3 minute read

Bangkai Mayat

satu warga untuk bisa menjadi narasumber tentang kasus yang sedang ia selidiki. Dengan menggunakan jaket tebalnya, ia turun dari mobil dan menghampiri Faisal, kameramennya. Danar membicarakan tentang rencana yang akan ia lakukan hari ini. Ia menyuruh Faisal dan yang lainnya untuk tetap stay di mobil dan tidak pergi ke mana-mana. Mendapatkan instruksi seperti itu, Faisal pun menuruti keinginan dari seniornya itu. Setelah perbincangan itu, Danar melangkahkan kakinya untuk menghampiri salah satu rumah warga. Dengan gayanya yang akrab, ia pun memberanikan diri un- tuk menyapa salah satu warga yang sedang berpapasan dengannya.

“ Maaf pak. Bapak asli warga sini?

Advertisement

Kenalkan nama saya Danar saudara pak kades yang baru datang tadi malam,” tanya Danar.

“ Oh iya Nak. Mau ke mana?”

“Boleh saya nanya tentang keadaan desa ini?”

“Mohon maaf. Tidak bisa. Saya harus buru-buru pergi ke sawah.”

Warga itu pun pergi, dengan sedikit berlari, tanpa menoleh lagi ke arah Danar. Melihat warga yang ditemuinya seperti ketakutan, Danar pun menjadi terheran-heran

RESENSI BUKU :

Mendengar hal tersebut, membuat perempuan tua itu menangis. Danar yang melihatnya sedikit bingung, dengan reaksi dari perempuan yang ia temui itu.

Setelah mendengar perkataan Danar sebagai polisi, perempuan tua yang bernama Aisah atau para penduduk lebih mengenalnya dengan sebutan Mak Isah, mulai mau diajak bicara oleh Danar.

Mak Isah mengajak Danar untuk masuk ke rumahnya. Tanpa berfikir panjang, Danar pun masuk ke rumah Mak Isah. Ia kaget, rumah yang ditempati Mak Isah sungguh rapi dan bersih. Danar takjub dengan banyaknya kitab suci Al-Qur’an yang tertumpuk rapi di atas lemari. “Ibu tinggal di sini sendirian? Ke mana suami Ibu?” tanya Danar dengan lugas. “Suami ibu sudah mati. Mati karena di bunuh oleh warga kampung. Ia di fitnah menyantet salah satu warga yang sudah sakit menahun bertahun-tahun” ucap Mak Isah sambil meneteskan air matanya. “ Oh berarti, ibu istri dari dukun yang mati itu?”

Suamiku bukan dukun. Ia guru ngaji. Kata siapa dia dukun?” pekik Mak Isah dengan wajah melotot ke arah Danar.

“ Mohon maaf , Bu. Saya tahu dari atasan saya.”

Mak Isah mulai menceritakan kronologi pembunuhan yang dialami suaminya itu. Ia dan suaminya yang sedang menjemur padi, tiba-tiba di datangi oleh puluhan warga yang langsung memukul suaminya secara beringas. Tampak jelas dalam ingatan Mak Isah, suami yang sudah mendampinginya hampir dua puluh tahun lamanya, dihabisi oleh puluhan warga dan dimasukan ke dalam sebuah karung beras dan dipukuli dengan menggunakan balok kayu hingga tewas. Mendengar penuturan dari Mak Isah, membuat bulu kuduk Danar tiba-tiba berdiri. Ia pun mulai merasakan aura yang tidak enak yang masuk ke relung hatinya. Sebelum pamit, Danar bertanya kepada Mak Isah tentang di mana suaminya disemayamkan. Tanpa banyak bicara, Mak Isah langsung mengajak Danar untuk melihat Dapurnya. Alangkah terkejutnya Danar, Mak Isah memperlihatkan jasad almarhum suaminya yang tergeletak dikerubungi lalat di dekat tungku kayu bakar. [*]

Alam dalam Wajah Puisi

Judul : Pohon Tempat Kita Berteduh

Penulis : Fahrul Khakim

Penerbit : Jagat Litera

Cetakan : I, Agustus 2022

Tebal : x + 102 halaman

ISBN : 978-623-5893-48-8

Peresensi : Fathorrozi Lulusan Magister Manajemen Pendidikan Islam UINKHAS Jember, tinggal di Ledokombo Jember.

