Buletin Mimesis Edisi 18

Page 1

Gambar: Hasnan Habib

Edisi Februari-Sastra Buka Pintu 2018

1


Salam Sapa Susastra

TIM REDAKSI EDITOR Diana-Resensi Iwan-Puisi Ilham-Cerpen Dhila-Cerpen Glorizna-Resensi Miftah-Esai PENATA LETAK Listya Fajar Uye SKETSA Cikma Alfita Della Hasnan Habib PENYELARAS AKHIR Syafiq STAF REDAKSI Diana-Resensi Ilham-Cerpen Dhila-Cerpen Iwan-Puisi Ikhsan-Esai Miftah-Esai

2

Salam Susastra! Pembaca berhati budiman, yang ada di tangan Anda sekarang ini adalah Buletin Mimesis edisi Februari yang bertepatan dengan akan dilaksanakannya acara Sastra Buka Pintu. Mimesis adalah sebuah buletin yang menjadi bukti perjuangan Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia. Lewat buletin kecil ini, kami menggerakkan karunia Tuhan sebagai ungkapan syukur. Buletin Mimesis kembali hadir untuk mengisi ruang-ruang yang diharap dapat mempermudah pembaca agar lebih nyaman dengan sastra. Rasa nyaman akan membuat orang mau lebih lama menetap, meski itu bukan berarti tidak bergerak mengusahakan hidup yang lebih baik lagi. Selama perjalanan waktu masih panjang, dan masih juga ada kesempatan, buletin Mimesis dengan segala kegelisahan para pengisinya akan terus menyuguhkan hangat pada dinginnya malam, menyiapkan sejuk pada teriknya siang, untuk pembaca setia. Selamat membaca!


Puisi

Hilang Senyap dayaku menunduk Ketika kebisuan menghalang tanpa permisi Hati pun ambruk dalam pikirku yang tak berarah Aku coba lepas Entah perginya tak jua pamit Hingga tetes tangis tak tertahan Menyesak tanpa ampun Pikiranku rancu Kebingungan bolak balik Kadang aku terdiam Kadang lari tak menentu Entahlah Asa pun tak lagi berdiri Roboh dalam raung tak henti Mengantar pilu dan duka M. Y. Suken, Sasindo B 2016 || Sedang mencari kitab suci.

Di Depan Laptop sudah beberapa jam aku dan kau saling berhadapan tak ada kisah yang mampu dituliskan sebagai kasih pada penghujung pagi sedang aku dan kau begitu tekun melempar pandang percakapan hanya sebatas dalam diri masing-masing tak ada yang dapat mendengar bahkan untuk didengar sebab segala yang mafhum belum tentu bisa disampaikan melalui kata atau bahasa puisi Samirono, 2018 || Afaf L. K., Sasindo A 2017 Sedang mengembara serupa Ahasveros.

3


Cerpen

Taman Kota Nadhila Hibatul N.

S

eorang anak laki-laki berjalan menuju taman kecil di sudut kota ini. Hari menjelang sore, tetapi seragam me-rah putih lengkap masih ia kenakan. Langkahnya terlihat gontai dan wajahnya tampak kuyu. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di kursi besi panjang yang berada di sampingku. Anak laki-laki berwajah sendu itu termenung menekuri ujung sepatunya. Entah, apa yang ia pikirkan aku pun tak tahu. Aku melihatnya beberapa kali dalam seminggu ini di sini. Selalu begitu, menuju taman, berjalan gontai, lalu duduk di kursi dengan wajah sendu. Ketika anakanak sebaya-nya riang bermain ayunan, jungkatjungkit, perosotan, atau memainkan engklek di seputaran taman, anak itu justru hanya mengamatinya. Ia tidak bergabung bersama mereka. Berada di taman ini sepanjang waktu membuatku tahu persis apa yang dilakukan anak itu. Seandainya bisa, aku ingin mengajaknya bicara. Menanyakan apa yang

