Buletin Mimesis Edisi 3

Page 1

e

MIM SIS Yang Terucap Akan Lenyap, yang Tertulis Akan Abadi

BU

LE T

SU IN SA BU K ST LA M R N SI A A N

Edisi Ketiga


Susastra KMSI Menyapa :*

Salam Sastra! Puji syukur kepada Tuhan Maha Esa yang berbaik hati menciptakan pepohonan dan menjadikannya kertas, untuk menampung segala kata-kata yang kemudian dihimpun kawan-kawan Susastra menjadi Buletin Mimesis untuk kali ketiganya ini. Penerbitan Mimesis kali ini bertepatan dengan Haul sang maestro kita, Chairil Anwar, yang diharapkan dapat memberikan spirit baru bagi kawan-kawan pegiat sastra (yang memang) belum mempunyai wadah sendiri dalam lingkup akademisi kampus. Merupakan cita-cita kita bersama jika Buletin Mimesis ini senantiasa hadir menghiasi khasanah sastra dan wacana kita, di tengah-tengah media yang kian mengunggulkan berbagai kepentingan kelompok. Untuk itu segala bentuk aspirasi dan apresiasi dari pembaca budiman sekalian akan kami tampung untuk menjadi bahan telaah kita bersama. Sekiranya cukup sekian sambutan dari redaksi, semoga kawan-kawan yang telah menyumbangkan berbagai corat-coret dalam edisi ini senantiasa selalu menghasilkan karya monumental. Redaksi

2

Edisi Haul Chairil Anwar 2013


Tokoh Kita Chairil Anwar, Tidak Sekali Berarti Sudah itu Mati Oleh: Anto*

C

hairil Anwar merupakan penyair besar yang pernah dimiliki negeri ini. Penyair kelahiran Medan, 26 juni 1922 ini merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes-Saleha. Sebagai anak tunggal, ia cenderung diperlakukan dengan manja oleh kedua orang tuanya. Namun pada usia 19 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Setelah perceraian itu ia hidup bersama ibunya yang kemudian pindah ke Jakarta. Hal inilah yang menjadikan nya tumbuh sebagai pribadi yang keras, menyukai kebebasan, namun penuh dengan spirit serta menyayangi ibu dan neneknya. Sebagaimana yang tercermin di dalam karya-karyanya. Dari beberapa sumber, Chairil dikenal sebagai pribadi dengan riwayat hidup yang kurang patut dibicarakan.Mulai dari gaya hidupnya yang kurang sehat, sampai perjalanan rumah tangganya yang kurang mulus. Namun terlepas dari stigma itu, ia adalah sang pelopor kepenyairan modern yang memiliki daya tarik tersendiri dalam karyanya. Chairil merupakan sosok yang dikenal secara luas. Kendati karya-karyanya tidak sebanyak penyair-penyair lain, akan tetapi karyanya tetap dikenang sampai saat ini. Spirit sastra yang ia tiupkan ke dalam karyanya

seolah menjadi daya hidup tersendiri yang menjadikan karyanya tetap abadi. Ia telah membuktikan bahwa spirit sastranya tetap menggema di negeri ini,seperti yang ia nyatakan dalam puisinya yang berjudul “Aku�:aku ingin hidup seribu tahun lagi. Chairil mulai berkenalan dengan dunia sastra pada usia 19 tahun setelah ia pindah ke Jakarta bersama ibunya. Meski dengan latar belakang pendidikan MULO-nya yang tidak tamat, namun ia mampu menguasai beberapa bahasa asing, seperti Jerman, Inggris, dan Belanda. Ia isi waktu-waktu luangnya dengan membaca karyakarya pengarang internasional ternama, seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald Mac Leish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Dengan demikian secara tidak langsung penulis-penulis tersebut memberikan pengaruh terhadap karya-karya Chairil. Hal ini dapat kita lihat dari style kepenyairan Chairil di dalam karya-karyanya. Karya besar yang pertama kali ditulis Chairil adalah puisi berjudul “Nisan�. Puisi itu ditulis Chairil sebagai ungkapan kepedihannya ketika seseorang yang amat ia sayangi, neneknya, meninggal. Dalam puisi ini tergambar jelas rasa kehilangan Chairil yang mendalam.Di dalam puisi itu juga digambarkan bagaimana ketidakber-

Penasehat Rozi Kembara, Muhammad Qadhafi, Dendy Tjipto Setjabudi; Pemimpin Umum Jan Segara; Pemimpin Redaksi Irwan Apriansyah Sekretaris Erin, Nova W. Staf Redaksi Assri Ani, Redy S., Giyofani, Arifiany Yulianingsih, Kartika N. Nugrahini, Nafillah,Tri, Aulia, Ian Wonga, Ellen A. Kusuma, Mawaidi, Erin, M. Anshori, Danang, Anto, Nurul, Yumi, Weda, Feby. Editor Avesina Wisda Tata Letak Diemas S.A., Gunadi Ilustrasi Giyofani Alamat Redaksi: Klebengan samping GOR, depan Burjo, Lt. 3 Buletin Mimesis menerima tulisan berupa puisi, cerpen, esay, resensi buku & film, kirimkan ke keluargasastra@gmail.com

