Buletin Mimesis Edisi 8

Page 1


PUISI Susastra KMSI Menyapa :*

M

erupakan sebuah kehormatan bagi kami, redaksi kembali menerbitkan buletin Mimesis edisi ke 8 ini. Dalam proses pencapaian ini tentunya ada segengam goresan maupun peluh yang saling berkilat mengarungi derasnya waktu dalam pulau kata. Ada mata dan pikiran yang memandang dan berfikir lebih jauh dari biasanya untuk menciptakan rumusan-rumusan yang relevan maupun imajiner. Kami hadir kembali mencoba untuk membiaskan cahaya yang pelik pada sebuah lorong kecil yang gelap, agar tercipta keselarasan antara pengalaman batin, ide dan wawasan yang akan saling melekat pada benak pembaca sekalian. Jika pembaca benar-benar menikmati dan mendekap makna yang terdapat dalam isi dari buletin ini maka kehangatan wawasan maupun ilmu yang dapat terserap dalam buletin ini. Semoga dapat menjadi jawaban atas polemik-polemik dalam diri maupun dalam kehidupan sehari-hari ini. Demikianlah sekiranya Mimesis membawa kehangatan baru yang disajikan dalam berbagai rubrik , yang sekiranya akan membuat pembaca lahap akan sajian dari berbagai rubrik tersebut, dan semoga pembaca akan lebih akrab dan terhibur dengan sajian berita maupun ulasan-ulasan kami yang bernyawa seputar sastra indonesia beserta bagian-bagian di dalamnya. Seperti ketika meneguk secangkir kopi di malam hari yang membuat nuansa batin terasa akrab dan tenang. Selamat Membaca! Salam

Gadis Kecil Karya: Inas Adilla Apa kau dengar deru suara malam? Seorang gadis kecil menangis sendiri Di samping mayat ibunya yang letih Gadis itu masih menangis Memanggil ibu yang tak bernyawa Tak seorang dengar rintihannya Mereka takut jadi saksi Gadis kecil itu masih menangis kala malam Bersiap menyeret mayat ibunya ke pemakaman Tak seorang merasa kasihan Gadis kecil menangis kencang di pemakaman Tak ada lahan untuk ibunya bersemayam Dan masih tak satu pun orang kasihan Perlukah kusebut negeri ini? Penghuninya buta mata Tuli telinga 4 Maret 2015

BERITA DINI HARI untuk para penyair Karya: Andrian Eksa Seorang anak dengan duka mengatakan pada ibunya, “Mak, ada penyair mati, tertembak puisinya sendiri.” Ibunya terperanjat kaget. Sepagi ini, anaknya kok di sini di kamar orangtua padahal mereka sedang bercinta.

Pimpinan Redaksi

“Penyair yang mana?” tanya ibunya.

Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Rozi Kembara, Muhammad Qadhafi, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt, Avesina Wisda, Diemas S.A | Pemimpim Umum: Zuhdi Ali | Pemimpin Redaksi: Sidiq Satrio Mandiri | Seketaris: Karla WN | Editor: EA. Rantojati | Staf Redaksi: Julitasai, Wulan, Sigit, Fanny Arief, Reigina, Nana, Inas, Ambar, Nita, Ovi, Nunik, Elvi, Tika, Andrian, Tama, Hary, Ghozali | Tata Isi: Rizky Alcantara, Arifin, Mawaidi | Ilustrasi: Della Amara | Kantor Redaksi: Komplek Polri Gowok Blok E1 No. 202 |MIMESIS menerima tulisan berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku & film | Surel: susastrakmsi@yahoo.com

Anak itu diam, hanya jari telunjuknya menuding pada sebuah foto di dinding, ada ia, ibu dan bapaknya tersenyum bahagia. Jogja 2014

Andrian Eksa, calon penyair muda produktif. Bergiat di bidang Teater dan Pers. Inas Adilla, aktif menelaah sastrawangi, senang diajak berdiskusi.

2

Edisi Delapan

Edisi Delapan

3


PUISI BAYANGAN DARI TAHUN YANG TELAH BERLALU

AKAR

mereka datang kepadaku bayangan dari tahun yang telah berlalu bayangan dari peristiwa yang tidak utuh apa yang mereka harapkan dari tubuh yang lebam oleh hidup dari sepasang mata yang melupakan melankolia masa muda mereka meraih tanganku sepasang ranting kering yang gagal menyingkap bahasa waktu mereka merengkuh kakiku sepasang tiang rapuh letih oleh jalanan yang senantiasa memanjang lapuk oleh nama-nama tempat yang semakin lama semakin asing bayangan dari tahun-tahun yang telah berlalu di dadaku ada segaris kata yang ditorehkan embun surgawi ambilah sekalian diriku jangan beri aku nama KUMASUKI LAGI DIRIKU namun biarkan segaris kata itu biarkan kata yang terberkati itu senantiasa segar dan berdetak kumasuki lagi diriku seperti memasuki sebuah daerah baru dalam diriku bahasa-bahasa yang belum terbentuk mimpi-mimpi yang perlu diterjemahkan 2014 semuanya menghambur ke arahku

ketika dunia berkabung dan orang-orang berbicara dalam bahasa yang kabur aku hanya ingin menjadi akar

diriku,diriku, ruang dimana pengertian senantiasa membeku kemudian mencair. dari kedalaman diri kusaksikan malam mengental merangkum derita manusia menggelar pedih insomnia aku ingin segera berbenah. memberi bentuk pada bahasa lalu menerjemahkan mimpi-mimpi kosong aku ingin segera keluar dari diriku lalu merasuk ke dalam malam yang kental pecah dalam derita manusia mengalir di keluasan pedih insomnia 2014

4

PUISI

Edisi Delapan

berdiam diri dalam hening tanah menyerap saripati semesta dan mengalirkannya ke batang-batang pohon menjadi hijau daun menjadi udara segar yang kau hirup sebagai akar aku memahami cinta tidak melalui kata-kata namun melalui kebisuan yang bertenaga rumput rumput hijau tumbuh di atas tanah bebatuan hening tanpa penantian segalanya hadir saling melengkapi cahaya-cahaya datang dan pergi tanpa benar-benar kuketahui diriku menghisap suara dunia kemudian mengawinkannya dengan kegelapan dan keheningan sebagai akar yang kubutuhkan hanyalah kemurnian yang dapat menggerakan siklus musim hanyalah kemurnian yang mampu menguraikan inti namamu 2015

Rozi Kembara, penyair dan penyuka akik. Bukunya yang akan terbit “Tahun-Tahun Hening�.

