1
KEBAHAGIAAN DI BULAN SUCI RAMADHAN
Muhammad Akbar Aryan Saputra Anggota bidang Organ IMM FEB UMY
Alhamdullilahi „alaa kulli haal.. Hingga kini Allah SWT masih memberikanku berkah dan rahmat agar dapat menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku, kerabat dan handaitaulan dengan umur yang panjang sehingga kami semua dapat merasakan nikmatnya bulan penuh berkah yang dinanti-nanti oleh seluruh umat Muslim; bulan suci Ramadhan. Setiap tahun aku berupaya konsisten untuk merayakan tibanya bulan suci Ramadhan bersama keluarga. Menjadi sebuah kebahagiaan dan berkah terbesar saat bisa selalu berkumpul bersama Mama, Bapak, Kakak, Adik serta kerabat handaitaulan yang tak dapat aku sebutkan satu persatu. Sejak adanya pendemi, kukira saat itu kesempatan balik ke kampung akan tetap dipersulit. Disamping karena biaya tiket pesawat dari Yogyakarta ke Sumbawa yang dipatok begitu mahal serta segala prosedur kepulangan yang memakan waktu, biaya dan tenaga akan menjadi hambatan untuk kembali. Namun demi kepulanganku, Mama dan Bapak seakanakan tidak mempedulikan berapapun biayanya. Kepulangan puteranya adalah yang utama. Tepat dua tahun sudah aku menetap di tanah rantauan. Artinya, jauh dari orang-orang yang aku sayang, jauh dengan segala keramaian, kedamaian dan masakan enak buatan Mama. Dengan adanya bulan suci Ramadhan ini, kumanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga besarku. Walaupun waktu yang diberikan cukup singkat dengan batas waktu liburanku yang telah ditetapkan. Tetapi hal ini bukanlah sebuah masalah. Utamanya, rinduku seakan terobati dengan hanya sekadar melihat secara langsung senyuman orang-orang terdekatku. Pulang satu tahun sekali dan menabung rindu ternyata tak seburuk itu. Keseruan demi keseruan yang kami lalui dari awal berpuasa begitu berkesan. Terkadang mengadakan berbuka bersama, tarawih bersama dan kegiatan lainnya yang tak kalah menyenangkan. Walaupun sederhana nyatanya kami bahagia, Karena tentunya bisa berkumpul dengan lengkap. Di luar sana ada yang tidak bisa merayakan bulan suci Ramadhan dengan
2
lengkap. Maka dari itu aku sangat bersyukur bahwa Allah masih memberiku rahmat berupa kedua orangtua dan keluarga handaitaulan yang begitu lengkap. Disaat bulan Ramadhan berakhir, aku merasa begitu sedih. Aku yakin umat muslim akan meneteskan air matanya ketika mereka ditinggalkan oleh bulan yang suci ini. Sementara itu, saat malam takbiran tiba, aku malah termenung di rumah sendirian dengan wajah yang mendung; bersedih karena aku akan kembali ke tanah rantauan. Rasanya aku belum sanggup meninggalkan kedua orang tuaku dan tanah kelahiranku. Tetapi, aku masih tahu bagaimana pentingnya amanah kedua orangtuaku untuk menuntaskan pendidikanku di tanah rantauan. Pasca menyelesaikan ibadah shalat ied, setiap warga melanjutkan ritual sungkeman dengan tujuan saling maaf-memaafkan satu sama lain. Tentunya, harapan terbesar yang kuinginkan cuma satu; semoga ditahun berikutnya kami bisa merasakan bulan suci ini. Satu minggu selepas bulan suci Ramadhan berakhir, tibalah hari dimana aku harus kembali lagi ketanah rantauan. Kedua orangtuaku, Adik serta teman-teman sepermainanku di kampong dengan wajah mendung mengantarkan kepergianku yang dihiasi ungkapan dan memenuhiku dengan do‟a penutur keselamatan. Dengan sedih, kucoba menenangkan mereka sembari berkata; “Mak, Pak, Dek, jangan khawatir. Aku di jogja akan baik-baik saja. Tunggu aku kembali di waktu mendatang. Aku akan selesaikan kuliahku dengan baik. Jaga kesehatan yaa, Mak, Pak.” Kedua orangtuaku saling menatap dan balik menjawab; “Jangan khawatir nak. Kami akan baik-baik saja disini. Kamu yang harusnya menjaga diri dengan baik disana. Ingatlah tujuan kamu disana dengan baik. Jangan pernah mengecewakan kepercayaan Mamak dan Bapak yaa, nak.” Dengan haru aku pun berujar; ”Baiklah, Mamak.. Bapak.. Doakan anakmu ini mampu menjalankan semua amanah dan segera menjadi orang yang sukses.” Tepat pada tanggal 13 Mei 2022, aku tiba di Jogja. Tanah rantauan, tanah pilihan para pelajar yang ingin menimba ilmu sebanyak yang mereka bisa sebagai para jihadah. Hal pertama yang teringat dibenakku ialah pesan Mamak yang begitu mengharukan di penghujung petang kala itu.
