Buletin Mimesis Edisi 15

Page 1

Sastra Buka Pintu

Edisi. Sastra Buka Pintu 2017 | Gambar oleh: Pixels Huh

1


Salam Susastra,

Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Muhammad Qadhafi, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt, Mawaidi D. Mas, Anto, Muhammad Farid Anshori, dkk. Pemimpin Umum: Ikhsan Abdul Hakim Pemimpin Redaksi: Reigina Fanindika P Tim Redaktsi: Andrian Eksa, Permadi Suntama, Arief Budiman, Desvandi, Inas Adila, Nisa Maulan, Monna, Anik, Arief Rahmanto, Ikhsan Maulana, Danang Suryo, Burhan, Alfian, Polanco, M.Syafiq, Syakinah, Diana, dkk. Pemeriksa Aksara: Nisa MS, dkk. Ilustrator: Anang Pamungkas

2

Katanya, membuka pintu dan melangkah ke dalamnya berarti menjajali sesuatu dengan diiringi rasa keingintahuan. Layaknya buletin Mimesis, sebagai wadah untuk menghindari kepasifan, buletin Mimesis tetap hadir mengisi ruang-ruang yang diharap dapat mempermudah pembaca merasa lebih nyaman dengan sastra. Sungguh belum dapat dikatakan pencapaian karena kita harus menilik kembali ke setiap pintu yang telah kita tutup kemarin. Mimesis masih perlu mengingat banyak hal atas setiap proses yang dilakukan, hasil yang belum tercapai dan harapan yang belum diraih. Untuk itu dengan kembali dibukanya pintu, buletin Mimesis edisi ke-15 ini mencoba tetap dengan langkah hati-hatinya mencari keluarganya dan menyatukannya kembali. Selama denting waktu belum terhenti, Mimesis dengan segala kegelisahannya akan tetap mengisi kehangatan bagi setiap pembaca setia. Selamat membaca~


PUISI Penantian Terjal orig12.deviantart.net

Lusiana Indriani

Pagi masih terlalu dini Dingin menusuk namun serasa panas menumbuk Pada jalanan sunyi Sunyi tak terperi Terlebih lagi terjal tergambar Lama sudah tak terjamah aspal Tergilas alas dan roda-roda Entah kemana nurani priyayi pergi Ke sela-sela tempat pembuangan akhir? Atau terbang bersama kepakkan sayap elang? Madiun, 11 Februari 2017 __ Lusiana Indriani lahir di Madiun, 3 Januari 1999. Asli Kabupaten Madiun. Sedang studi di Yogyakarta. Senang menulis, membaca, menyanyi, dan semua hal yang menyenangkan. Dapat di hubungi melalui LINE: lusiana.indriani, FB: facebook.com/loechiey, email: lusianaindriani14@gmail.com

Dongeng Kematian Andrian Eksa

Aku ingin mati dikuburkan dongeng-dongeng yang berhasil hidup kembali dari mati mudanya. Meski matiku nanti tidak menjadi dongeng Setidaknya masih akan kudengar dongeng dibacakan Tulang-tulangku yang sisa di liang. Yogyakarta, 30 Januari 2017

3


PUISI Sepiring Nasi Andrian Eksa

Tak ada yang lebih dirindukannya Selain menyajikan sepiring nasi Di atas meja makanmu Sebelum berangkat kerja.

“Harga beras sekarang mahal, Mas.� Katanya kepadamu pagi itu Sebelum akhirnya kau benar-benar pergi dan tak pernah kembali.

Kini setiap kali makan nasi Ia tak benar-benar menghabiskannya, Selalu ada sisa.

“Barangkali kau akan kembali dan minta makan nasi. Ini kusisakan untukmu, Biarpun busuk, inilah rindu.�

Yogyakarta, 2017 __ Andrian Eksa, belum lulus kuliah dan belum nikah.

