Yang terucap akan hilang, yang tertulis akan abadi
Edisi. Ospek KMSI 2017
Salam Sapa Susatra
Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Muhammad Qadhafi, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt, Mawaidi D. Mas, Anto, Muhammad Farid Anshori, dkk. Pemimpin Umum: Ikhsan Abdul Hakim Pemimpin Redaksi: Reigina Fanindika P Tim Redaktsi: Andrian Eksa, Permadi Suntama, Arief Budiman, Desvandi, Inas Adila, Nisa Maulan, Monna, Anik, Arief Rahmanto, Ikhsan Maulana, Danang Suryo, Burhan, Alfian, Polanco, M.Syafiq, Syakinah, Diana, dkk. Pemeriksa Aksara: Nisa MS, dkk. Ilustrator: S S
Salam Susastra, Bersama buletin Mimesis edisi OSPEK kali ini, kami kembali menyambut keluarga barunya dengan segala kehangatan. Sebelumnya, perkenalkan bahwa Susastra merupakan forum belajar dan berdiskusi mengenai sastra itu sendiri, serta berkenaan dengan bidang linguistik, seni, budaya, pun hal lain. Susastra memberikan wadah kepada siapa saja untuk lebih produktif dan berbagi melalui buletin Mimesis. Untuk itu, kami mengucapkan selamat datang bagi keluarga baru dan selamat berjumpa kembali bagi penikmat setia Mimesis. Semoga roh Mimesis tetap bertahan dan diperjuangkan. Pun ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pejuang Mimesis dan penikmat, sekaligus pengkritisi buletin ini. Maka, nikmatilah~
puisi
Kafe Dengan Jendela Terbuka Riri
Menjelang siang aku datang ke kafe Tempat biasa kita berbincang Dengan kursi dan meja di ruangan yang masih lengang Jam dinding di kanan pintu menuju tangga Lantai dua berdetak berulang Memanggil nama kita yang hurufnya pernah berjatuhan Aku tak tahu perihal nyanyian rumput di depan kafe Menelusup telinga dari satu jendela yang terbuka Suara mereka adalah bait puisi yang pernah kita baca
Di luar tiang-tiang listrik menunduk Ada sebuah bangku kayu dipeluk debu Teduh di bawah pohon waru Satu orang duduk membaca buku Dengan jemari seperti mempelajari cara mengetuk pintu Di dalam ruang kafe itu piring dan gelas Sibuk berbisik, sendiri-sendiri
Aku meneguk secangkir kopi pelan-pelan Menjelang sore pengunjung berdatangan Aku menenteng tas kemudian pulang Sebelum petang Membayang, menyentuh jalanan.
Kelelawar Akhmad Ilham
Malam hari, pukul sembilan kurang dua menit. Kelelawar baru saja permisi di depan muka, sorot mobil baru saja menyapa. Di belakang ada sandaran, tiang listrik hitam, kusam, berias karat. Kautahu itu aku bukan? Jangan tanya, aku mengenang; nostalgia berdua. Dahulu, tepatnya beberapa hari lalu, kau masih tertawa pada kelelawar, kau masih menunjuk ada sorot lampu menyilaui mata, dan kaulindungi aku dengan tawa; jangan menatap itu, nanti kamu akan mati. Tertawa lagi, berdua. Lihat, ingat. Betapa kita dahulu selalu kawin antarkata pada jam itu, pada tiang listrik itu, pada bulan penuh di bawah pelukanmu. Lihat, lupa. Kau kini jauh disana, aku dekat dan tetap kokoh. Aku berpura pura jadi kelelawar, jadi tiang listrik, jadi sorot lampu. Kembali, untuk mengenang masa, mengenang tawa. Aku di panggung sandiwara, berperan mencinta, jadi kau, lalu lesu, jadi aku.
3
cerpen
Nun dan Rotinya Muhammad Fajar Riyadi
Sepotong roti berdiam diri, tak bergerak meski diembus oleh semilir angin. Di sebelahnya tergeletak pisau dapur, putih bersih mengkilap, menyilaukan mata jikalau ditatap. Dua benda itu ada di atas sebuah meja berukuran 1x1 meter. Seorang perempuan duduk di kursi menghadap roti dan pisau itu. Adakah sesuatu yang terlihat aneh? Ya, tangan perempuan itu gemetaran sejak tadi. Tatapan matanya kabur. Getar-getar bibirnya dari kejauhan tampak seolah ia sedang melafalkan sesuatu yang entah apa secara terusmenerus. Tekun tak hendak berhenti. Jilbab panjangnya tergerai ke bawah. Apa kalian tahu, bagaimana sepotong roti itu bisa berada di sana, di meja makan itu? Maukah kalian menyimak barang sejenak kisahnya? ***
Suatu ketika, Juni dan Ahmad jalan-jalan. Tangan mereka bergandengan, begitu mesra. Dari sekian banyak wanita di dunia, Juni merasa menjadi yang paling bahagia. Pernikahannya dengan Ahmad adalah satu hal yang baginya amat istimewa. Tiada terbandingkan dengan suatu apa pun juga. Kini, alhamdulillah, perutnya telah terisi benih cinta mereka berdua. Ketika melewati pasar dan
4
melintasi seorang penjual roti, mata Juni digoda oleh pesona kelezatan sewadah penuh berisi roti. Namun karena tidak enak hati kepada suaminya, Ahmad, ia diam dan membiarkan tangannya terus digenggam, berjalan tanpa tujuan yang jelas dan terus mengikuti ke mana kaki hendak menjejak. Meski sejujurnya, Juni begitu ingin menikmati setidaknya sepotong saja roti itu.