Edisi Haul Chairil Anwar 2013

3


Tokoh KITA di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Sayang, kobaran semangat Chairil dalam karya-karyanya yang mengabadi tidak diimbangi dengan ksehatan tubuhnya. Sebelum genap Tak kutahu setinggi itu atas debu 27 tahun, Chairil terbaring Dan duka maha tuan ber“Chairil merupakan sosok menyatu dengan tanah, mati tahta yang dikenal secara luas. muda. Penyebab kematiannya Spirit sastra yang ia tiupkan tidak diketahui secara pasti. Chairil Anwar mulai dikeke dalam karyanya seolah Diduga ia meninggal karena nal dalam dunia sastra setelah menjadi daya hidup tersenpenykit TBC. Ia meninggal pemuatan tulisannya di Majalah diri yang menjadikan pada tanggal 28 April 1949 di Nisan pada tahun 1942, saat itu karyanya tetap abadi. ” Rumah Sakit CBZ (sekarang ia baru berusia 20 tahun. Hampir dayaan manusia dalam menghadapi kematian. Kematian datang sebagai hal yang tak dapat diduga apalagi ditolak.

semua puisi-puisinya bertemakan kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisipuisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang

Dok. google.com

4

RS Dr. Cipto Mangunkusumo) dan dimakamkan keesokan harinya di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Sebelum kematiannya, Chairil sempat menulis beberapa puisi. Salah satu di antaranya puisi berjudul “Yang Terampas dan Yang Putus”, yang mengisyaratkan bahwa kehadirannya di dunia ini tidak akan lama lagi. Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi.Kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul “Derai-Derai Cemara”, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul “Aku dan Krawang Bekasi”. Selain menulis puisi, Chairil juga menerjemahkan beberapa karya asing. Karya Chairil diantaranya Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir (1950) yang beberapa di antaranya dikarang bersama Asrul Sani dan Rivai Apin. Selamat jalan, Chairil. Semangatmu akan terus terkenang. Kau telah membuktikan bahwa karyamu tak sekali berarti, sudah itu mati. Karyamu akan terus hidup, aku mau hidup seribu tahun lagi!

*Anto, mahasiswa BSI angkatan 2012 Edisi Haul Chairil Anwar 2013


PUISI Dendy Cipto (Pakde)*

Racuni Aku :Karina Di gubuk kepiluanku kaukah itu jelmaan embun dingin yang hadir di tengah lolongan kegelisahanku benarkah dirimu, Karina. Di tengah-tengah gurun kesenyapanku aku menyalak bagai anjing kelaparan aku meraung, kesetanan meneriakkan ketidakberdayaanku. aku ingkari ruas-ruas perasaan batinku aku kesepian di manapun bumi kuinjak, di padang yang luas, tandus dan gersang di tengah hiruk pikuk jalan raya, di keriuhan sidang-sidang politik juga di antara letupan panci-panci popcorn. aku jadi kesepian di balik rimbun hutan yang dipenuhi sujud burung-burung, aku sepi jikalau kusesap secangkir kopi di luar tenda persembunyianku, sepi sepi sekali. apakah ini namanya kesepian. manakala tak ada lagi hujan membasahi tak ada lagi lantunan gita cinta, tiada merdu seruling gembala, tanpa sinar matahari sore, atau tangis peri-peri telanjang.

masukkan LPG dalam ususku aku ingin meledak bagai rudal, sihirlah aku ribuan isim tanamlah nuklir dalam tubuhku biar seketika kulenyap bersama cahaya Kutuklah aku jadi batu agar aku kaku dan membatu hatiku biar aku tak bisa merasa sakit tak berharap lagi punya arti bakarlah aku, aku ingin hangus aku ingin jadi arang aku tak sanggup lagi mengerang aku tak ingin lagi terbang Tembak aku, hujanilah dengan seribu peluru biar jantungku bolong dan bocor dan dadaku tak merasa sesak begini tembuslah jidatku, tembak saja kepalaku ini begitu riuh dan rusuh seperti Jakarta. hancurkan otakku, hancurkan aku tak mau terpikir senyummu, buraikanlah seluruh isi perutku sampai aku tak bersisa rupa tembaklah aku, muntahkanlah seribu peluru matipun aku tlah menuntaskan haru