4

menjadi kerisauannya. Namun, tentu itu tidak mungkin. Aku hanya dapat memayunginya dengan rimbun daunku saat ia duduk di kursi untuk melindungi dari terik mentari, hanya dapat menjatuhkan buahku yang berwarna merah, kecil, dan ranum agar dapat ia makan untuk sekadar menghilangkan kesedihan, hanya dapat menggugurkan sejumlah daunku di kepalanya agar ia dapat tersenyum sejenak. Hanya itu yang kulakukan setiap kali anak itu datang ke taman ini. *** Anak itu datang lagi. Masih memakai seragam lengkap dan masih memakai gaya yang sama: berjalan gontai, duduk di kursi, lalu termenung. Sejurus kemudian, ia merogoh ransel hitam kecilnya. Ia keluarkan beberapa buku tulis lalu membuka lembar demi lembar. Gerakan membukanya tidak konstan. Cepat, bertambah cepat, semakin cepat, dan bugg!… buku yang dipegangnya ia lemparkan. “Aku benci buku! Aku

benci buku!” Anak itu berdiri menyeru. Napasnya naik turun. Tangannya mengepal. Aku mengamatinya. Barangkali ia tengah megalami masalah. Mungkin saja. Anak itu duduk kembali. Ia tertunduk menangis. Aku tak tega melihatnya. Ada apa denganmu kawan kecilku? Maka seperti biasa, kujatuhkan buahku di kepalanya. Tapi, tangis anak itu malah semakin menjadi. “Zein! Sudah berapa kali Mbak bilang jangan keluyuran terus! Kamu ini selalu ngeyel saja. Cepat pulang!” Seorang perempuan muda mendekati anak itu. Baru aku tahu nama anak laki-laki itu adalah Zein. Nama yang indah. “Aku tidak mau pulang! Pokoknya tidak mau!” “Mau sampai kapan di sini terus, Zein?! Sebentar lagi adzan maghrib. Kamu mau diculik kolong wewe, iya? Mau, hah?” Zein mendongakkan kepala, “Biar, Mbak. Biar!


Cerpen

Sekarang pulang ya?” Zein dan wanita muda itu beranjak pergi meninggalkan taman. Meninggalkanku sendiri di sini dengan menyisakan sebuah teka-teki. Bagaimana bisa

Gambar: Chikma

Aku tidak peduli. Yang penting ndak kena pukul Bapak lagi.” Perempuan itu menghela napas. Memandang wajah Zein sebentar dan mengelus rambut anak itu. Ia lalu mengambil posisi duduk di samping Zein. “Kamu menangis? Anak laki-laki tidak boleh cengeng tau, Dek. Mbak rasa Bapak hanya terlalu jengkel tadi pagi. Makanya Bapak melakukan itu.” “Tapi aku benarbenar tidak bisa membaca tulisan-tulisan itu, Mbak. Huruf-huruf yang ada di bukuku seperti menari-nari dan bergerak sendiri. Huruf-huruf itu, bahkan di mataku sering bertukar posisi. Aku ndak bohong, Mbak. Benar aku ndak bohong!” “Iya, Mbak percaya kamu.” “Tapi Bapak tidak, ia terus memaksaku membaca. Apa aku ini memang bodoh, Mbak? Iya ya?” Zein, anak lak-laki itu terisak kembali. “Ssstt… sudah sudah sayang. Mbak janji kejadian tadi pagi ndak akan terulang lagi. Nanti Mbak akan bilang sama Bapak agar ia mau mengerti.