“Apa itu?” tanya Juni tiba-tiba ketika matanya menangkap satu hal yang aneh. Sebetulnya apa pun itu, Juni tidak tertarik. Seaneh apa pun, ia juga tidak peduli. Tapi demi menghapus keinginan dan ketergodaannya pada pesona kelezatan roti itu, ia melakukan hal yang sejatinya tak hendak ia lakukan. “Apa?” Ahmad bertanya.
“Itu.” Juni menunjuk sesuatu yang—pura-pura dianggapnya—aneh itu dengan jari telunjuknya. Ahmad mengikuti arah yang ditunjuk istrinya. Dan, terlihatlah sebuah kerumunan massa berjarak sekitar 20 meter dari letak mereka berdiri. “Mungkin ada pertunjukkan.” “Bolehkah aku melihatnya?”
“Mari.” Ahmad menggenggam jemari istrinya lebih erat. Berjalan mengarah ke kerumunan itu. Lihatlah
dari kejauhan, betapa manjanya Juni manakala ia menyandarkan kepalanya di bahu Ahmad, memeluk tangan suaminya sambil terus berjalan. Namun barangkali bisa dimaklumi, sebab ia sedang hamil. “Oh. Adu ayam rupanya.” “Ah, tidak menarik.” Juni melengos. ***
Di bawah pohon beringin yang berdaun sangat lebat itu, dengan rambut-rambut yang menjuntai, menjulur ke bawah nyaris menyentuh tanah, duduk seorang anak yang masih kecil berusia 8 tahun. Namanya Nun. Ia sedang menunggu ibunya pulang dari pasar dan membawa roti kesukaannya yang dibelikan khusus untuknya. Demi sepotong roti spesial itu, Nun rela menunggu bahkan sejak pagi hingga hari terik oleh sengatan sinar mentari. Nun tidak akan kepanasan di bawah pohon beringin yang rindang itu.
Sambil menunggu, Nun menonton kerumunan orang di dekatnya. Tidak, tidak begitu dekat. Cukup jauh, sebab ia akan melihat ibunya sebagai siluet hitam saat melewati tempat itu. Keramaian itu adalah kerumunan manusia-manusia bodoh tak berilmu dan beradab
cerpen yang menghabiskan waktu hanya untuk mengadu ayam. Ada puluhan kandang berisi ayam-ayam jantan di sekitar kerumunan. Nun tahu belaka hal itu karena setiap berangkat sekolah, ia selalu melewatinya. Namun ini hari libur. ***
“Roti yang biasa saya beli masih ada, Mbok?”
Simbok yang dimaksud dengan sigap segera membuka wadah roti, lalu seulas senyum yang sangat tulus menghias wajah keriputnya. “Wahwah. Alhamdulillah. Kamu beruntung, Nak. Masih ada sepotong.” “Saya beli ya, Mbok.”
“Dengan hati bahagia, Nak. Penjual mana yang tak bahagia bila barang jualannya dibeli dan bahkan jadi langganan.” “Simbok bisa saja.”
“Tapi, Nak, maafkan simbok. Mulai esok, simbok tidak berjualan lagi. Anak simbok di kota meminta simbok tinggal di rumahnya sana.” Apa? Wanita itu terkejut dan nyaris menjatuhkan barangbarang belanjaannya. Untung ia segera sadar dan bisa mengendalikan dirinya. ***
Ahmad akhirnya mengerti kalau ada yang salah dengan istrinya. Sejak keluar pasar, Juni memasang raut muka yang murung. Ia tidak sengaja memasang-masang, namun begitulah wajahnya menggambarkan suasana
hati. Apalagi tadi saat berjalan menuju kerumunan adu ayam itu, Juni memeluk tangannya dan menyandarkan kepala ke bahu. Seolah ada sesuatu yang membuatnya takut dan ia perlu melakukan semua itu. “Apa yang terjadi, Sayang?”
“Tidak ada.” Juni tidak jujur. “Katakanlah, Sayang. Aku tahu ada sesuatu yang kausembunyikan dariku.”
Kondisinya yang sedang hamil muda, memberikan tekanan batin yang sangat besar. Ia tak mampu lagi membendung hati untuk tidak mengatakan apa yang diinginkannya. “Aku... aku ingin roti tadi, Mas.” “Roti? Roti yang mana?”
Juni menjelaskan. Tumpahlah isi hatinya.
Mereka berdua akhirnya kembali ke pasar dan mendatangi penjual roti. Rupanya hanya kecewa yang didapat sebab roti sewadah penuh itu sudah habis. Menurut berita yang beredar, roti itu memang sedang larislarisnya. Banyak disukai orang. Maka wajar kalau sekarang sudah habis. Tidak tersisa lagi meski hanya sepotong. “Apakah ada penjual roti yang lain?” tanya Ahmad.
Simbok penjual roti menjawab, “Setahu simbok tidak ada.” Sesaat, wanita bergigi nyaris ompong itu masih sibuk membungkusi barang-barang jualan, sebelum akhirnya berkata, “Pembeli terakhir baru saja pergi.”
“Mana, Mbok?” Ahmad spontan bertanya.
“Itu.” Simbok menunjuk satu arah. ***
Wajah Nun begitu cerah saat melihat seseorang berjalan dari kejauhan. Ia tahu itu ibunya. Siapa lagi? Meski masih berupa bayang-bayang hitam, kibaran jilbab panjang dan sesuatu yang ditenteng bayangan itu membuatnya yakin seyakin-yakinnya kalau itu ibunya. Beberapa saat setelah itu, sang ibu sudah duduk di sampingnya dan membuka tas belanjaan. Muncullah barang yang begitu didamba oleh Nun sejak pagi tadi. “Terimakasih, Ibu.” “Ucapkan apa?”
“Alhamdulillah,” sahut Nun sambil mengangguk-ngangguk “Habiskan, ya. Ini yang terakhir,” kata ibunya. “Maksudnya?”
“Simbok yang jual roti ini besok sudah tidak jualan lagi. Pindah hidup ke kota di rumah anaknya. Makanya Nun harus habiskan roti terakhir ini.”