Pada loteng renunganku mungkinkah kau hadir seperti angin membuaiku di sela-sela petikan gitarku, saat jari-jariku beku karena tak mampu menamatkan gugus demi gugus rindu padamu Karina, kunisbatkan cintaku. ah, Karina tenunglah aku ribuan mantra Edisi Haul Chairil Anwar 2013

5


Puisi Ambilah pisau lalu sayat-sayatlah dagingku pisahkanlah dari tulangku iris sekalian mataku tancapkanlah di leherku tancapkan di paru-paruku aku sudah lelah bernapas putuskan urat-uratku aku lelah bernadi aku tak sanggup berdenyar bila hanya nanar yang mesti kukejar siksa aku, siksalah sampai aku tak merasakan siksa siksa aku, dengan siksaan paling menyiksa hingga tiada bersisa segala derita hingga tak hendak nampak segala dosa racuni aku, mampuskan aku hentikan semua khayalanku racuni aku, bunuh aku rusakkanlah dinding-dinding arteriku supaya hilang semua yang pernah aku takutkan, lelehkan sumsumku, leburkan kulitku aku harus kau racuni Lebih baik aku musnah, lebih baik binasa aku pilih punah saja dari peradaban daripada jadi sampah di hadapanmu, aku ingin dibuang sejarah daripada jadi remah-remah dan didera luka di depanmu

Sumpal saja mulutku bila kata-kata yang kueja hanya jadi kebisingan yang memekakkan telingamu, patahkan rahangku jika kata-kataku kau anggap hanya cerita antah berantah yang mengotori atmosfer, sumpal mulutku dengan tasbih jejali sajadah dan kitab-kitab rubaiyat jika memang bukan lantunan namamu yang malam demi malam mengisi doaku Sesungguhnya, dalam dirimu aku temukan pemberontakan-pemberontakan yang selama ini begitu mengharukan setelah musim-musim pandir berlalu setelah selesai tangis-tangis mengerikan sesudah jeritan kesepian tamatlah sudah aku tak sia-sia akupun bahagia aku jadi berani walau tahu separuh dunia takkan aku kuasai

Pekan terakhir, April duapuluh tigabelas *Mahasiswa BSI angkatan 2008

aku lebih pilih maju perang meski tanpa senjata dan baju besi aku pilih ditebas beribu pedang, dihunjam tombak demi tombak tumbang tanpa penyesalan sekarat diterpa angin berdebu lalu mati, mati, mati dan mati

6

Edisi Haul Chairil Anwar 2013


Puisi Muqolis Agung (Genjik)*

Nisan Abu-Abu Di bawah langit abu-abu ingin kutuliskan namamu pada sebuah karton tilas yang mungkin akan jadi prasasti, atau mungkin diktat sederhana untuk anak cucu kita lihatlah keluar betapa langit marah karna kita tak dapat melukis langit dengan serpihan kata kita kau diam, atau kau sudah bosan melukis langit bersamaku

Avesina Wisda Burhana*

Rendezvous** 1. Jogja kala terik meninggi membawakan dejavu aroma lekuk tubuhmu sumilir panas, mengisi relung sepi menjadi rindu hampir lupa, dulu kemarau adalah risau-risau kita

keraguanku pada kebisuanmu menjelma benalu ketika bibirmu mulai asin terasa di bibirku disitu, nampak putri malu merambat dengan cepat pada sela nafasmu

2. Sekali di sini adalah saksi,kemayu bibir tipismu yang enggan kulumat berisi kata-kata yang menjelma cinta dan aku tidak berani melongoknya***. “kamu adalah lelaki baik�, dan makin mendekap kepelukku lalu senja hilang, disusul sepi dan kenangan tak mudah tercerai

pergilah, matahari enggan melihatmu

(bintang makin terang, gambar-gambar masa lalu menguap, aku butuh istirahat)

2012

Griya Merapi Asri B.24, 7 Maret 2013

*Mahasiswa BSI angkatan 2010

** Rendezvous, (bahasa Perancis) ; tempat pertemuan kembali *** �dan aku tidak berani melongoknya�, dari sajak Joko Pinurbo : Mampir * Mahasiswa BSI angkatan 2010

Edisi Haul Chairil Anwar 2013

7


Buku Nagabumi 1 Jurus Tanpa Bentuk: Sebuah Kembara Sejarah dan Pencarian Jati Diri Seorang Pendekar Oleh: Irwan Apriansyah

Judul : Nagabumi 1 Penulis : Seno Gumira Ajidharma Penerbit : Gramedia Cetakan : 2009 Tebal : 828 halaman ISBN : 978-979-22-5014-5

