuk memproduksi 15,000 buku audio (digital talking book) untuk tunanetra, yang akan didistribusikan ke 39 perpustakaan untuk tunanetra di seluruh Indonesia selama tahun 2011. Penggandaan 1 CD buku audio membutuhkan dana sebesar RP 25,000. Donasi dapat ditransfer ke rekening “Seribu Buku Untuk Tunanetra”, di bank BCA KCP Bona Indah nomor 6080279441. Seusai mentransfer, mohon menginformasikan ke Mitra Netra, via: email: office@mitranetra.or.id; atau fax 021-7655264. Melalui gerakan “Seribu Buku Untuk Tunanetra” Mitra Netra membangun masyarakat tunanetra yang gemar membaca dan belajar.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Kontak & alamat:

Yayasan Mitra Netra Jl Gunung Balong II No. 58, Lebak Bulus III Jakarta Selatan, Telp. 021-7651386; Fax. 021-7655264; email: office@mitranetra.or.id; office_mitranetra@yahoo.com website: www.mitranetra.or.id diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 49

49 1/20/11 6:17 PM


P

PUISI

Aku Tahu

aku tahu, engkau tak sekadar terbaring dalam diam

pula, tak sekadar menerkam kelam sebab akasia masih meliuk-liuk

kala sang bayu mengajarinya menari

menggetar dedaunan yang perlahan-lahan singgah di altar jiwa

Aku Tahu

:menemukanku

aku masih menyusuri rel perjalanan ini

ya, jiwaku

menemukan kita

engkau masih tersenyum aku pun demikian

ya, senyuman yang mengalir dari rerimbun riak berjelaga

dari hati yang meranum taman

terjeruji bulir embun menafas bening atau gemericik lembayung yang menghantam pasir

menyisir pesisir

ketika seorang bocah menangis dalam diam tapi,

aku tahu

ia sedang tersenyum

ketika kanvas mendentang gerimis yang perlahan-lahan luruh

di sepanjang trotoar ia mendaki

di sepanjang jejak ia menyulam mimpi “aku takkan pernah menangis percayalah!”

14/10/2010 14/10/2010

Catatan Redaksi: Khusus untuk karya puisi, cerpen dan cerita humor (cermor), Redaksi diffa mengutamakan karya penyandang disabilitas. Karena itu setiap pengiriman karya harap disertai identitas diri dan keterangan disabilitas.

MUKHANIF YASIN YUSUF, siswa kelas XII SMA Ma’arif Karanganyar, Purbalingga. Saat kelas VI SD pernah keluar sekolah selama dua tahun karena

mengalami tunarungu sejak usia 11 tahun. Pemuda Desa Jambudesa, Kecamatan Karanganyar, Purbalingga, Jawa Tengah, ini finalis LKTI Penelitian Bidang Bahasa Tingkat SMA/SMK Provinsi Jawa Tengah 2009 dan Juara Harapan III Lomba Artikel Populer Tingkat SMA/SMK Provinsi Jawa Tengah 2010. Sebuah tulisannya dimuat dalam antologi Hapuslah Air Matamu, bersama 30 penulis. Sajaknya “Jejak” masuk nominasi Sayembara Puisi 50 Kata FTD Award 2010 dan dibukukan dalam antologi Munajat Sesayat Doa. Mukhanif belajar menulis secara autodidak sejak kelas VIII MTs Negeri Karanganyar. Tulisan-tulisannya dapat ditemui di Facebook dengan account Mukhanif Yasin Yusuf.

50 Edisi 2 Februari ok.indd 50

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


CERMOR

Mau ke Dukun Mana?

berteriak, “Maling! Maling!” Tanpa berusaha mengejar, karena sadar kecepatan kursi rodanya tak akan mampu mengejar si maling.

Sepulang mengikuti Temu Sarjana Cacat Nasional di Surabaya, kami peserta dari Solo bersama rombongan Yogya bergabung dalam satu kendaraan. Di mobil itu ada dua dosen tunanetra, seorang psikolog pemakai kursi roda, tiga tunadaksa peserta dari Solo, dan dua mahasiswi non-disabilitas dari Yogya, yang bertugas membantu panitia pertemuan. Berangkat dari Surabaya pagi hari, kami berhenti untuk makan siang di Caruban, Madiun. Kami semua turun. Salah seorang mahasiswi menuntun dosen yang tunanetra dan yang seorang lagi mendorong kursi roda Pak Psikolog. Tiga orang penyandang tunadaksa berjalan terpincang mengikut dari belakang. Melihat kami, ibu pemilik rumah makan segera berdiri menyambut. Tentu kami merasa agak istimewa dan dihormati. Tibatiba si ibu berbisik kepada salah seorang mahasiswi, “Jeng, ini kok banyak sekali. Mau dibawa ke dukun mana?” Sialan. Kami dikira rombongan mau berobat ke dukun. n

Mendengar teriakan Slamet, Raharjo langsung melesat mengejar maling yang lari tunggang-langgang. Namun, begitu dekat, Raharjo segera sadar ia tak mungkin menangkap maling itu. Wah! n

Takut Di-charge

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 51

Ilustrator: didot purnomo

Baru Sadar

Dua penjaga piket jaga keamanan pertemuan nasional organisasi penyandang disabilitas. Penjaga pertama, Raharjo, gagah tinggi besar, kedua tangannya tidak tumbuh sempurna sejak lahir. Yang seorang, Slamet, lumpuh kedua kaki akibat polio, dan ke manamana harus memakai kursi roda. Meski memiliki keterbatasan, keduanya mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ketika semua peserta sudah tidur di kamar masing-masing, Raharjo dan Slamet masih berjaga di tengah aula sambil ngobrol. Pada tengah malam, tiba-tiba seorang pencuri masuk ke aula. Slamet yang melihatnya spontan

C

Saya penyandang disabilitas yang harus memakai dua tongkat bila berjalan. Namun, saya biasa hidup mandiri. Mandi sendiri, berjalan sendiri, naik tangga sendiri, naik bus sendiri, naik kereta api atau naik pesawat terbang juga sendiri. Cerita berikut pengalaman ketika pertama terbang dari Solo ke Jakarta. Begitu turun dari pesawat, saya berjalan menuju tempat taksi. Tiba-tiba seorang perempuan datang mendekati mendorong kursi roda kosong dan menawari saya untuk naik. Saya tahu, setiap melihat penyandang disabilitas, banyak orang ingin menolong. Saya menolak tawaran itu. “Tidak usah, Mbak. Saya bisa jalan sendiri, kok,” kata saya. Menurut Anda, mengapa saya menolak tawaran kursi roda itu? Karena ingin menunjukkan kemandirian? Tidak mau dikasihani? Karena saya enjoy walaupun kelihatannya sulit? Tidak! Saya menolak tawaran kursi roda, sebenarnya hanya karena… takut dicharge. n (Joko Slamet) * Drs. Joko Slamet, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, penulis dan aktivis organisasi penyandang disabilitas. Kini staf Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumber Masyarakat Prof Dr Soeharso, Solo.

51 1/20/11 6:17 PM


C

CERPEN

Say Love with Braille iang itu Dinda masih duduk di kursinya. Seperti hari-hari lainnya. Ia sudah menyelesaikan sebagian pekerjaan hari ini. Sambil menunggu istirahat makan siang yang tinggal 15 menit lagi, Dinda membuka album foto-foto lama yang disimpannya di komputer. Suara JAWS, pembaca layar yang membantu tunanetra menggunakan komputer, bergemuruh cepat di telinga Dinda yang memakai headset ketika membuka folder demi folder. Dinda seorang low vision. Matanya sudah tidak mampu membaca hurufhuruf mungil di layar komputer. Namun, melihat foto ia masih bisa. Dengan memperbesar tampilan foto, dia bisa melihat lebih jelas foto yang sedang dibuka. Dinda low vision sejak kecil. Dulu ia sama sekali tidak akrab dengan komputer, karena memaksakan diri membaca huruf-huruf kecil di monitor membuat matanya perih. Sejak lulus kuliah Dinda mengikuti kursus komputer bicara. Piranti lunak pembaca layar JAWS membuat perusahaan ini memberinya kesempatan untuk bekerja seperti orang-orang yang sempurna secara fisik. Jari-jarinya yang lincah melompat di atas tomboltombol keyboard seketika terhenti ketika menyadari foto yang sedang dibukanya. Sekelompok muda-mudi tertawa ceria menghadap kamera di depan meja besar yang penuh makanan dan aneka minuman. Dinda ingat, itu foto satu setengah tahun yang lalu, beberapa bulan sebelum wisuda kelulusanya. Foto itu diambil di sebuah kafe ketika Dinda dan teman-teman kuliahnya

