Buletin Mimesis Edisi 13

Page 1

clipart.co

Edisi November 2016


Salam Sapa Susastra DI SINILAH KITA BERADA. Lingkup masyarakat dengan teknologi yang terus tumbuh dan berkembang. Tetapi, apakah manusia butuh perkembangan? Karena tak jarang pertumbuhan menimbulkan anomali. Dan lagi sikap terhadap bulan kemarin yang dianugerahkan menjadi pengingat untuk kaum pecinta bahasa dengan lomba-lomba bertemakan—tentunya—bahasa. Juga ada yang memilih untuk “menyederhanakan” dengan tidak melulu dengan lomba-lomba. Semua memang mempunyai alarmnya masing-masing untuk menjadi pengingat, yang membangunkan dari tidur panjang. — Selebihnya kami serahkan pada bahasa-bahasa dalam diskusi dan dalam “tiruan” ini untuk menambah daftar panjang dari cerita yang diabadikan. Salam dari kami untuk para pembaca dan penikmat bahasa.[]

Redaksi Penasehat Komang Ira Puspitaningsih, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt, Mawaidi D. Mas, Muhammad Qadhafi, Muhammad Farid Anshori, Rozi Kembara, dkk. Pemimpin Umum Reigina Fanindika Putri Pemimpin Redaksi Sigit Pritiyanto Redaktur Andrian Eksa, Permadi Suntama, Desvandi, Inas Adila, Nana Marlina, Nisa Maulan, Arief Budiman, Arief Rahmanto, Ikhsan Abdul, Danang Suryo, Burhan, Alfian, Anik, Monna, Ayu, Hafida, Dwi, Lovitta, Ayu, Polanco, M.Syafiq, Syakinah, Diana, dkk. Editor Anto, dkk. Layouter Danang Suryo


3

PUISI

Polanco S. Achri

Seseorang Bertanya Padaku : Bagaimana rasanya mati? Ingin kuhujamkan pisau padanya —walau kutahu yang bertanya itu aku! Wates, 15 Mei 2016

Telaga Narsisus* Manusia merasa kekal dalam kefanaan puisi begitu juga puisi merasa kekal dalam kefanaan manusia

Yogyakarta, 2016 *Legenda Yunani; asal muasal istilah “Narsis”

KARTU TANDA PENDUDUK Nama : Orang sering memanggilku polan—dengan p kecil Tempat/ Tgl Lahir : Andaikan kuingat Berlaku Hingga (20xx)

: Menikahi Kematian


4

PUISI

Anonim

RIWAYAT YANG TERLUPA /1/ Hari hampir hening Laut seperti warna tembaga disorot cahaya lampu. Kita masih pada pertanyaan yang sama, Mengapa laut masih ada dan suka menyimpan rahasia? Orang-orang datang dari mana mereka suka, Membawa keluhnya masingmasing Lalu menitipkannya kepada laut yang asing. “Barangkali laut adalah diri kita, tak pernah selesai dengan rahasia. Barangkali laut pun adalah kesunyian kita, yang terlalu mengada.” katamu. Atau karena laut itu ibu Di mana kita bermula Di mana rahasia bermuara. Kita masih bertanya, Masih menerka. /2/ Hari hampir hening Ombak bergulung menepi, perlahan Angin kepada pasir, menjadikannya desir Sedang orang-orang menyiapkan kecemasannya Seperti nelayan melarung sesaji dalam dongeng.

“Perdengarkan lagi padaku, Dongeng nelayan yang purba itu.” Pintamu dengan mata yang tak lepas, dari garis di ujung batas.

Alam menjaga kita dari sesat dan kecemasan.

Pada mulanya setiap nelayan mencintai laut. Mereka menghormatinya dengan sesaji, Uba rampe dan doa-doa. Mereka menghormatinya dengan upacara, Membakar kemenyan, lalu melarung kecemasan.

Angin semakin dingin Ke laut, nelayan nyambang.

“Sama seperti orang-orang yang datang. Sama seperti kita.” Bisikmu tiba-tiba, seperti menggarami luka. /3/ Hari pun hening Kecemasan tergulung ombak, menjadi buih. Pandang kita beringsut ke langit Menghitung bintang dan menukarnya dengan nasib. “Lihatlah! Pada mulanya itu adalah peta Nasib yang membawa kita Mengarungi laut, rahasia hidup.” Seperti nasib yang tertulis pada garis tangan

/4/ Hari semakin hening Orang-orang pulang.

Sedang kita masih di luka yang sama Mengapa laut masih ada dan orang-orang datang menitipkan rahasia? Sedang laut masih di tempat yang sama Mengapa kita masih ada dan tak lagi menghormatinya? /5/ “Semoga Sebelum jadi mimpi Dongeng-dongeng diperdengarkan kembali.” doamu. Tiba-tiba Selalu tiba-tiba Dalam matamu, ribuan harap menjadi layar Membentang dan tertiup angin. Membawa kecemasan kita mengarungi peta nasib di lembar langit. Yogyakarta, Agustus 2016


5 Irwan Arpriansyah Segara

KRITIK SASTRA

Tragedi Orang-orang Kecil dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang “Membaca adalah menyusuri jalan pulang menuju diri sendiri...” - Octavio Paz, penyair Meksiko, peraih nobel sastra 1990.