Edisi Delapan

KEPADA BAHASA kita saling menghidupi engkau hidup dari hidupku dan hidupku berdetak karena hidupmu kata-kata membangkitkan dunia dari gelap alam khayali segala ciptaan yang hidup dan yang mati bergerak dalam kiasan sebuah dunia lahir antara keheningan dan keriuhan dimana engkau selalu terlahir kembali dimana engkau senantiasa disucikan 2014

5


Persona

Persona

Berusaha dan Menuai Apa yang Diusahakan “Akan menjadi sulit apabila kita tidak mengenal motif dan kegelisahan. Itu mutlak diperlukan sebagai dasar untuk karya yang akan dibuatkan sejarahnya.”

Penyuka Anton Chekov dan Hemingway— bacaannya sejak SD ini mulai bergelut di dunia sastra karena kegelisahan yang sering dia rasakan.

R

endah hati dan tidak arogan adalah pembawaan Hasta Indriyana penyair asal Wonosari ini. Penyuka Anton Chekov dan Hemingway—bacaannya sejak SD ini mulai bergelut di dunia sastra karena kegelisahan yang sering dia rasakan. Menurutnya hal itu dapat menjadikan inspirasi dalam hal penulisan sebuah karya. Motivasi awalnya dalam melakukan proses kreatif karena ingin dikenal banyak orang. Lebih

6

dari itu, ayah satu anak ini menjelaskan bahwa kondisi latar belakang yang tidak berpihak mendorongnya untuk berkarya dan dapat uang. Menurutnya jika satu karya telah dimuat di media maka karya-karya lain akan menyusul. Pada tahun 1999 karya pertamnya pernah dimuat di Ekspresi dan disusul di Kedaulatan Rakyat, koran-koran Minggu, dan masih banyak lagi. Sejak saat itulah ia mulai rajin

mengirim karya-karyanya ke media baik lokal maupun nasional. Selain itu, ia mengaku bahwa tahun 2001-2004 merupakan tahun terproduktif dalam proses kreatifnya. Bahkan dalam kurun satu bulan saja karyanya berhasil dimuat di enam media sekaligus. Ia mengenang bahwa honor menulis lebih besar dari pada uang kuliah dan hal tersebut sangatlah membantunya saat masih menjadi seorang mahasiswa.

Edisi Delapan

Gelisah dan tulislah Saya pikir semua orang pernah merasa gelisah. Tetapi tidak semua orang mampu dan bisa menuangkan kegelisahannya ke dalam bentuk tulisan. Namun, hal tersebut mampu dilakukan oleh Hasta Indriyana dengan sangat terampil. Menurutnya jika belajar menulis hendaknya diselesaikan terlebih dahulu. Angkatan PBSI tahun 1997 ini juga berkeinginan untuk menulis novel, tetapi setelah dirunut ternyata dia ingin merasakan kegelisahan yang lebih lama untuk menulis novel, karena novel membutuhkan banyak halaman dan tebal. Ia mengaku penyair favoritnya adalah Faisal Syahreza, Kiki Sulistyo, Dedi Arsya, Frans Rahardi, Iman Budi Santosa, dan Sapardi Djoko Damono. Sementara itu, ia juga suka dengam penyair dari daerah Afrika dan Kanada.

Cara Menuangkan kegelisahan Prinsip yang dia pegang teguh sampai saat ini adalah Ngematna, Nirakna, Nemokke. Ya, prinsip Ki Hajar Dewantaralah yang menjadi kiblatnya kini. Ngematno yang dalam bahasa Indonesia artinya melihat. Tentu dalam pemahamannya tentang dunia sastra melihat tanpa mengetahui esensi akan menjadi hal yang siasia. Memperbanyak referensi bacaan, membacanya secara intensif itulah yang diajarkannya kepada saya. Nirakna atau meniru. Sastrawan tidak lepas dari sikap meniru seorang Maestro. Seringkali kita menyukai tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidharma, Sapardi Djoko Damono, Ahmad Tohari dari gaya penyampaiannya, metafornya, atau deskripsi alamnya yang detail ataupun ciri khas tiap-tiap

karya mereka. Secara tidak langsung itu menjadi bahan acuan dalam menulis. Nemokke berarti menemukan. Jika dua hal di atas sudah dilalui dengan lancar maka tahap selanjutnya adalah menemukan. Menemukan kesenangan, gaya, atau apapun dari hasil apapun. Selanjutnya adalah berkarya dan menuai apa yang diusahakan. Hasta Indriyana lebih ingin dikenal sebagai seorang Hasta Indriyana yang enggan ditambah embel-embel penyair atau sastrawan. Tetap menjadi pribadi rendah hati dan tidak arogan. Lengkap dengan seluk beluknya. Yang dulu menulis untuk uang tetapi kini menulis karena kegelisahan. Rizky Alcantara, cerpenis dan penyuka keindahan.

Koleksi buku-buku terbaru di perpustakaan “Mata Baca” Jurusan PBSI,

Edisi Delapan

7


Resensi Buku

Resensi Buku

Siddhartha: Meneladani Kebijaksanaan Timur

S

iddhartha, putra tampan sang Brahmana memutuskan menjadi seorang samana yang bertekad untuk mencari kebijaksanaan dan spiritualitas jiwanya. Namun, semula niatan tersebut bertolakbelakang dengan kehendak ayahnya, meskipun akhirnya permintaan sang anak pun dikabulkan walau harus diterimanya dengan berat hati. Hingga akhirnya, Siddhartha pun pergi berkelana sebagai seorang samana bersama sahabatnya Govinda. Siddhartha, putra sang Brahmana pun menjalani lakunya sebagaimana layaknya seorang samana, dimana ia harus meninggalkan segala nafsu dunia. Dalam perjalanan tersebut, sesampainya di Hutan Jetavana mereka bertemu dengan seorang yang dianggap telah mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Seseorang yang diakui telah mengalahkan penderitaan dunia dalam dirinya, serta telah mengembara ke seluruh negeri sambil mengajar, hidup tanpa harta benda, tanpa rumah, dan para Brahmana maupun pangeran pun rela menjadi muridnya. Ya, dialah sang Budha Gautama. Orangorang berlindung dan mendapatkan pencerahan dari ajaran-ajarannya. Begitupula dengan Govinda yang