3
“Nak, sesibuk apapun kamu di tanah rantauan, ingatlah selalu bahwa jangan sampai lupa sama Allah SWT. Jangan sampai lupa untuk beribadah, jangan sampai lupa untuk beramal baik saat kamu punya waktu.” Satu yang kupahami bahwa; sebanyak apapun nasehat yang kerapkali diujarkan padaku, tugasku adalah tidak melupakan satupun nasehat tersebut dan belajar untuk terus istiqomah mengamalkan semua nasehat dengan baik dan benar.
TAMAT
4
IEDUL FITRI YANG BERBEDA
Rifki Julmanudin Kader IMM FEB UMY
Sore hari di bulan Ramadhan, ada empat anak sedang bermain di halaman rumah Ucok. Mereka bernama Agus, Asep, Cecep dan Ucok. Mereka sedang bermain kelereng. “Cep, giliran kamu yang main.” Ucap Agus. Mereka bermain dengan penuh riang dan gembira. Tak lama, ibunya Ucok memanggil mereka untuk berhenti bermain. “Anak-anak, ayo mainnya disudahi, sebentar lagi berbuka. Ayo Ucok masuk ke rumah.”. Mereka pun pulang ke rumahnya masing-masing. Waktu terus berlalu, tak terasa sore tadi adalah Ramadhan terakhir di tahun ini. “Agus, jangan lupa nanti malam ikut bapak takbiran yaa, ajak teman-teman yang lain juga.” Seru bapak Agus. “Baik pak, nanti Agus ajak Cecep, Ucok dan Asep.” Sahut Agus. Malam harinya mereka berempat pun bertakbir sambil mengelilingi kampung. Tak lama kemudian, mereka mendapat kabar bahwa bapaknya Cecep mengalami kecelakaan bus. Bapaknya Cecep bekerja sebagai supir pribadi di negara Qatar dan malam ini sedang dalam perjalanan pulang ke rumah untuk merayakan Idul Fitri bersama setelah dua lebaran tak berjumpa karena pandemic Covid-19. Setelah mendengar kabar bapaknya, Cecep tampak mematung dengan mata berkacakaca. Ia segera begegas melaju pulang ke rumah untuk memberi tahu ibunya. Kedua pun segera mendatangi rumah sakit yang membawa bapaknya itu. Bapaknya Cecep dirawat di Rumah Sakit Umum Soreang, sekitar 60 menit dari rumah Cecep. Setelah mendapat perawatan, dokter memberi tahu keluarga Cecep bahwa bapaknya mengalami pendarahan yang serius dan harus mendapat perawatan yang ekstra. Esok harinya adalah Iedul Fitri dan Cecep harus merelakan Idul Fitrinya di rumah sakit untuk menemani bapaknya yang belum siuman. Berbeda dengan Agus, Ucok dan Asep yang
5
merayakan hari rayanya bersama-sama. Agus merayakan hari raya bersama dengan keluarganya yang datang dari Aceh, Asep merayakannya dengan keluarga yang dari Banjarmasin dan Ucok dengan keluarganya yang dari Bali. Siang harinya, tiga sekawan yakni Ucok, Agus, Asep dan orang tua mereka masingmasing datang ke rumah sakit untuk menjenguk bapaknya Cecep. “Kamu yang kuat Cep, kami di sini selalu mendoakan kesehatan bapak kamu.” Ucap Asep menguatkan Cecep yang sedang bersedih. “Iya, Cep. Kamu jangan bersedih, kami bertiga di sini akan selalu menemani kamu dalam segala kondisi, kamu pasti bisa melewati ini.” Ucok menambahkan perkataan Asep. Cecep pun tersenyum mendengar perkataan teman-temannya yang berusaha menguatkan. Sepuluh menit berlalu hingga tiba kabar bahwa bapaknya Cecep siuman dari pingsannya dan mereka dengan setengah bergegas segera berjalan menghampirinya. “Alhamdulillah.. Bapak sudah bangun.” Kata Cecep yang memegang tangan bapaknya. “Cecep? Bapak dimana ini? Kok tangan bapak dipasang infusan.” Tanya bapak Cecep dengan bingung. “Bapak sedang di rumah sakit, pak. Semalam bapak kecelakaan bus.” Tutur Cecep dengan sopan. Bapak Cecep tampak terkejut dengan kenyataan yang menimpanya dan segera menyahut; “Maafin bapak yaa, Cep. Karena kondisi bapak, kamu lebarannya jadi di rumah sakit.” “Gapapa, pak. Cecep ikhlas. Sekarang bapak focus aja ke kesehatan bapak. Nah, baru setelah itu mikirin urusan moment lebaran yang tertunda bareng Cecep.” Ujar Cecep dengan sopan dan jenaka. Sejak kecil, Cecep begitu menyayangi bapaknya. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana ia merawatnya dengan penuh sabar dan kasih sayang. Tiap hari ia menyuapinya makan, membersihkan tubuhnya, mengecek kestabilan oksigen, dan memberinya obat seusai makan. Karena bagi Cecep, bapaknya adalah segalanya. Dia telah mengajari banyak hal, menjaganya dengan penuh kasih sayang dan selalu menuruti keinginan Cecep. Hari ketiga, bapak Cecep sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang. Ibu Cecep mengurusi pemberkasan pulang terlebih dahulu hingga pada akhirnya mereka berhasil pulang ke rumah.