I

gnas Kleden dalam bukunya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, menyatakan bahwa sastra adalah dialektik (pada berbagai tingkatannya) antara dunia luar-teks (yaitu peristiwa) dan dunia dalam teks (yaitu makna). Interaksi atau terjadinya hubungan timbal balik antara teks dengan luar-teks menghasilkan makna referensial, sedangkan interaksi antara bagian-bagian teks satu sama lain menghasilkan makna tekstual, yang menurutnya merupakan pencapaian spesifik dari kesusastraan. Jika ditinjau dari Strukturalisme genetik, maka apa yang disebut oleh Kleden sebagai dunia luar-teks adalah suatu bentuk genetik dalam konsep Lucien Goldmann. Genetik merupakan dunia luar-teks, suatu asal mula, awal keberangkatan suatu teks. Jika di dalam realitas terdapat suatu struktur masyarakat, termasuk dengan tingkatan kelas-kelas sosialnya, ada kalangan kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah atau kaum marginal. Maka dalam karya sastra pun terdapat bentuk struktur sosial, sebab suatu karya selalu men-

jadikan realitas sebagai sumbernya. Sesuai dengan pandangan Goldmann, George Lukacs mengungkapkan bahwa karya sastra dapat berperan sebagai refleksi atau pantulan kembali dari situasi masyarakatnya (Wiederspiegelung), baik dengan menjadi salinan atau kopian (Abbild) suatu struktur sosial, maupun dengan menjadi tiruan (Mimesis) masyarakatnya. Hal tersebut terdapat pula dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. Namun dunia luar-teks yang disorot oleh Ahmad Tohari dalam kumcernya lebih spesifik lagi, yaitu lebih mengarah kepada tragedi kelas bawah atau kaum pinggiran yang kerap dianggap sebelah mata dalam struktur sosial. Mata yang Enak Dipandang terbit pada tahun 2013 merupakan cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang diterbitkan kembali dari beberapa media cetak antara 1983-1997, menyuguhkan keindahan alam pedesaan yang eksotis dan tragedi yang menimpa orang-orang marjinal semacam gelandangan, pelacur, pengemis, petani, dan buruh. Kecenderungan Tohari dalam keberpihakannya terhadap orang-orang kecil sangat jelas terlihat dalam beberapa cerpennya yang mendominasi cerpen-cerpen lain dengan tema berbeda.

Seperti terdapat dalam cerpen berjudul “Mata Yang Enak Dipandang” yang berkisah tentang dua orang peminta-minta, Mirta yang buta dan Tarsa si penuntun, mereka hidup dalam kemiskinan. Sehari-hari meminta-minta dari gerbong ke gerbong kelas ekonomi. Rekaman kondisi kemiskinan pada zaman orde baru itu tidak jauh beda dengan saat ini. Bahkan pada tahun 2013, kebijakan perkereta-apian diganti dengan kebijakan baru, di mana gelandangan, pengamen, pengemis, dan orangorang semacam Mirta dilarang memasuki stasiun-stasiun dan gerbong kereta ekonomi. Pada akhirnya orang-orang seperti Mirta tersingkir dan dibiarkan mati dalam kemiskinan. Tema serupa terdapat dalam “Penipu yang Keempat”, meski pada akhir cerita mengungkapkan sisi kemunafikan si tokoh dalam berkeyakinan beragama. Lalu “Dawir, Turah, dan Totol” tentang lika-liku hidup menggelandang di terminal. Ahmad Tohari berangkat dari pergunjingan atau selentingan orang-orang untuk mengungkapkan kisah perempuan-perempuan yang terpaksa harus menjual tubuhnya kepada orang lain sebagaimana yang terjadi dengan Jebris dalam “Bila Jebris di Rumah Kami”, Jum dalam “Warung


6

KRITIK SASTRA Gaya realis Kumpulan cerpen Mata Yang Enak Dipandang (2013) didominasi cerita bergaya realis, hal tersebut tidak dapat dipungkiri sebab memang demikianlah gaya Ahmad Tohari. Kumcer ini merupakan potret lain yang mengungkap orangorang yang tersisihkan dari lingkup sosial. Bahasanya sederhana, lugas, dan indah dalam melukiskan suasana alam. Secara keseluruhan, dari ke-15 cerpen tersebut, hanya ada tiga cerpen yang berkisah dengan gaya surealis, “Akhirnya Karsim Menyebrang Jalan”, tentang ruh yang melayang-layang menyaksikan mayatnya sendiri. Kemudian terdapat tokoh Sardupi yang memiliki kemampuan gaib, bawaannya dari lahir. Kelebihan (karunia) tersebut mampu membuatnya melihat segala isi perut manusia, melalui sudut pandang Sardupi ini kita dihadapkan pada cara pandang yang berbeda dan tidak umum sehingga menimbulkan ironi dan rasa humor dalam “Pemandangan Perut”, liau juga seorang Kyai dengan dan tentang para malaikat dawawasan yang luas dan mum- lam “Penyangga Langit”. puni. Masih tentang orang keCara berkisah Ahmad cil, dalam “Harta Gantungan” Tohari dalam ketiga cerpen yang bercerita tentang seorang tersebut begitu realis dan tidak tua penggembala kerbau, pen- terjebak dalam ungkapan dan garang lebih menekankan pada deskripsi yang klise meskipun ironi tentang transimgrasi yang menceritakan kisah yang surekatanya dapat mengurangi ke- alis. Melalui gaya realis inilah miskinan. Tapi Ahmad Tohari yang mengantarkan Ahmad Toberpendapat lain, katanya “pro- hari dalam menghasilkan karya gram trasnmigrasi bisa berarti besar semacam Kubah (1980) pemerataan kemiskinan ke luar dan Ronggeng Dukuh Paruk jawa,” (hal. 140). (1982) Orang-orang Proyek bun yang bekerja sebagai kuli batu, pulang ke rumah sambil mengantongi uang dari hasil kulinya. “Sayur Bleketepuk” mengingatkan kita pada cerita kemiskinan di zaman Muhammad ketika seorang ibu hanya memasak batu dalam panci demi menahan rasa lapar anaknya sampai terlelap. Kondisi di masa lampau tersebut bisa jadi genetik dari cerita yang ditulis Ahmad Tohari, mengingat be-