52 Edisi 2 Februari ok.indd 52

Ilustrator: didot purnomo

S

Hadianti Ramadhani berkumpul. Matanya menemukan sesosok perempuan berambut ikal sebahu dan berbaju hijau bermotif garisgaris. Dinda tersenyum menatap dirinya sendiri saat itu. Waktu itu ia terlihat lebih kurus daripada sekarang. Lalu matanya segera bergeser pada sosok lain yang berdiri di sebelah kanannya. Foto itu memang agak buram meski sudah di-zoom, Dinda tahu betul siapa laki-laki itu. Lakilaki berjaket hitam, berkulit terang, dan rambutnya yang agak acak-acakan. Itu Farid. Melihat Farid dalam foto itu membuat Dinda kembali merindukannya. Laki-laki yang dikagumi dan disukainya lebih dari teman biasa tapi tidak pernah bisa digapainya. Laki-laki pertama yang berhasil mengganggu pikiranya dan kadang merusak konsentrasinya. Lakilaki yang membuatnya mengerti rasanya jatuh cinta. Laki-laki yang membuatnya tahu bahwa rasa cemburu begitu menyesak dada. Laki-laki yang membuat Dinda memutuskan bahwa cinta pertamanya baru ia rasakan di bangku kuliah. Sekelebat pertanyaan mendarat di kepala Dinda. Ke mana Farid sekarang? Setahun ini, sejak lulus kuliah, tidak pernah lagi bertemu denganya. Pasti Farid juga sudah bekerja seperti dirinya saat ini, dan tentu juga sudah punya kehidupan sendiri. Meski terkadang rasa rindu datang menyerang, Dinda tidak pernah menghubungi Farid walaupun hanya lewat telepon. Dinda tak pernah punya cukup keberanian untuk melakukannya karena tahu betul Farid hanya menganggapnya teman biasa. Kalau mungkin selama ini Farid terasa begitu mengerti dan peduli pada kondisi Dinda sebagai low vision, itu pasti hanya karena Farid JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


memang baik, merasa perlu membantu siapa saja yang sedang kesulitan. Pasti perhatian yang sama tetap diberikannya penyandang low vision lain. Ya, memang hanya Dinda yang terlalu berharap. Toh Farid memang tak pernah menghubunginya sekali pun kecuali jika ada urusan kuliah yang memang perlu dibicarakan. Semua itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang, sejak bekerja di perusahaan ini sebagai staf personalia, Dinda tak lagi memikirkan Farid, karena sepertinya ada orang lain yang mulai mengganggu pikirannya lagi. Orang yang membuat Dinda merasakan apa yang pernah ia rasakan pada Farid. Orang itu staf IT di perusahaan yang sama. “Door!!” Sebuah tepukan ringan di bahu disertai pekikan pelan itu membuat Dinda kaget setengah mati. Spontan ia menutup folder foto yang sedang dibukanya. Ia segera menoleh dan mendorong mundur sesosok tubuh yang tiba-tiba saja muncul di belakang kursinya. “Hiiiih, nyebeliiiiin!” “Jangan marah-marah gitu, dong,” kata Rifky sambil tertawa-tawa geli. “Kenapa sih lo selalu gangguin gue?” Dinda kembali menghadapkan tubuhnya ke layar komputer, mengacuhkan orang bodoh yang masih tertawa geli di belakangnya. Tawa Rifky yang volumenya tak terkendali membuat perhatian orang-orang di bagian personalia teralih kepada mereka berdua. Tapi mereka hanya senyumsenyum atau menggelengkan kepala. Sebab, melihat Rifky dari divisi IT datang ke bagian personalia untuk mengganggu Dinda dan membuatnya marah-marah pada jam istirahat seperti ini sudah sangat biasa terjadi pada beberapa bulan terakhir ini. “Lho, siapa yang gangguin? Gue kan cuma nyapa,” kata Rifky ringan sembari mendekati kursi Dinda sambil cengar-cengir. “Lo kan anak IT. Ngapain sih lo selalu masuk-masuk ke divisi gue? Datangnya dari belakang, pake ngagetin lagi. Itu apa namanya kalau bukan gangguin?” Si bodoh itu malah tertawa lagi. Sekarang dia malah menari-nari sambil melantunkan salah satu lagu Kahitna. “Cantik, bukan kuingin mengganggumu, tapi rasa hati merindu selalu…” Ia lantunkan lagu dengan gaya penyanyi profesional di atas panggung. “Hiiiiiih, dasar nggak tahu malu! Lo pikir lo Hedi Yunus?” Dinda melempar Rifky dengan secarik kertas bekas yang sudah diremas-remas membentuk bola. Kelakuan konyol Rifky itu membuat orang-orang di bagian personalia tak bisa lagi menahan tawa. Sebagian

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 53

menyumpah-nyumpah kelakuan bodoh laki-laki ini. Sebenarnya Dinda juga ingin sekali tertawa, tapi setengah mati ditahanya karena kalau sampai benarbenar tertawa, Rifky pasti bakal bertingkah lebih aneh lagi. Tidak punya pilihan lain, akhirnya Dinda membiarkan saja Rifky menyanyi-nyanyi sesukanya. Kalau dicuekin mungkin dia berhenti sendiri. Ternyata benar. Tak lama kemudian ia menyadari Dinda tak mengacuhkanya dan kembali menatap layar komputer. Rifky langsung terdiam, berdehem, kemudian menarik kursi ke dekat Dinda. Ia duduk dengan posisi kursi berlawanan dan menyandarkan dagunya di sandaran sambil menatap Dinda. “Udah beres?” tanya Rifky. “Apanya?” “Ya kerjaan kamu lah... Udah beres belum?” “Emang kenapa, sih?” balas Dinda berlagak sinis dan pura-pura tidak peduli. “Kan tadi pagi udah bilang... Hari ini kita makan siang bareng. Ada yang mau aku taanyain ke kamu. Penting, nih.” “Apaan? Bilang aja di sini,” kata Dinda masih berlagak cuek. “Yah, nggak bisa Din. Nggak enak kalau yang lain dengar.” Nada bicara Rifky menjadi serius, membuat perhatian Dinda teralih dan menatapnya. “Ada apa sih? Tumben serius.” Rifky memang selalu datang ke ruangan Dinda pada jam istirahat dan mengganggunya seperti tadi. Tapi entah kenapa keceriaan dan sikap konyol laki-laki ini begitu menghiburnya dan membuatnya tidak pernah merasa kesepian lagi. Rifky selalu datang dengan wajah riang, meski kadang juga menceritakan hal-hal serius tentang dirinya, teman-teman satu divisinya atau kadang juga bercerita tentang keluarganya. Dari sanalah Dinda tahu di balik sifatnya yang agak menyebalkan dan tidak tahu malu itu, Rifky baik dan bertanggung jawab. Karena itulah, meski sering sekali mengganggunya, Dinda tidak bisa berbuat terlalu kasar. Dinda tahu dirinya mulai merasa nyaman dengan kehadiran orang ini di dekatnya. Mereka berdua berjalan meninggalkan ruangan divisi personalia menuju lift. Sesampai di lantai dasar langsung menuju pintu utama gedung. Di luar teras gedung terdapat beberapa anak tangga menurun ke pekarangan gedung. Terkadang Dinda agak kesulitan melewati anakanak tangga itu karena tidak bisa melihat dengan jelas kapan harus melangkahkan kaki. Pada saat seperti itu Rifky selalu mengulurkan tangan, membantu Dinda

