Juni 2015, Edisi Kesembilan
doc. google
“Menulis adalah sebuah keberanian…” Pramoedya Ananta Toer PUISI:
Subrata, Fajrul Fitrianto, E. Rantojati CERPEN: Batu yang Hilang (Anita) Mimesis edisi 9
1
Susastra KMSI Menyapa :* Salam Sastra! Hal yang sangat patut disyukuri karena kami masih bisa menerbitkan buletin Mimesis edisi ke-9 ini. Banyak sajian atau hidangan dari pembuka sampai penutup yang sekiranya akan membantu dalam menikmati secangkir kopi, agar mata kita lebih terbuka pada kehidupan. Sajak-sajak dan cerita dalam buletin kali ini-seperti biasa, akan menaklukkan hati siapapun yang sedang kantuk dan tetap terjaga dari dirinya. Alangkah agung jika kita tetap menyembah ketiadaan dalam fikiran, maka, Mimesis mungkin dapat membantu untuk menodai keagungan itu. Tidaklah berat manusia untuk berfikir dan bertindak, mengisi setiap kekosongan dengan dengungan yang pantas. Seperti apa yang kerapkali Mimesis derapkan, “yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi,� merupakan penghianatan pada kekosongan yang ada. Sastra tidak hanya bicara, sastra adalah memoria. Maka dengan hadirnya Mimesis, diharapkan menjadi referensi atau setidaknya goresan untuk memulai sebuah kata dan pada akhirnya memulai menghubungan memori yang ingin tetap abadi. Maka, tak ada kata yang pantas untuk sekiranya menghentikan sapaan ini untuk para pembaca dan penikmat, tetapi sebuah tanda baca bisa melakukanya. Hehe. Redaksi
Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Rozi Kembara, Muhammad Qadhafi, Dendy Tjipto Setjabudi, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt Pemimpin Umum: Zuhdi Ali Pemimpin Redaksi: Sigit Pritiyanto Sekretaris: Karla Staf Redaksi: Julitasari, Reigina, Inas Adila, Nana Marlina, Puti, Hary, Ambar, Nita, Ovi, Suntama Editor: Anto, Reddy Suzayzt, Irwan Apriansyah, Mawaidi D. Mas, Muhammad Farid Ansori Tata Letak: Rizky Alcantara Ilustrasi: Kelanajati, Muhammad Thoriq Aufar Kantor Redaksi: Komplek Polri Gowok Blok E1 No. 202
2
Mimesis menerima tulisan berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku & film. Surel: susastrakmsi@yahoo.com
Mimesis edisi 9
PUISI Sajak Bulan Mei : kj inilah sajak cinta proklamasi kemerdekaanku pancang prasasti semesta jiwaku bendera merah berkibar dan gagah menggelora seisi dada membakar gairah mudaku lihatlah jaman telah terbit semburat emasnya menyala kemana angin menuju kuikuti dengan pasti, hai kekasih
oleh Thoriq Aufar
langit telah menampakkan takdirnya dan derap jutaan lars mengisi bumi aku akan mengenakan sepatuku bergegas menyambutnya bukankah hidup adalah perjudian kalah atau menang biasa tapi bukan demikian kenyataannya kitalah yang mesti memilih hidup bukan hanya hitam dan putih kecil dan besar salah dan benar tetapi menyiasati keadaan keduanya maka kunyatakan ini cinta dengan segala sakit tak terperi sebelum jaman semakin menelanku hingga tiada sisa selain sajak ini Yogyakarta, 12 Rajab Ahad Kliwon menyambut Jaman Baru, Kalasuba Joko Bledheg *Subrata. Penggemar kopi.
3 Mimesis edisi 9
ESAI Surat Buat Pramoedya Joko Gesang Santoso
Bung ... Atas dasar apa surat ini dibuat, saya tidak perlu sampaikan. Apakah surat ini akan sampai kepada Bung nantinya juga bukan hal yang saya pedulikan sangat. Bung ... Adalah saya, orang muda yang belum sempat berkenalan dengan Bung sebelumnya, begitu mengagumi huruf-huruf yang Bung ciptakan. Bahkan, mungkin banyak orang di seluruh dunia sana, menyimpan kumpulan hurufhuruf Bung di rak bukunya. Ya, huruf-huruf itu, seberapa berartinya huruf bagi kemanusiaan, itulah yang akan kita bicarakan di sini. Bung sendiri pernah menulis sebuah puisi yang berjudul Huruf seperti berikut ini.
Huruf Wahai huruf, Bertahun kupelajari kau,
Kucari faedah dan artimu, Kudekati kau saban hari, Saban aku jaga, Kutatap dikau dengan pengharapan, Pengharapan yang tidak jauh Dari hendak ingin dapat dan tahu. Tetapi; kecewa hatiku. Kupergunakan kamu Menjadi senjata di alam kanan, Agaknya belum juga berfaedah Seperti yang kuhendakkan. Selalu dikau kususun rapi Di atas kertas pengharapan yang maha tinggi, Tetapi ... Bilalah aku diliputi asap kemenyan sari, Tak kuasa aku menyusun kamu Hingga susunan itu dapat dirasakan pula Oleh segenap dunia Sebagai yang kurasa pada waktu itu. Alangkah akan tinggi ucapan Terima kasihku, bilalah kamu Menjadi buku terbuka, Bagi manusia yang membacanya. Kalaulah aku direndam lautan api, Hendaklah kamu merendam pembacamu,
4 Mimesis edisi 9
Bilalah aku disedu pilu, Hendaklah kamu merana dalam hatinya. Huruf, huruf ... Apalah nian sebabnya maka kamu Belum tahu maksudku?
Apa yang Bung harapkan dari huruf? Apa yang Bung bebankan daripadanya sehingga Bung begitu menyanjung dan menyayangi layaknya anak Bung sendiri? Bung, huruf, yang kemudian kita kenal sebagai bahasa, pernah diperjuangkan kemandiriannya sebagai ilmu. Salah satunya dengan menempatkan dalil-dalil daripadanya. Kita masingmasing mengenal Ludwig Josef Johann Wittgenstein si ahli bahasa keturunan Yahudi itu. Cara berpikirnya amatlah atomistis, yang dibuktikannya dengan menyebut bahwa bahasa haruslah terbebas dari tiga hal, yang disebutnya dengan The Mystical. Tiga hal itu adalah: aku, Tuhan, dan kematian. Hal pertama, yaitu aku, tentu
merujuk pada subjektivitas. Maksudnya antara lain bahwa subjektivitas itu sendiri tidak bisa dijangkau oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Hal kedua, yaitu Tuhan, dengan alasan bahwa Tuhan tidak pernah menampakkan diri di dunia, maka layaknya aku tadi, Tuhan tidak bisa dibicarakan dalam bahasa sebagai fakta. Hal terakhir adalah kematian, yaitu bahwa kematian itu sendiri bukan bagian dari dunia. Orang dapat melihat seseorang lainnya mati, tetapi tidak pernah paham dengan kematian itu sendiri. Bung ... Huruf serupa itu tentu bukan huruf yang Bung harapharapkan. Suatu kali, ketika saya sedang mengajar mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah kampus, saya melontarkan pertanyaan ringan, “Coba sebutkan, apa yang bukan bahasa di dunia ini?� Walaupun pertanyaan serupa itu saya anggap pertanyaan ringan, tetapi reaksinya cukup lumayan. Tampaknya mahasiswamahasiswa itu menjadi berpikir sungguh-sungguh. Barangkali mereka mulai mencari apa yang bukan bahasa di dunia ini. Setelah saya tunggu beberapa saat ternyata tidak satu pun menjawab. Saya perhatikan wajah mereka satu persatu. Tampak ada yang masih serius berpikir. Ada yang menggaruk bagian kepalanya. Ada yang menunduk untuk menghindari tatapan mata saya.