8

Judul: Siddhartha | Penulis: Herman Hesse | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tebal: 168 halaman | Terbit: 2014 ∞ merasa telah menemukan jalan yang selama ini ia cari setelah bertemu dengannya. Namun hal tersebut berkebalikan dengan hati Siddhartha yang meragukan akan ajaran tersebut sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Hutan Jetavana dan sahabat tercintanya –Govinda. Setelah meninggalkan hutan tersebut, ia melanjutkan perjalanannya sebagai seorang samana. Hingga ia memutuskan untuk menjalani kehidupan duniawi yang begitu gemerlap serta memabukkan karena kekecewaannya akan laku sebagai seorang samana. Dalam

pengembaraan itu, ia bertemu dengan Kamala sang pelacur, hingga saudagar kaya Kamaswami yang mengenalkannya akan nafsunafsu dunia. Hingga bertahun-tahun, Siddhartha yang telah menjadi saudagar kaya bertemu dengan sahabatnya Govinda yang telah menjadi biksu dan telah mendapatkan pencerahan dari ajaran Gautama. Hal tersebut membuatnya berkecil hati sehingga ia pun rindu akan jalannya sebagai seorang samana yang telah ditinggalkannya. Dalam pelarian itu, ia bertemu dengan Vasudeva seorang tukang tambang yang mengajarkannya tentang keluhuran budi serta kebijaksanaan yang hakiki. Ya, apakah Siddhartha akan menemukan tujuan awalnya dalam mencari spirit dan kebijaksanaan? Ataukah ia akan kembali pada nafsu dunia yang memabukkan? Novel yang diterbitkan sekitar tahun 1920an ini merupakan sebuah refleksi atas pengalaman Herman Hesse dalam melihat situasi akan kehausan religius di Eropa pasca Perang Dunia I, dimana tahun-tahun tersebut bertepatan dengan meledaknya psikoanalisa Freud yang mendunia. Religiusitas tampak tunggang langgang dan gagal dipahami oleh masyarakat barat ketika

Edisi Delapan

itu sehingga banyak bermunculan agama baru yang memberikan tawaran lain . Muatan religius dan spiritual tergambar apik dalam novel ini. Filosofi dan musik kehidupan mengalir syahdu dalam setiap kalimat-kalimat yang dituangkannya. Dalam salah satu tulisan berjudul Herman Hesse and India dituliskan bahwa novel tersebut merupakan upaya Hesse untuk mengenalkan spirit dan religiusitas timur yang sangatlah penting dipahami sekaligus dilakoni oleh masyarakat Eropa. Konsep-konsep India kerap ditemukan dalam novel ini, karena kesemuanya meru-

pakan ajaran spiritual yang coba dikenalkan oleh Hesse sebagai obat penawar kehausan religius yang terjadi oleh masyarakat Eropa. Kesempurnaan ide dan bahasa yang indah dalam novel ini begitu detail dan sublim, sehingga para pembaca akan betah membaca novel tersebut. Pengalaman kreatif Hesse pun tumbuh di tengah keluarganya yang konon juga memiliki ketertarikan akan ajaran-ajaran bijak India. Sehingga ia pun begitu fasih dan paham akan ajaran-ajaran timur yang bernafaskan spiritul. Herman Gundert, sang kakek mempelajarai bahasa Sanskrit, serta ibu-

nya kerap kali menceritakan anekdot-anekdot India ketika tengah mengalami masa kanaknya. Minatnya akan dunia spiritual pun terus tumbuh serta menjadi lelaku layaknya Siddhartha yang terus mencari samudera kebijaksanaan untuk mencapai tujuan spiritual. Bahasanya yang puitis dan sarat akan nilai-nilai luhur menciptakan suatu irama yang harmonis dan estetis. Selamat membaca! Armada Nurliansyah, wartawan yang tekun dan sebentar lagi skripsinya akan dibukukuan.

Koleksi buku-buku terbaru di perpustakaan “Mata Baca� Jurusan PBSI,

Edisi Delapan

9


Esai

Esai Kelahiran Angsa Hitam Esai: Eko Triono

A

da pendapat soal tragedi. Sebagai hal menyedihkan, tragedi memberi efek emosi manusiawi bernama empati. Ketika empati muncul menjadi tren publik, eksploitasi melirik. Tujuannya untuk memperkuat daya empati itu sendiri atau berebut pengaruh, yakni ketika jamak pandangan publik berfokus pada tragedi yang berlangsung. Pencari materi dan citra publik tidak akan menyia-nyiakannya sebagai panggung penting, alih-alih tunduk berkabung hening. Dan jangan menduga ini hanya soal kuasa, media, dan politik. Bisa jadi, sebenarnya, ini soal sikap terdalam diri kita sendiri. Dalam teori kemungkinan, tragedi disebutkan dapat diprediksi. Namun, seperti dikatakan pakar probabilitas, Nassim Nicholas Taleb, prediksi selalu punya banyak alasan untuk diabaikan, bahkan ditertawakan. Sebelum nantinya disesali, ketika benar terjadi. Sebagai contoh, kita akan ditertawakan ketika tiba-tiba meminta warga di pemukiman lereng yang damai untuk ke luar

10

rumah, pergi mengungsi, sebab beberapa jam lagi akan longsor. Atau, ketika tiba-tiba meminta pesawat menunda penerbangan pada jam bisnis yang sibuk. Atau yang lebih ekstrim, kita malah dipenjara saat tiba-tiba menelepon Basarnas, mengabari tentara dari berbagai kesatuan, minta siapkan pesawat dan kapal, juga mengontak negara tetangga, untuk berkumpul di sebuah selat pada subuh, meski kita melakukannya tepat satu jam sebelum di sana sebuah pesawat bakal jatuh. Juga, kita akan dibuli saat meminta negara mengeluarkan anggaran penghancur awan berbahaya, karena beberapa saat lagi akan ada pesawat sipil melintas, yang nanti korbannya jauh lebih besar. Validitas prediksi memang menjadi taruhan yang tidak boleh mainmain dan disepelekan. Prediksi cuaca, misalnya. Pengaruhnya adalah tingkat kepercayaan masyarakat. Dan semakin masyarakat tumbuh dalam polapola logis, maka makin menuntut bukti. Sayangnya, di dalam tragedi, bukti muncul bersama rasa sesal dan sedih yang kadung.