manusia merasa huruf yang dibacanya bertukar posisi? Bagaimana bisa? Jika bisa, mengapa itu dapat terjadi? Ah, entahlah. *** Terhitung seminggu sudah kursi besi di sampingku tidak diduduki Zein. Anak itu tidak datang lagi. Aku mulai merasa kesepian. Beberapa orang yang sempat duduk di kursi ini hanya asyik dengan diri-

nya sendiri. Apa mungkin anak itu sudah bosan merenung di taman ini? Apa mungkin ia tidak merasa nyaman lagi duduk di sini? Apa mungkin ia mencari tempat lain? Taman ini mulai sepi. Hanya tinggal satu dua orang saja yang masih berada di sini. Sebentar lagi sepertinya mereka juga akan pergi. Memang bila petang menjelang taman kota ini akan bersih dari lalu lalang orang. Tapi, tunggu, aku melihat perempuan muda itu lagi. Aku tidak asing dengan wajahnya, bukankah itu perempuan yang minggu lalu bersama Zein? Ia duduk di kursi besi dekatku. Sesekali kepalanya ditengokkan ke kanan dan ke kiri memperhatikan sekeliling. Lalu berganti memperhatikan jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Seorang laki-laki jangkung berkemeja toska mendekati perempuan itu. “Maaf terlambat.” “Kamu pasti sibuk mengurusi pasienmu. Terima kasih sudah datang. Kali ini aku benar-benar membutuhkan bantuan.”

5


Cerpen

“Bilang saja, selama aku bisa akan kubantu.” “Kamu tahu Zein, adikku?” “Iya, dia anak yang lucu.” “Dia sekarang sudah kelas tiga SD. Tapi dia berbeda dengan anak-anak seusianya. Zein selalu kesulitan bila disuruh membaca. Susah sekali mengajarinya. Aku takut di akan tinggal kelas lagi dan…,” suara perempuan itu bergetar, ia berhenti sejenak. “Aku…, aku lebih takut jika Bapak mengikuti saran guru Zein memindahkan adikku ke sekolah luar biasa.” “Astaga! Tidak, itu tidak benar jika orangtuamu benar-benar memindahkannya.” “Bisakah kamu membantu adikku? Sebagai seorang psikiater kamu pasti lebih tahu.” “Sulit membaca? Maksudmu dia kesulitan memahami tulisan?” Perempuan itu merogoh ransel kecil yang sedari tadi dibawanya. Ia keluarkan sebuah buku tulis lalu menyerahkan pada lelaki itu. “Ini buku Zein. Coba kamu periksa. Aku sendiri selalu bingung membaca tulisan anak itu. Ini lebih mirip coretan

6

daripada tulisan.” Laki-laki itu diam sejenak, membalik lembar demi lembar, dan memperhatikan buku yang dipegangnya dengan saksama. “Apakah orang tuamu juga sulit membaca?” “Setahuku tidak. Mendiang ibuku suka sekali membaca novel dan Bapak hampir setiap pagi membaca koran.” “Adikmu pernah jatuh atau kecelakaan mungkin?” “Jatuh?” perempuan itu mengernyitkan dahi, “Oh iya, pernah. Tapi sudah lama sekali. Kalau tidak salah saat Zein berusia tiga tahun, saat itu Zein berlari dan terpeleset ompolnya sendiri. Kepalanya terbentur.” “Disleksia,” laki-laki itu berkata lirih. “Apa kamu bilang?” “Disleksia. Lihatlah pola tulisan adikmu. Ia sering terbalik saat menulis huruf b dengan d, huruf m dengan w, dan juga huruf p dengan q. Di beberapa lembar kutemukan pola kesalahan yang sama. Kamu katakan juga bila adikmu pernah terbentur kepalanya. Kurasa ia menunjukkan gejala acquired disleksia.” “Penyakit macam apa

itu?” “Kesulitan membaca, menulis, dan menghitung. Kemungkinan saat kepalanya terbentur dulu, bagian otak sebelah kiri mengalami cedera.” “Tapi, tapi, adikku bisa sembuh, kan? Dia akan bisa membaca, kan?” “Tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak. Beberapa kasus yang pernah kubaca, si penderita akhirnya bisa membaca dengan terapi dan metode khusus untuk mengajari mereka. Yang paling penting telaten dan sabar.” Perempuan itu melenguh, menyandarkan badannya ke kursi. “Lalu aku harus bagaimana? Adikku suka sekali menggambar tapi ia benci belajar.” “Bawalah adikmu setiap sore ke taman ini. Aku akan datang meski sebentar untuk membantunya belajar. Setuju?” Perempuan itu tersenyum mengangguk. Lelaki itu juga tersenyum memandang perempuan di dekatnya. Aku pun juga tersenyum. Berarti lakilaki kecil itu akan ke sini lagi. _____________________ Karangmalang, Kamis 14 Desember 2017


