Buletin Mimesis Edisi 11

Page 1

Kami melipat di sudut halaman, bukan menutupnya

Desember 2015, Edisi sebelas

Cerpen: Ikhsan Karla

Puisi: Suntama Huda Agsefpawan Andrian edisiArif Mimesis 11 Rahmanto

1


PUISI Sajak Terakhir Permadi Suntama ketika itu. batu tak bisa kutitip sajak. dan kertas-kertas tak lagi ada. pohon-pohon tempat kehidupan bersandar telah musnah. tiada terhampar. bumi tempat mahluk mengakar ikut lebur, dalam sajak.

Salam Sapa Susastra :* Izinkan kami bertemu kembali melalui sebuah kumpulan gramatikal ini, karena selayaknya kopi yang masih pantas untuk dinikmati, maka pertemuan kita juga layak untuk diapresiasi.

3.bp.blogspot.com

karang makin lunak. ketika palung makin dalam menarik. aku menulis sajak. dalam air yang mengalir. Yogyakarta, Oktober 2015

Nuansa Natal, Hari Ibu dan Tahun Baru telak menghampiri, siur-siur aromanya tercium sebelum datang biangnya, maka sekali lagi izinkan kami untuk terus berbagi, dalam kesenjangan atau pertemuan yang jarang.

Perjalanan Aku

Tak ada salahnya kopi masih layak dinikmati, dengan aroma Natal, Hari Ibu dan Tahun Baru sebagai pengikat nuansa dan berlarik-larik prosa dan kata dari kami. Tak ada salahnya kita berkarya dan menikmatinya. Tak ada salahnya, tak ada benarnya, tak ada bedanya, semua sama. Selamat menikmati!

aku dilahirkan dengan kepala memangku tubuh menangis. kala pertama bertemu.

Salam.

Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Muhammad Qadhafi, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt | Pemimpin Umum: Zuhdi Ali | Pemimpin Redaksi: Sigit Pritiyanto | Sekretaris: Karla | Staf Redaksi: Rizky Alcantara, Reigina, Inas Adila, Nana Marlina, Puti, Danang S. Budi, Sidiq S. Mandiri | Editor: Anto, Reddy Suzayzt, Irwan Apriansyah, Mawaidi D. Mas, Farid Ansori | Tata Letak: AA

Permadi Suntama

belajar berjalan dalam rangkak dengan tangan. untuk berlari. belum sempat aku berdiri tegak mata ini terpejam. tubuh jadi beku. diukir doa-doa dan ditaburi bunga-bunga. aku kembali serupa pertama dihadirkan. Yogyakarta, Oktober 2015

Mimesis menerima tulisan berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku & film. Surel: susastrakmsi@yahoo.com

2

Mimesis edisi 11

Permadi Suntama. Mahasiswa Sastra Indonesia 2014. Bergiat di LPM Kreativa.

Mimesis edisi 11

3


PUISI

Ulasan sastra Tentang Sejarah dan Cerita

Pisau Penghapus Luka

yang Terburu Dirampungkan

Huda Agsefpawan

Catatan atas Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari oleh: Anto

akan kurobohkan kau dengan pisau yang setiap saat kuasah dengan batuan kali makam keramat, kuasah perlahan-lahan dengan hati tanpa dendam, kuciptakan kesucian supaya kau tak mampu memberi kutukan

akan kutusuk hatimu sebelum jantungmu tepat pada bulan purnama di mana binatang-binatang beradu kasih dan kau hanya menjelma umpatan dan dosa yang siap dilahap kebencianmu sendiri

sebelum itu, aku lekaskan menuju mushala bermabuk doa sehingga habis segala air mata dan pisau ini menghentikan getarannya layaknya prajurit perang yang siap menikam

sebentar lagi aku lekas dari segala luka dan dosa dan riwayatmu kutuliskan pada mata pisau

kualalumpurpost.net

yang senantiasa kuasah dengan doa.

Yogyakarta, 2 November 2015

Huda Agsefpawan lahir di Teluk Betung, Bandar Lampung, 1 Agustus 1994. Aktif dalam organisasi KMSI yang sudah banyak mengeluarkan sastrawan-sastrawan besar. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan sarjana di Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan Sastra Indonesia.

4

Mimesis edisi 11

Barangkali kita sempat berpikir bahwa tulisantulisan sejarah yang pernah kita baca di buku-buku pelajaran sekolah atau diktat-diktat kuliah sejarah adalah sesuatu yang final dan tidak dapat diganggu gugat, sehingga secara tidak langsung kita “dipaksa� begitu saja tunduk tanpa melontarkan keraguan bahkan kritik sedikit pun. Hal ini berbeda ketika kita dihadapkan pada sebuah karya sastra yang bertolak dari peristiwa sejarah. Padahal, kita tidak pernah tahu sefaktual apakah catatan yang dihasilkan ilmu sejarah dan sefiktif apakah realitas yang dihadirkan oleh sebuah karya sastra sehingga tidak dapat diperbandingkan dengan tulisan sejarah1. Sebuah tulisan sejarah bisa saja merupakan kebenaran fiktif, sedangkan karya sastra merupakan kebenaran faktual. Lantas mana yang dapat kita jadikan acuan untuk mengetahui kebenaran masa lampau? Untuk 1 Johan Huizinga, Men and Ideas: History, the Middle Ages, the Renaissance (New York: Meridian Books, Inc., 1958), hlm. 49.

menjawab pertanyaan ini, tentu kita tidak bisa begitu saja menjawab dengan jawaban tunggal. Sebab, kita perlu bersikap kritis terhadap berbagai hal. Terlepas dari seberapa faktual atau fiktifnya sebuah tulisan sejarah dan karya sastra, barangkali novel Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan salah satu yang perlu kita pertimbangkan sebagai karya sastra yang bertolak dari peristiwa sejarah. Sebab, penulisan novel sejarah patut mendapat perhatian sepenuhnya sebagai bahan untuk menanggapi persoalan masa kini berdasarkan peristiwa masa lampau2. Dengan demikian, meskipun kita belum tahu kadar kefiktifan dan kefaktualan realitas yang dihadirkan dalam novel ini, tetapi setidaknya melaluinya kita bisa menemukan ruang-ruang diskursif yang memungkinkan kita untuk bersikap kritis terhadap kebenaran sejarah yang sudah ada. Novel yang ditulis oleh 2 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 184.