Akibatnya, beberapa orang nekat berpendapat: di dalam tragedi, firasat pun tidak berguna, kecuali jika dapat menghindarkan. Firasat yang disebut-sebut setelah tragedi terjadi hanyalah cara lain untuk menghibur diri yang sedih. Dalam skema posmodern, tragedi memiliki peluang yang masif terhadap eksploitasi. Hal ini disebabkan oleh sejumlah karakteristik, di antaranya adalah material dasar tragedi yang bersifat menarik empati manusia, sebagaimana magnit alam menarik logam besi. Oleh karena itu, sejak masa lampau tragedi digunakan sebagai unsur pemikat dalam seni, mulai dari seni pertunjukan, musik, lukis, sastra, film, sinetron, sampai seni (dalam tanda petik) penciptaaan chaos kuasa, jurnalistik, hingga pencitraan dengan berbagai improvisasi. Tidak hanya di dalam seni, di dalam agama, filsafat, juga sejarah, tragedi dengan mudah didapatkan, digunakan. Ringkasnya, penderitaan memang menarik perhatian. Akibatnya, tragedi, peristiwa yang menyedihkan itu, tak akan pernah luput dari

Edisi Delapan

komoditas industri berbasis masa. Acara televisi, misalnya. Di dalam acara televisi, sebuah tragedi sering ditampilkan melebihi informasi pokok yang dibutuhkan. Meskipun tragedi yang dimaksud adalah peristiwa nyata, seperti bencana alam atau kecelakaan besar. Jean Baudrillard menganalisa kondisi media semacam ini terjadi karena masyarakat haus mengonsumsi sesuatu yang melebihi objekreal. Media cenderung menciptakan ledakan makna yang melebihi realitas. Dalam industri benda, nilai-fungsi direduksi dengan nilai-simbol. Dalam industri informasi, nilaiberita dapat diaransemen ke dalam nilai-drama. Efek dramaturgi seperti permainan sudut gambar, hingga musik latar digunakan untuk memberi penguat rasa dalam berita tragedi agar semakin menarik daya empati. Kemunculan para analis, komentator, prediksi, mistifikasi, juga simulasi memberikan gambaran kepada kita betapa tragedi perlu dikemas. Suatu hal yang sebenarnya tidak berhubungan penting, tapi muncul juga sebagai lampu sorot. Simulacrum dan simulacra pun saling menatap di antara orang

yang benar-benar meratap. Nilai baiknya, penanganan tragedi menjadi maksimal, sebab di dalam masyarakat berbasis suara orang ramai, banyak sedikitnya kesaksian menentukan kapasitas tindak lanjut terhadap suatu persoalan. Kadang kala, yang mendesak memang harus mengalah pada yang aktual, pada yang kelak pun retak dan mungkin dilupakan. Hal itu diperkaya lagi dengan vitamin internet beserta nutrisi aneka jejaring sosial. Nutrisi ini memungkinkan konsumen mengudap sekaligus tampil sebagai produsen, atau minimal sebagai distributor. Sederhananya seperti bernapas, mereka menghirup, kemudian mengembuskannya dalam waktu yang berdekatan. Ini keuntungan, seandainya yang dihirup dan yang diembuskan dapat dipertanggungjawabkan, memberi solusi, empati, bantuan, ketulusan, dan nilai baik lainnya. Bagaimana jika yang menghirup adalah para culas, yang kemudian mengembuskannya sebagai alat bermain politik, citra diri, atau menjatuhkan lawan? Ini tidak enak didengar, sebab tiap kelompok kuasa memiliki masa dan kepentingan masing-masing.

Edisi Delapan

Eksploitasi terhadap tragedi dapat juga dilihat dengan statistik dasar informasi favorit, misalnya menggunakan kurva lonceng Gauss, meskipun, Nassim Nicholas Taleb mencibir penggunaan distribusi normal semacam ini, karena membuat kemungkinan gejala tak terduga (black swan) kecil, bahkan mustahil. Tragedi, terlebih diikuti kata masal, mengisi irisan kurva siaran utama, yang bisa diduga dalam dua puluh empat jam, televisi misalnya, hanya ada sepuluh persen yang tergolong acara utama. Ini diperebutkan, disiarkan ulang dengan cara masingmasing, lalu menciptakan ledakan empati besar, bersama iklan yang mengikutinya. Ledakan ini memiliki kekuatan penggerak fokus lensa pikiran publik. Yang apabila disorotkan secara bijak, dapat memudahkan penyelesaian suatu masalah. Tapi jika tidak bijak, bukankah bisa mengalihkan pikiran kita dari yang lain, dari yang mungkin sama atau bahkan lebih genting?[]

Eko Triono, lahir di Cilacap, 1989. Alumni UNY, kini peserta Pascasarjana UNS. Menulis, membaca, dan memelihara semut.

11


Kritik Sastra

Kritik Sastra Revolusi dalam Novel “Bulan Jingga dalam Kepala”

L

ingkar Sokrates merupakan sebuah perkumpulan yang didirikan oleh sepuluh mahasiswa idealis, yakni Surianata dan kawan-kawan yang dikenal sebagai para humanis radikal. Berawal dari sana, Surianata dan kawan-kawan menyiapkan gagasan perubahan sosial yang radikal sebagai respon terhadap rezim kekuasaan Jendral Suprawiro. Mereka melakukan pergerakan yang radikal dengan cara mengkoordinir para mahasiswa dari berbagai universitas besar di pulau Jawa untuk menumbangkan rezim penguasa. Demikainlah garis besar Novel Bulan Jingga dalam Kepala karya Fadjroel Rachman. Novel itu sendiri merupakankan novel yang menggambarkan bentuk penyikapan kaum intelektual (Fadjroel Rachman) terhadap pergerakan nasional yang dilakukan oleh kalangan akademisi pada Mei 1998. Peristiwa tersebut menjadi janin novel Fadjroel Rachman ini. Selain itu ada juga aktivitas politik yang termasuk ke dalam “fakta kemanusiaan”. Menurut Faruk (2007), fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik-baik

12

yang verbal maupun yang fisik. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial dan politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra. Jika bertolak dari pendapat Lucien Goldmann yang menggolonglan novel menjadi tiga jenis─novel idealisme abstrak, novel psikologis, dan novel pendidikan, maka novel Fadjroel Rachman termasuk jenis novel yang pertama. Hal ini dakarenakan dalam novel tersebut, kaum intelektual dari kalangan mahasiswa yang melakukan revolusi sosial merupakan tokoh kolektif dan “hero problematik,” yang pada akhir cerita, tokoh utama novel tersebut dimatikan. Hal itu terjadi karena adanya “hubungan trans-individual” yang tidak mungkin dilakukan oleh individu. Sedangkan menurut Goldmann sendiri dalam buku yang ditulis oleh Faruk, Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme, problematik hero kolektif bersangkutan dengan konflik antara ikatan spontan pada ideologi dengan disiplin pada partai. Dalam novel tersebut, yang dicari Surianata dan kawan-kawan adalah nilai-

nilai otentik yang sudah terdegradasi di bawah cengkeraman kekuasaan rezim Jendral Suprawiro. Hal itu dapat kita lihat pada kutipan berikut. Pemberontakan manusia memang abadi untuk meraih kebebasan, batin Surianata, Aku yakin sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kebebasan.