“Yaaah,” keluh Nun sambil memandangi rotinya. Ada keinginan yang kuat dalam hatinya untuk segera memakan roti itu. Tapi ada juga segumpal rasa tak rela jika roti itu habis dan ia tak pernah bisa menikmatinya lagi. Mulai sejak setelah roti itu habis, dan seterusnya hingga entah kapan ia tak tahu.
5
cerpen “Ibu pulang dulu ke rumah, mau masak.”
Nun hanya mengangguk kecil. Lemah sekali anggukannya. ***
“Jangan dimakan dulu!” hampir saja Ahmad terlambat. Roti sepotong itu sudah dipegang oleh seorang anak kecil dan hendak dimakan. Jika tidak buru-buru ia cegah, maka habislah harapannya. Nun, yang masih bimbang dengan keputusannya antara memakan atau menyimpan rotinya, semakin bingung dengan kemunculan seorang lelaki dewasa yang mencegahnya memakan roti itu. Padahal sungguh, ia masih bingung dengan dua pilihannya.
“Bolehkan kakak meminta secuil rotimu?”
Nun bertambah-tambah kebingungannya. Kenapa kakak ini ingin meminta roti milik Nun? Apakah kakak ini tidak tahu kalau Nun sangat menyukainya, bahkan Nun rela menunggu sejak pagi? Nun bertanya-tanya dalam hati. “Istri kakak sedang ngidam, Dik. Dan dia menginginkan roti yang kamu pegang itu. Bolehkan kakak meminta secuil saja?”
Wajah Nun cerah, “Boleh, Kak. Cuma sedikit, kan?”
6
Ahmad buru-buru mengangguk. Meyakinkan.
Nun mencuil roti yang ia pegang dengan bimbang dan memberikannya pada kakak yang tiba-tiba muncul sebagai sosok misterius baginya itu. Yang diberi kegirangan, segera berterimakasih dan pergi menemui istrinya untuk
memberikan secuil roti itu. Sementara itu, Nun masih tetap bingung, apakah mau memakan atau menyimpan rotinya yang tersisa.
“Coba tebak, aku bawa apa?” tanya Ahmad pada Juni yang sedang duduk menanti di sebuah batu duduk. Ia memandang ke sebuah arah, tapi tidak jelas apa yang dipandang. “Apa?” Juni bertanya tanpa menoleh. Tanpa banyak pikir lagi, Ahmad menunjukkan roti
yang dibawanya, persis seperti seorang pangeran tampan yang memberikan bunga wangi kepada putri raja nan cantik jelita. Dengan binar mata bahagia, dengan senyum melengkung di bibir manisnya. “Cuma segini?” gerutu Juni.
Ahmad terkejut tak habis pikir. “Lalu?” “Aku mau lebih banyak.”
Ahmad membujuk agar istrinya mau dicarikan roti yang lain, namun Juni dengan keras kepala menolak. Barangkali itu bukan sifat aslinya. Keras kepalanya kali ini lebih karena tuntutan diri. Perempuan yang sedang ngidam—seperti dirinya—memang akan meminta dan memaksa sesuatu yang diinginkan harus ada. Dan, Ahmad menyerah. ***
Aduh, ini roti membikin hatiku bingung, kata Nun dalam hatinya sendiri. Sejak tadi ia berdiri di bawah pohon beringin besar itu. Suasana siang yang panas sama sekali tak mengganggu, sebab pohon beringin yang ia gunakan untuk berteduh sangat rindang. “Maaf, Dik.”
Kepala Nun mendongak,
cerpen melihat seseorang yang barusan bicara.
“Eh, kakak. Ada apa lagi, Kak?” tanya Nun.
Ahmad—demi apa pun—tak enak hati hendak berkata jujur kepada anak kecil di depannya. Mana mungkin ia meminta makanan milik seorang anak kecil yang barangkali sangat menyukai makanan itu? Betapa memalukan perbuatannya ini. Betapa tidak tahu dirinya ia hingga tetap berani mendatangi lagi anak kecil dengan roti di tangannya ini. “Ee...”
“Ada apa, Kak?” tanya Nun.
“Istri kakak ingin meminta lagi.”
Aduh! Terus Nun bagaimana? Nun makan roti yang mana kalau diminta lagi? Kan Nun hari ini belum makan roti itu secuil pun? Dan, kata Ibu, simbok penjual roti itu sudah tidak jualan lagi. Aduh, Nun harus bagaimana? Begitulah otak Nun bermain-main.
Lalu, ingatan itu kembali mengitari sel-sel otak Nun. Ingatan beberapa minggu lalu saat ia dan sang ayah masih kerap duduk berdua di bawah pohon beringin ini sambil membicarakan banyak hal. Termasuk mengaji berbagai ilmu.
“Nun, jika nanti suatu hari kau merasa sangat berat melakukan suatu amal, paksakanlah!” Sang ayah saat itu duduk memangku Nun yang
sedang asyik menikmati roti kesukaannya. Nun memang sangat menyukai roti itu. Nun akan lupa segalanya saat menikmati rotinya. Bahkan, sampai membuat ia tak mendengar yang dikatakan ayahnya. “Kau dengar kata ayah, Nun?” Nah, kali ini Nun menoleh, “Apa, Ayah?” Sang Ayah menjelaskan ulang. “Kenapa begitu, Ayah?” “Karena perasaan sangat berat itu dari nafsumu, yang didukung 100 persen oleh setan-setan di sekitar. Maka jangan biarkan mereka menang! Ketulusan dalam beramal bukan hanya soal tidak meminta balasan apa pun kepada Allah, tapi juga soal bagaimana kamu memaksa dirimu sendiri untuk tetap melakukannya meski berat hati. Karena kautahu—karena kautahu hal itu benar.” “Setan-setannya ngajak perang dengan Nun, ya, Ayah?” “Iya. Nafsu juga.” “Insya Allah, Ayah. Nanti Nun akan siapkan air es untuk mendinginkan tubuh setan yang terbuat dari api. Biar kapok dia kedinginan.” Nun lalu tertawa. “Yang paling utama adalah nafsumu, Nak. Bukan setan.” ***
Ya, ini adalah jalan keluarnya. Nun sudah tidak bingung lagi sekarang. Dengan hati yang sangat berat, dengan
gerakan yang amat lambat, Nun mengulurkan tangannya. Ahmad dengan hati yang juga berat dan malu, dengan gerakan yang sama lambat, menerima uluran tangan anak kecil di depannya. Hatinya terketuk, bagaimana mungkin anak sekecil ini melakukannya? “Siapa namamu, Dek?” “Nun.”