Mimesis edisi 11

Ahmad Tohari ini merupakan salah satu dari beberapa novel sejarah yang pernah terbit di negeri ini. Novel tersebut berkisah tentang kegamangan seorang pemuda kampung di tengah pergolakan sejarah pada masa-masa awal lahirnya Republik Indonesia. Dalam novel tersebut, Amid bersama kawankawannya yang awalnya ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI di bawah panji Hizbullah dan kelak bertekad akan bergabung menjadi anggota tentara di masa damai malah berputar haluan menjadi anggota laskar DI/TII yang menentang Pemerintah RI karena suatu insiden. Sebagai anggota laskar DI/ TII, rupanya Amid merasa bimbang ketika kawankawannya harus memerangi saudara setanah air, bahkan seagama. Pada suatu waktu, kekuatan laskar DI/TII semakin melemah dan terdesak. Amid dan kedua temannya menyelamatkan diri dan berlindung di dalam rimba hutan jati. Dalam persembunyiannya, batin Amid semakin

5


berkecamuk. Ia teringat masa ketika dirinya dan kawan-kawannya ikut berperang mempertahankan kedaulatan RI, masa ketika ia dan kawan-kawannya yang hendak bergabung menjadi anggota tentara republik tiba-tiba diserang oleh para tentara dari dalam kereta yang akan mereka tumpangi, masa ketika ia dan Kiai Ngumar berdebat dengan kawan-kawannya yang hendak bergabung dengan laskar DI/TII, masa ketika ia ikut bergabung dengan DI/TII, masa ketika ia dan kawan-kawannya melakukan perlawanan, masa ketika mereka bersitegang dengan barisan bersenjata orang-orang komunis, dan masa ketika ia harus mengawini Umi, anak imam laskar yang ditinggal mati ayahnya. Segala ingatan itu terus berkecamuk hingga menuntut naluri Amid sebagai seorang manusia muncul. Ia mulai merindukan istri dan keluarganya. Ia mulai ragu terhadap apa yang diperjuangkannya selama ini dalam barisan laskar DI/TII. Hal serupa dirasakan pula oleh kedua temannya yang tersisa di kelompoknya. Membaca Lingkar Tanah Lingkar Air, kita tidak hanya dihadapkan pada peristiwa sejarah pergolakan politik pada masa awal lahirnya Republik Indonesia. Kita juga dihadapkan pada kegamangan manusia di

6

tengah pergolakan sejarah yang sering kali menuntutnya untuk mengesampingkan suara hati sebagai manusia karena tuntutan peran mereka sebagai pelaku sejarah. Melalui novel ini, kesetiaan dan pengkhianatan, harapan dan keraguan, kedirian dan kesetiakawanan, serta ironi kemanusiaan dan pertentangan politik pada masa awal berdirinya Republik Indonesia dihadirkan dan dipertentangkan. Sebagai para pemuda, Amid dan kawan-kawan mesti siap sedia ketika negara membutuhkan mereka. Mereka pun membentuk barisan pemuda yang disebut sebagai Hizbullah, barisan pemuda yang dibentuk untuk membantu tentara republik dalam mempertahankan kedaulatan RI. Ketika tiba masa damai, barisan tersebut mesti dibubarkan dan para anggotanya harus kembali ke masyarakat atau ikut bergabung menjadi anggota tentara republik. Akan tetapi bubaran anggota Hizbullah pecah menjadi 2 kubu, yakni kubu yang menghendaki berdirinya negara islam dan kubu yang setia pada negara yang sudah berdiri, termasuk di dalamnya Amid. Kubu yang pertama membentuk laskar DI/TII, sedangkan yang lain berniat untuk bergabung menjadi anggota tentara republik. Kesetiaan kubu kedua terhadap

Mimesis edisi 11 9 Mimesis edisi

pemerinatahan yang sah saat itu harus runtuh begitu saja dan berbalik arah menjadi pemberontak ketika beberapa oknum tentara melakukan penyerangan terhadap mereka yang akan bergabung menjadi anggota tentara republik. Mereka menganggap kesetiaan mereka selama ini dibalas dengan pengkhianatan yang keji. Hal tersebut merupakan salah satu contoh ironi dan pertentangan itu. Ketika manusia berusaha menunjukkan kesetiaannya kepada apa yang diyakininya, ia malah dihadapkan pada pengkhianatan, meskipun kita belum tahu benar siapa dalang di balik pengkhianatan itu. Apakah pengkhianatan itu didalangi oleh pihak komunis, pihak yang menghendaki mereka untuk bergabung dalam laskar DI/ TII, pihak tentara yang tidak menghendaki masuknya bubaran aggota Hizbullah ke dalam ketentaraan republik, atau bahkan pihak pemerintah republik sendiri? Tidak ada detail cerita yang menjelaskan secara pasti siapa pelakunya. Yang kita dapati hanyalah dugaan-dugaan yang belum terjelaskan secara tuntas dan menyisakan ruang kosong yang dapat dimasuki oleh penafsiran pembaca. Tohari sendiri entah menyadarinya atau tidak.