Saat kebebasan individu dan kelompok sosial direnggut oleh kekuasaan, saat kekuasaan tiba-tiba menciptakan teror semacam Petrus, misalnya. Lawan politik dibungkam, bahkan dibunuh, dan yang membangkang perintah mesti dicap sebagai “sel-sel komunis”, mesti dimusnahkan tanpa memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan demi kekuasaan. Kebebasan itulah yang dicari dan yang ingin direbut kembali oleh Surianata dan kawankawan. Mereka memiliki pandangan yang sama mengenai kebebasan. Nama Jendral Suprawiro sendiri merupakan cerminan dari Jendral Soeharto yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Apa yang dilakukan Surianata dan kawan-kawan Lingkar Sokrates merupakan hal

Edisi Delapan

yang benar-benar mereka sadari. Mereka menyadari betul melakukan penentangan dan pemberontakan baik secara fisik maupun pemikiran terhadap rezim penguasa. Kesiapan mereka merupakan apa yang disebut Goldmann sebagai “kesadaran kolektif”, yang secara lahir maupun batin untuk memberontak. Kesadaran kolektif tersebut muncul karena adanya hubungan “trans-individual” di antara mereka. Hal itu terdeskripsikan dengan baik ketika pertemuan Lingkar Sokrates ditutup dengan sebuah puisi “Doa di Medan Laga” karya Soebagyo Sastrowardoyo. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut. “Takdir meminta Chairil menutup pertemuan dengan Doa di Medan Laga-nya Subagio Sastrowardoyo..... berikanlah kekuatan sekeras baja untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini berikanlah kesabaran seluas angkasa untuk mengatasi siksaan ini, untuk mengatasi derita ini berikanlah kekuatan sekuat garuda untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini berikanlah perasaan selembut sutra untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini”

Subjek Kolektif dan World View Pandangan dunia yang searah menjadi ada karena adanya hubungan subjek kolektif dalam suatu kelompok tertentu. Lucien Goldmann (1997) menyatakan bahwa pandangan dunia harus dikaitkan dengan subjek kolektif yang membangunnya dan lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan intelektual, tempat subjek itu hidup. Dengan kata lain, subjek kolektif dapat menciptakan pandangan dunia yang baru dan bersifat universal yang menjadi pemicu penumbangan rezim orde baru Jenderal Suprawiro yang dilakukan oleh kelompok sosial tertentu. Yang dimaksud kelompok sosial di sini adalah kaum intelektual yang berperan penting dalam revolusi. Mereka, Surianata dan kawan-kawan, melakukan pemberontakan berdasarkan peristiwa revolusi yang sebelumnya terjadi di negara lain, seperti di Kuba. Penyebab lain yang lebih mendasarinya adalah bahwa mereka sebenarnya “mencari nilai-nilai otentik yang sudah terdegradasi”, seperti yang tertera pada bagian berikut. “Aku tahu pilihan ini memang sulit. Kita seperti berhitung statistik nyawa manusia sekarang, tak lagi berbicara

Edisi Delapan

tentang keunikan individu dengan tetek bengek kebahagiaan dan penderitaannya. Sekarang kita mesti memilih satu binatang buas untuk menyelamatkan ratusan juta rakyat tak berdosa yang siap disantapnya. Percayalah, kita bersama-sama sudah menetapkan pilihan yang benar. Masih ragu? Akulah algojo yang akan menghabisi Jenderal Suprawiro,” kata Takdir tegas. Digenggamannya tampak Guerrilla Warfare yang ditulis Che Guevara semasa bergerilya di Sierra Maestra, Kuba, untuk menggulingkan diktator Jendral Fulgencio Baptista, dan Coup D’etat:A Practical Handbook,karya Edward Luttwak.”

Dari sini, kita dapat menemukan benang merahnya, yakni adanya pandangan dunia subjek kolektif, dan fakta kemanusiaan—dalam hal ini “revolusi”. Sedangkan pandangan dunia (world view) mengenai “aktivitas politik” maupun “pembelaan terhadap rakyat” sebagai fakta kemanusiaan, termaktub dalam novel pada bagian berikut. “Sungguh Takdir juga menyadari kelemahan pengorganisasian massa, tentu juga masa bodohnya mahasiswa terhadap rakyat jelata. “Kami tak ingin mengecewakan orangtua yang membayar kuliah. Jadi kita tak perlu berpolitik,” ujar seorang mahasiswa UI kepada Takdir,

13


Kritik Sastra

dalam suatu diskusi di Depok. Takdir ingat, spontan menjawabnya, “Bila kamu tidak berpolitik, maka politik akan menguasai dan mengarahkan hidupmu. Semuanya adalah politik, yang kita lawan adalah politik penindasan, politik yang membenarkan kesengsaraan, kemiskinan, dan pembunuhan manusia.”

Namun, politik yang dilawan oleh Surianata dan kawan-kawan, bukan hanya politik dalam artian umum, tapi politik penindasan yang membenarkan kesengsaraan, kemiskinan dan pembunuhan manusia. Pandangan dunia dalam novel ini, adalah Sosialis dan Humanis Radikal. Dalam istilah Fadjroel, membunuh “satu binatang buas untuk menyelamatkan ratusan juta rakyat tak berdosa” pada rezim Jenderal Suprawiro (atau Jenderal Soeharto). Selain membicarakan tumbangnya Orde Baru pada Mei 1998, novel tersebut juga mengingatan kita pada peristiwa pemerkosaan terhadap kaum perempuan Tionghoa pada masa itu. Mereka menjadi korban pada masa pra-reformasi. Atau lebih tepatnya menjadi ‘kambing hitam.’ Toko-toko milik mereka juga dibakar. Inilah yang disebut sebagai “Politik Penindasan”. Prilaku tragis itu juga terdapat pada suara-suara dalam

14

Info LOMBA

novel pada bagian berikut. “Cina lu... dasar Cina!” “Ampun... ampun!” “Bunuh... bunuh!” “Perkosa... perkosa!” Jakarta terbakar! Semuanya. Pusat, Selatan, Timur, Barat, Utara, juga Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ya Allah, betapa celakanya berdarah Cina. Jerit perkosaan di mana-mana, tenggelam di amuk kobaran api.”