Esai

Peri Bahasa dan Politik Bahasa yang Tak Kunjung Kupahami

D

i sebuah toko buku di Mahabarata tentang penYogyakarta, setelah cari harta karun yang memelihat dan membaca- nemukan telur Garuda dan baca buku bahasa, sastra, mengingatkan saya pada atau budaya, saya selalu komik-komik wayang keberanjak menuju rak-rak tika masih kecil. Saya juga komik. Sama dengan bu- membaca komik Darmaku-buku yang lain, komik putra Winehsuka, komik yang saya cari adalah yang tentang para Darmaputra plastiknya sudah terbuka kerajaan Majapahit. Saya sehingga mengurangi perasaan berdosa karena membuka plastik barang dagangan—walaupun jika saya memiliki uang, akan saya beli. Komik Jepang, Korea, dan Barat memang memberikan cerita dan kesan yang khas. Namun, sebagai orang yang dididik untuk mencintai negerinya sendiri dengan hormat, saya selalu Gambar: Alfita Della mencari dan menyem- juga membaca komik lain, patkan membaca komik- seperti Rai Barong, Makomik Indonesia—serta nungsa, dan komik lawas membelinya ketika memi- yang di-remake seperti Si Buta. Selain itu komikliki uang. komik berbasis daring dan Saya mulai tertarik pada aplikasi juga saya baca. komik-komik Indonesia Ketika membaca anketika masih belajar di tologi komik dan majalah sekolah menengah. Waktu komik, semisal Shonenitu saya meminjam komik jump milik Jepang, saya milik teman yang berjudul menemukan website milik Garudayana, sebuah komajalah komik tersebut. mik yang berlatar perang Saya pun berencana mem-

bacanya ketika mampir ke burjonan sambil ngopi dan cari wifi. Cerita yang diangkat dalam komikkomik tersebut pun bermacam-macam, mulai dari sejarah, masa depan, dan juga fantasi. Dari sanalah saya menemukan komik Peri Bahasa. Seperti judulnya, Peri Bahasa menceritakan tentang masa depan di mana sastra dan bahasa memiliki peranan yang teramat penting, terlebih setelah meletusnya perang bahasa. Badan negara kemudian membentuk “polisi bahasa” untuk menjaga ketertiban penggunaan bahasa. Dari hal tersebut, saya sebagai mahasiswa sastra Indonesia merasa senang, apalagi ketika mengingat perihnya pertanyaan masyarakat umum tentang akan jadi apa lulusan sastra Indonesia nanti. Andai cerita dalam komik itu menjadi kenyataan, sudah tentu saya akan menjawab dengan tegas, “Akan menjadi polisi bahasa!” karena baik “polisi bahasa” dan para “peri bahasa” dalam komik tersebut memi-

7


Esai

liki kekuatan dengan mengeluarkan peribahasa. Namun, menjadi polisi atau penegak hukum tidak mudah. Ada politik, birokrasi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penegakan. Sebab itu pula saya berpikir banyak dan berulang kali, apakah pantas menjadi polisi bahasa. Dari sinilah saya kembali teringat pelajaran awal berkait sastra maupun bahasa. Tokoh utama dari komik tersebut adalah seorang “peri bahasa” atau lebih mudahnya adalah seorang “polisi bahasa” yang menjaga ketertiban berbahasa. Namun, bahasa diatur dengan begitu kaku, baku, dan dipaksakan formal—menginggat bahasa memiliki kekuatan yang dapat membangun dan menghancurkan dunia. Berlatarkan masa depan membuat saya pribadi membayangkan ada hubungan komik tersebut dengan cyberpunk: pemilik kebijakan dan kekuasaan yang ingin mengatur dengan ketat segala hal berkait bahasa dan sastra. Bahkan, saya sering berspekulasi dalam film, komik, atau buku yang berkait future time dan