Akan tetapi, adanya ruang kosong tersebut membuktikan bahwa karya sastra memang berbeda dengan tulisan sejarah. Meskipun keduanya samasama berusaha membuat gambaran utuh dan koheren yang dapat dipahami, sanggup menerangkan dan membenarkan diri, serta sebagai hasil dari aktivitas yang otonom, tetap saja keduanya berbeda3. Jika tulisan sejarah memandang fakta sejarah sebagai sesuatu yang begitu padat-keras dan tak dapat diganggu gugat, maka karya sastra malah memandangnya sebagai sesuatu yang fleksibel dan relatif. Jika tulisan sejarah menjadikan fakta sejarah sebagai rekonstruksi peristiwa yang ‘mewajar’ dan terisolir ke dalam dirinya sendiri tanpa mengaitkannya dengan masa kini, maka karya sastra malah menjadikannya sebagai realitas yang ‘menjenuh’ tetapi begitu terbuka terhadap segala kemungkinan dan menarik dirinya ke masa kini. Hal ini membuktikan bahwa karya sastra menyediakan ruangruang diskursif bagi pembacanya. Melalui ruangruang tersebut, pembaca ‘dipersilakan’ untuk ragu, kritis, dan mempertanyakan 3 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 177.

ulang segala yang ada dan (barangkali) telah mapan. Misalnya dalam novel ini, pembaca boleh saja meragukan dan mempertanyakan kembali kebenaran fakta sejarah yang dihadirkan novel tersebut maupun yang ada dalam tulisan sejarah. Pembaca boleh saja mengisi ruang-ruang kosong yang dihadirkan teks sastra dengan penafsiran dan dugaan mereka sendiri. Misalnya dalam mencari tahu siapa dalang di balik penyerangan bubaran Hizbullah yang akan bergabung menjadi anggota tentara republik. Pembaca boleh saja menduga bahwa dalang di balik peristiwa itu adalah pihak komunis, pihak DI/TII sendiri, oknum tentara, bahkan pemerintah republik sendiri. Pembaca juga bisa saja tidak setuju atas gambaran orangorang komunis, laskar DI/ TII, atau barisan pemuda Hizbullah dan tentara republik yang dihadirkan dalam novel tersebut. Segala kemungkinan bisa saja terpikirkan oleh para pembaca, tentu atas dasar pemahaman dan pengalaman pembaca itu sendiri. Sebagai novel yang bertolak dari fakta sejarah, selain menghadirkan peristiwa sejarah dari sudut pandang yang (barangkali) berbeda, yang menarik kemudian adalah bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah

Mimesis edisi 11

dalam novel ini dihadirkan melalui bahasa yang hidup. Artinya, pembaca dapat memperoleh gambaran peristiwa yang hidup melalui penggunaan narasi yang kuat. Melalui kekuatan narasi tersebut, citraan-citraan alam perkampungan, hutan jati, kemarau, dan suasana cerita dapat sampai ke pembaca. Tampaknya Ahmad Tohari masih bertahan dengan kekuatan narasi yang selama ini menjadi ciri khasnya sebagai pengarang fiksi. Misalnya saja kita baca beberapa kalimat pembuka novel ini: Pagi hari musim kemarau di tengah belantara hutan jati adalah kelengangan yang tetap terasa purba. Selain itu, hal menarik lain dari novel sejarah ini adalah kelihaian pengarang dalam menghubungkan setiap bagian cerita. Jika kita baca, sebagian besar peristiwa yang dihadirkan dalam novel tersebut merupakan lamunan dan mimpi Amid. Amid yang pada waktu itu tengah beristirahat di persembunyiannya dalam belantara hutan jati begitu saja terkenang masa lalunya. Lamunan itu timbul-tenggelam dalam pikiran Amid. Yang menarik, lamunan tersebut dapat terjalin secara mulus meskipun si pelamun kadang tersadar dari lamunannya. Tampaknya inilah yang menjadi salah satu kekuatan novel ini dalam

7


CERPEN menghadirkan persitiwa demi peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah tidak saja dihadirkan secara koheren dan berdasarkan sudut pandang yang (barangkali) berbeda pada umumnya, tetapi juga hadir sebagai sesuatu yang hidup dan saya sebut ‘menjenuh’. Akan tetapi, sebagai sebuah novel, tampaknya karya Ahmad Tohari ini tidak dapat lepas dari bayangbayang karya lainnya (yang sejauh ini pernah saya baca) seperti Di Kaki Bukit Cibalak, Kubah, dan Orang-orang Proyek. Pertama, ada bagian yang mirip antara Lingkar Tanah Lingkar Air dan Kubah. Kemiripan tersebut terletak pada bagian di mana tokoh utama kedua novel merasa gamang ketika baru saja dibebaskan dari ruang tahanan (politik?). Keduanya merasa ragu, apakan masyarakat akan menerima kehadiran mereka sebagai eks tapol yang dianggap memberontak terhadap negara. Bedanya, tokoh utama dalam Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan

anggota laskar DI/TII, sedangkan tokoh utama dalam Kubah merupakan anggota PKI. Ketika kembali ke masyarakat, keduanya sama-sama disambut baik oleh keluarga, masyarakat, dan seorang kiai. Lantas, apakah Lingkar Tanah Lingkar Air dan Kubah dari genesis ide yang ‘sama’? Entahlah. Selain itu, ‘keterikatan’ novel ini dengan beberapa novel yang disebutkan sebelumnya terletak pada ‘kelemahan’ dalam mengakhiri cerita. Barangkali Tohari memang bermaksud menyediakan ruang kosong yang dapat diisi oleh para pembacanya, tetapi yang timbul kemudian adalah bahwa beberapa novel yang disebutkan di atas terkesan ‘terburu dirampungkan’. Barangkali hal ini tidak begitu tampak dalam Di Kaki Bukit Cibalak, Kubah, dan Orang-orang Proyek, sebab meskipun memiliki ending cerita yang terkesan ‘terlalu cepat’ dituntaskan tetapi tetap wajar, tidak dipaksakan. Hal ini tentu berbeda halnya

dalam Lingkar Tanah Lingkar Air yang lebih ‘terburu dirampungkan’. Hal ini dikarenakan peristiwaperistiwa pasca-pembebasan Amid jelas memperoleh porsi penceritaan yang kurang pas. Artinya, peristiwaperistiwa tersebut terjadi terlalu singkat namun ‘kropos’. Apalagi ditambah dengan ending cerita yang mematikan Amid begitu saja. Tentu ini memberikan kesan bahwa ending cerita terlalu dipaksakan. Sungguh cerita yang terburu dirampungkan. Tapi bisa jadi Tohari memang menghendaki yang demikian, sebab karya sastra memang selalu menyisakan ruang kosong, bukan?