Begitulah peristiwa berdarah yang terjadi pada masa itu. Selalu ada yang ‘dikambing hitam-kan’ dalam sebuah tragedi. Sampai sekarang pun belum ada sanksi terhadap perilaku tersebut. Selalu ada sisi-sisi tragis dalam sebuah peristiwa besar. Itulah ‘politik penindasan’ seperti yang diungkapkan di atas. Seperti yang dikabarkan oleh media, bahwa pada masa pemerintahan jenderal Soeharto, kaum Tionghoa selalu ditekan, tulisan-tulisan Tionghoa di berbagai tempat dilarang. Kekrasan, pemerkosaan, dan pembunuhan, serta segala perilaku amoral yang merendahkan harkat martabat kemanusiaan kaum Tionghoa, sepertinya telah direncanakan. Adakah orang-orang militer yang menjadi pelakunya? Ataukah masyarakat sipil? Atau para mahasiswa? Sampai sekarang masih belum

diketahui kejelasannya. Namun apa yang diungkapkan sang novelis (Fadjroel Rachman) yang diketahui dia juga sebagai seorang aktivis, yang mungkin saja memiliki peran penting pada masa tumbangnya Orde Baru, merupakan realitas alternatif berdasarkan sudut pandang tertentu. Jika meminjam istilah Miller dalam bukunya On Literature, karya sastra bisa menjadi “dunia alternatif” bagi pembaca atau pun pengarang. Dan yang dilakukan oleh Fadjroel Rahman adalah ia menciptakan “dunia alternatif” untuk mengungkapkan kebenaran yang gelap pada peristiwa jatuhnya kekuasaan rezim Soeharto dalam Tragedi Mei 1998. Setelah masa-masa itu lewat, tokoh utama, sang ‘hero problematik’, Surianata, pada akhirnya ditangkap dan mati ditembak di penjara Sukamiskin dengan tuduhan pembunuhan terhadap Bunga (putri bungsu Jenderal Suprawiro) yang tanpa sengaja ia tembak sebab sang Ayah mengelak ke belakang tubuh sang anak. Irwan Apriansah Segara, kritikus muda dan pegiat ilmu bela diri taichi .

Edisi Delapan

Edisi Delapan

15


CERPEN Percakapan di Atas Kapal Cerpen Reddy Suzayzt

Keberadaan kekasihnya hilang tanpa jejak. Setelah penjemputan di malam buta itu.” Angin samudera menderu-deru, menerpa wajah dan menyisir helai-helai rambut Don. Bayangan masa kecilnya di sebuah pesisir yang sesak oleh amis ikan laut bermekaran dalam ingatannya. Pernah pula ia jumpai angin sama di masa itu di bibir pantai. Ketika harapannya mengembang, melihat ayahnya menarik pukat yang berat. Masih ditatapnya wajah gadis itu; wajah tirus dan lembut. Dengan rambut mayang terjurai, berkibarkibar terisap ganasnya deru angin ke arah buritan. Pagi tadi Don dan gadis itu dipertemukan dengan skenario Tuhan serupa komedi. Sebelum penumpang naik ke kapal, diri mereka ada di dalam dua barisan yang berdampingan. Tubuh mereka tepat bersebelahan. Ketika mereka hendak maju menyetor tiket, rasanya ada tangan malaikat yang menuntun tangan Don untuk menyeret koper milik gadis itu. Kebetulan—aku rasa “kebetulan” hanya repetisi yang sengaja Tuhan ciptakan—koper

16

keduanya sama persis. Koper biru polos tanpa nama merek di permukaannya. Maka, ketika Don hendak mandi beberapa saat setelah kapal meninggalkan dermaga, Don mendapati dalam koper itu berbagai-bagai pakaian dalam yang asing. Tentu ia agak geli melihat bra berwarna ungu dan Gstring hitam tipis. Namun, tak mungkin ia melepas landas tawa hingga orangorang sekeliling sadar akan kekonyolannya. Saat benda-benda itu teronggok di tangannya, dari belakang terdengar suara gadis yang menegur ketus, “Kurasa aku belum cukup nyaman untuk memakai pakaian dalammu.” Don tersentak. Itulah pertama kali Don menyaksikan perpaduan antara keketusan dengan senyum yang langka. Pertama kali dalam masa mudanya. Maksudku, pertama kali ia mengalami kejadian semacam ini. Sisanya hanya episode-episode percintaan yang membosankan. Don segera memasukkan “benda asing” itu ke dalam koper, lantas minta maaf dengan tingkahnya yang canggung. Gadis itu tertawa seraya menyerahkan koper

biru di belakangnya pada Don. “Lantas, bagaimana ibumu membuka lembar barunya?” “Tentu saja dengan segala kegetirannya,” jawab gadis itu, dingin. “Manusia memang selalu melahirkan tragedi-tragedi,” ungkap Don. Gadis itu senyum kecut. Seolah-olah kalimat Don terdengar klise di telinganya. Don merasa janggal dengan senyum itu. Ia buang muka sejenak ke arah laut yang kelam, yang memantulkan cahaya purnama pertengahan. “Bukan berarti aku senang mendengar cerita ini, malahan aku menaruh simpati mendalam pada ibumu. Kiranya jika kau sudi berbagi kegetiran kisah ibumu, aku menerimanya.” “Apa gunanya kuceritakan semuanya?” gadis itu menatap wajah Don. Suasana malam di tengah laut memoles wajah gadis itu. Wajah yang tersiram oleh angin lembab dan sinar purnama. Dengan jaket penghangat berbulu halus di bagian lehernya. Maklum saja, angin laut tak cukup baik untuk temperatur tubuh. “Setidaknya akan ada

Edisi Delapan

CERPEN semacam beban yang kaulepas.” Gadis itu diam. Matanya menatap gelombang laut yang pecah tersebab terjangan badan kapal. Gelombang yang menciptakan buih-buih putih yang begitu cepat tertinggal jauh di belakang. “Pun misal kau tak nyaman akan hal itu, tak usah kauceritakan, aku tak memaksa, Han,” Don tersenyum. Dalam hatinya ia berkata, hilanglah kesedihanmu, hilanglah kesedihanmu. Tapi Han melepas tawanya, seperti melepas nafasnya dengan bebas. Hanita, perempuan itu perkenalkan namanya pada Don. Bagi Don kebenaran nama itu tak terlalu penting. Don cukup percaya saja dengan pengakuannya. Toh hanya satu malam mereka bersama. Kalaupun ia dusta, apa ruginya bagi Don? Lalu Han bertanya pada Don, “Mengapa mesti ada rasa keberatan dalam perbincangan? Bagiku itulah yang membuat jarak dalam hubungan antarmanusia.” Don merasa hatinya dialiri arus air yang lembut. Han melanjutkan. “Untuk mengobati hati, ibuku meninggalkan rumah di kampungnya. Merantau, meski orang-orang kampung berpandangan stereotip tentang ketidakpantasan seorang gadis meninggalkan dapurnya. Tapi kau tahu, obat patah hati paling mujarab salah satunya adalah

pergi. Pindah. Hijrah dari kenangan-kenangan yang hanya akan mengurungmu dalam kemurungan.” Aih, bagaimanapun, wanita adalah makhluk yang paling sukar membersihkan ruang-ruang dalam hatinya dari segala ingatan-ingatan. Terlebih ingatan yang membercak dari sebuah rindu dendam. Di rantau, Ibu Han bertemu dengan seorang pemuda Borneo yang begitu halus hatinya. Konon, Ibu