“Nama yang bagus. Terimakasih rotinya, ya. Kakak tidak akan melupakan kebaikan hati Nun. Kakak akan terus mengingatnya hingga kapan pun.” Nun tersenyum. Lalu meringis. ***
Dari tempatnya menunggu, Juni menyaksikan semua yang terjadi. Juni tahu awal mula kejadian hingga titik di mana ia merasa telah salah berbuat. Saat Ahmad datang dan memberikan roti itu, Juni diam dan menerimanya dengan lemas. Tak ada ekspresi senang yang seharusnya muncul bersamaan dengan didapatkannya roti itu. “Kenapa lagi, Sayang?”
“Lihat anak kecil itu.” Mata Juni membasah. Ahmad menoleh.
***
Nun buru-buru berlari lalu merangkul dan menangis sesenggukan di bahu ibunya. Nun masih sangat ingin memakan roti itu. Nun masih belum rela memberikan
7
cerpen rotinya kepada orang lain. Nun terpaksa. “Ada apa, Nak?”
“Roti Nun sudah habis,” ujarnya. “Kakak-kakak itu memintanya.”
“Siapa?” tanya Sang Ibu kepada Nun. “Tadi ada kakak-kakak datang ke sini, Bu.”
“Emm,” gumam Sang Ibu. Lalu bertanya, “Dia memaksa?”
“Tidak, Bu. Nun memberikannya. Kata kakak itu, istrinya sedang ngidam dan mau roti punya Nun. Kata ayah, dulu Ibu ngidam roti juga seperti istrinya kakak itu, dan
ayah mencarikannya siangmalam.”
sayang, dengan penuh cinta.
“Tapi Nun mau makan roti, Bu.”
Memaksakan kebaikan.
Mata ibunya sudah sembab. “Tidak ada yang perlu disesali dari perbuatan baik, Nak. Ayahmu dulu melakukan hal yang sama. Nun sudah benar memilih memberikan roti itu.” “Nun, percayakan semuanya pada Allah.”
Nun kembali memeluk ibunya. Tangan kiri dan kanan bergetar-getar. Air mata perlahan mengucur dan membuat baju ibunya basah.Tangan kanan sang ibu mengelus lembut kepala Nun dengan penuh kasih dan
Wawancara Khusus Eka Kurniawan: Dari Proses Kreatif hingga “Apa Itu Sastra?” Dalam edisi kali ini, Redaksi Mimesis berkesempatan mewawancarai salah satu sastrawan kenamaan Indonesia, Eka Kurniawan. Belum lama ini Eka ramai diperbincangkan, salah satunya karena menjadi nominator The Man Booker International Prize pada 2016 lalu. Kami menemui Eka di tengah acara Kemah Sastra III pada 13-15 Mei kemarin. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Komunitas Lereng Medini dan milis Apresiasi Sastra ini, Eka datang sebagai salah satu pembicara. Eka berbicara pada kami tentang banyak hal. Mulai dari proses kreatif hinga pendapat-pendapatnya tentang sastra. Dari belasan menit wawancara kami, maka beginilah jadinya.
8
Itulah yang membuat sepotong roti di meja itu tak termakan. Itulah yang membuat tangan perempuan yang duduk di kursinya bergetar-getar. Itulah yang membuat semuanya demikian mengharukan. Merasa bersalah.
***
Yogyakarta, 28 April 2017
wawancara khusus Mas Eka pernah tinggal di Pangandaran dan Tasikmalaya, kan. Apakah itu ada pengaruhnya bagi proses kreatif? Ya, ada sih. Karena kadangkadang aku juga ada settingsetting itu. Nggak cuma setting, tapi juga pergaulan, pengaruh, bagaimana aku melihat keseharian hidup lingkungangku. Novel-novelku, cerpen-cerpenku sih nggak jauh-jauh dari itu. Hampir selalu apa yang benarbenar kulihat—lingkungan yang aku akrabi. Nggak cuma di Pangandaran, Tasik, aku juga tinggal lama di Jogja 10 tahun, sama Jakarta. Terus kalau yang di novelnovel Mas Eka yang horor itu inspirasinya dari kenyataan?
Ya sebagian ada ya, kalau inspirasi sih dari mana-mana ya, kadang-kadang pencetusnya cuma peristiwa kecil. Kadang-kadang kaya aku nulis cerpen apa ya—Gerimis yang Sederhana. Karena, gara-gara aku lagi makan di resto di Amerika; ada pengemis masuk, minta-minta duit. Ya, tiba-tiba ceritanya sudah melebar ke mana-mana ketika ditulis. Ya sebagian besar sih selalu begitu. Ya kadang-kadang pencetusnya peristiwa-peristiwa kecil yang aku tertarik terus aku kembangkan, atau beberapa peristiwa kecil, kadang jadi cerpen kadang jadi novel. Kalau pengaruh dari pengarang lain, mungkin ada? Tentu saja, kaya certa-cerita horor gitu, ya, karena aku (dari) zaman remaja sampai
sekarang suka baca-baca novel horor. Terutama horor-horor Indonesia. Karena, ya, mereka lebih dekat saja. Ya kadang-kadang aku suka juga baca novelnovel gothik Eropa, tapi tetap saja ada sesuatu yang berbeda—rasa takutnya juga beda. Hantu itu nggak bisa nyeberang pulau, (rasa) takutnya itu sudah beda. Kalau kamu pergi ke Amerika, kamu sudah nggak takut kuntilanak lagi di sana. Mau jalan malam-malam juga nggak ada perasaan bakal ketemu kuntilanak. Mas, kalau saya baca yang (novel) Lelaki Harimau itu, kok, saya kaya merasa kalau itu awal(an)nya mirip novel Seratus Tahun Kesunyian. Itu cuma perasaan saya atau memang ada efek tertentu (dari novel itu)?