4


Cerpen Benang-Benang Rizky Rintis Bahagianti

Aku pernah bertanya kepada Tuhan, kenapa aku harus ada di dunia. Dan, Ia tak langsung menjawabnya. Aku harus masuk-keluar hutan. Bertemu marabahaya dan kawan-kawannya. Tuhanku masih duduk tenang

menyumpal bapak dengan uang yang kudapat dari pelarian masuk-keluar hutan. Tak ada yang tahu aku hidup seperti serigala kelaparan di luar. Aku menendang dan memakan apa pun yang kulihat, selama itu tak baik

di singgasana. Diam-diam aku pulang ke rumahku, di kaki bukit dekat air terjun yang akhir-akhir ini tak bening lagi, yang banyak plastik di kanan-kiri. Aku pulang hanya sebentar, niatku. Namun, saat kulihat ibuku dipukuli bapakku, terpaksa aku harus menginap lebih lama. Aku harus menggantikan ibuku.

menurutku, tapi tidak bagi bapakku.

Aku sebagai pengganti ibu untuk bapakku. Ibu kusembunyikan dalam goa dekat sungai dalam hutan, sepuluh kilo dari rumahku. Bapakku jadi tak waras sejak ia kenal dengan Marno dan kawan-kawannya. Ia menyiksa ibu, menyiksa adikku, dan aku—jika pulang ke rumah. Dan, aku akan tetap di rumah sebelum

Rumahku serasa neraka setiap harinya. Setiap kali pulang berburu, di rumah selalu kutemui iblis merah dengan tanduk di kepalanya. Ia kadang bersembunyi di belakang bapakku, di mulut bapakku, di tangan bapakku, atau di kelamin bapakku. Lalu ibu yang selalu jadi sasarannya. Ia pasrah saja saat bapak menungganginya, ia melenguh seperti sapi yang digorok lehernya untuk tumbal bendungan desa. Kadang juga kulihat tanpa sengaja saat lampu mati di dapur dan aku ingin lewat ke kamar mandi, ibu menungging dan bapak menyodok-nyodoknya dari belakang. Aku geram, rasanya

saat itu ingin kuselamatkan ibu dari tangan bapak yang terus saja meremas-remas dada ibu dan ia merintihrintih kesakitan. Dari balik pintu kulihat ibu meneteskan air mata, saat itu bulan purnama sehingga cahayanya bisa masuk bebas lewat celah-celah kayu sebagai dinding rumah kami. Tentu saja aku tak berani melawan bapak, saat itu aku baru kelas empat sekolah dasar. Otot-ototku belum tumbuh seperti sekarang, tentu aku akan kalah dengan bapak. Akan tetapi, sekarang aku tak mau kalah dengan bapak, tak akan kuizinkan ia menusuk-nusuk ibu seperti dulu lagi. Tak apa jika ia akhirnya melayangkan tangannya di pipiku. Aku tak gentar sekarang. Selama ibuku baik-baik saja, aku merasa baik-baik juga. Asalkan tak kulihat air mata di pipi ibu. Bapakku jadi brutal

5


sejak kutinggalkan rumah dan berburu masuk-keluar hutan. Saat itu aku baru tamat sekolah menengah pertama dan tentu saja orang tuaku tak kuat membiayai sekolah jika aku harus melanjutkan lebih tinggi. Aku tahu diri. Meski punya mimpi tinggi, tapi aku tahu jalan mimpiku bukan lewat pendidikan tinggi. Kuputuskan mengelana. Pergi tinggalkan ibu dan desa. Masuk-keluar hutan mulanya bukan suatu yang gampang. Namun, lamalama aku terbiasa dan malah menikmatinya. Kadang lama sekali aku tak pulang, berbulanbulan. Bukan aku tak ingin pulang meskipun kadang melihat wajah bapak saja rasanya ingin muntah. Aku harus ceritakan ini ke kalian, supaya kalian tahu jika jadi bapak kelak jangan kasari