Dan, Bung tahu ... Semenjak saat itu, mahasiswa-mahasiswa tersebut tidak pernah meremehkan kuliah bahasa dan sastra Indonesia. Alangkah terkejutnya saya sebelumnya, bahwa ternyata mereka tidaklah terlalu percaya diri kuliah di jurusan itu. Ketika mereka menyadari bahwa tidak ada di dunia ini yang bukan bahasa, artinya semua yang ada di dalam pikiran mereka, di dunia ini adalah bahasa, mereka tampak begitu bersemangat kuliah. Mereka nyata menjadi sadar pentingnya huruf itu sendiri, Bung! Barangkali demikian juga dalil Gadamer yang mengatakan bahwa pikiran adalah bahasa, dan oleh karenanya huruf itu sendiri. Tetapi, Bung ... Bukankah huruf mengajarkan individualitas? Huruf menciptakan ruangruang bagi individu untuk menjadi invidualistis? Bukankah yang demikian itu menjauhkan sifat-sifat dasar kemanusiaan sebagai makhluk sosial? Jadi, apakah benar dunia memang Bukan Pasar Malam? Masing-masing manusia terlahir sebagai individu dan mati tidak lain juga sebagai individu? Saya ingat kata-kata Bung yang berbunyi demikian: “Individualitas tidak diajarkan dalam keluarga kita. Keberanian individual tidak pernah ada, kecuali di Aceh. Yang ada adalah semangat kelompok saja. Masyarakat kita berani hanya kalau mereka berada dalam satu kelompok. Hasilnya,
Mimesis Mimesisedisi edisi99
ya, seperti yang banyak terjadi sekarang ini: tawuran desa lawan desa, kampung lawan kampung, pelajar lawan pelajar, bahkan tawuran mahasiswa lawan mahasiswa! Semua ini begini karena kurangnya individualitas dan kepribadian.�
Ah, Bung ..., hal ini memang menggelikan. Bagaimana tidak? Alih-alih belajar berani secara individu, masyarakat kita sekarang lebih dikenal dengan masyarakat maju mundur cantik. Mau maju atau kembali mundur asal cantik. Jadi, persetan dengan pendirian, yang terpenting di masyarakat kita sekarang ini adalah muka yang dipatutpatut sedemikan rupa. Bagian permukaan yang otomatis menjadi primer, sementara bagian isi yang seharusnya primer justru dianggap senseless. Apa yang dipercaya umum, itulah yang dipercaya oleh individu. Hal demikian mendorong individu tidak sebagai individu seutuhnya, tetapi sebagai, dan bahkan sangat bergantung terhadap banyak individu yang lain. Pikiran individu hampir tidak berlaku, yang berlaku justru pikiran massa. Tidak peduli massa itu siapa saja, ketika massa mengagungkan sesuatu, maka agunglah sesuatu itu bagi individu. Bung ... Dalam sebuah workshop di sebuah balai bahasa, ada seorang pembicara yang begitu bersemangat menyampaikan materinya. Tetapi, di meja
5
paling belakang, terlihat seorang pegawai balai bahasa sedang asyik mengasah batu akik yang menempel di jarinya. Cara mengasahnya persis: maju mundur cantik, di atas permukaan kain celananya. Pegawai balai bahasa itu tidak peduli apa yang dibicarakan pembicara, tetapi justru berkonsentrasi dengan akik di jarinya. Akik, Bung ... entah Bung menyebutnya apa, juga utopia yang sama dari masyarakat kita. Akik menjelma ruang antik bagi individu untuk sekian makna utopia yang beragam. Ragam ruang makna demikian, barangkali yang disebut Michel Foucault dengan heterotopia. Masyarakat maju mundur cantik, ataupun masyarakat akik itu, perlu Bung ketahui juga telah melahirkan angkatan baru dalam sastra. Ah, sayang Bung belum mengenal facebook, salah satu gambaran global village yang telah lama diramalkan itu! Saban hari, banyaklah angkatan-angkatan muda memberi selamat pada kelahiran buku sastranya sendiri. Bung tahu? Dengan uang, siapa saja bisa menerbitkan karya sastranya dengan begitu mudahnya. Dengan hal yang sama pula, ia bisa membayar pembicara kondang untuk membahas karyanya. Bahkan, teman kuliah saya, di kampus terkenal, dalam dua semester telah menerbitkan
dua kumpulan puisi. Kumpulan puisi tersebut usut punya usut adalah coretancoretan di facebook yang dikumpulkannya. Atas hal itu, karibnya menjadi sangat malu, dan berkata kepada saya, “Bagaimana ia bisa berbuat semacam itu sementara ia adalah intelektual!� Namun, Huruf ... seperti kata Bung sendiri: Tetapi; kecewa hatiku. Kupergunakan kamu Menjadi senjata di alam kanan, Agaknya belum juga berfaedah Seperti yang kuhendakkan. Selalu dikau kususun rapi Di atas kertas pengharapan yang maha tinggi
harapan tinggi yang dibebankan kepadanya tidaklah berjalan seperti apa yang diinginkan. Barangkali masyarakat sekarang tidak perlu merasa melawan apa yang Bung sebut dengan alam kanan, yaitu kekuasaan itu. Apa sebab? Kita mungkin saling memahami bahwa manusia alam kanan itu sekarang membangun konstruksi, meracik strukturasi-strukturasi, membentengi diri dengan tatanan yang nyaris suci semacam Sacred Canopy. Berniat bertanya atau mengkritisi saja hukumnya haram, apalagi bertanya atau mengkritik sungguhan. Huruf, Bung, di era sekarang mungkin tidak akan mengantarkan kemanusiaan pada tatanan yang adil dan beradab. Mungkin benar apa yang dilakukan Stuart Hall
6 Mimesis edisi 9
dengan Cultural Studies-nya, dan barangkali juga Pierre Bordieu, bahwa jika huruf, bahasa, ilmu, filsafat, tidak cukup mengatasi ketimpangan sosial, maka tindakanlah yang diperlukan. Tetapi, belum lagi bertindak lebih jauh, Bung sendiri mengatakan bahwa bumi manusia ini sudah selalu berada dalam rumah kaca. Segala tindakan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab sudah selalu kalah. Dari situ, barulah saya mengerti apa yang Bung gelisahkan sendiri selama ini, yaitu mengapa Bung terbakar amarah sendirian, dan selalu berharap ingin lihat semua ini berakhir. Barangkali happy land somewhere itu memang belum pernah ada, atau tidak ada sama sekali. Kemanusiaan yang adil dan beradab masih nowhere. Dan, huruf itu Bung, masih maju mundur cantik, serta utopis macam batu akik. Dan, ah, saya malu, janganjangan saya juga salah satu yang maju mundur cantik itu, atau yang meruang nyaman dalam gilang-gemilang batu akik? Sudahlah, sebaiknya saya akhiri pembicaraan ini. Terima kasih. Salam. Yogyakarta, 07 Mei 2015 Joko Gesang Santoso. Alumni Sastra Indonesia UNY 2003. Sekarang mengajar di PBSI UST Yogyakarta. Surat ini disampaikan pada Malam Penghargaan Lomba Esai tentang Pramoedya, Laboratorium Karawitan, FBS, UNY 09 Mei 2015.