Ya, mungkin saja. Karena aku juga suka baca itu—kurasa novelku sih banyak banget dipengaruhi oleh penulispenulis lain. Seperti Cantik Itu Luka, kalau kamu melihat pembukaannya, kamu bisa bandingkan dengan pembukaannya Metamorfosis-nya Kafka. Itu cuma beda yang satu orang bangun tidur, yang satu orang keluar dari kuburan, tapi itu buatku adegan yang kurang-lebih sama. Dan ya aku belajar itu dari, misalkan, cara membuka novel itu dari Kafka. Ya tapi banyak juga elemenelemen lain yang aku pelajari dari Marquez, (dan) dari Don Quixote. Bisa dicarilah jejakjejak penulis lain (dalam karya Eka).
Kalau pengarang kesukaannya Mas Eka siapa? Banyak sih, kalau sekarang susah untuk nyebutin karena semua yang aku baca ada bagian-bagian yang aku suka dari mereka. Dari penulis-penulis Eropa, Latin, dan penulis Indonesia. Aku sampai sekarang masih baca cerita-cerita silat, misalkan (di) Indonesia aku selalu nyebut—kadang-kadang sebenarnya untuk membayangkan, misal, aku bilang aku suka Pram, Abdullah Harahap, atau Kho Ping Hoo, tapi itu untuk lebih menggambarkan genre yang suka kubaca, karena misalkan cerita silat, aku nggak cuma baca Kho Ping Hoo, aku juga baca S.H. Mintardja, Chin Yung, Ku Lung. Menurut Mas Eka, perkembangan sastra Indonesia hari-hari ini bagaimana?
Bagaimananya? Harus lebih spesifik, karena, pertama aku tidak pernah memposisikan diri sebagai pengamat sastra Indonesia, jadi aku hanya tahu satu sisi, nggak tahu persis secara luas. Kalau, misal, sekarang banyak orang bikin cerpen bisa seeksperimental mungkin, ya seperti itu—maksudnya nggak terlalu manut sama struktur gitu, lho.
Ya menurutku, sih, ya tak apalah. Buatku yang paling penting sebenarnya begini kalau soal eksperimen, ya aku selalu menganggap kalau eksperimen itu sebuah metode, bukan sebuah aliran atau genre. Karena kalau aliran
9
wawancara khusus ya—seperti apa, sih, yang eksperimental itu? Ketika kita menyebutkan misalkan, apa ya—kalau di dalam sastra Inggris, misalkan, James Joyce sebagai yang eksperimental itu. Tapi ya lama-lama ketika jenis kaya gitu diproduksi ya sudah nggak eksperimental lagi. Artinya itu kan lebih ke sebuah metode. Ketika seseorang, misalkan penasaran— ya samalah seperti pekerjaan ilmuwan—penasaran terhadap sesuatu, dia bertanya-tanya, apakah kalau begini-begini hasilnya iya atau tidak, bagus atau tidak; itu harus dicoba, harus dites, makanya dia masuk laboratorium, bereksperimen. Kurasa di sastra juga begitu, ketika dia merasa ada hal-hal yang menarik pikiran dia, dan orang lain belum melakukannya, atau dia belum tahu ada orang melakukannya, dia mencoba. Ya, hasilnya bisa berhasil bisa tidak, begitu. Tapi hasil—dalam hal itu, menurutku—bukan tujuan akhirnya. Karena, ya, tujuannnya adalah proses itu, proses bereksperimen itu. Kalau menurut Mas Eka, karya sastra yang bagus itu bagaimana?