8

cyberpunk bahwa “polisi” terkadang, dan cukup sering, adalah penjahat itu sendiri atau setidaknya memiliki maksud yang jahat dalam hal kekuasaan. Tentu, ini hanya spekulasi. Salah satu kalimat yang dilontarkan sang lawan (ada kemungkinan di cerita selanjutnya menjadi kawan tokoh utama) adalah sebuah pertanyaan pada tokoh utama dan jajaran “polisi bahasa”, “Lo mau ngejaga bahasa apa nguasain bahasa?!” Sebuah pertanyaan yang membuat saya sebagai orang yang belajar sastra bahasa kembali berkaca. Hendak menjaga bahasa atau menguasainya? Pertanyaan yang membuat teringat dengan diskusi di luar kampus tentang politik bahasa dan sastra. Saya sendiri tidak begitu paham, meskipun merasa pasti menemukan hal tersebut dalam kehidupan. Bahkan, teringat seorang dosen pernah berkata, bahwa kehidupan manusia dipengaruhi dan diatur oleh empat jenis kalimat. Maka orang yang bisa menguasai bahasa adalah benarbenar seorang penguasa! Dan dalam penjagaan bahasa maupun sastra terli-

hat meski sepintas seperti penguasaan bahasa dan sastra. Bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer dan konvensional, setidaknya begitu pengertian bahasa secara struktural. Dalam Peri Bahasa, bahasa diatur begitu ketat oleh kekuasaan demi kepentingan, mengingatkan cara pemerintahan yang khas otoriter dan rezim. Tentu, hal ini hanya rasan-rasan saya saja dan tafsiran yang terlalu ekstrim serta kelewat jauh dalam membaca komik tersebut—meskipun nyatanya, bahasa dan sastra ada dalam ketegangan antara yang telah mapan dan baru. Saya memang masih belajar bahasa dan sastra, masih belum melanjutkan komik tersebut, serta masih banyak diskusi yang harus saya hadiri. Namun, masa depan yang indah mungkin memang harus diyakini ada, semustahil apa pun ia. Polanco S. Achri, asli Yogyakarta, menyukai Rahwana.


Resensi

The Commuter dan Teka-Teki yang Harus Dipecahkan Liam Neeson Judul Sutradara Naskah Artis Genre Durasi Diproduksi

____________________

M

endengar nama Liam Neeson, kita akan dengan mudah menebak bahwa film ini akan penuh de-ngan ketegangan dan kekerasan. Seperti film-film yang pernah ia bintangi sebelumnya, The Commuter merupakan film thriller yang penuh ketegangan. Sesuai dengan judulnya, The Commuter adalah film action-thriller yang setingnya di kereta. The Commuter merupakan film yang disutradarai oleh Jaume Collet-

: The Commuter : Jaumme Collet-Serra : Byron Willinger, Phil de Blasi, dan Ryan Engle : Liam Neeson, Vera Farmiga : Drama, Mystery & Suspense : 105 menit : Lionsgate

Serra berdasarkan naskah yang ditulis oleh Byron Willinger, Phil de Blasi, dan Ryan Engle. Film ini memiliki rating 17+ (berkenaan dengan adegan kekerasan, dan kosa kata dalam percakapannya) dengan dibintangi oleh salah satu aktor laga terbaik di Hollywood— bahkan di dunia, Liam Neeson. Lakon dalam film ini adalah Michael McCauley (Liam Neeson) seorang mantan polisi yang kini bekerja sebagai sales perusahaan asuransi dan pulang-pergi menggunakan kereta. Suatu hari, tepat di saat dipecat dari pekerjaannya, ia bertemu dengan seorang perempuan misterius bernama Joanna