Cerpen Batu yang Hilang Anita Nurrohmah
Kota yang tenang. Sangat tenang hingga kau tak akan menyangka ada kehidupan di dalam sana. Sebuah kota mungil pinggiran yang dikelilingi barisan pegunungan tinggi menjulang. Aman dan nyaman, tak pernah ada keributan. Semua hidup dengan tenang, setenang cemara yang bisa kau pandang dari kejauhan. Penduduknya rukun dan menyenangkan, tak pernah ada yang berselisih atau bersalah paham. Seharusnya kau senang hidup di kota seperti itu. Namun, tidak dengan seorang polisi yang duduk gelisah di balik meja kerjanya. Ia sudah bertahun-tahun bekerja menjadi seorang polisi. Saking damainya tempat tersebut tak pernah satu kasus pun ia tangani. Hanya melamun dan melamun di ruangannya. Polisi itu merasa hanya makan gaji buta. Tak ada kebanggaan yang bisa ia ceritakan pada anaknya. Tak ada kasus yang bisa ia diskusikan dengan istrinya. Ia merasa tak ada bedanya
dengan pengangguran. Ia merasa kota ini tak butuh polisi, kota ini lebih membutuhkan badut untuk hiburan. Lalu apakah ia harus beralih profesi menjadi badut? Atau pemain drama saja? Ia rasa wajahnya cukup tampan. Di tengah lamunannya, datanglah orang bawahannya membawa sebuah kasus yang selama ini ia rindukan. Maka berseri-serilah wajah kusutnya. Ia sambut opsir itu dengan senyum merekah. “Kasus apa yang kamu bawa itu, Opsir?” tanya Si Polisi. “Bukan kasus yang besar, Pak. Hanya kasus pencurian ringan,” jawabnya. “Ah apa pun itu, hargailah pekerjaanmu, Opsir. Sudah lama kita tidak bergerak. Apa kamu tak malu pada anak istrimu?” “Iya, Pak.” Opsir itu
tersenyum sambil undur diri. Sepeninggalnya, Polisi itu mulai membaca kasus pertamanya dengan antusias. Ia agak mengerutkan kening. “Kasus pencurian batu? Kenapa ada orang yang mau-maunya mencuri batu? Dan kenapa pula ada orang yang melaporkan kehilangan batu?” Si Polisi tak habis pikir. Untuk menghilangkan rasa penasarannya sekaligus mempertajam kejelasan kasus ini, maka si Polisi memanggil si pelapor keesokan harinya. Ternyata si korban adalah Pak Kumis, tetangganya sendiri. Maka ia tanyakan perihal laporan Pak Kumis mengenai batunya. “Betulkah Pak Kumis kehilangan sebuah batu?” “Betul, Pak,” jawab Pak Kumis dengan tenang. “Betulkah Pak Kumis yakin kalau batu itu hilang karena dicuri?” “Betul, Pak.” Polisi menghela nafas sejenak. Agak memberi jeda untuk pertanyaan selanjutnya.
7 Mimesis edisi 9
“Betulkah itu hanya sebuah batu? Kenapa sampai Anda laporkan ke polisi? Toh cari lagi di sungai juga banyak.” Bukannya menjawab, Pak Kumis malah berang. Ia melonjak sambil menggebrak meja. “Hanya sebuah batu? Anda tidak tahu itu bukan hanya sebuah batu. Batu itu sangat penting untuk keluarga saya. Anda tidak mengerti pak polisi!” Jantung si Polisi berdegup kencang. Baru kali ini ia dibentak. Penduduk kotanya bisa juga membentak, pikirnya. “Tenang, Pak Kumis. Maafkan kekeliruan saya. Sebaiknya Anda ceritakan kronologisnya agar saya mengerti dan tidak terjadi kesalahpahaman,” jawab Si Polisi menenangkan. “Batu itu saya dapatkan dari kota sebelah. Anda tahu kan untuk sampai di kota sebelah, kita harus melewati gunung dan sungai dulu.” Polisi itu manggutmanggut. “Di Kota sebelah, batu semacam itu sedang banyak digandrungi orang. Baik laki-laki maupun perempuan, banyak yang memakainya ke mana pun. Saya diberi oleh kenalan saya, siapa tahu laku mahal. Maka saya bawa pulang untuk dijual ke pasar esok paginya. Tapi di luar dugaan, batu itu malah hilang. Batu itu hendak saya jual untuk membeli ayam. Ayam-ayam
8
itu hendak saya ternakkan. Dari hasil ternak ayam bisa buat beli beras. Buat makan anak-anak saya. Jika anakanak saya tidak makan, anak saya bisa mati, Pak. Bapak mau tanggung jawab kalau anak-anak saya mati?” Pak Polisi agak terkejut dengan kembalinya emosi Pak Kumis. Ia mencoba tersenyum untuk menenangkan. Pak Kumis melanjutkan cerita panjangnya. “Pencuri ini tidak bisa dibiarkan, Pak. Harus segera ditangkap! Bukan hanya mencuri, Pak. Ia mencoba membunuh anak-anak saya. Karena ia mencuri batu itu, maka anak saya bisa mati kelaparan.” Pak Polisi tersentak dengan akhir cerita Pak Kumis. Maka kasus pencurian tersebut naik tingkat menjadi kasus rencana pembunuhan. Tak ingin membuang waktu, Pak Polisi langsung mencari jejak si pelaku keesokan harinya. Mulamula ia mendatangi rumah Pak Kumis. Hari itu ia amat sibuk. Jika biasanya ia hanya duduk-duduk saja di ruang kerjanya, maka ini hari yang istimewa. “Kapan terakhir kalinya Bapak melihat batu itu?” tanyanya pada Pak Kumis. “Dua hari yang lalu, Pak. Dua hari yang lalu batu itu digosok anak sulung saya.” jawab Pak Kumis sejujurnya. Pak Polisi pun menanyai anak Pak Kumis. “Apa benar kamu menggosok batu ayahmu
Mimesis edisi 9
dua hari yang lalu, Nak?” tanyanya dengan ramah. “I-iya, Pak. Siang itu s-saya menggosoknya agar mengkilap. Tapi sumpah, Pak! Bukan saya pencurinya.” Anak itu buruburu menambahkan dengan ketakutan. “Tidak, Nak. Tidak ada yang menuduhmu mencurinya, tapi di mana kau letakan setelah kau gosok?” “Saya menjemurnya di atas jerami, Pak. Batu itu bersinar-sinar di bawah matahari, Pak. Tapi setelah itu saya bermain ke padang rumput dengan temanteman.” “Lalu di mana jerami itu sekarang?” “Setiap sore jerami itu diambil oleh Pak Jenggot untuk makan ternak, Pak.” “Jadi Pak Jenggot yang mencuri batuku?” sela Pak Kumis dengan lantangnya. “Sabar, Pak. Tenang dulu, belum tentu ia pelakunya. Sebaiknya kita tanyakan langsung pada Pak Jenggot.” Maka berangkatlah Pak Polisi dan Pak Kumis ke rumah Pak Jenggot. *** “Yang saya ambil itu jerami bukan batu! Apa Pak Polisi tidak mengerti bahasa saya? kenapa Bapak menuduh saya sebagai pencuri?” “Maaf, Pak. Saya tidak menuduh Bapak. Saya hanya bertanya, sebaiknya Bapak jawab saja di mana jerami itu sekarang.” Lagi-lagi Pak Polisi dikejutkan oleh
bentakan penduduk kotanya. “Yaa sudah dimakan sapi saya. Jerami itu kan memang buat makan sapi saya.” “Lalu di mana sapi Bapak sekarang?” “Sudah saya jual ke Nyonya Gemuk yang tinggal di atas bukit.” Maka bergegaslah mereka ke rumah Nyonya Gemuk. Dan seperti yang sudah ditebak Pak Polisi, Nyonya Gemuk marahmarah. “Jadi sapi yang saya beli itu memiliki barang curian? Dan Anda kemari karena merasa barang curian itu kini ada pada saya? Anda merendahkan harga diri saya, Pak Polisi.” “Saya tidak menuduh Anda mencuri. Baiknya Anda katakan saja di mana sapi itu sekarang,” jawab Pak Polisi tenang karena mulai terbiasa dengan perangai pendudukya yang baru saja ia ketahui belangnya. “Sudah saya giling dagingnya di tempat Kakek Bertopi,” jawab Nyonya Gemuk sama angkuhnya sejak semula. Maka penyelidikan berlanjut ke rumah Kakek Bertopi. Tidak seperti lainnya yang menjawab dengan marah atau ketakutan, Kakek Bertopi menjawabnya dengan biasa. “Iya benar, Pak. Nyonya Gemuk menggilingkan daging sapi di tempat saya. dan seperti biasa, penggiling itu saya cuci di sungai setelah digunakan.”