Ya kalau secara subjektif, buatku ya, karya yang mengganggu pikiranku. Ketika kubaca, aku tidak bisa melupakannya. Tidak hanya bentuknya, tetapi juga kadang temanya—macam-macam. Makanya aku kurang bisa spesifik mengatakan bahwa aku menyukai novel jenis ini karena, ya, ketika aku baca aku merasa
10
sebagai literature. Tidak hanya bentuk-bentuk yang kita kenal, orang nulis buku filsafat, orang nulis memoar (juga termasuk sastra). Bahkan hal-hal yang kita pelajari, misalkan—aku membayangkan (karena) aku tidak belajar formal di sastra—kita mempelajari hal-hal/ aspek-aspek kesusastraan dari sebuah novel tentang gaya, tentang pemilihan diksi, tentang struktur, plot, itu kan juga bisa diterapkan kepada karya nonfiksi, kepada memoar, kepada penulisan sejarah. Mereka juga punya style. Seorang sejarawan dengan sejarawan lain ketika menulis buku sejarah pasti berbeda, mereka punya sudut pandang yang berbeda, style yang berbeda. Dan itu membuktikan bahwa mereka juga punya aspek kreativitas yang tidak bisa dihindari. Apalagi kalau kita lihat jauh ke belakang, jauh-jauh ke belakang, ketika apa yang kita kenal sebagai bentuk-bentuk sastra yang—dalam tanda petik—kita kenal sekarang. Zaman dulu kita tidak kenal yang dan emosiku, meskipun mung- namanya novel—novel sendiri itu kan bentuk kesusatraan kin tidak sampai benar-benar yang relatif baru. Novel modmengganggu ya—buatku itu ern itu dianggap lahir abad, juga novel yang bagus. mungkin 16 (atau) abad 15. Ini pertanyaannya agak abstrak ya, Mas. Ini kan banyak Sebelum itu mereka nggak bisa orang menggolongkan mana membedakan—kalau dilihat di buku-buku Jawa kuno misaltulisan sastra dan mana kan, kita nggak bisa (menilai) nonsastra. Kalau menurut Babad Tanah Jawi dalam Mas Eka, sastra itu apa sih, perspektif masyarakat zaman secara subjektif? itu, mereka plur antara fiksi Ya kalau secara subjektif, dan nonfiksi, antara sejarah semua yang tertulis ya sastra. dengan dongeng. Kalau (bagi) Ya literature kan, semua yang mereka itu sederhana, sebuah tertulis kamu bisa anggap itu teks, sebuah sastra. terganggu. Karena aku bisa saja terganggu oleh jenis novel yang lain. Tapi tentu saja itu jenis yang sangat ideal buatku, ketika kubaca aku merasa terganggu; bahkan keyakinankeyakinanku juga bisa goyah gitu, bisa membuatku berpikir. Tapi di luar itu tentu saja ada juga novel-novel yang mungkin tidak terlalu menggangguku gitu, tapi pada saat yang sama mungkin sederhana menghiburku, menghibur baik secara emosi, secara intelektual, secara pengetahuan. Artinya, ya, memenuhi hasrat intelek
wawancara khusus Kalau menurut Mas Eka sebagai pegiat sastra, fungsi jurusan sastra Indonesia bagi sastra Indonesia itu sendiri bagaimana? Ya, buat bikin ahli sastra.
resensi
Tapi kenyataannya apakah sudah terjadi seperti itu? Ya, kalau itu sih, kurang tahu juga. Karena aku tidak spesifik, karena pertanyaan yang sama juga bisa ditujukan ketika kamu menanya, misalkan,
fungsi dari fakultas teknik, ya untuk menghasilkan insinyur. Apakah insinyur sudah terbukti? Ya kamu cek saja kalau soal itu: Apakah insinyur sudah bekerja dengan baik apa enggak? []
Bukan Surealisme Tapi Kebebasan Imajinasi Lusiana Indriani
Judul Buku: Saya Tidak Boleh Berbicara Sejak Bayi Demi Kebaikan-Kebaikan Penulis: Edi AH Iyubenu Penerbit: Basabasi
Tahun Terbit: 2017
Tebal: 167 Halaman
Edi Mulyono atau yang sering dikenal dengan nama pena Edi AH Iyubenu merupakan CEO DIVA Press Group dan ketua basabasi.co menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Saya Tidak Boleh Berbicara Sejak Bayi Demi Kebaikan-Kebaikan pada tahun 2017 ini. Kumpulan cerpen ini banyak bercerita tentang imajinasi yang bisa jadi belum pernah dipikirkan sebelumnya oleh pembaca. Judul kumpulan cerpen ini diambil dari salah satu cerpennya dengan judul yang cukup panjang, bercerita tentang keresahan seseorang dan hal-hal yang dibatasi. Edi AH Iyubenu mengatakan bahwa ia tidak menyukai surealisme namun ia semata memuja kebebasan imajinasi dalam bercerita, secara bentuk atau tema, keluasannya, kedalamannya,
ketepatannya, lompatannya, kegilaannya, bahkan ketakterbayangkannya.
Dengan cara ini Edi merasa merdeka dan bahagia. Terdapat tokoh-tokoh yang tidak biasa. Entah memiliki kekuatan, keanehan, dan hal-hal yang misterius. Hal inilah yang membuat pembaca penasaran terhadap jalannya cerita. Awalnya, membaca cerpen pertama pada kumpulan cerpen tersebut yang berjudul “Kenikmatan kenikmatan Yang Belum Dijajal�, sungguh saya tidak mengerti maksud dari cerita cerpen tersebut. Terdapat sosok betina bernama Chimaera berkepala singa, berbadan kambing, berekor ular. Mengapa sosok seperti itu dimunculkan, apa hubungannya dengan tokoh yang lain. Kebingungan saya mengenai cerpen pertama dari kumpulan cerpen Edi AH Iyubenu ini justru membuat penasaran untuk memahami cerita tersebut karena setiap kalimat dalam cerita itu
11
resensi menyimpan teka-teki yang harus dipecahkan. Saya membacanya kembali, setelah selesai kemudian banyak menemukan hal baru yang tidak bisa didapatkan dalam pembacaan pertama. Dari sini juga mulai menikmati jalannya cerita dengan cara mengikuti alur imajinasi yang dibuat Edi AH Iyubenu dalam cerpennya. Kemudian muncul tokoh kakek dalam beberapa cerita yang berbeda. Dalam masingmasing cerita tokoh kakek memiliki karakter yang kuat. Contohnya tokoh kakek pada cerpen Edi AH Iyubenu yang berjudul “Jenazah di Beranda” dalam cerpen ini tokoh kakek melakukan bunuh diri akibat keinginannya tidak dituruti
esai
oleh anak-anaknya. Contoh yang lain terdapat dalam cerpen Edi yang berjudul “Belajar Menjadi Jenazah”, dalam cerita ini yang menjadi tokoh utama adalah tokoh kakek yang sudah lama ditinggal istrinya.