6

anak-istri kalian. Bisa-bisa generasi muda rusak dan bobrok gara-gara bapaknya tak sayang ibunya lagi. Haruskah anak-anak yang manis dan lucu terkena getah dari perbuatan orang tuanya? Tidak. Jangan mereka, biar ini menjadi kisahku seorang saja. Aku tak terlalu yakin sebenarnya, bagaimana aku memulai kegiatan masukkeluar hutan dengan mudah dan tanpa halangan. Aku berburu apa saja yang awalnya tak kusuka, tapi lama-lama aku juga suka dan menikmatinya. Kadang aku dapat babi, kadang juga kijang yang indah tanduknya. Mereka selalu datang kala siang, tidak seperti yang pejantannya, yang mana hanya datang kala malam, melarikan diri dari betinanya yang sudah keriput, lemak bergelambir sana sini, dan

selalu pakai daster setiap hari. Dan, siang hari aku bekerja dengan mereka. Betina-betina yang montok, yang hanya dikunjungi pasangannya saat purnama tiba. Bukan karena malas atau apa, pejantannya lebih sering keluar hutan mencari makan untuk anak-istrinya, atau kebanyakan dari mereka sudah tak tegang lagi.

*** Rumahku ada di desa. Banyak hijau dan sejuk udaranya. Namun, tak sekalipun kurasakan suasana sejuk. Aku pulang ke desa. Aku selalu berpikir untuk hidup saja di desa, memulai semua lagi dari nol. Setiap kali kepalaku memikirkannya, semuanya buyar dengan bayang-bayang ibuku yang menderita, bapak tak kerja, sukanya


main wanita dan togel. Aku masih harus teruskan hidup kelamku dan selalu menyemangati diriku sendiri untuk maju. Hanya saja sekian hari ini aku selalu dihantui oleh seorang tak punya muka, tak ada hidung, mata, atau telinga. Di mimpiku ia bisa berbicara dan melihatku yang sedang memuncak dengan betina buruanku. “Bukan benangmu!” katanya lalu pergi meninggalkanku ke arah timur. Malam itu sungguh aku menggigil, padahal kulihat di dinding masih setengah tiga. Aku tak bisa lanjutkan tidurku. Peringatan itu rasanya seperti dari Tuhan saja. Kudekapkan tanganku ke dada. Rasanya pagi ini begitu dingin. Dingin paling dingin dari pagi yang pernah kurasa selama ini. Dari mimpi-mimpi itu kuputuskan pulang ke rumah. Aku mau bertemu ibu. Ibuku adalah orang Jawa, kebaya dan konde adalah ciri khasnya. Kalau boleh aku bandingkan, ia

tak kalah cantiknya dengan Meriam Bellina. Ia tak begitu banyak bicara dan setiap perkataannya seperti ular yang berbisa: mantap, pas, dan mengena. Aku jadi lupa kalau kepulanganku adalah tentang mimpi aneh itu. Aku terlalu sibuk dengan bagaimana aku menyembunyikan ibu dari bapak. Padahal saat sampai rumah kemarin ibu menyambutku dengan senyum tulusnya, kebaya lusuh, dan badan yang kurus kering serta keriput. Semua rusak saat bapak muncul dari kamar menyambutku dengan todongan tangan. “Duit. Mana?!” Matanya seperti hendak copot. Melotot. Merah. “Pak, biarkan Hido duduk dulu. Dia─” Plaak. Bapak menampar pipi ibu keras. “Diam!” Ibu terjatuh duduk. Kucekal lengan bapak yang melayang untuk tamparan kedua kalinya. Bapak seperti harimau kelaparan. Ia merebut tasku. Memuntahkan semua isinya di lantai tanah yang lembab,

bekas hujan tadi malam. “Dasar anak tak tahu diri. Kau kemanakan duitmu?! Hah!” Bapak injak-injak semua barang dari dalam tasku. Termasuk foto ibu. Ia pergi begitu saja. Menggebrak meja, membanting pintu. Tetanggaku melongo semua dari dalam kandang. Gigiku gemeletuk hebat. Kukejar bapak. Satu tonjokan saja di muka bapak, pikirku. Kucekal lengan hitam bapak. Ia menatapku remeh. Lalu pergi kibaskan tanganku. Aku tak tega menonjoknya, tetap saja dia bapakku.