6
Sesampainya di rumah, Cecep bergegas menyiapkan ruangan yang nantinya dipakai oleh bapaknya selama masa pemulihan. Dokter memberitahu bahwa bapak Cecep tidak boleh memiliki terlalu banyak kegiatan fisik, hal ini dikarenakan kondisinya yang masih belum stabil. Pada hari-hari seusai bapak Cecep terlihat makin pulih, Cecep pada akhirnya dapat memiliki kesempatan untuk bermain kembali bersama teman-temannya. Kali ini mereka memutuskan untuk bermain PUBG Mobile. “Knock satu, Rush! Rush! Rush!” Ucap Agus si rusher andalan. “Tandai musuhnya dimana, aku support dari belakang yaa!” Kata Ucok dengan semangat. Karena keasyikan bermain, tak terasa waktu telah menunjukkan waktu petang. “Yaudah aku balik dulu, udah mau Maghrib soalnya.” Kata Asep kepada temantemannya. “Iya, jangan lupa selepas ibadah Maghrib ke rumahku yaa. Kita kumpul di sana saja, agar bapakku gak kesepian.” Cecep mengajak teman-temannya untuk ke rumahnya. Waktu Magrib tiba, mereka melaksanakan ibadah sholat magrib bersama-sama di Masjid Al-Hidayah Soreang. Berhubung pengajian masih libur Iedul Fitri, mereka bergegas menuju rumah Cecep. Di sana sudah ada Cecep yang menanti dengan kue lebaran dan hidangan opor yang tampak siap untuk disantap. “Assalamua‟laikum~” Seru mereka serentak mengucapkan salam kepada Cecep. “Waa‟laikumussalam~ Hayu atuh masuk ke dalam, udah ditungguin sama opor tuh, hehe.” Ajak Cecep dengan jenaka kepada teman-temannya untuk makan malam bersama. Setelah makan, mereka menemui bapaknya Cecep yang terbaring di ruang tengah. Di sana mereka berbicara banyak hal dan waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Mereka memutuskan untuk pulang karena khawatir mengganggu waktu istirahat bapak Cecep. “Cep, kami pulang dulu yaa, udah malem, takut ganggu istirahat bapakmu.” Pamit Ucok mengajak teman-temannya pulang. “Oh baiklah. Terimakasih yaa udah dateng ke sini.” Sahut Acep.
7
“Sama-sama, Cep. Terima kasih juga karena sudah mengajak kami makan malam, jangan kapok-kapok yo, hehehe.” Canda Asep. Asep menambahkan perkataan Ucok. “Jangan lupa yaa, besok kita main PUBG lagi!” “Oke siap, mas bro!” Ucap mereka bersamaan sembari meninggalkan rumah Cecep. Kondisi bapak Cecep semakin membaik. Kini ia telah bisa berjalan secara mandiri tanpa bantuan dari Cecep lagi. Meskipun harus merayakan hari Iedul Fitri di rumah sakit, Cecep tidak merasa keberatan akan hal itu. Baginya, keselamatan bapaknya terpenting dibandingkan liburan Iedul Fitri dan ia juga memiliki teman-teman yang sangat baik, sehingga ia mampu melewati semua ini dengan pennuh keikhlasan, kesabaran dan hati yang lapang.
TAMAT
8
MENJEMPUT RINDU DI SATU SYAWAL
Rizka Amalia Kader IMM FEB UMY
Hampir saja air mataku menetes, melihat banyak lampion yang di terbangkan dan obor-obor kecil yang dibawa lari morat marit oleh anak-anak dengan iringan takbir yang bergema dari seluruh penjuru. Senang rasanya bisa melihat kembali pemandangan seperti ini. Tepat menginjak dua tahun. Status perantau resmi tak pulang kampung karena terhalang pandemic telah kusandang. Dan kini tibalah waktunya aku untuk pulang; menuntaskan rinduku kepada Mak, Abah, juga Adik di kampung. Kosong sekali rasanya dua tahun kemarin aku beridul fitri hanya di kamar kost-kostan seluas 3x4 tanpa sekubal dan opor ayam bikinan Mamak dan tatanan kue lain khas kampungku di Kali Asin, Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Paginya, aku berjalan berdampingan dengan Mak dan Abah sambil menggandeng adik perempuanku yang ber-umur enam tahun tujuh bulan, selisih kami memang sangat jauh sehingga aku sudah cukup dewasa untuk mendidiknya dan mengajari banyak hal. Tak lupa kukenakan seperangkat baju baru yang telah Mamak belikan di pasar kota sini. Peci tapis yang hinggap di kepalaku saat ini, aku sangat suka sekali coraknya, Mamak memang paling tahu seleraku. Peci tapis adalah salah satu kebangganku, saat di Jogja pun aku tak jarang mengenakannya untuk sekadar ke masjid atau ke kampus saat ada acara keagamaan. Rasanya seperti ada suatu kebanggan tersendiri saat aku memakai peci tapis ini. Jarak rumah menuju lapangan tempat kita akan melaksanakan shalat ied lumayan jauh. Mamak tertawa riang mendengar celoteh adik yang tiada hentinya menceritakan keseruan semalam. Abah mengobrol serius bersamaku, menanyakan banyak hal tentang perkuliahanku, termasuk kapan aku bisa wisuda. Aku tersenyum simpul sambil menjawab; “ Saat ini sedang saya sedang saya do‟akan dan ikhtiarkan, Abah. Mohon do‟akan agar anakmu ini senantiasa mendapat kemudahan dalam segala urusannya”.