Tragedi Bulan Juni Ikhsan Abdul Hakim suara.com

Yogyakarta, Desember 2015.

Anto. Mahasiswa Sastra Indonesia 2012. Kegemarannya nongkrong di perpustakaan Mata Baca. Mulai memikirkan skripsi, di samping menulis puisi dan kritik sastra.

Daksa berlari kencang di bawah sinar rembulan yang remang dan hiruk-pikuk warga yang lalu-lalang. Dia berlari kesetanan. Darah mudanya sedang panas.

Menolong mungkin. Atau hanya ingin memuaskan darah mudanya. Tak ada yang tahu. Daksa merasa entah. Lagipula, setiap orang sibuk dengan tragedi itu.

“Daksa! Kemari, naik perahuku.” Seorang lelaki memanggil. Setelah beberapa saat mendorong perahu mereka berlayar menyusul yang lain.

Waktu itu dinihari pertama bulan Juni, seharusnya para nelayan di kampung sibuk berangkat mencari ikan. Tapi tidak kali ini, sekelompok nelayan yang akan pergi dikejutkan dengan puingpuing kapal yang hancur hanyut ke pantai. Dengan cepat kabar itu sampai ke segenap penjuru kampung.

Sesampainya di sana Daksa melihat banyak sekali mayat-mayat yang terbujur kaku. Papan-papan kayu sisa kapal sebagian terseret ombak hingga ke tepi. Orang-orang dengan alat dan penerangan seadanya berlayar untuk mencari mayat. Sinar lampu senter mereka terlihat jelas di keremangan malam lepas pantai. Terkadang jilatan kilat menerangi mereka semua.

Tampak oleh Daksa mayatmayat yang mengapung dihanyut gelombang. Laut sedang bersahabat, tak ada ombak ganas yang mengancam mereka. Dengan sigap satu-persatu mayat dinaikkan ke perahu, untuk kemudian dibawa ke garis pantai.

Daksa yang waktu itu sedang menyiapkan jala sontak ikut berlari ke pantai. Entah karena dorongan apa.

“Lihat, mayat di sana! Ayoh, dayung!” “Tunggu!” Kilat menerangi laut dalam sekedip, tapi yang

1.bp.blogspot.com

8

Mimesis edisi 11

Mimesis edisi 11

9


sekedip itu menampakkan sekelompok mayat yang mengapung di dekat karang. “Kita ke sana saja, di sana lebih banyak.” “Kau gila? Di sana banyak karang!” sahut seseorang ngotot. “Tak apa! Kita semua bisa berenang, airnya sedang tenang. Tapi mayat-mayat itu?” sahut yang lain tak kalah ngototnya. “Hei!” dia memanggil perahu di dekatnya, sambil menuding pada mayat-mayat. “Kau urus yang ini. Ayoh, dayung ke karang itu! Mayat. Di mana-mana adalah mayat. Tak ada yang hidup di antara mereka. Entah siapa. Entah kapal apa. Mungkin korban badai tadi malam. Mereka mengapung kaku. Sebagian tubuhnya lebam-lebam membiru. Sesungguhnya Daksa merasa ngeri waktu itu, tapi darah mudanya berkata lain. “Ayoh naik ke karang, pasti banyak yang tersangkut di sana.” Tanpa menunggu apapun mereka satu persatu naik ke karang. Berjalan ke sisi dan membopong mayat. Dugaan mereka benar, lebih banyak mayat yang tersangkut di sini. Terus begitu, dua orang, satu membawa senter dan satunya mencari menggapai mayatmayat.

10

Hanya debur ombak, sesekali suara petir. Dan orang-orang yang berkecipak menceburkan diri mengais mayat-mayat yang kaku. Dari kejauhan terdengar teriakan, “Tim SAR datang! Tim SAR datang!” “Hei! Sudah cukup! Perahu kita penuh. Ayoh ke tepian dulu.” Orang-orang itu bergegas melompati karang menuju perahu. “Hati-hati! Licin!” “Tunggu!” Daksa berteriak. Telinga mudanya menangkap sesuatu. Suara tangisan bayi. Dia masih mendengar jelas di sela deburan ombak dan bunyi gerak tubuh manusia. Suara bayi yang menangis menjerit-jerit seakan minta tolong. “Dari arah sana!” Tanpa menunggu, Daksa dengan tangkas melompati karang demi karang. Dia ingin segera menemukan bayi itu. “Hei Daksa! Hati-hati.” Tak digubrisnya. Kaki-kakinya tangkas mencengkeram dan melompat bertolak karang. Tak dia rasai lancip tempatnya berpijak. Suara itu makin keras dan jelas. Dia menengok kanankiri mencari si bayi. “Sial, aku lupa bawa senter,” gumamnya dalam hati. Tapi dalam keremangan matanya

Mimesis edisi 11

dengan segera melihat sebuah peti kayu berbungkus kain, tersangkut di pinggiran karang yang lancip. Daksa segera menceburkan diri meraih peti itu. Dan benar saja, sesosok bayi mungil menangis meraung di dalam peti. Kain yang menutupinya basah oleh air laut. “Ada yang hidup! Bayi hidup!” Daksa berteriak ke seisi perahu. “Tunggu! Kami segera ke situ.” “Cup, cup, dek. Kamu aman sekarang.” Dengan penuh kasih Daksa mendekap bayi yang kedinginan itu. Ada setitik rasa haru di hatinya. Daksa menitipkannnya pada orang-orang yang bersiaga di pantai. “Ohh, kasihan sekali nasibmu, Ngger.” Semua orang memandang iba bayi itu. “Beri dia selimut!” Pencarian terus dilanjutkan, puluhan mayat telah terkumpul. Orangorang kampung mencoba mengenali mayat-mayat yang dibaringkan di balai padukuhan. Tapi tak satu pun dari mereka mengenal, malah merasa asing. Mayat-mayat itu tak seperti mereka. Malah bukan dari negara mereka.