53 1/20/11 6:17 PM


melangkah dan memperingatkan jika hampir terjatuh karena salah melangkah. Rifky selalu melakukan itu tanpa diminta setiap kali mereka berdua keluar kantor bersama. Ia seperti benar-benar mengerti kondisi Dinda sebagai low vision. Dan itu membuat Dinda semakin merasa aman dan nyaman ketika bersamanya. *** “Kok di sini?” tanya Dinda ketika motor Rifky berhenti di depan sebuah restoran yang tampak tidak biasa. Restoran ini kelihatan mahal, tapi banyak sekali pengunjungnya. “Di sini enak, lho. Belum pernah?” kata Rifky sambil melepas helm. “Cari yang lain aja deh, mahal nih kayaknya.” “Aku yang traktir. Yuk!” kata Rifky sambil melangkah mantap memasuki restoran seraya meraih tangan Dinda. Tangan besar itu terasa begitu hangat, membuat Dinda merasa laki-laki ini memang sedang menjaganya. Mereka duduk berhadapan di sebuah meja di pekarangan belakang restoran. Halaman yang luas dengan kolam ikan yang cukup besar dan pepohonan di sana-sini membuat tempat ini terasa segar. Tak lama kemudian datang seorang pelayan memberikan dua daftar menu. “Pesan apa, Din?” tanya Rifky sambil tetap menatap daftar menu. Dinda juga menatap daftar menu, tetapi tidak bisa membaca apa saja susunan makanan dan minuman yang terpampang. Dia hanya terdiam menatap daftar menunya, tidak menjawab pertanyaan Rifky. Dinda tidak ingin mengeluh atau bersikap manja, makanya hanya mendekatkan daftar menu itu sampai jarak 5 centimeter dari matanya kemudian mengerutkan dahi berusaha membaca sendiri. Menyadari hal itu, Rifky segera bertanya dengan lembut, “Kekecilan ya tulisannya? Sini aku bacain aja.” Dengan sabar Rifky membacakan daftar menu itu satu per satu. Entah kenapa dada Dinda terasa sesak ketika menatap Rifky yang melakukan hal sederhana itu untuknya. Bagaimana tidak, Dinda belum pernah diperlakukan sebaik ini oleh orang lain selain keluarganya. Terlebih perlakuan ini ia dapatkan dari teman laki-laki yang biasanya cenderung cuek terhadap keterbatasannya. Bahkan Rifky melakukannya tanpa diminta. Seolah benar-benar memahami kapan Dinda membutuhkan perlakuan seperti ini. Rifky membacakan daftar menu itu dengan volume suara standar, sehingga pelayan yang sejak tadi berdiri menunggu di dekat meja mereka juga pasti mendengarnya. Terlintas pikiran Dinda, pasti pelayan ini menganggap mereka pasangan kekasih, yang wanita begitu

54 Edisi 2 Februari ok.indd 54

manja sampai daftar menu saja harus dibacakan. Dinda melirik sekilas pada pelayan yang kemudian tersenyum padanya. Ah, pasti benar pelayan ini berpikir begitu. Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanan makanan mereka. Sekarang hanya mereka berdua. Ada beberapa orang yang juga sedang makan di meja yang agak jauh dari meja Dinda dan Rifky. “Ada apa sih, Rif?” tanya Dinda ketika mendapati Rifky hanya diam menatap kolam ikan. “Eh, ehm...” Rifky terkejut, sepertinya tadi sedang melamun. “Ehm... Itu... Sekarang ya?” “Hah? Kan kamu bilang ada yang penting. Jadi, kenapa harus nanti?” Rifky malah terlihat kikuk, seperti merasa ragu untuk menyampaikan sesuatu. Dinda tidak pernah melihatnya seperti ini, karena itulah ia menjadi agak khawatir. “Lagi ada masalah? Cerita aja,” katanya. Seketika wajah bingung itu berubah kembali menjadi cengiran menyebalkan yang biasa. “Khawatir ya sama aku?” ujar Rifky sambil terkekeh menggoda. Dinda merengut membuang muka. “Yah… masa gitu aja ngambek,” kata Rifky sambil masih terkekeh. “Kamu bisa baca huruf Braille, kan?” tanyanya. “Bisa. Kenapa?”Dinda menatap lurus Rifky, tak menyangka dengan pertanyaan yang dilontarkan. Rifky tersenyum simpul, menarik secarik kertas kecil dari saku kemejanya dan menyerahkan kertas itu pada Dinda. “Ini. Ada satu kalimat yang ditulis dengan huruf Braille. Tolong dong bacain buat aku,” ujarnya. “Siapa yang tulis ini?” “Ada deh,” jawab Rifky sembari tersenyum misterius. Penasaran, Dinda segera meraih kertas itu dan mulai merabanya. Dia meraba dari kiri ke kanan. Ada kalimat dengan tiga kata dan enam huruf. Ia telusuri titik-titik timbul itu satu per satu dengan jari telunjuk kanan. Dinda tersentak. Dadanya terasa begitu sesak. Tak yakin dengan apa yang dibacanya, ia mengulanginya, kembali menelusuri kalimat itu dengan jarinya. Dadanya semakin sesak ketika yakin memang itulah bunyi kalimat itu, “I Love U”. “Apa Din bacanya?” tanya Rifky. “Eh... Ehm... Ini...” ujar Dinda terbata, berusaha memendam nada panik dalam suaranya. Sungguh sesak dada Dinda saat ini. Paru-parunya terasa terjepit begitu rapat, membuatnya sulit mengatur tarikan nafas supaya tetap terlihat tenang. Berkelebat pikiran, siapa perempuan yang memberikan pesan ini pada Rifky? Kenapa harus dengan huruf Braille? Rifky banyak bercerita tentang banyak hal, tapi Dinda tak pernah tahu dia dekat dengan seorang perempuan lain selain dirinya. Bahkan, JANUARI JANUARI 2011 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


perempuan itu berani menyatakan perasaannya lewat pesan ini. Entah kenapa Dinda tak ingin Rifky tahu isi pesan ini. Terlintas untuk memberikan jawaban palsu, tapi ia tahu ia tak mungkin melakukannya. Sekilas Dinda melirik Rifky. Wajah itu tampak samar dalam pandangan Dinda, tapi ia tahu Rifky menunggu jawabanya dengan penasaran. Inikah hal penting yang ingin Rifky tanyakan? Kalau tahu begini mungkin Dinda tidak akan menerima ajakan hari ini. Mungkin perempuan itu memang mencintai Rifky dan jika Rifky memiliki perasaan yang sama padanya tentu akan sangat bahagia mendengar isi pesan ini. Kalau memang itu yang akan terjadi, berarti lagi-lagi cinta Dinda bertepuk sebelah tangan. Yah… Dinda memang orang paling tidak beruntung dalam masalah cinta. Tapi, bukankah lebih baik Rifky bahagia, meski bukan dengan dirinya? “Siapa yang kasih ini buat kamu?” Dinda tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakannya. Rifky malah terkekeh. “Ada, deh,” jawabnya cengengesan. Lagi-lagi jawaban yang sama. Rupanya ia tak ingin memberitahukan pada Dinda. “Emang apa sih bacanya?” Dinda hanya terdiam, tidak menjawab. “Apa bacanya, Din?” tanya Rifky lagi. Kali ini ia menggeser tempat duduknya mendekati Dinda. Membacakan pesan cinta dari perempuan lain untuk laki-laki yang kita cintai benar-benar terasa menyakitkan. Tapi Dinda juga sudah memutuskan harus menyampaikanya apa adanya. Walau ragu dan sedikit terbata, dibacakanya juga kalimat itu, “I... Love... U.” Dinda tak berani mengangkat wajahnya, ia hanya melirik sekilas wajah laki-laki itu, lalu segera kembali membuang muka. Dia tak ingin Rifky melihat butir air mata di ujung matanya yang hampir menetes. Rifky tersenyum. Yah, Dinda tahu Rifky tersenyum mendengar pesan itu. Berakhir sudah. Mungkin mulai hari ini Rifky tak akan lagi jadi Rifky yang biasa, Rifky yang sering mengganggunya dan membuatnya kesal tetapi juga selalu menjaganya dan membuat dirinya merasa begitu nyaman ketika bersamanya. Lamunan Dinda segera buyar. Tiba-tiba Rifky melontarkan kalimat tak terduga. “I love U too, Din.” “Hah? Apa?” spontan Dinda mengalihkan pandang menatap Rifky lurus-lurus. “Tadi kamu bilang apa?” Rifky balik bertanya, masih tersenyum. “Aku... baca ini,” Dinda menatap Rifky tidak mengerti seraya mengacungkan kertas bertuliskan huruf-huruf Braille itu. “Apa bacanya?” Dinda tak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi ia pun mengulangi kalimat dalam pesan itu. Kali ini diucapkanya