Maka sudah bisa ditebak, mereka kini menuju sungai. Sebenarnya Pak polisi sedikit bingung untuk memulai pencarian di sungai. Apakah ia akan menyusuri sungai atau menyelam ke dalamnya? Beruntung di situ ada seorang pemuda mabuk yang sedang memancing. “Hei, Pemuda! Apakah kamu melihat batu Pak Kumis di sekitar sini?” “Benar, Pak. Saya menemukan batu menarik saat memancing. Bentuknya indah dan bersinar-sinar,” jawab pemuda itu dengan riangnya. Berserilah wajah Pak Polisi dan Pak Kumis. Penyelidikan melelahkan mereka akan segera berakhir. “Di mana batu itu sekarang, hei, Pemuda?” “Sebentar, Pak Polisi.” Pemuda Mabuk mengaisngais kantung kumalnya. Mengeluarkan sebuah batu... Bukan, itu batu karang. “Bukan itu batu saya, Pak Polisi. Batu saya kecil dan hijau warnanya. Batu kecil untuk dibuat cincin. Bukan batu berlubang-lubang untuk rumah ikan.” Pak Polisi bingung dan kecewa. Ternyata mereka salah dan penyelidikan ini masih harus dilanjutkan. “Apa batu Anda berbentuk bulat seperti bisul dan mengkilat licin sebesar kelereng, Pak Kumis?” tanya Pemuda Mabuk itu. “Ahh benar, benar. Apa kamu pernah melihatnya?” “Pernah, Pak. Saya lihat batu itu diambil orang di
Mimesis edisi 9
atas jerami.” Mata Pak Polisi dan Pak Kumis membelalak. Sontak mereka melontarkan pertanyaan yang sama. “Siapa yang mencurinya, Pemuda?” “I-ibu Anda, Pak Polisi.” “Ibuku?” *** Pak Polisi telah sampai di rumah ibunya. Kini ia bersimpuh dan menangis di depan ibunya. “Oh, Ibu. Kenapa kau lakukan ini, Ibu? Tidakkah Ibu tahu berat hukumannya untuk sebuah rencana pembunuhan?” “Ibu tidak pernah menyangka, Anakku. Air yang tenang akan keruh setelah dilempari batu. Ibu tak tahu, Anakku. Ikan akan terlihat belang setelah dikelupas sisiknya. Tapi satu yang Ibu tahu. Seorang Ibu akan melakukan apa saja untuk anaknya. Agar kau mendapat pekerjaan, Ibu rela selamanya membusuk di penjara asal kau bahagia bersama keluargamu. Maafkan Ibu, Anakku.” Sang Ibu membelai lembut kepala putranya. Buliran bening menggenang di sudut mata rentanya. Namun, ia tersenyum lega. Yogyakarta, 27 April 2015 Anita Nurrohmah. Mahasiswa Sastra Indonesia 2014. Gemar membaca dan mengabadikan peristiwa lewat teks berita maupun cerpen.
9
KRITIK SASTRA Anomali dan Pertanyaan yang Belum Terjawab E. Rantojati Kota-kota Imajiner karya Italo Calvino mengingatkan saya pada beberapa cerpen Eko Triono dalam himpunan Kakek dan Ceritacerita Lainnya. Memang, keduanya bukanlah dua hal yang patut dipersamakan, akan tetapi pada cara-cara tertentu, keduanya memiliki kecenderungan yang sama. Baik Kota-kota Imajiner maupun beberapa cerpen dalam Kakek dan Ceritacerita Lainnya sama-sama menghadirkan ketidaklaziman bentuk. Membaca cerpencerpen Eko, kita akan dihadapkan pada bentuk karya sastra yang nyeleneh dari kebiasaan umum. Melalui ketidaklaziman tersebut, kita akan diajak untuk mempertanyakan kembali apa dan untuk apa karya sastra ditulis. Munculnya pertanyaan semacam itu didasari oleh keliaran Eko yang menerobos berbagai konvensi bahasa dan sastra yang berlaku secara umum. Pada tataran bahasa, keliaran Eko paling jelas dapat kita jumpai pada cerpen “Aku ini Ibumu”. Pada cerpen ini, Eko melepaskan diri dari kaidah sintaksis bahasa Indonesia. Bayangkan saja bagaimana jadinya jika sebuah cerpen hanya tersusun dari serangkaian kata, frasa, dan klausa yang berentetan
10
tanpa dapat dikatakan sebagai sebuah kalimat ataupun paragraf, misalnya. Kemudian pada tataran sastra, keliaran Eko dapat kita jumpai pada beberapa cerpennya, seperti “Kebahagiaan”, “Anak Manis”, “Pasangan”, “Menjadi Makhluk Asing”, dan “Aku ini Ibumu”. Pada cerpen-cerpen tersebut, pembaca dihadapkan pada cerpen-cerpen yang terlalu pendek─jika harus dikatakan sebagai cerpen. Bahkan beberapa di antaranya lebih condong ke arah puisi, puisi prosaik. Mengapa dapat dikatakan demikian? Seperti yang kita ketahui, lazimnya sebuah cerpen biasanya tersusun atas 10005000 kata (Suryaman, 2012: 10). Akan tetapi beberapa tulisan Eko menunjukkan adanya penyimpangan terhadap konvensi tersebut, contohnya cerpen “Anak Manis”. Dalam cerpen tersebut, kita dihadapkan pada kaburnya batas antara cerita pendek, cerita mini, dan puisi. Jika kita bertanya itu cerpen ataukah puisi, tentu kita beranggapan bahwa itu cerpen, sebab Kakek dan Cerita-cerita Lainnya merupakan sehimpunan cerita pendek. Akan tetapi “rasa” puisi prosaik pun dapat kita rasakan dalam cerita tersebut. Dengan demikian, adalah hal yang wajar jika pembaca akan terpancing untuk mempertanyakan
Mimesis edisi 9