Saat pencarian sedang berlangsung, hujan deras disertai angin kencang menerpa. Tim SAR menyuruh warga menepi dulu. Terlalu berbahaya saat ini. *** Hujan deras di luar. Angin bertiup kencang seakan mendendam umat manusia. Sesekali petir meledak bergemuruh di udara. Warga berkumpul di rumah Pak Lurah yang paling besar di kampung. Sambil menikmati teh panas dan hidangan seadanya mereka bercerita dengan semangat

tentang kejadian tadi. Ada cerita hebat, sedih, maupun cerita ngeri. Rupanya hujan dan angin tak mampu menyela perbincangan seru warga kampung itu. Perlahan, hujan mulai reda. Tiupan angin kencang sudah berhenti sedari tadi. Gemuruh petir nyaris habis tak bersisa. Namun orangorang itu masih saja sibuk bercakap-cakap. Hingga akhirnya Pak Lurah menyela. “Bapak-bapak, ini sedikit informasi dari tim SAR: para korban adalah imigran gelap dari Timur Tengah. Tak ada yang selamat.”

“Inalillahi...” Mereka bergumam sendiri-sendiri. “Tunggu!” Daksa berteriak berdiri dengan wajah bertanya, “bukankah ada seorang yang selamat? Seorang bayi?” “O, bayi yang kau selamatkan tadi, Daksa? Maaf, dia barusan meninggal karena kedinginan.” Daksa terdiam. Kali itu dia kembali merasa entah. Tapi perasaan itu terlalu berat dan sesak untuk dibilang entah.

Gunungkidul, 28 Juni 2015

Ikhsan Abdul Hakim, lahir pada tanggal 15 Mei 1997 di Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Saat ini menempuh pendidikan S1 Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Bergiat di Susastra. Cerpennya mendapatkan juara 2 di lomba cerita rakyat Kemendikbud.

“Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya

di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan.” (Bumi Manusia, h. 233)

Sepertinya Tuhan tak mengizinkan orang-orang merampungkan pekerjaan mereka saat itu juga.

Pramoedya Ananta Toer

Mimesis edisi 11

11


ngemeng Dari Student Hidjo yang Disembunyikan Hingga Mengapa Harus Balai Pustaka Sebagai Nama Angkatan Sastra Oleh: Zuhdi Ali

Membaca Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, mengingkatkan saya akan beberapa hal. Masa kolonial, penjajahan, Tirto Adhi Soerjo, Minke, Tetralogi Buru, Pramoedya, perlawanan, pemberontakan, penindasan, hingga periodesasi dan angkatan sastra Indonesia, Balai Pustaka, semua silih berganti berkelebat dalam ingatan. Membaca Student Hidjo, seolah membuka lembar awal pergerakkan perlawanan terhadap kolonial maupun dalam dunia sastra itu sendiri. Dalam kasanah kesusastraan Indonesia, Student Hidjo atau Marco Kartodikromo memang tidak sepopuler Siti Nurbaya atau Marah Rusli. Keduanya (Marco dan karyanya) juga begitu jarang diperkenalkan sebagai bagian dari kesejarahan sastra Indonesia. Dalam dunia pendidikan dasar, menengah, sampai tinggi, jarang sekali—bahkan hampir tidak ada—bahwa dua hal tersebut adalah sesuatu yang patut diingat dalam kesusastraan maupun

12

pergerakkan awal Indonesia melawan kolonial. Kita hanya diperkenalkan pada Siti Nurbaya, Marah Rusli, Azab dan Sengsara, Merari Siregar, dan karya serta pengarang dari Sumatra lainnya. Itu mungkin yang menjadi sebab kenapa periodesasi dan angkatan sastra Indonesia hingga Balai Pustaka berkelebat ketika saya membaca Student Hidjo, mengingat novel ini juga lahir pada zaman tersebut. Dan satu lagi, novel ini, dari beberapa sumber, juga tidak kalah menyita perhatian dibanding novel yang sekarang kita ketahui sebagai pelopor di tahun 20-an. Balai Pustaka adalah sebuah penerbitan yang dipakai pemerintah kolonial sebagai alat untuk menghegemoni kekuasaan. Lembaga yang awalnya merupakan komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat ini, setelah mentranformasikan dirinya menjadi sebuah penerbitan, justru menjadi alat ampuh pemerintah kolonial menenangkan masyarakat.