(Vera Farmiga) yang meminta Michael mencari seseorang dengan sebutan Prynne dengan imbalan sejumlah uang. Michael yang kebetulan sedang mengalami masalah finansial, menyanggupi permintaan tersebut. Namun, ketika ia hendak membatalkannya, Joanna berkata bahwa ia tidak dapat membatalkannya dan justru mengancam anak dan istrinya serta para penumpang kereta. Film berdurasi 105 menit ini sebenarnya tidak terlalu banyak menampilkan adegan kekerasan dengan pembukaan yang berfokus pada pengenalan karakter dan pembentukan konflik tokoh utama. Adegan kekerasan

9


Resensi

baru terjadi menjelang akhir film yang menimbulkan ketegangan karena seting yang sempit sehingga tokoh utama sulit untuk melarikan diri.

Gambar: Chikma

Kelebihan film ini ada pada kualitas akting para pemainnya. Liam Neeson tak perlu diragukan lagi perannya—terutama untuk peran mantan polisi yang memiliki insting kuat. Para pemeran pendukung pun, Vera Farmiga misalnya, memerankan perempuan misterius dengan sangat baik, dan tidak

10

diketahui sebenarnya berada di pihak siapa. Selain itu, kelebihan fim ini juga karena kemampuan sutradara memanfaatkan gerbong-gerbong kereta yang sempit sebagai pusat adegan dan konflik. Namun, film ini memiliki kekurangan pada alur yang tipis sehingga mudah ditebak. Meskipun di akhir film terdapat twist, tetapi karena alurnya yang lambat, film ini mudah ditebak dan dipahami. Menyaksikan The Com-

muter memang tidak semenegangkan melihat Don’t Breath yang membuat kita takut untuk mengeluarkan suara. Namun The Commuter sebagai film laga hiburan, layak untuk ditonton terutama untuk menikmati akting Liam Neeson dengan segala masalah dan teka-teki di dalamnya. Diana Sri Suryani, anak Cianjur, suka drakor.


Puisi

Burung Gereja Terluka Kelelawar hitam berarak. Dari barat menuju utara. Membawa dendam luka yang menganga. ‘Ku tak mengira bila malam cepat berganti. Pagi itu tak seperti pagi biasanya. Kumpulan kelelawar dalam mimpi tak mau pergi. Ku rapal mantra dan doa. Agar kau selalu dalam lindungannya.

‘Ku masuk gereja. Biadab! Ia menghancurkan segalanya. Ia hina Tuhan. Ia telanjangi Tuhan. Sungguh biadab! ‘Ku makin erat menggenggam Rosario dan tasbih. ‘Ku rapal mantra dalam senyap.

‘Ku dengar sebuah tragedi. Dari mulut ke mulut. Dari telinga ke telinga. Ku berdoa, agar kau tak apa. Mantra dan doa makin sering kuucap. Namun, tangis pecah. Air mata membanjiri Rosario. Yesus nan agung. Bunda Maria nan welas asih. Harus terbantai dalam tragedi. ‘Ku genggam tasbih dan Rosario. ‘Ku genggam keduanya.

Air mata bunda Maria makin tak tertahan. Ketika melihat kau bersedih. Bunda Maria, Yesus, Romo, mereka tak apa. Mereka hanya korban, dari sintingnya akal manusia beragama. Ia gila! Sinting! Semoga dengan angin malam ini. Kau tak lagi bersedih.

Tragedi sangat cepat terjadi. Di antara kerumunan jemaat pagi. ‘Ku mencari wajah itu. Wajah seorang wanita berambut gelombang. Wanita dengan kemeja putih renda bunga. Kau, itu kau. Kau berdiri, memegang pagar kecemasan. Bulir-bulir mutiara jatuh dari pelupuk mata. ‘Ku dekap engkau dengan rapal doa. ‘Ku usap tangismu, dengan sapu tangan kumalku.

Yogyakarta 13 Februari 2018

Janu Wisnanto, Sasindo A 2017 Sedang mencari makna.

11


Gambar: Chikma

12

Tahu kau kenapa kusayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. -Pramoedya Ananta Toer-


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.