Han menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Begitu juga dengan pemuda itu. Betapa kemurungan Ibu Han itu terbaca oleh si pemuda. Saban hari ia lihat gadis yang menyembunyikan manisnya dalam kemurungan itu membisu dalam kesibukan. Pula ketika gadis itu menjalin komunikasi dengan orang-orang. Ia hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan secukupnya. Selebihnya tak pernah

Edisi Delapan

ia melihat si gadis tertawa lepas, berkelakar di sela-sela kesuntukan dalam pabrik dengan rekan-rekan. Sebenarnya, luka di hatinya belum lagi merapat. Setiap gadis itu berusaha menendangnya jauh-jauh, justru kenangan-kenangan itu semakin kuat melekat. Ada kalanya pada malammalam yang terlalu meletihkan, ia memimpikan hal itu-itu saja. Begitu jelas dalam alam tidur itu ia menyaksikan kekasihnya digiring orangorang berbaju loreng ke suatu lubang besar, di mana dalam lubang itu berkobarkobar api yang menyeringai. Lalu, setiap tangannya berusaha meraih tubuh kekasihnya itu, saat itu pula matanya membuka. Seakan akhir mimpi itu adalah sebuah alarm untuk membuatnya terjaga. ____ “Maaf, aku belum mengerti konflik apa yang menjerat mantan kekasih ibumu, penjemputan?” “Kurasa kau tidak akan merasa asing dengan tragedi kemanusiaan terbesar di negeri ini,” mata Han memicing. Bisa jadi tersebab angin laut yang semakin kuat menyapu wajahnya. Atau bisa jadi pertanyaan Don terasa membosankan baginya. Lelaki itu diduga orangorang kampung sebagai aktivis partai yang mereka tahu sebagai partai atheis,

17


CERPEN partai orang kafir. Sebab di suatu malam, mereka melihat lelaki itu berjoget lepas di depan panggung kesenian yang digelar partai. Hingga isu datang secepat prasangka-prasangka, bahwa partai itu adalah partai terlarang. “Aku mual membaca rekayasa sejarah pada buku sekolah. Begitu mudahnya pecundang memproklamirkan dirinya sebagai pahlawan. Dengan kekuasaan, kekuasaan!” Don mulai menangkap sinyal. Tentu ia mengerti tragedi usang tentang komunisme di negerinya. ____ Syahdan, Ibu Han bernama Rus. Sedang kekasihnya di kampung itu, dipanggil orang-orang sebagai San. San memang seorang pemuda hijau yang saat itu sedang menggebu jiwanya. Seringkali ia ungkapkan pemikiran dan harapannya saat malam penantian mempertemukan mereka. Biasanya malam yang mereka tunggu-tunggu adalah malam Jumat. Sebab, di malam Jumat mereka mengaji di rumah Wak Pitam. Sudah umumnya pemuda-pemudi di kampung mengaji pada mantan pejuang kemerdekaan itu. Malam Jumat khusus untuk yasinan bersama-sama. Sepulangnya, adalah waktu yang membuat degup dada mereka serupa bedug kulit sapi yang ditabuh menjel-

18

ang magrib. Di belakang pos ronda yang usang dan tak terpakai, mereka memadu rindu. Dan saat itu San mengumbar janji dan harapan-harapan pada Rus. Kau tahu, kata San saat itu. Aku melihat masa depan yang gemilang dalam partai baru ini. Bagaimana tidak, mereka berpihak pada kaum buruh dan petani. Mereka perhatikan pula penuh-penuh pada para pemuda yang memiliki kemauan kuat buat belajar. Semacam aku ini. Tentu saja Rus senang bukan kepalang. Apalagi, ia melihat keseriusan yang sangat batu dalam mata San, keseriusan untuk merajut hidup dengannya. Dalam bayangan Rus, suatu ketika nanti ia akan menyiapkan sarapan pagi buat San sebelum ia berangkat ke kantor. Ia akan merapikan kemeja safari yang akan dikenakan San. Menyetrikanya dengan harum pandan dan kehatihatian. Dan sepulangnya, akan ia sambut suaminya dengan dandanan yang menggiurkan. Ya, ia akan merawat dan mempersolek diri untuk suaminya kelak, San sang pegawai negeri. Lalu mereka akan bercumbu dan bercinta hingga senja muncul memerahkan dinding dan atap mereka. Namun, semua harapan pecah seperti piring-piring yang terlepas dari tangan seorang perawan. Malam

itu, saat anak-anak dan kebanyakan orang dewasa terlelap, orang-orang berbaju tentara datang ke kampung mereka. Mereka mengumumkan bahwa karena komunis melakukan pemberontakan di suatu tempat, maka para simpatisan partai komunis mesti dibawa untuk interogasi lebih lanjut. Rus belum lagi tidur. Ia benar-benar terjaga saat orang-orang militer itu mendedah semua rumah. Kaki Rus gemetar. Ada semacam hawa dingin yang menjalari tengkuknya dan merasuki tulang punggungnya. Ia teringat sang kekasih, San. Tapi ia tak berani berbuat apa pun. Bahkan sekadar untuk berkata-kata. Baru itu kali Rus melihat orang-orang yang mengetuk pintu rumah, bertanya dengan nada tinggi dan kasar. Ia tak tahu apa nasib San. Keesokan paginya dan pagi seterusnya, tak lagi ia temukan senyum San. ____ “Hingga akhirnya ibu menikah dengan ayahku, pemuda Borneo itu.” Lirih Han. Sementara, di kejauhan mata memandang lautan kelam, satu-dua titik cahaya berkerlipan seperti terang kunang-kunang di atas air. Begitu kecil. Kapal tongkang masih betah mengarungi laut raya Sang Baruna, melayarkan tujuantujuan. “Tujuanmu kini pulau

Edisi Delapan

CERPEN B bukan?” tanya Don. Han mengangguk pelan. “Ada rencana apa di pulau itu?” sambungnya lagi. Han menjelaskan di sanalah kampung halaman ibunya. Ia berniat mengunjungi kakeknya yang masih hidup. Ibunya jualah yang menyuruhnya. Don bertanya detail kabupaten dan kecamatan tujuan Han. “Kabupaten A, kecamatan S,” Don mengangguk. “Kurasa sudah saatnya kau beristirahat, angin laut terlalu ganas untuk kesehatan kita.” Han tersenyum. Mereka berdua segera masuk ke dalam. Pintar-pintar mereka menjaga langkah, sebab keseimbangan agak goyah di atas kapal yang melaju. Di dalam, sebagian penumpang kapal terlelap. Beberapa lagi—kesemuanya lelaki—masih memelototi video klip karaoke yang berulang kali disetel sedari siang. Sepertinya mereka betah dan puas dengan goyangan biduan yang kelewat erotis dalam kotak televisi di depan mereka. Kadang pula, mereka menyaksikan filmfilm drama dewasa di kapal itu. Dan para penumpang lelaki tentu menyukai itu. Televisi itu, terletak di depan bagian atas. Jika kaudapati penumpang yang mengeluhkan pegal di tengkuknya, percayalah, berarti penumpang itu terlalu lama mendongakkan kepalanya saat menonton.