9
Abah menepuk pundakku seraya berkata; “Abah yakin, bujang Abah yang satu ini adalah anak yang kuat. Apapun yang ada di depan sana pasti bujang Abah mampu menghadapinya, teruslah bekerja keras dan perbanyak sujud kepada Gusti Allah, Sang Maha Pemberi. Abah selalu ada untuk mendukungmu, nak.” Mendengar hal itu senyum simpulku berubah menjadi senyum yang lebar, ternyata memiliki orang tua yang supportif adalah sebuah hadiah dan kemewahan tersendiri yang tak semua anak dapat merasakannya. Ternyata, pulang kampung kali ini bukan hanya untuk menuntaskan rindu atau berlebaran, namun juga mengisi penuh kembali energi untuk menghadapi banyak rintangan di perantauan sana, apalagi untukku sebagai mahasiswa tingkat akhir yang setiap harinya harus bergelut melawan malas untuk mengerjakan tuntutan akhir seorang Mahasiswa; skripsi. Saat sampai, aku dan Abah memilih menempati baris terdepan yang masih banyak memiliki banyak ruang. Dari dulu hingga sekarang, keherananku tak berubah. Ada begitu banyak orang di setiap hari Raya yang lebih memilih mengisi shaf akhir terlebih dahulu dari pada shaf depan, padahal jika mengingat sabda Rasulullah SAW, siapapun yang melaksanakan salat pada shaf paling depan, maka ganjarannya ialah memperoleh seekor unta. „Andaikan amal dapat terlihat.‟ Batinku. Setelah mengisi shaf dan membuat posisi duduk yang nyaman, kami lantas tak hanya berdiam diri, lantunan takbir senantiasa tak putus dikumandangkan oleh lisan kami. Tepat saat itu aku melirik sekilas ke belakang dan tampak mencari-cari. Sepertinya Mamak dan Adik sudah berada di belakang di barisan shaf perempuan. Pasca pandemic yang menerpa selama kurun waktu yang cukup lama. rupanya Iedul Fitri kali ini menjadi ajang melepas rindu bagi setiap insan yang sempat terpisahkan. Merindukan kampung halaman dan bersatu padu menunjukkan kasih sayang terpancar jelas dari raut wajah di sebagian besar paras yang kuamati. Terlihat, ada banyak sekali keluarga cemara yang hadir saling bergandengan dan ceria, Tapi, tak sedikit pula kutemukan orang-orang yang wajahnya muram, merasakan sepi di tengah keramaian karena tidak mampu mengecap suasana dan interaksi yang sama. Beberapa dari mereka memang telah kehilangan anggota keluarganya sebagai korban dari terpaan pandemi di waktu yang lalu. Namun, begitulah manusia. Selamanya kita telah diwariskan
10
dengan Qada‟ dan Qadar dari Sang Maha Pencipta. Yang mampu memberi dan mengambil kehidupan dalam waktu sekejap. Karena dunia ialah fatamorgana, karena hidup ini hanyalah kefanaan, oleh karenanya nikmati kehidupanmu dengan penuh ikhlas dan syukur. Bahwa kematian adalah saudara yang paling dekat selain kedua orangtuamu. Pasca melaksanakan shalat ied, kami berbondong-bondong kembali ke rumah. Tak luput sepanjang jalan saling bersalaman dan bertegur sapa dengan setiap orang yang ditemui serta menebarkan senyum paling indah meskipun terpikir akan percuma saja; mau senyum selebar dan semanis apapun, toh masih ada masker 3 lapis yang menutupi wajah bahagia kami. Pandemi masih begitu menghantui negeri ini. Di seperempat perjalanan, aku melihat dari kejauhan sayup-sayup sosok cantik yang sedang bersenda-gurau dengan seorang anak perempuan yang lebih muda darinya. Samarsamar kuperhatikan, punggung menawan yang sedari tadi coba kuamati lebih jauh kini hilang masuk ke dalam sebuah rumah asri menyusul kedua anak perempuan yang berlarian mengekorinya. Sosok itu.. Bagaimana aku aku bisa melupakannya? Sosok menawan yang telah kudambakan sejak kelas satu SMA. Ayu, namanya. Dalam bahasa jawa artinya adalah cantik, persis seperti namanya, ia mewarisi arti namanya dengan menjadi gadis yang sangat cantik. Ayu merupakan seorang gadis dengan darah Jawa. Namun sebenarnya tak pernah sedikitpun ia pernah tinggal dan menetap di Jawa. Aku yang saat ini masih dalam perjalanan pulang ke rumah tertawa dengan muram di balik masker, mengingat betapa pengecutnya aku yang tak pernah berani menyatakan sepucuk rasa kepada Ayu. Ah, sudahlah. Ini adalah hari yang suci, mengapa aku harus memikirkan hal-hal bodoh dan tak jelas ini? Sesampainya di rumah. Aku, Abah, Mamak, dan Adik memutuskan untuk berfoto bersama. „Sebagai kenangan,‟ kata Abah. Karena tentunya hal ini menjadi moment yang tak afdol dilewatkan begitu saja tanpa diabadikan. Puas berfoto, aku melanjutkan kegiatan dengan sungkeman sembari memeluk Abah dan Mamak seraya meminta maaf atas banyaknya kesalahanku pada mereka.