Mimesis edisi 11

Balai Pustaka mempunyai persyaratan yang sangat ketat untuk menerbitkan sebuah buku. Buku yang hendak terbit di Balai Pustaka, tidak boleh menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Dalam arti sederhana, buku itu tidak boleh mengandung unsur-unsur yang menentang pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka seolah-olah tidak lagi menjadi sebuah penerbitan, melainkan pabrik obat tidur. Lembaga ini bertugas seolah-olah ingin berbuat baik mencerdaskan masyarakat Bumiputra. Di sisi lain, pendidikan lewat buku-buku yang diterbitkan itu hanya untuk membuat masyarakat menjadi tenang, nyaman, dan tidak memberontak tentunya. Dia membuat rakyat tertidur, namun seolah-olah sedang menikmati kebahagiaan. Ini yang membuat mengapa Student Hidjo tidak masuk kriteria untuk diterbitkan di Balai Pustaka. Student Hidjo yang menampilkan semangat kesetaraan antara Pribumi dan bangsa Belanda, akan

sangat berbahaya untuk kelanggengan pemerintah kolonial. Student Hidjo yang walau tetap mengambil percintaan sebagai tema besarnya, seperti yang memang umum terjadi pada waktu itu, tapi sangat jelas bahwa Mas Marco berusaha menyelipkan api semangat perlawanan kepada Pemerintah Kolonial dengan segala hegemoninya. Student Hidjo menceritakan seorang terpelajar Pribumi bernama Hidjo yang hendak melanjutkan sekolahnya ke negeri Belanda. Di sini, Mas Marco benar-benar menampilkan tokohnya sebagaimana layaknya manusia yang mempunyai kesejajaran dengan bangsa mana pun, termasuk Eropa. Hidjo bahkan bisa memperintah orang Belanda ketika berada di sana. Dia juga diceritakan berhubungan dengan gadis Belanda, yang di sini, lagilagi tidak ditampilkan adanya perbedaan yang lebih rendah antara bangsa satu dengan yang lain. Mas Marco juga menjunjung bagaimana orang dan budaya Hindia sebenarnya lewat tokoh orang Belanda yaitu Betje dan Controleur Walter. Betje yang jatuh cinta kepada Hidjo, diceritakan sangat menyukai masakan jawa dan juga warga

kulit Hidjo yang kemerahan. Di sini, Mas Marco ingin menyampaikan bahwa tak ada perbedaan strata antar bangsa berwarna kulit berbeda. Mas Marco, walaupun tidak banyak dan utuh, juga membawa sebuah pergerakan besar yang saat itu sedang berkembang yaitu Sarikat Islam. Mas Marco benarbenar ingin membakar semangat perlawanan untuk kesetaraan derajat antara Pribumi dan orang Belanda. Sampai di sini, bukan hal yang aneh jika Student Hidjo memang tidak masuk dalam kriteria Balai Pustaka. Bahkan, dan memang umum untuk menyebut buku-buku yang terbit di luar Balai Pustaka, Student Hidjo dianggap sebagai bacaan liar. Pertanyaan selanjutnya, yang mungkin bisa dijawab sekaligus dipertanggung jawabkan oleh para kritikus sastra yang membuat periodesasi dan angkatan sastra Indonesia, mengapa periode 20-an harus dinamakan sebagai angkatan Balai Pustaka?

karya sastra penting lainnya yang tidak diterbitkan Balai Pustaka. Sebut saja karya-karya Mas Marco Kartodikromo, Tirto Adhi Soerjo, dan Semaun. Apakah kita pernah diberitahu karyakarya itu yang juga memiliki andil sebagai pelopor dunia kesusastraan modern Indonesia hingga sebagai pelopor gerakan perlawanan terhadap kolonialisme? Kedua, karena Balai Pustaka ada alat hegemoni kekuasaan pemerintahan kolonial. Sehingga kita jika hanya mengenal karya Balai Pustaka tanpa mencari tahu karya lainnya, kita hanya akan menjadi andil untuk melanggengkan hegemoni tersebut dalam konsep berpikir. Sudah seharusnya para kritikus sastra memikirkan nama lain untuk angkatan itu, atau jika memang sudah terlanjur, sudah seharusnya mempersiapkan pertanggungjawaban atas itu.

Zuhdi Ali. Penggemar Persipura.

Pertama, Balai Pustaka adalah sebuah penerbitan. Agak kurang objektif memakainya sebagai nama sebuah angkatan sastra dalam sebuah periode tertentu. Dan imbas lain, pemakaian nama ini akan menyembunyikan

Mimesis edisi 11

13


PUISI

PUISI KEPADA N. Andrian Eksa Izinkan kutitipkan namamu pada kata-kata sebab aku percaya, hidup ini tak tentu. Meski maut bukan lagi rahasia tetapi waktu tetap tak bicara, tentang Tiba sebelum tiba.

static.inilah.com

Demikian jika aku tiada Ia datang padamu sebagai pernyataan cinta. 2015

Berawal dari Sajak Arif Rahmanto Hanya dari tangan usil Tinta akan muncul Yang sedikit demi sedikit menjadi tulisan Untuk siap disajikan Jika kita kupas Sajak bukan hanya sekedar Memainkan kata-kata belaka Bukan juga hanyutkan perasaan jiwa Apalagi membuat pusing kepala Para penyelam lautan petuah

KISAH SEDIH DI HARI YANG LALU Andrian Eksa (... perjalanan dan peperangan ...)

Berawal dari sajak Kita bisa ungkapkan perasaan jiwa Dimulai dari Luapan gejolak gembira img06.deviantart.net

Mengucurnya isakan air mata Atau apapun macamnya yang ada

Alengka tak ubahnya semula duka dan tangis tetap ada. Meski peperangan telah usai dan Rama datang membawa damai, namun ia ragu atas diri Sinta yang suci.

Adakalanya Curahkan dengan Gelombang kertas lalu tumpahkan mutiara huruf yang terserak di dalam otak manusia Tulisan ibarat cahaya

Dalam nyala api Kesetiaan lindap di tubuh Sinta. (setelahnya barangkali mengabu dan diterbangkan angin dan berlalu)

Berkelipnya suatu karya Memang pencipta akan tentukan kecil besarnya Ledakan suatu bintang baru Agar dunia sastra semakin seru Di tengah-tengah jaman mesin menderu

Usai keraguan tinggallah kesia-siaan.

Andrian Eksa, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2014 FBS UNY. Bergiat di Sangkala.