Don memang memejamkan matanya. Tapi isi kepalanya terus bergolak. Sepertinya ia teringat suatu hal. ____ “Sampai jumpa, Don. Senang berbagi kisah denganmu. Kuharap kita bertemu lagi. Atau catatlah alamat ini, kau boleh mengunjungiku sewaktu-waktu.” Don menyambut baik. Segera ia catat alamat itu. Entah benar-benar diberikan alamat asli atau mungkin palsu, bukan urusanku, batin Don. Di pintu keluar pelabuhan kecil itu mereka berpisah. Isi kepala Don masih bergolak. Ini kali ia dilema betul. Bimbang jiwanya memandang gadis Han yang kini tengah menunggu angkutan umum di seberang jalan. Ia teringat cerita ayahnya. Sebuah rahasia yang Don terima ketika ia delapan belas: Ketika itu ayahnya kabur dari kampungnya. Sebab, jika tidak, ia akan mati diberondong peluru. Ayahnya adalah seorang simpatisan partai komunis. Ia mengerti komunis di negerinya akan bergejolak. Ia memang pemuda yang entah mengapa memiliki intuisi yang begitu tepat. Waskita. Tentu cerdas pula. Ia mampu mengendus bahaya dari radius sekian mil, yang akan menghampirinya. Sebab itu ia bergegas pergi keluar dari kampungnya.

Edisi Delapan

Pada kampung itu pula, ayahnya menceritakan tentang seorang gadis yang terpaksa ditinggalkannya. Gadis harapannya. Yang hingga saat ini tak lagi ia ketahui kabarnya. Karena ia segera berlayar menjauhi tanah leluhur dan hidup di tanah orang. Hingga ia kawin dengan ibu Don. Don masih menatap Han, hatinya melahirkan bisikbisik kecemasan. Haruskah aku mengisahkan semua pada Han? Don cukup terhenyak ketika Han menyebutkan kabupaten dan kecamatan tujuannya tadi malam. Itu adalah tempat ayahnya. Sedang, tujuan Don ke pulau ini pun adalah permintaan ayahnya untuk mengunjungi leluhur. Tiba-tiba Don berteriak dan melambaikan tangannya, “Han!” tapi ia terkejut sendiri dengan perbuatannya, mengapa tiba-tiba ia berbuat seperti itu. Han mengalihkan pandangan ke arahnya. Memasang air muka dan gestur yang seolah mengatakan ada apa?. Tubuh Don membatu. Hal itu yang membuat gadis Han jadi penasaran. Maka ia menyeberangi jalan dan hampiri Don kembali. “Ada yang ingin kausampaikan, Don?” Entahlah, Don hanya merasa tangannya basah oleh keringat dingin. [] Yogyakarta, 28 Agustus 2014

19


Review Film Si Jenius dan Komplotannya

G

enre animasi merupakan salah satu film yang digemari oleh berbagai kalangan usia. Sebuah perusahaan besar Disney telah sukses menghadirkan film kartun yang mendunia yaitu Frozen, namun kali ini Disney menghadirkan kembali film yang bergenre animasi dengan judul Big Hero 6. Film Big Hero 6 ini tak kalah seru dengan film Frozen, bahkan Big Hero 6 berhasil merebut piala Oscar di tahun 2014. Hiro Hamada adalah seorang bocah yang lulus SMA di usia 13 tahun. Kejeniusannya ini menariknya untuk masuk ke Unversitas Fransokyo yang dimasuki Kakaknya, Tadashi Hamada. Untuk masuk ke kampus tersebut tidaklah mudah. Hiro harus menampilkan sebuah penemuan baru yang menarik. Itu merupakan tes ujian masuknya. Hiro terus berusaha dan berusaha hingga ia mendapatkan ide cemerlang, Hiro berhasil masuk ke Universitas tersebut dengan penemuan baru, akan tetapi sebuah tragedi terjadi. Tragedi itu merubah segalanya. Masih dalam suasana sedihnya, Baymex tak sengaja muncul dengan ciri dan kekhasannya. Sebuah robot yang kelak dapat diharapkan membantu banyak orang. Baymex aktif

20

Judul Big Hero 6 [] Tanggal Tayang 7 November 2014 [] Genre Animasi [] Sutradara Don Hall, Chris William [] Produksi Walt Disney Animation Studios

kembali untuk membantu Hiro sembuh dari sakitnya. Belum lagi seorang lelaki misterius dengan topeng Kabuki yang tiba-tiba muncul dan memanfaatkan penemuan Hiro. Apakah tujuan lelaki tersebut? Hiro berusaha mencari tahu dan mengungkap faktanya dengan bantuan keempat teman Kakaknya yaitu Go Go, Wasabi, Honey Lemon, Fred dan Si Robot yang mengemaskan Baymex. Dibandingkan dengan animasi lainnya Big Hero 6 memiliki kualitas alur yang kompleks dan beberapa pelajaran tentang hidup.

Animasi yang diciptakan pun memiliki keunikan tersendiri dengan khas masing-masing. Kekonyolan dan grafis Baymax yang dibuat unik. Film ini berhasil membuat emosi penonton bergejolak serta memancing tawa penonton ketika melihat ulah konyol para tokoh dan gemasnya melihat Baymax. Kebanyakan film Disney selama ini menghadirkan tema tentang dongeng dan cinta serta ending bahagia selamanya. Namun bagaimanakah ketika kisah romance ala Disney bergabung dengan kisah heroic ala Marvel? Jawaban tersebut dapat kita temukan pada Big Hero 6 karena film ini memang hasil kerjasama dari Disney dan Marvel. Meskipun tidak memberi gambaran detail pada latar belakang setiap tokohnya hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah, karena film ini telah berhasil dalam menyampaikan makna. Terutama dalam hal moral, seperti kasih sayang, persahabatan dan keluarga. Temukan sebuah kenikmatan dengan menonton Big Hero 6 yang tidak ditemukan pada animasi lain. *** Julitasari, pustakawan Mata Baca.

Edisi Delapan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.