11
Kuciumi juga adikku satu-satunya. Ia tumbuh begitu cepat, aku sudah tak kuat jika di suruh menggendongnya lagi. Padahal jika mengingat kenangan masa lalu, adikku begitu menggemaskan. Kami tak memiliki banyak kegiatan saat lebaran, hanya makan bersama lalu berjalan beriringan mengunjungi tetangga. Abah adalah anak satu-satunya. Kedua orang tua Abah atau kakek dan nenekku sudah lama telah berpulang ke rahmatullah. Kakek meninggal 6 tahun silam di Makkah saat menjalani ibadah umroh bersama Abah, lalu nenek telah meninggal sejak aku SD. Hal ini pun berlaku juga dengan kedua orang tua Mamak. Keduanya bahkan telah lebih awal berpulang ke rahmatullah sejak aku masih balita. Almarhum dan almarhumah menjadi satu dari sekian korban tsunami di aceh pada 2004 silam. Mamak memiliki satu kakak laki-laki, ia adalah seorang berandalan dan pecandu narkoba. Hidupnya sekarang dihabiskan dibalik jeruji besi ibukota. Itu semua membuatku tidak memiliki banyak keluarga yang dapat dikunjungi atau diajak berkumpul saat idul fitri seperti ini. Namun bagiku, selagi ada Mamak, Abah dan adik tersayangku di dunia ini, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat lebaranku terasa lebih berwarna. Tak sampai disitu rasa syukurku, sajian-sajian hari raya yang Mamak sajikan dengan tatakan cantik, dibuatkan khusus untuk anak bujangnya ini. Sekali lagi, lebaran ku dibulan Syawal kali ini merupakan kado terbaik yang akan selalu terkenang hingga akhir hayat nanti.
TAMAT
12
MEMOAR RITUAL KEBAIKAN DI HARI KEMENANGAN
Sofia Bunga Nisrina Kader IMM FEB UMY
Awan putih bak beludru kala itu beriringan mengantar jama‟ah shalat ied menuju ke yang lapangan luas. Beberapa jama‟ah yang masih sanggup dan hendak menjalankan sunnahnya berjalan meraih berkah pada tiap langkah. Sisanya menggunakan kendaraan mereka dengan satu-dua alasan tertentu. Salah satu diantaranya adalah keluarga Eyang Zaenal. Bersama anak-cucu nya, yang pada saat itu turut mengantar orangtua mereka mencari shaf tempat sholat paling tepat dan nyaman. Waktu demi waktu berlalu, sang imam menyeru untuk menunaikan sholat ied yang dilanjutkan kajian dan berdoa bersama dengan begitu khusyu‟. Bersyukur penuh atas nikmat sholat ied berjama‟ah yang bisa dilaksanakan hari itu. Kemudian jama‟ah mulai bersalamsalaman mengucap rangkaian permohonan maaf dari lubuk hati. Meski sejatinya meminta maaf bukan hanya bisa dilakukan hari itu saja, namun selayaknya budaya nusantara yang telah dilestarikan secara turun-temurun, hal baik ini layak untuk menjadi momentum yang dinantikan selepas menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Keya. Gadis lima belas tahun yang saat ini tengah mengenyam pendidikan di bangku SMA serta merupakan merupakan cucu tertua yang tinggal bersama pasangan kakek dan nenek dalam keluarga Zaenal Maarif tengah sibuk mondar-mandir mengurusi perhelatan syukuran dirumahnya. Hal ini terjadi dikarenakan setiap tahun keluarga Eyang Zaenal, tetua dari keluarga besar Zaenal Maarif secara rutin mengundang anak-anak panti asuhan untuk makan bersama di rumah selepas menunaikan ibadah shalat ied. Oleh karena itu, Keya dibantu saudara-saudarinya dengan rajin menyiapkan hidangan untuk anak-anak panti serta kerabat handaitaulan yang telah berkunjung. “Key, tolong ambilin lima piring rawon lagi yaa!” “Mas Eran, air minum nya habis. Tolong beliin dua kardus lagi yaa!” “Mbak Darin, tolong dibanyakin lagi kacang rebus sama ketan hitam nya yaa!”