diffa

JANUARI JANUARI 2011 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 55

dengan lebih jelas tetapi dengan nada keheranan. “I Love U?” “I love U too, Dinda,” jawab Rifky dengan jelas dan tegas sambil meraih kedua tangan Dinda dari pangkuan. Dinda terpana. “Ma... maksud kamu apa? Terus gimana perempuan yang kasih pesan itu ke kamu?” Rifky malah tertawa. “Din, aku kan nggak pernah bilang pesan itu dikasih orang. Kamu sendiri aja yang mikir begitu. Aku nulis itu sendiri buat kamu.” Dinda tertegun. “Tapi kan kamu nggak bisa baca tulis pakai huruf Braille?” Rifky tersenyum lagi. “Ya, memang cuma enam huruf itu yang aku bisa dan aku cari untuk hari ini. Untuk nyampein ini sama kamu.” Dinda terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. “Din, aku sayang sama kamu. Aku pengen jagain kamu. Dengan keterbatasan pengelihatan itu, pasti kamu butuh seseorang buat jagain kamu kan? Aku mau ngelakuin itu buat kamu. Terima aku ya, Din?” Dinda tertunduk semakin dalam. Tidak disangka si bodoh yang menyebalkan, orang yang suka bertingkah konyol di kantor dan tak tahu malu, bisa mengucapkan kata-kata seperti ini. Dinda senang sekali mendengar ucapan itu, membuat butir air mata yang menggantung sejak tadi akhirnya jatuh membasahi pipi. “Lho? Kok nangis?” tanya Rifky panik. “Kamu nyebelin,” kata Dinda masih tertunduk. “Kenapa?” nada bicara Rifky mulai gusar. “Kenapa sih harus pakai cara kayak gini?” “A... aku...” wajah bingung dan panik itu tak bisa disembunyika. “Maaf Din, tapi aku...” “Kamu curang.” “Hah?” “Kamu suruh aku baca pesan itu buat kamu....” Dinda mengangkat wajah menatap Rifky sambil tersenyum jahil. “Kan kamu yang suka sama aku. Kenapa jadi aku yang bilang cinta duluan? Curang!” Rifky lega. “Habis, kamu suka jutek sama aku, makanya aku pengen kamu yang bilang cinta duluan.” Kemudian keduanya tertawa berderai. n

Hadianti Ramadhani, seorang low vision yang berhasil menyelesaikan kuliah S1 Sastra Jepang, Universitas Padjadjaran, Bandung. Dhani, begitu ia biasa disapa, menjadikan menulis sebagai salah satu pilihan hidupnya. Gadis kelahiran Depok tahun 1987 ini adalah salah satu peserta pelatihan menulis kreatif untuk tunanetra yang diadakan Lumbung Ide, majalah Diffa, dan Yayasan Mitra Netra.

55 1/20/11 6:17 PM


B

BIOGRAFI

LOUIS BRAILLE

Pada tahun 1841, Dr Dufau mengambil alih kepemimpinan sekolah dan melarang penggunaan alfabet ciptaan Louis Braille. Dufau tak segan menghukum murid yang tertangkap atau ketahuan secara sembunyi-sembunyi menggunakan alfabet ciptaan Louis. Bahkan, dia membakar semua buku karya Louis, yang sekian lama memenuhi perpustakaan sekolah.

Ilustrator: didot purnomo

Jalan Panjang Menuju Pengaku 56

Edisi 2 Februari ok.indd 56

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


L

Puncak Masa Sulit Louis arangan Kepala Sekolah Dr Dufau juga didukung guru-guru, yang diam-diam cemas penemuan Louis akan merugikan mereka. Guru-guru ini berpikir, jika para siswa membaca dengan huruf-huruf timbul seperti semula, guru akan mudah mengajar karena telah mengenal huruf-huruf besar dan timbul itu. Sedangkan jika menggunakan alfabet ciptaan Louis, mereka harus mempelajari sesuatu yang baru. Lebih dari itu, mereka khawatir jika huruf ciptaan Louis digunakan lebih banyak tunanetra, besar kemungkinan sekolah juga akan dikelola para tunanetra, dan mereka akan kehilangan pekerjaan. Itulah puncak masa-masa sulit Louis Braille. Ia tidak hanya berjuang mengupayakan penggunaan alfabet ciptaannya untuk orang-orang tunanetra, tapi juga harus berjuang melawan tuberculosis yang kian parah. Penyakit ini menggerogoti tubuhnya dari dalam sehingga kesehatan Louis kerap terganggu. Menjadi tunanetra sekaligus TBC sungguh hal yang berat bagi siapa pun. Di sisi lain, Louis juga mendapati murid-murid tetap

gakuan diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 57

bersemangat menggunakan alfabet ciptaannya untuk menulis catatan, buku harian, serta pesan rahasia sesama murid, seolah tak peduli pada larangan kepala sekolah. Murid senior terus mengajarkan kepada siswa yunior, meski secara rahasia. Mereka juga senantiasa bisa menemukan alat-alat pengganti untuk menulis, setelah Dr Dufau memusnahkan stylus mereka.

Dr Gaudet Sang Penolong Situasi ini dibaca guru lain. Dr Joseph Gaudet satusatunya guru yang saat itu berpihak kepada Louis. Empatinya dilandasi kesadaran bahwa Dufau mungkin saja bisa melarang penggunaan alfabet ciptaan Louis, tetapi tidak mungkin bisa menghentikan murid-murid menggunakannya. Para murid sangat bersemangat dan menyukai alfabet itu karena sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan kecerdikannya berdiplomasi, Joseph Gaudet berhasil meyakinkan Dufau, kepala sekolah yang sangat ambisius mengejar kepentingan pribadi, bahwa akan sangat baik jika menjadi orang pertama yang memberlakukan secara resmi alfabet ciptaan Louis di sekolah mereka. Dengan melarang, Dufau akan berada di pihak yang kalah, karena murid akan terus menggunakannya meski secara sembunyi-sembunyi. Jika mengizinkan, Dufau akan menjadi pihak yang menang, karena muridmurid dan bahkan orang-orang

tunanetra di seluruh dunia akan mendukung dan menghargainya. Akhirnya pada tahun 1844, pada peresmian gedung sekolah baru yang dihadiri wakil pemerintah, pemuka masyarakat, dan guruguru dari sekolah lain, Dufau mendemonstrasikan penggunan alfabet berbentuk titik-titik timbul ciptaan Louis Braille. Ia membacakan teks dan meminta seorang murid menuliskannya dengan alfabet tersebut serta membaca kembali hasil tulisannya. Sebagian yang hadir terkesan. Sebagian yang lain yang mengira itu adalah trik semata, dan siswa tersebut telah dipersiapkan. Louis lalu meminta Dufau mengundang salah seorang yang hadir melakukan hal serupa kepada murid lain yang ditunjuk secara acak. Setelah terbukti murid berikutnya juga berhasil melakukan hal yang sama, barulah seluruh orang yang hadir percaya alfabet berbentuk titik timbul ciptaan Louis penemuan yang brilian. Sejak itu secara bertahap sekolah-sekolah untuk anak tunanetra lainnya mulai menggunakan alfabet ciptaan Louis. Tidak hanya di dalam negeri Prancis, tapi juga di negara-negara lain di Eropa, dan akhirnya di seluruh dunia. Sebagai penghargaan kepada Louis Braille, orang lalu menyebut alfabet itu huruf Braille. n (bersambung) Sumber: Louis Braille, The Boy Who Invented Books for the Blind By: Margaret Davidson Published by Scholastic Inc.