kembali hakikat cerpen itu sendiri setelah membaca tulisantulisan Eko yang demikian menyimpang. Sebagai pengarang yang masih tergolong muda, barangkali keliaran Eko dalam menidak-lazimkan beberapa cerpennya merupakan bagian dari proses eksplorasi dan pencarian identitas kepenulisannya yang lebih matang. Akan tetapi, di samping itu, tampaknya ada permasalahan yang cukup serius yang ingin disampaikan Eko kepada sidang pembaca. Sebab, patut kita sadari bahwa penyimpangan yang dilakukan Eko bukanlah penyimpangan yang nirsadar. Artinya, sebagai seorang pengarang yang karyakaryanya beberapa kali berhasil menembus media nasional, adalah hal yang sulit diterima jika penyimpangan yang ia lakukan tanpa didasari motif tertentu, sementara beberapa tulisannya memang diakui sebagai karya yang sesuai dengan konvensi media. Bentuk cerpen-cerpen Eko yang demikian pada dasarnya dapat dipandang sebagai respon pengarang terhadap media masa cetak yang menerapkan beberapa konvensi sastra, yang pada sisi lain sebenarnya merupakan problematika tersendiri bagi para pengarang. Anggapan masyarakat umum yang memandang penerbitan dan media masa cetak sebagai elemen yang mampu memberikan legitimasi terhadap
identitas kepengarangan seseorang masih menjadi mitos yang cukup kuat bagi para pengarang untuk bekerja keras demi diterima oleh media dan penerbitan. Di sisi lain, ketatnya persaingan antarpengarang menjadi permasalahan tersendiri, terlebih lagi jika di beberapa media masih memenara-gadingkan nama-nama besar yang mendominasi dunia kesusastraan, yang kerap kali mendepak pengarangpengarang baru tanpa mempertimbangkan mutu tulisannya. Sementara itu, kiblat beberapa media yang bertolak dari kepentingan pasar dan selera redaktur sering kali melumpuhkan idealisme dan kreativitas para pengarang. Barangkali oleh karenanyalah Eko merasa perlu melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap konvensi sastra yang berlaku sebagai bentuk penyikapan terhadap fenomena tersebut. Sebab, secara tidak langsung, konvensi-konvensi sastra yang selama ini kita pegang pada dasarnya merupakan konvensi yang diterapkan media berdasarkan kepentingan rubrik dan selera pasar. Bisa dibilang, kasus semacam itu sama halnya dengan konvensi sastra Nota Rinkes yang berlaku di Balai Pustaka pada masa Hindia Belanda. Bedanya hanya terletak pada kepentingannya, jika Nota Rinkes bertolak pada kepentingan politik pemerintah kolonial, sedangkan konvensi sastra
(media) saat ini sering kali bertolak pada kepentingan pasar dan selera redaktur. Sehingga bukan hal aneh jika sastra dianggap sebagai komoditas kapital. Barangkali atas dasar itulah Eko menghadirkan ketidaklaziman pada cerpen-cerpennya demi mempertanyakan kembali hakikat sastra itu sndiri. Tidak berhenti di situ. Pada satu sisi, bentuk cerpen-cerpen Eko yang menyimpang pada satu sisi dapat dipandang sebagai bagian dari gerak postmodernisme. Sebagai seorang pengarang yang “liar�, Eko menempatkan karyakaryanya sebagai sang lian yang muncul ke permukaan demi menjungkirbalikkan kemapanan sastra mainstream dalam kancah kesusastraan Indonesia. Cerpen-cerpennya yang demikian seakan menghilangkan batasbatas yang berlaku dalam kesusastraan: mana puisi, mana cerita pendek, mana cerita mini, dsb. Tulisantulisannya meluncur begitu saja tanpa terbentur kendali konvensi. Namun, benarkah demikian? Ternyata pada sisi lain, sepak terjang Eko dalam melampaui batasan-batasan kesusastraan semacam ini barangkali masih belum bisa dikatakan sebagai bentuk kesusastraan postmodern seutuhnya. Akan tetapi lebih ke arah eksplorasi gagasan demi mencapai invensi sastra itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, saya kira apa yang dilakukan Eko pada
Mimesis edisi 9
dasarnya tidak dapat terlepas dari kungkungan konvensi sastra itu sendiri, merupakan tegangan antara invensi dan konvensi sastra yang dianggap oleh Teeuw sebagai gejala yang biasa dalam dunia kesusastraan. Selain itu, gejala yang dilakukan Eko sebenarnya jauh sebelumnya telah dilakukan oleh pengarang-pengarang luar− untuk masalah ini saya tidak akan membahasnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keliaran Eko Triono dalam menerobos konvensi bahasa dan sastra─utamanya, bukanlah gejala yang tanpa didasari motif-motif tertentu. Ketidaklaziman yang dilakukan Eko pada satu sisi merupakan eksplorasi kepenulisannya, sedangkan pada sisi lain juga dapat dipandang sebagai bentuk penyikapan diri terhadap fenomena kesusastraan yang ada. Seolah ia ingin mempertanyakan kembali hakikat sastra. Kemudian, pertanyaannya berlanjut pada seberapa pentingkah media dalam melegitimasi identitas kepengarangan seseorang. Akhirnya secara tidak langsung, kita pun diajak untuk kembali berpikir seberapa pentingkah ideologi kepenulisan bagi seorang pengarang, serta untuk apa suatu karya sastra ditulis dan diterbitkan. Jawabannya tentu saja harus saya kembalikan pada masing-masing pribadi. *E. Rantojati
11
PUISI Tentang Merelakan pulanglah ketika badai datang; di rumah ini, ada peluk yang selalu menunggumu. pergilah ketika hari hujan; jauh di sana, ada tubuh yang selalu menunggu hangatmu.
oleh Thoriq Aufar
Ngaglik, Sleman 21/01/2015
Sebelum Kepergian
Hadiah ada yang menunggumu di akhir kemarau di pinggir danau kering itu.
tidurlah, kita hanya berteman suntuk malam ini, tak ada bulan lagi selain lilin berapi kecil dan selukis pusara yang tak pernah ingin kutulis apa-apa dengan namamu.
dia terengah setelah berlari sambil mendekap hujan di dadanya : hadiah yang kau inginkan dulu.