13
“Dek Sea, ayo makan. Mau kuambilin?” Hiruk pikuk manusia berlalu-lalang memenuhi lalu lintas rumah Eyang Zaenal. Anakcucu yang sibuk mempersiapkan hidangan, bermain hingga mengobrol ringan tampak padat sejauh mata memandang. Sementara Kakek dan Nenek Zaenal yang siap di kursi depan, menerima serta mengobrol dengan tamu serta kerabat handaitaulan yang datang bergantian. Keya pun sampai terheran-heran dengan kehadiran tamu yang nampak membludak di rumahnya. kakek dan nenek tak perlu diragukan lagi begitu aktif sebagai tokoh masyarakat, sehingga tak pelak hal ini membuatnya hanya mampu menghela napas mengamati semua kalangan yang dengan mudahnya bersilaturahim dengan hadir menyapa. Tradisi selanjutnya di keluarga Eyang Zaenal saat idul fitri adalah bercerita dan bakti sungkeman. Kakek Zaenal hendak mengondisikan sesi ini, namun datang lagi tamu-tamu beliau hingga adzan dhuhur terlantun dengan lantang berkumandang. Akhirnya Eyang putuskan untuk melanjutkan tradisi keluarga selepas ba‟da dzhuhur. Menuju ke tradisi pertama yakni sesi cerita. Sesi yang diyakini paling menyenangkan dan penuh hikmat. Eyang Zaenal bercerita tentang perjalanan masa muda nya yang benarbenar menakjubkan. Anak, menantu serta cucu-cucunya nampak takjub dan terpaku dibuatnya. “Eyang sudah seringkali menceritakan hal ini. Tentang pemuda Jawa yang dengan berani mengeksplorasi bumi Timur Indonesia dengan bekal tekad yang mulia; mengabdi dan menjadi pendidik tanpa jasa. Tapi Eyang akan coba menceritakan dengan versi yang lebih detail.”
Setelah menghela napas sesaat, Eyang melanjutkan; “Dahulu, saat Eyang menerima sepucuk surat yang menawarkan sukarelawan bagi pendidik di zona 3T, tanpa mengulur waktu, dengan penuh tekad Eyang meminta izin dan restu dengan takzim kepada Abah dan Ummi, orangtua Eyang sekaligus buyut kalian. Pada awalnya, Abah menentang keras keinginan Eyang untuk mengabdi ke daerah jauh yang belum peka dan terjamah luas dengan teknologi. Saat itu, Abah begitu khawatir sembari menuturkan; „Bagaimana jika nanti kamu yang ndak bisa pulang, nduk? Abah pikir itu akan jadi yang terburuk selain kamu yang masih begitu muda lebih memilih menghabiskan masa lajang dengan mengabdi selama bertahuntahun disana,‟ ungkap Abah. Yang perlu diketahui, di masa itu nusantara yang saat ini dikenal Indonesia masih diwarnai dengan badai kolonialisme yang begitu pekat. Eyang mengetahui dengan jelas apa yang menjadi maksud penuturan Abah saat itu. Namun, Alhamdulillah.. Abah luluh, semua itu
14
karena Ummi. Beliau merestui keputusan berani Eyang dengan hati yang berat namun ikhlas. Ummi dengan tenang menenangkan kecemasan Abah dan dengan lembut menggenggam jemari Abah seraya berpesan tulus bahwasanya Eyang harus mampu mampu menjaga semangat belajar dan mengabdi serta tak lupa berkomunikasi dengan rutin mengirimkan surat kabar pada mereka. Dari situlah Eyang kembali belajar, bahwasanya Allah itu Maha Baik. Eyang dianugerahi rezeki berupa kedua orangtua yang baik hati dan kuat serta berkah rezeki lainnya hingga sekarang. Cerita Eyang ini tidak memiliki maksud apa-apa. Eyang hanya ingin agar anak, cucu hingga cicit Eyang nanti bisa terus kuat, bersyukur, dan tak pantang menyerah terhadap impian yang dikejar.” Tutup Eyang Zaenal Maarif.
Anak dan cucu Eyang Zaenal mengerti, meresapi dan menanamkan pesan kakek atau ayah mereka yang dikenal begitu welas asih dan bijaksana.
Beberapa guyonan tak pelak Eyang Zaenal suguhkan sebagai pencair suasana. Keya benar-benar merasakan kehangatan keluarganya dan sangat bersyukur atas keluarga yang ia miliki sekarang. Berkat cerita Eyang tadi, Keya menanamkan dengan kuat satu pesan dalam sanubarinya. „jangan pantang menyerah dan berusaha selesaikan apa yang telah dimulai.‟ Setelah sesi bercerita, dilanjutkan dengan sesi bakti sungkeman. Sesi ini begitu banyak menawarkan air mata yang begitu mudahnya lolos dan menular. Tiap tangan saling berjabat dan menyalami, semakin deras air mata turun atas perintah hati. Bayangan tentang kesalahankesalahan dan panjatan doa dibungkus menjadi satu dan lahir menjadi curahan tangis diselimuti haru. Keya dan saudara-saudari nya kembali berkumpul mengobrol dan bermain usai menjalankan tradisi tahunan itu. Ternyata tamu berdatangan lagi. Keya menghela napasnya. Beruntung stok rawon dan kudapan begitu berlimpah. Sepertinya ia dan keluarga tak akan beristirahat hingga hari ini berakhir. “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan 15