57 1/20/11 6:17 PM


R

RAGAM

Meretas Jalur Kerja Disabilitas

M

encari kerja menjadi persoalan besar bagi sebagian besar warga negeri ini. Apalagi bagi penyandang disabilitas. Setelah berjuang dengan segala keterbatasan menyelesaikan studi, tantangan lebih berat menghadang. Ketidakpahaman masyarakat, persyaratan dan peraturan yang diskriminatif, serta minimnya kesempatan menjadi persoalan besar bagi penyandang disabilitas. Persatuan Orang Tua Penyandang Cacat Anak (Portupencanak) mencoba meretas kebuntuan itu melalui seminar “Penempatan dan Bursa Kerja Penyandang Disabilitas”. Seminar diselenggarakan di kantor Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial pada 18 Desember 2010. Hadir seratusan peserta perseorangan dan wakil organisasi yang memberdayakan penyandang disabilitas. Pembicara seminar ini adalah Kepala Sub-Dinas Penempatan Tenaga Kerja Khusus Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Kepala Pusat Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (PRVBD) Kementerian Sosial. Setitik harapan memercik. Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta menyatakan akan lebih mencermati kebutuhan penyandang disabilitas di tingkat akar rumput. Juga akan merencanakan program-program yang selama ini tidak menyentuh penyandang disabilitas. Apindo pun menjanjikan pelatihan kewirausahaan bagi penyandang disabilitas. Melihat kenyataan keterbatasan daya serap lapangan kerja di sektor formal, jalan keluar paling rasional adalah menjadi wirausaha. Seusai seminar, panitia juga membuka bursa kerja untuk penyandang disabilitas. Tiga perusahaan membuka lowongan kerja. Sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja juga berjanji akan melirik penyandang disabilitas. Kesempatan langka ini tentu tak disia-siakan para penyandang disabilitas yang sedang mencari kerja. n nestor

58 Edisi 2 Februari ok.indd 58

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


foto: koleksi portupencanak

Seminar dan Lokakarya Al Quran Braille

foto: Nestor R Tambunan

I

katan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) menyelenggarakan “Seminar dan Lokakarya Al Quran Braille� di Wisma Tanah Air, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, 29 - 31 Desember 2010. Kegiatan ini mencari solusi untuk mengatasi ketidakseragaman dalam penulisan dan penerbitan Al Quran Braille agar terstandarisasi. Seminar dan lokakarya diikuti peserta dari seluruh Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan atau penulisan dan penerbitan Alquran Braille. Materi lokakarya di antaranya format penerbitan dan kaidah-kaidah penulisan Alquran dalam huruf Braille, seperti tanda baca dan penulisan Hamzah. Pemberi materi antara lain dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran. n nestor

Pelatihan Menulis Penyandang Disabilitas

foto: Nestor R Tambunan

F

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 59

orum Be Your Self mengadakan pelatihan menulis untuk penyandang disabilitas di Panti Sasana Bina Daksa Budi Bhakti, Pondok Bambu, Jakarta Timur, Sabtu 8 Januari 2011. Pembimbing dan motivator pelatihan ini Eni Setiati dari Forum Be Your Self, tutor dan penulis buku internet Suwandi Chow, dan Redaktur Eksekutif diffa Nestor Rico Tambunan. Organisasi sosial Forum Be Your Self bergerak di bidang motivasi dan pelatihan bagi penyandang disabilitas. Selain penulisan dan penerbitan buku, forum ini juga bergerak di bidang kerajinan dan pemasaran produk. Forum ini dimotori Eni Setiati, Ade Eva, dan Endang Setyawati, ibunda Habibie Afsyah, penyandang disabilitas yang jago internet marketing. Peserta yang sebagian besar penyandang tunadaksa antusias mengikuti seluruh kegiatan. Pelatihan ini akan melahirkan buku Hidup dalam Perbedaan, Suara dari Atas Kursi Roda karya peserta. Insya-Allah. n nestor

59 1/20/11 6:17 PM


I

INKLUSIF

Mimpi Pendidikan y Man Bambang Basuki

Edisi 2 Februari ok.indd 60

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM

Foto: Adrian Mulya

60

K

ehidupan merupakan rangkaian masalah. Penyelesaian masalah sering kali menimbulkan masalah baru yang lebih rumit. Dan itu merupakan konsekuensi dari kebutuhan yang terus meningkat. Permasalahan hidup di dunia baru akan selesai setelah berakhirnya kehidupan. Agar dapat bertahan dalam kehidupan yang kian rumit dan kompleks, kita harus memiliki keterampilan hidup. Keterampilan hidup yang utama adalah kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving), yang meliputi mengamati dan mengidentifikasi atau mengenali diri, lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar; mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi; mengorganisasi kekuatan-kekuatan diri dan lingkungan serta menentukan pendekatan dan metode untuk mengatasi permasalahan. Kemampuan menyelesaikan masalah akan mengantarkan pada kehidupan yang kian berkualitas sejalan dengan meningkatnya tantangan dan kebutuhan. Tentu saja keterampilan hidup tidak didapat secara cuma-cuma. Pendidikanlah yang dapat mengantarkankan pada pencapaian keterampilan hidup yang berkualitas. Melalui pendidikan, seseorang dapat menumbuhkembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan pengetahuan mengenai lingkungan alam sekitar, sosial budaya, dan lainlain hanya efektif melalui pendidikan. Sulit dibayangkan seseorang dapat menghadapi tantangan kehidupan yang kian berkembang dan kompleks


Pendidikan Inklusif dan Hak Penyandang Disabilitas (1)

n yang Manusiawi dan Adil tanpa pendidikan. Nasib dan kehidupannya akan terombang-ambing dan ditentukan oleh kondisi lingkungan atau keputusan pihak lain. Dengan demikian, perolehan pendidikan merupakan hak asasi manusia.

Hakikat Penyandang Disabilitas

Foto: Adrian Mulya

Setiap orang dilahirkan berbeda. Tak ada manusia yang benar-benar sama, meskipun kembar. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada kondisi fisik dan nonfisik. Wajar jika setiap orang berbeda warna kulit, bentuk jasmani, waktu dan tempat lahir, minat, potensi, atau kecerdasan. Tiap-tiap perbedaan dapat digolongkan menjadi dua hal yang berpasangan. Misalnya tinggi - rendah, gemuk - kurus, besar - kecil, gesit lamban, atau cerdas - tidak cerdas. Dari tiap-tiap pasangan ini orang mencoba membuat penilaian atau pelabelan positif versus negatif. Misalnya cantik - jelek, baik - buruk, sempurna - tidak sempurna, normal - abnormal, atau disabilitas - tidak disabilitas. Pelabelan ini menyesatkan persepsi terhadap perbedaan yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap individu. Seolah-olah derajat manusia ditentukan oleh perbedaan tersebut. Mereka yang kebetulan dikaruniai lebih banyak ciri yang diberi label positif dianggap mempunyai derajat yang lebih tinggi dibanding mereka yang lebih banyak ciri negatifnya. Selanjutnya terjadilah perlakuan diskriminatif. Tentu Tuhan Yang Maha Adil tidak menghendaki terjadi perlakuan yang tidak adil terhadap makhluknya yang didasarkan atas perbedaan yang sengaja diciptakan-Nya. Sesungguhnya perbedaan ini merupakan anugerah. Manusia menjadi saling membutuhkan, sehingga harus saling menolong yang akhirnya menumbuhkan perasaan saling menyayangi. Bukan sebaliknya, saling menindas yang menghasilkan permusuhan. Derajat seseorang ditentukan oleh bagaimana ia menyikapi atau menggunakan kelebihan yang dikaruniakan Tuhan untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Jadi, akhlak, perilaku, dan upaya untuk menjaga hubungan positif secara horizontal (dengan sesama manusia) dan secara vertikal (dengan Tuhan) menentukan derajat yang sesungguhnya. Dengan dasar pemikiran, maka disabilitas sesungguhnya hanyalah merupakan salah satu ciri pembeda bagi penyandangnya. Tentu saja ciri pembeda ini mengakibatkan tingginya tantangan dalam kehidupan dan menimbulkan kebutuhan yang berbeda (khusus). Disabilitas tidak mengurangi atau menghilangkan haknya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Penyandang disabilitas juga berhak atas kehidupan yang layak dan sejahtera serta hak-hak lain yang dimiliki saudara-saudaranya yang tidak disabilitas, termasuk hak memperoleh pendidikan.