Anak-cucunya telah mempersiapkan segala keperluan jika sewaktuwaktu kakek tiada. Namun kakek justru meminta untuk dipakaikan segala keperluan itu dan ia menunggu kematiannya dengan berdiam diri di kamar. Hal ini unik memang, selain jalan cerita yang penuh imajinasi, pemilihan tokoh dalam cerita juga menambah
penasaran dan ketertarikan pembaca dalam suatu karya sastra. Mengenai hal yang saya pertanyakan mungkin suatu saat nanti dapat terjawab, hanya kebetulan ataukah memang terdapat unsur kesengajaan. Karena diselimuti dengan hal-hal yang tak lazim, ada beberapa bagian yang sulit dimengerti. Bagi yang tidak menyukai sastra mungkin buku ini terasa membosankan. Selebihnya, kumpulan cepen karya Edi AH Iyubenu membuat pembacanya masuk ke dalam cerita dan merasakan sensasi dari imajinasi-imajinasi yang terdapat di dalamnya.[]
Lomba Menulis Cerpen Eksperimental Basabasi: Sebuah Usaha Menyeberangi Perbatasan Syafiq Addarisy
i
“Lomba menulis cerpen eksperimental BasaBasi diperpanjang hingga 15 Oktober 2017!” Begitulah kalimat pertama yang saya baca via WhatsApp beberapa hari lalu. Yang muncul dalam pikiran saya begitu membaca pesan tersebut tenyata adalah dugaan konyol: tidak ada naskah yang masuk—atau kekurangan naskah!
12
Tapi dugaan tersebut berubah ketika kemudian saya teruskan baca pesan tersebut hingga sampai pada, “Ingat, temanya eksperimental yo, jadi cerpenmu kudu beda dan berani menjelajahi wilayah-wilayah atau teknik-teknik menulis yang selama ini jarang tersentuh dalam penulisan cerpen.” Dugaan saya yang muncul kemudian adalah: tidak ada dari naskah yang masuk yang
memenuhi kriteria pihak Basabasi atau tim kurator. Hal tersebut tidak aneh mengingat sulitnya kriteria yang ada, yaitu eksperimentasi, yang karenanya menuntut orisinalitas, dan panjang minimal cerpen. ii
Memang tidak ada yang betulbetul orisinil. Terlebih jika dilihat dengan sudut pandang interteks. Selalu terdengar gaung masa lalu dalam apa
esai yang ada saat ini. Mungkin itu sebabnya Flaubert suatu kali pernah mengatakan bahwa, “Tak ada lagi yang tersisa untuk kita tuliskan.” Sedangkan Sir Arthur Conan Doyle mengatakan, “Tak ada yang baru di bawah matahari.”
Pemahaman di atas bagi saya sendiri benar. Tapi ada semacam ketidaksetujuan dalam benak saya. Ada semacam pemberontakan yang bercokol di akal lalu menjelma sebuah tanya yang mengajak untuk menyangkal: bukankah sastra adalah medium yang tidak beku? Bukankah sastra adalah sebuah dunia imajiner yang kaya? Yang tidak akan kering—(karena) adakah batasan bagi imajinasi?
Karenanya impase yang disangkakan hanyalah omongan tak berdasar. iv
Sungguh, tak ada yang lebih membingungkan dari manusia. Manusia memang unik sekaligus aneh. Suka menghubunghubungkan satu hal dengan yang lainnya; memberi makna padanya; dan semisalnya; dan semacamnya. Tentunya saya pun seperti itu. Itu sebabnya entah kenapa saya tiba-tiba menghubunghubungkan lomba menulis
iii
Kepala saya seperti digedor-gedor sewaktu kaget saat beberapa waktu lalu membaca tentang apa yang disebut “krisis sastra” pada tahun ‘50an. Banyak pihak yang mengatakan bahwa sastra kita jumud; begitu-begitu saja; dan sebagainya; dan seterusnya. Tapi kemudian saya lega ketika tahu bahwa waktu itu Jassin dengan kukuh menyanggah.
Saya bersorak dalam hati ketika membaca pendapat Jassin mengenai hal tersebut. Bahwa penemuan satu puisi paling kecil sekalipun, baginya, adalah tanda bahwa ‘krisis sastra’ tidak ada. Bahwa itu menunjukkan sastra kita tetap hidup.
cerpen eksperimental Basabasi itu dengan ‘krisis sastra’ tahun ‘50an tadi. Jangan-jangan sekarang sedang terjadi krisis sastra? Tapi kemudian pikiran tersebut saya tepis sendiri ketika mengingat pengarangpengarang yang membuat dunia sastra kita heboh setelah itu.
Danarto hadir dengan Godlob dan Adam Ma’rifat-nya. Iwan Simatupang menghentak publik dengan menulis Merahnya Merah dan Ziarah. Putu Wijaya lewat Stasiun dan Telegram-
nya. Sedangkan Budi Darma membikin bergidik para pembaca melalui Orang-Orang Bloomingtoon dan Olenka-nya.
Saya kemudian seakan tersadar bahwa sesungguhnya usaha menuju ke arah itu sudah ada. Setidaknya dengan diterbitkannya Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya. Novel itu (seperti) bukan novel. Tapi novel. Rumit sekaligus sederhana. Serba baru—baik isi apalagi teknik penulisannya.
Contoh lain untuk menunjukkan adanya gelagat ke arah situ adalah, sebut saja, Alkudus karangan Asef Saiful Anwar yang penceritaannya seperti kitab-kitab suci. Bahkan di halaman awal, disebutkan agar para pembaca sekalian menyucikan diri sebelum menyentuhnya dan agar meletakannya di tempat yang tinggi lagi suci. Selain dua judul tersebut, tentu masih ada karya-karya lain. v
Saya lega sekaligus termenung ketika mendengar kabar sayembara menulis cerpen eksperimental yang diadakan oleh Basabasi. Ini tentu tidaklah mudah, batin saya. Mengapa? Jelas, karena dibutuhkan pengetahuan yang cukup untuk mengetahui sejauh mana suatu tema dan suatu gaya sudah dan belum disentuh dalam dunia sastra.