memasukkan kamu ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. As Shaff: 10-12)
TAMAT
16
BUNGA SYAWAL TAK LUPUT DARI ASA
Syamsiyah Yuli Dwi Andari Kader IMM FEB UMY
Kini batinku tak lagi mampu menahan rindu terhadapnya. Ia sosok yang selalu ku rindukan, sosok yang sangat berharga bagiku. Akal yang dahulu selalu mengalahkan kata hati kini sirna tak bersisa. Siak air mata yang selalu menetes di bulan yang Agung tak pernah terlewat. “Hei, pengecut. Mengapa kau hanya diam? Ayo kejar, kejar, kejar!” ujarku pada diri yang kendati penuh dihinggapi kehilangan. Hari ini genap delapan tahun aku pamit untuk merantau, tahun ke tiga belas aku hidup tanpanya. Perasaan yang kian kacau, tak terarah hingga putus asa selalu datang. Moment berharga yang dahulu pernah ku dapati kini tak pernah ku rasa bahkan ku dekap kembali. Masa yang sangat dibutuhkan bagi anak seusiaku. Ramadhan kali ini kembali dibanjiri dengan tangis dan air mata; Syawwal menjadi saksi biksu akan segala derita. “Mungkin ini takdir bagi seorang pengecut sepertiku.” lirihku dalam hati disetiap penghujung moment. Hidup di rantauan sejak awal adalah pilihanku. Jauh dari semua keadaan yang menimpa ku adalah pilihanku. Keyakinan akalku mengatakan bahwa aku kuat dengan takdir ini namun realita menghantam semua keyakinan ini. “Bodoh!” timpal sahabatku. ia tak suka bahkan jenuh melihatku penuh dengan keluhan di setiap harinya. Namun keluhan itu tak pernah ku sadari selalu ku ungkap padanya bagai sebuah kaset rusat yang diputar berulang kali. Untuk ukuran gadis yang telah memasuki usia kepala dua, kuakui hal ini begitu tak dewasa. Jelang kumandang takbir yang terhitung kesekian kalinya, terpatri dengan jelas berapa tahun sudah diriku menapaki dunia pertumbuhan tanpa sosok yang dibutuhkan. Pekerjaan rutinku adalah menyembunyikan linangan air mata yang tak henti berderai. Sosok yang kerap berada disamping dan menguatkanku lantas tak mampu mengalahkan sosok yang hilang tersebut. Hidup di pelataran yang mana lengkap akan sandiwara didalamnya membuat batinku semakin tak kuat menyandang kehidupan.
17
Adzan berkumandang tanda dimana aku harus bersujud dan berserah diri terhadap Nya. Aku pun bergegas melaksanakan, tak terasa derai dari manik hitamku kembali menderas. Seakan sikap tak menghargai sosok yang ada disampingku saat ini menjadi sebuah dosa yang begitu besarnya Bahwasanya filosofi “Hargailah selagi masih ada, cintailah selagi mampu, do‟akan saat sudah tiada” yang diucapkan kakak dahulu begitu menyedihkan hatiku. Aku memiliki seorang kakak, namun kami memilih untuk tidak hidup bersama. Sudahlah.. Kupikir menceritakan tentang dirinya tak begitu penting. Aku hanya mampu berjalan kedepan tanpa melihat kebelakang karena memang tak ada lagi lagi hidup lama yang perlu ku tuju. Lebaran ku begitu jenuh. Dan rangkaian ini selalui berulang kali mengisi pikiranku. „Cintamu tak pernah semu namun selalu utuh. Wahai Ibu, kaulah cahayaku.‟ Selepas pertikan yang kerapkali terjadi antara aku dan kakak, aku dapat selalu menjadi begitu puitis. Tibalah di satu syawwal yang mana menjadi moment para aktor berkumpul. Dan seperti sebuah pengaturan tetap, selalu ada seorang actor yang memilih untuk hilang dan tak pernah datang kembali meskipun sejatinya wujudnya ada namun tak pernah terlihat batang hidungnya di moment berharga ini. Dan seperti biasa momentum salam dan permohonan maaf dimulai, namun di lebaran ke tiga belas ini, aku memilih berbeda. Aku yang biasanya hanya bermaafan kini ketika aku menyentuh tangan dan mencium tangannya dengan pelan, dengan takzim mendalami peran yang ku mainkan. Linangan air mata berderai diluar hitungan, dan aku dengan sigap selalu menyembunyikan agar tak terlihat. Dadaku mulai terasa sesak sehingga aku pun memilih bangkit, bergegas pergi agar tak terlihat. Ku mainkan ponselku untuk menyembunyikan wujud ekspresi kesedihanku. Sungguh si rapuh yang sungguh bodoh demi terlihat kuat. Memasuki syawwal kedelapan, terjadilah badai yang tak pernah terlintas di benakku. Badai itu dimulai sejak ahad pagi, hari yang ku tunggu akan kecerahan langitnya. Namun semua itu pupus bak dedaunan gugur memenuhi trotoar dengan redup tua kekuningan di tiap helaiannya. Sama seperti amarahnya yang mulai meluap satu persatu dan puncaknya pun terjadi selepas adzan maghrib berkumandang.