2015

14

Yang akan pastikan

Mimesis edisi 11

Arif Rahmanto, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2015 FBS UNY. Suka menulis puisi.

Mimesis edisi 11

15


CERPEN Ia melanjutkan percakapannya. Tanah Marjono dan saudarasaudaranya digunakan untuk pembangunan sebuah pusat perbelanjaan beserta hotel berbintang lima. Jalanan yang dulu lengang sekarang menjadi semakin ribut oleh kaleng-kaleng beroda empat. Asap yang mengepul setiap hari dengan sayup. Terlebih dengan dibangunnya jembatan layang yang semakin membuat jalanan menjadi carut marut. Lahan di bawah jembatan layang menjadi ciut.

Marjono Oleh: Karla

solopos.com

“Pak, tak sudilah kami dulu memberikan mereka air, jika akhirnya kami dirundung kemelaratan.” *** Aminah menggendong anaknya yang berumur kurang lebih tiga tahun. Ditemani seorang laki-laki berbadan kekar, kira-kira umurnya sudah menginjak setengah abad. Di tangan Ibu itu, menengadah sebuah mangkuk berisi bubur nasi yang terlihat kental. “Sapinya berapa?” tanya seorang Ibu kepada anaknya. “Dua.” Jawab sang anak dengan muka berseri dan masih putih.

16

“Loh, kok dua. Ada tiga.” Timpal sang Ayah, Marjono, laki-laki di samping anak itu.

“Rumahnya mana, Mas?”

Sang anak hanya terkekeh melihat Ayahnya yang membenarkan jari-jarinya sehingga menunjukkan jumlah bilangan tiga. Mereka duduk di samping kandang sapi untuk menghilangkan rasa letih yang menghampirinya.

“Loh, kok jauh sekali, Mas. Lihat sapi sampai sini, nak yo hampir setengah jam to perjalanan?”

Ada seorang Bapak-bapak tua, Pak Wahono namanya, pemilik sapi di tengah kota Yogyakarta. Ia menghampiri sepasang keluarga kecil itu. Bertanya, selayaknya orang desa yang masih ramah menanyakan di mana asalnya.

Marjono menarik nafas panjang. Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, ada semut yang masuk ke dalam celananya. Dia diam beberapa saat, sedangkan Aminah berkeliling untuk mendekat ke arah sapi-sapi.

Mimesis edisi 11

“Saya Keron, Pak.”

“Iya, Pak. Aslinya cuma belakang Mall MJJ itu kok. Tapi kami pindah, Pak.” “Oalah, hla kok pindah?”

Suara-suara bising air condotioner mulai mengganggu warga sekitar. Udara menjadi panas, lebih panas dari dulu, sebelum adanya hotel di manamana. Dahulu pohon-pohon melingkupi setiap ruas jalan yang terlihat lebar. Air menjadi keruh, tercemar adanya pembuangan limbah yang tidak menentu tempatnya. “Pak, kami sekarang kekeringan air. Hotel dan mall itu membuat sumur bor dengan panjang seratus

meter. Apalah yang dapat kami perbuat. Kami tidak mempertimbangkan hal itu.” “Wah, iya itu. Manusia yang diberikan uang berlebih itu memang sukanya jajan yang aneh-aneh dan merusak, Mas.” “Jika dahulu kami benarbenar memikirkan apa yang sekiranya terjadi, tak sudilah kami dulu memberikan mereka air, jika akhirnya kami dirundung kemelaratan. Dulu kami menerima mereka kelewat baik. Kami jamu mereka sebagai mana menjamu tamu istimewa. Maklumlah, Pak, dandanan mereka kelewat necis untuk kami jamu seadaanya. Tak pantas rasanya. Baru kami sadari bahwa sikap ramah mereka dulu cuma menginginkan tanah kami. Dan kami tanpa sadar dan rasa kehilangan, karena iming-iming uang ganti yang begitu banyak, maklumlah, Pak, orang miskin dikasih uang segitu mana bisa nolak, tanah kami terbeli oleh mereka. Saya sendiri menyesal melakukannya, Pak.”

“Sudah, Mas. Takdir ini tak dapat diubah.” “Hla, iya, Pak. begitu.” “Ya sudah, Mas. Orang seperti kita ya bisanya cuma bersyukur dan nrimo, Mas. Kersaning kuasa. Keadaan seperti ini juga sudah tidak bisa diubah, Mas. Manusia tidak punya kuasa dan kekuatan untuk mengubah apa yang diciptakan-Nya.” Semilir angin di bawah pohon sukun membelai muka Marjono yang semakin merah padam. Matanya sedikit berair, dan memerah. Sementara sang anak, merengek meminta pulang untuk ganti popok. Mereka berpamitan, Marjono mengusap air mata yang belum sempat menetes di wajahnya.

Karla. Mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2013 ini banyak bergiat di Susastra, Perpustakaan Mata Baca, dan baru saja mementaskan teater bersama Teater Amurti.

“Kampus tanpa seni adalah kebun binatang.” Suminto A. Sayuti

Mimesis edisi 11

17


BUKU Resensi Buku Melipat JarakSapardi Djoko Damono (Rizky Alcantara)

Penulis: Sapardi Djoko Damono Penerbit: Gramedia Terbit: November 2015 Halaman: 178 Ukuran: 135 x 200 mm

Siapa tidak mengenal sosok Sapardi Djoko Damono? Pujangga yang dikenal melalui puisipuisinya yang sederhana ini kembali menerbitkan sebuah kumpulan buku puisi terbaru. Adalah Melipat Jarak antologi puisi Eyang—sapaan Sapardi Djoko Damono— yang berisi 75 sajak yang

18

dipilih dari buku-buku yang pernah diterbitkan antara tahun 1998-2015. Bukubuku itu antara lain: Arloji, Ayat-ayat Api, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Mata Jendela, Kolam, Namaku Sita, Sutradara itu menghapus Dialog Kita, dan Babad Batu. Pada antologi kali ini Sapardi tidak mengangkat

Mimesis edisi 11

kisah-kisah romantis. Akan tetapi beliau memunculkan kemarahan-kemarahan pada puisinya. Sebut saja kemarahan-kemarahan kasus Marsinah, peristiwa Trisakti, dan perempuan yang tak sampai cintanya.