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 61

61 1/20/11 6:17 PM


Pendidikan Inklusif dan Hak Penyandang Disabilitas (1)

Pendidikan Lebih Alami, Manusiawi, dan Adil Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang diselenggarakan pada sekolah reguler dan terbuka bagi semua calon peserta didik tanpa kecuali, tidak membeda-bedakan kemampuan intelektual, emosional, fisik dan faktor lain. Pendekatan, strategi, media, dan program pendidikan dirancang dan dipersiapkan agar dapat mengakomodasi kebutuhan individual setiap peserta didik, terutama penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus yang temporer atau permanen. Dengan demikian pendidikan inklusif menerapkan prinsip paedagogi berpusat pada murid. Dengan kebhinekaan peserta didik ini, sekolah dalam setting inklusif benar-benar merupakan bentuk mikro masyarakat yang sesungguhnya, yang terdiri atas mereka yang menyandang disabilitas/berkebutuhan khusus dan yang tidak menyandang disabilitas. Melalui interaksi selama pendidikan, peserta didik yang biasa dengan yang berkebutuhan khusus dapat belajar secara alami untuk memahami, menghargai, dan menyikapi perbedaan secara tepat. Sebaliknya, jika kedua kelompok peserta didik ini dipisahkan dalam pendidikan, sebagaimana terjadi selama ini, akan berakibat lain. Dalam setting sekolah luar biasa (SLB), pesertaa didik berkebutuhan khusus, terutama yang berada di asrama dan sehari-hari hanya bergelut dengan sesamanya, cenderung akan merasa canggung dan tidak aman ketika terjun ke masyarakat umum. Demikian pula halnya dengan siswa biasa di sekolah reguler. Mereka akan merasa aneh dan tidak nyaman jika harus berhubungan dengan rekan-rekannya yang berkebutuhan khusus. Jurang pemisah antara kedua “komunitas� ini menganga lebar. Hubungan harmonis yang seharusnya terjalin sebagai hasil adanya perbedaan yang dianugerahkan Tuhan, sulit terwujud. Apabila semua sekolah sudah menerapkan pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus akan dapat memilih sekolah yang diminati dan terdekat dengan tempat tinggalnya. Mereka tidak lagi harus tinggal di asrama, terpisah dari keluarga, atau tercabut dari komunitasnya, sebagaimana jika harus bersekolah di SLB yang sangat terbatas jumlahnya. Sangat menyakitkan bagi anak, terutama yang berusia dini, dipisahkan dari keluarga. Hal ini akan berdampak

62 Edisi 2 Februari ok.indd 62

pada perkembangan jiwa. Proses pendidikan di dalam keluarga yang merupakan landasan pengembangan pribadi yang utuh tak dapat dinikmatinya. Selain itu, bersekolah di tempat yang jauh dan diasramakan akan lebih membebani anggaran keluarga. Apabila kondisi lingkungan atau komunitas tempat bersekolah sangat berbeda dari tempat asal, besar kemungkinan tujuan pengajaran, terutama yang berkaitan dengan muatan lokal, tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga jika kembali ke daerahnya akan menemui kesulitan dalam beradaptasi atau melakukan fungsinya sebagai anggota masyarakat. Pendidikan inklusif yang mengakomodasi kebutuhan individual setiap siswanya, baik dengan jalan penyediaan aksesibilitas lingkungan maupun penerapan kurikulum yang fleksibel atau pengadaptasian kurikulum, penerapan pendekatan, strategi, metode, dan media yang bervariasi, ternyata lebih adil dan menghilangkan perlakuan diskriminatif yang sering terjadi pada setting sekolah masa kini. Selain SLB, telah dikembangkan program pendidikan terpadu, yaitu program pendidikan yang memberi kesempatan anak berkebutuhan khusus memasuki sekolah reguler. Ada kesamaan filosofis antara pendidikan inklusif dan pendidikan terpadu, yaitu mainstreaming – memasukkan anak berkebutuhan khusus di dalam komunitas umum/ utama. Perbedaan yang prinsip, pada sekolah terpadu sistem pengajaran dirancang untuk anak biasa, sehingga anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri. Sedangkan pada pendidikan inklusif, segala kebutuhan siswa diakomodasi atau diperhitungkan, atau dengan kata lain menganut prinsip “berpusat pada murid�, bukan standarisasi yang rigid. Meskipun demikian, pendidikan terpadu untuk tahap awal masih sangat diperlukan, merupakan jembatan yang efektif menuju pendidikan yang inklusif. Pada pendidikan inklusif yang baik, peran serta orang tua dan masyarakat sekitar sangat diutamakan. Selain itu siswa memiliki hak memilih. Dapat disimpulkan, pendidikan inklusif lebih alami, manusiawi, dan adil. Selain itu, pendidikan inklusif lebih sesuai dengan falsafah Pancasila, agama, dan sosial budaya bangsa Indonesia. n bersambung Bambang Basuki, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


diffa SETARA DALAM KEBERAGAMAN

PT Diffa Swara Media Jl. Salemba Tengah 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430 Telp. 62 21 44278887 Fax. 62 21 3928562 email: sahabat_diffa@yahoo.com

FORMULIR BERLANGGANAN MAJALAH

www.majalahdiffa.com

DATA PELANGGAN Nama Lengkap : No. KTP : Laki-laki Perempuan Tanggal Lahir : Alamat sesuai KTP : Kota : Kode Pos : Telp Ktr/Rmh: Hp: E-mail : Ingin berlangganan majalah :

q

6 bulan

q

12 bulan

q

q

Beri tanda pada pilihan

4

ALAMAT PELANGGAN Alamat : Kota : Kode Pos : Telepon :

Pembayaran dapat ditransfer ke Bank BCA KCP Bona Indah Nomor rekening: 6080279441. Atas Nama Yayasan Mitra Netra

NOTE:

!

Setelah formulir ini diisi, harap di fax, email atau kirim langsung ke redaksi beserta bukti pembayaran足 nya. Harga diatas adalah untuk biaya pengiriman dan hanya berlaku untuk wilayah Jakarta, silahkan hubungi kami untuk pengi足riman di luar Jakarta. Alamat Redaksi Diffa: Jl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430 Telepon 62 21 44278887 Faxs 62 21 3928562

* berlangganan 6 bulan, cukup bayar 5 bulan tidak termasuk ongkos kirim ** berlangganan 1 tahun, cukup bayar 10 bulan tidak termasuk ongkos kirim

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 63

63 1/20/11 6:17 PM


P

PERSEPSI

Selamat Tinggal “Penyandang Cacat”

64 Edisi 2 Februari ok.indd 64

untuk mendorong pemerintah agar segera melegitimasi hak-hak penyandang disabilitas secara penuh sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. Setelah diadopsi PBB menjadi konvensi, Convention on The Rights of Person with Disabilities diserahkan kepada negara-negara untuk ditandatangani dan disahkan atau disetujui melalui ratifikasi. Berdasarkan semiloka di Cibinong (2009) dan diskusi terbatas pakar di Jakarta (2010) bersepakat mengganti sebutan ”penyandang cacat” karena bertentangan dengan

Ilustrator: didot purnomo

P

enyandang disabilitas juga warga dunia: umat manusia yang mempunyai hak asasi. Hak asasi penyandang disabilitas tidak terlepas dari konsep hak asasi manusia secara umum. Karena itu, ketika dunia merumuskan format hak asasi penyandang disabilitas, maka upaya ke arah itu juga mengorientasikan penalaran pada human rights based, bukan charity based. Hal itu tercermin baik dalam Deklarasi tentang Hak-hak Penyandang Disablilitas Mental Retardasi (Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons) tahun 1971 maupun Deklarasi tentang Hak asasi Penyandang Disablilitas (Declaration on the Rights of Disabled Persons) tahun 1975. Perjuangan mendorong hakhak penyandang disabilitas agar terlegitimasi sebagai instrumen hukum tersendiri akhirnya terwujud dengan disahkannya Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with Disabilities) Nomor 61/106 pada 13 Desember 2006. Konvensi ini menegaskan tujuan menghapus diskriminasi serta memposisikan penyandang disabilitas sebagai warga negara yang berhak hidup secara bebas, maju, dan bermartabat. Pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi Hak Penyandang Disabilitas pada 30 Maret 2007 di New York. Penyandang disabilitas Indonesia mengabadikan peristiwa ini sebagai Hari Sensitivitas Penyandang Disabilitas Nasional

Oleh Saharuddin Daming

salah satu prinsip hak asasi manusia, yaitu penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Sebutan yang direkomendasikan adalah “penyandang disabilitas”. Selain memenuhi kriteria yang dipersyaratkan, frase “penyandang disabilitas” juga lebih mengakomodasi unsur-unsur utama kondisi riil penyandang disabilitas. Sebutan penyandang disabilitas merujuk Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang merumuskan disabilitas adalah konsep yang berkembang secara dinamis dan

hasil interaksi antara orang-orang yang tidak sempurna secara fisik dan mental dengan hambatanhambatan lingkungan yang menghalangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif atas dasar kesetaraan. Konsep ini dipertegas kalimat terakhir Bab 1 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang merumuskan penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki kelainan fisik, mental, intelektual, atau sensorik secara permanen yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan asas kesetaraan. Dengan demikian, frase “penyandang disabilitas” merepresentasikan kebutuhan minimal terminologi pengganti istilah “penyandang cacat”. Pusat Bahasa juga menyatakan kata “disabilitas” sebenarnya telah dibakukan dalam glosarium dan akan dimasukkan pada tesaurus dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam perspektif internasional, istilah penyandang disabilitas sesuai dengan judul Convention on The Rights of Person with Disabilities, sehingga penerjemahan naskah konvensi ini ke dalam bahasa Indonesia lebih fleksibel dan jauh dari kerancuan bahasa. Pelembagaan frase “penyandang disabilitas” sebagai pengganti “penyandang cacat” juga akan mempermudah penyusunan naskah akademik draf rancangan undangundang pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. n Dr Saharuddin Daming SH MH, Komisioner Komnas HAM

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 65

65 1/20/11 6:17 PM


P

PINDAI

Media dan Penyandang Disabilitas

D

Ilustrator: didot purnomo

alam Konferensi Re­ gional Penyandang Disabilitas Asia-Pa­ si­fik di Jakarta, 1-3 Desember 2010, pa­­­­­­n­­i­tia pelaksana tentu sangat meng­harapkan peran media massa untuk mengekspos perhelatan in­ ter­nasional tersebut. Namun, sam­­­­pai acara usai, nyaris tak ada pem­­beritaan baik di media cetak maupun elektronik. Pa­dahal, panitia pelaksana telah mengadakan jumpa pers dengan narasumber yang ter­golong punya nilai berita. Sebut misalnya Siswadi (Ketua Per­ satuan

66 Edisi 2 Februari ok.indd 66

Penyan­dang Cacat In­do­­ne­sia), Sao­ walak Thongkuay (Re­gional De­ve­ lopment Officer Di­sabled People In­ternational Asia Pacific), dan dr Juniati (Ketua Per­satuan Tunarungu Indonesia). Ketiga tokoh itu saja se­ benarnya sudah memiliki nilai berita bagi media massa nasional kita. Media yang hadir pada saat jum­ pa pers terbilang cukup banyak, 15 hingga 20 media. Surat kabar na­­sional, majalah berita, televisi na­­sional, dan media-media lain ha­ dir memenuhi ruang jumpa pers di Hotel Bidakara. Satu per sa­tu pembicara menyampaikan po­kokpokok permasalahan terkait per­­ soalan penyandang disabilitas di negara-negara Asia Pasifik. Bahkan, Monthian Buntan, anggota senat Thailand yang tunanetra, hadir dalam kon­ferensi ter­ se­but mes­ki tidak ikut acara jum­pa pers. Saat dr Ju­niati yang tunarungu me­nyampaikan pe­mi­­kir­ an­nya dengan ba­­­ha­­sa isyarat yang di­ ter­­­­je­mah­kan lang­sung oleh interpreter “bi­­sin­­­­do” (ba­ha­sa isyarat In­do­­ ne­sia), para war­­­­ta­­­­­wan

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


pun ter­­­­­­se­­dot per­ha­tian­­­nya. Warta­ wan televisi te­­rus merekam mo­men itu. Antu­siasme yang diper­li­hat­kan, sayang­nya, ternyata tak berujung pada aktualisasi berupa penayangan a­tau tulisan-tulisan di media para war­tawan itu bekerja.

Kebisuan Media & Wartawan Setiap media massa pasti memiliki visi dan misi yang diimplementasikan sebagai kebijakan redaksional. Ini merupakan prinsip dasar yang harus ditanamkan pada setiap wartawan media tersebut. Selain modal dasar rasa ingin tahu, sikap kritis, dan me­miliki integritas profesional, se­ orang wartawan dituntut memiliki keberanian bertanya dalam kerangka menggali informasi yang diliputnya. Wartawan tidak boleh ragu bertanya dan tidak perlu takut kelihatan bo­­doh karena memang tugasnya men­­cari tahu. Inilah kerangka ber­ pikir yang seharusnya dimiliki war­ tawan. Namun, dalam jumpa pers konferensi regional penyandang di­ sa­bilitas tersebut, pada saat dibuka kesempatan untuk bertanya, nyaris tak seorang pun wartawan bertanya. Apakah karena kendala bahasa? Jelas tidak. Sebab, meskipun bahasa yang digunakan bahasa Inggris, pa­ nitia menyediakan penerjemah yang siap membantu. Jadi, meskipun mi­ salnya wartawan yang hadir kurang mampu berbahasa Inggris, mereka tetap bisa bertanya menggunakan bahasa Indonesia. Atau karena ke­ tidaktahuan duduk persoalan pe­ nyandang disabilitas? Jelas tidak juga, karena bukankah seharusnya seorang wartawan menempatkan diri dalam posisi mewakili ketidaktahuan khalayak? Lalu, mengapa nyaris tak satu pun yang bertanya? Persoalan mendasar yang mung­ kin menjadi penyebab kebisuan

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 67

war­­­­­tawan pada forum tersebut ada­­­lah ketiadaan agenda tentang penyandang disabilitas dalam ke­ bijakan redaksional media-media ter­­sebut. Paling tidak hipotesis ini­lah yang masuk akal, selain se­ jumlah kemungkinan lain yang bersifat negatif, antara lain misalnya unsur kualitas wartawan yang ku­ rang baik. Tentu masih banyak wartawan berkualitas baik di antara mereka yang semakin menurun kua­litasnya. Sekiranya benar hi­ po­tesis ketiadaan agenda tentang penyandang disabilitas di mediamedia besar Indonesia, jelas ini memprihatinkan sekali. Media massa sangat bisa berperan penting dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup anggota masyarakat penyandang disabilitas melalui li­ putan-liputan mendalam dan tu­lis­ an-tulisan human interest yang dapat digali para wartawan. Sampai detik ini, kondisi ke­hi­ dup­an para penyandang disabilitas di negara kita masih sangat jauh dari standar hidup yang layak se­ bagaimana seharusnya anggota ma­­­­syarakat lainnya. Mereka tidak memiliki akses yang sama, tidak memiliki kesempatan kerja yang sama, tidak memiliki hak pendidikan yang sama, dan bahkan tidak men­ dapat perhatian yang seharusnya dari departemen-departemen peme­ rin­tah yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka.

Memecah Kebisuan Menjalin Kebersamaan Pada jumpa pers itu akhirnya saya bertanya kepada Saowalak tentang sikap media massa di Thailand. Menurut panitia, konferensi ini juga mengundang seorang wartawan se­­­­nior The Nation, harian besar di Bangkok, yang penyandang di­

sabilitas. Saowalak menjelaskan, meskipun ada wartawan senior pe­­nyandang disabilitas di harian besar, kebijakan redaksional media massa Thailand secara umum relatif sama dengan di negara-negara lain Asia, yakni masih sangat sedikit perhatian terhadap persoalan pe­ nyan­­­dang disabilitas. Saowalak me­­­­ng­­­atakan, yang penting adalah upaya aktivis atau lembaga-lembaga disabilitas menjalin hubungan untuk memecah kebisuan antara media dan penyandang disabilitas. Jika kebisuan terpecahkan, se­ bagai langkah awal mendorong u­­ paya bersama memperbaiki kualitas hidup para penyandang disabilitas, maka media bisa berperan untuk mulai memperbaiki hubungan an­ tara para penyandang disabilitas dan anggota masyarakat lainnya. Ke­mudian hubungan lembagalem­­­­baga pemerintah dengan pe­ nyandang disabilitas. Demikian ju­ga lembaga-lembaga swadaya atau sektor swasta. Berbagai kesalahan persepsi yang berpuluh tahun meng­ akar di masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya, mungkin perlahan-lahan bisa di­ ki­kis melalui tulisan-tulisan dan pemberitaan yang proporsional dan benar, liputan-liputan mendalam yang inspiratif, dan karya-karya jur­ nalistik lainnya. Selama ini pers atau media dinilai masih memiliki kekuatan sebagai pembentuk opini publik yang efektif. Jadi, tanpa bermaksud me­nya­ lah­kan pihak mana pun, minimnya pemberitaan di berbagai media massa terhadap perhelatan internasional penyandang disabilitas di Jakarta sungguh perlu menjadi catatan besar bagi insan pers Indonesia. n FX Rudy Gunawan