Dok. Istimewa

Penajem”, dan Rusmi dalam “Rusmi Ingin Pulang”. Yang dialami oleh ketiga tokoh itu sebenarnya mengungkapkan rasa kecewa mereka terhadap kenyataan pahit yang harus dihadapi, sehingga perempuan-perempuan kampung seperti Jebris, Jum, dan Rusmi, mencari perbaikan hidup lewat harapan-harapan yang ditiupkan dunia perkotaan yang hedonis. Berbeda dengan Jum, kedua tokoh lain sama-sama memiliki sebab yang seragam, yaitu karena Jebris dan Rusmi sama-sama ditinggal mati suami. Sementara Jum yang masih bersuami, yang mengangankan kehidupan lebih baik untuk lepas dari kemiskinan. Jum melakukan penajem atau “syarat yang harus diberikan kepada dukun agar suatu upaya mistik berhasil” (hal. 56). Ada proses transaksi terjadi antara kenyataan yang pahit (kemiskinan) dan tipuan dari sebuah ilusi hedonisme dunia perkotaan, serta modernitas yang dipaksakan hadir dalam alam pikir orang-orang miskin. Suara orang-orang kecil begitu kuat menggema dalam kumpulan cerpen ini, sehingga orang semacam Parsih harus rela menahan kemauan kedua anaknya dengan cara menyuguhkan sayur bleketepuk (sejenis dedaunan yang jika dimakan akan cepat mengantuk), agar mereka segera terlelap dan lupa pada keinginan mereka untuk pergi ke pasar malam naik kuda-kudaan. Demi menanti sang suami, Dal-


7

KRITIK SASTRA serta Bekisar Merah. Memang tepat, pengarang yang memilih tidak menyelesaikan kuliah-kuliahnya di beberapa fakultas ini lebih tepat bercerita dengan gaya realis. Jika tidak, kemungkinan besar tidak akan melahirkan kedua karya-karya tersebut. Namun, di sinilah letak kelihaian Ahmad Tohari dalam bercerita, seolah-olah pembaca mampu merasakan suasana alam pikiran dan jiwa para tokoh yang terbentur dengan kondisi realitas dalam karyanya sehingga menimbulkan pertentangan, konflik, dan ironi

yang berjalin-kelindan dalam dunia fiktif yang dibangunnya. Dalam kehidupan modern ini, kelas bawah semakin tersisihkan, kelas menengah ke atas semakin tergantung pada gadget (atau semakin dikendalikan oleh gadget?), maka hanya melalui karya sastra kita mampu membuka wawasan baru, memberikan sudut pandang baru, penafsiran baru, mencari dan menemukan diri yang sejati melalui perenungan yang dibawa oleh teks mengenai dunia luar-teks. Karya sastra juga mampu menyelamatkan

nalar dari berbagai bentuk ketidakwarasan akal, baik dengan cara menulis maupun membaca sebagai sarana terapi diri untuk melepas segala ketegangan yang tersendat-terpendam di dasar batin dan dalam pikiran. Maka, Ahmad Tohari, sebagai salah satu pengarang besar Indonesia yang memiliki suara dan gaya khas mengenai dunia pedesaan, yang mempertanyakan nilai-nilai tradisional dan modernitas ini, karya-karyanya patut dicermati dan dikaji lebih dalam. []

CERPEN

Anita N.

Pesan Petaka

P

etang itu amat lain warna langit. Awan kelabu menggumpal-gumpal di sebelah timur, makin berat dan makin rendah juga, kilat mulai menyambut, pertanda hujan akan segera datang. Namun di hulu barat seolah menentang langit timur, biru cerah berhias cyrus tipis mendayu-dayu. Pada zaman yang sudah tak tentu musim ini memang udara cepat sekali bertukar. Seharian terik, sebentar kemudian hujan mendung. Manik-manik bening mulai jatuh berserak ke daratan, beribu-ribu, berjuta-juta banyaknya. Membasahi seluruh

bagian bawah bumi. Lalu mendatangkan ular melengkung di atas langit, amat beraneka warnanya, mulanya jelas kemudian samar dan semakin transparan. Warna langit jadi berubah, makin lama makin kuning, sehingga di tempat itu bagai ditabur emas dari atas. Pemandangan yang indah sebenarnya, tapi bagi penduduk desa, penampakan seperti itu ngeri adanya. “Langit kuning, Pak. Baiknya tak usah pergi kerja kau besok.” Terdengar suara hawa paruh baya dari dalam sebuah rumah sederhana di desa itu. “Apa to, Bu. Masih saja

kau percaya dengan takhayul simbah-simbah jaman dulu.” Terdengar jawab berat dari pria yang diduga suami si wanita. Ia tampak acuh pada peringatan istrinya, dianggap lalu saja omongannya sambil mengelap sepeda ontel tuanya dengan kanebo yang baru ia beli pagi tadi. “Tapi, Pak. Menurut orang, bila langit kuning begini pertanda akan datangnya wabah atau orang akan mati kena bencana.” Istrinya masih tak bosan memperingatkan, dahinya berkerut dengan mata memohon.