***

Baru dua hari di rumah. Aku jadi ingat tujuan kepulanganku. Untuk mimpi itu. Aku harus temui ibu. Sudah dua hari tak kutemui ibu, aku takut bapak membuntutiku, dan temukan persembunyian ibu. Tenang saja, ibu sudah kubawakan banyak bahan pangan kemarin. “Apa ibu senang?”

7


Aku sampai goa ketika matahari sudah tinggi segalah. Kulihat ibuku sedang merajut. Duduk di atas batu persis seperti seorang dewi yang agung. Ibu tersenyum melihatku. “Duduklah. Ibumu selalu senang dari dulu.” “Ibu buat apa ini? Apa ini untukku?” Aku manja kepada Ibu. Mengambil rajutan di tangan ibu. Sebuah sapu tangan. “Hido, kadang apa yang kita cari tidak bisa kita temukan begitu saja. Mungkin kamu harus kehilangan seseorang terlebih dahulu atau harus lewati siksaan yang mahapedih. Namun, tetap saja, kepedihan adalah hidup yang harus

disyukuri. Jangan menangis untuk apa pun.” Ibu merebut sapu tangan yang belum selesai dari tanganku. Tiba-tiba benang yang masih terjulur putus begitu saja. “Seperti ini juga. Kau tidak bisa mengambil sesuatu begitu saja. Semua telah diatur Sang Kuasa. Ini bukan benangmu. Benang ibu.”

kemas ibu bicara lagi acuh tak acuh, “Ibu mau pulang.”

Jogja, 25 Februari 2017 __ Rizky Rintis B. Lahir di Ponorogo 5 Desember. Mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2015. Sedang melakoni dan menggarap kehidupan.

“Itu juga milikku, Ibu.” Aku tak mau kalah, tetap kupegang teguh dan kulindungi apa yang kupunya. “Sudah ibu bilang, ini bukan benangmu. Ibu tahu kamu anak seperti apa. Sapu tangan ini ada gunanya besok atau lusa.” Sambil berkemas-

Lalu, apabila kematian adalah keperkasaan kodrati maka kehadirannya, bahkan baru gejalanya, sudah mampu membungkam segala gejolak rasa.

Ronggeng dukuh parukAhmad tohari

8


resensi Pramoedya dan Hoakiau M. Syafiq Pada tahun 1959, Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 (PP 10/59) yang menyebabkan lebih dari seratus ribu keturunan Tionghoa kembali ke RRT—Tionghoa saat itu. PP tersebut berisi perintah kepada pedagang Tionghoa saat itu untuk segera menutup usahanya paling lambat pada tanggal 1 Januari 1960. Namun, pada praktiknya, banyak dari keturunan Tionghoa yang mendapat kekerasan pada saat PP 10/59 tersebut diterapkan. Hal tersebutlah yang dibahas dalam buku Hoakiau di Indonesia. Dalam buku ini, Pramoedya mengajukan pembelaan pada Tionghoa di Indonesia. Menurut Pramoedya, Tionghoa di Indonesia bukanlah pendatang. Mereka sudah ada sejak lama sekali. Bahkan, Pramoedya sendiri beranggapan bahwa ada kemungkinan dalam dirinya mengalir darah Tionghoa. Pendapat Pramoedya itu sangat bertentangan dengan sentimen “Anti Tionghoa” yang saat itu tertanam dalam pikiran bangsa Indonesia sehingga menyebabkan Pramoedya dipenjara satu tahun dan buku ini dilarang beredar.