I

a adalah seorang tua berumur seratus tahun yang memutuskan untuk beristirahat dari dunia persilatan, seusai peristiwa pembantaian seratus pendekar ketika ia masih berumur lima puluh tahun. Lima puluh tahun setelah peristiwa itu, ia keluar dari pertapaan, dari samadhi dalam goa. Ia adalah seorang Pendekar Tanpa Nama, memutuskan untuk menulis riwayat hidupnya sendiri, sebelum maut tiba. Pendekar Tanpa Nama, seperti sebuah metafor bagi pendekar kata-kata. Seusai perpisahannya dengan orang tua asuhnya, Sepasang Naga dari Celah Kledung, pada masa remaja. Ia pun harus melakukan segalanya sendirian. Ia memutuskan untuk mengembara di telaga dunia persilatan. Ia mengembangkan sendiri jurus-

8

jurus yang diajarkan Sepasang Naga. Sampai akhirnya ia dapat menciptakan Jurus Bayangan Cermin sebagai cikal bakal dari Jurus Tanpa Bentuk. Dalam kembaranya, berkali-kali ia diburu pasukan kerajaan karena menyelamatkan gadis desa yang akan digagahi para prajurit dan ia melawan mereka semua. Begitu juga dengan Naga Hitam yang murka sebab anak buahnya mati dalam pertarungan, harus mengerahkan murid-muridnya untuk memburu Pendekar Tanpa Nama. Dendam harus dibalas. Ia pun harus beberapa kali menghadapi para pendekar dari golongan hitam, seperti Raja Iblis dari Selatan dengan ilmu sihirnya, Pendekar Topeng Tertawa dengan ilmu penjerat sukmanya. Lalu ada Gerombolan Kera Gila, perompak sungai yang harus

Edisi Haul Chairil Anwar 2013

dihadapinya. Di antara perburuan pasukan kerajaan dan permusuhan dari pendekar golongan hitam. Pendekar Tanpa Nama pun menemukan cinta pertamanya dalam diri Harini, sebelum bertarung dengan terbunuhnya murid Naga Hitam. Harini, cinta pertamanya sekaligus yang mengajarinya Kama Sutra. Di sisi lain, ia pun dipertemukan dengan beberapa perempuan lainnya, seperti pendekar Melati yang memburunya. Kemudian ada Campaka, pelacur yang dibebaskannya, juga yang membantunya untuk menggugat pembebasan tanah dari cengkraman kerajaan. Apa yang dikisahkan Seno Gumira Ajidarma dalam Nagabumi 1 adalah lika-liku seorang pendekar yang sampai pada usia ke-100 tahun, tidak mengetahui atau belum mengetahui namanya sendiri. Sampai ia dijuluki Pendekar Tanpa Nama. Di antara sejarah yang berjalan, pada masa kekuasaan Wangsa Syailendra dan raja-raja keturunan Sanjaya, agama menjadi alat penguasa untuk melebarkan sayap-sayap kekuasaan. Bahkan sempat terjadi persaingan antara pengikut Siwa dan Mahayana, antara pengikut Hindu dan Budha setelah Animisme pudar di pulau Jawa bagian tengah. Pada masa itu, candi-candi dibangun, Kamulan Bhumisambhara di desa Budur dibangun, begitu juga dengan Siwagraha. Sekarang dikenal dengan nama


Buku Dok. google.com

Borobudur dan Prambanan. Persilatan dan pemikiran Dituturkan melalui sudut pandang pertama yang tengah menuliskan riwayat hidupnya sendiri, seperti sebuah tragedi, di mana sejarah berubah, di mana kejayaan kerajaan Mataram dan Sriwijaya sampai ke negeri-negeri asing. Namun Seno tidak hanya membungkus sejarah ke dalam Nagabumi yang terbagi menjadi seratus judul dari lima bab dengan hitungan angka dalam bahasa Sansekerta. Tapi juga mengangkat sisi-sisi kemanusiaan dalam menyikapi mereka dalam golongan hitam dan putih, juga yang samar, yang abu-abu, yang berdiri di tengahtengah maupun yang tersisih seperti pendekar Dawai Maut. Bahkan teks-teks dalam bahasa Sansekerta dapat menjadi sangat menarik ketika dikemas dalam mantra-mantra. Nagabumi tidak hanya menyuguhkan pergerakan sejarah dan kekuasaan semata, Nagabumi menjadi daya tarik, menjadi sebuah magnet, ketika jurus-jurus ilmu silat dipadukan dengan pemikiran, dengan sastra, dengan filsafat. “ Betapa mempelajari ilmu silat sebetulnya harus juga berarti mempelajari pemikiran yang telah melahirkannya.” Demikian pikir sang Pendekar Tanpa Nama. Ia juga menyinggung orang-orang yang memiliki ilmu silat atau sedang mendalaminya tanpa memikirkan dasar yang melahirkan ilmu silat, “Tanpa hal itu, ilmu silat hanya