tinggallah, biar kita berteman suntuk malam ini, aku masih ingin mengabadikanmu. Ngaglik, Sleman 17/01/2015
Ngaglik, Sleman 22/01/2015
Fajrul Fitrianto. Mahasiswa jurusan PBI UNY. Menggemari kegiatan menggambar dan sesekali menulis sejak entah kapan. Curhatannya dapat dikepoin di alfadjrrr.tumblr.com
12 Mimesis edisi 9
FILM Fast And Furious 7: Dendam yang Belum Usai
Tumpasnya pemimpin geng asal London, Owen Shaw (Luke Evans) dalam Fast & Furious 6, rupanya menyisakan masalah bagi Dom dan kawan-kawan. Kakak Owen, Deckard Shaw (Jason Staham), hendak membalas dendam. Deckard bukan sembarang orang, ia adalah orang yang mempunyai keahlian khusus karena dulu sering disewa pemerintah Inggris untuk menuntaskan misi rahasia. Sementara itu, Dom dan Brian bertekad tidak mau lagi kehilangan kawan-kawannya, sehingga mau tidak mau mereka harus meladeni Deckard. Seorang agen operasi rahasia pemerintah (Kurt Russell) menawarkan bantuan kepada Dom dan Brian untuk melawan Deckard. Namun, dengan syarat mereka harus membantu mengambil sebuah program peretasan
Sutradara: JAMES WAN Penulis Naskah: CHRIS MORGAN, GARY SCOTT THOMPSON Bintang: VIN DIESEL, PAUL WALKER, DWAYNE JOHNSON Rating IMDP: 7.7/10 Genre: ACTION, CRIME, THRILLER Rilis: 3 APRIL 2015 (USA)
komputer yang canggih dan berbahaya. Dikarenakan program dan penciptanya ada di tangan teroris berbahaya, Jakande (Djimon Hounsou). Kini Dom, Brian, dan kawankawan mereka yang tersisa harus mengatasi dua masalah ini, demi melindungi keluarga mereka. Akankah mereka berhasil dengan misinya? Sekadar mengingatkan, seri Fast & Furious berawal
dari kisah seorang agen FBI, Brian O’Conner (Paul Walker) menyusup ke sebuah geng mobil di Los Angeles yang dikepalai Dom Toretto (Vin Diesel), yang diduga terlibat dalam beberapa pembajakan kendaraan niaga. Dom, Brian dan kawan-kawan sebagai satu tim menyelesaikan misimisi di berbagai tempat di dunia, umumnya yang berkaitan dengan kejahatan underworld, dan selalu terjadi di saat mereka berniat mundur dari dunia kekerasan. Apa pun itu, segalanya dibuat supaya dapat memfasilitasi adegan kebut-kebutan mobilmobil cantik yang memacu adrenalin di tempat-tempat ekstrim. Dengan mengingat hal itu, akan sangat keliru bila menyaksikan Fast & Furious 7 dengan harapan akan
13 Mimesis edisi 9
ada perubahan, selain dari adegan-adegan action-nya. Konten di Fast & Furious 7 hampir tidak ada bedanya dengan film-film sebelumnya. Yang ditampilkan hanyalah perubahan formasi tokohtokohnya, tampilan mobil-mobil baru yang keren, lokasi-lokasi baru, dan memunculkan tokoh antagonis yang baru—kali ini ada dua orang. Terlihat nyata bahwa keberadaan dua tokoh antagonis sekaligus menyebabkan fokus cerita jadi terbelah dan berkepanjangan, serta keberadaan tokoh-tokoh yang baru jadi kurang menancap dan agak sia-sia. Tetapi, itu
semua jadi tidak relevan, sebab bukan itu yang dicari dari film ini. Lalu apa yang dicari? Aksi kebut-kebutan dan pertarungan brutal yang membuat adrenalin penonton terus terjaga selama filmnya diputar. Unsur-unsur tersebut disajikan dengan luar biasa di film ini, dengan laju yang cepat, gambargambar gemerlap, dan soundtrack menghentak. Cerita film ini juga akhirnya dimodifikasi dengan mengarahkan tokoh Brian yang akan pensiun, setelah sekian tahun beraksi bersama Dom yang jadi sahabat dan saudaranya. Paling tidak, ini bakal jadi kenangan yang
baik bagi para pengikut dan penggemar Paul Walker. Sekali lagi, keunggulan sekaligus kesalahan dari Fast & Furious 7 adalah menyajikan apa yang penonton ingin saksikan setelah membeli tiket di bioskop. Ceritanya mungkin hanya berputar-putar di situ saja, ditambah prinsipprinsip sains yang diabaikan dan juga klimaks yang serba kebetulan. Tetapi, yang penting dalam film Furious 7 ini semua perbedaan warna kulit, ras, bahasa, akan tersingkir. Satu-satunya yang kita lihat adalah persaudaraan.
Rizky Alcantara, disamping menulis cerpen juga giat beternak ikan.
Pemenang Lomba Esai tentang Pramoedya Ananta Toer JUARA I Mohammad Takdir Ilahi (Yogyakarta) Melawan dengan Karya Sastra: Belajar dari Pengalaman Kreatif Pramoedya Ananta Toer JUARA II M. Zunaidi Nasir (Blora) Pramoedya, Anak Semua Bangsa JUARA III Udji Kayang Aditya Supriyanto (Surakarta) Orang-Orang yang Tak Masuk Hitungan
14 Mimesis edisi 9
ESAI PEMENANG Orang-0rang yang Tak Masuk Hitungan (Mempertemukan Pram dengan Ranciere) Udji Kayang Aditya Supriyanto
“Kadang-kadang saya merasa sangat terisolasi. Saya hidup di dunia saya sendiri, dan hal ini seperti berada di pengasingan. Saya tidak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan.”1 Pasca pembantaian besarbesaran terhadap orang-orang (yang dituduh) simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), situasi politik di Indonesia berubah drastis. Bukan itu saja, ditinjau dari aspek kemanusiaan, Indonesia mundur berpuluh tahun, atau bahkan ratusan? Entah, yang pasti kondisi sosial-politik di Indonesia tak mengalami perbaikan. Meskipun di permukaan, mata kita disilaukan oleh ingar-bingar pembangunan di semua sektor. Soeharto, yang muncul sebagai “bapak” baru pada Oktober 1965, sangat berbeda dengan bapak presiden yang pertama. Jika Sukarno dikenal dengan suara bariton lewat pidatonya dalam bahasa Indonesia, Soeharto diperkenalkan 1 Andre Vltchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian!, Jakarta: KPG, 2006, hlm. xxv.
sebagai smiling general.2 Artinya, Soeharto lebih menguasai “mata” kita ketimbang Sukarno yang hanya meminta rakyatnya untuk “mendengar”. Padahal, bagi sebagian besar dari kita kebenaran lebih didekatkan ke mata ketimbang telinga. Aduh! Pasca kemerdekaan, harus diakui bahwa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru adalah peristiwa politik terbesar di Indonesia. Sebelum itu sebetulnya ada agresi militer Belanda, tapi toh tak begitu berbahaya, meski riuh juga. Sebabnya, saat itu negeri kita sudah punya satu pegangan yang memastikan serangan dari luar bisa digagalkan. Jelas, pegangan termaksud ialah persatuan dan kesatuan yang dipupuk founding father kita. Pada saat transisi Orde Lama menuju Orde Baru, tentu saja jauh lebih membahayakan. Persatuan dan kesatuan bangsa, yang efektif sebagai tameng dari serangan pihak luar, justru yang pertama dirobohkan. Kalangan komunis yang sedang mapan saat itu, sebab kedekatan PKI 2 Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik, Jakarta: Nalar, 2009, hlm. 34.