8

CERPEN “Itu kan dulu, Bu. Jaman simbah buyutmu. Jaman masih belum ada listrik. Orang silau sama langit yang bikin kepeleset di jalan yang masing lempung. Uwis to, Bu, ojo takut sama hal-hal yang nggak masuk akal. Jangan takut tanpa alasan. Wis sik penting berdo’a wae.” Si Bapak menyabetkan kanebonya, pertanda ia tak mau lagi dibantah. Si Istri diam, menyerah pada kekeraskepalaan suaminya. *** Esok harinya sang suami yang bernama Mrajak tetap bersikukuh untuk bekerja. Menambang pasir di alur Kaliworo bersama ketiga rekan sejawatnya, Marno, Roji, dan Sutris. Mereka asik bercakap sambil mengeruk pasir secara manual di alur itu, bersenda gurau sampai-sampai lembah yang sunyi itu berubah bising. Tawa keempat pria itu membelah udara, memenuhi lembah yang seharusnya sepi lagi damai itu. Tempat Mrajak dan kawan-kawan menambang pasir adalah sejenis sungai yang surut. Sungai dengan bebatuan cadas tinggi menjulang. Bergerombol seperti permen gula kapas yang bergulung-gulung, namun keras. Membentuk lembah dalam dan sunyi yang akan langsung ramai jika ada sedikit saja suara. “Eh Jak, kudengar dari istriku, kalau istrimu melarang kau untuk menambang hari ini. Ia takut kalau terjadi apa-apa padamu. Hahaha bilang pada istrimu, kalau dia senewen

sendiri, tak usahlah ajak-ajak istriku, ia jadi ikutan cerewet.” Sutris menghentikan kerukannya, meluruskan punggungnya lalu mulai menyalakan sebatang kretek. “Tak tahu lah, wanita memang repot. Tak tahu apa aku kerja demi siapa”. Jawab Mrajak sambil terus mengeruk. “Benar itu, kalau kita tak kerja, siapa yang marah? Siapa yang merengek kalau beras nipis, gincu habis, dan anak nangis?, mereka juga kan? Tiap hari kita cari uang juga buat anak bini kita.” Marno menimpali sambil mengulurkan tangannya pada Sutris, bermaksud meminta rokok. Tapi hanya dibalas dengan gelengan keras seolah menjawab, ‘Beli sendiri!’ Marno menyikut, “Pelit kau. Kalau mati, kubur sendiri sana mayitmu.” Mrajak tergelak melihat aksi saling sikut dan saling tendang Sutris dan Marno. Mereka berdua seperti bocah yang berebut layangan putus. Roji yang pendiam tak ikut menyahut atau melerai seperti Mrajak, ia hanya tersenyum simpul sambil terus mengerjakan apa yang harus ia kerjakan. Hari semakin terik, matahari sudah di atas ubun-ubun. Sudah siang rupanya. Keempat kawanan itu mengelap keringat masing-masing, amat haus dan lelah badan mereka. Marno yang pertama kali menghentikan pekerjaannya. Mengajak teman-temannya untuk istirahat sebentar, tak baik memaksakan diri bekerja di tengah terik dan peluh begini, bisa-bisa

mereka semaput. “Hai-hai, ngaso yo. Capek aku, nanti kita lanjut lagi. Uwis bedug iki.” “Kalian istirahat aja dulu, aku masih lanjut bentar, nanggung.” Mrajak menolak ajakan rekannya untuk istirahat. Ia terus menambang sementara ketiga kawannya makin menjauh untuk mencari tempat teduh. Mrajak bukannya tak lelah, tapi ia menemukan suatu benda yang menarik, tersembul dari balik bebatuan dan tekubur pasir. Dengan penasaran yang menggebu Mrajak menggalinya hingga wujud benda itu terlihat jelas di depan hidungnya. ‘Hmm.. sepertinya aku menemukan jimat keberuntungan. Mereka tidak boleh tahu. Aku harus menyimpannya sendiri.’ Batin Mrajak sambil terus melanjutkan pekerjaannya. Ia terus mengeruk dan mengeruk, hingga tak sadar batuan cadas yang ada di sekitar kepalanya mulai bergerak-gerak. ‘Sedikit, lagi. Lalu aku akan istirahat’, pikirnya. Namun rupanya Mrajak memang tak diijinkan untuk istirahat, batuan besar meluncur deras ke bawah, menimpa tubuh letihnya. Tak hanya satu, Mrajak seolah terkubur batu. Bahkan darah tak nampak saking banyaknya batu yang menimpanya. Mendengar suara gemuruh itu, teman-temanya berlari menghampiri, mendapati gunungan batu di tempat Mrajak tadi berdiri. Tak banyak membuang


9

CERPEN Dok. Istimewa

waktu, mereka lekas menyingkirkan batu-batuan tersebut. Namun sayang, tenaga mereka tak cukup kuat untuk mengangkat batuan sebesar itu. Roji lekas menghubungi Tim SAR dan Kapolsek setempat. Tak lama kemudian, tim bantuan datang bersama ekskavator yang menderu-deru. Proses evakuasi menjadi cukup sulit mengingat batuan tadi memang besar-besar. Mereka bekerja sama untuk menyingkirkan batu-batu yang menimpa Mrajak. Setelah 4,5 jam tubuh Mrajak baru bisa terlihat. Teman-temannya lega sekaligus ngeri melihat kondisi Mrajak. Tubuhnya bersimbah darah, kepalanya lumat dan kaki kirinya hampir putus. Tim SAR langsung memasukkan jasad Mrajak ke dalam kantung kuning. Tapi langsung dihentikan oleh Roji, teman-temannya yang lain saling me­man­dang ke­bing­ungan. “Sudahlah Ji, mau apa lagi? Tak kasihan kau melihat jasad Mrajak begitu? Kasihan juga Lasmi menunggu mayat

suaminya di rumah. Apa lagi yang membuatmu tak lekas melepaskan kepergian Mrajak?”, ujar Sutris sambil menutup mukanya yang hampir menangis antara kasihan dan jeri. “Lihat, Tris. Kepalan tangan Mrajak, apa yang ia genggam itu? Bukankah itu sebuah keris kecil?” ketiga temannya sontak menoleh ke arah yang ditunjuk Roji. Dan benar adanya, tangan kanan Mrajak menggenggam sebilah keris mungil berbalur tanah. Tampak sangat tua dan lama terpendam namun tetap kokoh dan apik. “Gusti! Apa itu? Bukankah itu sebuah azimat?”, seru Marno. “Benar, No. Sepertinya Mrajak menemukannya saat ia mengeruk tadi.” jawab Sutris memberi kesimpulan. “Tapi, bukankah dilarang mengambil azimat atau pusaka dari tempat-tempat seperti ini? Ciloko katanya”, Roji begidik ngeri sendiri. “Apa ini yang membuat

Mrajak celaka? Ia mengira jimat itu akan menguntungkan hidupnya hingga ia berani melanggar larangan?”, Sutris bergumam sendiri, seolah menjawab untuk dirinya sendiri. *** Mayat Mrajak pun telah dibawa ke rumahnya yang disambut lolongan pilu istrinya. Ia jatuh pingsan setelah sesenggukan sekian lamanya. Pemakaman dilangsungkan di tengah hujan badai dan mendung hitam pekat. Keris yang ditemukan pun telah diserahkan ke dinas kepurbakalaan untuk ditempatkan di museum atau di manapun asal jauh-jauh dari desa mereka. Sejak saat itu, desa yang tenang itu berubah mencekam tiap langit berubah kuning ataupun mendung pekat. Mereka tak ada yang berani keluar rumah ataupun mendekati tambang pasir tempat ditemukannya jimat memala yang memakan satu warga desanya.[] Yogyakarta, 3 Mei 2016


10

RESENSI BUKU

M. Syafiq

Novel Baru Iwan Simatupang dasar novelnya Ziarah.” Begitulah kalimat penutup dari A. Teew pada salah satu bab yang membahas Iwan Simatupang dalam bukunya. Namun dari sekian banyak ulasan dan kritik yang membahas mengenai karya-karya Iwan Simatupang, merujuk pada pendapat A. Teew, “Dami N. Toda, yang kepadanya kita berutang budi atas telaahnya yang paling baik terdokumentasikan dan paling mendalam pula...”, ulasan dan telaah Dami N. Todalah kiranya yang akan sangat membantu dalam memahami novel-novel Iwan Simatupang dalam kaitannya dengan pengaruh dari novel-novel tersebut terhadap kesusasteraan Indonesia modern.

Semenjak terbitnya ketiga novel tersebut, banyak sekali ulasan dan kritik yang Judul: membahas mengenai novelNovel Baru Iwan Simatupang novel Iwan Simatupang, seperti Gadis Rasid (1969), Ramadhan Penulis: KH (1969), Ras Siregar (1970), Dami N. Toda Dami N. Toda (1970), Syahrial Badius (1970), Baharudin Penerbit: Zaenal (1971), Bambang Ks Pustaka Jaya (1972), Peter Hagul (1972), Elia Tjasa (1972), Julia I. Tebal: Suryakusuma (1972, 1973), H. 103 halaman B. Jassin (1963, 1968), Gajus Siagian (1963), Alfons Tarjadi Tahun terbit: (1969), Wing Kardjo (1969), 1980 Ulasan Dami N. Toda Umar Junus (1971), Henri Chambert Loir (1971) dan tersebut berjudul Novel Simatupang dengan Barat, terGoenawan Mohammad (1972). Baru Iwan Simatupang. Ulasan tersebut, yang ternyata utama Perancis. Hal tersebut membukti- adalah berdasarkan skripsinya Buku ini dibagi menjadi kan bahwa novel-novel Iwan untuk memperoleh gelar SarjaSimatupang memberikan sum- na Sastra tahun 1975, diterbit- empat bab. Pada bab pertama, bangan yang tidak kecil terha- kan menjadi buku oleh penerbit penulis membahas mengenai dap kesusasteraan Indonesia Pustaka Jaya pada tahun 1980. gagasan cipta novel-novel Iwan modern. “... Betapapun juga, Buku ini dikatakan menda- Simatupang, dengan membaIwan akan tetap berada dalam lam karena, seperti pengakuan has satu-persatu ketiga novel sejarah sastra Indonesia mod- penyusun buku ini pada praka- Iwan Simatupang di atas denern sebagai seorang pemba- tanya, secara tidak sengaja mau gan menganalisisnya secara haru besar dalam genre novel, tidak mau harus mempelajari umum. Kemudian pada bab seandainya hanya dilihat atas latar belakang perkenalan Iwan kedua, penulis mengkaji ciri-ci-

Dok. Istimewa

I

wan Simatupang mulanya lebih dikenal sebagai seorang esais, meskipun pada tahun 1952 ia juga menulis sajak. Baru pada tahun 1960 Iwan Simatupang menulis novel pertamanya Ziarah, terbit pada tahun 1969. Novel keduanya, Merahnya Merah, terbit pada tahun 1968. Sedangkan Kering, novel ketiganya, terbit pada tahun 1972.


11

RESENSI BUKU ri novel-novel Iwan Simatupang melalui tema-tokoh-alur-gaya dan latar atau landas tumpu. Sedangkan pada bab ketiga, penulis membahas mengenai apa yang baru dalam novel-novel Iwan Simatupang. Pada bab ini, penulis kembali memaparkan kebaruan novel-novel Iwan Simatupang dalam tema-tokoh-alur-gaya dan latar atau landas tumpunya. Jadi, dapat dikatakan bahwa bab ketiga adalah pembanding dan atau penjabaran bab kedua mengenai kebaruan novel-novel Iwan Simatupang dalam sastra Indonesia modern. Dalam bab ketiga ini, penulis menampakkan kesan bahwa novel-novel Iwan Simatupang terpengaruh oleh gagasan-gagasan filsuf dan pengarang Barat, terutama Perancis, seperti Nietzche, Jean Paul Sartre, dan Albert Camus, terutama terkait keterasingan, yang merujuk pada filsafat eksistensialisme, yang kemudian tertuang dalam gaya sastra, terutama dalam tokohnya, antropomorfisme (meskipun menurut A. Teew, hal tersebut tidak secara otomatis dapat dianggap pengaruh langsung). Buku ini ditutup dengan kesimpulan yang di dalamnya menyimpulkan secara umum telaah mengenai ketiga novel Iwan Simatupang yang tersebut di atas, dan novel Iwan Simatupang yang terakhir, Kooong. Novel Kooong ini sebenarnya telah ditulis pada tahun 1968, dan dikirimkan untuk mengikuti sayembara mengarang novel bacaan un-

tuk dewasa dan remaja yang diadakan oleh IKAPI (meskipun gagal mendapatkan juara). Namun baru pada tahun 1975 (lima tahun setelah kematian Iwan Simatupang), novel tersebut baru terbit atas jasa Ajip Rosidi. Dalam mengulas novel Kooong ini, kembali penulis menemukan ciri yang sama dengan ketiga novel tersebut di atas, yaitu keterasingan, meskipun dengan tingkat kompleksitas yang lebih rendah dalam penulisannya. Misalkan nama-nama tokoh yang pada ketiga novel di atas adalah tokoh anonim, seperti Bekas pelukis, Bekas ralon rahib dan Bekas mahasiswa pada novel Kooong, nama-nama tokoh menjadi jelas, seperti Pak Sastro, Amat dan Kaprawi, meskipun juga ada nama tokoh yang anonim, Si Jangkung dan Si Kakek misalnya. Alur pada novel Kooong ini juga tidak se-Anti Alur seperti pada ketiga novel di atas (walaupun Anti Alur bukan berarti Tanpa Alur). Meski begitu, penulis buku ini berpendapat bahwa novel Kooong ini masihlah tergolong berat untuk dapat dipahami oleh pembaca muda. Sehingga pada paragraf terakhir pembahasan ini, penulis buku ini mengatakan, “Tinggallah rasa was-was kita. Mampukah pembaca-pembaca muda (untuk siapa novel Kooong itu ditulis) menangkap arti konotatif atau puisi dari novel tersebut? Mampukah pembaca-pembaca muda itu menerima novel itu

dalam maknanya yang ganda? Secara pribadi, saya sangsikan pembaca-pembaca muda itu mampu menyimak novel tersebut dari sudut renungan yang kita bayangkan tadi...� Bagi siapapun yang mempunyai minat dalam kesusasteraan Indonesia modern, khususnya terkait novel-novel Iwan Simatupang, buku ini sangatlah komprehensif dan membantu. Baik untuk dijadikan sumber pengetahuan, ataupun sebagai sumber penelitian. Karena dalam pengkajian novel-novel Iwan Simatupang ini, penulis juga meneliti dan mencantumkan surat-surat yang dikirimkan Iwan Simatupang kepada H. B. Jassin, sehingga hasil kajian novel-novel Iwan Simatupang terbukti merupakan kajian yang mendalam yang bersumber tidak hanya pada teks-teks novel Iwan Simatupang. Meski begitu, adalah sulit sekali memahami buku ini tanpa membaca dahulu novel-novel Iwan Simatupang. Karena penulis buku ini dalam pemaparannya, selalu secara bersama, menerangkan tiga novel Iwan Simatupang (Ziarah, Merahnya Merah dan Kering) kecuali Kooong. Karenanya, membaca novel-novel Iwan Simatupang terlebih dahulu adalah dianjurkan sekali untuk kemudahan dalam memahami buku ini.[]


12

TOKOH

Anik Setyaningrum

Sastrawan: Kepekaan Hati Untuk Kesadaran

P

tempat-tempat kos mahasiswa. Sebelum pada akhirnya ia bertemu dengan penulis-penulis dan teman-teman yang mendorongnya untuk terjun ke dunia kepenulisan. Kemudian ia belajar secara otodidak dan menghasilkan ratusan cerpen untuk dikirimkan ke berbagai media. Akhirnya pada tahun 1993, cerpen pertamanya dimuat di Surabaya Post. Semenjak itu karya-karya yang ia tulis mulai mendapat pengakuan dan banyak dimuat di berbagai media massa di antaranya majalah Horison, Matra, Basis, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Sastra Bahana (Brunei Darussalam), Kompas Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Pikiran Rakyat, dan Jawa Pos. Sebenarnya dari rumah, kami sudah membawa rasa penasaran mengenai bulan bahasa (berhubung suasana bulan bahasa sangat terasa di Yogya ketika kami mendatangi kediaman Joni). Ia menyampaikan rasa syukurnya karena bahasa Indonesia yang sudah baik-baik saja, mengingat Indonesia adalah Negara yang kaya akan bahasa daerah, namun kemudian bisa bersatu menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sejenak kami semua

terdiam, mungkin di kepala masing-masing sedang merenungkan untuk kemudian membenarkan pendapat Joni mengenai hal kebahasaan yang masih menjadi permasalahan di beberapa belahan dunia, namun di Indonesia sudah adem ayem dengan bahasa persatuannya. Tiba-tiba salah seorang dari kami memecah keheningan dengan mengajukan pertanyaan mengenai proses kreatif. Joni masih tetap diam, perlahan senyumnya mengembang sambil telapak tangannya mengelus-elus jenggot yang menjuntai di dagunya. Ia mulai berkisah tentang pengalamannya bersama WS. Rendra ketika di Amsterdam. Mereka bertemu dengan seorang pelayan toko yang ternyata orang Indonesia dan mengenali Rendra. Saat itu Rendra menghabiskan waktu satu jam lebih untuk mendengarkan cura-

Dok. Istimewa

ada suatu sore yang damai, kami sengaja berjalan-jalan ke daerah Gamping untuk menemui salah satu sastrawan Indonesia, yaitu Joni Ariadinata. Tiba di kediamannya, kami disuguhi seperangkat kehangatan; teh manis, gelak tawanya, serta berisik aliran sungai di sebelah rumah yang dikemas oleh suasana luruhnya senja di ujung barat. Kami mulai mengajukan pertanyaan mengenai asal-usul beliau. Joni tertawa kemudian balik bertanya, untuk apa jauhjauh datang ke kediamannya jika informasi semacam itu sudah bisa diakses lewat internet sambil duduk manis di rumah masing-masing? Ya, kami mengambil beberapa informasi tentang beliau dari sumber internet terpercaya. Joni Ariadinata, seorang cerpenis yang lahir di Majalengka 23 Juni 1966 dan menamatkan SMA di Leuwimunding, Majalengka. Kemudian pada tahun 1986, ia memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Setelah satu tahun, ia merasa bahwa di Jakarta tidak prospek, akhirnya ia hijrah ke Yogyakarta. Walaupun di Yogyakarta ia merasa tidak prospek juga, namun ia berhasil menyelesaikan pendidikan di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Selama di Yogyakarta ia sempat bekerja serabutan, mulai dari kuli bangunan, penarik becak sampai menjadi pengamen ke


13

TOKOH han hati seorang pelayan toko tersebut, padahal mereka sedang ada janji dengan teman yang ada di Belanda. Ketika diingatkan tentang janji tersebut, Rendra langsung marah “kamu tahu tidak, kenapa kamu jadi penyair,kenapa kamu jadi sastrawan? Kamu menjadi seorang sastrawan ya untuk mendengarkan hal-hal yang begini ini. Sebab kalau bukan sastrawan yang mendengarkan hal-hal seperti ini, siapa yang mau dengarkan orang seperti ini? Presiden, Pejabat? Sastrawan yang harus mendengarkan hal seperti ini, Tidak peduli janji dengan duta besar dengan presiden, tidak peduli batalkan!” ucap Joni menirukan kemarahan Rendra saat itu. Boleh saya deskripsikan sedikit raut muka Joni ketika itu, mata yang tadinya ramah dan tawanya yang khas sekejap pudar, seolah ada bara yang mencuat dari matanya dan membakar semangat kami. Ia menarik nafas dan kembali tersenyum melanjutkan pembicaraan tentang topik lain, yaitu ketertarikannya terhadap anak-anak muda yang semakin banyak studi buku di cafe-cafe. Menurutnya, sekarang ini lebih banyak pemikiran-pemikiran besar dibicarakan di cafe-cafe, tapi hal-hal yang seperti dialaminya ketika bersama Rendra tidak diperhatikan lagi.

Padahal baginya ada hal yang lebih penting, yaitu kepekaan hati untuk hal-hal yang sederhana. Joni merasa beruntung masih bisa bertemu dengan orang yang hatinya peka terhadap hal-hal yang sederhana. Walaupun ia juga menyadari, zamannya sudah beda. Apalagi sekarang, mungkin menjadi seorang penulis sudah menjadi gaya hidup. Muncul ungkapan-ungkapan bahwa penulis itu bisa kaya, keren atau bisa tampil di forum-forum. Kami serentak tertawa seolah membenarkan pernyataan Joni tentang sastrawan masa kini yang sering kami jumpai, sekaligus berkaca pada diri tentang peran kami sebagai mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia. Kembali salah satu dari kami segera mengajukan pertanyaan baru, tentang isu-isu sastra. Joni menganggap hal itu tidak penting. Menurutnya sastra itu jadi banyak meribut halhal yang tidak penting dan banyak masalah yang dibesar-besarkan semenjak ada media sosial. Sejak dulu polemik-polemik sudah banyak terjadi, tapi kalau ada orang yang mau berpolemik itu harus mengirim tulisannya ke media cetak. Nah di situ orang akan punya waktu untuk berpikir dan menghasilkan tulisan yang berisi, karena tulisan sebelum dimuat harus melewati redaktur dulu. Tidak seperti sekarang yang setiap

orang bisa mengungkapkan tanggapan mengenai isu, dan kebanyakan yang lahir hanyalah emosi yang meletup-letup, umpatan, atau sumpah serapah. Karena media sosial memberi kesempatan untuk orang menulis secara spontan, tanpa pengendapan. “Lha kalau sastrawan sekarang gampang ngurusi isu-isu terus gimana nasib karya-karyanya?” ucap Joni. Menurut Joni ada hal yang sering dilupakan, yaitu “keberuntungan”. Setiap orang punya keberuntungannya sendiri-sendiri, begitu juga sastrawan. Sayangnya keberuntungan itu tidak ada ilmunya. Yang bisa dilakukan hanyalah menemukan keberuntungan yang telah ada, yaitu dengan cara menata hati. Boleh orang agamanya kurang atau tidak beragama, tapi hatinya bersih itu bisa menemukan keberuntungan. Semakin bersih hatinya, semakin mudah untuk menemukan keberuntungan. Ketika menulis atau berkomunikasi di media sosial, facebook misalnya, banyak orang bereaksi terhadap sesuatu dengan berlebihan sehingga saling mengumpat dan saling menjatuhkan. Nah, orang-orang yang menulis dengan hati penuh kedengkian itulah yang biasanya ‘tidak jadi’. “Mbok dia jungkir balik pun, dia akan susah memberi berkah pada hatinya”.[]