menjadi kekerasan tanpa keanggunan dan kecanggihan tanpa pesona. Tanpa seni, tanpa sastra, tanpa filsafat.” Ketika Pendekar Tanpa Nama yang berusia seratus tahun menuliskan riwayat hidupnya seperti sedang mengajak berdialog dengan pembaca, di sana seperti ada alter-ego Seno sendiri. Barangkali Seno memang tidak bisa menghindar dari dirinya sendiri, lalu ia memasukan sebagian kisahnya sendiri ke dalam Nagabumi? Tidak ada yang tidak mungkin. Sebab setiap cerita terkadang memberi ruang kepada alter-ego pengarangnya. Ada beberapa bagian ketika Seno tidak seperti sedang menuliskan sebuah cerita, ia seperti menyuguhkan esai tentang membaca dan menulis. Atau mungkin ia memang sengaja mengemas pemikirannya sendiri sehingga tampak seperti esai? Sedangkan pada bagian “demikianlah ujaran seorang yang bijaksana, seorang penulis mati setelah tulisan diselesaikannya.” Bukankah, kita mencium kredo Roland Barthes? Tapi Seno sedikit berpanjang lebar mengurai “The Death of The Author” yang sebenarnya pada

Edisi Haul Chairil Anwar 2013

zaman itu sekitar pada sekitar tahun 800-an ketika Pendekar Tanpa Nama menulis riwayatnya, kredo itu belum ada, bahkan Barthes sendiri belum lahir. Bagaimana Pendekar Tanpa Nama mengetahui Barthes yang disebut sebagai “seorang yang bijakasana” ini, yang bahkan tidak ada di masa itu? Hanya Seno yang mengetahuinya, bukan Pendekar Tanpa Nama. Tapi ini fiksi, apa pun bisa terjadi. Pengarang telah mati... Secara keseluruhan, Nagabumi jilid 1 begitu menawan. Seno adalah pengarang besar tanah air, kekuatan Nagabumi tidak hanya terletak pada nama pengarangnya tapi juga didukung dengan data-data yang kuat dan akurat. Seno, seorang periset yang luar biasa, dalam Nagabumi, dicantumkannya sebanyak 466 catatan kaki dan daftar buku acuan dari dalam maupun luar negeri. Membaca Nagabumi, seperti kembali menyusuri jalan sejarah Nusantara yang kaya akan kebudayaannya. Pendekar Tanpa Nama tidak hanya menggeluti dunia persilatan, ia juga menggeluti sastra dan pemikiran.

9


Cerpen

Anggur Orang Mati

Oleh: Muhammad Qadhafi*

Dok. google.com

A

nggur meleleh dari langit orang-orang mati dan menetes seperti hujan pesta mabuk-mabukan yang diberkati Tuhan.

*** Seorang takmir masjid sadar betul kalau entah berapa waktu lalu kejadian cerobohnya mengepel lantai masjid dengan terlalu banyak sabun telah membuatnya terjungkir ke ajalnya yang memalukan. Namun, setelah sekian lama dirundung kegelapan dan rasa malu mendalam, akhirnya ruhnya dapat menyaksikan langit bercahaya dalam kuburnya dan kuyu di wajahnya pun seolah berangsur sirna. Ruh dekil dan panuan itu terpesona melihat langit yang belum pernah ia lihat sebelumnya—meneteskan hujan hangat berwarna ungu, beraroma wine, dan membuatnya kuyup kegirangan—, sampai-sampai

10

mendadak lupa menggaruk panu punggungya dan mendadak pula mengira (disertai keyakinan yang berlebihan) bahwa ia sedang berada dalam surga kehalalan yang abadi. Dengan melebihi kebrutalan cara bajingan, ruh takmir itu menjilati hampir seluruh bagian tubuhnya yang berlumuran wine hingga berganti berlulur ludahnya sendiri. Maklum, semasa hidup ia tak pernah sekalipun mencecap kenikmatan berimajinasi yang liar. Di belakangnya, duduk sosok ruh seorang pemabuk yang tengah menyaksikan adegan menjijikkan yang kelewat hina itu dari bawah atap imajiner yang teduh, sesekali ruh pemabuk gembrot itu menggelengkanEdisi Haul Chairil Anwar 2013