Mimesis edisi 9
dengan Sukarno, dijadikan objek serangan. Sebagai satu dari tiga kubu besar di Orde Lama, kaum nasionalis tak bisa begitu saja mengalahkan komunis. Maka mereka pakai kaum agamis sebagai senjata bantuan, dengan doktrin bahwa komunis mendakwahkan ateisme. Dua lawan satu, sudah jelas siapa yang kalah. Tetap saja, meski terpaksa, perubahan kondisi sosialpolitik adalah niscaya. Kita mesti menerima perubahan itu dalam kemakluman, kecuali kejahatannya. Sejarah sama sekali tidak dapat diubah, lantaran keterlanjurannya. Anggap saja proses pendewasaan bangsa, proses yang berdarah-darah. Mulai Orde Lama yang hanya berkutat pada soal pembangunan karakter bangsa, darahdarah ditumpahkan untuk mengalihkan orientasi pembangunan. Tatkala Orde Baru, banyak orang yang dihilangkan secara misterius, guna mengeliminasi penghambat agenda pembangunan. Agaknya, orang-orang hilang
15
itu tak akan dipulangkan, kecuali berpulang ke sisi Tuhan. Proses reformasi yang sukses melengserkan Soeharto nantinya pun mesti menempuh jalan kerusuhan, bakal ada aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Astaga! Mereka yang Tak Masuk Hitungan Konon, Indonesia adalah negara demokrasi, namun mengapa peristiwa melanggar kemanusiaan di masa lalu bisa terjadi? Seperti yang kita tahu, demokrasi berarti rakyat berkuasa, yang berasal dari kata Yunani: demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan).3 Tapi, Jacques Ranciere mendakwa bahwa pada mulanya konsep politik sendiri adalah konsep yang bermasalah dan bertentangan dengan dirinya sendiri, persis karena sewaktu demos didefinisikan, ada pihak yang sengaja tidak “dihitung sebagai bagian” darinya.4 Artinya, demos hanya mengacu pada rakyat yang dihitung, bukannya keseluruhan rakyat. Dalam konteks Indonesia, maka “pihak yang sengaja tak dihitung sebagai bagian” sudah cukup jelas. Komunisme, terkhusus PKI, ialah korban nyata dari kekejian ini. Lucunya, orangorang yang bukan anggota 3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2010, hlm. 105. 4 F. Budi Hardiman, dkk., Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Salihara, 2011, hlm. 37.
PKI dan bahkan mereka yang sama sekali tak tahumenahu soal komunisme, tapi “dituduh”. Tanpa proses persidangan, orang-orang “tertuduh” itu langsung dibuang ke Pulau Buru. Di antara mereka, ada sosok yang pada nantinya kita kenal sebagai sastrawan terbesar negeri ini, Pramoedya Ananta Toer. Menilik kategorisasi politik ala Ranciere, maka demokrasi di Indonesia bercorak parapolitik. Dalam parapolitik, politik dipandang sebagai persoalan estetika: politik adalah percakapan dan penampilan atau pemunculan dalam ruang publik/polis. Di titik ini, parapolitik boleh dikatakan bentuk depolitisasi politik karena konflik dalam politik diterima tetapi untuk segera direformulasikan ke dalam bentuk-bentuk baru yang lebih lembek seperti kompetisi dalam konsensus dan representatif. Politik direduksi menjadi sekadar arena kompetisi meraih kekuasaan, dan tentu saja menyingkirkan mereka yang berada di kubu lain. Dengan catatan, kita tak bisa sertamerta mengklaim praktik politik model ini dijalankan dengan adil di Indonesia. Bila adil, mestinya tak ada larangan bagi komunisme, berbagai ideologi mesti diberi kesempatan yang sama untuk berkompetisi di kancah politik. Begitu.
16
Mimesis edisi 9
Pram Sebagai “Yang Politis” Menyebut Pram, nama sapaan Pramoedya Ananta Toer, sebagai tokoh komunis adalah salah kaprah. Namun tak dipungkiri, Pram sering diposisikan bersanding dengan kaum komunis, khususnya PKI. Argumen yang paling logis adalah sama-sama korban, sebab untuk ideologi, Pram sendiri menyebut dirinya “Pramis”. Seturut Ranciere, Pram bolehlah disebut salah satu wujud “yang politis”. Untuk mendefinisikan “yang politis”, kiranya perlu menilik uraian Ranciere, “there is politics when there is a part of those who have no part, a part or party of the poor. Politics does not happen just because the poor oppose the rich. It is the other way around: politics (that is, the interruption of the simple effects of domination by the rich) causes the poor to exist as an entity. Politics exist when the natural order of domination is interrupted by the institution of a part of those have no part.”5 “Yang politis” atau politics adalah kulminasi dari gerak, keberanian, subjektivitas bersama-sama dengan kolektivitas dan universalitas yang mengarah ke kebaruan.6 Itu artinya, “yang politis” 5 Jacques Ranciere, Disagreement, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1998, hlm 11. 6 Goenawan Mohamad, dkk., Demokrasi dan Kekecewaan, Jakarta: Democracy Project, 2011, hlm. 52.
adalah upaya menginterupsi tatanan rigid yang terhias kompetisi banal dengan cara penyodoran kembali kehadiran “mereka yang tidak dihitung” dalam politik. Kehadiran “yang politis” menjadi ihwal penting, sebab menurut Ranciere, kelas yang paling radikal bukanlah kelas yang mengusung cita-cita pembalikan total seluruh tatanan masyarakat, melainkan justru kelas yang berada dalam situasi atau posisi “migrasi”, kelas yang berada dalam wilayah perbatasan, yakni mereka yang memiliki ideal yang melampaui batasan-batasan materialnya.7 Secara umum, Pram memenuhi kualifikasi sebagai “yang politis” ini. Pertama, ia merupakan bagian dari “mereka yang tak dihitung”. Kedua, ia mampu melampaui batasan-batasan materialnya, sebab ideal yang ada di kepala Pram begitu luar biasa. Baca saja tulisannya! Lantas, apa kendala yang dihadapi Pram sebagai “yang politis”? Apakah tangan penguasa sanggup mengebirinya? Sebenarnya tidak. Pram memilih media yang tepat untuk mempraktikkan perannya sebagai “yang politis”, yakni menulis. Pram pun pernah berujar, “menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Mana mungkin tangan kuasa yang fana sanggup 7 F. Budi Hardiman, dkk., Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Salihara, 2011, hlm. 40.
membungkam keabadian? Mustahil. Tulisan-tulisan Pram memberi akses baginya untuk “berdakwah” melampaui batasan-batasan materialnya. Kendati di periode Buru ia tak bebas menulis, dan pasca bebas dari sana pun (statusnya tahanan rumah) ia malah dililit kemiskinan, toh itu bukan penghalang. Sayangnya, akses tersebut hanya memberi Pram kesempatan untuk bicara keluar, tapi tak menjamin orang-orang masuk ke dalam pikiran Pram. Sebabnya, untuk mendapatkan buku Pram, susah minta ampun. Kalaupun ketemu, tentu saja harganya mahal, tentu ini menyebabkan “mereka yang tak dihitung” merebak kembali. Tak semua orang berkesempatan membaca Pram, sekalipun mereka butuh. Secara tak langsung, Pram meresahkan situasi yang membingkai usia senjanya ini. Dalam percakapan dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira, Pram mengaku bahwa ia sangat terisolasi, hidup di dunianya sendiri, tak ubahnya pengasingan. Pram telah jauh tercerabut dari karyanya. Dewasa ini, karyakarya Pram hanya berarti “barang mahal” ketimbang sebagai instrumen perjuangan “yang politis”. Orang-orang berburu, berebut, melelang semahal-mahalnya, tanpa mempertimbangkan bahwa di luar sana banyak yang butuh membaca Pram, namun
belum punya kesempatan. Konteks primordial Pram pun melandasi keresahannya, ia kecewa tatkala melihat anak-cucunya lebih akrab dengan televisi ketimbang buku. Pengasingan bertahuntahun lamanya ternyata berpengaruh besar terhadap kultur di Indonesia, bahkan dalam lingkup kecil: keluarga Pram. Tentu lantaran Pram tak bisa mendampingi tumbuh-kembang anakcucunya, tak mampulah ia menanamkan kultur yang baik. Di luar keluarganya, sungguh Pram punya kesempatan besar untuk membangun kultur yang baik di negeri ini. Lewat buku-bukunya, Pram mendakwahkan keberanian sebagai “yang politis” bagi kita semua. Tapi tunggu dulu, mengapa Pram masih resah? “Saya tidak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan,” ujarnya. Apa karena bukubuku yang susah payah ia tulis dengan keringat dan darah, hari ini justru jadi barang mewah? Entah, hanya Tuhan dan orang-orang tertentu saja yang tahu. Bahkan mungkin Pram sendiri tidak tahu. []
Esai di atas adalah Juara 3 dalam lomba esai tentang Pramoedya yang diadakan KMSI. Ditulis oleh Udji Kayang Aditya Supriyanto, mahasiswa Sosiologi FISIP UNS.