14

RESENSI FILM

Ikhsan Abdul Hakim

Kilas Balik Masa Silam: Berguru Pada Max Perkins

N

ew York, 1929, hujan mengguyur kota. Seorang lelaki berjaket cokelat merokok dengan gelisah di trotoar jalan. Para pejalan lalu-lalang dalam curahan hujan. Lelaki itu, nanar menatap gedung bertuliskan Charles Scribner’s & Son—sebuah penerbit dan penjual buku. Dalam gedung itu, pada sebuah ruangan, Maxwell Perkins sedang memeriksa seberkas naskah. Rak buku di ruangannya menampilkan karya Ernest Hemingway dan F. Scott Fitzgerald. Ia sedang mencoret beberapa kalimat, ketika seorang pria masuk dengan setumpuk kertas. Pria itu berkata, seluruh penerbit di sini sudah menolaknya. Apa itu bagus? balas Max. Bagus? Tidak. Tapi itu unik, pungkas pria itu. Kemudian, setelah konsultasi panjang dengan si pengarang—lelaki berjaket cokelat, publik mengenal tumpukan kertas itu sebagai “Look Homeward, Angel”, karangan Thomas Wolfe. Kejadian itu benar adanya. Dan pada tahun 2016, Michael Grandage

mengabadikannya dalam film Genius. Film ini diadaptasi dari novel Max Perkins: Editor of Genius karangan A. Scott Berg. Pertemuan Wolfe (diperankan Jude Law) dengan Max Perkins (diperankan Colin Firth) adalah titik balik dari kehidupan Wolfe. Sebelum itu, ia adalah pemuda sentimentil yang dibayangi keputusasaan. Ia hanya punya pacarnya, Aline Bernstein (diperankan Nicole Kidman), sebagai teman hidup. Ia terus menulis, mengirimkannya ke penerbit, lantas ditolak. Setelah bertemu Max, Wolfe seakan menemukan hidup baru. Gairah, keberhasilan, juga kemahsyuran diraihnya. Dari situ, sifat emosional Wolfe menjadi-jadi. Demikianlah muasal kebanyakan konflik dalam film ini. Setelah menonton film ini, saya bertanya-tanya.

Apakah narasi kehidupan Wolfe & Perkins memang seperti itu? Tak diragukan jika Genius berdasarkan kisah nyata. Banyak literatur yang bisa dijadikan pembuktian. Namun perkembangan psikologis para tokohlah yang membikin saya penasaran. Genius bermula dari pertemuan Wolfe dan Perkins. Menelusuri hidup keduanya dari awal pertemuan membuat sebab-akibat


15

RESENSI FILM

Dok. Istimewa

dari persahabatan & perpecahan mereka menjadi jelas. Meskipun film ini bukanlah dokumenter, tapi film ini adalah film biografis yang bisa dipercaya. Satu lagi kelebihannya dari dokumenter adalah: fiksi lebih dalam mengupas psikologi para tokoh. Barangkali begitulah kenapa A. Scott Berg mengabadikan kisah keduanya dalam bentuk novel, lalu Grandage mengadaptasinya menjadi film. Fiksi lebih leluasa mengeksplorasi psikologis para tokohnya; dan itulah yang diperlukan kisah keduanya. Sejarah jadi terlihat hidup dalam fiksi, yang mengacu pada hal-hal yang pernah kejadian. Selain itu potong demi potong adegan Max dengan dan dua penulis besarnya merupakan daya tarik tersendiri. Kita bakal menonton Fitzgerald, yang seperti dalam narasi sejarah: elegan dan romantik, lengkap dengan kesedihan di akhir masa keemasannya. Suatu adegan juga menampilkan peristiwa ikonik dimana Hemingway berfoto dengan Max,

dengan latarbelakang ikan todak berukuran raksasa, yang belakangan kita tahu sebagai asal-usul Old Man and the Sea. Menonton film ini serasa masuk pada suatu masa dan wilayah yang jauh. Yang mana bekas-bekasnya dapat kita baca dan rasakan hari ini. Toko-toko buku di Indonesia masih menyimpan karya terjemahan Hemingway dan Fitzgerald, khususnya Old Man and the Sea dan The Great Gatsby. Tapi untuk karya Thomas Wolfe? Saya juga tidak tahu. Setidaknya, setelah menonton film ini, kita jadi punya ancang-ancang untuk membaca karya Wolfe. Untuk memahaminya. Merasakan temperamen seorang pemuda dengan impian menggebu. Seorang penulis yang konon paling disayangi Max Perkins. Max Perkins sendiri tetap digambarkan sebagai seorang yang bersahaja, cermat, dan bersahabat. Dalam film ini kita akan melihat perannya sebagai salah satu editor terbaik pada masanya. Bagi Wolfe

sendiri—dan juga penulisnya yang lain, Max tidak hanya menjadi editor atau rekan kerja. Ia pun berperan sebagai sahabat, pemberi utang, motivator yang murni, dan juga sebagai ayah. Menyimak Genius seperti langkah melompat ke masa lalu: tahun 1930-an di New York sana. Merasakan bagaimana lika-liku persahabatan Wolfe dan Max, seakan kita kenal mereka berdua. Bagi saya, Max Perkins adalah sosok panutan. Ia seperti mercusuar, berdiri menjulang dengan bayangan teduh, memancarkan cahaya ke segenap penjuru, menyingkap kegelapan lalu tunjukkan jalan. Kehadiran film ini patut disambut. Berkatnya, kita bisa memaknai kisah Max Perkins dan Thomas Wolfe yang legendaris. Semacam kilas balik untuk berguru pada masa lalu, pahitnya pun manisnya. Demikian, mari berkenalan dengan almarhum Max dan Wolfe, secara lebih intim dan dramatis.[]


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.