gelengkan kepalanya sambil menghisap rokok buru-buru tapi tanpa sekali pun berhasrat mencicipi genangan anggur hujan di sekitarnya—mungkin karena sudah bosan (atau mungkin lebih mulianya karena tobat). Merasa ada yang mencurigai ketololannya menjilati tubuhnya sendiri dan mabuk, ruh takmir kudisan itu menoleh ke belakang. Kaget ia bukan kepalang ketika melihat pemabuk gendut itu berada satu-dua petak di surga khayalanya. Ia mengenal dan membenci betul sosok yang sedang duduk merokok dan menatapnya dengan rasa iba. Sosok yang dilihatnya adalah Makus—seorang pemabuk ulung yang sebenarnya tak pernah membikin onar semasa hidupnya. Hanya saja, Makus selalu menjepit sebatang rokok di tangan kanan, menenteng sebotol vodka gepengan di tangan kiri, dan dua botol lainnya di kedua kantong celana jeansnya yang longgar ke mana pun ia pergi. Sehari sebelum kematian Makus, takmir yang ngekos gratis di masjid itu menyulut ekor-ekor sensitif warga kampung untuk mengusir Makus dari kampungnya. Alhasil, karena api kebencian itu terkena angin di luar nalar dan kebiasaan, pengusiran puluhan warga akhirnya tak berhasil menyepak bujangan tambun itu dari kampung, melainkan berhasil mendepaknya dari kehidupan. Tanpa sempat meminta maaf karena mulut dan giginya remuk (padahal mung-


Cerpen kin sudah berniat), Makus tewas dihajar warga yang beringasan— termasuk takmir dekil itu—dengan berbagai siksaan perabot rumah tangga. Dan seminggu berselang, setelah solat Jumat, tubuh takmir itu pun menyusul tubuh Makus yang tak bertuan, dikuburkan. Ruh takmir itu segera menampik ingatan merah-gelap tentang pembunuhan Makus dan kematiannya sendiri. Ia berjalan sempoyongan ala bebek buruk rupa yang kehilangan sebelah sayapnya, mendekati ruh Makus dengan lagak percaya diri. Segenap makian khas orang-orang putus asa mulai ia lecutkan untuk mencela Tuhan dan malaikatmalaikatnya yang ia rasa telah khilaf meloloskan pemabuk itu ke surga. Ia pun—dengan tanpa alasan yang religius— mengayun-ayunkan tangannya dengan ngawur dan membuatnya semakin kelihatan pecundang. Sedangkan ruh Makus mencoba duduk lebih tenang dan sesekali menoleh dengan santai untuk

menghindari pukulan-pukulan ingusan itu, kukira ia mengerti betul sikap dan cara mengatasi seorang pemula—pemabuk kelas teri yang payah dan sok-sokan. “Apa kau mau membunuhnya untuk kedua kali?” tanya remeh sosok malaikat yang tibatiba muncul di antara kegiatan pukul-toleh-pukul-toleh itu. “Bukankah memang tak sepantasnya pemabuk itu tinggal di surga? Dia! Dia hanya akan mengotori surga orang-orang alim sepertiku! Wahai Malaikat, sadarlah.” Ruh takmir masjid cerewet dengan nada tingkat kemabukan yang kronis sambil menunjuk-nunjuk ruh Makus. “Hei, Takmir Masjid yang bebal dan tak perlu aku tahu siapa namamu. Tahu apa kau tentang surga dan kehidupan sedangkan pengetahuanmu hanya sebesar, sebanyak, dan senajis kopiahmu yang tak pernah ganti dan dicuci? Lihatlah saudaramu yang bernama Makus itu, dia tak lagi menenteng, mengantongi apalagi meminum vodka yang di

dunianya dulu sangat ia cintai. Dan kau yang telah keji membunuh orang yang hampir bertobat itu, malah mabuk-mabukan di alam barzakh ini?” Bukannya menyimak dengan penuh antusias, ruh takmir malah muntah-muntah ke tubuh malaikat yang kurang beruntung itu. Dan kali ini Makus akhirnya beranjak dari duduknya dan membunuh nyala rokoknya yang masih setengah, ia sungguh terkaget—tak pernah dilihatnya seorang pemabuk yang payah memuntahkan gumpalan jantung, usus, dan segala jeroan tubuhnya dengan banjir hitam darah, sampai-sampai memudarkan cahaya tubuh malaikat yang diguyur muntahan. *** Salatiga, 12 November 2012 *Mahasiswa BSI angkatan 2008

Kata Maestro “Aku suka pada mereka yang berani hidup

aku suka pada mereka yang masuk menemu malam“ - chairil anwar, “perjurit jaga malam“

“Puisi adalah ketika emosi menemukan pikiran, dan pemikiran menemukan kata-kata“ - Robert Frost

“kecemasan adalah abdi dari kreatifitas“ - t. s. elliot Edisi Haul Chairil Anwar 2013