Judul: Hoakiau di Indonesia Penulis: Pramoedya Ananta Toer Tebal: xi + 299 halaman Penerbit: Garba Budaya Tahun Terbit: 1998 Mengutip Goenawan Mohamad dalam pengantar buku ini, “Membaca buku Hoakiau di Indonesia ini membuat saya tercengang akan kukuhnya Pramoedya Ananta Toer dengan argu-

mentasi. Ia siap dengan catatan sejarah, statistik, dan kutipan koran.” Apa yang diaktakan Goenawan Mohamad memang benar. Dalam buku ini, Pramoedya tidak hanya memaparkan pendapatnya mengenai Tionghoa (Hoakiau) di Indonesia, tetapi juga data statistik jumlah penduduk (“Surat ke Tujuh”, Hlm. 207), kedudukan ekonomi Tionghoa di Indonesia (“Surat ke Delapan”, hlm. 249). Ia bahkan menambahkan sumbangan Tionghoa dalam memajukan Indonesia dalam berbagai bidang (“Surat ke Enam”, hlm. 177). Penulisan buku ini unik karena Pramoedya memakai teknik surat-menyurat yang dialamatkan “Kepada Ch. Hs-Y di P” (baca: Chen Xiaru di Peking)—suatu hal yang mengingatkan kita pada Kartini dan Estella H. Zeehandelaar. Selain itu, proses penyusunan buku ini pun luar biasa. Pramoedya diberi waktu tiga minggu oleh penerbit, dikurangi tiga hari kerja pribadinya perminggu: tiga belas hari! Sangat bagus membaca Hoakiau di Indonesia ini sebagai referensi terkait kejadian yang menimpa etnis Tionghoa pada akhir 1959

9


resensi hingga awal 1960 yang mungkin hingga saat ini pun masih aktual, yaitu semacam “Sentimen pada Tionghoa”. Namun, untuk membaca buku ini, menurut hemat saya, dibutuhkan pengetahuan terkait

konteks keadaan sosial, politik, dan budaya hingga perkembangan pemikiran Pramoedya sendiri pada saat itu. Sebab, tanpa memiliki pengetahuan terkait hal-hal tersebut, akan sulitlah mema-

hami apa yang disampaikan Pramoedya dalam buku ini dan mengapa Pramoedya menyampaikannya. __ M. Syafiq. Pen Kwetio.

ESAI Perempuan yang Gagal Jadi Kelelawar Veven SP. Wardhana: Imajinasi Liar Ketika Penyunting Bercerita Lovitta Rizki Rahma /1/ Veven seorang penyunting juga penulis fiksi. Di antara penulis fiksi lainnya, ia tergolong penulis yang biasa–biasa saja. Namun, karya–karya yang lahir dari tangannya memiliki ciri khas dan mempunyai nilai lebih. Ia menulis cerita pendek, novel, atau naskah skenario. Selain itu ia juga menulis esai tentang sastra, film, dan budaya. Ia punya andil besar dalam kancah sastra di Indonesia. Sungguh saya tak sabar menjelaskan keahlian Veven memanjakan imajinasi pembacanya. Beberapa buku Veven yang sudah terbit antara lain: Stamboel Selebritas (2004), Centeng: Matahari Malam Hari (2002), Kumpulan Esai

10

Dari Barbar sampai Timor Timur: Mengeja Budaya Massa (2002), Televisi dan Prasangka Budaya Massa (2002), Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa (1997), Kumpulan cerita pendek Dari Mana Datangnya Mata (2004), Panggil Aku: Peng Hwa(2002), dan tentunya Perempuan yang Gagal Jadi Kelelawar (2013) /2/ Bagi saya, judul cerita “Perempuan yang Gagal Jadi Kelelawar” yang kemudian jadi judul buku ini adalah judul yang boleh dianggap liar. Dalam dunia nyata, tentu tak ada perempuan yang ingin jadi kelelawar, meski akhirnya gagal. Judul seperti “Bahkan

Langit Mengucur Darah” dan “Para Pembongkar Kuburan Massal” juga jelas menjanjikan keliaran yang luar biasa. Dan, di sinilah bagian menariknya, bagaimana Veven seorang penyunting ketika menjadi seorang pencerita. Seorang penulis fiksi akan memanfaatkan perbendaharaan kata yang tersedia sebaik–baiknya demi keliaran imajinasinya, baik yang paling sering maupun yang paling jarang terpakai. Namun, seorang penulis fiksi yang juga penyunting, berkat pekerjaannya, berpeluang lebih dari sekadar mengambil dan memanfaatkan karena ia akan melihat kemungkinan untuk mengubah kata yang lama menjadi pengertian baru.


resensi “Dia melihat dengan rinci, sosok–sosok beringas yang ternyata memburunya. Memburu nyawanya. Memburu darahnya agar mengalir, menyungai, menelaga, mendanau, menguap, mengental, mengkristal, dan menggumpal menjadi mendung, lalu mengucur sebagai hujan darah (“Bahkan Langit Mengucur Darah”).” Dari kata anak sungai, yang biasanya menjadi menganaksungai, Veven bisa menyuntingnya menjadi menyungai saja, bahkan “sengaja menelanjurkannya” dengan gubahan baru seperti menelaga dan mendanau. Itulah yang namanya kreativitas bagi seorang pengarang. Tengok lagi, bagaimana suatu teks menjadi paparan seseorang yang mendalami bahasa secara kreatif: “Nailak ngalib uka nates anerak naikapku nailak ngalib tatek. Ipat utkaw kuanekkan naikap ranggol, nailak nganjaleti uka nad nailak menamlej nates ngay menkibac – kibac nimalekku.

Nailak memasokrepku !” (“Perempuan Peracau”) Saya kira, bolehlah dijamin dalam kutipan itu terdapat imajinasi liar dengan bahasa yang musti dipecahkan dengan “Pengurai Kode”. Veven membuat ceracau tersebut bukan sebatas ceracau tak berarti, bukan sebatas keliaran dalam pikirannya. Namun, inilah kelihaian Veven dalam membuat ceracau tersebut. Veven membuatnya dengan pengurai kode, yang berdasarkan bahasa Aceh, bahasa Ogan Komering Ulu logat suku Komering serta “bahasa” preman ala Yogya dan preman model Malang. Terjemahannya menjadi: “Kalian bilang aku setan karena pakaianku kalian bilang ketat. Tapi waktu kukenakan pakaian longgar, kalian telanjangi aku dan kalian menjelma setan yang mencabik– cabik kelaminku. Kalian memperkosaku!” Beginilah jika seorang penyunting menggunakan keahliannya dalam bercerita, ceracau sistematis ini dibuat dengan sangat rapi dan tersusun. Namun, bukan

hanya itu saja yang membuat saya begitu jatuh hati dengan karya–karya yang telah dihasilkan oleh Veven. Satu yang membuat saya tersihir adalah unsur mistik yang kental, cenderung membuat para pembacanya hanyut dan bergetar. Unsur–unsur mistik itu sungguh terasa hampir di setiap cerpen milliknya. Dalam buku ini, empat cerpen pertama menyuguhkan tokoh wanita yang menonjol: karena watak, misteri, dan kemistisan Veven dalam mengangkat tema. Cerpen–cerpen selanjutnya juga tak lepas dari suasana mistis yang dibangun Veven, tetapi tak lagi berpusat pada tokoh utama wanita. Cerita–cerita Veven adalah produk “pikiran”, bukan sekadar “curhat”, tetapi dengan hasil yang sama sekali tidak nol emosi. Jadi, kecenderungannya sebagai penyunting yang tak pernah melepaskan setiap titik koma begitu saja, bukan membatasi, melainkan telah membedakan kepada caranya bercerita dalam fiksi.

11


PUISI Bengawan Solo, di Tepianmu Suatu Malam

/1/ Malam itu, Kita sepakat membangun kesunyian Dengan ciuman yang selalu diulang Sebuah jembatan panjang seketika terbentang Menghantarkan gigil tubuhku pada sepimu

Dalam bahasa paling jernih Aku masih bisa merasakan – di kedalaman cium bibirmu Keheningan yang terus mengalir Ketika kota-kota mulai tumbuh Dan burung-burung tak lagi bersarang di dadamu

Pada gemercik airmu yang lirih Nada-nada keroncong pecah di batu-batu Seperti ingatan di kepalaku – berserakan Dan kau, Tetap saja tabah dingelangut arusmu

/2/ Bulan menyala-nyala malam itu Menampakkan wajah kita Yang sama-sama termangu dan mendangak Seperti berharap ada yang bisa dipetik Tapi langit tetap menyembunyikan kata-katanya

Di tubuhmu yang bermandikan cahaya

12


PUISI Kembali aku temukan isyarat-isyarat: Bayang-bayang kapal yang seliweran Menanggalkan dermaganya Berlayar menuju muara jauh itu Saudagar-saudagar Cina berdagang di sana Menawarkan nasibnya masing-masing

“ah, seberapa berharga aku dihadapan kematian�

/3/ Sampai malam itu, Kau masih saja menyimpan sungai Meriwayatkan banyak rahasia Dan aku hanya jingkrung di tepian Sampai pagi

Di tengah kebekuan musim Di sisa gelombang Airmu tetap mengalir jauh Berbagi kehidupan Sehingga tanah-tanah tetap bisa ditanami kata-kata

*

Oh.. Bengawan Solo, Ketika tak berada di dekatmu Dalam keroncong aku kenangkan

Mata airmu dari Solo Terkurung gunung seribu

13


PUISI Air meluap sampai jauh Dan akhirnya ke laut

Dari sanalah kapal-kapal kita mulai mengangkat sauh Dari sanalah segala kehidupan sejatinya bermula.

Yogyakarta, Desember 2016.

ESAI Migrasi Buku dan Kebangkrutan Literasi Ikhsan Abdul Hakeem Pada Oktober 2003, Yulinda meminjam sebuah buku dari perpustakaan SLTP Negeri 38 Jakarta. Buku itu berjudul Hujan Kepagian, karangan Nugroho Notosusanto yang diterbitkan Balai Pustaka. Entah bagaimana Yulinda memperlakukan buku itu di tangannya. Karena 14 tahun kemudian, buku itu berada dalam paket yang dikirimkan ke Sorowajan. Saya penasaran bagaimana si Hujan Kepagian bisa tinggal di lapak buku di Bekasi, kemudian lewat wahana JNE mendarat di Sorowajan. Mungkin si peminjam lalai, atau sengaja menyimpannya dan orang itu atau seseorang menjualnya. Memang buku bekas, apalagi yang lawas, acapkali jadi barang yang seksi. Ia adalah komoditas yang sama menjualnya dengan buku baru. Ada bau khas yang menyeruak dari buku-buku bekas. Aroma dari sebuah

zaman. Di luar teksnya, fisik buku itu membawa kita pada bayang-bayang masa silam. Menurut saya, mendapat buku bekas adalah anugerah. Dan saya yakin jika ada ratusanribu orang lain berpendapat serupa. Akan tetapi, bagaimana dengan orang-orang yang kehilangan buku kesayangannya? Seperti dialami Aldo Zirsov, seorang mahasiswa University of Denver. Aldo kehilangan setidaknya seribu buku koleksinya. Ia mengirim buku-bukunya ke rumah seorang kerabat karena tak ada ruang lagi di asramanya. Malang, karena maladministrasi dan kelicikan petugas, buku-buku itu dipajang di berbagai toko buku bekas di Bandung. Karya-karya filsafat, sejarah, dan sastra kanon dunia hilang dari tangan Aldo. Apa yang dialami Aldo memang tragis. Secara ekonomi, ia rugi puluhan juta. Selain itu, kehilangan buku

kesayangan, bagi siapa saja adalah musibah. Kadangkala seseorang punya hubungan emosional dengan buku-buku tertentu. Buku kesayangan akan dihargai layaknya sebuah trofi. Aldo pun begitu. Dan percayalah, rasanya berat untuk kehilangan. Andai saja buku bisa bicara selayak teks di dalamnya. Akan menarik menyimak perjalanan buku-buku. Mereka bisa cerita tentang rak-rak yang disinggahi, orang-orang yang membacanya atau ikatan dengan seorang pemilik. Saya membayangkan, cerita bukubuku Indonesia akan terdengar ironis. Menjadi barang curian, bantal kucing, dibuang di kolong ambin atau malah menjadi asbak. Ya, keadaan literasi kita memang menyedihkan, dan mayoritas kita kurang menghargai buku. Gus Dur pernah menyatakan, “Hanya orang bodoh yang meminjamkan buku kepada


orang lain. Akan tetapi orang yang mengembalikan buku pinjaman adalah orang gila.” Tentu saja Gus Dur hanya bercanda. Tapi jika ditilik, candaan Gus Dur tersebut ada benarnya. Dari itu kita melihat bagaimana Gus Dur menghargai buku. Sebuah buku, kautahu, menghimpun pemikiran—kadang juga, perasaan—yang ditulis puluhan tahun atau ribuan kilometer jaraknya. Berkat penemuan vital bernama “aksara”, orang bisa hidup dalam peradaban. Ilmu dan pengetahuan abadi dalam tulisan. Seperti kata Mimesis, “Yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi.” Sikap Gus Dur itu akan sangat bertentangan dengan oknum birokrat Badan Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kalbar. Tahun 2015 ribuan buku milik perpusda Kalbar dijual dengan mobil dinas. Lepas dari perilaku korupsi, yang memang lekat dengan adat orang Indonesia, tindakan itu mencerminkan bagaimana orang Indonesia –khususnya pejabat— memandang buku saat ini. Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dalam soal minat baca. Tak heran, banyak kalangan menyatakan betapa menyedihkan literasi kita. Sudah sekolah mahal, pendidikan gagal, inisiatif memperluas wawasan pun tak ada. Pram pernah menyatakan keraguannya akan wawasan para politisi Indonesia. Pemangku kebijakan yang

kurang wawasan adalah berbahaya. Hasilnya intoleransi di mana-mana. Masyarakat, yang dipengaruhi politisi, rentan akan konflik horisontal. Masih segar di ingatan, kepala Perpustakaan Nasional menyerukan pemusnahan buku-buku “kiri”. Petugas korup doyan maling buku seperti di Kalbar atau Dumai. Jika pemangku kebijakan yang seharusnya memajukan literasi saja seperti itu, bagaimana dunia literasi Indonesia? Literasi ialah kerja jangka panjang. Membaca buku menguatkan nalar, menambah kepekaan, dan merawat kewarasan. Saya percaya jika literasi adalah salah satu jalan memberantas korupsi dan intoleransi. Ironisnya, literatur malah dikorup oleh para pemangku kebijakan. Maling-maling buku, kautahu, bagi saya adalah bangsat. Berkatnya bukubuku berjalan berpindah mencari rumah, untuk kemudian berjalan berpindah ke rumah lain. Setidaknya ada dua jenis maling buku: maling karena korup, atau maling karena suka—dan punya argumen menyebalkan bahwa buku adalah milik bersama. Tipe kedua adalah bangsat yang melegakan. Sedang tipe pertama adalah bangsat sesungguhnya. Saya pun curiga, jika Hujan Kepagian yang saya terima adalah hasil dari bangsat pertama. Mengingat tulisan kecil di sampulnya, “milik negara tidak diper-

dagangkan”. Tapi Hujan Kepagian sudah punya rumah baru, dan saya tidak sudi mengembalikannya ke Jakarta. Karangmalang, 23 Maret 2017 __

15


pintu telah terbuka kerja-kerja baru akan dimulai yang dipikirkan akan ada yang tertulis akan abadi

16


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.