67 1/20/11 6:17 PM


BISIKAN ANGIN

S

eberapa besar kepedulian Happy Salma terhadap para penyandang disabilitas? Tentu tak ada alat ukur yang pasti untuk mengukur hati manusia. Namun, beberapa hal bisa menjadi indikator yang cukup jelas. Happy, misalnya, langsung mengiyakan ketika diminta menjadi cover diffa meski saat itu jadwal kegiatannya sangat padat. Happy juga sangat tak berjarak ketika berinteraksi dengan anak penyandang disabilitas dan keluarganya. Ia berbincang, bercanda, dan berbagi kegembiraan dengan tulus. Ini contoh kecil yang

jelas terlihat pada diri Happy. “Aku ingin ikut memberdayakan teman-teman penyandang disabilitas di Bali. Kalau rencanaku membangun usaha galeri kerajinan nanti terwujud, aku akan mempekerjakan juga teman-teman penyandang disabilitas,” tuturnya antusias. Dengan antusias pula Happy meminta informasi tentang penyandang disabilitas di Bali. “Siapa yang bisa kuhubungi di Bali?” tanyanya. Cita-cita luhur ini mempertegas Happy Salma memang memiliki kepedulian yang serius terhadap teman-teman penyandang disabilitas. (frg)

HAPPY SALMA

Foto: Adrian Mulya

68

Edisi 2 Februari ok.indd 68

W D

Foto: Koleksi Pribadi /FB

B

Mia Bust In

JANUARI 2011 2011 JANUARI

diffa diffa 1/20/11 6:17 PM


A Whani Darmawan

ktor teater, Whani Darmawan, mampir ke kantor diffa saat tengah berada di Jakarta untuk mengajar seni peran. Ia memberikan apresiasi positif pada kehadiran diffa. Whani sudah lama mengenal dunia disabilitas dan turut menyumbangkan keaktorannya dalam kegiatan-kegiatan untuk para penyandang disabilitas. Ayah satu anak ini, misalnya, pernah terlibat dalam pembuatan story telling sekaligus tampil membacakannya dalam acara yang diadakan Yayasan Mitra Netra. Suara serta penampilannya membuat para penyandang disabilitas yang hadir terkesima seakan tersihir. Pengalaman dan konsistensi Whani sebagai seniman teater memang telah teruji. Jebolan Jurusan Teater Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini sudah puluhan tahun mendedikasikan hidupnya hanya untuk dunia teater. “Saya harap diffa bisa menjadi diva-nya teman-teman penyandang disabilitas di mata semua orang. Terutama bagi orang-orang yang bisa melihat tapi seakan berada dalam kabut gelap yang membuat mereka menjadi buta hati, buta pikiran, dan pengetahuan,” ujarnya. (frg)

P

ustam In Memoriam

Foto: Adrian Mulya

diffa diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 69

ada 2 Januari 2011 Mia Bustam tutup usia. Janda almarhum Sudjojono, bapak seni rupa Indonesia, ini berpulang di usia 91 tahun, meninggalkan 8 anak, 20 cucu, dan 11 cicit. Seorang diri Mia Bustam berhasil membesarkan dan mengentaskan 8 anaknya menjadi orang-orang yang kuat dan berani menghadapi hidup, sekeras apa pun. Satu hari sebelum meninggal, Mia Bustam menyampaikan keinginannya untuk menambah satu bab tentang Soeharto pada naskah buku yang baru selesai Foto-foto: Adrian Mulya digarapnya. Buku lanjutan kisah hidupnya, yang sekali lagi menuturkan kekejaman rezim Orde Baru terhadap lawan politiknya. “Aku masih ingin nambah satu bab tentang Soeharto di buku yang baru selesai kutulis,” ujarnya lirih, nyaris tak terdengar. Dia kesulitan berbicara karena lendir di paru-parunya. Bicara dua menit, suaranya kembali hilang. Tangannya terlalu gemetar untuk memegang pena. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berbaring di ruang tamu Nasti, anak keduanya, yang diubah menjadi kamar perawatan. Ketika masih sehat, Mia Bustam tinggal di rumah sederhana berpagar tanaman dan bunga tak jauh dari rumah anak keduanya itu. Untung naskah terakhirnya sudah selesai ditulis, meski masih ingin menambah satu bab tentang Soeharto. Mungkin tak terlalu penting. Orang sudah banyak tahu tentang sepak terjang penguasa Orde Baru itu. Selamat jalan, Bu Mia…

69 1/20/11 6:17 PM


PELANGI

B

Pelajaran Anak Tangga

ruuk…! Aku kaget. Ternyata aku terjatuh dari tangga bus ke trotoar. Kasihan juga trotoar itu. Pasti berat menerima bobotku yang 97 kilogram. Belum sempat berdiri, kudengar seseorang bertanya konyol, “Kenapa, Pak? Jatuh?” Ada nada heran. Mungkin juga iba. Orang itu membantu aku berdiri. Kuperhatikan lewat bayangan di mataku yang tak nyata, penolong itu berseragam satpam. Ya, dia satpam shelter busway. Kuteliti celanaku yang robek dan lututku yang berdarah. Kucoba melihat anak tangga yang tadi kuturuni. Ternyata ada anak tangga yang tidak sama tinggi dari anak tangga shelter ke trotoar. Salahku mungkin. Karena aku tidak melihat dengan jelas. Beberapa saat kemudian satpam itu “menghiburku”. “Bapak bukan orang pertama yang jatuh. Sering orang jatuh di situ,” katanya. Aku tak tahu yang kurasakan secara pasti. Juga tak tahu mesti bagaimana. Yang pasti, aku miris mendengarkan kalimat “hiburan” satpam itu. Berarti sudah banyak orang yang menjadi korban anak tangga itu. Bahkan, mungkin saja orang yang jelas pandangan matanya mengalami hal yang sama. Sering aku menaiki busway mendapatkan prioritas saat antre masuk dan duduk di dalam bus. Nyaman rasanya. Alangkah indahnya jika anak tangganya pun

70 Edisi 2 Februari ok.indd 70

didesain sedemikian rupa agar aman juga digunakan untuk orang-orang seperti aku. Aku sering kesulitan menyeberang dari shelter ke busway dan sebaliknya. Sering ada jarak yang cukup renggang antara lantai busway dan lantai shelter. Kadang aku berpikir bagaimana mendesain lantai agar bisa benar-benar enak untuk melangkah dan aman bagi semua orang, tak terkecuali temanteman disabel lainnya. Keramahan satpam

Ilustrator: didot purnomo

P

membantuku melompat naik dan turun dari busway atau sebaliknya kadang juga membuatku jengah. Ingin rasanya melakukan itu sendiri tanpa memberatkan satpam atau kru busway lainnya. Karena kakiku sakit, aku melanjutkan perjalanan dengan taksi. Selama perjalanan pikiranku terusik dengan berbagai pengalamanku di jalan selama menjalankan aktivitas kehidupanku yang butuh mobilitas. Di Jakarta saja, yang notabene ibu kota negara, tak banyak fasilitas publik yang

ramah kepada semua warga negara. Trotoar, jembatan penyeberangan, gedung, lift, serta sarana umum lainnya belum memenuhi standart aksesibilitas bagi kami, penyandang disabilitas. Belum lagi sering ada galian di sepanjang jalan. Sulit sekali menghadapi kondisi sedemikian. Sarana transportasi umum belum bisa dikatakan layak bagi kami. Sering harus berebutan naik dan turun bus. Terkadang awak bus tak ramah karena gerak kami lambat. Dan itu menghambat kejarkejaran mereka dengan semboyan “rapat belakang”. Jakarta yang sibuk sungguh diharapkan menjadi metropolitan yang ramah bagi siapa pun. Kehadiran busway, mungkin dengan segala regulasi, termasuk perlakuan-perlakuan khusus bagi orang tua, ibu hamil, perempuan yang membawa anak, dan penyandang disabilitas, bisa menjadi cikal bakal kesetaraan sarana prasarana di metropolitan ini. Walau belum sempurna, sepertinya semakin ada perbaikan. Dan ini bisa menjadi contoh bagi sarana umum lainnya. Perlu kebijakan publik bagi sarana prasarana umum yang dapat mengakomodasi semua pengguna tanpa pilih kasih. Jika hal itu bukan sekadar wacana, rencana, atau kebijakan, melainkan sudah sampai tahap pelaksanaan riil di lapangan, tentu membuat kami, penyandang disabilitas, bersyukur. Dan konsep kesetaraan benar-benar nyata ada di rumah besar Indonesia. (Jonna Damanik)

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


x

SUKSEK untuk diffa SUKSES

diffa

JANUARI 2011

Edisi 2 Februari ok.indd 71

71 1/20/11 6:17 PM


72 Edisi 2 Februari ok.indd 72

JANUARI 2011

diffa 1/20/11 6:17 PM


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.