11


SINEMA Catatan Apresiasi atas Film Cinema Paradisso Oleh: Agus A. Pribadi*

S

kungan seperti itu, Alfredo ebuah kota kecil, dengan menekankan satu hal kepada kehidupan sederhana, ditToto sejak dini. Bahwa suatu inggali oleh manusia-manusia waktu, dia harus keluar sederhana, dan tingkah laku dari Siccili. Harus melawan yang sederhana pula. Tampak dorongan kenangan. Untuk membosankan. Yang menjamaju, untuk tidak menjadi dikan menarik adalah antuAlfredo kedua. siasme yang teramat sangat Satu hal yang palterhadap film. ing berkesan adalah, scene Sebuah bioskop, kecil terakhir ketika Cinema Paradan sederhana. Ketika film disso dirubuhkan. Pergantian yang sedang diputar adalah shoot secara berulang antara jenis film yang banyak dimigambar Cinema Paradisso nati orang, bioskop ini tidak yang rubuh dengan masingmampu untuk menampung masing penduduk yang dulu seluruh penduduk kota kecil menghabiskan waktu untuk itu. menonton film atau memCinema Paradisso, buang waktu di sana. Sebuah nama dari gedung bioskop gambar yang menguatkan yang menemani keseharian Dok. google.com kenangan dari masing-masing yang sederhana dari penduduknya. Meski pernah terbamampu menyatukan unsur-unsur orang. Sebuah penggambaran yang cerdas, akan ketergantukar, namun kebaikan hati salah tersebut dalam satu film secara seorang hartawan membuat Cinpadu. Semua itu dilakukan untuk ngan orang di kala itu terhadap ema Paradisso mampu bangkit menjelaskan satu hal.Bagaimana Cinema Paradisso. Hingga, air mata mengalir dari masing-madari reruntuhan debu dan abu. ketergantungan penduduk terhasing warga. Alfredo, nama dari Lain halnya dengan pemutar proyektor. Dan toto, “Tornatore, dalam menceritasahabat kecil alfredo. Dan, kan tidak sepenuhnya drama, penduduk yang sempat medari Cinema Paradisso film tidak sepenuhnya melankolis, nikmati masa jaya Cinema Paradisso, penduduk yang dan juga tidak sepenuhnya memasuki alur cerita, dari masih berusia muda langsung Cinema paradisso pula film idealis.� menghabur ke dalam debu yang mengakhiri cerita. berterbangan memenuhi halaTornatore, dalam menceridap Cinema Paradisso. man.Memperebutkan sisa-sisa takan tidak sepenuhnya drama, Seperti seorang anak yang yang mereka tak tahu maknanya. tidak sepenuhnya melankoakan selalu rindu kampong halaMungkin hanya untuk berselis, dan juga tidak sepenuhnya man, hal itulah yang ditekankan. nang-senang. Atau mungkin unidealis. Lain halnya dengan Kenangan.Nostalgia. tuk mencari barang yang masih sutradara serius lain, Tornatore Tumbuh besar di ling-

12

Edisi Haul Chairil Anwar 2013


SINEMA bisa dijual. Gambar dramatis ini dilawan oleh senyum Toto, yang dengan cermat menyimak ekspresi dari masing-masing wajah. Ekspresi kehilangan. Ekspresi kenangan. Ya, pada akhirnya Cinema Paradisso kalah oleh zaman dari modernisasi televisi yang mampu memberikan hiburan dengan bayaran yang tidak terlalu mahal. Sedangkan pihak orang

Dok. google.com

tua, sibuk menekuni sisa-sisa kenangan. Nostalgia yang begitu erat terhadap kehadiran Cinema Paradisso di tengah kehidupan

sederhana mereka. *Pemerhati film-film berkualitas dan pemerhati budaya

ESai

Menuju 1000 Tahun Oleh: Armada Nurliansyah*

D

alam sajaknya, Chairil Anwar pernah menuliskan “aku ingin hidup seribu tahun lagi�, dan pada saat itulah keabadian dalam batinnya masih dirayakan oleh kita sebagai umat manusia.

Meskipun secara fisik ia meninggal di usia muda tetapi yang dimaksud dengan hidup 1000 tahun adalah karyanya yang sampai saat ini masih dibaca oleh khalayak ramai. Lalu apakah arti keabadian yang sesugguhnya? Keabadian yang menjadi anti thesis dari kematianadalah ungkapan manusia menuju kesem-

purnaan. Namun saya berpikir bahwa keabadian akan terjadi dalam sebuah tindakan mengenang objeknya, seperti halnya Chairil yang kita selalu kenang melalui sajak-sajaknya. Saya beranggapan demikian. Namun kematian secara fisik bukanlah apa yang dimaksud dengan inti dari Edisi Haul Chairil Anwar 2013

keabadian,namun keabadian adalah ketika orang-orang masih mengingat hidupnya sampai kapanpun. Oleh sebab itulah, manusia diciptakan untuk mencari dan mendapatkan kebebasannya. Chairil pun berkata demikian, ia telah merayakan kebebasannya hingga saat ini. Melalui orangorang yang masih tetap terjaga untuk membaca sajak-sajaknya dan mengambil vitalitas yang larut dalam sajak-sajaknya sebagai spirit untuk terus hidup. Peristiwa mengingat dilangsungkan seperti hari ini –kematian Chairil yang dinobatkan jadi hari sastra kita. Dalam memperingati atau merayakannya