Dalam buku puisi Pohon Tempat Kita Berteduh ini, Fahrul Khakim selaku pemahat pena sangat fasih meramu metafora, simbol dan tanda-tanda dalam sajaknya untuk alam dan lingkungan. Di buku ini, pembaca dengan mudah akan menjumpai aneka macam pepohonan sebagai sasaran mengelola inspirasi yang kemudian dituangkan dalam sebentuk puisi penuh kenangan, seperti pohon kersen, kenari, bidara, atau pun jenisjenis bunga seperti kenanga, anggrek, melati, anyelir, kembang turi, adelwis, angsana, camelia, dan kamboja. Alam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan siklus mahluk hidup. Maka dari itu, lanskap alam dan lingkungan adalah gagasan-gagasan puisi yang sayang jika dilewatkan dan luput dari perhatian. M. Rosyid H.W (Pegiat Sastra Jawa Timur) dalam epilog buku ini mengatakan sajak-sajak Fahrul Khakim mengajak pembaca untuk mengarahkan titik perhatian kita kepada fenomena alam yang mungkin luput dari pandangan kita. Hal ini misalnya tampak pada sajak yang bertajuk Membingkai Matahari: Gerhana memang mengajarkan kita untuk mencari celah paling hening di antara perben- daharaan semesta. Mungkin bukan matahari yang redup matamu, tetapi obor waktu terlalu sering diterpa angin yang asing. Jemari yang basah ternyata lebih resah menangkap kusut suraimu yang terus melambai dari satu jendela ke peribahasa semesta. (hal. 33). Dalam sajak-sajaknya, Fahrul mengolah anasir-anasir alam di atas dengan kenangankenangan anak manusia yang mengaduk rasa seperti bahagia, suka, kesedihan, kegirangan, dan sebagainya. Aku menulis puisi di batang pohon dengan darah yang disuling dari masa lalumu. Demikian pengakuan si penyair pada sebagian sajaknya. Dapat dikatakan, Fahrul menuliskan kenangan-kenangan masa lalu menjadi puisi alam. Puisi yang terkumpul dalam buku ini ditulis oleh Fahrul dalam kurun waktu 2010 hingga 2019 dan telah tersebar di berbagai media. Kemudian dikurasi ulang oleh penulis sendiri dengan menyesuaikan tema alam semesta. Lalu, kenapa Pohon Tempat Kita Berteduh dipilih menjadi judul utama? Penulis mengungkap karena ia pernah berkemah dengan ayah dan murid-muridnya di dekat pohon di tepi Waduk Selorejo Malang pada tahun 2005. Pohon itu ramping dan tinggi, namun cukup Selain itu, bagi penulis, judul ini bermakna pohon pertama yang menjadi saksi pertemuan Adam dan Hawa. Pohon juga menjadi bahan kapal Nabi Nuh menghadapi banjir. Pohon menopang perahu-perahu nenek moyang Nusantara dalam mengarungi samudera Hindia dan Pasifik. Dalam bahasa Arab, pohon adalah syajarah atau sejarah, silsilah umat manusia. Dan pohon adalah kita, yang seringkali lupa berteduh di dalam kedalaman diri. (*)

Kabupaten Malang : Cahyono Nor Rochmah, Kota Batu: Anas Bachtiar, Kediri: Ervan Kholis, Pasuruan : Hilmi Husein, Pamekasan: Syamsuddin, Lumajang: Dwi Wismo Wardono, Probolinggo: Wiwit Agus Pribadi Jember: Effendi, Sampang: Nur Cholis, Sumenep: Agus Irianto, Samsul Arifin, Bondowoso: Iksan Khalil, Situbondo:

This article is from: