Edisi. Sastra Tutup Pintu 2017
1
Salam Sapa Susatra
Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Muhammad Qadhafi, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt, Mawaidi D. Mas, Anto, Muhammad Farid Anshori, dkk. Pemimpin Umum: Ikhsan Abdul Hakim Pemimpin Redaksi: Reigina Fanindika P Tim Redaktsi: Polanco Surya, Ahmad Ilham, Fajar Riyadi, Putri Puspitasari, Muhammad Syafiq, Afaf Kurniawan, Intan, Ikhsan, Glorizna, Nadila, Danang Suryo, dkk. Pemeriksa Aksara: Anonim Tata letak: Danang Suryo. Ilustrator: Danang Suryo, Meilinda Ferdian Calista
2
Salam Susastra, Pembaca, di tangan Anda kali ini adalah Buletin Mimesis edisi Sastra Tutup Pintu. Sebuah buletin yang menandai rampungnya kepengurusan kami. Bersamaan dengan itu, kami mohon maaf atas segala kesalahan kami, jika ada. Kami menutup pintu bukan maksud hendak pergi selamanya. Tutup pintu berarti menyingkir sejenak, dan membuat ruang bagi yang lain. Sehabis ini, Susastra tetap bergerak, dengan wajah-wajah baru. Masih menjadi ruang bagi kawan-kawan KMSI, untuk bersastra, berwacana, dan saling membagi apa yang ada di otak dan hati. Semoga pembaca sekalian sedikitnya mendapat kesan dari karya kami. Kami akan terus ada dan terbuka. Dan bolehlah Pembaca sekalian sekali-kali datang berbagi. Untuk bersastra, dan berdialektika sebagai manusia. Demikianlah, Pembaca, semoga berkenan.
puisi
Sajak Ikan Koi Polanco S. Adhi
Menurut sebuah cerita: saat ikan koi berhasil melawan arus sungai, mendaki air terjun, dan tiba di puncaknya maka saat itu ia akan menjadi seekor naga! Sudah kuputuskan: aku akan menjadi dewa, bukankah aku hanya harus melawan arus waktu dan berhasil mendaki ketujuh lapis langit? Januari, 2017
Akhir Pekan pada Sebuah Kafe
dok.istimewa
Afaf L. K. Aku ingin selalu menghabiskan akhir pekan di sebuah kafe Memilih tempat duduk dengan meja yang tak ada ujungnya Kau duduk di hadapanku Lalu kita sama-sama memesan segelas kopi Kau pilih kopi yang manis dan aku lebih suka kopi yang pahit Karena itulah alasan kita dipertemukan ;tak lepas dari getir pahit dan manisnya perjalanan Setelah sekian lama kita duduk saling berhadap-hadapan Sementara kopi tinggal separuh untuk dihabiskan Kita pura-pura melupakan waktu di pergelangan tangan Padahal malam semakin larut ke dalam gelas kopi Yang sedari tadi kita seduh Secara perlahan dengan penuh kehati-hatian Ada perbincangan yang tak jadi untuk kuutarakan Khawatir mengganggu aktifitasmu 3
puisi Yang sedang berandai-andai sebuah peradaban dibangun Dari cinta yang malu-malu untuk diungkapkan Sampai akhirnya kopi benar-benar habis kita seduh Toh walau pun tak ada isyarat untuk pulang Dan kita sepertinya masih ingin menetap lebih lama lagi Aku enggan untuk kembali memesan Sebab di mana-mana yang pertama lebih nikmat untuk dirasakan Jogja, 2017
Pembuat Kopi Mohamad Nursaid R. Awan menghujani, namun malam hanya diam. Menyaksikan rakyatnya kedinginan Tak ada tempat berteduh. Pernah suatu siang aku bertanya. Siapa yang melindungi kalian dari terik, tanyaku. Awan katanya. Namun malam ini meraka mengeluh. Telah salah berharap pada awan yang meneduhkan. Seseorang dari mereka menyela. Awan telah membawakan air pada kami, katanya. Ia kembali menikmati kopinya, semua mulai kembali sibuk. Memesan kopi (10 November 2017)
4
cerpen
Arang Hitam Glorizna Riza Aku ingin cepat pulang. Tetapi, pulang ke mana? Sang raja siang dengan kurang ajar menantang dari atas sana. Rupanya ia merasa angkuh dan tidak mempedulikan bagaimana kecamuknya hatiku saat ini. Kusandang terus ransel besar yang sesungguhnya tak banyak terisi barang ini dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Rasanya manusiamanusia di sekitarku seperti batu, bercampur dengan debu-debu jalan dan keringnya udara Samarinda. Atau sesungguhnya, akulah yang telah menjadi batu? Entahlah. “Sempaja, Bang?” Tanpa kusadari, kenek angkot kini menawariku. Sempaja, daerah di mana kosku berada. Tak berapa lama, angkot yang kutumpangi meninggalkan kompleks daerah Universitas Mulawarman. Gedunggedung megah itu, kampus impianku itu, berangsurangsur menjauh dan menghilang. Hal itu, sama persis dengan impian dan harapanku yang runtuh pada
hari ini.
rasanya masih dapat kuatasi, tidak seperti teman-temanku yang punya impian tinggi untuk berkuliah di kampuskampus ternama di Pulau Jawa sana.
“Lihat, Nah! Hari ini pengumuman SBMPTN!” Sang kenek yang kini duduk di sebelah sopir menyibak-nyibakkan koran di tangannya dengan Setidaknya mereka lolos. bersemangat, lengkap dengan Bagaimana dengan nasibku logat Banjarnya. kini? “Apa itu?” “Tes masuk kampus,” katanya masih dengan senyum sumringah. “Anakku lolos leh!z Teknik Lingkungan, di Unmul.” “Wah, anakmu bakal jadi orang besar itu.” Napasku terhela berat mendengar percakapan itu. Rasanya kata “SBMPTN” saja sudah cukup membuatku tak bersemangat. Dari tiga pilihan yang diberikan, rasanya aku sudah melakukan strategi tepat. Belajarku juga sudah giat. Tetapi rupanya Tuhan sedang ingin mengujiku di sini. Ayolah! Teknik Sipil di satu-satunya kampus negeri di Kalimantan Timur ini— hanya itu yang aku ingin! Bahkan akreditasi Unmul
Kepalaku bersender di jendela tanpa semangat ketika angkot menepi. Seorang ibu tambun dengan dua keranjang penuh berisi sayur-mayur pun masuk, entah mengapa air mukanya tampak tidak sedap. Sesaat sebelum angkot kembali berjalan, seorang pemuda mengekor dan kini duduk di sampingku. “Pak, Pak, jangan lewat situ leh! Masih heboh bubuhannya begawian2 di sisa-sisa kebakaran! Ganal banar3 apinya semalam heh! Urang-urang bakajalan4 di dalam!” Dengan heboh ibu itu memperingati sopir. Tahulah aku mengapa ia tampak tak tenang. “Bujuran?5” Ketiganya—ibu, sang kenek, dan sang sopir pun 5
cerpen saling menyahut ribut membahas kebakaran itu. Rupanya sejak tadi angkot sudah melesat hingga Pasar Baru. Bahkan semburat hitam legam di kioskios pertanda telah habis dilalap api dan tampak dari kejauhan saja aku tak meyadarinya. Rasa-rasanya pikiran ini sungguh kalut, atau bahkan kosong sama sekali. Kemudian angkot ini berbelok menjauhi kerumunan manusia yang padat di ujung sana. “Ading6 kuliah?” Keadaan di dalam angkot ini masih ribut ketika pemuda di sampingku ini menyapa. Merasa tak bersemangat untuk bersosialisasi, aku hanya bergumam tak jelas untuk menjawabnya, “Seharusnya iya.” “Seharusnya?” Lawan bicaraku tak mengerti apa maksudku. Aku pun tak mempermasalahkannya karena toh, itu tak membuatku diterima di Unmul. “Oh, kamu gagal 6
ujian masuk kampus?” Agaknya aku terkejut begitu tahu pemuda ini mengetahui hal yang sesungguhnya. Jika dilihat dari penampilannya— celana jins usang dengan kaus lengan pendek dengan warna yang memudar, aku taksir ia bekerja di Pasar Baru—menjaga kios baju, misalnya. Seolah mendengar semua isi pikiranku, ia
“Abang… kerja di Pasar Baru?” tanyaku hati-hati. Entah perasaanku saja atau bagaimana, ibu tambun dengan logat Banjar yang kental itu mendelik saat menatapku. Entah ia masih gusar karena besarnya kebakaran di Pasar Baru ataukah memang wataknya saja yang seperti itu. Kupikir ia masih bergosip perihal kebakaran itu dengan kenek dan sopir angkot. “Kamu lihat itu?” Pemuda ini lantas menunjuk noda-noda hitam yang dikelilingi manusia dan kian lama kian mengecil di kejauhan sana. “Itu kios tempat aku bekerja,” lanjutnya seraya menghela napas. Kontan aku merasa bersalah. “Maaf, Bang.”
Abang di sampingku ini dok.istimewa memberi seulas mengedikkan bahunya. senyum. Aku menangkap “Rasanya itu masih ada perasaan ikhlas di sana. lebih baik daripada aku. “Ya, tak apa. Aku juga salah Setidaknya kamu tidak sudah meremehkan masalah kehilangan pekerjaan,” hidupmu.” katanya mengundang rasa Masalah hidup. Benar kemanusiaanku.
cerpen juga. Setelah aku pulang ke kos, apa yang harus kulakukan? Menelepon ibu dan memberi kabar buruk ini? Bagaimana jika ayah tak senang dan menyalahkan aku? “Hadapi saja,” tutur pemuda di sampingku ini tiba-tiba. “Tidak lulus ujian masuk kampus itu bukan akhir dari duniamu. Mungkin jadi hari terburuk sepanjang sejarah hidupmu, tapi bukan berarti itu akhir dari hidupmu, kan?” Ketika ia mengatakan ini, entah mengapa aku membayangkan sesosok kakek tua serba putih yang biasa ada dalam dongeng-dongeng sebagai penyelamat. Tanpa sadar aku tersenyum geli. Senyum pertama yang hadir di wajahku untuk hari ini. Si Abang pun tertawa renyah. “Ya, sepertinya itu pun jadi nasehat untukkku, sih. Mungkin kamu bisa bekerja di kiosku nantinya?” “Serius, Bang?” Jujur aku tertarik dengan penawaran ini. Asal kamu tahu, ayahku cukup keras dalam mendidik anak-anaknya. Ibu pun, walau tak sekeras ayah, selalu menjunjung rasa
tanggungjawab dalam hal apapun. Dalam kasus ini, aku merantau ke Samarinda untuk belajar dan tes SBMPTN sebagai tujuanku, tetapi sekarang aku harus bertanggungjawab atas pilihanku. Bekerja atau tidak kuliah sama sekali. “Ya, sambil menunggu tahun depan, kan?” Si Abang mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya. “Ini kontakku. Nanti kita bisa bicarakan lebih lanjut.” Aku menerima selembar kertas bertuliskan Noor Fahmi lengkap dengan nomor teleponnya dengan senyum sumringah. Tak masalah hanya dengan menjaga kios kecil di Pasar Baru. Setidaknya aku tahu harus meletakkan wajahku ke mana jika ayah dan ibu menagih pertanggungjawabanku. “Sempaja, Bang.” Suara kenek memecahkan delusiku. Berbeda saat aku masuk ke angkot ini, kini aku melangkah dengan beban yang lebih ringan, meninggalkan Bang Fahmi sang penyelamat itu dan ibu tambun yang, omongomong, masih memasang raut tidak menyenangkan
terhadapku. “Makasih, Bang,” paparku sembari menyerahkan lembaran uang kepada sang kenek. Sayang, gerakan tanganku terasa membeku saat melihat sesuatu dalam surat kabar di tangan sang kenek. Si Jago Merah di Pasar Baru Mengamuk, lengkap dengan sebuah foto pemuda yang kukenal, Noor Fahmi, 25 tahun, sebagai korban jiwa. -------------------------1 leh: sekedar tambahan dalam tuturan yang bersifat memberi tahu, seperti “lho” dalam Bahasa Indonesia. 2 bubuhannya begawian : bubuhan berarti sekelompok orang, dalam hal ini adalah orang-orang yang membantu di sekitar lokasi sisa kebakaran; begawian berarti bekerja. 3 ganal benar: besar sekali. 4 urang-urang bakajalan: orang-orang berdesakan. 5 bujuran: serius; sungguhan.
7
Resensi
Ratu Sekop: Membaca Kehidupan Urban Danang Suryo Judul: Ratu Sekop dan Cerita-cerita Lainnya Terbit: September 2017 Tebal: zii+ 189 halaman Penulis: Iksaka Banu Penerbit: Marjin Kiri --------------------
“Film Noir”. Noir, hitam putih. Menceritakan tentang sutradara di kehidupan urbannya, bagaimana likalikunya dia menemukan seorang aktris untuk filmnya. Hidupnya bagaikan kertas naskah yang sehari-hari dia buat. Cerita getir yang indah. “Cermin” adalah cerpen selanjutnya. Berkisah
Masa depan adalah hal yang paling sering diangan-angankan oleh manusia. Robot hewan, mobil terbang, gedung tinggi dengan asap yang selalu mengepul, lampulampu neon terang, adalah sekelumit pemikiran masa depan. Bayangan-bayangan seperti itu identik dengan kehidupan kaum urban yang kerap mengunggulkan modernitas. Hal-hal tersebut terdapat dalam kumpulan cerpen (kumcer) Iksaka Banu yang berjudul Ratu Sekop. Kumcer yang terbit pada September 2017 oleh Marjin Kiri ini setebal 190 halaman. Total ada 13 cerpen periode 2000-an dan tiga di antaranya belum pernah dipublikasikan. Kumcer dibuka dengan 8
dok.istimewa
tentang hal mistik terhadap cermin. Cermin tersebut dapat membuat tiruan diri sehingga tokoh utama dapat bersembunyi dari perselingkuhannya. “Superstar” bercerita tentang kekasih yang
dikhianati oleh pasangannya yang seorang bintang terkenal di negeri dalam cerpen, akhirnya memutuskan untuk membunuhnya. Kebanyakan cerpen Iksaka Banu seperti itu di Ratu Sekop. Gelap. Jalan cerita yang maju mundur akan pembaca dapati ketika membaca cerpen-cerpennya. Akhir cerita yang terkadang langsung muncul begitu saja ketika pembaca sedang membaca awal paragraf pada cerpennya. Tokoh-tokoh yang dibuat bingung oleh dunia yang dijalaninya dalam cerpennya kerap terjadi. Iksaka Banu menunjukkan kebisaannya membuat cerpen dengan cerita yang tak terpikirkan, meski terkadang, ketika membacanya, maksud dalam cerpen sudah bisa tertebak bakal terjadi kejadian apa. Tema dalam cerpen yang diangkatnya hampir keseluruhan gelap, absurd, bahkan konyol sekalipun. Salah satu contohnya, bagaimana bisa kesetrum penanak nasi lantas
resensi membuatnya mendapatkan kemampuan membaca pikiran? Dalam kumcer ini pembaca akan disuguhkan kisah lika-liku keseharian kehidupan urban. Ada beberapa cerpen yang
menggunakan latar zaman lampau, dan kisahnya yang menyedihkan.
untuk dibaca. Apalagi membaca kisah tentang keluarga dalam “Lelaki Terkait bukunya, beberapa dari Negeri Halilintar.” Menyenangkan.[] salah ketik masih ada dan ada pula spasi ganda. Meski demikian, kisah-kisah dalam buku ini sangat menarik
Kebun Binatang dalam Lima Babak Ikhsan Abdul Hakim Judul: Postcard from the Zoo (Kebun Binatang) Sutradara: Edwin Pemeran: Ladya Cheryl, Nicholas Saputra, Dave Lumenta, dll. Tahun rilis: 2012 Bahasa: Indonesia Durasi: 95 menit ----------------------Manusia punya naluri dan mekanisme fisiologis untuk bertahan hidup, seperti hewan. Manusia makan, bernapas, hidup berkelompok dan berkembangbiak, hewan juga. Bedanya, manusia punya akal untuk berpikir, kemudian mencipta peradaban. Manusia adalah hewan yang berakal. Lewat konsepsi demikianlah
kiranya Postcard from the Zoo alias Kebun Binatang menempatkan diri.
besar di sana.
Lana (Ladya Cheryl) adalah seorang individu Kebun Binatang adalah yang dibesarkan di kebun paralelisme antara duniabinatang. Sebuah tempat manusia dan dunia-binatang. di mana hewan-hewan Lima teks zoologis yang dikurung untuk ditampilkan menyela jalan cerita menjadi ke pengunjung. Kebun tanda pembabakan film ini. binatang adalah konservasi, Lima istilah zoologi untuk meski sebenarnya membuat menceritakan kisah manusia. hewan salah tempat. Hewan Mengingatkan kita akan dipisahkan dari alam liarnya. paralel sifat dan nasib antara Menjadi tontonan dan manusia dan hewan. terasing dari kehidupan alam Tokoh kita kali ini adalah liar. Lana. Seorang balita mungil Keterasingan semacam yang ditinggal orangtuanya menular pada diri Lana. Ia di kebun binatang. Seorang dibesarkan pawang jerapah balita, yang lumrahnya dan menjadi “warga” di dihidupi orangtua dalam sana. Dibesarkan bersama institusi keluarga, dalam film warga kebun binatang—baik ini berkeliaran sendiri di karyawan formal maupun kebun binatang Ragunan. Ia “non-formal”—dan hewandengan polos mengobservasi hewan, membuat Lana lingkungan barunya, tidak menjalani proses kemudian dirawat seorang perkembangan seperti pawang sampai tumbuh manusia umumnya. Seperti 9
Resensi hewan yang tumbuh di kebun binatang, Lana asing dengan kehidupan aslinya, kehidupan masyarakat di kota atau desa. Kebun binatang adalah rumah Lana. Di kebun binatang, Lana menemukan keluarga baru. Karyawan, hewan-hewan, dan orangorang yang tak punya tempat tinggal menjadi keluarga baru Lana. Orangorang itu mengisi fungsi keluarga dalam proses pertumbuhannya. Samasama “salah tempat�, Lana dan warga kebun binatang menjadi keluarga besar.
dok.istimewa
Namun, seperti hewan yang direintroduksi ke alam liar, Lana pun kembali ke tengah lingkungan masyarakat. Adalah seorang pesulap berkostum koboi (Nicholas Saputra) yang
10
memancing Lana ke luar. Ia pesulap berwajah oriental dan mewarisi watak individualistik perkotaan yang kaku. Kostum koboi dan tingkah lakunya membawa kesan sangar jagoan wild west. Ia sakti dan trik sulapnya semagis ajian dukun Jawa. Singkatnya, ia seorang tokoh yang tak masuk akal.
di jalanan seperti hewan konservasi yang dilepas ke alam liar. Meski pada akhirnya Lana harus menyesuaikan kembali. Dari tempat konservasi ke habitat asli. Kemudian—karena alasan yang sebaiknya Anda tonton sendiri—dari habitat asli ke tempat konservasi.
Film ini tidak menyediakan narasi yang Pesulap sakti ini adalah kausal. Tokoh-tokoh dan kontak pertama dari dunia adegan seringkali hadir tanpa luar yang berkesan bagi konteks. Film ini bercerita Lana. Seperti manusia lewat estetika sinematik pada umumnya, Lana yang menawan. Ia tidak mengalami efek pubertas menampilkan dialog-dialog dan jatuh cinta pada si yang membangun gagasan. pesulap. Lana meninggalkan Sebaliknya, adegan-adegan kebun binatang, rumah sekadar jadi fragmen. Ia konservasinya, untuk pergi bercerita lewat kesan: lewat ke alam liar bersama si temaram kebun binatang pesulap. di waktu pagi; raut muka Bagi Lana, menjadi asisten hewan-hewan; ekspresi bahagia pengunjung pesulap dan berkeliaran
Resensi lansia; punggung gajah yang perlahan basah disiram gerimis; sentuhan tangan pada perut jerapah; dan, lain-lain. Ia adalah sederetan detail visual yang membuatmu merasa asing dan gelisah. Kebun Binatang adalah 95 menit impresi yang menggoda buat ditafsir.
Kebun Binatang adalah art movie yang memparalelkan manusia dan hewan, lewat Jakarta dan Ragunan. Untuk hewan, terutama manusia, ini sinema tentang alienasi sekaligus pergolakan identitas yang tak kunjung selesai. Meski dari beberapa segi terlihat nirkonteks, kehadiran film ini patut
disyukuri. Setidaknya bertambahlah daftar film Indonesia di luar genre hantu seksis, komedi garing, sosialisasi akhlak, atau tentang inlander yang jalanjalan ke luar negeri. Film ini menjadi tanda jika orang Indonesia masih ada yang bisa bikin film. []
ESAI
Seperti Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Syafiq Addarisy I Ketika menonton, kalau tidak salah, Interstellar bersama salah seorang teman saya, kami membandingkan tokoh utama film tersebut, seorang teknisi (saya tidak ingat namanya), yang dengan heroik menyelamatan semua penumpang pesawat luar angkasa yang sedang dihibernasi dalam perjalanannya ke planet lain (saya lupa planet apa) dari kerusakan pesawat luar angkasa (saya juga lupa penyebabnya apa) dengan tokoh utama satunya, seorang penulis (saya juga tidak ingat namanya), yang bagi kami tidak bisa berbuat apa-apa waktu itu.
Ketidakberdayaannya itu lantas membuat kami berpikiran nakal bahwasanya kesusastraan adalah dunia yang suram, tidak bermasa depan.
tanya, “Buat apa sih belajar sastra—hingga harus mengambil jurusan sastra?”. Kegalauan tersebut makin menjadi-jadi setelah menghubungkan pikiran nakal tersebut dengan apa yang Bre Redhana, dalam Kompas, katakan bahwa suatu kali pernah melihat seorang motivator yang mengatakan agar tidak usah membaca novel karena hanya akan membuang-buang waktu saja.
Lalu kami berandai-andai apa yang kami berdua, seorang mahasiswa sastra, dapat lakukan ketika berada dalam keadaan tersebut. Menulis puisi? Menulis novel? Cerpen? Esai? Kami berdua tertawa. Ngakak. Kemudian menyeletuk, “Ah, II sesok aku pindah dadi mahaYang muncul dalam siswa FT (Fakultas Teknik) pikiran saya pertama kali waelah. Sastra nggak mendalam menanggapi kegalauan janjikan!”. saya itu adalah perkataan Pikiran nakal tersebut, guru saya di pondok, Pak sedikit banyak, lantas meng- Abdulloh Hasan, yang dalam hantui saya. Membuat saya bahasa Indonesia kira-kira penasaran dan bertanyaseperti ini, “Kalau ambil 11
esai jurusan sastra, ya kemungkinan jadi ahli bahasa, to? Kalau mau jadi sastrawan atau penulis kan nggak perlu sekolah.� Perkataan guru saya tersebut menguat ketika Budi Darma, dalam Harmonium, mengatakan bahwa prasyarat untuk melahirkan karya sastra adalah kemampuan menghayati realitas dan menuangkan pemikiran, perasaan, dan pemahamannya dari realitas itu ke dalam atau melalui medium bahasa. Sehingga, seperti yang guru saya di pondok sampaikan, untuk menjadi sastrawan tidaklah perlu belajar di Jurusan Sastra Indonesia.
yang sama untuk menjadi sastrawan. Kuncinya mungkin sering-sering mengakrabi karya itu sendiri dan menghayati realitas, menghayati kehidupan, kemudian menulis. Menulis. Dan menulis. Bahkan mungkin dengan nggembel atau nggelandang sekali pun seseorang bisa menjadi sastrawan. Bukankah bohemian Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan terbesar kita? III
Kadang saya beranggapan bahwa hidup adalah penjara yang membelenggu kebebasan karena apa yang betulbetul ingin dilakukan jarang sekali, bahkan mungkin Dan pada kenyataannya tidak pernah, kesampaian. pun memang banyak sasHidup penuh dengan haltrawan yang bukan alumnus hal tidak penting yang tidak Jurusan Sastra Indonesia. bisa tidak dilakukan yang Taufiq Ismail belajar di Juru- kemudian mejadi rutinitas san Kedokteran Hewan, Putu yang mesti dijalani. RutiWijaya di Jurusan Hukum, nitas itulah yang kemudian Puthut EA dan Eka Kurnimengubur kegalauan saya di awan alumnus Jurusan Filsa- atas selama beberapa waktu. fat, Y.B. Mangunwijaya seBenar-benar menguburnya orang arsitek dan pastor, Gus dan membuat saya tidak Mus seorang santri sekaligus sedikit pun memikirkannya kiai, dan seterusnya, dan lagi. sebagainya. Silakan tambahi Tapi agaknya yang Toety sendiri. Heraty katakan memang Dengan kata lain, siapa pun, tanpa terikat profesi dan jenjang pendidikan, sama-sama memiliki peluang 12
benar, bahwa “Kadang-kadang dorongan irasionallah yang menggerakkan kita dan sifatnya yang paling me-
nentukan, sedangkan secara rasional baru kemudian, pertimbangan-prtimbangan disusulkan untuk mempertanggungjawabkan tindakan pada lingkungan�. Dan entah karena apa, saya kembali kepikiran. Bertanya-tanya kembali. Kegalauan tersebut sedikit terobati ketika suatu hari membaca status Mawaidi D. Mas, penata letak Penerbit Cantrik Pustaka, di akun facebooknya yang menyinggung mengenai apa yang saya galaukan. Akan saya kutipkan sepenuhnya: Yang diharapkan dari sarjana sastra bukanlah menjadi sastrawan, atau seorang kritikus. Harapan paling mendasarnya adalah paham tata bahasa Indonesia, secara leksikal atau gramatikal. Banyak sastrawan yang abai terhadap tata ejaan bahasa, tidak sedikit kritikus baik yang akademis atau nonakademis yang lalai mengoreksi tulisannya kembali. Telah ditemui di banyak bukubuku yang terbit keabaiankeabaian tata bahasa dan sastra oleh si penerbit. Bayangkan jika sarjana bahasa dan sastra di wilayah ejaan bahasa Indonesia saja tidak mampu, lalu kepada siapa urusan teks-teks dan konteks
esai belum mampu memahami atau menikmati karya sastra—seperti telah disebutkan di atas. (Atau jangan-jangan membaca novel, dan atau karya sastra lainnya, adalah memang membuang-buang waktu?) Dengan kata lain, saya menyepakati pendapat Budi Darma tersebut karena lebih spesifik dalam ranah kesusastraan—dengan menempatkan para alumnus Jurusan Sastra Indonesia sebagai “jembatan” antara penulis dengan pembaca, pengarang dengan peresepsi, dan dunia kreatif dengan dunia awam. Seperti yang Budi Darma katakan, “Tugas kritikus untuk berbicara dengan masyarakat di samping menghubungkan dunia kreatif dan dunia awam”. V Pada tahun 1967, Roland Barthes memproklamasi-
dok.istimewa
itu diberikan? Itu baru ejaan, apa yang faktual hari ini akan belum konten ‘kan. menjadi terasing di masa depan. Keterasingan terseIV but, dalam ranah sastra, akan Untuk beberapa waktu, membawa ketidakutuhan apa yang Mawaidi sampaipemahaman terkait hakikat kan itu saya pegang. Saya sastra. Jadi “Fungsi jurusan sepakati. Selain karena sesastra adalah menyediakan laras dengan apa yang guru sarana tersebut. Jika sekarang saya di pondok sampaikan, yang banyak menarik perpikir saya, “Bukankah ketika hatian adalah kritik sastra, mengambil Jurusan Sastra semenjak sekarang Jurusan Indonesia, urusannya nanti Sastra Indonesia dapat mengakan berhadapan dengan garap yang tidak menarik bahasa—dengan segala tetek perhatian,” kata Budi Darbengeknya?”. Tapi perubahan ma. adalah keniscayaan. Begitu Saya sendiri menyepakati pula pemahaman saya terkait hal tersebut. Seiring berjalan- pendapat tersebut karena, nya waktu, saya merasa tidak sepemahaman saya, pada puas. Bagi saya pemahaman kenyataannya memang ada orang-orang yang tidak atau itu tidak spesifik ke ranah kurang atau belum mampu kesusastraan itu sendiri. memahami atau menikmati Pemahaman baru kemukarya sastra, yang mana, dian saya dapatkan setelah pada kenyataannya, akan membaca Solilokui, Kummemberikan pemahaman pulan Esei Sastra (1982). Di yang kurang tepat, sehingga salah satu tulisannya, Budi seorang motivator pun ternDarma mengatakan bahwa yata tidak atau kurang atau
13
esai kan bahwa “pengarang telah mati”. Barthes beranggapan bahwa membaca adalah proses yang individual dan tidak melulu terpaku pada maksud pengarang. Membatasi atau mendikte pemahaman pembaca terkait suatu teks atau karya sastra sama saja mencekik kreatifitas pembaca itu sendiri. Momen “kematian pengarang” ini, kemudian sekaligus menjadi momen “kelahiran pembaca”, karena pembaca lantas memiliki kebebasan dalam menafsirkan suatu teks atau karya sastra. “Kematian pengarang” Barthes itu pula yang mungkin merupakan penyebab Ronan McDonald mengatakan bahwa “kritikus telah mati”. “Kematian kritikus” tersebut tidak aneh mengingat posisi kritikus yang sebelumnya adalah, katakanlah, yang memiliki otoritas untuk menilai dan menafsirkan karya sastra, sementara, di satu sisi, penafsiran dan penilaian karya sastra telah menjadi milik pembaca. Pembaca memiliki kebebasan untuk meng-apa-saja-kan karya sastra itu—menurut kemampuan dan pengalamannya. “Kematian pengarang”, yang kemudian diikuti den14
gan “kematian kritikus”, ini lantas dengan otomatis menegasikan pemahaman saya di atas bahwa tugas alumnus Jurusan Sastra Indonesia adalah untuk menjadi kritikus. Saya menjadi ragu. Serasa harus mulai mencari dari awal kembali. VI Tapi tidak lama berselang, saya tiba-tiba teringat bahwa Subagio Sastrowardoyo (1989), pernah mengkritik “kematian pengarang” tersebut dari sudut pandang moral si pengarang. Bahwasanya pendekatan sastra yang cenderung membataskan diri pada segi formal saja akan cenderung melepaskan tanggung jawab pengarang pada apa yang dikatakannya dalam karyanya. Karya seorang pengarang bukanlah pancaran laku hidup si pengarang, sehingga tidak perlu membayangkan tingkah laku pengarangnya ketika membaca karya sastra.
wara”. Tiadanya konsekuensi dan kelanjutan dari moralitas karya sastra ke moralitas pengarang tersebut, menurut Subagio, akan berakibat fatal. Yakni anggapan umum, seperti yang dimiliki motivator di atas, bahwa sastra hanyalah kerja iseng-iseng si sastrawan dan buang-buang waktu saja membacanya— apalagi menekuninya. Apa yang Subagio sampaikan itu sempat akan saya jadikan pegangan sebagai modal awal mengkritik “kematian pengarang” Barthes, bahwa “pengarang belumlah mati”—karena “mematikan pengarang” sama saja membawakan dampak fatal pada kesusastraan. Tapi lagi-lagi saya kembali seperti tidak tahu apa-apa setelah membaca tulisan Putu Wijaya di Media Indonesia Edisi 10 September 1995.
Dalam tulisannya itu, mirip kata Multatuli, Putu Lebih jauh, Subagio men- Wijaya mengatakan bahwa gatakan, “Pandangan sastra sastrawan tetaplah manusia yang memisahkan moralidengan segala kekurangan tas karangan dari moralitas dan kelebihannya. Sehingga, pengarangnya berakibat pada dengan sifat manusiawinya tumbuhnya buah karangan itu, terdapat paradoks dalam yang pada dasarnya hanya diri seorang sastrawan: permainan fantasi dan per“renungan-renungan jernih caturan kata. Dalam hal ini di samping tabiat manupengarang hanya bersandisia yang kurang terpuji”.
Esai Bahkan, dengan jelas, Putu Wijaya mengatakan bahwa, “… tidak pernah ada jaminan bahwa semua karya yang bagus dihasilkan oleh orang-orang yang berperilaku bagus.” Pun, “Di dalam kenyataan, juga tidak sedikit kepahitan, bahwa lebih banyak lagi sastrawan yang bertabiat bertentangan dengan apa yang dikibaskan oleh karya-karyanya.” Pada titik ini, saya melihat adanya aroma romantisisme, keterpecahan antara dunia ideal dan kenyataan yang profane, yang keduanya saling bertolakan. Dan untuk menanggapi ketegangan tersebut, saya pribadi memegang prinsip bahwa satusatunya yang harus dihadapi adalah yang sebenar-benarnya nyata. Sehingga, antara memilih di antara keduanya, saya cenderung untuk memihak pada “kenyataan” Putu Wijaya. VII Kritik terhadap “kematian pengarang” itu kemudian lebih gamblang saya temui dalam buku Dami N. Toda, Apakah Sastra?, yang dengan gamblang mengatakan, “Hakikat pencarian dan penemuan cipta sastra yang sangat individual itu sangat jelas mengisyaratkan kebenaran
pengertian bahwa karya sastra tidak pernah netral terhadap tanggung jawab penulisnya”. Sehingga, “Setelah karya tercipta, pengarang tak pernah mati dalam arti sosiologis sastra … tetap hidup menyatu di dalam stilistik diksi sastra ciptaannya”. Bahkan dengan lebih berapi-api, Dami mengatakan, “Keberadaan teks pun tak bisa dipisahkan dari seleksi kreatif pengarang yang sekali tercipta tetap tercipta dan tercetak implisit untuk selamanya (betapa pun R. Barthes ‘memancung’ kepala formal si pengarang terpisah dari teks)”. Kritik tersebut menjadikan saya untuk tidak jadi menginjakkan kaki untuk memasuki pemahaman bahwa kritikus tidaklah lagi diperlukan, karena sudah “mati”, seperti telah sedikit disinggung di atas. Dan hal tersebut, di satu sisi, juga memberi kesadaran bahwa saya sendiri justru tidak semakin mendekati jawaban dari kegalauan saya, melainkan justru semakin tidak jelas ke mana arahnya. Saya masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan saya—yang sebetulnya sederhana: Mengapa harus belajar sastra, sehingga harus
mengambil Jurusan Sastra Indonesia? VIII Terlalu banyak kemungkinan mengapa kegalauan dan pertanyaan sederhana saya justru berujung pada kebingungan. Bisa jadi karena jawabannya terus berubah dari waktu ke waktu. Bisa jadi karena saya yang tidak paham mengenai apa yang ingin saya coba pahami. Bisa jadi karena kurangnya bahan bacaan saya. Bisa jadi karena kedangkalan cara membaca saya. Bisa jadi karena kesalahan cara berpikir saya. Bahkan bisa jadi karena hal-hal lain yang sama sekali tak saya ketahui dan tak saya duga. Terlepas dari apa penyebabnya, saya menjadi teringat pada kisah Nabi Ibrahim ketika bertanya-tanya dan mencari-mencari siapa, apa, dan yang manakah Tuhan yang sejati. Dan semoga, perjalanan kegelisahan saya ini akan menjadi seperti Nabi Ibrahim yang kemudian menemukan kebenaran yang hakiki. Amin.
15
puisi
Ibuku Laut Diana Sri Suryani Aku dilahirkan di tepian pantai Dimandikan ombak Jeritan ibuku lebih kuat dari karang-karang Yang dipukul ombak setiap saat Pasir mencium kakiku Seperti berbisik; “melangkahlah, tapi jangan salah arah!� Aku menyusu perut laut Memakan ikan-ikan Hingga aku melangkah seolah Semua tidak salah Ibuku pernah berkata: Berlayarlah sampai jauh Dan pulanglah ketika sudah penuh Tapi ibu, lautku berbadai Tidak bisa menepi Tidak bisa mendayung Tidak bisa melewati pulau-pulau berharta karun Ibu, aku kini jauh dari muaramu Berlayar entah di mana Entah bagaimana Aku mengambang di antara ribuan bintang-bintang 16
puisi Tuntun aku pada lautmu Pada semua doa-doa yang kau alirkan Dalam setiap ombak yang menerjang kapalku Penuhi malamku dengan suaramu Izinkan aku menepi Membunuh semua rindu padamu Hingga suatu hari aku berkata; Ibu, aku pulang Semoga ilmu-ilmuku tak pernah usang Yogyakarta, November 2017
Polanco S. Adhi | masih sibuk kuliah Afaf L. K. | masih kuliah tapi gak sibuk-sibuk amat Muhammad Nursaid R. | kuliah adalah kunci Glorizna Riza | suka makan keju Danang Suryo | capek kuliah Ikhsan Abdul Hakim | pengen main bola aja daripada kuliah Syafiq Addarisy | pingin jadi kiai Diana Sri Suryani | lulus cepat is okay~ Ilustrasi puisi halaman 4 dan 16 oleh: Meilinda Ferdian Calista
17
orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. -Pramoedya Ananta Toer
18
Bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih? bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak, sedih karena pikiran d iliputi bayang-bayang. -W. S. Rendra
19
Jagat begitu dalam, jagat begitu d iam. Aku makin jauh, makin jauh. Dari bumi yang kukasih. -Subagio Sastrowardoyo
20