13
esai Hal tersebut tersirat dalam lanjutan pesan WhatsApp di grup Susastra yang berbunyi, “Saran Mimin, banyak-banyak baca cerpen karya para sastrawan Indonesia dan juga penulis dunia agar tulisanmu bisa beda sekaligus ada isinya.” Itu betul. Karena untuk menjadi beda hanya ada satu cara, yaitu dengan, “Membaca semua karya yang ada di dunia,” kata Eka Kurniawan dalam acara Kemah Sastra kemarin. Tapi bukankah itu mustahil? vi
Pada tahun 1974, Yakob Sumardjo membagikan angket kepada para sastrawan yang menghadiri pertemuan sastrawan di Jakarta. Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam angket tersebut adalah mengenai sayembara sastra. Dan dari hasil angket tersebut, ada pihak menyetujui diadakannya sayembara sastra, begitu juga sebaliknya.
Yakob menyimpulkan, yang setuju beranggapan karena sayembara macam itu akan dapat memberi penilaian kualitas karya; memberikan ruang untuk publisitas dengan khalayak yang lebih luas; dan, tentu saja, hadiah! Sedang yang tidak setuju beranggapan bahwa sayembara sastra akan mencemari kreativitas menulis. Bahwa menulis harusnya berdasarkan pada “dorongan dari dalam”. Juga akan membatasi kebebasan pengarang dalam mencipta. vii
Terlepas dari pandangan
14
bahwa semua sudah ada dan sudah dituliskan sebelumnya, lomba menulis cerpen eksperimental Basabasi ini adalah angin segar bagi sastra kita karena merupakan sebuah usaha untuk membuka celah-celah dan kemungkinan-kemungkinan baru bagi dunia sastra kita selebar-lebarnya. Memantik setiap peserta untuk menggali, sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, pengetahuannya tentang sastra. Dan ini bukannya kerja yang membutuhkan pengerahan energi yang sedikit. Setiap peserta harus melampaui apaapa yang sudah diketahuinya. Menguras habis baik pikiran dan tenaga. Dan inilah yang akan membawa seseorang tadi pada garis batas antara apa yang Subagio Sastrowardoyo sebut “intelektualisme dan bakat alam.”
Seorang peserta haruslah memiliki pengetahuan yang cukup untuk kemudian menggabungkannya dengan bakat alamiah bawaannya. Tak cukup ia menuliskan cerita dengan mengandalkan bakat alamiahnya. Tak cukup pula dengan hanya mengedepankan pengetahuannya, melainkan harus berada di antara garis pemisah keduanya untuk menuliskan cerita yang akan ia kirimkan. Karena itu, lomba menulis cerpen eksperimental Basabasi ini adalah usaha untuk menyeberangi perbatasan antara keduanya menuju batas imajinasi paling tepi. Melabrak dan melanggarnya. Serta meneliti dengan jeli, kemung-
kinan dan celah paling tidak lumrah hingga menjadi sebuah cerpen yang beda sekaligus berisi. Itulah mengapa genre dalam lomba menulis cerpen ini adalah bebas sebebasnya. viii
Sastra kita tidaklah pernah mengalami krisis. Selalu ada usaha pembaruan-pembaruan dan pencarian penyampaian yang lebih di dalamnya. Lihat saja gelagat itu yang akan tampak, setidaknya, sejak zaman Belenggu, kemudian polemik Lekra-Manikebu, lalu kredo Sutardji, puisi “Kotak Sembilan” Danarto, puisi rupa, hadirnya novel Cala Ibi, aliran Sastrawangi, hingga puisi esai, dan lain sebagainya. Bahkan setelah mengalami pasangsurut eksperimentasi tersebut, dua novel tersebut dia atas, Kiat Sukses Hancur Lebur dan Alkudus hadir meramaikannya. Permasalahannya: Masih adakah yang tersisa untuk kita tuliskan? ix
Budi Darma mengatakan bahwa sastra adalah dunia jungkir-balik. Bahwa tersimpan kemungkinan-kemungkinan di dalamnya. Dan inilah yang membuat pembicaraan mengenai sastra tidak pernah kering. Karena itu, sastra adalah seperti udara yang tak akan pernah habis. Karena itu pula, masihlah ada yang bisa untuk kita tuliskan. Adakah yang ingin menemani saya untuk berupaya menyeberangi perbatasan?[]
puisi
Menulis Nama Seorang Suami untuk Ibu
Andrian Eksa Barangkali sekolah dasar tak mengajari menuliskan nama suami. Meski dalam mimpi-mimpi Aku melihatmu menyusun huruf-huruf yang jatuh dari air mata, yang selalu kaumasukkan dalam botol kaca. Lalu kautata rapi di dalam kamar di setiap malam tiba.
Namun di setiap bangun tidur, Aku tak pernah mendengar kau menyebut namanya untuk kauajak makan pagi. Dan setiap kutanya, kau hanya menjawab “Dia telah pergi dan tak akan kembali.� Barangkali mimpi memang hanya mimpi, Harapan-harapan yang tumbuh dan akan mati. Yogyakarta, Januari 2017
Biodata Penulis
Riri. Mahasiswa baru 2017. Masih suka-sukanya kuliah.
Akhmad Ilham. Mahasiswa baru 2017. Semangat-semangatnya kuliah.
Lusiana Indriani. Lahir di Madiun, 3 Januari 1999. Menyenangi semua hal yang menyenangkan. Dapat dihubungi di FB: Lusiana Indriani, IG: lusianaindriani, line: lusiana.indriani. Syafiq Addarisy. Senang memancing. Mancing hatimu~ Andrian Eksa. Masih mahasiswa dan sayang orangtua.
Muhammad Fajar Riyadi. Mahasiswa baru 2017. Senang kuliah sejak PKKMB hari pertama.
15
Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan. Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku. W.S Rendra