17 Mimesis edisi 9
PUISI Dongeng Baridin teka welas, teka asih suratminah welas asih ning badan isun maka dibujuknya orang tua itu dengan harum pisang setandan dan kekang kerbau jantan, dimintanya ia menambat bulan dan lampu taman “kau mesti menimbang jarak, nak.� “tapi cinta tak kenal jengkal, ibu.� dan orang tua itu pun berlalu coba ditambatkannya bulan dan lampu taman dengan kekang kerbau jantan dan harum pisang setandan itu baridin tak paham cara menakar jarak antara bulan dan lampu taman. ia cuma tahu, bulan dan lampu taman sama pijar ‘tika ia melewat taman menjelang petang, sepulang membajak ladang, maka diabaikannya jarak itu. sebab jarak tak pernah melarangnya tidur siang, atau mencuri gadis itu dari mimpinya baridin memang tak pandai menimbang. tapi pada genang kesedihan dan serapah orang tua itu─yang gagal menafik jarak bulan dan lampu taman dengan kekang kerbau jantan dan harum pisang setandan, ia ingat ada yang kekal seketika anjing hutan melolong pada malam purnama─ialah jarak. maka pada decak cicak dan lenguh kerbau jantan di malam yang diramalkan, ia rapalkan kidung pengasihan itu─demi leburnya jarak antara bulan dan lampu taman. niat isun arepan maca kemat jaran goyang sing tek kemat suratminah anake bapa dam teka welas teka asih suratminah welas asih ning badan isun
18 Mimesis edisi 9
baridin memang tak pandai menimbang. telah dileburnya jarak bulan dan lampu taman lewat tembang cinta yang dirapalnya pada malam empat puluh itu. maka bertemulah bulan dan lampu taman pada malam yang dijanjikan bulan luluh, suratminah luluh menadah cinta pada pemilik kemat itu. tapi baridin memang tak pandai menimbang. telah dileburnya jarak bulan dan lampu taman, tapi diabaikannya waktu. sebab bulan dan lampu taman tak punya khianat pada saat yang mengikat, maka ketika bisik angin membangunkan burung jalak pada dahan randu alas, dan menggiring anak-anak desa ke pematang sawah, pijar bulan dan lampu taman mesti lekas dipadam juga “cinta memang tak kenal jengkal, nak. tapi menyetiai waktu.� baridin memang tak pandai menimbang. ia tak paham waktu enggan ditambat dengan kekang kerbau jantan dan harum pisang setandan maka mesti direlakannya riwayat itu pada julur tangan waktu. sebab jika malam kembali menemu saat, bulan dan lampu taman bisa lagi sama pijar. maka direlaknnya riwayatnya dengan gadis itu pada genggam tangan waktu. sebab jika ada cinta yang kembali mengekal jarak, baridin bisa lagi mengenangkan suratminah─dari kubur itu. ia memang tak paham cara menakar jarak antara bulan dan lampu taman. ia cuma tahu bulan dan lampu taman sama pijar ‘tika ia lewat taman menjelang petang, sepulang membajak ladang, maka diabaikannya jarak itu. sebab jarak tak pernah melarangnya tidur di pematang, tempat kubur gadis itu. yogyakarta, 2015 E. Rantojati, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012. Puisi di atas baru saja memenangkan lompa cipta puisi yang diadakan PBSI UNY.
19 Mimesis edisi 9
BUKU Saya Ingin Lihat Semua Ini berakhir MELIHAT PRAM LEWAT MATA ASING Pram telah menjadi sorotan utama bangsa barat. Apakah karena Pram bagian dari Lekra atau adakah sesuatu dibalik Tetralogi Buru? Buku ini berisi esai dan wawancara bersama Pram. Melihat bagaimana orang Belanda sendiri memberikan uraian dan kritik terhadap salah satu pengarang Indonesia yang pernah menjadi nominator nobel ini, namun hadiah paling bergengsi tersebut jatuh ke tangan penyair Afrika. August Hans den Boef, esais Belanda, dengan lugas menguraikan permasalahanpermasalahan yang terjadi pada masa Pram masih hidup beserta kronologis karyakaryanya. Ia memaparkan bagaimana situasi sosial politik di Indonesia, terutama pada masa pemerintahan Sukarno dan rezim Soeharto. Pada dua masa ini, Pram mengalami penahanan karena melancarkan kritik terhadap pemerintah yang merendahkan martabat kaum tionghoa. Ia pun ditahan di Pulau Edam dan mengalami kerja paksa. Tidak lama kemudian karena kondisi politik Indonesia ricuh, Soeharto mengganti tampuk kekuasaan. Pada masa itu Pram ikut ambil bagian dalam
20
Judul: SAYA INGIN LIHAT SEMUA INI BERAKHIR Oleh: AUGUST HANS DEN BOEF DAN KEES SNOEK Penerbit: KOMUNITAS BAMBU Tebal: 174 HAL Tahun: 2008
Lekra. Mengalami penahanan untuk yang kedua kalinya, karena Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dicurigai mengajarkan paham Marxisme-Leninisme. Karyakaryanya direnggut paksa dan dibakar. Beberapa mahasiswa di Yogyakarta dihukum penjara tujuh tahun karena memiliki salah satu karya Pram. Mengerikan memang, pada masa Soeharto tersebut. Karya Pram menjadi karya yang terlarang. Barulah setelah peristiwa 1998, karya Pram dapat beredar luas. Dan kini dapat dibeli dan dibaca di mana pun. Pram sebenarnya memegang nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan,
Mimesis edisi 9
juga spiritualitas dan isi. Van Den Hoef memaparkan bagaimana Pram mengkritik para pemeluk agama yang lebih mementingkan ritual keagamaan yang dogmatis tanpa menyebarkan inti dari agama seperti kasih sayang dan persaudaraan sesama manusia, apa pun perbedaannya. Karena inilah agama atau ideologi dalam bentuk apa pun akan mudah ditunggangi mereka yang memiliki kepentingan pribadi. Juga kritiknya terhadap nilainilai tradisional yang tidak sesuai dengan pertimbangan moral manusia. Semua ini tergambarkan secara jelas sekali dalam karya-karyanya. Buku ini juga dilengkapi wawancara antara seorang Belanda yang pernah menjabat sebagai Guru Besar Sastra dan Sejarah SosialBudaya Belanda di Universitas Sorbonne, Kees Snoek dan Pram. Wawancara tersebut banyak berisi tentang keluarga Pram dan sikap-sikapnya terhadap kondisi sosial politik dan konflik kebudayaan yang pernah menimpanya. Inilah buku kesekian yang membahas perihal apa dan bagaimana Pram sesungguhnya—juga tidak lepas dari kritik—lewat sudut pandang kaum intelektual Belanda. . *YAN SEGARA, bergiat di komunitas Bibliophilia.