13


ESai “Kita memperingati

Chairil Anwar pun karena ia menulis, bisa dikatakan ini adalah ihwal dari merealisasikan keabadiannya yang belum genap 1000 tahun.” bukan berarti kita harus menciptakan monumen Chairil Anwar di kota-kota, mata uang bergambar Chairil Anwar, atau tugu Chairil Anwar –itu mustahil bagi saya. Katakanlah iklim kepedulian terhadap khayalan (sastra) di negara kita sangatlah rendah, oleh sebab itu pemerintah lebih bangga menaruh gambar orang utan atau panorama alam dibanding dengan gambar Chairil Anwar. Seolah-olah seni dan kebudayaan hanyalah menjadi simbol dengan diberikannya gambar danau, alat musik tradisional di dalam mata uang kita –setidaknya dengan cara apapun kita masih bisa bersyukur peringatan tersebut masih digelar di beberapa tempat. Saya teringat sebuah kutipan dalam novel Rumah Kaca,bahwa “orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Kita memperingati Chairil Anwar pun karena ia menulis, bisa dikatakan ini adalah ihwal dari merealisasikan keabadiannya yang belum genap 1000 tahun. Oleh sebab itu kita selalu gelisah akan entitas sastra kita yang masih sering mengalami polemik. Hal ini karena publik sastra yang berdiri di antara

14

kubu-kubu tertentu saling beradu pendapat meskipun tidak pernah ada kesimpulan yang terlahir dari perdebatan tersebut.Serupa yang dituliskan Gustave Flaubert bahwa kesimpulan hanyalah milik Tuhan. Oleh sebab itu segala yang dirumuskan adalah kesimpulan yang masih bersifat fluktuatif. Saya curiga bahwa hal ini ada sebuah kepentingan, agar mereka dicatat dan dapat tempat. . Begitupula dengan hari sastra yang kita peringati saat ini. Barangkali pada 50 tahun ke depan 28 April tidak lagi disepakati menjadi hari sastra yang memperingati kematian Chairil, namun mereka menganggap masih ada yang lebih pantas dirayakan selain hari kematian Chairil. Ya, setiap orang berhak menentukan mana yang akan dikenang dan dirayakan –tidak semua sosok memberikan kesan yang terus teringat. Barangkali kelak orangorang akan lebih mementingkan merayakan kematian seorang artis karbitan daripada kematian seorang penulis besar. Namunapabila keabadian Chairil genap 1000 tahun, apakah kita masih merayakannya?Bahkan masihkah kita memerlukan puisi sebagai spirit yang terus dipegang oleh bangsa kita. Sejarah bangsa kita yang terlahir dari tradisi lisan yang sangat kuat, dan masih adakah yang ingin memperjuangkannya sebagai martir atau kaum minoritas? Seorang filsuf ternama Heidegger menganggap bahwa wacana berpikir yang asli adalah puisi. Begitupula halnya Edisi Haul Chairil Anwar 2013

puisi bukanlah sebuah bentuk tulisan yang mengandalkan imaji, diksi, dan sebagainya. Namun seorang penyair dalam menulis puisi berdasarkan dari kegelisahan yang ada di lingkungannya atau yang menjadi kegelisahan hatinya –Chairil pun demikian membawa spirit zamannya dan kita mendapatkannya sampai saat ini. 1000 tahun kebadian bukanlah suatu masa yang sebentar, bahkan belum ada dinasti yang sanggup berdiri di atas 1000 tahun. Yang kita kenal hanyalah lintasan sejarah yang bergerak terus menerus, dan sejarah yang sengaja diabadikan oleh penulis. Agar mereka tahu “darimana kita berasal” dan “siapakah kita sebenarnya”. Dari menulis kita akan diabadikan seperti halnya Chairil yang masih kenang sampai saat ini. Saya teringat akan tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Rumah Kaca yang memberikan petuah kepada Minke: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun,? Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Yogyakarta, 27 April 2013

*Penyair, pecinta film, calon pengajar, dan pecinta buah semangka


Lomba Cerpen Rohto

Sumber: www.rayakultura.net

Edisi Haul Chairil Anwar 2013

15


Lapak Buku Menjual buku-buku sastra!

Rp. 30.000,00

Rp. 17.000,00

Rp. 25.000,00 Rp. 30.000,00

Rp. 30.000,00

Rp. 25.000,00 Rp. 23.000,00

Rp. 40.000,00

Juga tersedia kaos Chairil Anwar sablon ukuran S warna abu-abu

Rp. 25.000,00

Harga: Rp. 50.000,00

Cara Pemesanan: SMS ke nomor 087738738007 (Jan)

16

Edisi Haul Chairil Anwar 2013

Rp. 16.000,00


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.