Hujan Bulan Juni tentu akan terjadi kontras peristiwa yang sangat jelas. Pada antologi tersebut Sapardi menyuguhkan tentang cinta dan keromantisan, maka Melipat Jarak berisi tentang kegeraman terhadap keadaan. Dalam perjalanannya antologi ini hampir tidak memiliki kebaharuan. Yap, semua puisi-puisi yang ada pada Melipat Jarak sudah pernah diterbitkan sebelumnya. Hanya saja— menurut penulis—antologi tersebut berasal dari puisipuisi yang bertema sejenis, digabungkan menjadi satu dan terciptalah sebuah antologi. Akan tetapi melihat usia Sapardi yang hampir tiga per empat abad lamanya dan menjadi pujangga tersohor negeri sangat tidak mungkin apabila hal ini

disebut sebagai kemalasan Sapardi dalam berkarya (karena mengumpulkan puisi yang sudah ada). Tapi lebih kepada nilai prestise dan mengingatkan memori kaum pembaca, bahwa puisipuisi tersebut pernah ada dan hendaknya diwadahkan dalam tempat khusus. Dan pada akhirnya wadah itu adalah sebuah antologi Melipat Jarak. Di lain sisi puisi-puisi tentang kegeraman pada kasus Trisakti memang sudah banyak dilahirkan oleh pujangga-pujangga lain. Akan tetapi antologi Melipat Jarak menyuguhkannya dalam hal lain. Contohnya saja pada puisi Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996, Sapardi menuliskan dengan bahasa yang lembut tetapi membuat pembaca dipaksa untuk hidup di zaman itu. Atau pun kasus Marsinah, yang jelas-

jelas dalam antologi tersebut dituliskan secara sederhana namun elegan. Terlepas dari kasus Trisakti dan Marsinah, antologi ini juga berisi beberapa puisi ringan. Tiga Sajak Kecil, Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta, Tentu, Kau Boleh, adalah contoh-contoh kecil dari kecerdikan Sapardi menyelipkan puisi yang ringan dalam hegemoninya terhadap kegeramankegeraman dan kasus-kasus buruk masa lalu. Masih banyak hal-hal menarik yang bisa digali dari Antologi Melipat Jarak. Buku yang berjumlah 178 halaman ini tentu sangat enak dibaca dalam kondisi hujan ringan seperti sekarang. Bersegeralah menggali kasuskasus Trisakti dan Marsinah lainnya. Sebelum musim berganti.

Rizky Alcantara, mahasiswa Sastra Indonesia 2013. Aktif di Susastra. Lahir di Klaten, 26 Juni 1995.

Jika kita mau sedikit membandingkan dan flashback pada antologi puisi Sapardi sebelumnya,

Mimesis edisi 11

19


FILM No Escape, Salah Tempat

imdb.com

Sutradara: John Erick Dowdle Produser: Drew Dowdle; Michael Wagner; David Lancaster Penulis: John Erick Dowdle; Drew Dowdle Pemain: Owen Wilson; Lake Bell; Sterling Jerins; Claire Geare; Pierce Brosnan. Produksi: Bold Films; Brothers Dowdle Rilis: August 17, 2015 (Los Angeles premiere); August 26, 2015 (United States)

Film yang disutradai oleh John Errick Dowdle memiliki atensi sendiri dalam jalan ceritanya. Luput mendapat award atau nominasi apapun tidak mengurangi keseruan film ini. Film ini berlatar di Thailand dan sempat dicekal oleh pemerintah Kamboja. Sebuah masyarakat yang memberontak, membunuh siapapun yang terlihat, tak terkecuali warga asing. Membuat Jack Dwyer (Owen Wilson) beserta keluarganya harus survival dari amukan masyarakat, menolak atas perusahan air yang didirikan oleh negara adikuasa. Masalah yang kompleks hadir setiap menit dalam film ini. Seperti yang kita ketahui, pemberontak selalu dicap antagonis atau brutal, dalam berapa film Hollywood. Padahal dalam film ini,

20

masyarakat pemberontak bersuara demi negara, namun perspektif penonton bisa beragam; ada yang mencap warga Thailand adalah suku barbar, atau tak berbeda dengan negara kita (Indonesia), ada yang beranggapan apa yang dilakukan mereka adalah bentuk suara dari ketidaksepakatan terhadap kebijakan pemerintah. No Escape memberikan suspend yang tak tanggungtanggung, dinamika degup jantung dimainkan secara rapi. Istri Jack Dwyer, Annie (Lake Bell) merasakan budaya yang timpang ketika sampai di dunia ketiga, beruntung ada seorang warga negara Amerika yang diperankan oleh Pierce Brosnan dan penduduk lokal yang diperankan oleh Sahajak

Mimesis edisi 11

Boonthanakit, membantu keluarga mereka dari buta arah. Berawal dari Jack Dwyer yang ingin membaca koran, dan harus mencarinya di sebuah toko yang cukup jauh dari hotel tempatnya menginap, konflik mulai muncul secara brutal, chaos dan andrenalin yang akan dikuras habis selama 2/3 film. Bagian akhir dari film bergenre action, thriller dirasa kurang menggigit, tapi setidaknya para penonton dapat mengatakan pada diri sendiri, “semua dapat terjadi pada siapa saja.� Rating imdb 6,8/10. Danang S. Budi. Penggemar film selain cerpen, dan karya sastra lain.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.