18
Teriakan suara mengisahkan pergantian langit, seluruh property rumah menjadi saksi bisu akan pertikaian itu. “Hancur sudah masa depanku.” ucapku dalam benak yang takkan pernah terdengar oleh siapapun. Hingga saat aku merasa mulai tak kuat menghadapinya sendiri, kuputuskan menghubungi kakakku. “Cepat, tinggalkan urusanmu dan datanglah kemari.” pintaku padanya. Namun harapan tinggalah harapan, tiada secepat kilat kehadirannya. Hingga ia pun tiba, badai itu semakin kencang tak punya arah, seakan saling menyalahkan. Sosok yang berharga itu tampak rapuh dan tak lagi mampu menjalani perannya. Begitu pun aku yang selalu berpikir salah dan selalu disalahkan. Bahkan pernah terlintas dalam benak bahwa kelahiranku pun merupakan sesuatu yang salah. Sungguh suatu pemikiran yang bodoh. Berani berpikir paranoia melewati kehendak Allah. Aku menengadah dan melihat langit bertahan dengan sinar redupnya. Semakin larut badai semakin berkurang dan posisi ku tak sedikitpun bergeser dari ujung kamar di bawah wastafle. Hingga kemudian, aku pun tak peduli dengan semua yang terjadi dan beranjak bangkit meninabobokan diri dengan mata yang terlanjur sembab. Seperti biasanya, perkumpulan kami hanya sesaat di masa semua harus kembali ke rutinitas kehidupan maka akan berpisah kembali. Saat ini aku hidup dengan dua aktor. Dimana ada satu aktor penting dan satu aktor pendukung yang mana seharusnya aku memiliki dua aktor penting. Di pagi harinya kami harus kembali ke tempat kita masingmasing. Ibu kembali ke Surabaya dan kakak kembali ke Tuban. Dan aku? kembali ke Jogja. Namun kaki ku tak ingin tergerak untuk kembali ke Jogja, ia hanya ingin berlari ke segala arah dan tak mau menatap dunia yang semakin fana ini. Bahwasanya kaki saja tak mampu apalagi mata dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tiga minggu di Jogja, kudapati kakakku memasang status sebuah foto sosok yang hilang tengah terbaring diatas kasur dengan tak berdaya. “Sakit? Kenapa kamu tidak mengabari saya?” tanyaku dengan dingin. Cukup aneh mengingat bahwa aku kerapkali menggunakan bahasa formal yang membuat kami menjadi tak pernah akrab. “Semalam Ibu tak sadarkan diri. Saat ini pun keadaannya nampak semakin melemah.”
19
Dapat kita nyatakan hanya tinggal menunggu waktu bagaimana sejatinya Ibu tiba di kondisi puncaknya. Aku yang sedang menimba ilmu di bangku perkuliahan dan sedang berada di dalamnyahanya mampu menghela napas sesak. Namun dengan paksa kucoba menahannya dengan senyuman. Di menit ke kesekian, kuputuskan menuntaskan rasa sesak dengan melampiaskannya di atap sekolah yang sepi. Berteriak melawan kencangnya angin, hingga suaraku habis meninggalkan rintihan samar yang serak sesenggukan. Bagiku tidak ada luka berat selain menghadapi badai yang satu ini. Pemasalahan besar yang kudapati kerap mampu kupecahkan. Namun, yang satu ini sangat mengusik batin serta ragaku. Setelah mendapati kabar dari kakak, aku pun memutuskan untuk menengoknya. Namun lagi dan lagi, tiada izin dari sang kakak. Sungguh malang keterbatasan yang kuhadapi. Sepulang dari kampus, aku pun memilih kembali ke asrama yang saat ini kutempati sebagai tempat menetap sembari belajar di rantauan. Asrama yang merupakan sebuah pondok pesantren yang dipolesi sentuhan modern bernuansa islami di tengah-tengah gempuran westernisasi yang kian merakyat. Tiba di asrama, aku berjalan dengan linglung. Tak dinyana, dalam keadaan linglung aku berpapasan dengan ustadzah, salah satu guru sekaligus cendekiawan yang menempati asrama bersamaku. Ustadzah Ratih, guruku menatapku iba seraya berkata; “Pulanglah jika itu dapat mengobati lukamu, berikan kesan terakhir sebelum menjadi akhir yang sesungguhnya, ini berat dan beresiko. Tetapi, kamu adalah sosok yang tak bisa dibatasi. Kamu punya pilihan untuk terus hidup dalam asasi yang kamu miliki”. Ustadzah Ratih menasehatiku dengan tatapan yang begitu simpatik. Ia sungguh paham kemasygulan yang kuhadapi dari ceritacerita yang kerapkali kuutarakan padanya diwaktu-waktu yang begitu melelahkan. Aku pun mulai tersadar akan kata-kata itu. Dengan pamit dan ungkapan terimakasih tang tergesa, aku bergegas memesan tiket untuk kembali menemui sosok itu; ibu. Ini adalah keputusan paling berani yang pernah kupilih dengan melanggar perintah kakak dan menyelesaikan semua derita dengan satu tindakan tegas. Setelah semua, aku bersyukur. Meski lebaran dan syawalku tak seindah kisah haru dan bahagia orang-orang disekitar, aku tak boleh terlalu banyak mengeluh lagi.
20
Hadirnya orang-orang yang peduli dan mengerti akan kisah hidupku sudah lebih dari cukup untuk menyembuhkan lukaku. Hingga kata terakhir dari sang ustadz kembali mengalir dibanakku; “ ال سعادة وجدت ال ر ضا ح ق ي قة وجدت أي نما. Yang berarti, dimanapun saja kau menemukan kerelaan yang sejati, kau akan menemukan kebahagiaan. Sebab mereka yang tabah berdiri di hantam badai tak akan pernah terusik oleh gerimis.” Tamat sudah kisah lebaran dan syawal ke tigabelas ku kali ini. Selalu ku sebut “Bunga Syawal Tak Luput Dari Asa”, karena didalamnya ada begitu banyak makna dan realita kehidupan dibalik kalimat tersebut.
TAMAT
21